���������� ����������������������������Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
� ����������������������������e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 6, Juni 2021
PERAN LEMBAGA MASYARAKAT ADAT (LMA) SUKU MARIND DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT DI KOTA MERAUKE
Erwin Nugraha Purnama, Kismartini, Retno Sunu Astuti
Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang Jawa
Tengah, Indonesia
Email:� [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract
This study aims to identify the Role of
Institutions of Indigenous Marind in Dispute
resolution Customary land in the City of Merauke as well as analyze the factors
that affect the role of Institutions of Indigenous Marind
in dispute resolution Customary land in the Town of Merauke. Methods a
qualitative descriptive study using primary data collection techniques
(observation and interviews) and secondary data. Data collection techniques
used literature study and field study observation and Interviews. The results
of the research show that the Role of Institutions of Indigenous Peoples in
Dispute resolution Customary Land in the Town of Merauke is still not optimal,
there are still many cases of dispute is a communal land that has not been
resolved and there are still a variety of indicators that could potentially
lead to the occurrence of problems related to communal land later in the day,
indicators are; yet its systematic data collection on Institutions of
indigenous Peoples related to land rights, the absence of mapping in writing
related to the boundaries of indigenous territories. The recommendations given;
Mapping the territory and boundaries of indigenous territories are outlined in
writing in the Map of the custom region, Making the administrative system at
the Institute of Indigenous Peoples related to the status of customary land
that have not been released, Do data collection and mapping accurately related
to the completeness of the administration of the ownership of communal Land,
Create a discussion forum involving Local government Agencies, Institutions and
Communities, to be able to make a draft of the legal products that regulate the
specific layout of indigenous territories.
Keywords: role; the organization of indigenous
peoples; customary land disputes
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
Peran Lembaga Masyarakat Adat Suku
Marind dalam Penyelesaian Sengketa tanah Ulayat di Kota Merauke serta menganalisis faktor yang mempengaruhi peran Lembaga Masyarakat Adat Suku Marind dalam
penyelesaian sengketa tanah Ulayat di Kota Merauke. Metode penelitian deskriptif kualitatif menggunakan teknik pengumpulan data primer (observasi
dan wawancara) serta data sekunder. Teknik pengumpulan data
yang digunakan study pustaka
dan study lapangan berupa observasi dan Wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran Lembaga Masyarakat Adat
dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Kota
Merauke masih belum
optimal, masih banyak kasus sengketa tanah ulayat yang belum terselesaikan dan masih ada berbagai
indikator yang berpotensi menyebabkan terjadinya permasalahan terkait tanah ulayat. Di kemudian hari, indikator tersebut adalah; belum sistematisnya
pendataan Lembaga Masyarakat adat
terkait hak ulayat, belum adanya
pemetaan secara tertulis terkait batas wilayah adat. Rekomendasi yang diberikan; Melakukan pemetaan wilayah dan batas wilayah adat yang dituangkan secara tertulis dalam Peta wilayah adat, merapihkan sistem administrasi di Lembaga
Masyarakat Adat terkait
status tanah ulayat yang belum dan yang telah dilepaskan, Melakukan pendataan dan pemetaan secara akurat terkait
kelengkapan administrasi kepemilikkan Tanah ulayat, Membuat forum diskusi dengan melibatkan Instansi pemerintah Daerah,
Lembaga Masyarakat Adat dan masyarakat,
untuk dapat membuat sebuah rancangan produk hukum yang mengatur secara spesifik tata wilayah adat.
Kata Kunci: peran; lembaga masyarakat adat; sengketa tanah ulayat
Pendahuluan
Tanah merupakan
sumber daya penting dan strategis, hal ini dikarenakan
menyangkut hajat hidup manusia yang sangat mendasar. Berbagai ragam sengketa hak atas
tanah terus mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu, baik yang menyangkut sengketa perebutan hak, sengketa status tanah maupun bentuk-bentuk sengketa yang lainnya. Sengketa tersebut melibatkan banyak kesatuan masyarakat. Sengketa tanah yang timbul, seringkali terjadi akibat letak dan batas bidang-bidang tanah yang tidak benar. Menurut
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), bukti
kepemilikan dan masih tingginya ketimpangan penguasaan tanah menjadi akar permasalahan
sengketa tanah di
Indonesia. Sesuai data yang ada,
sengketa tanah yang sering terjadi yaitu antar-perorangan 6.071 kasus (56,20%), masyarakat dan pemerintah 2.866 kasus (26,53%), perorangan dan badan hukum 1.668 kasus (15,44%), antar-badan hukum 131 kasus (1,21%), dan antar-kelompok masyarakat sebanyak 66 kasus (0,61%) (Hutapea, 2018).
Motif yang melatar belakangi penyebab kasus-kasus tanah sangat bervariasi
antara lain kurang tertibnya administrasi pertanahan di masa lampau, harga tanah yang meningkat dengan cepat, kondisi masyarakat yang semakin menyadari dan mengerti akan kepentingan haknya, masih ada
oknum-oknum pemerintah yang
belum dapat menangkap aspirasi masyarakat, dan adanya pihak yang menggunakan kesempatan untuk mencari keuntungan materil yang tidak wajar atau menggunakan
untuk kepentingan politik (Chomzah, 2004).
Bagi masyarakat Papua, tanah
memiliki arti yang sangat penting. Pandangan filosofis masyarakat Papua menganggap tanah sebagai �Mama/Ibu�, sehingga harus dipertahankan dan tidak dapat diperjual
belikan. Masyarakat adat di
Papua menyatakan bahwa semua tanah di Papua merupakan tanah hak ulayat, kecuali
yang telah dialihkan dengan proses pelepasan adat, dengan di terbitkannya surat pelepasan tanah Adat oleh Lembaga Masyarakat Adat
(LMA). Lembaga adat adalah sebuah organisasi/wadah yang dibentuk secara turun temurun
maupun yang telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat
tersebut atau dalam hukum masyarakat
adat tertentu dalam wilayah hukum adat tersebut yang berhak dan berwenang mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum setempat (Peraturan Daerah Kabupaten Merauke Nomor 4 Tahun 2013 Tentang
Pemberdayaan, Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat Serta Lembaga Adat,
2013).
Lembaga Masyarakat Adat (LMA) suku Marind merupakan suatu badan kepengurusan dan pelaksana yang memiliki peran untuk mengangkat
aspek sosial kebudayaan masyarakat Marind dalam bagian
wilayah adatnya, sehingga norma-norma budaya adat yang sangat tinggi nilainya dapat diangkat serta dilestarikan. Lembaga
Masyarakat Adat merupakan pihak yang berwenang untuk menerbitkan surat pelepasan tanah adat di Merauke, sehingga ketika kemudian hari terjadi
masalah terkait tanah ulayat, maka
Lembaga Masyarakat adat berperan
penting dalam proses penyelesaiannya.
Di Kota Merauke kerap kali terjadi sengketa tanah ulayat, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Polres Merauke jumlah sengketa pertanahan 6 (enam) tahun terakhir di Merauke berjumlah 77 Kasus dengan rincian: Tahun 2014:12 kasus, tahun 2015: 8 kasus, tahun 2016: 13 kasus, tahun 2017: 8 kasus, tahun 2018: 11 kasus, dan tahun 2019: 25 kasus. Permasalahan-permasalahan yang teridentifikasi
antara lain, masalah hak ulayat, sengketa
batas, kekeliruan petunjuk batas dan pembayaran pelepasan tanah yang belum diselesaikan (Unit Bina Masyarakat Polres Merauke, 2019).
Sudah dilakukan berbagai penelitian tentang peran Lembaga Adat dalam Penyelesaian Sengketa tanah ulayat ini (Goti, 2014); (Aris et al., 2014); (Sopian, 2015); (Rukuni et al., 2015) yang menunjukkan bahwa Lembaga Adat memiliki peranan
penting dalam menyelesaikan sengketa adat di wilayah Kabupaten Ngada (Nusa Tenggara Timur), Kabupaten
Sanggau (Kalimantan Barat), Flores (Nusa Tenggara
Timur) dan Distrik Bikita
(Zimbabwe) dengan hasil
yang bervariasi. Sebagian berhasil,
sebagian masih belum optimal dan mengalami berbagai hambatan misalnya ketidakjelasan kepemilikan batas tanah, adanya klaim
dari negara atau pemerintah, kehilangan saksi atau pelaku
sejarah, melunturnya nilai budaya dan kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat terkait keberadaan dan status dari tanah ulayat
tersebut, dan beberapa pemimpin tradisional bias dalam pelaksanaan tugas-tugas mandat mereka, terutama ketika berhadapan dengan masalah partai politik.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian Peran Lembaga Masyarakat Adat
(LMA) Suku Marind Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Di Kota
Merauke ini berfokus pada dua hal yaitu:
(1) Peran Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Suku Marind Dalam
Penyelesaian Sengketa Tanah
Ulayat Di Kota Merauke, dan (2) Faktor
apa saja yang mempengaruhi peran Lembaga
Masyarakat Adat dalam penyelesaian sengketa tanah Ulayat Suku
Marind di Kota Merauke.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan berusaha untuk menganalisis Peran Lembaga
Masyarakat Adat (LMA) Suku Marind Dalam Penyelesaian
Sengketa Tanah Ulayat Di
Kota Merauke. Instrumen dalam
menelitian ini menggunakan daftar pertanyaan (interview guide) serta
telaah terhadap dokumen-dokumen pendukung lainnya. Subjek penelitian yaitu informan yang dipilih dengan teknik purposive sampling, yaitu
Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind
Imbuti Merauke, Lembaga Masyarakat Adat Kabupaten Merauke, Badan Pertanahan Kabupaten Merauke, Pengadilan Negeri Merauke, Notaris/PPAT,
dan Masyarakat Kota Merauke. Teknik pengumpulan data melalui studi pustaka
atau pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari bahan
kepustakaan serta pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pokok bahasan, observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Teknik analisis data
dalam penelitian ini data yang terkumpul akan diolah dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu mengumpulkan data berdasarkan faktor-faktor yang menjadi pendukung terhadap objek penelitian, kemudian menganalisa faktor-faktor tersebut (Arikunto, 2010),
kemudian pengolahan data tersebut dilakukan dengan Data Reduction
(Data Reduksi), Data
Display (Penyajian Data), dan Conclusions Drawing/Verifacition
(Penarikan Kesimpulan/Verifikasi).
Hasil dan Pembahasan
Dari waktu
ke waktu berbagai ragam sengketa hak atas
tanah mengalami perkembangan, baik yang menyangkut sengketa perebutan hak, sengketa status tanah maupun bentuk bentuk
sengketa yang lainnya. Di
Kota Merauke kerap kali terjadi
sengketa tanah ulayat dikalangan masyarakat, seperti masalah hak ulayat,
sengketa batas, kekeliruan petunjuk batas dan pembayaran pelepasan tanah yang belum diselesaikan. Bahkan beberapa kasus terjadi terhadap
fasilitas publik yang sangat urgent seperti Sekolah, gedung dan lahan Dinas Kesehatan yang seharusnya bebas dari hal-hal yang demikian mengingat kedua objek tersebut
merupakan objek vital.
Berdasarkan informasi yang diperoleh
dari Unit Bina Mitra Polres
Merauke terkait jumlah sengketa pertanahan 6 (enam) tahun terakhir
yang terjadi di Merauke berjumlah
77 Kasus dengan rincian sebagai berikut: Tahun 2014 terjadi 12 kasus, tahun 2015 terjadi 8 kasus, tahun 2016 terjadi 13 kasus, tahun 2017 terjadi 8 kasus, tahun 2018 terjadi 11 kasus, dan tahun 2019 terjadi 25 kasus.
Pada dasarnya
masyarakat adat di Papua menyatakan bahwa semua tanah di Papua merupakan tanah hak ulayat, kecuali
yang telah dialihkan dengan proses pelepasan adat, dengan diterbitkannya
surat pelepasan tanah Adat oleh Lembaga
Masyarakat Adat. Lembaga Masyarakat Adat suku Marind
merupakan suatu badan kepengurusan dan pelaksana yang memiliki peran untuk mengangkat aspek sosial kebudayaan
masyarakat Marind dalam bagian wilayah adatnya, sehingga norma-norma budaya adat yang sangat tinggi nilainya dapat diangkat serta dilestarian. Tugas pokok Lembaga Masyarakat Adat yaitu senantiasa
menjaga hubungan antara masyarakat dan pemerintah didalam melakukan segala aktifitas pengembangan dan secara langsung Lembaga
Masyarakat Adat ini dapat menyalurkan aspirasi-aspirasi serta dapat mensosialisasikan
program-program yang akan dilaksanakan
oleh pemerintah dalam masyarakat itu sendiri.
Untuk mengidentifikasi peran
Lembaga Masyarakat Adat Suku
Marind dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di Kota Merauke dilakukan dengan menganalisis indikator peran Lembaga Masyarakat Adat suku Marind yaitu:
Mendata hak-hak milik dan menginventarisir hak-hak milik, menyelesaikan perselisihan yang menyangkut Adat, memusyawarahkan masalah-masalah Adat, dan sebagai penengah kasus-kasus Adat.
A.
Peran
Lembaga Masyarakat Adat dalam
penyelesaian Sengketa Tanah
Ulayat Di Kota Merauke
1.
Mendata hak-hak
milik dan menginventarisir hak-hak milik
Mendata dan menginventarisir hak-hak
milik sebuah kebudayaan sangatlah penting, hal ini
dikarenakan selain dapat mengetahui kekayaan budaya apa saja yang dimiliki,
dengan mendata dan menginventarisir hak milik terutama terkait dengan hak ulayat dapat
mencegah terjadinya sengketa tentang kepemilikkan suatu tanah ulayat. Lembaga Masyarakat Adat menyatakan bahwa mereka telah
melakukan pendataan hak-hak ulayat dengan melihat batas-batas hak ulayat sebagaimana telah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat adat, yaitu dengan melihat
tanda-tanda alam dan nama tempat sesuai
Marga yang ada sebagai batas wilayah ulayat, selain itu pihak LMA juga berkoordinasi dengan
masing-masing ketua Marga untuk mengetahui wilayah ulayat masing-masing Marga.
Kendala yang ditemui pada proses pendataan
dan inventarisasi hak-hak milik adalah masih
terdapat transaksi jual beli yang dilakukan tanpa melalui Lembaga Adat, sehingga menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Hal ini dikarenakan
transaksi jual-beli tanpa melalui Lembaga adat kerap kali tidak ada bukti
tertulis, dimana seharusnya setiap transaksi jual beli tanah ulayat
harus disertai dengan surat pelepasan
adat yang dikeluarkan oleh Lembaga
Masyarakat Adat.
Tanggapan berbeda dari masyarakat menurut mereka selama ini
belum ada pendataan yang dilakukan oleh pihak LMA terkait tanah ulayat tersebut,
menurut mereka sejauh ini peran
Lembaga Masyarakat Adat dalam
mendata hak-hak milik dan menginventarisir hak-hak milik masih
belum tercapai, karena masih banyak
terdapat kasus sengketa kepemilikkan hak atas tanah
ulayat, bahkan masih di dapati kasus tumpang tindihnya
surat pelepasan adat dimana satu
objek tanah memiliki dua surat
pelepasan adat dengan orang yang berbeda, pada akhirnya hal tersebut
menimbulkan konflik antara masyarakat yang sama-sama merasa memiliki hak atas
tanah tersebut.
2.
Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut Adat
Penyelesaian terhadap suatu perkara dalam hukum
adat merupakan cara yang sangat efektif jika ditinjau
secara sosial. Artinya, kemungkinan untuk selesai dalam
suatu perkara sangatlah besar. Hal ini karena masyarakat
sudah terbiasa dengan hukum adat
yang berlaku. Dengan berbagai macam kasus sengketa yang terjadi terkait dengan tanah ulayat,
Lembaga Masyarakat Adat dituntut
agar dapat mengambil peran dalam penyelesaian
perselisihan yang terjadi. Terkait penyelesaian sengketa tanah adat seperti �surat
pelepasan diatas pelepasan�, langkah-langkah yang diambil oleh Lembaga Masyarakat Adat
adalah melalui peradilan adat, Lembaga
Masyarakat Adat akan mengamankan Pihak pertama sebagai pemilik tanah tersebut
dan pihak yang lain dinyatakan
gugur.
Meskipun belum optimal, sejauh ini Lembaga Masyarakat Adat telah melakukan berbagai upaya penyelesaian terkait sengketa tanah ulayat, dibuktikan dengan� pernyataan masyarakat yang menyatakan bahwa sejauh ini Lembaga Masyarakat Adat telah cukup
bisa menyelesaikan perselisihan menyangkut permasalahan adat, namun belum maksimal
karena masih terdapat cukup banyak permasalahan-permasalahan
yang belum dapat diselesaikan, bahkan pada beberapa kasus yang terjadi Lembaga Masyarakat Adat belum dapat menjalankan
fungsinya sebagai mediator secara optimal ketikat terjadi permasalahan sengketa, hal ini
dibuktikan dengan masih terjadi berbagai
aksi �pemalangan� terhadap fasilitas-fasilitas umum yang bermasalah dengan hak ulayat.
3.
Memusyawarahkan masalah-masalah Adat
Dalam menghadapi
dan memecahkan sebuah permasalahan bersama sangat perlu menegakkan
musyawarah. Semakin besar suatu kelompok
maka semakin perlu ditegakkannya musyawarah. Cara bermusyawarah, lembaga permusyawaratan yang perlu dibentuk, cara pengambilan keputusan, cara pelaksanaan keputusan musyawarah, dan aspek-aspek tatalaksana lainnya ditentukan oleh kelompok bersangkutan untuk mengaturnya. Pentingnya Musyawarah dalam kehidupan masyarakat, Abdullah
Hamid Ismail al-Anshori dalam
bukunya �Al-Syura wa Asaruha fi al-Demokratiyah� (Hanafi, 2013)
mengutip dan mengemukakan
arti penting musyawarah
yang dapat disimpulkan sebagai berikut. �Musyawarah dapat mewujudkan kesatuan bangsa, melatih kegiatan otak dalam
berfikir, dan sebagai jalan menuju kepada
kebenaran yang mengandung kebaikan dan keberkatan�. Musyawarah dilaksanakan sebagai upaya untuk
mengetahui dan mengungkapkan
pendapat-pendapat dari semua pihak yang terlibat dengan tujuan mencapai kebenaran yang sesungguhnya serta kejelasan dalam setiap permasalahan.
Peradilan adat di Indonesia berlangsung melalui suatu mekanisme
tradisional dalam forum musyawarah adat (�sidang adat� atau
�rapat adat�) yang diberbagai tempat di Indonesia disebut dengan ungkapan khas masing-masing daerah. Di dalam musyawarah tersebut, peranan kepala-kepala adat sangatlah penting dan menonjol, yaitu sebagai pemimpin
musyawarah (Sudantra et al., 2017).
Musyawarah Adat merupakan sarana untuk memperkokoh
landasan lokal untuk menyelesaikan kasus yang menyangkut masalah adat, diantaranya
mengenai sengketa tanah Ulayat, musyawarah
dilakukan untuk mencari jalan keluar
dan mendapatkan kesepakatan
bersama untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Keberadaan Lembaga
Masyarakat Adat ini diharapkan dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa bagi masyarakat yang memiliki kasus yang menyangkut adat, dengan penyelesaian sengketa alternatif modern dimana musyawarah menjadi model umum dan utama dalam proses penyelesaian sengketa.
Namun sejauh ini Lembaga Masyarakat Adat belum sepenuhnya menjalankan fungsi sebagai mediator dalam rangka rekonsiliasi dan konsolidasi para pihak melalui proses penemuan putusan yang dapat melegakan semua pihak, karena pada dasarnya keputusan diambil secara sukarela oleh para pihak namun pada akhirnya masih banyak permasalahan
yang belum menemukan titik tengah penyelesaian.
4.
Sebagai penengah kasus-kasus Adat
Istilah mediasi berasal dari bahasa latin,
mediare yang berarti ada di tengah (Abbas, 2011).
Secara istilah ada beberapa pengertian
diantaranya, menurut Takdir Rahmadi (Rahmadi, 2011),
mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau
lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan
bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Sedangkan dalam Peraturan Mahakimah Agung Nomor 1 Tahun 2008 menyebutkan Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberi
akses lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. (Peraturan Mahakimah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, 2008).
Kasus sengketa tanah ulayat terjadi
ketika adanya klaim batas tanah
oleh satu pihak terhadap tanah milik pihak lain. Lembaga
Masyarakat Adat dituntut untuk bersikap dan memposisikan diri sebagai pihak yang netral sehingga dalam penyelesaian perselisihan pada akhirnya akan mendapat solusi
terbaik untuk kedua belah pihak
sehingga tidak ada pihak yang merasa dimenangkan dan tidak ada pihak
yang merasa dikalahkan.
Sengketa tanah ulayat masih
terjadi, sejauh ini Lembaga Masyarakat Adat telah melakukan upaya-upaya sebagai mediator dalam penyelesaian kasus sengketa tanah ulayat yang terjadi. Upaya yang ditempuh oleh Lembaga Masyarakat Adat
antara lain dengan mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa, kemudian melakukan musyawarah guna mencari solusi
yang terbaik. Meski demikian masih banyak kasus sengketa
tanah ulayat yang belum dapat diselesaikan
meski telah dilakukan musyawarah, dan pada akhirnya masalah ini dikembalikan kepada kedua belah
pihak untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
B. Faktor Yang Mempengaruhi
Peran Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Di Kota Merauke
Unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam mengetahui faktor penentu keberhasilan peran aktor dalam implementasi
suatu kebijakan yaitu; Perspektif Aktor, Aksesibilitas Aktor, dan Kemampuan Aktor dalam Mengambil
Tindakan. (Yakin, 2013).
1.
Perspektif Aktor
Perspektif aktor dalam hal ini adalah
bagaimana cara pandang dan sikap Lembaga
Masyarakat Adat (LMA) dalam
menilai dan memahami suatu fenomena kejadian atau masalah
yang terjadi. Seberapa jauh pemahaman aktor terhadap permasalahan yang terjadi sangatlah penting dalam upaya penentuan
tindakan penyelesaian permasalahan tersebut.
Berdasarkan perspektif aktor, permasalahan terkait tanah ulayat memiliki
sejarah yang panjang. Permasalahan terkait sengketa tanah ulayat disebabkan beberapa hal diantaranya;
permasalahan administrasi
di masa lalu, dimana pada saat itu belum
terbentuk Lembaga Masyarakat Adat
(LMA), sehingga transaksi pemindahan kepemilikan tanah ulayat cenderung
berdasarkan sosial karena kedekatan pemilik tanah dengan
pihak lain, kemudian terjadilah transaksi pemindahan kepemilikan tanah ulayat tersebut dan prosesi tersebut tanpa ada bukti
tertulis, sehingga dikemudian hari ahli waris dari
pemilik tanah adat sebelumnya mengklaim memiliki tanah tersebut.
Akibat dari permasalahan administrasi tersebut, timbullah berbagai permasalahan sengketa tanah di Kota Merauke seperti sengketa karena ada surat pelepasan
diatas pelepasan jadi ada 2 (dua)
surat pelepasan untuk satu obyek
tanah, ada juga sengketa pelepasan dengan sertifikat. Selain itu penyebab
terjadinya konflik pertanahan seringkali terjadi karena status kepemilikan tanah atau wilayah tersebut, hal ini dikarenakan
belum adanya pemetaan secara tertulis terkait dengan batasan wilayah adat. Hingga saat
ini untuk menentukan batasan wilayah, cara yang digunakan masih dengan kepercayaan
turun-temurun yaitu dengan nama tempat,
dan keadaan alam seperti batas pohon,
atau batas sungai. Hal ini tentunya akan cenderung
berpotensi menimbulkan konflik dikemudian hari, karena keadaan
alam tentunya akan berubah dari
waktu ke waktu hal ini
tentunya akan mempengaruhi posisi batas-batas wilayah tersebut, sehingga sangat perlu untuk membuat
batasan-batasan wilayah adat
tersebut dalam bentuk tertulis berupa sebuah peta
wilayah adat.
Terkait administrasi pembuatan
Surat pelepasan tanah adat sebagai syarat
pembuatan sertifikat tanah, terjadi perbedaan perspektif antara pihak pemerintah
dalam hal ini pihak Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan
bahwa surat pelepasan adat yang dikeluarkan oleh Lembaga Masyarakat Adat
bukan syarat wajib untuk membuat
sertifikat tanah, surat pelepasan adat hanya sebagai
dokumen pendukung saja. Ketika pemohon bisa menunjukkan bukti kepemilikkan seperti akta jual
beli, atau keterangan yang lainnya, pengajuan bisa diproses. Namun dari pihak Lembaga Masyarakat Adat mengatakan suatu tanah ulayat
tidak boleh diproses untuk membuat sertifikat bila tidak memiliki
surat pelepasan adat.
Perbedaan perspektif juga terjadi
terkait proses pembuatan
Surat Pelepasan Adat,
Lembaga Masyarakat Adat tingkat
Kabupaten menyampaikan setelah Lembaga Masyarakat Adat Imbuti membuat surat pelepasan, seharusnya diserahkan ke Lembaga Masyarakat Adat tingkat Kabupaten untuk disahkan, kemudian baru bisa
dilanjutkan ke BPN untuk di proses untuk membuat sertifikat, selama ini yang terjadi tidak diserahkan
ke LMA Kabupaten, sehingga banyak terjadi kasus surat
pelepasan diatas pelepasan itu. Namun Ketua Lembaga Masyarakat Adat Imbuti membantah
hal tersebut, beliau menyampaikan bahwa setelah mereka
membuat surat pelepasan tidak perlu dilenjutkan ke Lembaga Masyarakat Adat tingkat Kabupaten, langsung saja ke
Kelurahan dan kemudian ke BPN.
2.
Aksesibilitas Aktor
Aksesibilitas aktor merupakan hal yang penting dalam proses penyelesaian kasus sengketa tanah ulayat, hal
ini karena ada banyak pihak
yang terlibat di dalamnya. Tanpa aksesibilitas yang mudah antar aktor
yang terlibat dalam proses penyelesaian terkait sengketa tanah ulayat, tentunya permasalahan tersebut akan sulit untuk
diselesaikan. Salah satu faktor penting dalam upaya penyelesaian
suatu permasalahan adalah aksesibilitas yang mudah dan baik antar aktor. Sejauh
ini aksesibilitas antar aktor dalam
upaya penyelesaian masalah sengketa tanah ulayat di Kota Merauke berjalan dengan cukup baik. Diketahui
bahwa bentuk aksesibilitas antar aktor dalam penyelesaian
permasalahan terkait tanah ulayat adalah
komunikasi antar aktor yang terlibat seperti Lembaga Masyarakat Adat,
Badan Pertanahan dan Pengadilan
Negeri berjalan dengan baik dan tidak rumit, hal ini
dibuktikan ketika terjadi sengketa tanah ulayat �surat
pelepasan diatas pelepasan� pihak Badan pertanahan berkomunikasi dengan Lembaga Masyarakat Adat untuk mediasi dan menyelidiki surat pelepasan mana yang benar.
Selain itu ketika ada proses peradilan di Pengadilan Negeri terkait kasus sengketa yang menyangkut hak ulayat, dalam pertimbangan
putusan pengadilan, pada tahap pembuktian pihak Pengadilan Negeri berkomunikasi dengan pihak Lembaga Masyarakat Adat untuk memediasi kedua belah pihak.
Dalam upaya penyelesaian sengketa tanah ulayat selalu
mengutamakan mediasi dengan melibatan para aktor dalam proses penyelesaiannya.
3.
Kemampuan Aktor dalam mengambil
Tindakan
Dalam menyelesaikan suatu permasalahan, kemampuan aktor dalam mengambil
tindakan sangatlah penting, atas dasar
rasionalitas tindakan sosial, Max Weber membedakan dalam empat kategori
(Turner, 2012)
yaitu;
a)
Zweek Rational/Tindakan Rasional Instrumental, yaitu tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan.
b)
Wert Rational/Tindakan Rasional Nilai, dalam wert
rational, tindakan-tindakan sosial
ditentukan oleh pertimbangan
atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan
efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
c)
Affectual Rational/dipengaruhi oleh Emosi (Afeksi), Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul secara spontan
karena mengalami suatu kejadian yang sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi tanpa
perhitungan dan pertimbangan
yang matang.
d)
Tradisional
Rational/Tindakan karena kebiasaan,
Tindakan sosial semacam ini bersifat rasional,
namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan
proses dan tujuannya terlebih
dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah kondisi atau tradisi
yang sudah baku dan manakala baik itu
cara-caranya dan tujuan-tujuannya
adalah sekedar kebiasaan.
Dalam upaya untuk menentukan tindakan dalam penyelesaian terkait sengketa tanah ulayat, Lembaga Masyarakat Adat menggunakan cara peradilan adat dengan musyawarah
adat guna mendapatkan fakta-fakta yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan tindakan yang akan diambil dalam
upaya penyelesaian sengketa tanah ulayat. Ketika terjadi kasus �pelepasan diatas pelepasan� atau sebuah tanah
memiliki dua surat pelepasan adat dengan dua
pihak yang berbeda, maka tindakan yang akan diambil Lembega
Masyarakat Adat adalah mengamankan pihak pertama artinya tanah itu menjadi
hak pihak pertama.
Sejauh ini kemampuan
Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dalam
menentukan tindakan terkait sengketa tanah ulayat di Kota Merauke masih belum optimal. Hal ini dikarenakan masih banyak kasus-kasus
sengketa yang belum terselesaikan, bahkan ada beberapa kasus
yang tidak kunjung mendapat jalan keluar meski telah
dilakukan musyawarah, pada akhirnya kasus tersebut justru dikembalikan kepada kedua belah pihak
untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
Kesimpulan
Berbagai sengketa hak atas
tanah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu,
baik menyangkut sengketa perebutan hak, sengketa status tanah maupun bentuk-bentuk
sengketa yang lainnya. Di
Kota Merauke kerap kali terjadi
sengketa tanah ulayat dikalangan masyarakat, seperti masalah hak ulayat,
sengketa batas, kekeliruan petunjuk batas dan pembayaran pelepasan tanah yang belum diselesaikan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Unit Bina Mitra Polres
Merauke terkait jumlah sengketa pertanahan 6 (enam) tahun terakhir
yang terjadi di Merauke berjumlah
77 kasus dengan rincian: Tahun 2014 terjadi 12 kasus, tahun 2015 terjadi 8 kasus, tahun 2016 terjadi 13 kasus, tahun 2017 terjadi 8 kasus, tahun 2018 terjadi 11 kasus, dan tahun 2019 terjadi 25 kasus. Pada dasarnya masyarakat adat di Papua menyatakan bahwa semua tanah di Papua merupakan tanah hak ulayat, kecuali
yang telah dialihkan dengan proses pelepasan adat, dengan diterbitkannya
surat pelepasan tanah Adat oleh Lembaga
Masyarakat Adat (LMA).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Peran Lembaga Masyarakat Adat
(LMA) dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Kota
Merauke dapat dikatakan masih belum optimal hal ini dikarenakan
dari keempat indikator masih ada kendala dalam
proses pelaksanaannya.
Dalam proses Pendataan
dan menginventarisir hak-hak
milik, lembaga Masyarakat Adat belum melakukannya
secara keseluruhan, hal ini dikarenakan
terdapat transaksi jual beli yang dilakukan tanpa melalui Lembaga Adat. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kasus sengketa kepemilikkan hak atas tanah
ulayat, karena pendataan administrasi yang belum sistematis, menyebabkan terjadi tumpang tindih surat pelepasan adat dimana satu
objek tanah memiliki dua surat
pelepasan adat dengan orang yang berbeda, pada akhirnya hal tersebut
menimbulkan konflik antara masyarakat yang sama-sama merasa memiliki hak atas
tanah tersebut. Dalam upaya menyelesaikan
sengketa tanah ulayat, Lembaga Masyarakat Adat belum dapat menjalankan
fungsinya sebagai mediator secara optimal, hal ini dibuktikan dengan masih terjadi
berbagai aksi �pemalangan� terhadap fasilitas-fasilitas umum yang bermasalah dengan hak ulayat. Lembaga Masyarakat Adat belum sepenuhnya
menjalankan fungsinya untuk memediasi pihak-pihak yang bersengketa dalam rangka rekonsiliasi
dan konsolidasi melalui
proses musyawarah untuk menghasilkan putusan yang dapat melegakan semua pihak, yang pada akhirnya sebagian besar kasus belum
menemukan titik tengah penyelesaian.
Upaya yang ditempuh
oleh Lembaga Masyarakat Adat dalam
menengahi masalah sengketa tanah ulayat adalah mempertemukan
kedua belah pihak yang bersengketa, kemudian melakukan musyawarah guna mencari solusi yang terbaik. Meski demikian masih banyak kasus sengketa
tanah ulayat yang belum dapat diselesaikan
meski telah dilakukan musyawarah, dan pada akhirnya masalah ini dikembalikan kepada kedua belah
pihak untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
Sengketa tanah ulayat disebabkan
beberapa hal diantaranya; permasalahan administrasi di masa lalu sebelum terbentuk Lembaga
Masyarakat Adat (LMA), transaksi
pemindahan kepemilikan tanah ulayat pada waktu itut tanpa
ada bukti tertulis, sehingga dikemudian hari ahli waris dari
pemilik tanah adat tersebut mengklaim
memiliki tanah tersebut. Dari kesalahan administrasi di masalalu itu timbul berbagai
permasalahan sengketa tanah di Kota Merauke seperti sengketa karena ada surat pelepasan
diatas pelepasan jadi ada 2 (dua)
surat pelepasan untuk satu obyek
tanah, ada juga sengketa pelepasan dengan sertifikat. Konflik pertanahan seringkali terjadi karena status kepemilikan tanah atau wilayah tersebut, hal ini
dikarenakan belum adanya pemetaan secara tertulis terkait dengan batasan wilayah adat. Untuk menentukan batasan wilayah, cara yang digunakan masih dengan kepercayaan turun-temurun yaitu dengan nama tempat,
dan keadaan alam seperti batas pohon,
atau batas sungai. Hal ini tentunya akan berpotensi
menimbulkan konflik dikemudian hari, karena keadaan alam tentunya akan
berubah dari waktu ke waktu
hal ini tentunya
akan mempengaruhi posisi batas-batas wilayah tersebut.
Terjadi perbedaan perspektif antara Lembaga Masyarakat Adat dengan Badan Pertanahan Nasional terkait Surat pelepasan tanah adat sebagai
syarat untuk pembuatan sertifikat. Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan
surat pelepasan adat bukan merupakan
syarat wajib untuk membuat sertifikat
tanah, surat pelepasan adat hanya sebagai dokumen
pendukung. Ketika pemohon bisa menunjukkan bukti kepemilikkan seperti akta jual
beli, atau keterangan yang lainnya, pengajuan bisa diproses. Namun pihak Lembaga Masyarakat Adat mengatakan suatu tanah ulayat tidak
boleh diproses untuk membuat sertifikat
bila tidak memiliki surat pelepasan adat. Perbedaan perspektif juga terjadi terkait proses pembuatan Surat Pelepasan Adat, Lembaga Masyarakat Adat tingkat Kabupaten menyampaikan setelah Lembaga
Masyarakat Adat Imbuti membuat surat pelepasan,
seharusnya diserahkan ke Lembaga Masyarakat Adat tingkat Kabupaten untuk disahkan, kemudian baru bisa
dilanjutkan ke BPN untuk di proses untuk membuat sertifikat, selama ini yang terjadi tidak diserahkan
ke LMA Kabupaten, sehingga banyak terjadi kasus surat
pelepasan diatas pelepasan itu. Namun Lembaga Masyarakat Adat Imbuti membantah hal tersebut, setelah
mereka membuat surat pelepasan tidak perlu dilenjutkan
ke Lembaga Masyarakat Adat tingkat Kabupaten, langsung saja ke
Kelurahan dan kemudian ke BPN.
Aksesibilitas aktor sejauh ini
berjalan dengan baik dimana aktor
dalam hal ini Lembaga Masyarakat adat selalu berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait seperti Badan Pertanahan Nasional dan Pengadilan
Negeri ketika terjadi sengketa terkait hak tanah ulayat.
begitupun sebaliknya pihak badan Pertanahan Nasional
dan Pengadilan Negeri juga selalu
melibatkan Lembaga Masyarakat guna
Memediasi pihak-pihak yang bersengketa. Kemampuan Lembaga
Masyarakat Adat (LMA) dalam
menentukan tindakan terkait sengketa tanah ulayat di Kota Merauke sejauh ini masih
belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari
masih banyak kasus-kasus sengketa yang belum terselesaikan, bahkan ada beberapa
kasus yang tidak kunjung mendapat jalan keluar meski
telah dilakukan musyawarah, pada akhirnya kasus tersebut justru dikembalikan kepada kedua belah
pihak untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan proses analisis Peran Lembaga Masyarakat Adat
(LMA) dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di Kota Merauke, terdapat beberapa hal yang harus dibenahi agar Peran Lembaga
Masyarakat Adat (LMA) dalam
penyelesaian sengketa tanah ulayat di Kota Merauke dapat terlaksana dengan optimal. Atas dasar kondisi tersebut peneliti menyampaikan beberapa saran, yaitu:
1.
Melakukan pemetaan wilayah dan batas-batas
wilayah adat yang dituangkan
secara tertulis pada sebuah Peta wilayah adat.
2.
Merapihkan sistem administrasi di Lembaga
Masyarakat Adat (LMA) terkait
status tanah ulayat yang belum di lepaskan dan yang telah dilepaskan. Sehingga ketika terjadi sengketa yang mengklaim kepemilikan, dapat dilihat sebenarnya
kepada pihak mana tanah tersebut dilepaskan secara adat.
3.
Melakukan pendataan dan pemetaan secara akurat terkait
kelengkapan administrasi kepemilikkan setiap Tanah ulayat yang dimiliki, sehingga dapat mencegah terjadinya sengketa kepemilikkan tanah ulayat dikemudian
hari.
4.
Membuat sebuah forum diskusi yang melibatkan semua unsur Instansi pemerintah Daerah, Lembaga Masyarakat Adat.
Masyarakat adat, dan masyarakat
lainnya, dengan tujuan untuk dapat
membuat sebuah rancangan produk hukum yang nantinya dapat mengatur secara spesifik tentang tata wilayah adat.
BIBLIOGRAFI
Abbas, S. (2011). Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum
Adat Dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Google Scholar
Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik
(Revisi). Jakarta: Rineka
Cipta. Google Scholar
Aris, Lumangkun, A., & Nugroho.R, J. (2014). Peranan Lembaga Adat Dalam Penyelesaian Konflik Lahan Pada Hutan Adat
Di Desa Engkode Kecamatan Mukok Kabupaten Sanggau. Jurnal Kehutanan, 341-347. Google Scholar
Chomzah, H. (2004). Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia). Jilid. 2. Jakarta: Prestasi Pustaka. Google Scholar
Goti, S. M. R. (2014). Peran Mosa Sebagai Lembaga Pemangku Adat Dalam
Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Upaya Perdamaian Bagi Masyarakat
Hukum Adat Kecamatan Jerebu�u Kabupaten Ngada. Atma Jaya: Yogyakarta. Google Scholar
Hanafi, M. (2013). Kedudukan Musyawarah Dan Demokrasi Di Indonesia. Cita
Hukum, 1(2),
95778. Google Scholar
Hutapea, E. (2018). Sengketa Tanah antar-perorangan tembus 6071 kasus.
Www.Kompas.Com.https://properti.kompas.com/read/2018/12/18/125954021/sengketa-tanah-antar-perorangan-tembus-6071-kasus
Peraturan Mahakimah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, Pub. L. No. 1 (2008).
Peraturan Daerah Kabupaten Merauke Nomor 4 Tahun 2013 Tentang
Pemberdayaan, Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat Serta Lembaga Adat,
Pub. L. No. 4 (2013).
Rahmadi, T. (2011). Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Dengan
Pendekatan Mufakat. Jakarta:
Rajagrafindo. Google Scholar
Rukuni, T., Machingambi, Z., Musingafi, M. C. C., & Kaseke, K. E.
(2015). The Role of Traditional Leadership in Conflict Resolution and Peace
Building in Zimbabwean Rural Communities: The Case of Bikita District. Public
Policy and Administration Research, 5(3), 75�79. Google Scholar
Sopian, N. L. (2015). Informal Dispute Resolution Based On Adat Law: A
Case Study Of Land Dispute In Flores, East Nusa Tenggara, Indonesia. Indonesian
Law Review, 2, 106�122.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.15742/ilrev.v5n2.157 Google Scholar
Sudantra, I. K., Putra Astiti, T. I., & Dharma Laksana, I. G. N.
(2017). Sistem Peradilan Adat Dalam Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Desa Pakraman Di Bali. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies), 7(1),
85. https://doi.org/10.24843/jkb.2017.v07.i01.p06 Google Scholar
Turner, B. S. (2012). Teori
Sosial dari Klasik sampai postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar
Unit Bina Masyarakat Polres Merauke. (2019). jumlah sengketa pertanahan
6 (enam) tahun terakhir di Merauke.
Yakin, H. (2013). Analisis Peran Aktor Dalam Formulasi Kebijakan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan Di Kelurahan Kemijen, Kota
Semarang. Public Policy and Management Review, 2(2), 91�100. Google Scholar
Copyright
holder: Erwin Nugraha Purnama, Kismartini, Retno
Sunu Astuti (2021) |
First
publication right: |
This article
is licensed under: |