Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
� e-ISSN:
2548-1398
Vol. 6, No. 6, Juni 2021
FAKTOR PENENTU KETERKENDALIAN
GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II DI RUMAH SAKIT BINA HUSADA
CIBINONG
Eni Koniah, Prih Sarnianto, Sesilia
A.Keban, Siti Rohmi
Magister Farmasi Universitas Pancasila Jakarta, Indonesia
Email:� [email protected],
[email protected], [email protected], rohmizainal
@gmail.com
Abstract
Diabetes mellitus (DM) is
a chronic disease and requires proper
management so that the patient's blood sugar levels can be controlled in order to prevent complications. This
study aims to identify the determinants that influence blood sugar levels among patients with DM in the Internal Medicine
Polyclinic of Bina Husada Hospital in 2018. The samples involved were 102 patients with type 2
diabetes mellitus who were tested for postprandial blood glucose. The independent
variables studied were Patient sociodemography data (age, gender, education, employment status, insurance ownership),
physical activity, biomedical factors (hereditary history, duration of diabetes, comobidities), and drug
consumption factors (rationality, pattern of drug administration, and adherence
to taking medication)
which were assumed to influence the control of blood sugar levels. The study
design used here was prospective and
retrospective observational study. Data analysis used univariate, bivariate and
multivariate tests. The results showed that out of 102 patients, 75 (73.5%) had
their blood glucose under control and 27 (26.5%) had uncontrolled blood
glucose. The most dominant factor determining the control of blood glucose levels was the compliance factor
with OR of 3.873, which meant that respondents who did not comply with taking
medication would have 3.9 times the chance
for their blood glucose to be uncontrolled compared to respondents who complied after being controlled
by the variables of gender, rationality and comorbidity.
Keywords: determinants,
control of blood glucose levels.
Abstrak
Diabetes
mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis, sehingga memerlukan
penatalaksanaan yang tepat agar kadar gula darah pasien dapat terkendali serta
mencegah terjadinya komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
faktor penentu yang mempengaruhi kadar gula darah pada pasien DM di ruang
Poliklinik Penyakit Dalam RS Bina Husada pada 2018. Sampel yang digunakan
adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang dilakukan pemeriksaan glukosa darah
sewaktu sebanyak 102 orang.Variabel indepenent yang diteliti adalah
sosiodemografi pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, kepemilikan
asuransi), aktifitas fisik, faktor biomedik (riwayat keturunan, lama
menderita DM, komobiditas), dan faktor konsumsi obat (rasionalitas, pola
pemberian obat dan kepatuhan mengkonsumsi obat)�
yang diduga mempengaruhi keterkendalian kadar gula darah. Desain penelitian menggunakan
studi observasional secara retrospektif dan prospektif. �Analisis data menggunakan uji univariat,
bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 102 orang
pasien, terdapat 75 orang (73,5%) glukosa darahnya� terkendali dan 27 orang� (26,5%) glukosa darahnya tidak terkendali.
Faktor yang paling dominan menentukan keterkendalian glukosa darah adalah
faktor kepatuhan dengan OR 3,873, yang artinya responden yang tidak patuh dalam
minum obat akan berpeluang glukosa darahnya�
menjadi tidak terkendali 3,9 kali dibanding responden yang patuh setelah
dikontrol oleh variabel jenis kelamin, rasionalitas dan komorbiditas.
Kata Kunci : faktor penentu,
keterkendalian glukosa darah.
Pendahuluan
Perkiraan penderita Diabetes Mellitus (DM)
di Indonesia menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan mencapai 10 juta pada tahun 2015 (WHO, 2015). �Data terbaru dari
International Diabetes Federation (IDF) Atlas tahun
2017 menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan salah satu
negara dengan jumlah penderita DM terbanyak. Indonesia
menduduki peringkat ke-7 didunia untuk prevalensi
penderita diabetes tertinggi
di dunia bersama China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Meksiko
dengan jumlah estimasi orang dengan DM sebanyak 10 juta jiwa dengan jumlah
DM di Indonesia sebanyak 10,3 juta
orang pada usia 18-99 tahun
dan sebanyak 10 juta orang
pada usia 20-79 tahun (International Diabetes Federation (IDF), 2017).
Hasil Survei Depkes pada 2001 terdapat
7,5 persen penduduk Jawa
dan Bali� menderita
DM. Data Depkes tersebut menyebutkan jumlah pasien DM menjalani rawat inap dan rawat jalan
menduduki urutan ke-1 di rumah sakit dari
keseluruhan pasien penyakit dalam (Kemenkes, 2013).
Pasien DM di Indonesia didominasi
oleh pasien DM 2 yakni �90% hingga 95% dari
seluruh populasi pasien DM (Smeltzer & Bare, 2002). Penderita DM memiliki
resiko yang tinggi mengidap penyakit yang lebih berat karena pengendalian
DM masih sulit diatasi.
Selain karena adanya faktor keturunan, terdapat pula faktor
lainya seperti kegemukan, pola makan yang salah, minum obat yang dapat menaikan kadar glukosa darah, proses menua, stress, gaya hidup, penggunaan obat yang tidak rasional, dan ketidak-patuhan dalam minum obat.
Oleh karena itu upaya pengendalian
terhadap faktor resiko dilakukan melalui aspek
preventif dan promotif secara integrasi dan menyeluruh (Perkeni, 2011).
Penatalaksanaan DM dilakukan dengan
cara farmakologi dan nonfarmakologi. Apabila langkah nonfarmakologi seperti
gaya hidup sehat, belum mampu� mencapai
pengendalian DM, maka penderita DM tipe 2 harus menjalankan terapi farmakologi
baik dengan minum oral tunggal maupun kombinasi, obat hipoglikemia oral dengan
insulin (Perkeni, 2011). Salah satu
hal yang terpenting bagi penderita DM adalah
pengendalian kadar gula darah. Untuk itu
pasien perlu memahami hal-hal yang mempengaruhi
pengendalian kadar gula darah. Pengendalian kadar gula darah adalah menjaga kadar gula darah dalam kisaran normal seperti bukan pasien
DM, sehingga dapat terhindar dari hiperglikemia atau hipoglikemia. Ada beberapa yang bisa mempengaruhi
pengendalian meliputi faktor diet, aktifitas fisik, kepatuhan minum obat dan
pengetahuan (Nanda, Wiryanto, & Triyono, 2018).
Rumah Sakit Bina Husada adalah rumah sakit swasta tipe C yang terletak di daerah
Cibinong� Kabupaten� Bogor Jawa Barat yang pada tahun 2016 jumlah
pasien DM rawat jalan adalah 600 pasien. Sedangkan data pasien
DM rawat inap adalah 300 pasien. Pada tahun
2017 jumlah pasien DM yang terdata sebagai pasien rawat jalan
adalah 1000 pasien. Sedangkan data pasien DM rawat
inap adalah 780 pasien. Dari
tahun ketahun jumlah pasien DM di Rumah Sakit Bina Husada semakin meningkat
karena Rumah Sakit ini merupakan rumah sakit rujukan pertama bagi pasien JKN.
Penyakit DM memiliki peringkat ke dua penyakit terbanyak setelah penyakit jantung
dan peringkat ketiga penyebab kematian terbesar di Rumah Sakit Husada (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2013).
Meningkatnya pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit
Husada mendorong peneliti untuk menggali faktor-faktor yang mempengaruhi
keterkendalian kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit
Husada Cibinong.
Metode Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan
studi longitudinal dengan pengambilan data secara retrospektif dan prospektif. Restrospektif yaitu mengumpulkan
data yang berasal dari rekam medik pasien
DM II dan Prospektif yaitu mengumpulkan
data dengan kuesioner MMAS 8. Populasi dalam penelitian ini adalah semua
pasien diabetes melitus tipe 2 yang berobat di Rumah
Sakit Bina Husada Cibinong yang memenuhi
kriteria inklusi. Sampel diambil
dari Poliklinik Penyakit Dalam Rumah
Sakit Bina Husada Cibinong. Waktu� penelitian dilakukan
pada bulan April - Juli 2018. Analisis yang digunakan
adalah analisis univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat.
�
Hasil dan
Pembahasan
1.
Hasil
Analisis Univariat
Karakteristik umur
responden paling
banyak pada umur
lebih dari 60 tahun 34 orang (33,3%) dan paling sedikit
hanya berjumlah 7 orang (6,9%) yaitu umur 45-49 tahun. Orang berusia lebih dari 45 tahun
dengan pengaturan diet glukosa yang rendah akan mengalami penyusutan sel�sel beta pancreas. Sel beta pankreas
yang tersisa pada umumnya masih aktif, tetapi
sekresi insulinnya semakin berkurang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Rudi & Kwureh, 2017) bahwa 75%
prevalensi DM lebih banyak terjadi pada kelompok usia >45 tahun.
Terdapat 58 orang
(56,9%) responden jenis kelamin laki-laki dan perempuan 44 orang (43,1%). Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil Riskesdas Tahun 2018 bahwa Kejadian DM Tipe
2 pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki (Kementrian kesehatan RI, 2018). Namun
sejalan dengan penelitian (Rudi & Kwureh, 2017)
tentang Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah Puasa
pada Pengguna Layanan Laboratorium di RSUD M. Djoen Sintang tahun 2016 yang
menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki dengan kadar gula darah puasa tidak
normal sebanyak 44 responden lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan
sebanyak 41 responden. Laki-laki memiliki risiko diabetes yang
lebih meningkat
cepat dari perempuan. Perbedaan risiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak
tubuh. Pada laki-laki, penumpukan lemak terkonsentrasi disekitar perut sehingga
memicu obesitas sentral yang lebih berisiko memicu terjadinya gangguan
metabolisme (Rudi & Kwureh, 2017).
Berdasarkan tingkat
pendidikan responden, pendidikan rendah ada 19 orang (18,6%), pendidikan
menengah 64 orang (62,8%), dan pendidikan tinggi 19 orang (18,6,5%). Tingkat Pendidikan pasien DM berhubungan
dengan perilaku pasien dalam melakukan
pengendalian terhadap kadar glukosa agar tetap stabil. Menurut
Notoatmojo, hasil atau perubahan
perilaku dengan cara ini membutuhkan
waktu yang lama, namun hasil yang dicapai bersifat tahan lama karena didasari oleh kesadaran sendiri (Trilestari & Suprayitno, 2016).
Berdasarkan pekerjaan responden, terbanyak
adalah karyawan
swasta 32 orang (31,3%), sedangkan yang paling sedikit pada pekerjaan PNS 13 orang (12,7%). Selain itu,
pada kelompok yang tidak bekerja terdapat 20 orang (19,6%), Ibu Rumah Tangga 23
orang (22,5%) dan wiraswasta 14 orang (13,7%). Pekerjaan seseorang
mempengaruhi tingkat aktifitas fisiknya. Aktifitas fisik selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Tidak bekerja
cenderung memiliki aktifitas yang rendah. Menurut teori, aktifitas yang rendah
dapat menyebabkan penimbunan lemak sehingga dapat menimbulkan resistensi
insulin. Namun dalam penelitian ini, jenis pekerjaan yang paling banyak adalah
karyawan swasta.� hal ini terjadi karena
semakin canggihnya teknologi sehingga karyawan yang bekerja tidak menggunakan
aktifitas fisik yang berlebihan.
Berdasarkan kepemilikan
asuransi responden, yang terbanyak adalah kelompok BPJS terdapat 81 orang
(79,4%). Asuransi non BPJS/pribadi sebanyak 21 orang (20,6,9%). Berdasarkan
data tersebut bahwa pembiyaan rawat jalan DM tipe 2
didapatkan hampir semua dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Penyandang DM membutuhkan biaya cukup besar dalam pengobatan, jumlah biaya akan
dikeluarkan semakin besar apabila penyakit DM berkembang menjadi kronis dan
mengalami komplikasi. Menurut International Diabetes Federation (IDF)
tahun 2012 di negara maju biaya berobat mencapai 1500 - 9000
USD/penyandang DM/tahun. Di negara berkembang biaya berobat sekitar 50 - 2000 USD/penyandang
DM/tahun. Sehubungan dengan diperlukannya biaya yang mahal dalam penanganan DM,
pasien memilih untuk menggunakan BPJS.
Berdasarkan akfititas olahraga, diketahui 46 orang
(45,1%) melakukan aktifitas olahraga dan 56 orang (54,9%) tidak melakukan
akfititas olahraga. Aktifitas fisik /olah raga pada penderita Diabetes Melitus
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang
aktif, sehingga secara langsung olah raga dapat menurunkan glukosa darah (Sari, Inayah, & Hamidy, 2016).
Perencanaan makanan atau diet merupakan pengobatan utama bagi pasien
Diabetes Melitus disertai latihan jasmani menjadi salah satu faktor dalam keterkendalian
kadar gula darah pada pasien diabetes. Latihan jasmani dianjurkan untuk
dilakukan secara teratur (3-5 kali seminggu) selama kurang
lebih 30 menit.
Latihan yang teratur
menyebabkan� kontraksi otot meningkat dan
resistensi insulin berkurang. Manfaat latihan fisik atau olah
raga sebagai terapi
Diabetes Melitus sebagai
salah satu upaya penanggulangan penyakit DM disamping obat dan diet (Sari et al., 2016).
Komorbiditas adalah adanya satu atau lebih gangguan
(penyakit) di samping penyakit Diabetes Militus yang diderita responden atau
gangguan, efek tambahan penyakit yang mempengaruhi penyakit DM responden. Pada
penelitian ini diperoleh gambaran ada 53 orang (52%) yang memiliki komorbiditas
dan yang tidak 49 orang (48%). Penyakit yang diderita diantaranya jantung, asma, gangguan saraf, TBC, vertigo dan hipertensi
sebagai komorbid paling banyak. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian
(Duarsa et al., 2020)
dimana ada keterkaitan antara riwayat hipertensi dengan neuropati diabetic. Hipertensi dapat menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri mengakibatkan
diameter pembuluh darah
menyempit. Penyempitan pembuluh darah akan mempengaruhi pengangkutan metabolisme dalam darah, sehingga
kadar glukosa dalam darah akan
terganggu (Fadilah, Saraswati, & Adi, 2016). Pada terapi
farmakologis pasien hipertensi dengan diabetes selain diberikan obat anti diabetic (OAD) juga ditambahkan
obat anti hipertensi (OAH) dengan memperhatikan beberapa hal, seperti
pengaruh OAH terhadap profil lipid, metabolisme glukosa, resistensi insulin, dan hipoglikemia terselubung. Lima Obat anti hipertensi pertama pada pasien tersebut adalah diuretik thiazid, penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE-Inhibitor),
antagonis reseptor
angiotensin II (Angiotensin receptor blocker, ARB), dan antagonis
kalsium (Sari et al., 2016).
Gambaran riwayat keturunan DM diketahui dari riwayat
keluarga yang menderita DM, baik dari ibu, ayah ataupun keduanya. Pada
penelitian ini diketahui 57% terdapat riwayat keturunan DM, sedangkan yang
tidak memiliki riwayat keturunan terdapat 45 orang (44,1%).� Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun
2008, menunjukkan prevalensi
DM di Indonesia membesar sampai
57%.
Tingginya prevalensi Diabetes Melitus tipe 2
disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin,
umur, dan faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok, pendidikan,
pekerjaan, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh, dan lingkar
pinggang. Sudah diketahui lama bahwa diabetes merupakan penyakit ketururunan
artinya bila orang tuanya menderita diabetes, anak-anaknya kemungkinan akan
menderita diabetes juga. tetapi faktor keturunan saja tidak cukup, diperlukan
faktor lain yaitu disebut faktor risiko atau faktor pencetus misalnya, adanya
infeksi virus (DM tipe-1), kegemukan, pola makan yang salah, minum obat yang
dapat menaikan kadar glukosa darah, proses menua, stres dan lainnya. Oleh
karena itu, titik berat pengendalian DM adalah pengendalian faktor resiko
melalui aspek preventif dan promotif secara integrasi dan menyeluruh sejarah keluarga dan genetika, orang-orang yang memiliki
anggota keluarga yang telah didiagnosis penyakit DM juga merupakan peluang
besar bagi orang tersebut untuk terkena DM, orang yang mempunyai keturunan DM 6
kali lebih beresiko daripada yang tidak mempunyai keturunan.
Pengukuran lama menderita
DM dibagi menjadi tiga kategori, yaitu 1-2 tahun,� ≥2-4 tahun dan > 4 tahun. Hasil penelitian diketahui lama
menderita DM yang terbanyak pada kategori > 4 tahun yaitu terdapat 43 orang
(42,1%), sedangkan kategori 1-2 tahun terdapat 32 (31,4%) dan ≥ 2-4� tahun� 27 orang (26,5%).
Tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat sesuai
anjuran Dokter dinilai dari delapan pertanyaan dalam kuisioner. Kategori
kepatuhan dibagi menjadi dua, yaitu patuh dan tidak patuh. Data kepatuhan pada
penelitian ini berdistribusi normal, sehingga cut off point nya diambil dari nilai mean (4.75). Dikategorikan
patuh apabila nilai kepatuhan > 4,75 dan tidak patuh apabila nilainya <
4,75. Tingkat kepatuhan responden pada penelitian ini terdapat 61 orang (59,8%)
yang patuh dalam mengkonsumsi obat, sedangkan yang tidak patuh terdapat 41
orang (40,2%). Penelitian ini sejalan
dengan penelitian (Nanda et al., 2018) bahwa responden yang tidak
patuh minum obat anti diabetik berisiko 14 kali mengalami regulasi gula darah yang tidak terkontrol dibandingkan dengan responden yang patuh minum obat anti diabetik (Nanda et al., 2018).
Tingkat�
rasionalitas dilihat dari obat yang diberikan Dokter kepada responden
sesuai dengan tata cara pemberian obat rasional. Obat dikatakan rasional
apabila sesuai dengan tatacara
pemberian obat rasional, kategori rasionalitas dibagi menjadi dua,
yaitu rasional dan tidak rasional. Tingkat rasionalitas responden terdapat 94
orang (92,2%) yang rasional, sedangkan yang tidak rasional terdapat 8 orang
(7,8%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Ramdini, Wahidah, & Atika, 2020) tentang Evaluasi Rasionalitas�
Penggunaan Obat Diabetes Melitus Tipe Ii Pada Pasien Rawat Jalan Di
Puskesmas Pasir Sakti Tahun 2019 berdasarkan PERKENI 2015 dilihat dari kriteria
tepat indikasi sebesar 97,5%, tepat obat sebesar 98,75%, tepat dosis, tepat cara��� pemberian, tepat interval waktu, dan
kepatuhan pengambilan obat sebesar 100%. Sejalan
juga dengan penelitian (Kardela, Abdillah, & Handicka, 2019) yang dilakukan
di Rumah
Sakit Umum Pusat dr. M.Djamil Padang
�bahwa berdasarkan
obat-obatan yang digunakan oleh 10 pasien diperoleh sebanyak 10 pasien (100%)
tepat obat. sebanyak 9 pasien (90%) tepat dosis dan 1 pasien (10%) tidak tepat
dosis. sebanyak 10 pasien (100%) tepat pasien. sebanyak 10 pasien (100%) tepat
indikasi obat (Kardela et al., 2019). Keberhasilan pengobatan
meningkatkan kualitas hidup pasien DM (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2013).
Penelitian ini juga sejalan dengan �penelitian
(Nanda et al., 2018)
bahwa responden yang tidak patuh minum obat
anti diabetik berisiko 14
kali mengalami regulasi
gula darah yang tidak terkontrol dibandingkan dengan responden yang patuh minum obat
anti diabetic (Nanda et al., 2018).
Keberhasilan terapi dapat dilihat dari
adanya penurunan kadar gula darah
puasa. Pasien dengan
gula darah tidak teregulasi menunjukkan sebanyak 46,2% patuh dan 53,8% tidak patuh dalam
minum obat anti diabetik. Pasien dengan gula darah teregulasi menunjukkan sebanyak 92,3% patuh dan 7,7% tidak patuh dalam
minum obat anti diabetic (Nanda et al., 2018).
Pola pemberian obat DM tipe 2 dilihat dari� pola pemberian obat yang diberikan Dokter
kepada responden sesuai dengan tata cara pemberian obat DM. Pola pemberian Obat
pada penelitian ini dibagi menjadi� empat
pola pemberian obat, yaitu� pemberian
obat oral tunggal terdapat 36 orang (35,3%), oral kombinasi terdapat 49 orang
(48%), insulin tunggal terdapat 7 orang ( 6,9 %) dan insulin kombinasi terdapat
10 orang (9,8%). Pada penelitian ini�
pola pemberian obat yang terbanyak adalah golongan penghambat
glukoneogenesis yang banyak
digunakan adalah jenis obat metformin. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Guidoni et al di
Soa Paolo Brazil (2012) didapatkan
dari 3.892 penderita DM tipe 2 yang memakai metformin sejumlah 1.245 orang (32,0%) (Sukmaningsih, Heru SubarisKasjono, & Werdani, 2016). Hal
dikarenakan monoterapi metformin tidak merangsang sekresi insulin sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia, peningkatan berat badan serta memperbaiki profil lipid. Selain itu
metformin dapat digunakan secara aman pada prediabetes tanpa menyebabkan hipoglikemia.
Status DM ditentukan dengan kadar Gula Darah Sewaktu
selama 4 bulan berturut-turut dan hasil GDS bulan ke 1 dan berikutnya ≤
200 mg/dl�� atau hasil GDS bulan ke 1
≥ 200 mg/dl tetapi bulan berikutnya semakin terkendali, maka
dikategorikan pada kelompok gula darah yang terkendali. Hasil penelitian ini
diketahui kadar gula darah terendah adalah 55 mg/dL dan gula darah tertinggi
490 mg/dL, rata-rata kadar Gula Darah 179,35 mg/dL, median 160 mg/dL dan
standar deviasi 77,515 mg/dL. Pada penelitian ini menunjukkan
data distribusi kadar GDS
pasien Diabetes Militus di Rumah Sakit Bina Husada Cibinong
Responden
yang mengalami kadar gula darah yang terkendali di Rumah Sakit Bina Husada
Cibinong terdapat 75 �orang (73,5%) dan yang mengalami
kadar gula darah tidak terkendali terdapat 27 orang (26,5%). American Diabetes
Association (ADA, 2012), mendefinisikan istilah diabetes melitus
adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia dan terjadi karena gangguan sekresi insulin, kerja dari insulin atau kedua-duanya.
2.
Hasil
Analisis Bivariat
Berdasarkan
keterkendalian gula darah diperoleh data sebanyak 17 orang (41,5%)� mengalami gula darah tidak terkendali �yang tidak patuh. Sedangkan� pada kelompok gula darah terkendali paling
banyak pada kelompok patuh yaitu terdapat 51 orang (83,6%). Hasil uji statistik
diperoleh nilai p value (0,010 < 0.05), artinya ada hubungan yang bermakna
antara tingkat kepatuhan dengan keterkendalian gula darah. Maka dapat
disimpulkan ada perbedaan proporsi gula darah terkendali pada kelompok yang
patuh dengan kelompok yang tidak patuh. Penelitian ini sejalan dengan� penelitian (Nanda et al., 2018)
bahwa responden yang tidak patuh minum obat
anti diabetik berisiko 14
kali mengalami regulasi
gula darah yang tidak terkontrol dibandingkan dengan responden yang patuh minum obat
anti diabetic (Nanda et al., 2018). Hasil penelitian (Nanda et al., 2018)
juga sejalan dengan penelitian ini yaitu faktor - faktor
yang mempengaruhi keberhasilan pengendalian diabetes mellitus adalah kepatuhan penggunaan obat, pendidikan dan obesitas (Nanda et al., 2018). �Keberhasilan suatu
pengobatan baik secara primer maupun sekunder sangat
dipengaruhi oleh kepatuhan penderita DM untuk menjaga kesehatannya (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2013).
Selain kepatuhan, yang
mempunyai pengaruh signifikan adalah tingkat rasionalitas dengan keterkendalian gula darah. Diperoleh
hasil bahwa
responden yang mengalami gula darah
tidak terkendali adalah responden yang mendapat obat tidak rasional
sebanyak 5 orang (62,5%),
sedangkan� responden yang mengalami
gula darah terkendali pada kelompok yang
rasional yaitu 72 orang (76,6%). Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,047, artinya ada hubungan yang bermakna antara tingkat rasionalitas dengan
keterkendalian gula darah, maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi
gula darah terkendali pada kelompok yang rasional dengan kelompok yang tidak
rasional. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR=0,047,
artinya responden yang
tidak rasional mempunyai peluang 5,445 kali untuk
terjadi gula darah
tidak terkendali dibanding
responden yang rasional. Pemberian obat
bertujuan untuk mencapai hasil yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kualitas hidup menunjukkan hasil kesehatan yang mempunyai nilai
penting dalam sebuah intervensi pengobatan. Penyebab kurang optimalnya hasil
pengobatan pada umumnya meliputi ketidak tepatan peresepan, ketidak patuhan pasien,
dan ketidak tepatan monitoring (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2013).
Keberhasilan pengobatan meningkatkan kualitas hidup
pasien DM (Kartika, 2018). Penelitian
ini juga sejalan dengan� penelitian (Nanda et al., 2018) bahwa responden yang tidak
patuh minum obat anti diabetik berisiko 14 kali mengalami regulasi gula darah yang tidak terkontrol dibandingkan dengan responden yang patuh minum obat anti diabetic (Nanda et al., 2018). Keberhasilan terapi
dapat dilihat dari adanya penurunan kadar gula darah
puasa. Penelitian ini, sebagian pasien
yang tidak berhasil (55,4%)
dalam terapinya dan sebagian
yang berhasil sebanyak
44,6% (Kartika, 2018).
Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa antara kelompok umur dengan keterkendalian
gula darah tidak ada hubungan. Ini artinya responden pada kelompok umur
beresiko dan tidak beresiko mempunyai peluang yang sama untuk tidak� terkendalinya gula darah. Menurut Amerika Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa usia di atas 45 tahun
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit diabetes mellitus tipe
II. Orang yang mempunyai
usia lebih dari 45 tahun dengan
pengaturan diet glukosa
yang rendah akan mengalami penyusutan sel �sel beta pancreas. Sel beta pankreas yang tersisa pada umumnya masih aktif,
tetapi sekresi insulinya semakin berkurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Rudi & Kwureh, 2017) bahwa prevalensi DM lebih banyak terjadi pada kelompok
usia >45 tahun.
Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan keterkendalian
gula darah diperoleh bahwa yang terbanyak mengalami gula darah
tidak terkendali adalah laki-laki, terdapat
18 orang (31%), sedangkan� pada perempuan terdapat
9 orang (20,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,331, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
keterkendalian gula darah, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan
proporsi gula darah
terkendali pada jenis kelamin
laki-laki ataupun perempuan, artinya baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai peluang yang sama terjadi gula darah yang tidak terkendali. Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil Riset Riskesdas Tahun 2013 bahwa secara
umum di Indonesia prevalensi DM terbesar pada perempuan 2,3% yang terdiagnosa
dokter dan gejala, berdasarkan wawancara terdiagnosa dokter 1,7%. Pada
laki-laki masing-masing 2% dan 1,4% (Riskesdas, 2018)
juga berbeda dengan penelitian Inayah dan Widya Kardela dimana hasil
penelitian mereka menunjukkan pasien wanita lebih banyak dibandingkan pasien
laki-laki (Sari et al., 2016), (Kardela et al., 2019). Perbedaan hasil penelitian ini
dengan peneliti yang lain dikarenakan saat melakukan penelitian, kunjungan
pasien yang berobat lebih banyak laki-laki.
Hasil analisis hubungan antara pendidikan responden dengan
keterkendalian gula darah
diperoleh bahwa yang mengalami gula darah tidak terkendali hampir sama jumlahnya pada semua kelompok
pendidikan, yaitu antara 21,1%-26,3%. Pada kelompok umur yang terkendali juga
presentasenya merata pada semua kelompok umur, yaitu antara 71,9-78,9%. �Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
pendidikan dengan keterkendalian gula darah, maka dapat disimpulkan
tidak ada perbedaan proporsi gula darah terkendali pada kelompok pendidikan rendah, menengah dan tinggi ,artinya baik pendidikan rendah, menengah dan tinggi
mempunyai peluang yang sama terjadi gula darah yang tidak terkendali. Tingkat Pendidikan pasien Diabetes Melitus berhubungan dengan perilaku pasien dalam melakukan pengendalian terhadap kadar glukosa agar tetap stabil.
Hasil uji statistik
diperoleh menunjukkan tidak ada� hubungan
yang bermakna antara pekerjaan dengan keterkendalian gula darah, maka dapat
disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi gula darah terkendali pada kelompok tidak
bekerja, Ibu Rumah Tangga (IRT), karyawan swasta, wiraswasta dan PNS, artinya baik yang tidak bekerja, Ibu Rumah Tangga
(IRT), karyawan swasta, wiraswasta dan PNS mempunyai peluang yang sama terjadi
gula darah yang tidak terkendali. Pada penelitian ini, faktor pekerjaan bukan
menjadi faktor utama yang mempengaruhi keterkendalian gula darah. Orang yang
bekerja ataupun tidak bekerja dapat terpapar informasi bagaimana mengkonsumsi
obat DM dengan baik dari petugas kesehatan atau media massa.
Hasil analisis hubungan antara asuransi dengan
keterkendalian gula darah
diperoleh bahwa yang terbanyak mengalami gula darah tidak terkendali adalah Kelompok BPJS
terdapat 23 orang (28,4%), sedangkan yang mengalami gula darah
terkendali terdapat pada kelompok Non BPJS terdapat 17 orang (81%).
Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,557, artinya
tidak ada hubungan yang bermakna antara kepemilikan asuransi dengan
keterkendalian gula darah. Responden yang tidak memiliki asuransi ataupun
memiliki asuransi (Non BPJS dan BPJS)� mempunyai
peluang yang sama terjadi gula darah yang tidak terkendali. Pada penelitian ini
terdapat� 6,9%� responden yang berobat tanpa menggunakan
asuransi.
Hasil
analisis hubungan antara aktifitas olahraga dengan keterkendalian gula darah
diperoleh bahwa yang mengalami gula darah tidak terkendali hampir sama
jumlahnya pada kelompok yang beraktifitas olahraga atau tidak, yaitu� antara 26,1%-26,8%. Pada kelompok gula darah
yang terkendali juga presentasenya merata pada kelompok yang beraktifitas olahraga,
yaitu antara 73,2%-73,9%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,000, artinya
tidak ada hubungan yang bermakna antara aktifitas olahraga dengan
keterkendalian gula darah. Proporsi gula darah terkendali atau tidak terkendali
pada kelompok dengan aktifitas olahraga ataupun yang tidak ada aktifitas
peluangnya sama. Hasil ini berbeda dengan penelitian (Rondonuwu, Rompas, & Bataha, 2016)
bahwa terdapat hubungan antara perilaku� olahraga�
dengan� kadar� gula�
darah. Walaupun pada penelitian ini aktifitas fisik tidak
mempengaruhi keterkendalian gula darah, tetapi menurut (Lisiswanti & Cordita, 2016) aktivitas fisik
dapat memperbaiki kendali glukosa secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan
konsentrasi HbA1c yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan risiko komplikasi
diabetes dan kematian. Selain mengurangi risiko, aktivitas fisik akan
memberikan pengaruh yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arteri,
sensitivitas barorefleks, vasodilatasi pembuluh yang endotheliumdependent,
aliran darah pada kulit, hasil perbandingan antara denyut jantung dan tekanan
darah (baik saat istirahat maupun aktif), hipertrigliseridemi dan fibrinolisis.
Angka kesakitan dan kematian pada diabetis yang aktif, 50% lebih rendah dibanding
mereka yang santai.
Hasil analisis hubungan
antara komorbiditas dengan keterkendalian gula darah diperoleh bahwa yang
terbanyak mengalami gula darah tidak terkendali adalah ada komorbibitas,
terdapat 18 orang (34%), sedangkan� yang
paling banyak mengalami gula darah terkendali terdapat pada kelompok yang tidak
ada komorbiditas yaitu sebanyak 40 orang (80%). Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,119, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara komorbiditas
dengan keterkendalian gula darah, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan
proporsi gula darah terkendali pada kelompok yang ada komorbiditas ataupun yang
tidak ada,artinya baik yang ada komorbiditas ataupun tidak ada mempunyai
peluang yang sama terjadi gula darah yang tidak terkendali. Faktor
komorbiditas pada penelitian ini bukan merupakan faktor yang mempengaruhi
keterkendalian gula darah. Hal ini dimungkinkan karena hanya sebagian besar
saja responden yang memiliki komorbiditas, dan faktor kepatuhan mengkonsumsi
obat menjadi faktor yang dominan dalam keterkendalian gula darah.
Hasil analisis hubungan
antara riwayat keturunan dengan keterkendalian gula darah diperoleh bahwa yang
terbanyak mengalami gula darah tidak terkendali adalah kelompok yang tidak ada
riwayat keturunan DM, terdapat 14 orang (31,1%), sedangkan yang terbanyak
mengalami gula darah terkendali terdapat pada kelompok yang tidak ada riwayat
keturunan yaitu sebanyak 44 orang (77,2%). Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,473 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat keturunan
dengan keterkendalian gula darah, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan
proporsi gula darah terkendali pada kelompok yang ada �riwayat keturunan ataupun yang tidak ada, artinya
baik yang ada riwayat keturunan ataupun tidak ada mempunyai peluang yang sama
terjadi gula darah yang tidak terkendali.�
Hal ini dapat disebabkan karena pasien memiliki kemauan dan motivasi
yang tinggi untuk mengendalikan kadar gula darah, sehingga responden yang
memiliki riwayat keturunan DM dapat terkendali gula darahnya.
Hasil analisis hubungan antara lama menderita DM dengan keterkendalian
gula darah diperoleh bahwa yang terbanyak mengalami gula darah
tidak terkendali adalah lama menderita DM 1-2 tahun, terdapat 10 orang
(31,2%), sedangkan
pada kelompok ≥2-4 tahun terdapat 6
orang (22,2%) dan kelompok >4 tahun terdapat 11 orang (25,6%) yang
mengalami gula darah
tidak terkendali. Hasil uji statistik
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
antara lama menderita DM dengan keterkendalian gula darah,
maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi
gula darah terkendali pada kelompok yang lama menderita DM 1-2 tahun, 3-4
tahun maupun yang >5 tahun, artinya
baik kelompok yang lama menderita DM 1-2 tahun,
2-4 tahun maupun yang >5 tahun mempunyai
peluang yang sama terjadi gula darah
yang tidak terkendali. Pada penelitian ini lama menderita DM tidak
mempengaruhi keterkendalian gula darahnya karena masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi.
Hasil analisis hubungan antara pola pemberian obat dengan keterkendalian
gula darah diperoleh bahwa yang terbanyak mengalami gula darah
tidak terkendali adalah pada responden yang mendapat obat insulin kombinasi, terdapat 4 orang
(40%), sedangkan
yang terbanyak mengalami
gula darah terkendali pada kelompok yang mendapat
obat oral tunggal yaitu terdapat 29 orang (80,6%). Hasil uji statistik menunjukkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara pola pemberian obat dengan
keterkendalian gula darah, maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi
gula darah terkendali pada kelompok oral tunggal, oral kombinasi, insulin
tunggal maupun insulin kombinasi.
3.
Hasil Analisis Multivariat
Analisis
multivariat merupakan teknik analisis perluasan dari analisis bivariat yang bertujuan mempelajari hubungan beberapa variabel dependen dengan independen dan mengetahui variabel independen yang paling besar hubungannya dengan variabel dependen. Analisis yang digunakan adalah Analisis Regresi Logistik
model prediksi. Langkah yang pertama adalah melakukan analisis bivariat variabel independen dengan variabel dependen. Hasil pemodelan
tahap pertama analisis bivariat masing-masing variabel independen dengan variabel dependen diketahui ada 8
variabel yang p value-nya lebih dari 0,25, yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, asuransi, aktifitas olahraga, riwayat
keturunan, lama pemberian obat dan pola pengobatan. Kedelapan variabel tersebut akan dikeluarkan
dari pemodelan multivariat. Pada pemodelan ini, semua variabel yang masuk sebagai kandidat
multivariat dimasukkan bersama-sama ke dalam model. Model terbaik mempertimbangkan penilaian
p<0,05. Hasil analisis model pertama
meliputi variabel jenis kelamin, komorbiditas, rasionalitas dan
kepatuhan.
Tabel 1� Hasil Pemodelan Multivariat Variabel
Independent dengan Keterkendalian Gula Darah (P value)
Variabel |
M1 |
M2 |
M3 |
M4 |
Jenis Kelamin |
0,226 |
- |
0,205 |
0,175 |
Komorbiditas |
0,072 |
0,083 |
- |
0,072 |
Rasionalitas |
0,025 |
0,102 |
0,057 |
0,107 |
Kepatuhan |
0,005 |
0,008 |
0,010 |
0,007 |
Pada tabel 1 terlihat
ada dua variabel yang p valuenya >0,05 yaitu variabel jenis kelamin, komorbiditas. Variabel yang p valuenya >
0,05 satu per satu akan dikeluarkan dari pemodelan. Variabel yang pertama dikeluarkan adalah variabel jenis kelamin
(p = 0,226)
selanjutnya komorbiditas (p= 0,072).
Tetapi jika variabel yang dikeluarkan membuat perubahan OR > 10%
pada variabel lain, maka variabel tersebut
akan dimasukkan kembali untuk dianalisis.
Tabel 2
Hasil Pemodelan
Multivariat Variabel Independent dengan
Keterkendalian Gula Darah
(Perubahan OR)
Variabel |
OR Baku Emas (1) |
OR setelah jenis kelamin dikeluarkan (2) |
Perubahan OR (%) |
OR setelah komorbidi tas dikeluar kan (3) |
Perubahan OR (%) |
OR akhir (4) |
Jenis Kelamin |
2,016 |
- |
- |
1,897 |
5,90 |
2,016 |
Komorbiditas |
2,513 |
2,401 |
4,46 |
- |
- |
2,513 |
Rasionalitas |
0,270 |
0,258 |
4,94 |
0,221 |
14,34 |
0,270 |
Kepatuhan |
3,873 |
3,718 |
17,9 |
3,500 |
5,8 |
3,873 |
Pada tabel 2 terlihat
perubahan OR pada masing-masing kandidat
multivariat dengan mengeluarkan variabel nilai p terbesar secara bertahap. Model 1 merupakan nilai OR gold standar sebagai pembanding dari nilai OR pada model lainnya. Model
2 menunjukkan setelah variabel jenis kelamin
dikeluarkan terdapat
perubahan OR >
10% pada kepatuhan, yaitu 17,9%. Variabel
jenis kelamin merupakan konfonding pada hubungan antara kepatuhan dengan
keterkendalian gula darah,
maka variabel jenis kelamin akan dimasukkan kembali ke dalam
pemodelan.
Selanjutnya analisis multivariat dengan mengeluarkan variabel selanjutnya, yaitu variabel komorbiditas.
Model 3 tanpa mengikutsertakan
variabel komorbiditas,
maka dapat dilihat variabel
rasionalitas OR-nya berubah > 10%, sebanyak
14,34%. Variabel komorbiditas merupakan konfonding pada hubungan antara
rasionalitas dengan keterkendalian gula darah, maka variabel komorbiditas akan
dimasukkan kembali ke dalam pemodelan. Hasil multivariat pada akhir pemodelan
juga dilakukan uji interaksi pada variabel yang diduga berkaitan, yaitu
variabel kepatuhan dengan rasionalitas. Tabel 3 merupakan
hasil pengujian interaksi antara kepatuhan dengan
rasionalitas.
Tabel 3
Uji Interaksi antara Kepatuhan dengan Rasionalitas
Variabel |
II |
I akhir |
Jenis Kelamin |
0,146 |
0,175 |
Komorbiditas |
0,080 |
0,072 |
Rasionalitas |
0,642 |
0,107 |
Kepatuhan |
0,147 |
0,007 |
Kepatuhan dengan Rasionalitas |
0,486 |
|
Hasil uji interaksi pada
table 3 memperlihatkan nilai p value = 0,486, berarti lebih besar dari 0,05,
sehingga hasil uji interaksi dinyatakan tidak ada interaksi antara kepatuhan
dengan rasionalitas. Oleh karena tidak ada interaksi,
maka model interaksi antara kepatuhan
dengan rasionalitas tidak dimasukkan dalam
model. Hasil akhir pemodelan
multivariat uji
regresi logistik dapat dilihat pada tabel Tabel 4.
Tabel
4
Hasil Akhir Analisis Multivariat Variabel yang Menentukan Keterkendalian
Gula Darah di Rumah Sakit Bina Husada
Tahun 2018
Variabel |
B |
S.E. |
Wald |
df |
Sig. |
Exp(B) |
95% C.I.for |
|
Lower |
Upper |
|||||||
Kepatuhan |
-1.428 |
0.502 |
7.287 |
1 |
0.007 |
3.873 |
1.449 |
10.350 |
Komorbiditas |
0.922 |
0.513 |
3.231 |
1 |
0.072 |
2.513 |
0.920 |
6.864 |
Rasionalitas |
-1.308 |
0.811 |
2.601 |
1 |
0.107 |
.270 |
0.055 |
1.325 |
Jenis Kelamin |
.0701 |
0.517 |
1.840 |
1 |
0.175 |
2.016 |
0.732 |
5.549 |
Constant |
-1.669 |
1.076 |
2.406 |
1 |
0.121 |
.188 |
|
|
Sumber: Data Primer 2018
Variabel
independen yang menentukan keterkendalian gula darah setelah melalui beberapa tahap dalam pemodelan multivariat, dapat dilihat pada tabel 4, yaitu variabel kepatuhan,
komorbiditas, rasionalitas dan jenis kelamin. Variabel yang secara statistik berhubungan dengan p value < 0,05 adalah variabel kepatuhan. Jadi variabel
yang paling dominan menentukan
keterkendalian gula darah adalah kepatuhan dengan OR 3,873. Artinya pasien yang
patuh minum obat berpeluang 3,9 kali lipat lebih tinggi berpeluang dapat
mengendalikan kadar gula darah atau 9 kali lebih rendah berpeluang mengalami
kadar gula darah yang tidak terkendali (> 200 mg/dL)� dibanding pasien yang tidak patuh dalam
meminum obat.
Variabel-variabel yang diduga
konfonding terhadap kejadian keterkendalian glukosa pada tahapan
pemodelan multivariat antara lain:
a.
Variabel
jenis kelamin merupakan konfonding pada hubungan antara kepatuhan dengan
keterkendalian gula darah.
b.
Variabel
komorbiditas merupakan konfonding pada hubungan antara rasionalitas dengan
keterkendalian gula darah.
Dari hasil analisis multivariat diketahui faktor
dominan yang mempengaruhi keterkendalian gula darah adalah tingkat kepatuhan.
Hal ini sejalan dengan penelitian (Hapsari, 2014) bahwa
kepatuhan minum obat merupakan salah satu faktor keberhasilan terapi DM. Hasil
penelitian
ini juga menunjukkan bahwa masih
terdapatnya responden yang mengalami kadar gula terkendali dikarenakan faktor
kepatuhan dalam minum obat. Hal ini juga secara statistik menunjukkan hubungan
yang bermakna antara tingkat kepatuhan dan keterkendalian kadar gula darah.
Sejalan dengan penelitian (Hapsari, 2014) bahwa keberhasilan terapi dipengaruhi oleh
kepatuhan penggunaan obat dan faktor lainnya.
Penelitian
ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain banyak data
hasil laboratorium gula darah sewaktu yang diukur selama 4 bulan berturut-turut
tidak lengkap, sehingga data dari 150 responden, yang bisa dijadikan responden sebanyak 102 responden.
Bias yang mungkin terjadi, terutama pada jumlah responden dimana jumlah responden yang ikut serta pada penelitian ini cukup banyak, namun setelah bulan ke
4 terdapat responden yang tidak ikut melakukan
cek laboratorium kadar glukosa darah
sewaktu dan juga tidak melakukan konsultasi ke dokter. Hal itu disebabkan karena
saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, sehingga
jumlah kunjungan pasien yang datang ke rumah sakit menurun. Alasan tidak konsultasi
ke dokter untuk kunjungan ulang, dikarenakan banyak pasien yang sudah pulang kampung. Selain itu, beberapa pasien yang keterkendalian
glukosanya sudah baik dikembalikan ke Pelayanan Program Rujuk Balik (PRB) di
bulan ke-4 responden
dengan kadar glukosa baik pada bulan ke-4 dikeluarkan dari penelitian ini
karena tidak termasuk kriteria inklusi.
Kesimpulan
Tingkat
kepatuhan responden yaitu 61 orang (59,8%) patuh dalam mengkonsumsi obat,
sedangkan yang tidak patuh terdapat 41 orang (40,2%). Tingkat
rasionalitas responden yaitu 94 orang (92,2%) yang rasional, sedangkan yang
tidak rasional terdapat 8 orang (7,8%).
Dari 11 variabel
yang mempengaruhi keterkendalian gula darah, yang memiliki hubungan bermakna
secara statistik adalah tingkat kepatuhan dan rasionalitas. Variabel yang
paling dominan menentukan adalah variabel kepatuhan OR
3,873 kali berpeluang mengalami kadar gula darah yang tidak terkendali (>200
mg/dL) 3,9 kali lipat dibanding pasien yang patuh dalam meminum obat setelah dikontrol oleh variabel
pekerjaan, jenis kelamin, rasionalitas dan komorbiditas.
BIBLIOGRAFI
Dinas
Kesehatan Kabupaten Bogor. (2013). Profil
RS Bina Husada 2013. Bogor : Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.
Duarsa, Made Dyah Vismita
Indramila Duarsa, Nuryanti, Hanik, Kandarini, Yenny, Mahadita, Gede Wira,
Aryani, Putu, & Juniada, Bagus. (2020). The proportion and characteristics
of hypertension outpatients in productive age at Selemadeg Public Health
Center, Tabanan in 2020. Bali Anatomy Journal, 3(2), 32�37. Google Scholar
Fadilah, Nurul Aini,
Saraswati, Lintang Dian, & Adi, Mateus Sakundarno. (2016). Gambaran
karakteristik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes
melitus tipe 2 pada wanita (Studi di RSUD Kardinah Kota Tegal). Jurnal
Kesehatan Masyarakat (Undip), 4(1), 176�183. Google Scholar
Hapsari, Puspita Nur.
(2014). Hubungan Antara Kepatuhan Penggunaan Obat Dan Keberhasilan Terapi
Pada Pasien Diabetes Mellitus Instalasi Rawat Jalan Di Rsud Dr. Moewardi
Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Google Scholar
International Diabetes
Federation (IDF). (2017). Diabetes Atlas Eighth edition 2017.
Kardela, Widya, Abdillah,
Rahmad, & Handicka, Garmi. (2019). Rasionalitas Penggunaan Obat Diabetes
Mellitus Tipe 2 komplikasi Nefropati di Rumah Sakit Umum Pusat dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Farmasi Higea, 11(2), 195�200. Google Scholar
Kartika, Tiara Tri.
(2018). Kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus di Puskesmas
Pucang Sewu Surabaya. Widya Mandala Catholic University Surabaya. Google Scholar
Kemenkes, R. I. (2013). Riskesdas 2013. Jakarta: Balitbangkes RI. Google Scholar
Kementrian kesehatan RI.
(2018). Hasil utama riskesdas 2018. 61.
Lisiswanti, Rika, &
Cordita, Raka Novadlu. (2016). Aktivitas fisik dalam menurunkan kadar glukosa
darah pada diabetes melitus tipe 2. Jurnal Majority, 5(3),
140�144. Google Scholar
Nanda, Oryza Dwi,
Wiryanto, Bambang, & Triyono, Erwin Astha. (2018). Hubungan kepatuhan minum
obat anti diabetik dengan regulasi kadar gula darah pada pasien perempuan
diabetes mellitus. Amerta Nutrition, 2(4), 340�348. Google Scholar
Perkeni. (2011). Petunjuk
praktis terapi insulin pada pasien diabetes melitus. Perkumpulan Endokrinol
Indonesia. Google Scholar
Ramdini, Dwi Aulia,
Wahidah, Lilik Koernia, & Atika, Dwi. (2020). Evaluasi Rasionalitas
Penggunaan Obat Diabetes Melitus Tipe Ii Pada Pasien Rawat Jalan Di Puskesmas
Pasir Sakti Tahun 2019. JFL: Jurnal Farmasi Lampung, 9(1), 67�76.
Google Scholar
Riskesdas. (2018). Kementerian
Kesehatan Nasional Riset Kesehatan Nasional Jawa Timur 2018.
Rondonuwu, Regita Gebrila,
Rompas, Sefty, & Bataha, Yolanda. (2016). Hubungan Antara Perilaku Olahraga
Dengan Kadar Gula Darahpenderita Diabetes Mellitus Di Wilayah Kerja Puskesmaswolaang
Kecamatan Langowan Timur. Jurnal Keperawatan, 4(1). Google Scholar
Rudi, Abil, & Kwureh,
Hendrikus Nara. (2017). Faktor risiko yang mempengaruhi kadar gula darah puasa
pada pengguna layanan laboratorium. Google Scholar
Sari, Firni Dwi, Inayah,
Inayah, & Hamidy, Muhammad Yulis. (2016). Pola penggunaan obat anti
hiperglikemik oral pada pasien diabetes melitus tipe 2 rawat inap di Rumah
Sakit X Pekanbaru tahun 2014. Riau University. Google Scholar
Smeltzer, Suzanne C.,
& Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
Egc, 1223, 21. Google Scholar
Sukmaningsih, Wahyu Ratri,
Heru SubarisKasjono, S. K. M., & Werdani, Kusuma Estu. (2016). Faktor
Risiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas
Purwodiningratan Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Google Scholar
Trilestari, Herni, &
Suprayitno, Edy. (2016). Hubungan Perilaku Diet dengan Tingkat Kadar Gula
Darah Sewaktu pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di Ambarketawang
Yogyakarta. Universitas� Aisyiyah Yogyakarta. Google Scholar
WHO. (2015). World Health Statistic Report 2015. Geneva: World Health Organization; 2015.
Google Scholar
Copyright
holder: Eni Koniah, Prih Sarnianto, Sesilia A. Keban, Siti Rohmi (2021) |
First
publication right: |
This
article is licensed under: |