Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 10, Oktober 2024
IDENTIFIKASI
ILLIBERAL PEACEBUILDING DALAM MANAJEMEN KONFLIK LINGKUNGAN: KASUS TAMBANG PASIR
BESI DI LUMAJANG
Deraldo Prasetya1,
Adhi Cahya Fahadayna2
Universitas Brawijaya, Malang,
Indonesia1,2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Penelitian
ini menganalisis pendekatan "Illiberal Peacebuilding" yang diterapkan
oleh pemerintah daerah Lumajang dalam menangani konflik tambang pasir besi
ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Jawa Timur. Pendekatan ini lebih berfokus pada
stabilitas jangka pendek dengan menggunakan metode otoritarian dan represif,
yang sering kali mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan
partisipasi masyarakat. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
wawancara mendalam dan analisis dokumen, penelitian ini menemukan bahwa
meskipun konflik dapat diredam sementara, akar masalah seperti ketidakadilan
ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam tetap tidak terselesaikan. Dampaknya
adalah munculnya trauma mendalam, ketidakpercayaan terhadap pemerintah, dan potensi
konflik baru di masa depan. Penelitian ini menekankan perlunya strategi yang
lebih inklusif dan berkelanjutan untuk mengelola konflik dan memastikan
pemulihan yang adil bagi masyarakat yang terdampak.
Kata
Kunci: Konflik
Lingkungan, Illiberal Peacebuilding, Manajemen Konflik
Abstrak
This
study analyzes the "Illiberal Peacebuilding" approach employed by the
local government of Lumajang in addressing the illegal iron sand mining conflict
in Selok Awar-Awar Village, East Java. This approach prioritizes short-term
stability through authoritarian and repressive methods, often neglecting the
principles of democracy, human rights, and community participation. Utilizing a
qualitative approach with in-depth interviews and document analysis, the study
finds that while the conflict may be temporarily subdued, the root issues such
as economic injustice and resource exploitation remain unresolved. The
consequences include deep-seated trauma, distrust toward the government, and
the potential for future conflicts. The study emphasizes the need for more
inclusive and sustainable strategies to manage conflicts and ensure fair
recovery for the affected communities.
Keywords:
Environmental
Conflict, Illiberal Peacebuilding, Conflict Management
Pendahuluan
"Di tanah kami, nyawa tak semahal tambang." Kalimat ini
menggambarkan dengan tepat kondisi yang terjadi dalam kasus tragis di Desa
Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pada tahun 2015, desa ini
menjadi pusat perhatian nasional dan internasional setelah pembunuhan brutal
Salim Kancil, seorang petani sekaligus aktivis lingkungan, yang dengan berani
menentang tambang pasir besi ilegal di desanya. Peristiwa ini ini mengungkapkan
bagaimana kekuasaan lokal dapat dimanfaatkan untuk menekan perlawanan terhadap
eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, serta menunjukkan
bagaimana pemerintah sering kali gagal dalam melindungi hak-hak warganya.
Pembunuhan Salim Kancil dan berbagai bentuk kekerasan yang
menyertainya tidak hanya menyoroti konflik lokal tetapi juga mengungkapkan
dinamika kekuasaan yang lebih luas, di mana aktor-aktor negara dan non-negara
berkolaborasi dalam memanfaatkan sumber daya alam demi kepentingan ekonomi
mereka sendiri. Kekerasan yang digunakan untuk mempertahankan status quo ini
adalah cerminan dari pendekatan "Illiberal Peacebuilding," di mana
pemerintah dan aktor lokal menggunakan metode represif untuk menciptakan
"perdamaian" yang sebenarnya penuh dengan ketidakadilan dan
pelanggaran hak asasi manusia. Dalam situasi semacam ini, pemerintah sering
kali lebih fokus pada menjaga ketertiban melalui cara-cara yang otoritarian
yang juga mencerminkan konsep illiberal peacebuilding daripada mengatasi akar
penyebab konflik, seperti mengakomodir suara masyarakat dan kebutuhan
pasca-konflik para korban.
Konsep illiberal
peacebuilding sendiri berangkat dari kritik terhadap liberal peace yang pertama kali
dikemukakan oleh Oliver Richmond dalam bukunya yang berjudul yang
berjudul "A Post-Liberal Peace”.
Richmond mengkritik model peacebuilding liberal yang dominan dan mengeksplorasi
bagaimana praktik-praktik illiberal sering muncul dalam proses pembangunan
perdamaian di berbagai konteks pasca-konflik. Di dalam bukunya, Richmond
membahas bagaimana pendekatan yang disebut "liberal peace" sering
gagal diimplementasikan secara efektif dan malah menghasilkan bentuk-bentuk
perdamaian yang otoriter atau "illiberal," di mana hak-hak dan
keadilan sering kali diabaikan
Melanjutkan kritik ini, Claire Smith, seorang akademisi dari
University of York, memainkan peran penting dalam pengembangan konsep illiberal peacebuilding. Smith
memperluas dan memperdalam pemahaman mengenai bagaimana praktik-praktik illiberal peacebuilding dapat
muncul dalam berbagai konteks, termasuk di negara-negara pasca-konflik atau
pasca-otoritarian. Smith menunjukkan bahwa dalam konteks tersebut, pemerintah
dan aktor-aktor lokal sering kali menggunakan pendekatan represif untuk
mengelola konflik, dengan fokus pada stabilitas di atas keadilan atau
partisipasi public
Dalam banyak kasus, illiberal peacebuilding muncul di
negara-negara pasca-konflik atau pasca-otoritarian, di mana pemerintah dan
aktor lokal lainnya menggunakan cara-cara represif untuk mengelola konflik dan
mencapai "perdamaian" yang sebenarnya penuh dengan ketidakadilan
Dalam konteks Indonesia, praktik illiberal peacebuilding bukanlah
fenomena baru. Sejak era Orde Baru hingga masa reformasi, berbagai bentuk
kontrol otoritarian telah digunakan oleh pemerintah untuk meredam protes dan
mengelola konflik, terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam. Hadiz
Najib Azca dan Rachael Diprose mencatat dalam kajian mereka
tentang manajemen konflik di Indonesia bahwa konflik sumber daya di tingkat
sub-nasional sering kali dipicu oleh perebutan akses dan kontrol atas sumber
daya alam yang melibatkan kepentingan politik dan ekonomi yang kuat. Mereka
menunjukkan bahwa konflik ini sering kali dikelola melalui kombinasi
praktik-praktik liberal dan illiberal, yang mana elit politik dan ekonomi
menggunakan berbagai strategi untuk mempertahankan kendali mereka atas sumber
daya dan kekuasaan. Praktik-praktik ini mencerminkan bentuk illiberal peacebuilding dan authoritarian conflict management di
mana stabilitas politik lokal dipertahankan dengan cara-cara yang tidak selalu
sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial
Lewis et al.
Smith
Selain itu, kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan pasca-konflik yang efektif dan inklusif menunjukkan bahwa pendekatan
illiberal peacebuilding sering kali tidak mampu menciptakan perdamaian yang
berkelanjutan
Dalam konteks teoritis, penelitian ini berkontribusi pada
pemahaman tentang illiberal peacebuilding dalam konteks Indonesia, di mana
pendekatan ini sering kali digunakan untuk mempertahankan stabilitas politik
dengan cara-cara yang tidak demokratis. Studi ini menunjukkan bahwa meskipun
pendekatan ini efektif dalam meredam konflik dalam jangka pendek, ia memiliki
kelemahan serius dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Pendekatan
yang lebih inklusif dan partisipatif diperlukan untuk memastikan bahwa konflik
seperti yang terjadi di Lumajang tidak berulang dan bahwa masyarakat memiliki
kepercayaan terhadap pemerintah mereka.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
bagaimana pemerintah daerah Lumajang menerapkan strategi illiberal
peacebuilding dalam mengelola konflik tambang pasir besi ilegal, serta
dampaknya terhadap masyarakat lokal. Dengan memanfaatkan kajian literatur,
analisis data sekunder dari laporan media dan jurnal, serta wawancara dengan
para pengambil kebijakan, aktivis, dan warga lokal, penelitian ini berusaha
untuk mengidentifikasi karakteristik utama dari pendekatan ini, termasuk
kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan yang memadai kepada
warganya, serta bagaimana kebijakan pasca-konflik yang diterapkan tidak hanya
gagal memenuhi kebutuhan korban, tetapi juga menciptakan ekses-ekses yang
memperburuk situasi sosial di daerah tersebut.
Metode
Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan fokus pada wawancara mendalam dan analisis dokumen
untuk mengungkap dinamika konflik tambang pasir besi ilegal di Desa Selok
Awar-Awar, Kabupaten Lumajang. Wawancara dilakukan dengan para pemangku
kepentingan utama, termasuk aktivis lingkungan, pejabat pemerintah daerah,
penegak hukum, dan masyarakat lokal yang terdampak. Tujuannya adalah untuk
menggali perspektif mereka tentang peran pemerintah dan kekuatan lokal dalam
mengelola konflik, serta memahami bagaimana praktik-praktik kekerasan dan
intimidasi digunakan untuk mempertahankan status quo. Wawancara ini memberikan
wawasan yang mendalam tentang pengalaman langsung para korban, serta upaya
perlawanan mereka terhadap eksploitasi sumber daya alam yang tidak
berkelanjutan.
Selain wawancara, penelitian ini juga
menggunakan analisis dokumen sebagai metode pendukung. Dokumen yang dianalisis
meliputi laporan media, kebijakan pemerintah terkait sumber daya alam, serta
catatan pengadilan dan kajian akademis yang relevan. Analisis dokumen ini
memungkinkan penelitian untuk mengidentifikasi pola-pola kekerasan yang muncul,
serta mengevaluasi sejauh mana kebijakan pasca-konflik dan hukum yang ada
diterapkan dalam menangani permasalahan di lapangan. Kombinasi wawancara
mendalam dan analisis dokumen membantu menggambarkan secara komprehensif
bagaimana konflik ini dikelola, serta mengungkapkan akar permasalahan yang
belum terselesaikan, seperti ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi sumber daya
alam.
Hasil
dan Pembahasan
Konflik
Tambang Pasir Besi Ilegal di Lumajang (2015)
Konflik tambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-Awar,
Lumajang, merupakan contoh nyata bagaimana eksploitasi sumber daya alam dapat
memicu ketegangan sosial dan kekerasan yang berkepanjangan. Konflik ini telah
menjadi sorotan media dan publik sejak pembunuhan brutal terhadap Salim Kancil
pada tahun 2015, yang mengungkapkan kegagalan pemerintah dalam melindungi
warganya serta bagaimana kekuasaan lokal digunakan untuk menekan perlawanan
terhadap eksploitasi yang merusak.
1.
Awal
Konflik dan Pembunuhan Salim Kancil
Konflik
tambang pasir besi di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, bermula dari kebijakan
pemerintah desa untuk mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi kawasan wisata.
Rencana ini, yang semula diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat
setempat, ternyata menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Pada Juli 2015,
beberapa warga desa, termasuk Tosan dan Salim Kancil, mulai memperhatikan bahwa
proyek tersebut tidak berjalan sesuai dengan yang dijanjikan. Awalnya, Salim
Kancil, yang saat itu belum begitu mengenal Tosan, mendukung inisiatif tersebut
karena mengira bahwa pembangunan ini akan memberikan manfaat besar bagi desa.
Namun, pandangannya mulai berubah ketika melihat kenyataan di lapangan.
Dalam
wawancara bersama Tosan, ia menjelaskan bahwa meskipun sebelumnya tidak
mengenal Salim Kancil, mereka akhirnya bertemu ketika diskusi-diskusi terkait
dampak lingkungan dari proyek tersebut mulai digelar. Tosan menggambarkan
bagaimana dirinya bersama beberapa warga lain, termasuk Salim Kancil, mulai
merasa ada yang tidak beres dengan proyek ini. Alih-alih menjadi kawasan wisata
seperti yang dijanjikan, area tersebut justru digunakan sebagai tambang pasir
besi yang beroperasi tanpa henti, menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah.
Aktivitas penambangan ini tidak hanya merusak lahan pertanian, tetapi juga
mengancam keberlanjutan ekosistem lokal dan kesejahteraan Masyarakat
Salim
Kancil, yang awalnya mendukung proyek tersebut, mulai meragukan niat baik dari
para pelaksana proyek ketika ia melihat semakin banyaknya truk yang hilir mudik
membawa pasir dari tambang tersebut. Dalam wawancara bersama Bu Tijah, istri
Salim Kancil, ia menceritakan bagaimana suaminya pada awalnya percaya bahwa
proyek ini akan membawa kemakmuran bagi desa. Namun, ketika jumlah truk semakin
bertambah dan lahan pertanian yang diandalkan oleh warga desa mulai hancur,
Salim Kancil menjadi semakin gelisah. Ia menyadari bahwa proyek ini bukanlah
untuk kepentingan masyarakat, melainkan untuk keuntungan segelintir pihak yang
rela mengorbankan lingkungan demi keuntungan pribadi
Kondisi
ini mendorong Salim Kancil untuk bersikap lebih kritis terhadap proyek tambang
tersebut. Ia mulai menggalang dukungan dari warga lain untuk menentang kegiatan
penambangan yang merusak ini. Tosan, yang kemudian ditunjuk sebagai pemimpin
gerakan perlawanan warga, juga mulai aktif menyuarakan penolakan terhadap
tambang pasir besi ini. Dalam wawancara, Tosan menjelaskan bagaimana tekanan
mulai muncul dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan tambang tersebut. Pada
Agustus 2015, ia didatangi oleh seseorang yang menawarkan uang sebesar 750 juta
rupiah agar Tosan menghentikan upayanya untuk menutup tambang. Namun, dengan
tegas ia menolak tawaran tersebut, menegaskan komitmennya untuk mempertahankan
lingkungan desa dari eksploitasi yang merusak
Seiring
dengan meningkatnya tekanan, Tosan dan warga yang menolak tambang mulai
menghadapi ancaman yang lebih serius. Pada 9 September 2015, Tosan dipanggil ke
kantor Kecamatan Pasirian untuk menghadiri pertemuan dengan sejumlah pejabat,
termasuk Camat Pasirian, Kapolsek, dan Kepala Desa Selok Awar-Awar. Dalam
wawancara, Tosan mengungkapkan bahwa pertemuan ini bukanlah untuk mencari
solusi, melainkan untuk menekan dirinya agar tidak melanjutkan upaya penutupan
tambang. Camat Pasirian secara langsung menantang Tosan dengan pertanyaan,
"Pak Tosan, saya dengar katanya sampean ingin menutup tambang.
Kapan?" Pertanyaan ini menunjukkan adanya tekanan dari pihak berwenang
untuk menghentikan upaya perlawanan warga. Tosan, yang sudah bertekad untuk
menutup tambang, dengan tegas menjawab bahwa ia akan melakukannya keesokan
harinya
Ancaman
semakin nyata ketika Kepala Desa Selok Awar-Awar berkata, "Kalau sampean
berani nutup tambang besok, saya cium kaki sampean," yang kemudian
diperkuat oleh ancaman dari salah satu utusan desa, "Kalau sampean memang
berani nutup tambang, di rumah sampean ada tumpah darah besok."
Ancaman-ancaman tersebut tidak menghentikan tekad Tosan dan warga lainnya. Pada
10 September 2015, kelompok warga yang dipimpin oleh Tosan mulai melakukan aksi
penutupan tambang. Namun, aksi ini tidak berjalan mulus. Tosan menceritakan
bahwa ia dan beberapa warga lainnya diserang oleh sekelompok orang yang tidak
setuju dengan upaya penutupan tambang. Serangan ini melibatkan sekitar 30 orang
dan meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, ancaman kekerasan semakin terasa
nyata
Situasi
memuncak pada 26 September 2015, ketika Salim Kancil dibunuh secara brutal oleh
sekelompok orang yang tidak terima dengan upayanya menutup tambang. Dalam
wawancara bersama Bu Tijah, ia mengungkapkan dengan penuh emosional bahwa
suaminya disiksa secara sadis dengan menggunakan kayu, bambu, dan batu hingga
meninggal dunia. Bu Tijah menceritakan bagaimana Salim Kancil pada pagi hari
tersebut berada di rumahnya dengan anak-anaknya, namun tidak lama kemudian
setelah pagi tiba sekitar jam 07.30, ia diculik dan dibawa ke sebuah lokasi di
mana ia disiksa hingga tewas. Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi
keluarga dan masyarakat yang berjuang melawan ketidakadilan
Pembunuhan
Salim Kancil menjadi simbol dari resistensi masyarakat terhadap eksploitasi
sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Tragedi ini mengungkapkan betapa
berbahayanya perjuangan warga dalam mempertahankan hak atas lingkungan yang
sehat dan aman, serta bagaimana kekerasan digunakan sebagai alat untuk meredam
perlawanan. Kasus ini juga mencerminkan kelemahan dalam sistem perlindungan
hukum dan sosial di Indonesia, di mana upaya masyarakat untuk menjaga
kelestarian lingkungan sering kali diabaikan atau bahkan ditindas oleh
pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
Dalam
analisis lebih lanjut, kasus ini menunjukkan bagaimana dinamika kekuasaan lokal
dapat berperan dalam memperburuk konflik lingkungan. Pemerintah daerah, yang
seharusnya melindungi kepentingan warga, justru terlibat dalam praktik-praktik
yang mendukung eksploitasi sumber daya alam dengan mengabaikan hak-hak
masyarakat lokal. Tindakan represif terhadap warga yang menentang tambang
mencerminkan adanya praktik "illiberal peacebuilding," di mana
pemerintah lebih memilih menggunakan kekuatan untuk memaksakan ketertiban
daripada mengedepankan dialog yang inklusif dan solusi yang berkelanjutan
2.
Respons
Pemerintah dan Implementasi Kebijakan
Setelah
pembunuhan Salim Kancil, pemerintah daerah Lumajang mencoba meredam ketegangan
dengan menutup beberapa tambang pasir ilegal. Namun, upaya ini sering kali
tampak tidak konsisten dan lebih bersifat simbolis, bertujuan untuk menenangkan
kemarahan publik daripada menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Tosan,
seorang aktivis lokal yang menjadi korban kekerasan, mengungkapkan dalam
wawancara bahwa meskipun tambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-Awar
telah ditutup, aktivitas tambang ilegal di wilayah lain di Kabupaten Lumajang
dilaporkan masih terus berlangsung
Pendapat
Tosan ini sejalan dengan bukti dari laporan terbaru yang menunjukkan bahwa
penambangan pasir ilegal kembali terjadi di pesisir Pantai Bambang, Kecamatan
Pasirian, Kabupaten Lumajang. Menurut laporan Kompas.com (5 April 2024), aktivitas penambangan ilegal ini telah
berlangsung selama setahun terakhir dan dilakukan secara rahasia, terutama pada
malam hari, untuk menghindari perhatian publik. Meskipun ada upaya penutupan
dari pihak kepolisian setelah video aktivitas penambangan viral di media
sosial, fakta bahwa tambang ini dapat beroperasi kembali menunjukkan lemahnya
penegakan hukum dan kontrol oleh pemerintah daerah.
Lebih
jauh lagi, laporan dari Redaksi (13
Mei 2024) mengungkapkan bahwa beberapa tambang pasir ilegal di Lumajang diduga
dimiliki oleh oknum aparat, yang membuat operasi mereka sulit dihentikan. Warga
mengeluhkan bahwa penambangan ilegal ini merusak lingkungan dan mempengaruhi
kehidupan sehari-hari mereka, sementara pemerintah tampak lamban dalam
merespons kecuali setelah masalah ini menjadi viral di media sosial. Fakta
bahwa penutupan tambang sering kali terjadi hanya setelah adanya tekanan publik
menunjukkan bahwa respons pemerintah lebih reaktif daripada proaktif, dan
adanya dugaan keterlibatan aparat dalam kegiatan ilegal ini semakin merusak
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Tosan
juga menceritakan bahwa setelah ia pulih dari perawatan intensif akibat
kekerasan yang dialaminya, dirinya diundang untuk menghadiri pertemuan di
Pendopo Kabupaten Lumajang pada tanggal 6 November 2015. Pertemuan ini dihadiri
oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Bupati Lumajang, dan Panitia Khusus (Pansus)
DPRD Jawa Timur. Dalam pertemuan tersebut, Tosan diminta untuk menandatangani
sebuah dokumen yang menyatakan bahwa "pasir Lumajang jangan sampai keluar
dari kawasan Lumajang, hanya untuk mencukupi kebutuhan lokal dan selebihnya
dapat diolah menjadi barang jadi seperti paving, beton, batako, dan tiang
listrik." Selain itu, disepakati bahwa pasir hanya boleh diambil dari
empat titik: aliran Sungai Bagu, Dukosari, PasruJampe, dan Pronojiwo, serta
harus dilakukan secara manual tanpa menggunakan alat berat
Namun,
kekecewaan Tosan muncul ketika dua bulan setelah pertemuan tersebut, alat-alat
berat mulai digunakan di lokasi-lokasi tersebut, yang menunjukkan
ketidakpatuhan terhadap kesepakatan yang telah dibuat. "Ya, berarti kan
apa? Enggak sesuai dengan apa yang pernyataan saat itu. Sampai sekarang
alat-alat berat kan banyak," ujarnya dengan nada kecewa
Dalam
wawancara, Bupati Lumajang periode 2018-2023, Thoriqul Haq, menegaskan
bahwa sejak awal masa jabatannya, ia memilih untuk tidak mengizinkan adanya
pertambangan pasir besi di Lumajang, terutama karena wilayah tersebut berada di
pesisir pantai selatan yang rentan terhadap kerusakan lingkungan. Ia
menyatakan, "Saya sudah sampaikan bahwa saya tidak akan berkebijakan untuk
membuka izin pertambangan pasir besi"
Thoriq
juga menjelaskan bahwa kebijakan yang berpihak, seperti penutupan tambang pasir
besi, adalah langkah untuk meredam potensi konflik. "Keberpihakan dalam
kebijakan adalah cara untuk memastikan bahwa lingkungan sosial tetap
stabil," ujarnya,
Respons
yang diambil oleh pemerintah ini merupakan ciri khas dari pendekatan
"Illiberal Peacebuilding." Dalam konteks ini, pemerintah sering kali
mengadopsi langkah-langkah simbolis untuk meredam ketegangan tanpa melakukan
perubahan substansial dalam dinamika kekuasaan lokal. Illiberal peacebuilding
sering kali menggunakan kontrol otoritarian sebagai alat untuk menjaga
stabilitas, sementara akar masalah seperti ketidakadilan sosial dan eksploitasi
sumber daya tidak ditangani dengan menyelutuh
Respons
pemerintah terhadap konflik ini juga mengungkapkan bahwa kebijakan yang diambil
sering kali tidak konsisten dan kurang memiliki visi jangka panjang.
"Mereka hanya bertindak ketika sudah ada protes besar-besaran, tapi
setelah itu, mereka kembali membiarkan tambang berjalan seperti biasa,"
ujar Tosan
Keseluruhan
respons pemerintah ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meredam
konflik, langkah-langkah yang diambil sering kali bersifat reaktif dan tidak
menanggapi akar permasalahan yang ada. Hal ini tidak hanya memperburuk
ketegangan sosial di masyarakat, tetapi juga menegaskan bahwa pemerintah daerah
belum memiliki pendekatan yang efektif dan adil dalam menangani konflik terkait
sumber daya alam di wilayah mereka. Pendekatan yang lebih holistik dan berfokus
pada keadilan sosial serta transparansi diperlukan untuk mencegah terjadinya
kembali kekerasan dan untuk memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan
benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Peran
Pemerintah dalam Konflik Tambang Pasir Besi Ilegal di Lumajang
Pendekatan pemerintah dalam menangani konflik tambang pasir besi
ilegal di Lumajang mencerminkan praktik "Illiberal Peacebuilding," di
mana stabilitas diprioritaskan di atas nilai-nilai demokrasi dan hak asasi
manusia. Pemerintah daerah menggunakan berbagai strategi untuk meredam konflik,
yang sering kali melibatkan tindakan repressif dan intimidasi terhadap warga
yang menentang tambang ilegal. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana pemerintah
menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan stabilitas dengan cara-cara yang
sering kali tidak demokratis.
1.
Strategi
Pengendalian Konflik
Pendekatan
pemerintah dalam mengelola konflik tambang pasir besi di Lumajang dapat dilihat
sebagai bagian dari strategi pengendalian konflik yang otoritarian. Berdasarkan
wawancara dengan pejabat pemerintah dan aktivis, terungkap bahwa pemerintah
sering kali menggunakan kekuatan negara untuk menekan protes dan meredam
ketegangan. Aktivis yang menentang tambang ilegal sering kali dihadapkan pada
intimidasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bertujuan untuk
mengurangi perlawanan mereka.
Dalam
wawancaranya, Tosan menjelaskan, "Saya dipukuli, ditendang, dicelurit,
dicangkul, dilindas motor hingga hampir mati." Kesaksiannya ini
menunjukkan betapa kejamnya kekerasan yang digunakan untuk menekan perlawanan
terhadap tambang ilegal. Tosan juga mengungkapkan bahwa perlawanan terhadap
tambang pasir telah berlangsung lama sebelum pembunuhan Salim Kancil terjadi.
Pada bulan Agustus 2015, tepatnya tanggal 24, Tosan didatangi oleh seseorang
yang membawa uang sebesar 750 juta rupiah. Orang tersebut menawarkan uang
tersebut kepada Tosan dengan satu syarat: Ia tidak boleh menutup tambang.
Dengan tegas, Tosan menolak tawaran tersebut, menegaskan komitmennya untuk
melindungi lingkungan dan kepentingan Masyarakat
Namun,
penolakan ini membawa konsekuensi yang serius. Tidak lama setelahnya, pada hari
Selasa, tanggal 8 September 2015, Tosan menerima surat panggilan mendadak untuk
datang ke Kecamatan Pasirian. Saat tiba di kecamatan, seorang utusan kepala
desa Selok Awar-Awar memberikan ancaman serius, "Kalau Anda memang berani
nutup tambang, di rumah Sampean ada tumpah darah besok." Ancaman ini
menunjukkan betapa terorganisirnya upaya untuk menekan perlawanan, menggunakan
intimidasi langsung terhadap aktivis yang berani menentang kepentingan ekonomi
yang besar di balik tambang ilegal ini
Strategi
ini bukan hanya tentang meredam perlawanan secara fisik, tetapi juga
menciptakan ketakutan yang meluas di antara masyarakat. Ketika ancaman ini
terealisasi dengan kekerasan brutal yang dialami oleh Tosan dan pembunuhan
Salim Kancil, pesan yang ingin disampaikan jelas: setiap upaya untuk menentang
tambang akan dihadapi dengan kekerasan yang ekstrem. Pendekatan otoritarian ini
menciptakan atmosfer ketakutan dan ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan
masyarakat, yang merasa bahwa mereka tidak dapat mengandalkan perlindungan dari
pemerintah, tetapi justru harus menghadapi intimidasi dari mereka yang memiliki
kekuasaan.
Konflik
tambang pasir besi di Lumajang ini memperlihatkan berbagai taktik untuk meredam
protes, termasuk penangkapan aktivis, intimidasi terhadap keluarga mereka, dan
pembatasan kebebasan berkumpul. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa
pemerintah lebih fokus pada menjaga stabilitas jangka pendek daripada
memastikan bahwa konflik diselesaikan dengan cara yang adil dan transparan.
Pemerintah Lumajang tampaknya lebih tertarik untuk menghindari konflik terbuka
daripada menyelesaikan masalah yang mendasari konflik, seperti ketidakadilan
sosial dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.
Namun,
strategi ini memiliki kelemahan yang signifikan. Meskipun mungkin efektif dalam
jangka pendek untuk meredam protes, penggunaan kekerasan dan intimidasi sering
kali menciptakan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat. Banyak
warga yang merasa bahwa pemerintah tidak benar-benar peduli dengan
kesejahteraan mereka, tetapi hanya tertarik untuk mempertahankan kekuasaan.
Pendekatan otoritarian ini juga menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi
penyelesaian konflik yang damai dan berkelanjutan. Ketika pemerintah
menggunakan kekerasan untuk meredam protes, hal ini sering kali menciptakan
ketakutan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Warga yang sebelumnya
mungkin bersedia untuk berdialog dan mencari solusi damai, menjadi semakin enggan
untuk berpartisipati dalam proses yang mereka anggap tidak adil atau tidak
transparan.
Strategi
pengendalian konflik yang otoritarian ini pada akhirnya gagal untuk mencapai
perdamaian yang berkelanjutan. Seperti yang disampaikan oleh Smith
2.
Kegagalan
dalam Pemulihan Pasca-Konflik
Pendekatan
pemerintah dalam mengelola konflik tambang pasir besi di Lumajang mencerminkan
kegagalan dalam pemulihan pascakonflik yang efektif dan inklusif. Illiberal
peacebuilding, yang diterapkan oleh pemerintah, tidak melewati proses
peacebuilding pada umumnya yang melibatkan rekonsiliasi, rehabilitasi, dan
rekonstruksi. Sebaliknya, pemerintah lebih memilih untuk mempertahankan
stabilitas dengan cara-cara yang mengabaikan keadilan serta kesejahteraan
masyarakat.
Berdasarkan
wawancara dengan Tosan, seorang aktivis lokal yang selamat dari serangan brutal
terkait penolakannya terhadap tambang ilegal, terungkap bahwa bantuan yang
dijanjikan oleh pemerintah setelah konflik ternyata tidak pernah terealisasi.
Tosan menyampaikan dengan nada kecewa, "Mereka berjanji akan menanggung
biaya sekolah anak-anak kami, tapi hingga kini, tidak ada bantuan yang
benar-benar kami terima." Pernyataan ini menegaskan ketidakseriusan
pemerintah dalam menangani dampak jangka panjang dari konflik yang terjadi.
Dalam wawancara lanjutan, Tosan menegaskan kekecewaannya terhadap janji-janji
pemerintah yang tidak dipenuhi. Ketika ditanya mengenai klaim bahwa pemerintah
telah menanggung biaya pendidikan anak-anak korban, Tosan dengan tegas menyatakan,
"Nggak ada, nggak ada. Sampai sekarang nih, secara tertulis." Ia
menjelaskan bahwa untuk membiayai hidupnya setelah kembali dari rumah sakit di
Malang, ia terpaksa menjual tanah dua kali, tanah yang merupakan pemberian
orang tuanya. "Jual pertama laku 470 juta, kurang masih, jual lagi. Untuk
biaya hidup," ungkapnya. Meskipun biaya rumah sakit memang ditanggung oleh
pemerintah, bantuan lain yang dijanjikan tidak pernah terwujud, dan Tosan harus
mengorbankan aset pribadinya untuk bertahan hidup
Tosan
juga menyoroti bahwa satu-satunya bantuan yang benar-benar ia terima hanyalah
bedah rumah dan biaya rumah sakit. "Yang lain, saya masih mampu kok. Saya
hanya perlu dibantu lewat bantuan turun benar-benar membenahi lingkungan, tutup
tambang cukup," katanya. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa meskipun ada
beberapa bentuk bantuan yang diberikan, pemerintah gagal memenuhi
janji-janjinya secara menyeluruh dan konsisten. Kegagalan ini menunjukkan bahwa
upaya pemulihan pascakonflik yang dilakukan oleh pemerintah tidak dilakukan
dengan niat yang tulus untuk memperbaiki kondisi masyarakat, melainkan hanya
sebagai tindakan simbolis yang tidak menyentuh akar permasalahan yang
sebenarnya
Keadaan
ini juga dirasakan oleh Bu Tijah, istri mendiang Salim Kancil, yang menjadi
korban langsung dari kekerasan terkait konflik tambang. Laporan dari Kompasiana
(3 Oktober 2015) yang mengungkapkan bahwa istri Salim Kancil, Tijah, menjadi
korban tekanan fisik dan mental setelah suaminya dibunuh. Tidak hanya mengalami
trauma mendalam, Tijah juga dipaksa untuk membubuhkan cap jempol pada berbagai
dokumen tanpa pemahaman yang jelas. Perlakuan ini menunjukkan kurangnya
perlindungan terhadap korban konflik, terutama mereka yang rentan seperti Tijah
yang buta huruf dan tidak memiliki pendamping hukum yang memadai. Tijah dan
anaknya, Dio Eka Saputra, yang masih bersekolah, harus menghadapi tekanan dan
ancaman, sementara dukungan dari pemerintah tidak kunjung datang
Anak
ketiga Tosan juga memberikan kesaksian tentang bagaimana masalah ini tampaknya
"diselesaikan" oleh pemerintah tanpa menyentuh akar permasalahan yang
sebenarnya. Ia menyatakan bahwa masalah tambang pasir seolah-olah telah
selesai, padahal kenyataannya, masalah tersebut belum selesai sepenuhnya.
"Masalah tiba-tiba selesai begitu saja, padahal masih belum selesai
sepenuhnya menurut saya," ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa janji
pemerintah daerah Lumajang untuk menanggung biaya sekolah anak-anak Salim Kancil
dan Tosan hingga kuliah adalah hoax yang tidak pernah terjadi dan tidak pernah
terealisasikan.
Klaim
yang disampaikan oleh Bupati Lumajang saat itu, Asad Malik, dalam pemberitaan
yang diterbitkan oleh SINDOnews (4
Oktober 2015), bahwa Pemkab Lumajang akan menanggung biaya pendidikan anak-anak
Salim Kancil dan Tosan, juga tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Dalam
artikel tersebut, Bupati menyatakan bahwa keluarga korban tidak perlu
memikirkan biaya pengobatan maupun pendidikan anak-anak mereka, karena semuanya
telah dijamin oleh Pemkab Lumajang
Kegagalan
pemerintah dalam memenuhi janji-janji tersebut tidak hanya mencerminkan
ketidakmampuan mereka dalam menindaklanjuti komitmen mereka, tetapi juga
bertentangan dengan kewajiban hukum yang seharusnya mereka penuhi. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melakukan upaya pemulihan
pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur.
Undang-undang tersebut menegaskan bahwa pemulihan pascakonflik harus mencakup
rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Rekonsiliasi harus dilakukan
melalui perundingan damai, pemberian restitusi, atau pemaafan. Sementara itu,
rehabilitasi melibatkan pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta perbaikan
lingkungan dan penguatan kebijakan publik. Rekonstruksi mencakup pemulihan dan
peningkatan fungsi pelayanan publik, akses pendidikan, kesehatan, dan perbaikan
sarana prasarana umum di daerah yang terdampak konflik
Selain
itu, laporan dari Republika (Oktober 2015) juga menyoroti berbagai kejanggalan
dalam penyelesaian kasus Salim Kancil. Walhi Jawa Timur mencatat bahwa
penanganan kasus ini jauh dari kata adil, dengan sidang yang berlarut-larut,
saksi yang tidak kompeten, dan vonis yang tidak memberikan rasa keadilan bagi
keluarga korban. Kasus ini hanya dianggap sebagai tindak kriminal biasa,
sehingga mata rantai mafia pertambangan dan kerusakan lingkungan tidak
terungkap secara utuh
Kegagalan
dalam pemulihan pascakonflik adalah salah satu ciri khas dari Illiberal
Peacebuilding ini. Dalam banyak kasus, pemerintah yang otoritarian sering kali
tidak memiliki komitmen yang kuat untuk memastikan bahwa pemulihan dilakukan
dengan cara yang inklusif dan adil. Sebaliknya, mereka lebih tertarik untuk
kembali ke status quo secepat mungkin, bahkan jika hal ini berarti mengabaikan
kebutuhan korban dan masyarakat yang terkena dampak. Ini sangat relevan dengan
situasi di Lumajang, di mana kegagalan pemerintah untuk memenuhi janji-janji
mereka telah menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam di kalangan
masyarakat, yang merasa bahwa mereka telah ditinggalkan oleh pemerintah yang
seharusnya melindungi mereka.
Pengabaian
terhadap pemulihan pascakonflik juga mengindikasikan bahwa pemerintah tidak
benar-benar berkomitmen untuk menyelesaikan konflik secara tuntas. Sebaliknya,
pemerintah tampaknya lebih tertarik untuk menjaga stabilitas jangka pendek
dengan mengorbankan keadilan dan hak-hak masyarakat. Pendekatan semacam ini
menciptakan siklus kekerasan yang sulit dipatahkan, di mana ketidakpuasan dan
ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan masyarakat dapat memicu konflik baru
di masa depan.
Dampak
Illiberal Peacebuilding dan Pengelolaan Konflik
Dampak dari kebijakan "Illiberal Peacebuilding" yang
diterapkan oleh pemerintah dalam mengelola konflik tambang pasir besi ilegal di
Lumajang tidak hanya terasa selama konflik berlangsung, tetapi juga memiliki
implikasi jangka panjang yang signifikan terhadap masyarakat lokal. Kebijakan
yang lebih menekankan pada stabilitas melalui kontrol otoritarian ini sering
kali mengorbankan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan
dampak yang mendalam dan berkelanjutan pada mereka yang terkena dampak konflik.
1.
Trauma
dan Ketidakadilan
Salah
satu dampak paling signifikan dari kebijakan "Illiberal
Peacebuilding" ini adalah trauma yang dialami oleh masyarakat lokal,
terutama oleh keluarga korban seperti Tijah, istri Salim Kancil. Dalam
wawancara, Tijah mengungkapkan betapa sulitnya hidupnya setelah kematian
suaminya. Selain menghadapi tekanan ekonomi karena kehilangan satu-satunya
pencari nafkah, Tijah juga harus berjuang dengan trauma yang mendalam akibat
kekerasan yang terjadi di desanya. Trauma ini diperparah oleh ketidakmampuan
pemerintah untuk memberikan dukungan yang memadai, baik secara psikologis
maupun finansial.
Dalam
sebuah wawancara, Bupati Lumajang mengklaim bahwa kebijakan yang diambil
pemerintah daerah selalu berpihak pada masyarakat. "Kami selalu berusaha
dan berupaya untuk membuat kebijakan yang selalu berpihak kepada masyarakat,
kebijakan kami dirancang untuk melindungi kepentingan mereka," tegas
Bupati Lumajang. Namun, pernyataan ini bertentangan dengan pengalaman
masyarakat dan aktivis setempat. Tosan, seorang aktivis yang terlibat langsung
dalam konflik ini, memiliki pandangan yang berbeda. "Mereka mengatakan
kebijakan itu berpihak pada masyarakat, tapi kenyataannya kami dibiarkan
berjuang sendiri, bahkan saya hanya butuh peran pemerintah untuk menjaga
lingkungan," ungkap Tosan dengan nada kecewa. Pernyataan ini mencerminkan
ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah yang dianggap tidak
benar-benar peduli terhadap kesejahteraan masyarakat.
Dalam
konteks "Illiberal Peacebuilding," trauma dan ketidakadilan sering
kali diabaikan oleh pemerintah yang lebih peduli pada stabilitas jangka pendek.
Pemerintah cenderung melihat pemulihan pasca-konflik sebagai hal yang sekunder
dan kurang penting dibandingkan dengan upaya untuk mengendalikan situasi.
Akibatnya, korban sering kali dibiarkan menghadapi trauma mereka sendiri, tanpa
adanya dukungan yang memadai untuk membantu mereka pulih dan kembali ke
kehidupan normal.
Trauma
ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, tetapi juga pada
ketahanan sosial masyarakat secara keseluruhan. Ketika banyak anggota
masyarakat yang mengalami trauma dan merasa diabaikan oleh pemerintah, hal ini
dapat menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap institusi negara.
"Kami merasa tidak ada yang peduli dengan kami, hanya ada janji-janji yang
tidak pernah ditepati," ujar seorang warga yang keluarganya menjadi korban
konflik. Ketidakpercayaan ini pada gilirannya dapat memicu siklus kekerasan dan
ketegangan sosial yang berkelanjutan, terutama jika masyarakat merasa bahwa
mereka tidak memiliki saluran untuk menyuarakan kekhawatiran mereka atau untuk
mencari keadilan.
Selain
trauma, ketidakadilan juga menjadi masalah yang sangat serius di Lumajang.
Banyak warga yang merasa bahwa mereka diperlakukan dengan tidak adil oleh
pemerintah dan oleh sistem hukum. Mereka melihat bahwa sementara pelaku
kekerasan mungkin dihukum, masalah yang mendasar, seperti eksploitasi sumber
daya alam yang tidak berkelanjutan dan ketidakadilan ekonomi, tetap tidak
terselesaikan. Hal ini menciptakan perasaan ketidakberdayaan di kalangan
masyarakat, yang merasa bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas nasib mereka
sendiri.
2.
Potensi
Konflik di Masa Depan dan Ekses Kebijakan Pasca-Konflik
Selain
dampak langsung selama konflik, kebijakan pasca-konflik yang diterapkan
pemerintah juga menunjukkan adanya praktik "Illiberal Peacebuilding"
dengan ekses-ekses yang signifikan. Salah satu contoh paling mencolok adalah
ketidakmampuan pemerintah dalam merealisasikan bantuan yang dijanjikan kepada
korban konflik. Dalam wawancara dengan Tosan, ia mengungkapkan bahwa setelah
menandatangani perjanjian penyelesaian konflik yang berisi berbagai janji dari
pemerintah, banyak dari janji tersebut yang dilanggar atau tidak diikuti dengan
tindakan konkret.
Selain
itu, kebijakan pasca-konflik yang tidak efektif ini telah menciptakan ekses
berupa ketidakstabilan sosial yang lebih besar. Ketika masyarakat tidak
mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk pulih dari trauma dan kerugian
yang mereka alami, hal ini menciptakan ketidakstabilan sosial yang lebih besar.
Mayarakat yang merasa tidak didukung oleh pemerintah cenderung menjadi lebih
rentan terhadap manipulasi oleh aktor-aktor yang berkepentingan, yang dapat
memicu ketegangan sosial yang lebih besar di masa depan.
Potensi
konflik di masa depan juga diperburuk oleh ketidakpercayaan yang mendalam
terhadap pemerintah. Ketika masyarakat merasa bahwa pemerintah tidak bisa atau
tidak mau melindungi kepentingan mereka, mereka cenderung mencari cara lain
untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini bisa berarti munculnya gerakan
perlawanan baru atau eskalasi kekerasan sebagai bentuk frustrasi terhadap
ketidakadilan yang terus berlanjut.
Secara
keseluruhan, dampak kebijakan "Illiberal Peacebuilding" terhadap
masyarakat lokal di Lumajang sangat signifikan dan kompleks. Kebijakan yang
lebih berfokus pada stabilitas dan kontrol daripada pada keadilan sosial dan
inklusivitas telah menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketidakpercayaan,
trauma, dan potensi konflik baru. Meskipun mungkin efektif dalam meredam
ketegangan jangka pendek, pendekatan ini memiliki kelemahan serius dalam
menciptakan perdamaian yang berkelanjutan dan adil.
Kesimpulan
Penelitian ini mengungkapkan bahwa pendekatan "Illiberal
Peacebuilding" yang diterapkan oleh pemerintah daerah Lumajang dalam
menangani konflik tambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-Awar menunjukkan
kelemahan mendasar dalam penyelesaian konflik yang berkelanjutan. Pendekatan
ini, yang lebih mengutamakan stabilitas jangka pendek melalui metode
otoritarian dan represif, mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi, hak
asasi manusia, dan partisipasi masyarakat. Akibatnya, meskipun konflik mungkin
mereda secara temporer, akar permasalahan seperti ketidakadilan ekonomi,
eksploitasi sumber daya alam, dan pelanggaran hak-hak masyarakat lokal tetap
tidak terselesaikan.
Kekerasan dan intimidasi yang digunakan sebagai alat untuk menjaga
ketertiban bukan hanya menciptakan trauma mendalam bagi korban dan masyarakat,
tetapi juga memperkuat struktur kekuasaan yang tidak demokratis. Lebih jauh
lagi, janji-janji pemulihan pascakonflik yang tidak terpenuhi semakin
memperparah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menciptakan
potensi ketegangan dan konflik baru di masa depan. Pendekatan ini mencerminkan
pola yang lebih luas di Indonesia, di mana pemerintah sering kali menggunakan
metode illiberal dalam mengelola konflik, terutama di wilayah yang kaya akan
sumber daya alam. Praktik ini bukan hanya berisiko memperpanjang
ketidakstabilan, tetapi juga menghalangi tercapainya perdamaian yang adil dan
berkelanjutan. Penelitian ini menekankan pentingnya evaluasi ulang terhadap
strategi manajemen konflik yang saat ini digunakan, khususnya dalam konteks
negara yang sedang berusaha mempertahankan stabilitas dalam situasi
pasca-otoritarian.
BIBLIOGRAFI
Christanto, R. (2016). Walhi:
Banyak Kejanggalan dalam Penyelesaian Kasus Salim Kancil.
https://news.republika.co.id/berita/oe47q4408/wil. Republika.
Diprose, R., & Azca, M. N.
(2020). Conflict management in Indonesia’s post-authoritarian democracy:
resource contestation, power dynamics and brokerage. Conflict, Security and
Development, 20(1). https://doi.org/10.1080/14678802.2019.1705074
Hadiz, V. R. (2004).
Decentralization and democracy in Indonesia: A critique of
neo-institutionalist perspectives. Development and Change, 35(4).
https://doi.org/10.1111/j.0012-155X.2004.00376.x
Heathershaw, J., & Owen, C.
(2019). Authoritarian conflict management in post-colonial Eurasia. Conflict,
Security and Development, 19(3).
https://doi.org/10.1080/14678802.2019.1608022
Istiawan, H. (2015). Pemkab
Lumajang tanggung biaya sekolah anak Salim Kancil dan Tosan. SINDOnews.
Khairul, I. (2015). Pemulihan
Trauma Istri dan Anak Salim Kancil serta Keluarga Para Tersangka.
Kompasiana.
Lewis, D., Heathershaw, J., &
Megoran, N. (2018). Illiberal peace? Authoritarian modes of conflict
management. Cooperation and Conflict, 53(4).
https://doi.org/10.1177/0010836718765902
Richmond, O. P. (2009). A
post-liberal peace: Eirenism and the everyday. Review of International
Studies, 35(3). https://doi.org/10.1017/S0260210509008651
Sintaresmi, P., Muchsin, S., &
Ahmadi, R. (2022). Implementasi Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Penanganan Konflik Sosial. Jurnal Academia Praja, 5(1).
https://doi.org/10.36859/jap.v5i1.889
Smith, C. Q. (2014). Illiberal
peace-building in hybrid political orders: managing violence during
Indonesia’s contested political transition. Third World Quarterly, 35(8).
https://doi.org/10.1080/01436597.2014.946277
Smith, C. Q., Waldorf, L.,
Venugopal, R., & McCarthy, G. (2020). Illiberal peace-building in Asia: a
comparative overview. In Conflict, Security and Development. 20(1).
https://doi.org/10.1080/14678802.2019.1705066
Susilawati, S., Yusuf, R., &
Rachman, A. (2024). Indonesia’s Free and Active Foreign Policy is the Basis
for Realizing World Peace. Indonesian Journal of Interdisciplinary Research
in Science and Technology, 2(3), 309–318.
Thoriq. (2024). Wawancara
dengan Thoriq, Bupati Lumajang.
Tijah. (2024). Wawancara
dengan Bu Tijah, istri Salim Kancil.
Tosan. (2024). Wawancara dengan
Tosan, aktivis lingkungan.
Copyright
holder: Deraldo Prasetya, Adhi
Cahya Fahadayna (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This
article is licensed under: |