Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 2, Februari 2022
�
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH PEMATANGSIANTAR
Ribka Sagala, Juanita, Rahayu Lubis, Ida Yustina, Destanul Aulia
Universitas Sumatera Utara (USU) Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pemanfaatan RSUD dr. Djasamen Saragih mengalami penurunan dari tahun ke tahaun terlebih lagi sejak diberlakukannya sistem rujuk berjenjang bagi pasien BPJS. Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar sampai saat ini banyak pasien yang tidak paham dan masih belum mengetahui sistem dan prosedur sehingga harus bolak balik ke rumah sakit. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi pemanfaatan rumah sakit pasca penerapan sistem rujukan berjenjang di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Jenis penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Lokasi yang dijadikan obyek penelitian adalah RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar yang dilaksanakan pada September 2020 sampai dengan Desember 2020. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam dan teknik dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar saat ini belum berjalan secara optimal, dimana terlihat dari jumlah pasien yang sampai saat ini terus mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain karena kebijakan sistem rujukan berjenjang, adanya brand image yang kurang baik, tenaga dokter dan prasarana yang belum memadai membuat kurangnya permanfaatan rumah sakit ini. Maka, disarankan kepada pihak manajemen RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar melakukan koordinasi yang lebih baik lagi dengan berbagai instansi terkait.
Kata Kunci: pemanfaatan rumah sakit; rujukan berjenjang; brand image; kualitatif
Abstract
Utilization of dr. Djasamen Saragih has decreased from year to year, especially since the implementation of the tiered referral system for BPJS patients. Based on the results of the preliminary survey conducted at dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar until now many patients do not understand and still do not know the systems and procedures so they have to go back and forth to the hospital. This research was conducted to explore the utilization of the hospital after the implementation of the tiered referral system in dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. This type of research uses qualitative research methods. The location used as the object of research is RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar which was held from September 2020 to December 2020. The data collection methods used were in-depth interviews and documentation techniques. The results showed that in the use of dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar is currently not running optimally, which can be seen from the number of patients which until now continues to decline when compared to previous years. Apart from the tiered referral system policy, the presence of a poor brand image, inadequate doctors and infrastructure have made the hospital less useful. So, it is suggested to the management of dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar has made better coordination with various related agencies.
Keywords: hospital use; tiered referral; brand image; qualitative
Received: 2022-01-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-02-20
Pendahuluan
Kesehatan merupakan kebutuhan manusia yang utama, oleh karena itu pembangunan di bidang kesehatan perlu dilaksanakan (Walintukan, H.C, 2017). Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut diselenggarakan berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu (Depkes RI, 2010). Pelaksanaan pembangunan di bidang kesehatan melibatkan seluruh warga negara Indonesia, karena pembangunan kesehatan mempunyai hubungan yang dinamis dengan sektor lainnya, termasuk penyediaan jaminan Kesehatan nasional (Walintukan, H.C, 2017).
BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 (Undang-undang RI No. 24 tahun 2011, 2011). Setiap peserta BPJS berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, dan fasilitas kesehatan lainnya yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS), 2014).
Sistem rujukan pelayanan kesehatan diimplementasikan secara berjenjang kecuali dalam keadaan gawat darurat (Novya, Bhatarendro, & Yanti, 2017). Sistem rujukan berjenjang merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam penguatan pelayanan primer, sebagai upaya untuk penyelenggaraan kendali mutu dan biaya (Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan RI, 2016). Sistem rujukan berjenjang diselenggarakan dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan secara bermutu, sehingga tujuan pelayanan tercapai tanpa harus menggunakan biaya yang mahal (Putri, 2014). Sistem rujukan berjenjang bertujuan agar sistem pelayanan kesehatan berjalan secara efektif sekaligus efisien yaitu berkurangnya waktu tunggu dalam proses merujuk dan berkurangnya rujukan yang tidak perlu karena sebenarnya dapat ditangani di FKTP (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan RI, 2012).
(Puspitaningtyas & Kartikasari, 2014) berpendapat bahwa sistem rujukan merupakan permasalahan yang belum terselesaikan dalam sistem kesehatan. Salah satu kelemahan pelayanan kesehatan adalah pelaksanaan rujukan yang kurang cepat dan tepat. Masih banyak dijumpai menumpuknya pasien pada rumah sakit rujukan tingkat ketiga dengan kasus-kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan dibawahnya. Hal ini merupakan permasalahan yang tidak saja merugikan secara finansial tetapi juga akan berdampak pada mutu pelayanan kesehatan serta akan berpengaruh terhadap pencapaian kinerja dibidang kesehatan secara keseluruhan.
Pelayanan kesehatan memiliki alur dan prosedur yang harus diketahui dan ditaati oleh pasien khususnya pasien BPJS rawat jalan. Kelengkapan persyaratan administrasi akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses pelayanan kesehatan. Pengetahuan masyarakat yang semakin meningkat, akan berpengaruh terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan, di samping itu penyelenggara pelayanan kesehatan juga banyak disorot oleh masyarakat mengenai kinerja sumber daya manusia baik medis dan non medis (Pujiono, 2015).
RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar merupakan satu-satunya rumah sakit pendidikan milik pemerintah yang berada di luar ibu kota Provinsi Sumatera Utara. RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar sebagai salah satu rumah sakit kelas B dan terbesar di Kota Pematangsiantar ditetapkan sebagai rumah sakit Rujukan Regional bagi RSUD Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara, RSUD Porsea Kabupaten Toba Samosir, RSUD Parapat, RSUD Tuan Rondahaim dan RSUD Perdagangan Kabupaten Simalungun, RSUD Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 25 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 35 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan di Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang telah dilakukan penulis di RSUD dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar diperoleh data bahwa 99% adalah pasien BPJS. Pasien BPJS masih mengeluhkan rumitnya prosedur yang harus dijalani seperti harus mengurus surat rujukan dari rumah sakit tipe C. Banyak pasien BPJS yang tidak paham dan masih belum mengetahui sistem dan prosedur sehingga harus bolak balik ke rumah sakit..�
Penurunan jumlah pasien yang dialami RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar saat ini, hampir dialami oleh semua rumah sakit tipe B seperti RS Pirngadi medan. Tercatat bahwa BOR RS Pirngadi Medan tahun 2017 sebesar 52,19%, tahun 2018 sebesar 39,29% dan tahun 2019 sebesar 27,70%. Namun hal ini bebanding terbalik dengan rumah sakit tipe C yang memiliki jumlah kunjungan pasien yang relative banyak. Seperti RS Harapan, RS Tiara Kasih Sejati, RS Tk. IV 01.07.01, RS Horas Insani dan beberapa rumah sakit tipe C lainnya yang ada di kota Pematangsiantar.
Munculnya isu bahwa banyak pasien BPJS yang tertahan di rumah sakit tipe C dan tidak dirujuk ke rumah sakit tipe B, sehingga mengakibatkan over kapasitas pada rumah sakit tipe C berdampak kepada rendahnya jumlah kunjungan pasien pada rumah sakit tipe B. Hal ini yang menjadi latar belakang peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pemanfaatan rumah sakit pasca penerapan sistem rujukan berjenjang di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif (Sugiyono, 2017). Lokasi yang dijadikan obyek penelitian adalah RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Waktu penelitian dilaksanakan pada September 2020. Peneliti mengambil informan utama sebanyak 17 orang, yang terdiri dari Direktur RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar, Kepala Bidang Pelayanan Medis, 1 orang dokter umum, 2 orang dokter spesialis, 2 orang perawat dan 1 orang bidan yang ada di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Kepala Tim TPJK BPJS RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar, Ketua DPRD Komisi 1 yang membidangi Kesehatan dan 4 orang pasien yang dirujuk ke RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan laporan penilaian kinerja RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar tahun 2017 hingga 2019 terjadi penurunan yang sangat signifikan pada pemanfaatan rumah sakit khususnya rawat inap dilihat dari indikator pemakaian tempat tidur (BOR) dan jauh dari standar yang ditetapkan. BOR yang rendah menunjukkan bahwa masih banyak tempat tidur yang tidak terpakai terutama untuk kelas III, yangmana hal ini juga berimbas pada pemanfaatan RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar yang belum optimal atau kurang baik. Hasil wawancara dengan beberapa informan diketahui bahwa secara umum keberadaan RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar sebagai penyedia layanan kesehatan utama belum berjalan optimal. Seperti yang dikutip dari narasi wawancara dengan beberapa informan sebagai berikut:
�Kalau menurut saya keberadaannya untuk masih belum optimal. Karena sumber daya manusianya masih belum memadai. Masih banyak kekurangan tenaga disana disini. Ada pun sumber daya manusianya tapi belum bisa bekerja maksimal sesuai dengan kehalian dan kemampuannya masing-masing. Karena ada yg ditempatkan tidak pada posisinya. Ya dikarenakan kekurangan tenaga tadi. Kalau untuk fasilitas sudah cukup lengkap. Alat-alat penunjang pemeriksaan baik laboratorium dan penunjang diagnostic sudah bagus dan lengkap� (Informan 02).
�Ya di fasilitas sih, standartnya ya kan, belum memenuhi untuk di fasilitas kebidanan ya masih kurang belum memenuhi untuk mengikuti standart kementrian, kalo di bagian lain ya sudah� (Informan 08).
Berdasarkan hal tersebut dapat diindikasikan bahwa kurang optimalnya pemanfaatan keberadaan RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar disebabkan oleh faktor internal dari rumah sakit itu sendiri seperti kurangnya jumlah SDM rumah sakit khususnya tenaga dokter dan beberapa fasilitas yang belum memenuhi standar. Namun, sebaliknya menurut beberapa informan lainnya RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar, sebagai penyedia layanan kesehatan sudah cukup memadai dan baik. Seperti yang dikutip dari narasi wawancara sebagai berikut:
Secara umum RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar banyak mendapat beberapa keluhan dari masyarakat seperti fasitas yang kurang memadai dan tenaga medis yang terkadang terlambat datang. Seperti yang dikutip dari narasi wawancara dengan beberapa informan sebagai berikut:
�Ya. Kalau laporan dari masyarakat itu pasti ada�. (Informan 03)
�Mungkin sedikit mengenai sarana dan prasarana aja itu karena ada kerusakan apa apa itu saja. Dari segi pelayanan kalau khusus dari ruangan ini belum.� (Informan 06)
�Kalau laporan dari masyarakat atau pasien itu banyak mengenai jadwal dokter yang terlambat dalam memberikan pelayanan kepada pasien.� (Informan 02)
Pelaksanaan rujukan dalam era JKN dilaksanakan secara berjenjang. Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan medis tingkat primer maka akan menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat pelayanan sekunder. Sesuai Permenkes Nomor 001 tahun 2012 tentang sistem rujukan berjenjang, pasien tidak berhak meminta rujukan tetapi harus berdasarkan diagnosa penyakit atau indikasi medis dari dokter pemeriksa, sesuai permenkes tentang sistem rujukan apabila rujukan bukan berdasarkan indikasi medis dan masih terdapat dalam 155 diagnosa berarti rumah sakit akan menolak pasien.
�Sistem rujukan berjenjang ini bagus, cuman baiknya harus disinergikan dengan kapabilitas ataupun standart rumah sakit sesuai dengan tipenya. Dalam artian misalkan dia tipe C, cukuplah sampai tipe C saja untuk spesialis ataupun sub spesialisnya itu hanya berdasarkan yang tipe C saja. Dalam tanda kutip, tidak mencaplok spesialis yang ada di tipe B. Seperti itu� (Informan 09).
�Sebenarnya bagus. Jadi istilahnya semua rumah sakit itu diberdayakan. Tipe C nya ada pasien nya, tipe B nya juga ada pasiennya. Pasien yang tidak bisa dilayani di tipe C, bisa mendapat pelayanan yang lebih lengkap di tipe B. Kalau dari segi kebijakannya itu sebenarnya bagus, cuman masalahnya kalau seperti kita ini yg tipe B, ya di rumah sakit ini yang jadi pengungjungnya berkurang. (Informan 05).
Secara umum kebijakan sistem rujukan berjenjang ini bertujuan untuk pemerataan jumlah pasien di setiap unit pelayanan. Pemerataan tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan dari setiap pelayanan kesehatan tersebut, namun diketahui belakangan ini pemerataan yang diharapkan tersebut tidak dapat terealisasi dengan baik, dikarenakan adanya batasan pelayanan yang tidak jelas di setiap tipe rumah sakit, sehingga mengakibatkan adanya penumpukan pasien hanya pada salah satu rumah sakit saja.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan 48 atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sebagaimana di jelaskan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, dengan adanya sistem rujukan berjenjang pada pelayanan kesehatan perorangan ini setiap peserta mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan secara lebih menyeluruh dan tepat sasaran meliputi pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL), pelayanan kesehatan gawat darurat dan kekhususan pelayanan kesehatan lainnya yang ditetapkan oleh peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 4 di atas dapat dikecualikan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 ayat 5 yaitu penjelasan dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 4 diatas dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis. Pasien pada fasilitas tingkat pertama dapat langsung dirujuk kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjut sesuai dengan ketentuan prosedur yang berlaku. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
a. Terjadi keadaan gawat darurat; Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku;
b. Bencana;
c. Kreteria bencana alam ditetapkan oleh pemerintah pusat dan atau Pemerintah Daerah.
d. Kekhususan permasalahan kesehatan fasien;
e. Untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tesebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
f. �Pertimbangan geografsi;
g. Pertimbangan ketersediaan fasilitas.
Maka berdasarkan pengecualian terhadap 4 ayat (1), (2), (3) Pemerintah berupaya memaksimalkan pelayanan terhadap pasien BPJS yang dalam keadaan kekhususan sebagaimana ketentuan diatur dalam Pasal 4 ayat 5 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pasien yang dalam keadaan gawat darurat bisa Langsung mendapat penanganan dari Faskes Tingkat Lanjutan tanpa memerlukan surat rujuk dari fasilitas tingkat pertama terlebih dahulu. sehingga pasien akan cepat mendapat penanganan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Untuk Peserta yang mendapat pelayanan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan setelah tertangani dengan baik dengan kondisi pasien yang memungkinkan untuk dipindahkan. Namun minimnya pengetahuan masyarakat terhadap prosedur rujukan berjenjang ini mengakibatkan pelayanan yang didapat oleh pasien kurang optimal. hal ini dikarenakan masih kurangnya sosialisasi dari pemerintah melalui dinas terkait tentang alur prosedur sistem rujukan berjenjang membuat masrayakat merasa belum puas terhadap pelayanan kesehatan sistem rujukan berjenjang BPJS.
Pendapat beberapa pihak yang ada di RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar terkait hubungan kebijakan sistem rujukan berjenjang dengan terjadinya penurunan jumlah pasien. Berikut disajikan beberapa pandangan yang dikutip dari narasi wawancara dengan beberapa informan:
�Yups. Ada hubungannya dengan sistem rujukan berjenjang, ya ada. Tetapi disamping itu ada memang brand image rumah sakit ini di masyarakat. Karna seperti saya. Saya masuk di dua rumah sakit di kota pematangsiantar.� RS Tentara dan Djasamen. Dengan tenaga dokter yang sama, orang pasti akan memilih ke rumah sakit Tentara. Padahal saya orangnya. Padahal saya sudah bilang ke pasien kalau saya juga disana. Berarti brand image nya rumah sakit ini, itu yang harus diperbaharui disamping sistem berjenjang itu. Yang pasti berpengaruh lah. Jumlah kunjungan di rumah sakit tipe B dan A sangat jauh berkurang.� (Informan 04).
�Kita langsung dapat merasakan penurunan jumlah pasien tersebut. Yang biasanya sebelum diberlakukannya rujukan berjenjang, di rumah sakit ini sudah banyak yang ngantri untuk daftar untuk ke poli klinik. Kalau sekarang paling sampai jam 11 sudah sepi gitu. Sudah gak ada lagi yang ngantrian. Berarti memang sangat jauh penurunannya. Karena memang dari faskes tingkat satu kan tidak bisa langsung dirujuk kemari. Harus ke tipe C dulu� (Informan 05).
�Kalau menurut saya pribadi itu sangat menurunkan pasien dirumah sakit yang tipe B seperti di rumah sakit umum seperti kami ini, karena pasien diutamakan ke tipe C sebenarnya pasien itu senang berobat ke tipe B tapi karena peraturan dari pemerintah mengenai BPJS harus ke tipe C dulu jadi mereka jadi lebih banyak ke sana, lalu apabila mereka tidak sanggup atau penuh baru dilimpahkan ke tipe B.� (Informan 07).
Namun di sisi lain dengan adanya sistem rujukan berjenjang ini juga memiliki dampak negatif dari pelaksanaannya, dimana seringkali pasien harus rela menunggu dalam waktu yang lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Banyaknya permasalahan yang dikeluhkan masyakarat terhadap pelayanan kesehatan BPJS terkait sistem rujukan berjenjang membuat sistem rujukan berjenjang ini harus di evaluasi untuk memperbaikan pelayanannya.
Hingga saat ini diakui Pemerintah Indonesia belum mampu memberikan perbaikan sarana-prasarana sebagai penunjang dalam pelaksanaan sistem rujukan berjenjang terutama pada fasilitas kesehatan tingkat pertama baik dari segi infrastruktur maupun dari sumberdaya manusianya yang memadai. Hal ini dipandang perlu agar perhatian lebih oleh pemerintah disamping perbaikan terhadap sistem prosedur pelaksnaannya sehingga permasalahan yang seringkali dikeluhkan oleh para pasien BPJS bisa teratasi.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil peneitian dan pembahasan yang mengacu pada tujuan penelitian, yakni untuk mengeksplorasi pemanfaatan rumah sakit pasca penerapan sistem rujukan berjenjang di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
RSUD dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar merupakan rumah sakit kelas B Pendidikan berdasarkan SK Kementerian Kesehatan RI, No. HK.03.05/I/1735/2012. RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar menjadi rumah sakit rujukan daerah kabupaten/kota di sekitarnya. Dalam pemanfaatan RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar saat ini belum berjalan secara optimal. Banyak hal yang dianggap berkontribusi dalam pemanfaatan pelayanan RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar, diantaranya brand image yang kurang baik, tenaga dokter dan prasarana yang belum memadai.
Sementara untuk pelaksanaan kebijakan sistem rujukan berjenjang di RSUD dr. Djasmen Saragih Kota Pematangsiantar sendiri saat ini belum berjalan dengan baik. Banyak hal yang masih perlu dilakukan perbaikan dan evaluasi monitoring terkait kebijakan rujukan berjenjang ini seperti, alur sistem rujukan yang dipermudah, adanya batasan yang jelas dalam pembagian pasien dan kecepatan komunikasi antar rumah sakit rujukan.
Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). (2014). Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. BPJS Kesehatan, Jakarta. Google Scholar
Depkes RI. (2010). Klasifikasi Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Google Scholar
Novya, Lya, Bhatarendro, Multi Juto, & Yanti, Syarifah Nurul. (2017). Gambaran Pengetahuan mengenai Jaminan Kesehatan Nasional pada Peserta Badan Pentelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ) di Puskesmas Sukadana Tahun 2016 Abstrak PENDAHULUAN Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh Kalimantan provinsi Pembangu. Jurnal Cerebellum, 3(1), 697�708. Google Scholar
Pujiono, Agus. (2015). Karya Tulis Ilmiah: Pengetahuan Peserta BPJS Tentang Alur Prosedur Pelayanan Pasien Rawat Jalan RSUP dr. Kariadi. Google Scholar
Puspitaningtyas, Arindika, & Kartikasari, Dewi. (2014). Pelaksanaan Sistem Rujukan di RSUD Banyudono. Gaster, 11(2), 25�36. Google Scholar
Putri. (2014). Studi Tentang Pelayanan Publik si Bidang Kesehatandengan system Rujukan di Puskesmas Air Putih di Kecamatan Samarinda Ulu Kota Samarinda. Jurnal Universitas Mulawarman. Google Scholar
RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan. (2016). Riset Kesehatan Dasar dalam Angka Tahun 2013. Jakarta: Balitbangkes. Google Scholar
RI, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan No.001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Google Scholar
Sugiyono. (2017). MetodePenelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT Alfabeta. Google Scholar
Undang-undang RI No. 24 tahun 2011. (2011). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Jakarta. Google Scholar
Walintukan, H.C, et al. (2017). Analisis perbedaan tariff riil dengan tarif INA-CBG�s pasien bedah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan di Rumah Sakit Gunung Maria Tomohon, Manado. Public Health Journal, 2(4), 1�7. Google Scholar
Copyright holder: Ribka Sagala, Juanita, Rahayu Lubis, Ida Yustina, Destanul Aulia (2022)
|
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
|
This article is licensed under: |