������������������������������������������ Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 6, Juni 2021
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP TANDA BUKTI KEPEMILIKAN HAK
ATAS TANAH
Dewi Rachmawati
Universitas Surabaya (UBAYA)
Jawa Timur, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Based on Law No. 5
of 1960 concerning Basic Rules of Agrarian Principles hereinafter abbreviated
as UUPA, article 19 states that to create certainty of Land law, the Government
organizes land registration. The land that has been registered is then given a
proof of land rights, which is a strong evidence of land ownership (sertifikat hak atas tanah). The land
registration process, conducted through three stages of activities, namely
physical data collection and processing activities, the collection and
processing of juridical data and the issuance of proof of rights documents. The
objectives to be achieved in this study are: To know the legal certainty for
the parties who hold proof of ownership of land rights. The research method
used in this data collection is the library method by collecting data obtained
from books and from other secondary data sources. The results of this study are
expected to provide donations and input for policy makers and law enforcement
in order to provide guarantees of legal certainty and legal protection for
landowners and holders of land rights.
Keywords: �land registration; law; burgerlijk wetboek
Abstrak
Berdasarkan Undang-undang
nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disingkat dengan UUPA, pada Pasal 19 dinyatakan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum Pertanahan, Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah. Terhadap tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda bukti hak atas
tanah, yang merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan
tanah (sertipikat hak atas tanah).
Proses pendaftaran tanah, dilakukan melalui tiga tahap kegiatan,
yaitu kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, pengumpulan dan pengolahan data yuridis dan penerbitan dokumen tanda bukti hak.
Tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui kepastian hukum bagi para pihak yang memegang tanda
bukti kepemilikan hak atas tanah. Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah metode kepustakaan yaitu dengan menggumpulkan
data�data yang diperoleh dari
buku-buku dan dari sumber-sumber data sekunder lainnya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi pengambil
kebijakan dan para penegak hukum dalam rangka
pemberian jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pemilik tanah dan pemegang sertipikat Hak atas tanah.
Kata Kunci: pendaftaran
tanah; hukum; pemerintah
Pendahuluan
Kebutuhan atas tanah untuk
keperluan pembangunan harus pula mendapat perhatian dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur, oleh karena itu harus pula diusahakan adanya keseimbangan antara keperluan tanah untuk keperluan pribadi atau perorangan
dan kepentingan banyak pihak atau masyarakat
pada umumnya. Selain permasalahan di atas, masih terdapat permasalahan-permasalahan di bidang
pertanahan yang diakibatkan
belum diperolehnya jaminan dan kepastian hak atas tanah
yang dikuasai oleh perorangan
atau keluarga dan masyarakat pada umumnya, sebagai akibat tidak mempunyai bukti tertulis yang sah.
Sebuah
kasus bermula dari pengambilalihan tanah sebagian oleh pemilik hak atas tanah
yaitu Ade
Farida Sutinyo yang membeli
tanah tersebut seluas kurang lebih
1.500 m2 (seribu lima ratus meter persegi)
sekitar tahun 1983 yang lalu dari Djenih Bin Soaib. Kemudian pemilik tanah yang bernama Toni Mansur mengajukan gugatan dikarenakan sebagian tanah Toni Mansur diambil alih oleh Ade Farida Sutinyo dengan dilakukan
perjanjian jual beli antara Djenih Bin Soaib dengan Ade Farida Sutinyo yang selanjutnya dibuat akta jual beli
antara kedua belah pihak.
Berdasarkan putusan Kasasi No. 428/K/Pdt/2018 jo. No. 251/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel, Mahkamah Agung menolak kasasi Toni Mansur. Pertimbangannya antara lain ialah:
a.
Bahwa objek sengketa adalah milik Tergugat
yang berasal dari jual beli sesuai
Akta Jual Beli Nomor 067/II/1983 tanggal 28 Februari 1983 Dari H. Djenih Bin Soaib adalah tanah darat (tanah yang bukan persawahan, rawa-rawa, pertambangan, dsb) sedangkan H. Muhammad, orang tua Penggugat membeli
tanah pada tanggal 01 Februari 1984 sesuai dengan Akta Jual Beli Nomor
246/1.711-1/1984 dan Akta Jual
Beli Nomor 247/1.711-1/1984
dari Nawih Bin Soaip adalah tanah sawah;
b.
Bahwa dengan demikian objek sengketa telah dibeli lebih
dahulu oleh Tergugat, sedangkan orang tua Penggugat membeli belakangan;
Dalam proses pendaftarannya untuk mendapatkan hak tertulis atau sertipikat
sering terjadi masalah yang berupa sengketa, baik dalam hal batas
tanah maupun sengketa dalam hal siapakah yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut.
Sengketa mengenai tanah dapat dicegah,
paling tidak dapat diminimalkan apabila diusahakan menghindari penyebabnya, sengketa-sengketa itu adalah peristiwa
hukum, sehingga sebab-sebabnya dapat diketahui dan dikenali dengan kembali melihat melalui pandangan-pandangan hukum tanah yang ada. Dari sengketa-sengketa di pengadilan,
proses penyelesaian perkaranya
memerlukan waktu yang panjang, ada kalanya
sampai bertahun-tahun, hal tersebut dikarenakan
adanya tingkatan pengadilan yang harus dilalui yaitu Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung. Pemerintah yang diwakili
oleh instansi yang berwenang
untuk mengadakan dan menyelenggarakan administrasi pertanahan apabila melakukan tugasnya dengan baik dan benar serta dapat
sebaik mungkin meminimalkan terjadinya hal-hal yang dapat memicu terjadinya sengketa, maka hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah dapat dihindari.
Gugatan yang diajukan oleh pemegang hak atas
tanah (yang sifatnya tidak melalui jalur
hukum seperti verzet) memperoleh dukungan moral dan politis dari berbagai lapisan
masyarakat seperti Parlemen, Pemerintah Daerah, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan lain-lain. Bertitik
tolak dari uraian di atas, maka penulis ingin
meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan dengan pembatasan masalah hanya pada bidang Hukum Pertanahan, yaitu tentang �Kepastian Hukum Terhadap Tanda Bukti Kepemilikan Hak Atas
Tanah�. Berdasarkan uraian
di atas, penulis mencoba merumuskan permasalahan sekaligus merupakan pembahasan permasalahan yang akan diteliti adalah: Bagaimana sertifikat dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak
yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah
yang tanahnya diserobot?
Kepemilikan hak atas tanah
oleh seseorang oleh seseorang
atau badan hukum harus di buktikan. Pembuktian kepemilikan hak atas tanah
di lakukan atau ditunjukan dengan berbagai macam alat bukti. Namun
pembuktian yang terkuat adalah melalui sertifikat tanah yang merupakan tanda bukti pembuktian terkuat bagi kepemilikan
hak atas tanah disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) (Manulang, 2012)
huruf c UUPA, yaitu sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat, yaitu data fisik dan data yuridis yang dimuat dalam sertifikat
dianggap benar sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh� alat� bukti� yang� lain yang�
dapat� berupa� sertifikat� atau� selain� sertifikat. Untuk memperoleh sertifikat tanah maka sudah pasti
terhadap tanah tersebut harus di daftarkan ke Kantor Pertanahan. Dalam hal pembuktian dapat dilihat pada Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Warman, 2010)
yang mengatur tentang pembuktian kepemilikan hak atas tanah
menyatakan bahwa dalam rangka memperoleh kebenaran data yuridis bagi hak-hak yang baru dan untuk keperluan pendaftaran hak maka pembuktiannya di lakukan dengan: 1. Penetapan pemberian hak dari pejabat
yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut
berasal dari tanah negara atau tanah hak pengelolaan.
Penetapan pejabat yang berwenang mengenai pemberian hak atas
tanah negara dapat di keluarkan secara individu, kolektif maupun secara umum. 2.� Asli akta PPAT yang
memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang Hak Milik kepada penerima hak yang bersangkutan mengenai Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai atas tanah Hak Milik. Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
atas tanah Hak Milik disamping di atur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, juga di atur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999. 3. Ketentuan pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah merupakan penjabaran dari ketentuan pasal 19 Ayat (2) huruf c Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang berisikan bahwa pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat, maksudnya bahwa keterangan-keterangan yang tercantum
didalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian
lain yang membuktikan sebaliknya. 4. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997 tersebut, publikasi pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi
negatif yaitu sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti yang bersifat kuat dan bukan merupakan hak tanda bukti
yang bersifat mutlak. 5. Hal ini berarti bahwa
data fisik dan data yuridis
yang tercantum di dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum. Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah mempunyai kelemahan yaitu negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang di sajikan dan tidak adanya jaminan bagi pemilik sertifikat
dikarenakan sewaktu-waktu akan mendapatkan gugatan dari pihak
lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertifikat. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring atau adverse possession (Ardani, 2019)
Namun dalam Hukum Tanah
yang negara kita anut tidak dapat menggunakan
kedua lembaga tersebut di sebabkan hukum adat tidak mengenal
adanya lembaga tersebut. Hukum Adat sebenarnya sudah memiliki lembaga untuk menyelesaikan permasalahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu lembaga
rechtsverwerking.
�
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah kepustakaan.
Pengertian kepustakaan. yaitu dengan menggumpulkan
data�data yang diperoleh dari
buku-buku dan dari sumber-sumber data sekunder lainnya.
Teknik yang dipakai untuk kegiatan penelitian diatas adalah dengan menggunakan
deduktif.
Hasil dan Pembahasan
Agraria
menurut Kurnia Warman pengertian agraria dapat digolongkan menjadi 3 yaitu: - secara historis istilah agraria berasal dari terminology
yang terdapat dalam hukum romawi yang mentransfernya dari istilah latin ager.
Istilah ini kemudian diteruskan oleh Negara-Negara eropa daratan yang menganut civil law (Permana & Sudarsana, 2015) termasuk belanda dan membawa kedaerah koloninya
termasuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa produk hukum yang
diterapkan di Hindia Belanda antara lain agrarische wet dan
peraturan pelaksanaannya; - secara
mandiri agraria dipakai untuk menyatakan segala hal ikhwal yang berkaitan
dengan pertanian atau tanah pertanian. Pada saat dihubungkan dengan hukum, maka
pengertiannya lebih tertuju kepada pengaturan pembagian tanah untuk masyarakat
petani agar terwujud keadilan dalam pemilikan tanah sehingga hukum agraria
mempunyai hubungan erat dengan land reform; - dalam praktek orang sering menyamakan hukum agraria
dengan hukum pertanahan.
Pengertian
agraria menurut pasal 2 UUPA (Permana & Sudarsana, 2015)
adalah
meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Pengertian bumi meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, tubuh bumi
dibawahnya serta berada dibawah air (pasal 1 ayat 4 jo. Pasal 4 ayat 1), dengan
demikian tanah meliputi permukaan bumi yang ada didaratan dan permukaan bumi
yang berada dibawah air termasuk air laut.
1. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran
tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus
menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya. Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan suatu
bidang yang terbatas dengan ukuran panjang dan lebar.
Pelaksanaan
pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (�initial
registration�) (Ardika & Setiawan, 2013) dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (�maintenance�).
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan
terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan PP 10/1961 dan
PP 24/1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui,
pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran
tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
yang dilakukan secara serentak meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang
belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara
sistematik diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah berdasarkan pada suatu
rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah
yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu
desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara
sistematik, pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara
sporadik.
Pendaftaran
tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah
secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu
pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya.
Pendaftaran
tanah secara sistematik diutamakan, karena melalui cara ini akan dipercepat
perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar daripada melalui
pendaftaran tanah secara sporadik. Tetapi karena prakarsanya datang dari
Pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi dana, tenaga dan peralatan yang
diperlukan. Maka pelaksanaanya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang
meliputi jangka waktu agak panjang dan rencana pelaksanaan tahunan yang
berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan lancar. Uji kelayakan itu
untuk pertama kali diselenggarakan di daerah Depok, Bekasi dan Karawang di Jawa
Barat.
Di samping
pendaftaran secara sistematik pendaftaran tanah secara sporadik juga akan
ditingkatkan pelaksanaannya, karena dalam kenyataannya akan bertambah banyak
permintaan untuk mendaftar secara individual dan massal yang diperlukan dalam
pelaksanaan pembangunan, yang akan semakin meningkat kegiatannya.
Pemeliharaan
data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan
data fisik dan data yuridis daIam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama,
surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian. Perubahan itu misalnya terjadi sebagai akibat beralihnya, dibebaninya
atau berubahnya nama pemegang hak yang telah didaftar, hapusnya atau
diperpanjangnya jangka waktu hak yang sudah berakhir, pemecahan, pemisahan dan
penggabungan bidang tanah yang haknya didaftar. Agar data yang tersedia di
Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang mutakhir, dalam pasal 36
ayat (2) PP 24/1997 (Apriani, 2017)
ditentukan
bahwa para pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan
perubahan-perubahan yang
dimaksudkan kepada Kantor Pertanahan. Ketentuan mengenai wajib daftar itu juga
ada dalam pasal 4 ayat (3). PPAT
bahkan diwajibkan mencocokkan lebih dahulu isi sertifikat hak yang bersangkutan
dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan sebelum membuat akta yang
diperlukan.
Ini sesuai
dengan asas mutakhir pendaftaran tanah. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya
data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga data
yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di
lapangan, dan masyarakat dapat memperolah keterangan mengenai data yang benar
setiap saat.
Pendaftaran
tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman terjangkau, mutakhir dan
terbuka. Penjelasan Pasal 2 PP 24/1997 menyebutkan:
a. Asas sederhana dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun
prosedurnya dengan mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama para pemegang hak atas tanah; b. Asas aman dimaksudkan untuk
menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan
cermat sehingga hasil-nya dapat memberikan jaminan kepastian hukum; c. Asas
terjangkau dimaksudkan untuk keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan
kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Data yang tersedia harus
menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar
dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini
menuntut dipeliharanya data tanah secara terus menerus dan berkesinambungan,
sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan
nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data
yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka; e. Asas
terbuka dimaksudkan data pendaftaran tanah yang tersimpan di Kantor Pertanahan
dapat diakses oleh masyarakat yang berkepentingan menurut ketentuan yang
berlaku.
Tujuan
diselenggarakannya pendaftaran tanah pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam
pasal 19 UUPA. Yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas Pemerintah, yang
diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan
(suatu �rechtskadaster� (Muljono, 2016) atau �legal cadastre�). Rincian tujuan pendaftaran tanah
seperti yang dinyatakan dalam pasal 3 PP 24/1997 adalah: a. memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang
tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu
kepada pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai surat tanda buktinya. IniIah
yang merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya
diperintahkan oleh pasal 19 UUPA. Maka memperoleh sertifikat bukan sekedar
fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin
undang-undang. Sertifikat
adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf
c UUPA untuk hak atas tanah, hak Pengelolaan, tanah wakaf, Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun dan Hak Tanggungan (Rehas, 2009), yang
masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan; b.
menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk
Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar. Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Tata usaha pendaftaran tanah dalam apa yang dikenal sebagai
daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku
tanah dan daftar nama. Para pihak yang berkepentingan, terutama calon pembeli
atau calon kreditor, sebelum melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu
bidang tanah atau satuan rumah susun tertentu perlu dan karenanya mereka berhak
mengetahui data yang tersimpan dalam daftar-daftar di Kantor Pertanahan. Maka
data tersebut diberi sifat terbuka untuk umum. Ini sesuai dengan asas
pendaftaran yang terbuka sebagai yang dinyatakan dalam pasal 2. Karena terbuka
untuk umum daftar-daftar dan peta-peta tersebut disebut daftar umum. Tidak
digunakannya hak tersebut menjadi tanggung jawab yang bersangkutan sendiri.
Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah
untuk keperluan pembukuan tanah. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk
daftar yang memuat identitas bidang tanah dengan suatu system penomoran. Surat
ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta
dan uraian, yang diambil datanya dari peta pendaftaran. Dalam PP 10/1961 surat
ukur merupakan petikan dari peta pendaftaran. Buku tanah adalah dokomen dalam
bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran
tanah yang sudah ada haknya. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas
dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan
mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan
mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar,
pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Daftar nama adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat keterangan mengenai
penguasaan tanah dengan suatu hak atas tanah, atau Hak Pengelolaan dan mengenai
pemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun oleh orang perseorangan atau badan
hukum tertentu. Data yang tercantum dalam daftar nama tidak terbuka untuk umum.
Hanya diperuntukkan bagi instansi Pemerintah tertentu untuk keperluan
pelaksanaan tugasnya. Daftar nama sebenarnya tidak memuat keterangan mengenai
tanah, melainkan hanya memuat keterangan mengenai orang perseorangan atau badan
hukum dalam hubungannya dengan tanah yang dimilikinya. Karena ada kemungkinan
disalahgunakan, maka data yang dimuat di dalamnya tidak terbuka untuk umum.
Tujuan pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang
lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dengan dimungkinkannya
pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik dan atau data yuridisnya belum
lengkap atau masih disengketakan, walaupun untuk tanah-tanah demikian belum
dikeluarkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Persyaratan dan tatacara
untuk memperoleh keterangan tersebut di atas ditetapkan oleh Menteri dalam
Peraturan 3/1997; c. terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan
tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut
setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan
hapusnya wajib didaftar.
2.
Tanah Negara.
Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai ada yang diberikan oleh Negara. Tetapi dimungkinkan juga
diberikan oleh pemegang Hak Milik atas tanah. Tetapi selama belum ada
pengaturan mengenai tatacara pembebanannya dan disediakan formulir akta
pemberiannya, sementara belum akan ada Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
diberikan oleh pemegang Hak Milik atas tanah. Maka yang kini merupakan obyek
pendaftaran tanah baru Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleb
Negara. Tanah Negara dalam PP 24/1997 termasuk obyek yang didaftar. Berbeda
dengan obyek-obyek pendaftaran tanah yang lain, dalam hal tanah Negara
pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang bersangkutan
dalam daftar tanah. Untuk tanah Negara tidak disediakan buku tanah dan
karenanya juga tidak diterbitkan sertipikat. Obyek pendaftaran tanah yang lain
didaftar dengan membukukannya dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta
menerbitkan sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya.
Dalam
pasal 1 ayat (3) PP 24/1997 dirumuskan, bahwa tanah Negara atau tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dimiliki dengan sesuatu
hak atas tanah. Kiranya yang dimaksudkan sebagai obyek pendaftaran tanah bukan
tanah Negara dalam arti yang luas, melainkan terbatas pada tanah Negara dalam
arti yang sempit.
Menurut
Boedi Harsono sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak (registration
of titles) (Faisal, 2017),
sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP
10/1961. Bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut tampak dengan adanya buku
tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan
disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang
didaftar. Hak atas tanah, Hak Pengelolaan, tanah wakaf dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat
data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada
surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah
serta pencatatan-nya pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang
bersangkut-an beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam
surat ukur secara hukum telah didaftar. Menurut pasal 31 PP 24/1997 untuk
kepentingan pemegang hak yang bersangkutan diterbitkan sertipikat sesuai dengan
data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam
buku tanah.
Menurut
Boedi Harsono sistem publikasi yang digunakan tetap seperti dalam pendaftaran
tanah menurut PP 10/1961. Yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positip
karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c, pasal
23 ayat (2), pasal 32 ayat (2) dan pasal 38 ayat (2) UUPA. Bukan sistem
publikasi negatif yang murni. Sistem publikasi yang negative murni tidak akan
menggunakan sistem pendaftaran hak. Juga tidak akan ada pernyataan seperti
dalam pasal-pasal UUPA tersebut, bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat.
Sebagaimana
dapat diperhatikan pada ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur pengumpulan
sampai penyajian data fisik dan yuridis yang diperlukan serta pemeliharaannya
dan penerbitan sertipi-kat haknya, biarpun sistem publikasinya negatif, tetapi
kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama, agar data yang
disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam
rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dan Hak
Milik dalam Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 diberikan penjelasan resmi mengenai
arti �berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat� (Faisal, 2017).
Dijelaskan bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Ini
berarti, selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis
yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam
melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.
Sudah barang tentu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat
harus sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan, karena data itu diambil dari surat ukur dan buku tanah tersebut.
Dalam hubungan ini maka data yang dimuat dalam surat ukur dan buku tanah itu
mempunyai sifat terbuka untuk umum, sehingga yang berkepentingan dapat (PPAT
bahkan wajib) mencocokkan data dalam sertifikat itu dengan yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah yang disajikan di Kantor Pertanahan. Perlu diperhatikan
menurut PP 10/1961 surat ukur merupakan bagian dari sertipikat dan merupakan
petikan dari peta pendaftaran. Maka data harus sesuai dengan peta pendaftaran.
Menurut PP 24/1997 surat ukur merupakan dokumen yang mandiri disamping peta
pendaftaran. Surat ukur memuat data fisik bidang tanah yang bersangkutan.
Ketentuan
pasal 32 ayat (1) tersebut bukan hanya berlaku bagi sertipikat yang diterbitkan
berdasarkan PP 24/1997 mulai tanggal 8 Oktober 1997. Menurut pasal 64 ketentuan-ketentuan
PP 24/1997 juga berlaku terhadap hal-hal yang dihasilkan dalam kegiatan
pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan PP 10/1961. Maka ketentuan pasal 32
ayat (1) berlaku juga bagi sertifikat-sertifikat yang dihasilkan dalam kegiatan pendaftaran menurut PP 10/1961. Lagi pula lembaga
�rechtsverwerking� sendiri sebagai lembaganya hukum adat sudah ada dan
diterapkan juga oleh Mahkamah Agung sebelum dilaksanakannya pendaftaran tanah
menurut PP 10/1961. Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada
pemegang sertipikat hak, dinyatakan dalam pasal 32 ayat (2) PP 24/1997, bahwa:
dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik
dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah
tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima)
tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan mengenai penguasaan
tanah atau penerbitan sertifikat
tersebut. Dengan pernyataan tersebut maka makna dari pernyataan, bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa
tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti
praktisnya, sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif.
Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang,
baik kepada pihak yang mempunyai tanah dan dikuasai serta digunakan sebagaimana
mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad
baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan.
Ketentuan
pasal 32 ayat (2) tersebut disertai Penjelasan sebagai berikut: Pendaftaran
tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem
publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara,
melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi
negative Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun
demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif yang
murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam 19 ayat (2) huruf c UUPA,
bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang
kuat dan dalam pasal 23, 32 dan 38 UUPA, babwa pendaftaran berbagai peristiwa
hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan
mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik
dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam PP 24/1997 ini, tampak jelas
usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena
pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Ketentuan ini
bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif
dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberi kepastian hukum kepada pihak
yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang
hak dalam buku tanah, dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut
UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Penjelasan
Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 tersebut diakhiri dengan kalimat: �Dengan
pengertian demikian, maka apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah
menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum
yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan
bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud yang
konkret dalam penerapan ketentuan UUPA mengenai penelantaran tanah�.
Dalam
hukum adat tidak dikenal lembaga acquisitieve verfaring tetapi dikenal lembaga rechtsverwerking yang mendapat
pengukuhan dan penerapan dalam berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung. (Putusan
tgl. 10-1-1957 nomor 210/K/Sip/1955, tgl. 24-9-1958 nomor 329/K/Sip/1957, tgl.
26-11-1958 nomor 361/K/Sip/1958, tgl. 7-3-1959 nomor 70/KJSip/1959). Kenyataan ini membenarkan apa yang dikemukakan dalam
Penjelasan, bahwa pasal 32 ayat (2) tidak menciptakan ketentuan baru. Lembaga
tersebut sudah ada dalam hukum adat. Tetapi pengadilan tidak boleh
mempergunakan lembaga hukum tersebut atas prakarsa sendiri.
Apa yang
dikemukakan di atas berlaku juga terhadap sertipikat Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun. Dalam hal hak yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain dalam
waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat yang merupakan tanda buktinya,
ketentuan pasal 32 ayat (2) pun berlaku bagi pihak penenima hak itu, juga
terhitung sejak diterbitkannya sertipikat. Jadi bukan sejak terjadinya
pemindahan hak. Dalam hal sesudah lampau jangka waktu 5 tahun terjadi
pemindahan hak, penerima hak juga tidak dapat diganggu gugat oleh pihak yang
sejak lewat 5 tahun tersebut sudah kehilangan haknya berdasarkan pasal 32 ayat
(2). Penguasaan tanah selanjutnya juga dilindungi oleh Hukum terhadap gugatan
pihak lain daripada pihak yang sudah kehilangan haknya itu, jika perbuatan
hukum pemindahan hak yang bensangkutan dilakukan dengan itikad baik, sesuai
ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan sertipikat yang merupakan alat
pembuktian yang kuat dan diikuti dengan pendaftarannya. Selain itikad baik
mempunyai bobot
penilaian yang tinggi dalam Hukum, khususnya hukum adat yang merupakan dasar
Hukum Tanah Nasional, penenima hak yang menguasai tanahnya, masih selalu dapat
mendalilkan berlakunya lembaga rechtsverwerking yang sebagai lembaganya hukum
adat masih tetap berlaku di samping Pasal 32 ayat (2). Menurut Beodi Harsono
dalam kasus-kasus konkret sudah barang tentu hakimlah yang wajib
menimbang-nimbang berat ringannya bobot kepentingan pihak-pihak yang
berperkara.
Sebagaimana
halnya pasal 32 ayat (1), ketentuan pasal 32 ayat (2) ini berdasarkan ketentuan
pasat 64, berlaku juga terhadap kasus yang sertipikatnya diterbitkan
berdasarkan PP 10/1961. Jangka waktu 5 tahun tersebut juga berlaku sejak
diterbitkannya sertipikat yang bersangkutan. Apa yang dikemukakan mengenai
berlakunya pasal 32 ayat (1) berlaku juga dalam kasus-kasus ini.
Satuan
wilayah Tata Usaha Pendaftaran Tanah sebagaimana halnya dengan penyelenggaraan
pendaftaran tanah menurut PP 10/1961, desa dan kelurahan dijadikan satuan
wilayah usaha pendaftaran. Pembukuan data fisik dan data yuridis dilakukan
desa/kelurahan demi desa/ kelurahan. Tetapi khusus untuk pendaftaran Hak Guna
Usaha, Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan dan tanah Negara satuan tata usaha
pendaftarannya adalah Kabupaten/Kota, karena umumnya areal Hak Guna Usaha, Hak
Pengelolaan dan tanah Negara meliputi berapa desa atau kelurahan (Martati & Karjoko, 2018). Demikian
juga obyek Hak Tanggungan dapat meliputi beberapa bidang tanah yang terletak di
beberapa desa atau kelurahan asal semuanya masih berada dalam satu wilayah
Kantor Pertanahan.
Sesuai
ketentuan pasal 19 UUPA pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Pemerintah,
dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN terbentuk dengan
dikeluarkannya Keppres No. 26 tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Dalam pasal 3 diatur salah satu tugas BPN adalah melaksanakan pengukuran,
pemetaan serta pendaftaran tanah dalam upaya memberikan kepastian hak di bidang
pertanahan.
Pelaksanaan
pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali mengenai
kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugas-kan kepada Pejabat lain. Yaitu
kegiatan-kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah
kerja Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik dan
pemetaan fotogrametri. Dalam melaksanakan tugas tersebut Kepala Kantor
Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat lain yang
ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu nenurut PP 24/1997 ini
dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya pembuatan akta
PPAT. Sementara, pembuatan akta ikrar wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta lkrar
Wakaf, pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh notaris,
pembuatan Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang, dan ajudikasi dalam pendaftaran
tanah secara sistematik oleh Panitia Ajudikasi.
Dalam
pasal 1 angka 4 UU No. 4/1996 disebutkan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan
hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Muthallib, 2020). Dalam
pasal 1 angka 24 PP 24/1997 disebutkan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu. Dalam Pasal 1 angka 1
PP No. 37/1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, diatur bahwa PPAT adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun.
Dalam
pasal 5 PP 37/1998 ditetapkan, PPAT diangkat dan diberhenti-kan oleh Menteri.
Untuk mempermudah rakyat di daerah terpencil yang tidak ada PPAT dalam
melakukan perbuatan hukum mengenai tanah atau untuk melayani golongan
masyarakat tertentu dapat ditunjuk PPAT Sementara atau PPAT Khusus. Yang dapat
ditunjuk sebagai PPAT Sementara itu adalah Pejabat Pemerintah yang menguasai
keadaan daerah yang bersangkutan, yaitu Camat atau Kepala Desa. Kepala Kantor
Pertanahan dapat ditunjuk sebagai PPAT Khusus, misalnya untuk pembuatan akta
PPAT tertentu bagi Negara sahabat. PPAT dan PPAT Sementara dapat menjalankan
jabatannya sebagai
PPAT setelah mengangkat sumpah jabatan PPAT dihadapan Kepala Kantor Pertanahan
dan PPAT Khusus tidak perlu.
Akta
otentik terdiri dari dua kata, yaitu akta dan otentik. Akta dalam arti luas
adalah perbuatan, perbuatan hukum (rechtshandeling),
atau suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti adanya suatu
perbuatan hukum. Otentik (authentiek)
berarti bersifat umum, bersifat jabatan, memberi pembuktian yang sempurna. Akta
otentik berarti suatu tulisan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk
dipakai sebagai bukti adanya suatu perbuatan hukum yang memberi pembuktian
sempurna. Sementara itu pasal 1868 KUHPert merumuskan akta otentik adalah akta
dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta itu dibuat.
Metode
yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah kepustakaan. Pengertian
kepustakaan. yaitu dengan menggumpulkan data�data yang diperoleh dari buku-buku
dan dari sumber-sumber data sekunder lainnya.
Teknik yang dipakai untuk kegiatan penelitian diatas
adalah dengan menggunakan deduktif. Pengertian dari deduktif adalah menjelaskan
suatu analisis terhadap satu masalah yang bersifat umum diberikan penjelasan
secara teoritik dengan memberikan pembahasan yang logis sesuai dengan nalar dan
saling berkaitan satu sama lain.�
Kesimpulan
Dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para
pemegang hak atas tanah dan Hak Milik dalam Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997
diberikan penjelasan resmi mengenai arti �berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat�. Dijelaskan bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Ini
berarti, selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis
yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam
melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.
Sudah barang tentu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat
harus sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan, karena data itu diambil dari surat ukur dan buku tanah tersebut.
Dalam hubungan ini maka data yang dimuat dalam surat ukur dan buku tanah itu
mempunyai sifat terbuka untuk umum, sehingga yang berkepentingan dapat (PPAT
bahkan wajib) mencocokkan data dalam sertifikat itu dengan yang ada dalam surat ukur dan buku
tanah yang disajikan di Kantor. Pertanahan. Perlu diperhatikan
menurut PP 10/1961 surat ukur merupakan bagian dari sertipikat dan merupakan
petikan dari peta pendaftaran. Maka data harus sesuai dengan peta pendaftaran.
Menurut PP 24/1997 surat ukur merupakan dokumen yang mandiri disamping peta
pendaftaran. Surat ukur memuat data fisik bidang tanah yang bersangkutan.
Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum
kepada pemegang sertipikat hak, dinyatakan dalam pasal 32 ayat (2) PP 24/1997,
bahwa: dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa mempunyai hak
atas tanah tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Dengan
pernyataan tersebut maka makna dari pernyataan, bahwa sertipikat merupakan alat
pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan
adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan,
menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun sistem publikasi yang
digunakan adalah sistem negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas
pemberian perlindungan yang seimbang, baik kepada pihak yang mempunyai tanah
dan dikuasai serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang
memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran
tanah yang bersangkutan.
BIBLIOGRAFI
Apriani, Desi. (2017). Sertifikat Sebagai Alat Pembuktian yang
Kuat Dalam Hubungannya dengan Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah. UIR Law Review, 1(2),
127�136. Google Scholar
Ardani, Mira Novana. (2019). Tantangan Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap Dalam Rangka Mewujudkan Pemberian Kepastian Hukum. Gema
Keadilan, 6(3), 268�286. Google Scholar
Ardika, I. Wayan, & Setiawan, I. Ketut. (2013). Bali Antara Abad
VIII-XIV: Kajian Aspek Politik. Atas Partisipasinya, 175. Google Scholar
Faisal, Lalu Muhamamad. (2017). Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas
Tanah Dalam Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Journal Ilmiah Rinjani:
Media Informasi Ilmiah Universitas Gunung Rinjani, 5(1), 202-209. Google Scholar
Gunarsa, Aep, & Sidharta, B. Arief. (2013). Meuwissen Tentang
Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika
Aditama. Google Scholar
Manulang, Rinto. (2012). Segalanya Hal Tentang Tanah, Rumah Dan
Perizinannya. Yogyakarta:
Buku Pintar. Google Scholar
Martati, Auliyaa, & Karjoko, Lego. (2018). Implementasi Asas
Akuntabilitas dalam Pendaftaran Tanah Secara Sistematik berdasarkan Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap. Jurnal Repertorium, 5(1). Google Scholar
Muljono, Bambang Eko. (2016). Pendaftaran Tanah Pertama Kali Secara
Sporadik Melalui Pengakuan Hak. Jurnal Independent, 4(1), 20�27. Google Scholar
Muthallib, Abdul. (2020). Pengaruh Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai Alat
Bukti Dalam Mencapai Kepastian Hukum. Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah,
Perundang-Undangan, Dan Ekonomi Islam, 12(1), 21�43. Google Scholar
Permana, I. Gusti Agung Dwi Satya, & Sudarsana, I. Ketut Sandi.
(2015). Kepastian Hukum Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Sebagai Bukti
Kepemilikan Bidang Tanah. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 1-6. Google Scholar
Rehas, Abdul Mukmin. (2009). Sertifikat Sebagai Alat Bukti Sempurna
Kepemilikan Hak Atas Tanah Ditinjau Dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Yuriska: Jurnal Ilmiah Hukum, 1(1),
45�56. Google Scholar
Warman, Kurnia. (2010). Hukum agraria dalam masyarakat majemuk:
dinamika interaksi hukum adat dan hukum negara di Sumatra Barat. Jakarta: HuMa. Google Scholar
Copyright holder: Dewi Rachmawati (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |