Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

IDENTIFIKASI ILLIBERAL PEACEBUILDING DALAM MANAJEMEN KONFLIK LINGKUNGAN: KASUS TAMBANG PASIR BESI DI LUMAJANG

 

Deraldo Prasetya1, Adhi Cahya Fahadayna2

Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Penelitian ini menganalisis pendekatan "Illiberal Peacebuilding" yang diterapkan oleh pemerintah daerah Lumajang dalam menangani konflik tambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Jawa Timur. Pendekatan ini lebih berfokus pada stabilitas jangka pendek dengan menggunakan metode otoritarian dan represif, yang sering kali mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan partisipasi masyarakat. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan analisis dokumen, penelitian ini menemukan bahwa meskipun konflik dapat diredam sementara, akar masalah seperti ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam tetap tidak terselesaikan. Dampaknya adalah munculnya trauma mendalam, ketidakpercayaan terhadap pemerintah, dan potensi konflik baru di masa depan. Penelitian ini menekankan perlunya strategi yang lebih inklusif dan berkelanjutan untuk mengelola konflik dan memastikan pemulihan yang adil bagi masyarakat yang terdampak.

Kata Kunci: Konflik Lingkungan, Illiberal Peacebuilding, Manajemen Konflik

 

Abstrak

       This study analyzes the "Illiberal Peacebuilding" approach employed by the local government of Lumajang in addressing the illegal iron sand mining conflict in Selok Awar-Awar Village, East Java. This approach prioritizes short-term stability through authoritarian and repressive methods, often neglecting the principles of democracy, human rights, and community participation. Utilizing a qualitative approach with in-depth interviews and document analysis, the study finds that while the conflict may be temporarily subdued, the root issues such as economic injustice and resource exploitation remain unresolved. The consequences include deep-seated trauma, distrust toward the government, and the potential for future conflicts. The study emphasizes the need for more inclusive and sustainable strategies to manage conflicts and ensure fair recovery for the affected communities.

Keywords: Environmental Conflict, Illiberal Peacebuilding, Conflict Management

 

Pendahuluan

"Di tanah kami, nyawa tak semahal tambang." Kalimat ini menggambarkan dengan tepat kondisi yang terjadi dalam kasus tragis di Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pada tahun 2015, desa ini menjadi pusat perhatian nasional dan internasional setelah pembunuhan brutal Salim Kancil, seorang petani sekaligus aktivis lingkungan, yang dengan berani menentang tambang pasir besi ilegal di desanya. Peristiwa ini ini mengungkapkan bagaimana kekuasaan lokal dapat dimanfaatkan untuk menekan perlawanan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, serta menunjukkan bagaimana pemerintah sering kali gagal dalam melindungi hak-hak warganya.

Pembunuhan Salim Kancil dan berbagai bentuk kekerasan yang menyertainya tidak hanya menyoroti konflik lokal tetapi juga mengungkapkan dinamika kekuasaan yang lebih luas, di mana aktor-aktor negara dan non-negara berkolaborasi dalam memanfaatkan sumber daya alam demi kepentingan ekonomi mereka sendiri. Kekerasan yang digunakan untuk mempertahankan status quo ini adalah cerminan dari pendekatan "Illiberal Peacebuilding," di mana pemerintah dan aktor lokal menggunakan metode represif untuk menciptakan "perdamaian" yang sebenarnya penuh dengan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam situasi semacam ini, pemerintah sering kali lebih fokus pada menjaga ketertiban melalui cara-cara yang otoritarian yang juga mencerminkan konsep illiberal peacebuilding daripada mengatasi akar penyebab konflik, seperti mengakomodir suara masyarakat dan kebutuhan pasca-konflik para korban.

Konsep illiberal peacebuilding sendiri berangkat dari kritik terhadap liberal peace yang pertama kali dikemukakan oleh Oliver Richmond dalam bukunya yang berjudul yang berjudul "A Post-Liberal Peace”. Richmond mengkritik model peacebuilding liberal yang dominan dan mengeksplorasi bagaimana praktik-praktik illiberal sering muncul dalam proses pembangunan perdamaian di berbagai konteks pasca-konflik. Di dalam bukunya, Richmond membahas bagaimana pendekatan yang disebut "liberal peace" sering gagal diimplementasikan secara efektif dan malah menghasilkan bentuk-bentuk perdamaian yang otoriter atau "illiberal," di mana hak-hak dan keadilan sering kali diabaikan (Richmond, 2009).

Melanjutkan kritik ini, Claire Smith, seorang akademisi dari University of York, memainkan peran penting dalam pengembangan konsep illiberal peacebuilding. Smith memperluas dan memperdalam pemahaman mengenai bagaimana praktik-praktik illiberal peacebuilding dapat muncul dalam berbagai konteks, termasuk di negara-negara pasca-konflik atau pasca-otoritarian. Smith menunjukkan bahwa dalam konteks tersebut, pemerintah dan aktor-aktor lokal sering kali menggunakan pendekatan represif untuk mengelola konflik, dengan fokus pada stabilitas di atas keadilan atau partisipasi public (Smith, 2014). Pendekatan ini, meskipun dapat meredam konflik dalam jangka pendek, sering kali menciptakan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya dapat memperburuk ketegangan dan memicu konflik baru di masa depan.

Dalam banyak kasus, illiberal peacebuilding muncul di negara-negara pasca-konflik atau pasca-otoritarian, di mana pemerintah dan aktor lokal lainnya menggunakan cara-cara represif untuk mengelola konflik dan mencapai "perdamaian" yang sebenarnya penuh dengan ketidakadilan (Susilawati et al., 2024). Pendekatan ini, meskipun dapat meredam konflik dalam jangka pendek, sering kali menciptakan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya dapat memperburuk ketegangan dan memicu konflik baru di masa depan (Heathershaw & Owen, 2019).

Dalam konteks Indonesia, praktik illiberal peacebuilding bukanlah fenomena baru. Sejak era Orde Baru hingga masa reformasi, berbagai bentuk kontrol otoritarian telah digunakan oleh pemerintah untuk meredam protes dan mengelola konflik, terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam. Hadiz (2004) menunjukkan bahwa institusi-institusi demokrasi di daerah seringkali "dibajak" oleh kepentingan-kepentingan predatoris yang berakar dari era Orde Baru, sehingga mereka tetap beroperasi untuk keuntungan ekonomi pribadi atau kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan publik yang lebih luas. Kasus Lumajang adalah contoh yang jelas dari bagaimana kekuatan-kekuatan lokal yang telah “terbajak”, mendukung operasi tambang ilegal berulang kali dengan menggunakan kekerasan untuk membungkam aktivis dan warga yang menentang eksploitasi sumber daya alam. Kekerasan ini tidak hanya dilakukan oleh aktor-aktor non-negara, tetapi juga sering kali didukung atau dibiarkan oleh aparat pemerintah, yang lebih memilih untuk menjaga stabilitas daripada menegakkan hukum dan keadilan.

Najib Azca dan Rachael Diprose mencatat dalam kajian mereka tentang manajemen konflik di Indonesia bahwa konflik sumber daya di tingkat sub-nasional sering kali dipicu oleh perebutan akses dan kontrol atas sumber daya alam yang melibatkan kepentingan politik dan ekonomi yang kuat. Mereka menunjukkan bahwa konflik ini sering kali dikelola melalui kombinasi praktik-praktik liberal dan illiberal, yang mana elit politik dan ekonomi menggunakan berbagai strategi untuk mempertahankan kendali mereka atas sumber daya dan kekuasaan. Praktik-praktik ini mencerminkan bentuk illiberal peacebuilding dan authoritarian conflict management di mana stabilitas politik lokal dipertahankan dengan cara-cara yang tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial (Diprose & Azca, 2020).

Lewis et al. (2018) dalam penelitiannya tentang mode-mode otoritarian dalam manajemen konflik menunjukkan bahwa pemerintah yang lebih berfokus pada stabilitas sering kali menggunakan pendekatan yang tidak liberal dalam menjaga ketertiban, dengan mengesampingkan aspek partisipasi masyarakat dan hak-hak individu. Pendekatan semacam ini, meskipun efektif dalam mengurangi intensitas konflik dalam jangka pendek, memiliki risiko jangka panjang karena menciptakan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat. Dalam banyak kasus, praktik-praktik illiberal peacebuilding ini ditandai dengan penggunaan kekerasan, intimidasi, dan kontrol yang ketat terhadap masyarakat sipil, yang pada akhirnya menegaskan kembali struktur kekuasaan yang tidak demokratis.

Smith (2014) menjelaskan bahwa illiberal peacebuilding sering kali digunakan oleh pemerintah yang lebih tertarik untuk mempertahankan stabilitas daripada mempromosikan nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks Lumajang, pemerintah tampaknya lebih tertarik untuk menghindari konflik terbuka daripada menyelesaikan masalah yang mendasari konflik, seperti ketidakadilan sosial dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Pemerintah daerah Lumajang, dalam upayanya untuk meredam ketegangan, menerapkan pendekatan yang berfokus pada penggunaan kekerasan dan intimidasi sebagai alat utama untuk mengendalikan protes dan menjaga ketertiban. Namun, strategi ini memiliki kelemahan yang signifikan. Meskipun mungkin efektif dalam jangka pendek untuk meredam protes, penggunaan kekerasan dan intimidasi sering kali menciptakan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat. Ketidakpuasan ini sering kali menciptakan ketegangan sosial yang mendalam, yang dapat memicu konflik baru di masa depan.

Selain itu, kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan pasca-konflik yang efektif dan inklusif menunjukkan bahwa pendekatan illiberal peacebuilding sering kali tidak mampu menciptakan perdamaian yang berkelanjutan (Smith et al., 2020). Misalnya, janji-janji pemerintah untuk memberikan bantuan kepada korban, seperti menanggung biaya pendidikan anak-anak korban konflik, sering kali tidak terealisasi (Tosan, 2024). Ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi janji-janji ini menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan masyarakat, yang merasa bahwa mereka telah dikhianati oleh pemerintah yang seharusnya melindungi mereka. Hal ini menciptakan potensi konflik baru di masa depan, terutama jika masyarakat merasa bahwa mereka tidak memiliki saluran untuk menyuarakan kekhawatiran mereka atau untuk mencari keadilan.

Dalam konteks teoritis, penelitian ini berkontribusi pada pemahaman tentang illiberal peacebuilding dalam konteks Indonesia, di mana pendekatan ini sering kali digunakan untuk mempertahankan stabilitas politik dengan cara-cara yang tidak demokratis. Studi ini menunjukkan bahwa meskipun pendekatan ini efektif dalam meredam konflik dalam jangka pendek, ia memiliki kelemahan serius dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif diperlukan untuk memastikan bahwa konflik seperti yang terjadi di Lumajang tidak berulang dan bahwa masyarakat memiliki kepercayaan terhadap pemerintah mereka.

Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pemerintah daerah Lumajang menerapkan strategi illiberal peacebuilding dalam mengelola konflik tambang pasir besi ilegal, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal. Dengan memanfaatkan kajian literatur, analisis data sekunder dari laporan media dan jurnal, serta wawancara dengan para pengambil kebijakan, aktivis, dan warga lokal, penelitian ini berusaha untuk mengidentifikasi karakteristik utama dari pendekatan ini, termasuk kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan yang memadai kepada warganya, serta bagaimana kebijakan pasca-konflik yang diterapkan tidak hanya gagal memenuhi kebutuhan korban, tetapi juga menciptakan ekses-ekses yang memperburuk situasi sosial di daerah tersebut.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan fokus pada wawancara mendalam dan analisis dokumen untuk mengungkap dinamika konflik tambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang. Wawancara dilakukan dengan para pemangku kepentingan utama, termasuk aktivis lingkungan, pejabat pemerintah daerah, penegak hukum, dan masyarakat lokal yang terdampak. Tujuannya adalah untuk menggali perspektif mereka tentang peran pemerintah dan kekuatan lokal dalam mengelola konflik, serta memahami bagaimana praktik-praktik kekerasan dan intimidasi digunakan untuk mempertahankan status quo. Wawancara ini memberikan wawasan yang mendalam tentang pengalaman langsung para korban, serta upaya perlawanan mereka terhadap eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.

Selain wawancara, penelitian ini juga menggunakan analisis dokumen sebagai metode pendukung. Dokumen yang dianalisis meliputi laporan media, kebijakan pemerintah terkait sumber daya alam, serta catatan pengadilan dan kajian akademis yang relevan. Analisis dokumen ini memungkinkan penelitian untuk mengidentifikasi pola-pola kekerasan yang muncul, serta mengevaluasi sejauh mana kebijakan pasca-konflik dan hukum yang ada diterapkan dalam menangani permasalahan di lapangan. Kombinasi wawancara mendalam dan analisis dokumen membantu menggambarkan secara komprehensif bagaimana konflik ini dikelola, serta mengungkapkan akar permasalahan yang belum terselesaikan, seperti ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam.

 

Hasil dan Pembahasan

Konflik Tambang Pasir Besi Ilegal di Lumajang (2015)

Konflik tambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, merupakan contoh nyata bagaimana eksploitasi sumber daya alam dapat memicu ketegangan sosial dan kekerasan yang berkepanjangan. Konflik ini telah menjadi sorotan media dan publik sejak pembunuhan brutal terhadap Salim Kancil pada tahun 2015, yang mengungkapkan kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya serta bagaimana kekuasaan lokal digunakan untuk menekan perlawanan terhadap eksploitasi yang merusak.

 

1.   Awal Konflik dan Pembunuhan Salim Kancil

Konflik tambang pasir besi di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, bermula dari kebijakan pemerintah desa untuk mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi kawasan wisata. Rencana ini, yang semula diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, ternyata menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Pada Juli 2015, beberapa warga desa, termasuk Tosan dan Salim Kancil, mulai memperhatikan bahwa proyek tersebut tidak berjalan sesuai dengan yang dijanjikan. Awalnya, Salim Kancil, yang saat itu belum begitu mengenal Tosan, mendukung inisiatif tersebut karena mengira bahwa pembangunan ini akan memberikan manfaat besar bagi desa. Namun, pandangannya mulai berubah ketika melihat kenyataan di lapangan.

Dalam wawancara bersama Tosan, ia menjelaskan bahwa meskipun sebelumnya tidak mengenal Salim Kancil, mereka akhirnya bertemu ketika diskusi-diskusi terkait dampak lingkungan dari proyek tersebut mulai digelar. Tosan menggambarkan bagaimana dirinya bersama beberapa warga lain, termasuk Salim Kancil, mulai merasa ada yang tidak beres dengan proyek ini. Alih-alih menjadi kawasan wisata seperti yang dijanjikan, area tersebut justru digunakan sebagai tambang pasir besi yang beroperasi tanpa henti, menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Aktivitas penambangan ini tidak hanya merusak lahan pertanian, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem lokal dan kesejahteraan Masyarakat (Tosan, 2024).

Salim Kancil, yang awalnya mendukung proyek tersebut, mulai meragukan niat baik dari para pelaksana proyek ketika ia melihat semakin banyaknya truk yang hilir mudik membawa pasir dari tambang tersebut. Dalam wawancara bersama Bu Tijah, istri Salim Kancil, ia menceritakan bagaimana suaminya pada awalnya percaya bahwa proyek ini akan membawa kemakmuran bagi desa. Namun, ketika jumlah truk semakin bertambah dan lahan pertanian yang diandalkan oleh warga desa mulai hancur, Salim Kancil menjadi semakin gelisah. Ia menyadari bahwa proyek ini bukanlah untuk kepentingan masyarakat, melainkan untuk keuntungan segelintir pihak yang rela mengorbankan lingkungan demi keuntungan pribadi (Tijah, 2024).

Kondisi ini mendorong Salim Kancil untuk bersikap lebih kritis terhadap proyek tambang tersebut. Ia mulai menggalang dukungan dari warga lain untuk menentang kegiatan penambangan yang merusak ini. Tosan, yang kemudian ditunjuk sebagai pemimpin gerakan perlawanan warga, juga mulai aktif menyuarakan penolakan terhadap tambang pasir besi ini. Dalam wawancara, Tosan menjelaskan bagaimana tekanan mulai muncul dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan tambang tersebut. Pada Agustus 2015, ia didatangi oleh seseorang yang menawarkan uang sebesar 750 juta rupiah agar Tosan menghentikan upayanya untuk menutup tambang. Namun, dengan tegas ia menolak tawaran tersebut, menegaskan komitmennya untuk mempertahankan lingkungan desa dari eksploitasi yang merusak (Tosan, 2024).

Seiring dengan meningkatnya tekanan, Tosan dan warga yang menolak tambang mulai menghadapi ancaman yang lebih serius. Pada 9 September 2015, Tosan dipanggil ke kantor Kecamatan Pasirian untuk menghadiri pertemuan dengan sejumlah pejabat, termasuk Camat Pasirian, Kapolsek, dan Kepala Desa Selok Awar-Awar. Dalam wawancara, Tosan mengungkapkan bahwa pertemuan ini bukanlah untuk mencari solusi, melainkan untuk menekan dirinya agar tidak melanjutkan upaya penutupan tambang. Camat Pasirian secara langsung menantang Tosan dengan pertanyaan, "Pak Tosan, saya dengar katanya sampean ingin menutup tambang. Kapan?" Pertanyaan ini menunjukkan adanya tekanan dari pihak berwenang untuk menghentikan upaya perlawanan warga. Tosan, yang sudah bertekad untuk menutup tambang, dengan tegas menjawab bahwa ia akan melakukannya keesokan harinya (Tosan, 2024).

Ancaman semakin nyata ketika Kepala Desa Selok Awar-Awar berkata, "Kalau sampean berani nutup tambang besok, saya cium kaki sampean," yang kemudian diperkuat oleh ancaman dari salah satu utusan desa, "Kalau sampean memang berani nutup tambang, di rumah sampean ada tumpah darah besok." Ancaman-ancaman tersebut tidak menghentikan tekad Tosan dan warga lainnya. Pada 10 September 2015, kelompok warga yang dipimpin oleh Tosan mulai melakukan aksi penutupan tambang. Namun, aksi ini tidak berjalan mulus. Tosan menceritakan bahwa ia dan beberapa warga lainnya diserang oleh sekelompok orang yang tidak setuju dengan upaya penutupan tambang. Serangan ini melibatkan sekitar 30 orang dan meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, ancaman kekerasan semakin terasa nyata (Tosan, 2024).

Situasi memuncak pada 26 September 2015, ketika Salim Kancil dibunuh secara brutal oleh sekelompok orang yang tidak terima dengan upayanya menutup tambang. Dalam wawancara bersama Bu Tijah, ia mengungkapkan dengan penuh emosional bahwa suaminya disiksa secara sadis dengan menggunakan kayu, bambu, dan batu hingga meninggal dunia. Bu Tijah menceritakan bagaimana Salim Kancil pada pagi hari tersebut berada di rumahnya dengan anak-anaknya, namun tidak lama kemudian setelah pagi tiba sekitar jam 07.30, ia diculik dan dibawa ke sebuah lokasi di mana ia disiksa hingga tewas. Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi keluarga dan masyarakat yang berjuang melawan ketidakadilan (Tijah, 2024).

Pembunuhan Salim Kancil menjadi simbol dari resistensi masyarakat terhadap eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Tragedi ini mengungkapkan betapa berbahayanya perjuangan warga dalam mempertahankan hak atas lingkungan yang sehat dan aman, serta bagaimana kekerasan digunakan sebagai alat untuk meredam perlawanan. Kasus ini juga mencerminkan kelemahan dalam sistem perlindungan hukum dan sosial di Indonesia, di mana upaya masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan sering kali diabaikan atau bahkan ditindas oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.

Dalam analisis lebih lanjut, kasus ini menunjukkan bagaimana dinamika kekuasaan lokal dapat berperan dalam memperburuk konflik lingkungan. Pemerintah daerah, yang seharusnya melindungi kepentingan warga, justru terlibat dalam praktik-praktik yang mendukung eksploitasi sumber daya alam dengan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Tindakan represif terhadap warga yang menentang tambang mencerminkan adanya praktik "illiberal peacebuilding," di mana pemerintah lebih memilih menggunakan kekuatan untuk memaksakan ketertiban daripada mengedepankan dialog yang inklusif dan solusi yang berkelanjutan (Smith, 2014).

 

2.   Respons Pemerintah dan Implementasi Kebijakan

Setelah pembunuhan Salim Kancil, pemerintah daerah Lumajang mencoba meredam ketegangan dengan menutup beberapa tambang pasir ilegal. Namun, upaya ini sering kali tampak tidak konsisten dan lebih bersifat simbolis, bertujuan untuk menenangkan kemarahan publik daripada menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Tosan, seorang aktivis lokal yang menjadi korban kekerasan, mengungkapkan dalam wawancara bahwa meskipun tambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-Awar telah ditutup, aktivitas tambang ilegal di wilayah lain di Kabupaten Lumajang dilaporkan masih terus berlangsung (Tosan, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pemerintah tidak sepenuhnya efektif dalam mengatasi masalah yang ada.

Pendapat Tosan ini sejalan dengan bukti dari laporan terbaru yang menunjukkan bahwa penambangan pasir ilegal kembali terjadi di pesisir Pantai Bambang, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Menurut laporan Kompas.com (5 April 2024), aktivitas penambangan ilegal ini telah berlangsung selama setahun terakhir dan dilakukan secara rahasia, terutama pada malam hari, untuk menghindari perhatian publik. Meskipun ada upaya penutupan dari pihak kepolisian setelah video aktivitas penambangan viral di media sosial, fakta bahwa tambang ini dapat beroperasi kembali menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan kontrol oleh pemerintah daerah.

Lebih jauh lagi, laporan dari Redaksi (13 Mei 2024) mengungkapkan bahwa beberapa tambang pasir ilegal di Lumajang diduga dimiliki oleh oknum aparat, yang membuat operasi mereka sulit dihentikan. Warga mengeluhkan bahwa penambangan ilegal ini merusak lingkungan dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, sementara pemerintah tampak lamban dalam merespons kecuali setelah masalah ini menjadi viral di media sosial. Fakta bahwa penutupan tambang sering kali terjadi hanya setelah adanya tekanan publik menunjukkan bahwa respons pemerintah lebih reaktif daripada proaktif, dan adanya dugaan keterlibatan aparat dalam kegiatan ilegal ini semakin merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Tosan juga menceritakan bahwa setelah ia pulih dari perawatan intensif akibat kekerasan yang dialaminya, dirinya diundang untuk menghadiri pertemuan di Pendopo Kabupaten Lumajang pada tanggal 6 November 2015. Pertemuan ini dihadiri oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Bupati Lumajang, dan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Jawa Timur. Dalam pertemuan tersebut, Tosan diminta untuk menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan bahwa "pasir Lumajang jangan sampai keluar dari kawasan Lumajang, hanya untuk mencukupi kebutuhan lokal dan selebihnya dapat diolah menjadi barang jadi seperti paving, beton, batako, dan tiang listrik." Selain itu, disepakati bahwa pasir hanya boleh diambil dari empat titik: aliran Sungai Bagu, Dukosari, PasruJampe, dan Pronojiwo, serta harus dilakukan secara manual tanpa menggunakan alat berat (Tosan, 2024).

Namun, kekecewaan Tosan muncul ketika dua bulan setelah pertemuan tersebut, alat-alat berat mulai digunakan di lokasi-lokasi tersebut, yang menunjukkan ketidakpatuhan terhadap kesepakatan yang telah dibuat. "Ya, berarti kan apa? Enggak sesuai dengan apa yang pernyataan saat itu. Sampai sekarang alat-alat berat kan banyak," ujarnya dengan nada kecewa (Tosan, 2024). Hal ini mencerminkan ketidakonsistenan dalam implementasi kebijakan pemerintah, di mana tindakan yang seharusnya bertujuan untuk meredam ketegangan dan menjaga lingkungan, ternyata tidak dilaksanakan dengan komitmen yang kuat.

Dalam wawancara, Bupati Lumajang periode 2018-2023, Thoriqul Haq, menegaskan bahwa sejak awal masa jabatannya, ia memilih untuk tidak mengizinkan adanya pertambangan pasir besi di Lumajang, terutama karena wilayah tersebut berada di pesisir pantai selatan yang rentan terhadap kerusakan lingkungan. Ia menyatakan, "Saya sudah sampaikan bahwa saya tidak akan berkebijakan untuk membuka izin pertambangan pasir besi" (Thoriq, 2024). Meskipun kebijakan ini terdengar tegas dan bertujuan untuk mencegah konflik serta melindungi lingkungan, pendekatan yang digunakan cenderung otoriter dan bersifat top-down. Keputusan ini diambil tanpa adanya partisipasi yang luas dari masyarakat atau diskusi demokratis, yang menunjukkan pengabaian terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi masyarakat yang lebih luas.

Thoriq juga menjelaskan bahwa kebijakan yang berpihak, seperti penutupan tambang pasir besi, adalah langkah untuk meredam potensi konflik. "Keberpihakan dalam kebijakan adalah cara untuk memastikan bahwa lingkungan sosial tetap stabil," ujarnya, (Thoriq, 2024) mencerminkan pendekatan Illiberal Peacebuilding, di mana pemerintah lebih berfokus pada stabilitas dan kontrol melalui kebijakan yang tegas dan otoriter, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan sosial masyarakat. Retorika yang disampaikan oleh Bupati Thoriqul Haq sering kali tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Meskipun ia mengklaim bahwa kebijakan yang diambil berpihak pada lingkungan dan masyarakat, kenyataannya masih ada konflik dan masalah yang terus muncul akibat aktivitas tambang pasir. Dalam wawancara ini, terungkap bahwa meskipun niat untuk menjaga stabilitas dan melindungi lingkungan ada, pendekatan yang digunakan oleh Bupati Thoriqul Haq cenderung otoriter dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara penuh, mengutamakan kontrol dan stabilitas jangka pendek tanpa mempertimbangkan solusi jangka panjang yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Respons yang diambil oleh pemerintah ini merupakan ciri khas dari pendekatan "Illiberal Peacebuilding." Dalam konteks ini, pemerintah sering kali mengadopsi langkah-langkah simbolis untuk meredam ketegangan tanpa melakukan perubahan substansial dalam dinamika kekuasaan lokal. Illiberal peacebuilding sering kali menggunakan kontrol otoritarian sebagai alat untuk menjaga stabilitas, sementara akar masalah seperti ketidakadilan sosial dan eksploitasi sumber daya tidak ditangani dengan menyelutuh (Richmond, 2009).

Respons pemerintah terhadap konflik ini juga mengungkapkan bahwa kebijakan yang diambil sering kali tidak konsisten dan kurang memiliki visi jangka panjang. "Mereka hanya bertindak ketika sudah ada protes besar-besaran, tapi setelah itu, mereka kembali membiarkan tambang berjalan seperti biasa," ujar Tosan (Tosan, 2024). Ketidakmampuan pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang konsisten menciptakan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat, yang merasa bahwa mereka tidak dapat mengandalkan pemerintah untuk melindungi hak-hak mereka. Hal ini menggambarkan kecenderungan pemerintah untuk memaksakan penyelesaian konflik, meskipun pada kenyataannya masalah tersebut belum benar-benar selesai, yang merupakan karakteristik utama dari illiberal peacebuilding.

Keseluruhan respons pemerintah ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meredam konflik, langkah-langkah yang diambil sering kali bersifat reaktif dan tidak menanggapi akar permasalahan yang ada. Hal ini tidak hanya memperburuk ketegangan sosial di masyarakat, tetapi juga menegaskan bahwa pemerintah daerah belum memiliki pendekatan yang efektif dan adil dalam menangani konflik terkait sumber daya alam di wilayah mereka. Pendekatan yang lebih holistik dan berfokus pada keadilan sosial serta transparansi diperlukan untuk mencegah terjadinya kembali kekerasan dan untuk memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

 

Peran Pemerintah dalam Konflik Tambang Pasir Besi Ilegal di Lumajang

Pendekatan pemerintah dalam menangani konflik tambang pasir besi ilegal di Lumajang mencerminkan praktik "Illiberal Peacebuilding," di mana stabilitas diprioritaskan di atas nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Pemerintah daerah menggunakan berbagai strategi untuk meredam konflik, yang sering kali melibatkan tindakan repressif dan intimidasi terhadap warga yang menentang tambang ilegal. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana pemerintah menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan stabilitas dengan cara-cara yang sering kali tidak demokratis.

 

1.   Strategi Pengendalian Konflik

Pendekatan pemerintah dalam mengelola konflik tambang pasir besi di Lumajang dapat dilihat sebagai bagian dari strategi pengendalian konflik yang otoritarian. Berdasarkan wawancara dengan pejabat pemerintah dan aktivis, terungkap bahwa pemerintah sering kali menggunakan kekuatan negara untuk menekan protes dan meredam ketegangan. Aktivis yang menentang tambang ilegal sering kali dihadapkan pada intimidasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bertujuan untuk mengurangi perlawanan mereka.

Dalam wawancaranya, Tosan menjelaskan, "Saya dipukuli, ditendang, dicelurit, dicangkul, dilindas motor hingga hampir mati." Kesaksiannya ini menunjukkan betapa kejamnya kekerasan yang digunakan untuk menekan perlawanan terhadap tambang ilegal. Tosan juga mengungkapkan bahwa perlawanan terhadap tambang pasir telah berlangsung lama sebelum pembunuhan Salim Kancil terjadi. Pada bulan Agustus 2015, tepatnya tanggal 24, Tosan didatangi oleh seseorang yang membawa uang sebesar 750 juta rupiah. Orang tersebut menawarkan uang tersebut kepada Tosan dengan satu syarat: Ia tidak boleh menutup tambang. Dengan tegas, Tosan menolak tawaran tersebut, menegaskan komitmennya untuk melindungi lingkungan dan kepentingan Masyarakat (Tosan, 2024).

Namun, penolakan ini membawa konsekuensi yang serius. Tidak lama setelahnya, pada hari Selasa, tanggal 8 September 2015, Tosan menerima surat panggilan mendadak untuk datang ke Kecamatan Pasirian. Saat tiba di kecamatan, seorang utusan kepala desa Selok Awar-Awar memberikan ancaman serius, "Kalau Anda memang berani nutup tambang, di rumah Sampean ada tumpah darah besok." Ancaman ini menunjukkan betapa terorganisirnya upaya untuk menekan perlawanan, menggunakan intimidasi langsung terhadap aktivis yang berani menentang kepentingan ekonomi yang besar di balik tambang ilegal ini (Tosan, 2024).

Strategi ini bukan hanya tentang meredam perlawanan secara fisik, tetapi juga menciptakan ketakutan yang meluas di antara masyarakat. Ketika ancaman ini terealisasi dengan kekerasan brutal yang dialami oleh Tosan dan pembunuhan Salim Kancil, pesan yang ingin disampaikan jelas: setiap upaya untuk menentang tambang akan dihadapi dengan kekerasan yang ekstrem. Pendekatan otoritarian ini menciptakan atmosfer ketakutan dan ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan masyarakat, yang merasa bahwa mereka tidak dapat mengandalkan perlindungan dari pemerintah, tetapi justru harus menghadapi intimidasi dari mereka yang memiliki kekuasaan.

Konflik tambang pasir besi di Lumajang ini memperlihatkan berbagai taktik untuk meredam protes, termasuk penangkapan aktivis, intimidasi terhadap keluarga mereka, dan pembatasan kebebasan berkumpul. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih fokus pada menjaga stabilitas jangka pendek daripada memastikan bahwa konflik diselesaikan dengan cara yang adil dan transparan. Pemerintah Lumajang tampaknya lebih tertarik untuk menghindari konflik terbuka daripada menyelesaikan masalah yang mendasari konflik, seperti ketidakadilan sosial dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.

Namun, strategi ini memiliki kelemahan yang signifikan. Meskipun mungkin efektif dalam jangka pendek untuk meredam protes, penggunaan kekerasan dan intimidasi sering kali menciptakan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat. Banyak warga yang merasa bahwa pemerintah tidak benar-benar peduli dengan kesejahteraan mereka, tetapi hanya tertarik untuk mempertahankan kekuasaan. Pendekatan otoritarian ini juga menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi penyelesaian konflik yang damai dan berkelanjutan. Ketika pemerintah menggunakan kekerasan untuk meredam protes, hal ini sering kali menciptakan ketakutan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Warga yang sebelumnya mungkin bersedia untuk berdialog dan mencari solusi damai, menjadi semakin enggan untuk berpartisipati dalam proses yang mereka anggap tidak adil atau tidak transparan.

Strategi pengendalian konflik yang otoritarian ini pada akhirnya gagal untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Seperti yang disampaikan oleh Smith (2014), penggunaan metode represif dalam menangani konflik sering kali hanya memperburuk situasi dengan menciptakan ketidakpercayaan yang lebih mendalam dan ketidakstabilan jangka panjang. Pemerintah yang mengadopsi pendekatan seperti ini cenderung menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang merasa tidak diwakili dan diperlakukan dengan tidak adil.

 

2.   Kegagalan dalam Pemulihan Pasca-Konflik

Pendekatan pemerintah dalam mengelola konflik tambang pasir besi di Lumajang mencerminkan kegagalan dalam pemulihan pascakonflik yang efektif dan inklusif. Illiberal peacebuilding, yang diterapkan oleh pemerintah, tidak melewati proses peacebuilding pada umumnya yang melibatkan rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Sebaliknya, pemerintah lebih memilih untuk mempertahankan stabilitas dengan cara-cara yang mengabaikan keadilan serta kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan wawancara dengan Tosan, seorang aktivis lokal yang selamat dari serangan brutal terkait penolakannya terhadap tambang ilegal, terungkap bahwa bantuan yang dijanjikan oleh pemerintah setelah konflik ternyata tidak pernah terealisasi. Tosan menyampaikan dengan nada kecewa, "Mereka berjanji akan menanggung biaya sekolah anak-anak kami, tapi hingga kini, tidak ada bantuan yang benar-benar kami terima." Pernyataan ini menegaskan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani dampak jangka panjang dari konflik yang terjadi. Dalam wawancara lanjutan, Tosan menegaskan kekecewaannya terhadap janji-janji pemerintah yang tidak dipenuhi. Ketika ditanya mengenai klaim bahwa pemerintah telah menanggung biaya pendidikan anak-anak korban, Tosan dengan tegas menyatakan, "Nggak ada, nggak ada. Sampai sekarang nih, secara tertulis." Ia menjelaskan bahwa untuk membiayai hidupnya setelah kembali dari rumah sakit di Malang, ia terpaksa menjual tanah dua kali, tanah yang merupakan pemberian orang tuanya. "Jual pertama laku 470 juta, kurang masih, jual lagi. Untuk biaya hidup," ungkapnya. Meskipun biaya rumah sakit memang ditanggung oleh pemerintah, bantuan lain yang dijanjikan tidak pernah terwujud, dan Tosan harus mengorbankan aset pribadinya untuk bertahan hidup (Tosan, 2024).

Tosan juga menyoroti bahwa satu-satunya bantuan yang benar-benar ia terima hanyalah bedah rumah dan biaya rumah sakit. "Yang lain, saya masih mampu kok. Saya hanya perlu dibantu lewat bantuan turun benar-benar membenahi lingkungan, tutup tambang cukup," katanya. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa meskipun ada beberapa bentuk bantuan yang diberikan, pemerintah gagal memenuhi janji-janjinya secara menyeluruh dan konsisten. Kegagalan ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan pascakonflik yang dilakukan oleh pemerintah tidak dilakukan dengan niat yang tulus untuk memperbaiki kondisi masyarakat, melainkan hanya sebagai tindakan simbolis yang tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya (Tosan, 2024).

Keadaan ini juga dirasakan oleh Bu Tijah, istri mendiang Salim Kancil, yang menjadi korban langsung dari kekerasan terkait konflik tambang. Laporan dari Kompasiana (3 Oktober 2015) yang mengungkapkan bahwa istri Salim Kancil, Tijah, menjadi korban tekanan fisik dan mental setelah suaminya dibunuh. Tidak hanya mengalami trauma mendalam, Tijah juga dipaksa untuk membubuhkan cap jempol pada berbagai dokumen tanpa pemahaman yang jelas. Perlakuan ini menunjukkan kurangnya perlindungan terhadap korban konflik, terutama mereka yang rentan seperti Tijah yang buta huruf dan tidak memiliki pendamping hukum yang memadai. Tijah dan anaknya, Dio Eka Saputra, yang masih bersekolah, harus menghadapi tekanan dan ancaman, sementara dukungan dari pemerintah tidak kunjung datang (Khairul, 2015). Ketika ditanya apakah ia merasa bahwa konflik tersebut telah benar-benar selesai, Bu Tijah menjawab dengan perasaan campur aduk, "Ya kalau saya sih sudah selesai saja, tapi ya masih ganjal aja." Ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap hukuman yang ringan bagi para pelaku serta ketidakpedulian pemerintah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya setelah konflik. Meskipun awalnya pemerintah berjanji untuk menanggung biaya pendidikan anak-anaknya, Bu Tijah mengatakan, "Kalau itu tidak pernah terealisasi. Ya aku cari-cari (uang) sendiri, mulai saat itu ya cari sendiri" (Tijah, 2024).

Anak ketiga Tosan juga memberikan kesaksian tentang bagaimana masalah ini tampaknya "diselesaikan" oleh pemerintah tanpa menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Ia menyatakan bahwa masalah tambang pasir seolah-olah telah selesai, padahal kenyataannya, masalah tersebut belum selesai sepenuhnya. "Masalah tiba-tiba selesai begitu saja, padahal masih belum selesai sepenuhnya menurut saya," ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa janji pemerintah daerah Lumajang untuk menanggung biaya sekolah anak-anak Salim Kancil dan Tosan hingga kuliah adalah hoax yang tidak pernah terjadi dan tidak pernah terealisasikan.

Klaim yang disampaikan oleh Bupati Lumajang saat itu, Asad Malik, dalam pemberitaan yang diterbitkan oleh SINDOnews (4 Oktober 2015), bahwa Pemkab Lumajang akan menanggung biaya pendidikan anak-anak Salim Kancil dan Tosan, juga tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Dalam artikel tersebut, Bupati menyatakan bahwa keluarga korban tidak perlu memikirkan biaya pengobatan maupun pendidikan anak-anak mereka, karena semuanya telah dijamin oleh Pemkab Lumajang (Istiawan, 2015). Benar Pemkab Lumajang menanggung biaya rumah sakit Tosan, namun selebihnya, klaim untuk menanggung biaya pendidikan anak-anak korban tidak pernah terealisasikan (Tijah, 2024).

Kegagalan pemerintah dalam memenuhi janji-janji tersebut tidak hanya mencerminkan ketidakmampuan mereka dalam menindaklanjuti komitmen mereka, tetapi juga bertentangan dengan kewajiban hukum yang seharusnya mereka penuhi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melakukan upaya pemulihan pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa pemulihan pascakonflik harus mencakup rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Rekonsiliasi harus dilakukan melalui perundingan damai, pemberian restitusi, atau pemaafan. Sementara itu, rehabilitasi melibatkan pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta perbaikan lingkungan dan penguatan kebijakan publik. Rekonstruksi mencakup pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik, akses pendidikan, kesehatan, dan perbaikan sarana prasarana umum di daerah yang terdampak konflik (Sintaresmi et al., 2022). Namun, dalam kasus Lumajang, tampak jelas bahwa langkah-langkah ini belum sepenuhnya terlaksana.

Selain itu, laporan dari Republika (Oktober 2015) juga menyoroti berbagai kejanggalan dalam penyelesaian kasus Salim Kancil. Walhi Jawa Timur mencatat bahwa penanganan kasus ini jauh dari kata adil, dengan sidang yang berlarut-larut, saksi yang tidak kompeten, dan vonis yang tidak memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban. Kasus ini hanya dianggap sebagai tindak kriminal biasa, sehingga mata rantai mafia pertambangan dan kerusakan lingkungan tidak terungkap secara utuh (Christanto, 2016). Keadaan ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah menyatakan telah menegakkan keadilan, kenyataannya proses hukum dan pemulihan sosial-ekonomi pasca-konflik belum benar-benar memberikan rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat. Pendekatan "Illiberal Peacebuilding" yang diterapkan oleh pemerintah di Lumajang menunjukkan bahwa stabilitas yang dicapai bukanlah stabilitas yang berkelanjutan dan inklusif. Pemerintah lebih memilih untuk mempertahankan status quo dengan cara-cara yang mengesampingkan demokrasi daripada menyelesaikan konflik secara adil dan menyeluruh.

Kegagalan dalam pemulihan pascakonflik adalah salah satu ciri khas dari Illiberal Peacebuilding ini. Dalam banyak kasus, pemerintah yang otoritarian sering kali tidak memiliki komitmen yang kuat untuk memastikan bahwa pemulihan dilakukan dengan cara yang inklusif dan adil. Sebaliknya, mereka lebih tertarik untuk kembali ke status quo secepat mungkin, bahkan jika hal ini berarti mengabaikan kebutuhan korban dan masyarakat yang terkena dampak. Ini sangat relevan dengan situasi di Lumajang, di mana kegagalan pemerintah untuk memenuhi janji-janji mereka telah menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam di kalangan masyarakat, yang merasa bahwa mereka telah ditinggalkan oleh pemerintah yang seharusnya melindungi mereka.

Pengabaian terhadap pemulihan pascakonflik juga mengindikasikan bahwa pemerintah tidak benar-benar berkomitmen untuk menyelesaikan konflik secara tuntas. Sebaliknya, pemerintah tampaknya lebih tertarik untuk menjaga stabilitas jangka pendek dengan mengorbankan keadilan dan hak-hak masyarakat. Pendekatan semacam ini menciptakan siklus kekerasan yang sulit dipatahkan, di mana ketidakpuasan dan ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan masyarakat dapat memicu konflik baru di masa depan.

 

Dampak Illiberal Peacebuilding dan Pengelolaan Konflik

Dampak dari kebijakan "Illiberal Peacebuilding" yang diterapkan oleh pemerintah dalam mengelola konflik tambang pasir besi ilegal di Lumajang tidak hanya terasa selama konflik berlangsung, tetapi juga memiliki implikasi jangka panjang yang signifikan terhadap masyarakat lokal. Kebijakan yang lebih menekankan pada stabilitas melalui kontrol otoritarian ini sering kali mengorbankan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan dampak yang mendalam dan berkelanjutan pada mereka yang terkena dampak konflik.

 

 

1.   Trauma dan Ketidakadilan

Salah satu dampak paling signifikan dari kebijakan "Illiberal Peacebuilding" ini adalah trauma yang dialami oleh masyarakat lokal, terutama oleh keluarga korban seperti Tijah, istri Salim Kancil. Dalam wawancara, Tijah mengungkapkan betapa sulitnya hidupnya setelah kematian suaminya. Selain menghadapi tekanan ekonomi karena kehilangan satu-satunya pencari nafkah, Tijah juga harus berjuang dengan trauma yang mendalam akibat kekerasan yang terjadi di desanya. Trauma ini diperparah oleh ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan dukungan yang memadai, baik secara psikologis maupun finansial.

Dalam sebuah wawancara, Bupati Lumajang mengklaim bahwa kebijakan yang diambil pemerintah daerah selalu berpihak pada masyarakat. "Kami selalu berusaha dan berupaya untuk membuat kebijakan yang selalu berpihak kepada masyarakat, kebijakan kami dirancang untuk melindungi kepentingan mereka," tegas Bupati Lumajang. Namun, pernyataan ini bertentangan dengan pengalaman masyarakat dan aktivis setempat. Tosan, seorang aktivis yang terlibat langsung dalam konflik ini, memiliki pandangan yang berbeda. "Mereka mengatakan kebijakan itu berpihak pada masyarakat, tapi kenyataannya kami dibiarkan berjuang sendiri, bahkan saya hanya butuh peran pemerintah untuk menjaga lingkungan," ungkap Tosan dengan nada kecewa. Pernyataan ini mencerminkan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah yang dianggap tidak benar-benar peduli terhadap kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks "Illiberal Peacebuilding," trauma dan ketidakadilan sering kali diabaikan oleh pemerintah yang lebih peduli pada stabilitas jangka pendek. Pemerintah cenderung melihat pemulihan pasca-konflik sebagai hal yang sekunder dan kurang penting dibandingkan dengan upaya untuk mengendalikan situasi. Akibatnya, korban sering kali dibiarkan menghadapi trauma mereka sendiri, tanpa adanya dukungan yang memadai untuk membantu mereka pulih dan kembali ke kehidupan normal.

Trauma ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, tetapi juga pada ketahanan sosial masyarakat secara keseluruhan. Ketika banyak anggota masyarakat yang mengalami trauma dan merasa diabaikan oleh pemerintah, hal ini dapat menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap institusi negara. "Kami merasa tidak ada yang peduli dengan kami, hanya ada janji-janji yang tidak pernah ditepati," ujar seorang warga yang keluarganya menjadi korban konflik. Ketidakpercayaan ini pada gilirannya dapat memicu siklus kekerasan dan ketegangan sosial yang berkelanjutan, terutama jika masyarakat merasa bahwa mereka tidak memiliki saluran untuk menyuarakan kekhawatiran mereka atau untuk mencari keadilan.

Selain trauma, ketidakadilan juga menjadi masalah yang sangat serius di Lumajang. Banyak warga yang merasa bahwa mereka diperlakukan dengan tidak adil oleh pemerintah dan oleh sistem hukum. Mereka melihat bahwa sementara pelaku kekerasan mungkin dihukum, masalah yang mendasar, seperti eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dan ketidakadilan ekonomi, tetap tidak terselesaikan. Hal ini menciptakan perasaan ketidakberdayaan di kalangan masyarakat, yang merasa bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas nasib mereka sendiri.

 

2.   Potensi Konflik di Masa Depan dan Ekses Kebijakan Pasca-Konflik

Selain dampak langsung selama konflik, kebijakan pasca-konflik yang diterapkan pemerintah juga menunjukkan adanya praktik "Illiberal Peacebuilding" dengan ekses-ekses yang signifikan. Salah satu contoh paling mencolok adalah ketidakmampuan pemerintah dalam merealisasikan bantuan yang dijanjikan kepada korban konflik. Dalam wawancara dengan Tosan, ia mengungkapkan bahwa setelah menandatangani perjanjian penyelesaian konflik yang berisi berbagai janji dari pemerintah, banyak dari janji tersebut yang dilanggar atau tidak diikuti dengan tindakan konkret.

Selain itu, kebijakan pasca-konflik yang tidak efektif ini telah menciptakan ekses berupa ketidakstabilan sosial yang lebih besar. Ketika masyarakat tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk pulih dari trauma dan kerugian yang mereka alami, hal ini menciptakan ketidakstabilan sosial yang lebih besar. Mayarakat yang merasa tidak didukung oleh pemerintah cenderung menjadi lebih rentan terhadap manipulasi oleh aktor-aktor yang berkepentingan, yang dapat memicu ketegangan sosial yang lebih besar di masa depan.

Potensi konflik di masa depan juga diperburuk oleh ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah. Ketika masyarakat merasa bahwa pemerintah tidak bisa atau tidak mau melindungi kepentingan mereka, mereka cenderung mencari cara lain untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini bisa berarti munculnya gerakan perlawanan baru atau eskalasi kekerasan sebagai bentuk frustrasi terhadap ketidakadilan yang terus berlanjut.

Secara keseluruhan, dampak kebijakan "Illiberal Peacebuilding" terhadap masyarakat lokal di Lumajang sangat signifikan dan kompleks. Kebijakan yang lebih berfokus pada stabilitas dan kontrol daripada pada keadilan sosial dan inklusivitas telah menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketidakpercayaan, trauma, dan potensi konflik baru. Meskipun mungkin efektif dalam meredam ketegangan jangka pendek, pendekatan ini memiliki kelemahan serius dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan dan adil.

 

Kesimpulan

Penelitian ini mengungkapkan bahwa pendekatan "Illiberal Peacebuilding" yang diterapkan oleh pemerintah daerah Lumajang dalam menangani konflik tambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-Awar menunjukkan kelemahan mendasar dalam penyelesaian konflik yang berkelanjutan. Pendekatan ini, yang lebih mengutamakan stabilitas jangka pendek melalui metode otoritarian dan represif, mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi, hak asasi manusia, dan partisipasi masyarakat. Akibatnya, meskipun konflik mungkin mereda secara temporer, akar permasalahan seperti ketidakadilan ekonomi, eksploitasi sumber daya alam, dan pelanggaran hak-hak masyarakat lokal tetap tidak terselesaikan.

Kekerasan dan intimidasi yang digunakan sebagai alat untuk menjaga ketertiban bukan hanya menciptakan trauma mendalam bagi korban dan masyarakat, tetapi juga memperkuat struktur kekuasaan yang tidak demokratis. Lebih jauh lagi, janji-janji pemulihan pascakonflik yang tidak terpenuhi semakin memperparah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menciptakan potensi ketegangan dan konflik baru di masa depan. Pendekatan ini mencerminkan pola yang lebih luas di Indonesia, di mana pemerintah sering kali menggunakan metode illiberal dalam mengelola konflik, terutama di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Praktik ini bukan hanya berisiko memperpanjang ketidakstabilan, tetapi juga menghalangi tercapainya perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Penelitian ini menekankan pentingnya evaluasi ulang terhadap strategi manajemen konflik yang saat ini digunakan, khususnya dalam konteks negara yang sedang berusaha mempertahankan stabilitas dalam situasi pasca-otoritarian.

BIBLIOGRAFI

 

Christanto, R. (2016). Walhi: Banyak Kejanggalan dalam Penyelesaian Kasus Salim Kancil. https://news.republika.co.id/berita/oe47q4408/wil. Republika.

Diprose, R., & Azca, M. N. (2020). Conflict management in Indonesia’s post-authoritarian democracy: resource contestation, power dynamics and brokerage. Conflict, Security and Development, 20(1). https://doi.org/10.1080/14678802.2019.1705074

Hadiz, V. R. (2004). Decentralization and democracy in Indonesia: A critique of neo-institutionalist perspectives. Development and Change, 35(4). https://doi.org/10.1111/j.0012-155X.2004.00376.x

Heathershaw, J., & Owen, C. (2019). Authoritarian conflict management in post-colonial Eurasia. Conflict, Security and Development, 19(3). https://doi.org/10.1080/14678802.2019.1608022

Istiawan, H. (2015). Pemkab Lumajang tanggung biaya sekolah anak Salim Kancil dan Tosan. SINDOnews.

Khairul, I. (2015). Pemulihan Trauma Istri dan Anak Salim Kancil serta Keluarga Para Tersangka. Kompasiana.

Lewis, D., Heathershaw, J., & Megoran, N. (2018). Illiberal peace? Authoritarian modes of conflict management. Cooperation and Conflict, 53(4). https://doi.org/10.1177/0010836718765902

Richmond, O. P. (2009). A post-liberal peace: Eirenism and the everyday. Review of International Studies, 35(3). https://doi.org/10.1017/S0260210509008651

Sintaresmi, P., Muchsin, S., & Ahmadi, R. (2022). Implementasi Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial. Jurnal Academia Praja, 5(1). https://doi.org/10.36859/jap.v5i1.889

Smith, C. Q. (2014). Illiberal peace-building in hybrid political orders: managing violence during Indonesia’s contested political transition. Third World Quarterly, 35(8). https://doi.org/10.1080/01436597.2014.946277

Smith, C. Q., Waldorf, L., Venugopal, R., & McCarthy, G. (2020). Illiberal peace-building in Asia: a comparative overview. In Conflict, Security and Development. 20(1). https://doi.org/10.1080/14678802.2019.1705066

Susilawati, S., Yusuf, R., & Rachman, A. (2024). Indonesia’s Free and Active Foreign Policy is the Basis for Realizing World Peace. Indonesian Journal of Interdisciplinary Research in Science and Technology, 2(3), 309–318.

Thoriq. (2024).   Wawancara dengan Thoriq, Bupati Lumajang.

Tijah. (2024).   Wawancara dengan Bu Tijah, istri Salim Kancil.

Tosan. (2024). Wawancara dengan Tosan, aktivis lingkungan.

 

Copyright holder:

Deraldo Prasetya, Adhi Cahya Fahadayna (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: