Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9. No. 9, September 2024
ANALISA HUKUM TERKAIT
PENOLAKAN MAJELIS HAKIM PTUN SURABAYA ATAS GUGATAN LUQMAN ALWI YANG DINILAI
PREMATURE TERHADAP KEPUTUSAN REKTOR UNAIR NOMOR 887/UN3/2021
Arief Rahman Ruslan1, Anna Erliyana2
Universitas Indonesia,
Depok, Indonesia
Email: [email protected]1,
[email protected]2
Abstrak
Putusan Hakim PTUN Surabaya menilai
gugatan Luqman Alwi terhadap SK Rektor UNAIR masih prematur karena belum melalui tahap
administrasi di tingkat kampus sebelum dilimpahkan ke Pengadilan, Majelis Hakim menilai bahwa gugatan
Luqman Alwi terhadap SK Rektor UNAIR masih prematur. kewenangan peradilan tata usaha negara secara tidak langsung dibatasi oleh Pasal 75 ayat (1)
UU Administrasi Pemerintahan
jo. Perma Nomor 6 Tahun
2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan yaitu Setelah dilakukannya
tindakan administratif. Meski terdapat Perma Nomor 6 Tahun 2018 yang dianggap menjelaskan isi Pasal 75 ayat (1), namun hal ini
juga menjadi kontroversi karena Perma tersebut masih dipertanyakan kedudukannya dalam tatanan hukum nasional.
Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis Putusan Hakim PTUN
Surabaya terkait gugatan Luqman Alwi terhadap
Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Airlangga (UNAIR) yang dinilai prematur, serta menilai relevansi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 6 Tahun 2018 dalam tata hukum nasional. Menggunakan metode penelitian
hukum normatif/doktrinal melalui studi literatur yang mengkaji putusan pengadilan terkait gugatan Luqman Alwi terhadap SK Rektor UNAIR dan relevansi Perma Nomor 6 Tahun 2018 dalam tatanan hukum
nasional. Putusan hakim dalam hal ini
PTUN Surabaya harus didasarkan
pada landasan hukum yang kuat agar kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat tidak dirugikan, oleh karena itu kedudukan Perma dalam Tata Hukum Nasional harus dikaji lebih dalam.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlunya pengkajian lebih mendalam terhadap kedudukan Perma dalam tatanan hukum nasional
untuk memastikan bahwa putusan pengadilan
didasarkan pada landasan hukum yang kuat, sehingga tidak merugikan kepastian hukum dan rasa keadilan. keadilan dalam masyarakat.
Kata
Kunci: Putusan Hakim, Perma, Gugatan,
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Abstract
The verdict of the Surabaya State Administrative Court
judges considered Luqman Alwi's
lawsuit against the UNAIR Rector's Decree premature because it had not gone
through the administrative stage at the campus level before being submitted to
the Court, the Panel of Judges considered that Luqman
Alwi's lawsuit against the UNAIR Rector's Decree was
premature. the authority of the state administrative court is indirectly
limited by Article 75 paragraph (1) of the Government Administration Law jo.
Perma Number 6 of 2018 concerning Guidelines for Settlement of Government
Administration Disputes, namely after administrative action is taken. Although
there is Perma Number 6 of 2018 which is considered to explain the contents of
Article 75 paragraph (1), this has also become controversial because the Perma
is still questionable in its position in the national legal order. This study
aims to analyze the Decision of the Surabaya State Administrative Court Judge
regarding Luqman Alwi's
lawsuit against the Decree (SK) of the Rector of Universitas Airlangga (UNAIR) which was considered premature, and
assess the relevance of Supreme Court Regulation (Perma) Number 6 of 2018 in
the national legal system. This research uses normative/doctrinal legal
research methods through literature studies that examine court decisions
related to Luqman Alwi's
lawsuit against the UNAIR Rector Decree and the relevance of Perma No. 6/2018
in the national legal order. The judge's decision in this case PTUN Surabaya
must be based on a strong legal basis so that legal certainty and a sense of
justice are not harmed, therefore the position of Perma in the National Legal
System must be studied more deeply. The recommendation from this research is
the need for a deeper study of the position of Perma in the national legal
order to ensure that court decisions are based on a strong legal basis, so as
not to harm legal certainty and a sense of justice in society.
Kata Kunci: Judge's
Decision, Perma, Lawsuit, State Administrative Court.
Pendahuluan
Mengenai akses hukum untuk memberi rasa
keadilan kepada masyarakat tentunya tidak lepas dari yang Namanya badan
peradilan di Indonesia, yang dimana Majelis hakim
memiliki kewenangan mewakili Peradilannya masing-masing untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman. Peradilan dalam hal ini
Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menerima dan menolak suatu gugatan yang
diajukan oleh pemohon melalui putusan yang dikeluarkannya atas nama pengadilan.
Dalam mengeluarkan suatu putusan tentunya Majelis Hakim memiliki dasar yang
dijadikan sebagai suatu batu uji dalam menolak ataupun mengabulkan suatu
gugatan yang menjadi kewenangannya dengan berdasar kepada undang-undang.
Dalam hal ini, persoalan terjadi apabila
rasa keadilan masyarakat mengenai akses terhadap hukum dibatasi oleh suatu
aturan tertulis dalam hal ini undang-undang yang justru tidak menjelaskan
secara spesifik terkait norma yang menjadi tujuan aturan tersebut dibuat atau
ke arah mana harusnya aturan tersebut di implementasikan sehingga hal ini dapat
menimbulkan multitafsir diantara
para akademisi ataupun praktisi hukum yang berpotensi menciderai
kepastian hukum dan rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat pencari
keadilan.
Adapun aturan yang dimaksud disini adalah Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan, “Warga masyarakat yang
dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan upaya
administratif kepada pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan
dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan”. Dalam pasal tersebut tidak di
atur secara spesifik mengenai aturan jika suatu penyelesaian sengketa
mengharuskan/mewajibkan dilakukannya upaya administrasi terlebih dahulu sebelum
suatu sengketa dilimpahkan ke Pengadilan.
Fenomena penolakan gugatan oleh PTUN
Surabaya ini mencerminkan dinamika yang kompleks antara kepentingan individu
dengan kebijakan institusional. PTUN, sebagai lembaga peradilan yang berwenang
memeriksa dan memutus sengketa di bidang administrasi negara, memainkan peran
penting dalam menyeimbangkan antara kewenangan eksekutif dan hak-hak warga
negara. Dalam kasus ini, penolakan gugatan oleh PTUN didasarkan pada
pertimbangan bahwa gugatan tersebut dianggap prematur, yang berarti gugatan
diajukan sebelum terpenuhinya syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh
hukum.
Menurut hukum tata usaha negara di
Indonesia, suatu keputusan administrasi baru dapat digugat apabila telah
memenuhi syarat-syarat tertentu, termasuk di antaranya adalah keputusan
tersebut telah final dan mengikat
Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan
pentingnya pemahaman yang lebih mendalam mengenai mekanisme pengambilan
keputusan di institusi pendidikan tinggi. Universitas sebagai lembaga otonom
memiliki kewenangan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan operasional
dan manajemen kampus, termasuk yang menyangkut mahasiswa dan staf akademik.
Namun, dalam pelaksanaannya, keputusan-keputusan ini tidak jarang menimbulkan
sengketa hukum, baik dari pihak mahasiswa, staf, maupun pihak eksternal
lainnya. Sengketa ini biasanya berkaitan dengan penilaian terhadap apakah
keputusan tersebut telah dibuat secara adil dan sesuai dengan prosedur yang
berlaku
Dalam kasus Luqman Alwi, aspek yang
menjadi sorotan adalah bagaimana proses hukum berlangsung dalam sengketa antara
mahasiswa dan universitas. Keputusan PTUN Surabaya untuk menolak gugatan ini
berdasarkan penilaian bahwa gugatan tersebut diajukan terlalu dini, sebelum
proses administrasi internal di universitas selesai. Hal ini menunjukkan
pentingnya prosedur internal di universitas yang harus diikuti oleh para pihak
yang merasa dirugikan sebelum membawa kasusnya ke ranah hukum.
Fenomena serupa juga pernah terjadi dalam
berbagai kasus di institusi pendidikan lainnya, di mana sengketa antara
mahasiswa dan institusi sering kali diselesaikan melalui mekanisme internal
sebelum akhirnya dibawa ke pengadilan. Misalnya, kasus di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2019, di mana seorang
mahasiswa menggugat keputusan rektor terkait skorsing, namun gugatan tersebut
juga ditolak oleh PTUN karena dianggap prematur
Di sisi lain, fenomena ini juga
menggarisbawahi perlunya perbaikan dalam sistem administrasi dan tata kelola di
universitas, agar dapat memberikan kepastian hukum yang lebih baik bagi semua
pihak yang terlibat. Keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan
keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas di dalam universitas
dapat mengurangi potensi sengketa hukum yang berlarut-larut dan meningkatkan
kepercayaan terhadap institusi pendidikan tersebut
Dengan demikian, penolakan gugatan Luqman
Alwi oleh PTUN Surabaya memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya
pemahaman hukum dalam konteks administrasi pendidikan tinggi. Ini juga
menegaskan bahwa hak untuk menggugat keputusan administrasi harus dilandasi
oleh pemenuhan syarat-syarat hukum yang berlaku, serta pentingnya penyelesaian
sengketa melalui mekanisme internal sebelum membawa kasusnya ke pengadilan. Hal
ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi institusi pendidikan dalam
memperbaiki sistem tata kelola mereka, serta bagi mahasiswa dalam memahami hak
dan kewajiban mereka dalam konteks hukum.
Walaupun dalam Perma Nomor 6 Tahun 2018 yang dinilai menjelaskan isi Pasal 75 ayat (1) tersebut, akan tetapi hal ini juga menjadi kontroversi sebab Perma masih dipertanyakan kedudukannya sebab dibuat bukan dari cabang kekuasaan legislatif tempat suatu produk Undang-Undang dibuat/dirumuskan normanya, terlebih lagi Perma tidak disebutkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat 1 (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga putusan Majelis Hakim PTUN Surabaya yang menolak gugatan Luqman Alwi terhadap Surat Keputusan Rektor UNAIR hanya karena tidak melakukan upaya administratif sebelum mengajukannya ke PTUN masih perlu dikaji lebih lanjut sebab Majelis Hakim menjuncto-kan Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan, sedangkan hakim dalam membuat putusan harus berdasar pada aturan perundang-undangan yang benar dan memiliki dasar yang kuat sebagai suatu batu uji yang legalitasnya dapat dipertanggung jawabkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Putusan Hakim PTUN Surabaya terkait gugatan Luqman Alwi terhadap Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Airlangga (UNAIR) yang dinilai prematur, serta menilai relevansi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 6 Tahun 2018 dalam tata hukum nasional.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
oleh penulis adalah penelitian hukum normatif/doktrinal, penelitian ini dilakukan dengan cara studi dokumen
(library research) yang bersumber dari
bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, keputusan / ketetapan pengadilan, kontrak / perjanjian / akad, teori hukum,
dan pendapat para sarjana
Hasil dan Pembahasan
Kasus ini bermula ketika Luqman Alwi, seorang
mahasiswa Universitas Airlangga
(UNAIR), mengajukan gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Surabaya terkait keputusan
Rektor UNAIR yang tertuang dalam Surat Keputusan Nomor
887/UN3/2021. Dalam gugatannya,
Luqman Alwi menilai bahwa keputusan
tersebut merugikan hak-haknya sebagai mahasiswa dan ia meminta agar keputusan tersebut dibatalkan oleh pengadilan. Namun, Majelis Hakim PTUN Surabaya menolak
gugatan tersebut dengan alasan bahwa
gugatan yang diajukan oleh Luqman Alwi dianggap
premature. Dalam artian, gugatan tersebut diajukan sebelum terpenuhinya syarat-syarat formal
yang diperlukan untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Oleh karena itu, gugatan tersebut
tidak dapat diterima dan diproses lebih lanjut oleh pengadilan.
Dalam menganalisis penolakan Majelis Hakim PTUN
Surabaya, penting untuk memahami kedudukan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) sebagai salah satu sumber hukum yang digunakan oleh pengadilan dalam memutuskan perkara. Perma berfungsi sebagai pedoman teknis bagi para hakim dalam melaksanakan tugas yudisial mereka. Pada kasus ini, penolakan gugatan yang dinilai premature kemungkinan besar didasarkan pada pemahaman hakim terhadap Perma yang mengatur mengenai prosedur beracara di PTUN. Penolakan gugatan yang dianggap premature ini mengacu pada pemahaman bahwa suatu gugatan ke
PTUN harus memenuhi syarat-syarat formal tertentu, seperti adanya keputusan yang definitif dan berkekuatan hukum tetap dari badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat. Jika syarat-syarat ini belum terpenuhi, maka gugatan dianggap
premature dan tidak dapat diterima. Dalam kasus Luqman Alwi,
Majelis Hakim menilai bahwa keputusan Rektor UNAIR yang digugat belum memenuhi syarat sebagai keputusan yang definitif atau berkekuatan hukum tetap, sehingga
gugatan dianggap premature.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam hukum administrasi,
di mana pengadilan harus memastikan bahwa semua syarat formil
terpenuhi sebelum mengadili substansi perkara. Pendekatan yang diambil oleh Majelis Hakim PTUN
Surabaya dapat dibandingkan
dengan berbagai penelitian dan literatur hukum yang membahas tentang pengujian syarat formil dalam
proses beracara di PTUN. Misalnya,
penelitian yang dipublikasikan
di jurnal-jurnal hukum nasional menunjukkan bahwa penolakan gugatan karena alasan premature sering kali disebabkan oleh ketidaktahuan atau ketidakpahaman pihak penggugat terhadap prosedur beracara di PTUN.
Beberapa penelitian internasional juga menyoroti pentingnya pengadilan dalam mempertahankan integritas proses hukum dengan menegakkan syarat-syarat formil. Penelitian dari berbagai negara menunjukkan bahwa penegakan syarat-syarat formil yang ketat dapat mencegah
penyalahgunaan proses hukum
dan memastikan bahwa pengadilan hanya mengadili perkara yang benar-benar layak untuk diadili. Namun, ada juga pandangan kritis yang menyatakan bahwa penolakan gugatan dengan alasan premature dapat dianggap sebagai bentuk formalitas yang menghambat akses terhadap keadilan. Dalam konteks ini, penelitian-penelitian
tersebut mendorong perlunya fleksibilitas dalam penerapan syarat formil, terutama jika hal
tersebut dapat menghambat substansi keadilan.
Craig menekankan bahwa syarat formil
bertujuan untuk menjaga integritas proses hukum dan mencegah penyalahgunaan prosedur
Schwartz mengulas bagaimana pengadilan di berbagai negara menerapkan syarat-syarat formil dalam konteks hukum
administrasi. Ia menekankan bahwa penegakan syarat formil yang ketat adalah salah satu cara untuk menjaga
keabsahan dan kredibilitas sistem hukum
Kewenangan Membuat
Perma Tidak Diatur Secara Khusus dalam
Undang-Undang dan Berpotensi
Melanggar Asas Hierarki
Perma sebagai suatu aturan pada dasarnya dibuat untuk mengisi kekosongan
hukum, pelengkap kekurangan hukum, sarana penegakan dan penemuan hukum serta sebagai sumber
hukum, ternyata tidak dikenal dalam
dalam Hierarki Peraturan Perundangan-undangan
yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang jenjang normanya diatur sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Walaupun tidak diatur dalam Pasal 7 di atas, menurut pasal
8 ayat (1) UU No.12 Tahun
2011 justru melegitimasi peraturan diluar ke-enam aturan dalam jenjang norma tersebut sebagai suatu jenis paraturan
perundang-undangan yang pada ayat
(2) disebutkan mengikat seperti undang-undang sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Adapun bunyi Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
”Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
Apabila dilihat dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 di atas, Mahkamah Agung bersama lembaga-lembaga negara yang disebutkan
di atas diberi legitimasi untuk menetapkan peraturan diluar sebagaimana hierarki yang disebutkan dalam pasal 7 ayat
(1) yang justru disejajarkan
dengan Jenis Peraturan Perundang-Undangan.
Hanya saja dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 yang merupakan kelanjutan dari ayat tersebut menegaskan
bahwa keberadaan aturan-aturan diluar hierarki yang disebutkan pada
Pasal 7 ayat (1) dari lembaga-lembaga negara yang disebutkan
pada Pasal 8 ayat (1) tersebut
baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Adapun bunyi Pasal 8 ayat
UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
”Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan”.
Berdasarkan bunyi Pasal di atas timbul tiga
pertanyaan sebagai berikut:
Yang pertama, Peraturan Perundang-Undangan yang
lebih tinggi mana yang memerintahkan Pasal 8 ayat (1) tersebut melegitimasi Mahkamah Agung untuk menetapkan Peraturan diluar sebagaimana Hierarki yang disebutkan pada
Pasal 7 ayat (1), jika yang
dimaksud aturan yang lebih tinggi itu
adalah pasal 24A ayat (1) UUD 1945, maka dalam aturan yang lebih tinggi tersebut
justru hanya membawa kita pada kelanjutan dari Pasal 8 ayat (2) tersebut yang bunyinya “atau dibentuk berdasarkan kewenangan” sebab pasal 24A ayat 1 UUD 1945 hanya berbicara pendelegasian kepada aturan yang ada dibawahnya yang bunyinya sebagai berikut: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Yang kedua, jika pasal
24A ayat 1 UUD 1945 berdasarkan
ayatnya yang berbunyi:
“Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang- undang” yang menjelaskan wewenang lain dari Mahkamah Agung hanya didelegasikan atau diatur oleh aturan yang lebih rendah dalam
hal ini Pasal 8 ayat (2) yang harusnya berisi aturan-aturan lebih khusus dari
aturan umum yang ada di atasnya, mengapa pada Pasal 8 ayat (2) UU
No.12 justru memuat kalimat“
Sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi” sedangkan aturan yang lebih tingginya pun yaitu pasal 24A ayat 1 UUD 1945 yang berbicara tentang kewenangan tambahan dari Mahkamah Agung justru bukan memerintahkan
melainkan hanya menyerahkan kembali kepada peraturan yang lebih rendah di bawahnya dalam hal ini Undang-Undang.
Hal ini justru menimbulkan kontradiktif antara pasal 24A ayat 1 UUD 1945 yang mendelegasikan
open legal policy kepada aturan
yang ada dibawahnya, akan tetapi aturan
yang dibawahnya dalam hal ini Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 berdasarkan kalimat “diperintahkan oleh peraturan yang
lebih tinggi” justru menyuruh undang-undang menunggu perintah dari aturan
yang ada diatasnya sebagai syarat sahnya aturan-aturan diluar hierarki tersebut dalam memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sedangkan pasal 24A ayat 1 UUD 1945 sama sekali tidak berisi
perintah terhadap wewenang tambahan kepada Mahkamah Agung melainkan hanya pendelegasian aturan mengenai wewenang tambahan kepada aturan yang ada dibawahnya, dari hal tersebut dapat
kita lihat ada tabrakan antara
aturan tertinggi yaitu pasal 24A ayat 1 UUD 1945 yang mengharapkan
ada aturan dibawahnya yaitu undang- undang untuk mengatur lebih secara spesifik
terkait kewenangan tambahan dari MA, dengan aturan yang ada dibawahnya yaitu Pasal 8 ayat (2) UU N0.12 Tahun 2011 yang justru juga mengharapkan sesuatu yang konkrit berupa perintah dari aturan
yang ada di atasnya dan bukan suatu pelimpahan
atau pendelegasian aturan seperti yang ada di pasal 24A ayat 1 UUD 1945.
Yang ketiga, jika memang Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 hanya memberikan pendelegasian aturan mengenai wewenang tambahan Mahkamah Agung kepada aturan yang ada dibawahnya, mengapa aturan- aturan yang berada dibawahnya justru hanya terkesan
mengulang-ulangi kalimat “mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang”, dapat kita lihat
pada Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang bunyinya sebagai berikut:
Mahkamah Agung berwenang:
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
Pada bagian huruf c pasal di atas, dapat kita
lihat dengan jelas isi pasal
tersebut hanya mengulangi sifat open legal
policy yang sebelumnya disebutkan
oleh Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 yaitu “mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang” padahal secara idealnya aturan yang bersifat umum dalam
konstitusi harusnya dijelaskan secara lebih khusus dan konkrit di dalam aturan yang ada dibawahnya, dengan kata lain, kalimat “mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang” dalam UUD 1945 justru menginginkan adanya aturan yang lebih bersifat khusus dan konkrit pada Pasal 20 ayat (2) Huruf C UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut. Hanya saja, pada pasal tersebut justru hanya mengulangi
kembali sifat open legal
policy yang terkandung dalam
Pasal 24A ayat 1 UUD 1945.
Merujuk pada Stufenbau Theory
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen,
yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan
sistem anak tangga dengan kaidah
berjenjang dalam suatu susunan hierarki
yang dalam Dalam buku “General Theory of Law and State”, Kelsen
mengungkapkan bahwa:
“The unity of these norms is constituted by
the fact that the creation of the norm–the lower one-is determined by
another-the higher-the creation of which of determined by a still higher norm,
and that this regressus is terminated by a highest,
the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal
order, constitutes its unity”
Artinya, norma hukum yang dibawah berlaku dan bersumber dari norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi tersebut
juga bersumber dari norma
yang lebih tinggi lagi. Hal ini berlaku
seterusnya sampai berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar (Grundnorm)
Jika kita kaitkan tiga pertanyaan
sebelumnya dengan Stufenbau Theory yang sudah dijelaskan di atas makan dapat kita
tarik suatu jawaban bahwa lahirnya
Perma dengan berdasar pada
Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebenarnya telah mengacaukan asas hierarkis dalam aturan perundang-undangan
sebab pada Pasal 8 ayat (2)
UU No.12 Tahun 2011, memuat
kalimat “sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang
lebih tinggi” sedangkan peraturan yang lebih tingginya yaitu pasal 24A UUD 1945 sama sekali tidak
berisi perintah melainkan hanya pendelegasian atau pelimpahan aturan kepada Undang- Undang yang ada dibawahnya (Open Legal Policy) yang secara
logika hukum menyebabkan Pasal 24A UUD 1945 harus
diubah dan memuat perintah secara langsung terhadap pembuatan aturan-aturan diluar hieraki aturan perundang-undangan terkhusus Perma jika ingin tetap mempertahankan
kalimat “sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang
lebih tinggi” dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011, sebab tanpa adanya perintah
tersebut, aturan Perma yang
dibuat atas dasar Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 ini menjadi inkonstitusional secara logika hukum.
Harusnya jika ingin mengikuti logika Pasal 24A UUD 1945, isi pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 tersebut tidak perlu berisi
kalimat “sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang
lebih tinggi” melainkan dapat diganti saja dengan
kalimat “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dibolehkan/dilegitimasi oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan”.
Begitu juga dengan Pasal 20 ayat (2) Huruf C UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, aturan ini jelas
tidak mengikuti amanat dari Pasal 24A UUD 1945 yaitu kalimat “mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”, sebab pada huruf C dari pasal
20 ayat (2) UU No.48 Tahun
2009 tersebut bukannya mengkhususkan aturan umum yang ada di atasnya, aturan ini malah mengulangi
kalimat “kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang” yang sudah disebutkan sebelumnya dalam Pasal 24A UUD 1945.
Harusnya jika ingin mengikuti logika Pasal 24A UUD 1945, isi
Pasal 20 ayat (2) Huruf C
UU No. 48 Tahun 2009 tersebut
tidak perlu mengulang kalimat “kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang” melainkan dapat diganti saja dengan
kalimat yang lebih konkrit yang langsung berisi kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat Perma agar dasar kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat Perma memiliki dasar yang kuat dan tidak terkesan sewenang-wenang, sebab idealnya kekuasaan kehakiman sebagai cabang kekuasaan yudikatif harus dibatasi kewenangannya melalui undang-undang agar tidak menabrak konsep pemisahan kekuasaan, apalagi jika cabang
kekuasaan tersebut sudah mulai menyentuh
pada fungsi legislasi atau pembentukan aturan perundang- undangan, akan sangat berbahaya jika Undang-Undang hanya meng- estafetkan open legal policy tersebut
kepada Mahkamah Agung dengan mengulang kalimat “kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang”.
Atas dasar inilah penulis beranggapan bahwa Perma sebenarnya tidak dikenal dalam Hierarki
Peraturan Perundang-Undangan
sebab dasar keberadaannya dalam Pasal 8 UU
No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sulit untuk dipertanggung jawabkan logika Hukumnya ditambah lagi kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat Perma tidak diatur secara khusus
di dalam Pasal 20 ayat (2) Huruf C UU No. 48 Tahun 2009 yang
terkesan membuat dasar hukum dalam
pembuatan. Namun demikian, dalam beberapa kasus tertentu, Perma tetap memiliki peran yang sangat penting, terutama untuk mengisi kekosongan
hukum dalam proses peradilan.
Misalnya, Perma tentang Dispensasi Kawin dan Perma tentang
Mediasi sangat diperlukan untuk mengatasi ketidakjelasan hukum di lingkup acara peradilan. Perma semacam ini membantu
menyediakan pedoman hukum yang dibutuhkan dalam praktik, meskipun status hierarkisnya dalam perundang-undangan masih diperdebatkan, akan tetapi penelitian
ini sifatnya filosofis bukan fungsional, jadi lebih melihat kepada
aspek ideal atau bagaimana semestinya hierarki bekerja, bukan kepada aspek
bagaimana jika terjadi kekosongan hukum, jika tetap
dipaksakan hal ini ditanyakan, itu sama saja mengatakan
bahwa “anda tidak boleh berbicara
tentang bahaya rokok sebab ada
banyak petani tembakau dan karyawan yang bergantung hidup pada pabrik rokok, jika
terjadi kekosongan pabrik rokok maka
akan banyak PHK” sama saja logikanya
dengan “anda tidak boleh berbicara
kerancuan Perma dalam hierarki peraturan perundang-undagan karena ada banyak aturan
hukum yang bergantung kepada Perma untuk menghindari kekosongan Hukum” tapi itu bukan
alasan untuk tidak boleh membahas
bahaya rokok ataupun kerancuan Perma, ketergantukan kita kepada Perma untuk mengisi kekosongan hukum tidak dapat
dijadikan alasan untuk tidak boleh
membahas dasar kedudukan Perma yang keliru dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Hal inilah yang menjadi dasar dalam
penelitian ini untuk mengatakan bahwa dasar argumen
membenarkan kedudukan Perma
ini terlalu dibuat buat hanya
karena aspek fungsional semata yaitu mengisi kekosongan
hukum, pelengkap kekurangan hukum, sarana penegakan dan penemuan hukum serta sebagai sumber
hukum, yang hal ini pun sebenarnya tidak dapat menjadi
pengecualian atau mengesampingkan aspek filosofisnya yaitu aturan-aturan serta asas-asas hukum yang harus dipatuhi sebagaimana mestinya.
Dibentuk oleh Cabang Kekuasaan
yang Tidak Semestinya dan Melanggar Konsep Pemisahan Kekuasaan (Trias Politica)
Selain daripada hal yang sudah disebutkan di atas, jenjang norma dalam aturan perundang-undangan dibuat agar pendelegasian norma umum yang ada dalam
konstitusi kita dalam hal ini
UUD 1945 dapat diturunkan secara khusus melalui
peraturan-peraturan yang ada
di bawahnya melalui penafsiran norma-norma yang diambil
dari masyarakat yang dibahas oleh cabang kekuasaan legislatif sebagai delegasi rakyat yang kemudian disahkan dalam bentuk undang-undang
bersama presiden sebagai cabang kekuasaan eksekutif yang menjadi pelaksana jalannya pemerintahan yang biasanya peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut diterbitkan melalui peraturan pemerintah bahkan peraturan presiden.
Aturan-aturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan dari umum ke khusus
inilah yang kemudian diterapkan sebagai sarana penegakan asas legalitas untuk membatasi kekuasaan
Teori ini kemudian dikembangkan oleh ahli politik dan filsafat perancis yang bernama Montesquieu (1689-1755). Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan
itu haruslah terpisah satu sama
lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Menurut
Montesquieu, kekuasaan legislatif
adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang,
kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang (oleh Montesquieu diutamakan
tindakan dibidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang- undang.
Ajaran ini lazim diseut sebagai
trias politica yang menuntut adanya suasana checks and balances, dimana
di dalam hubungan antar lembaga negara tersebut terdapat saling menguji, karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui
batas kekuasaan yang sudah ditentukan. Pengakuan kekuasaan yang diberikan kepada berbagai badan negara oleh
pembuat undang-undang dasar atau undang-undang
dipandang sebagai balances.
Kewajiban penerima kekuasaan untuk bertanggung jawab kepada pemberi kekuasaan dipandang sebagai checks. Dengan demikian antara pemberi kekuasaan dan penerima kekuasaan terdapat hubungan, yaitu hubungan pengawasan badan pemberi kekuasaan terhadap badan penerima kekuasaan.
Oleh karena Hierarki Peraturan Perundang-Undangan dalam pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan hanya menyebutkan aturan yang dibuat oleh legislatif dan eksekutif sebagai dasar dalam
menjalankan asas legalitas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka menjadi aneh jika
pada pasal 8 dalam UU tersebut justru melegitimasi suatu kekuasaan yang sama sekali tidak dilibatkan
dalam perancangan undang-undang dalam hal ini yudikatif
untuk membuat aturan yang setara dengan undang-undang, menjelaskan isi suatu undang-undang dan bahkan berlaku sebagai dasar hukum
yang dipakai hakim dalam mengeluarkan suatu putusan di pengadilan, belum lagi jika
aturan diluar hierarki ini melanggar
hak warga negara, tentunya akan menimbulkan
problematika tersendiri sebab pengujiannya akan dipertanyakan oleh lembaga kekuasaan kehakiman apakah aturan diluar hierarki
ini masuk dalam kategori undang-undang yang dapat diuji atau tidak
sebab tidak diatur secara jelas
kedudukannya dalam tatanan hukum nasional.
Hal ini jelas melanggar prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran/konsep
trias politica yang menuntut adanya suasana checks and balances diantara
cabang kekuasaan sebab bagaimana mungkin terjadi suasana checks and balances sebagaimana
yang sudah disebutkan di atas jika kedudukan
Perma dalam hierarki aturan perundang-undangan tidak disebutkan secara jelas melalui
undang-undang yang hal ini akan berdampak
pada sulitnya kekuasaan kehakiman dalam menentukan dasar dalam pengujiannya sebagai aturan yang dianggap berlaku seperti undang- undang yang di atas disebutkan sebagai istilah checks. Sedangkan dalam teori trias
politica penerima kekuasaan dalam hal ini Mahkamah
Agung sebagai pembuat Perma
wajib bertanggung jawab kepada pemberi
kekuasaan/wewenang membuat Perma dalam hal ini masyarakat
yang diwakili oleh DPR melalui
produk Undang-Undang yang harusnya dapat di uji di lembaga Kekuasaan Kehakiman sebagai bentuk Checks kepada kekuasaan yudikatif yang mengeluarkan aturan diluar Hierarki peraturan perundang-undangan yang
semestinya.
Apalagi dengan dibukanya keran open legal policy
kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan kewenangan tambahan dari Mahkamah
Agung melalui pasal 24A UUD
1945 yaitu kalimat “mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang” akan melanggar nilai balances yaitu tidak boleh
melampaui batas kekuasaan
yang sudah ditentukan sebagaimana kita ketahui idealnya yudikatif memiliki fungsi asli sebagai
“Rule Adjudication Function” atau dikenal
juga dengan kekuasaan mengadili atas adanya pelanggaran dalam undang-undang, bukan sebagai “Rule Making
Function” atau pembentuk aturan perundang-undangan, yang dimana hal ini
sangat berpotensi untuk menabrak palang-palang konsep pemisahan kekuasaan yang disebabkan tidak disebutkannya secara rinci sejauh
mana kewenangan tambahan itu dibatasi oleh konstitusi.
Akan tetapi hal ini sebenarnya
masih bisa dikontrol oleh pembuat Undang-Undang yaitu DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif dengan cara tidak
memberikan kewenangan pembentukan peraturan perundang- undangan kepada Mahkamah Agung dengan tetap berpegang
tegung pada konsep pemisahan kekuasaan, akan tetapi pada kenyatannya DPR melalui Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, justru tidak membatasi keran open legal policy tersebut dengan mengkerucutkan atau mengkonkritkan kewenangan Mahkamah Agung melaui Undang-Undang tersebut melainkan hanya mengulangi kalimat Mahkamah Agung memiliki “kewenangan lainnya yang diberikan undang- undang” yang mengakibatkan Mahkamah Agung dapat dengan bebasnya
membuat suatu aturan atas dasar
untuk mengisi kekosongan hukum, pelengkap kekurangan hukum, sarana penegakan
dan penemuan hukum serta sebagai sumber
hukum, yang sebenarnya tidak dikenal dalam
dalam Hierarki Peraturan Perundangan-undangan.
Berisi Perintah
dan Larangan yang melampaui
kewenangan Mahkamah Agung dalam Undang-Undang
Dilihat dari segi teknik pembentukan
peraturan perundang-undangan
Perma tidak mencerminkan suatu peraturan perundang-undangan akan tetapi jika dilihat
dari segi aspek materi muatannya
aturan ini memiliki kemiripan dengan peraturan perundang- undangan, hal ini dibuktikan
dengan adanya suatu jenis norma perundang- undangan seperti perintah (gebod) dan larangan (verbod). Contoh dari adanya
norma perintah (gebod) terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) PERMA RI Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelsaian Sengketa Administrasi Pemerintahan yang mengatur: “Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif.”
Pasal ini mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk menempuh upaya administratif terlebih dahulu sebelum melimpahkan gugatannya ke PTUN. Contoh lain bahwa PERMA RI ini mengandung norma larangan (verbod) terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) yang mengatur: “Pihak ketiga tidak dapat
mengajukan gugatan atas keputusan hasil tindak lanjut
upaya administratif terhadap putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap”
Ketentuan Pasal 4 ayat 2 ini adalah berupa
larangan kepada pihak ketiga untuk
mengajukan suatu gugatan terhadap suatu keputusan hasil tindak lanjut
upaya administratif apabila hal tersebut
sudah dinyatakan berkekuatan hukum melalui suatu putusan
pengadilan. Oleh karena
PERMA RI ini mengatur pula pihak ketiga, khususnya
yang merasa dirugikan atas suatu keputusan
hasil tindak lanjut upaya administratif,
maka selain berlaku secara internal, karena mengatur Hakim PTUN untuk tunduk pada ketentuan tersebut, PERMA RI ini juga memiliki daya mengikat secara
eksternal, dalam hal ini para pihak
ketiga yang merasa dirugikan terhadap suatu keputusan hasil tindak lanjut
upaya administratif.
Akan tetapi perintah (gebod) dan larangan (verbod) yang terdapat dalam PERMA RI ini menjadi kontradiktif
dengan kewenangan Mahkamah Agung yang disebutkan dalam Pasal 32 UU No.3 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang isi Pasalnya adalah
sebagai berikut:
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.
b. Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksana tugas administrasi dan keuangan.
c. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan
tentang hal- hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan
dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya.
d. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan
kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya.
e. Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Dari isi Pasal 32 di atas tidak ada
satupun ayat yang menyebutkan mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam memerintahkan atau melarang badan peradilan yang berada dibawahnya, melainkan hanya mengawasi dengan memberi petunjuk, teguran, atau peringatan, bahkan pada ayat (5) menegaskan bahwa pengawasan dan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, yang artinya pengawasan dan kewenagan yang diberikan oleh Mahkamah Agung terhadap badan peradilan yang ada dibawahnya idealnya bukan bersifat perintah (gebod) dan larangan (verbod) melainkan hanya bersifat petunjuk, teguran, atau peringatan sebagaimana yang disebutkan pada ayat (4).
Atas dasar tersebut dapat kita tarik suatu
kesimpulan bahwa adanya jenis norma perundang-undangan seperti perintah (gebod) dan larangan (verbod) di dalam PERMA RI jelas telah melampaui kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang,
yang berarti perintah (gebod) dan larangan (verbod) dalam PERMA RI ini tidak dapat
bersifat mengikat secara hukum sebagaimana
idealnya suatu peraturan perundang-undangan yang
lain, akibatnya PERMA RI hanya
dapat disejajarkan dengan SEMA atau aturan-aturan lain yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
Analisis Hukum Terkait
Penolakan Majelis Hakim
PTUN Surabaya Atas Gugatan Luqman
Alwi Yang Dinilai Premature
Akar masalahnya ada pada tidak diperolehnya Keputusan Dewan Etik
Fakultas oleh Luqman Alwi yang dimana Keputusan Dewan Etik tersebut adalah
dasar yang dapat digunakan banding ke Dewan Etik di Tingkat Universitas jika merasa keberatan oleh Keputusan
Dewan Etik Fakultas, adapun ketentuan banding diatur dalam Pasal 27 Peraturan Rektor Universitas Airlangga No.18/H3/PR/2009 tentang
Dewan Etika Universitas Airlangga yang berbunyi:
a. Keputusan
Sidang Dewan Etika di tingkat
Fakultas dapat dilakukan upaya banding ke Dewan Etika di tingkat
Universitas
b. Banding
dapat diajukan oleh Pelapor atau Terlapor
c. Pengajuan upaya banding sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara tertulis dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak
ditetapkannya keputusan
Dewan Etika di Tingkat Fakultas.
Karena tidak diperolehnya informasi mengenai Keputusan Dewan Etik Fakultas yang harusnya diterima Luqman Alwi, yang bersangkutan akhirnya tidak mengetahui kapan dimulainya “7 (tujuh) hari kalender sejak
ditetapkannya keputusan
Dewan Etika di Tingkat Fakultas” guna
mengajukan Banding ke Dewan
Etika Universitas, akibatnya haknya
untuk mengajukan banding menjadi hilang jika mengacu pada pasal 27 Peraturan Rektor Universitas Airlangga
No.18/H3/PR/2009 tentang Dewan Etika Universitas Airlangga di atas, dan berujung pada diterbitkannya
Keputusan Rektor UNAIR Nomor
887/UN3/2021.
Akibat hal itu, Luqman Alwi
pun melakukan upaya administrasi berupa “keberatan” kepada pihak universitas karena menganggap Surat Keputusan Rektor
UNAIR Nomor 887/UN3/2021 cacat
secara formil sebab tidak dibuat
berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Airlangga
No.18/H3/PR/2009 tentang Dewan Etika Universitas Airlangga yang harusnya dijadikan dasar dalam penerbitannya, yang kemudian setelah Luqman Alwi beberapa
kali mengajukan keberatan secara tertulis, pada akhirnya upaya administratif tersebut ditanggapi dengan Surat Bernomer 1691/UN3.2/HK/2021 Tertanggal
1 Desember 2021 yang pada intinya
MENOLAK keberatan yang Penggugat
mohonkan. Adapun pertimbangan
Tergugat sebagai berikut:
“Pada pokoknya, dari proses tersebut sampai pada suatu kesimpulan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Sdr. Luqman Alwi, tidak
hanya terbatas pada pelanggaran etika dan norma akademik yang berpotensi mencoreng nama baik Universitas Airlangga dan profesi dokter saja, melainkan juga ada indikasi yang mengarah pada suatu tindak pidana sebagaimana
diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Karena hal tersebut, pada tanggal 7 Desember 2021 Luqman Alwi memutuskan mengajukan gugatan ke PTUN Surabaya yang terdaftar
di Kepaniteraan Pengadilan
Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 8 Desember 2021 dengan Register Perkara Nomor
190/G/2021/PTUN.SBY. Hasilnya, putusan
PTUN Surabaya pun menerima eksepsi
tergugat yang dimana isinya menilai gugatan saudara Luqman Alwi terhadap
SK Rektor UNAIR tersebut masih Premature karena belum melalui upaya
administrasi sebelum dilimpahkan ke Pengadilan dan secara yuridis formal kewenangan peradilan tata usaha negara dibatasi secara tidak langsung oleh Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan jo. Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelsaian Sengketa Administrasi Pemerintahan.
Yang menjadi persoalan adalah di dalam Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menjadi dasar hukum
eksepsi tergugat tersebut tidak secara spesifik menjelaskan mengenai keharusan dilakukannya upaya administrasi terlebih dahulu sebelum suatu sengketa
dilimpahkan ke Pengadilan. Adapun bunyi Pasal
yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Warga masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan upaya administratif kepada pejabat pemerintahan atau atasan pejabat
yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan”
Jika kita cermati isi pasal
di atas, kalimat dalam pasal tersebut
sebenarnya sama sekali tidak berisi
suatu perintah yang mewajibkan seseorang mengajukan upaya administratif terlebih dahulu sebelum gugatannya dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kata “dapat” yang berarti pasal ini hanya
memberikan suatu pilihan kepada seseorang yang ingin mengajukan gugatan, apakah ingin menggunakan
upaya administratifnya terlebih dahulu atau tidak, dengan
kata lain upaya administratif
pada pasal ini justru merupakan suatu “hak” bukan
suatu “kewajiban” yang dimana “hak” tersebut
dapat digunakan dan juga dapat tidak digunakan
tergantung kepada pemilik “hak” tersebut
dalam hal ini yaitu warga
masyarakat yang merasa dirugikan terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan di dalam lingkup administrasi
pemerintahan.
Atas dasar penjelasan tersebut, maka isi Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan, yang mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk menempuh upaya administratif terlebih dahulu sebelum melimpahkan gugatannya ke PTUN serta isi
eksepsi tergugat yang menjelaskan kewenangan peradilan tata usaha negara dibatasi secara tidak langsung oleh Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan jo. Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelsaian Sengketa Administrasi Pemerintahan, menjadi keliru, sebab upaya
administratif pada pasal 75
ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan justru hanya merupakan suatu “hak” dan bukan suatu “kewajiban”
lagipula perintah (gebod) dan larangan (verbod) dalam PERMA RI ini tidak dapat
bersifat mengikat secara hukum sebagaimana
idealnya suatu peraturan perundang-undangan yang
lain dikarenakan perintah (gebod) dan larangan (verbod) yang terdapat dalam PERMA RI ini kontradiktif/tidak diatur dengan kewenangan
Mahkamah Agung yang disebutkan
dalam Pasal 32 UU No.3 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Akibatnya Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan ini justru tidak sesuai
dengan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 UU No.12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
berbunyi sebagai berikut:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Dari isi Pasal di atas kita dapat
melihat bahwa Perma Nomor 6 Tahun 2018 ini telah melanggar:
a. Huruf b sebab dibuat
diluar kewenangan Mahkamah Agung yang dituliskan dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945,
Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 32 UU No.3 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
b. Huruf c sebab Perma tidak dikenal dalam
Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 tentng
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan lahirnya
Perma dengan berdasar pada
Pasal 8 UU tersebut telah mengacaukan asas hierarkis dalam aturan perundang-undangan dikarenakan pada Pasal 8, memuat kalimat “sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang
lebih tinggi” sedangkan peraturan yang lebih tingginya yaitu pasal 24A UUD 1945 sama sekali tidak
berisi perintah melainkan hanya pendelegasian atau pelimpahan aturan kepada Undang-Undang yang ada dibawahnya (Open Legal
Policy).
c. Huruf f sebab penjelasannya
mengenai kata “dapat” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan adalah keliru sebab
kata “dapat” dalam pasal tersebut menggambarkan suatu “hak” dan bukan suatu “kewajiban”.
d. Huruf g sebab dibentuk
oleh kekuasaan yang sama sekali tidak dilibatkan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Parlemen yang mengakibatkan peraturan tersebut bukan berasal dari
norma yang ada di masyarakat
melalui wakilnya diparlemen, artinya peraturan ini (Perma) sama sekali tidak
melibatkan masyarakat dalam pembentukannya, disamping itu peraturan
ini juga tidak jelas bagaimana prosedur pengujiannya, konsekuensinya aturan ini dapat dikatakan
tidak terbuka.
Jika kita kaitkan dengan apa yang telah dibahas sebelumnya, terdapat 3 hal yang dilanggar oleh perma ini yaitu:
1) Melanggar Asas Hierarki Jenjang Norma (Stufenbau Theory), sebab norma paraturan perundang-undangan yang
tertinggi bertentangan dengan norma peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, hal ini
dibuktikan dengan lahirnya Perma dengan berdasar pada Pasal 8 UU No.12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mengacaukan asas hierarkis dalam aturan perundang-undangan
dikarenakan pada Pasal 8 ayat
(2) UU No.12 Tahun 2011, memuat
kalimat “sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang
lebih tinggi” sedangkan peraturan yang lebih tingginya yaitu pasal 24A UUD 1945 sama sekali tidak
berisi perintah melainkan hanya pendelegasian atau pelimpahan aturan kepada Undang-Undang yang ada dibawahnya (Open Legal
Policy).
2) Melanggar Asas Pemisahan Kekuasaan (Trias Politica), sebab pasal 8 dalam
UU No.1 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan justru melegitimasi suatu kekuasaan yang sama sekali tidak
dilibatkan dalam perancangan undang-undang dalam hal ini
yudikatif untuk membuat aturan yang setara dengan undang-undang
yaitu PERMA. Sedangkan, sebagaimana yang kita ketahui, idealnya yudikatif memiliki fungsi asli sebagai
“Rule Adjudication Function” atau dikenal
juga dengan kekuasaan mengadili atas adanya pelanggaran dalam undang-undang, bukan sebagai “Rule Making
Function” atau pembentuk aturan perundang- undangan.
3) Melanggar Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik karena pembentukannya melanggar Pasal 5 Huruf b, c, f,
g UU No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan seperti yang sebelumnya dijelaskan di atas.
Berdasarkan alasan-alasan di atas dapat kita
lihat bahwa PERMA RI khususnya Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan sebenarnya tidak tidak memenuhi
syarat sebagai peraturan perundang-undangan, baik dari aspek
formil maupun materilnya, dan oleh karena ia tidak memenuhi
syarat sebaga peraturan perundang-undangan, maka seharusnya ia tidak bisa
dipakai oleh hakim di PTUN Surabaya sebagai dasar hukum
untuk menolak gugatan Luqman Alwi atas dikeluarkannya
Surat Keputusan Rektor UNAIR Nomor
887/UN3/2021, tertanggal 9 September 2021, tentang Pemberhentian Sebagai Mahasiswa Universitas Airlangga, apalagi PERMA RI ini dibuat dari
cabang kekuasaan Yudikatif yaitu Mahkamah Agung yang menjadi aneh apabila aturan
ini justru berusaha menjelaskan isi pasal dalam
suatu Undang-Undang yang merupakan produk dari kekuasaan Legislatif bahkan sampai memuat perintah
dan larangan yang sebenarnya
hal ini justru
melampaui kewenangan Mahkamah Agung yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pertimbangan
hukum haruslah berdasar kepada aturan hukum yang jelas, yang dimana aturan yang jelas disini merupakan aturan yang dibuat sesuai dengan kaidah-kaidah
hukum yang dimuat dalam undang-undang dan tidak bertentangan dengan konstitusi dalam hal ini
UUD 1945 serta tidak keluar dari asas-asas
hukum yang semestinya
Kesimpulan
Kedudukan Perma dalam tatanan Hukum Nasional tidak dapat dikatakan sebagai Peraturan Perundang-Undangan sebab dalam pembentukannya, aturan ini telah melanggar hierarki jenjang norma, melanggar konsep pemisahan kekuasaan serta melanggar asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik. Oleh karena kedudukan Perma dalam tatanan Hukum Nasional tidak dapat dikatakan sebagai Peraturan Perundangan-Undangan maka logika Majelis Hakim PTUN Surabaya yang menolak gugatan Luqman Alwi terhadap Surat Keputusan Rektor UNAIR hanya karena tidak melakukan upaya administratif sebelum mengajukannya ke PTUN dengan menjuncto-kan Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan menjadi keliru sebab pertimbangan hukum haruslah berdasar kepada aturan hukum yang jelas, yang dimana aturan yang jelas disini merupakan aturan yang dibuat sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang dimuat dalam undang-undang dan tidak bertentangan dengan konstitusi dalam hal ini UUD 1945.
Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menjadi dasar hukum eksepsi tergugat tersebut sama sekali tidak berisi suatu perintah yang mewajibkan seseorang mengajukan upaya administratif terlebih dahulu sebelum gugatannya dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kata “dapat” yang berarti pasal ini hanya memberikan suatu pilihan kepada seseorang yang ingin mengajukan gugatan, apakah ingin menggunakan upaya administratifnya terlebih dahulu atau tidak, dengan kata lain upaya administratif pada pasal ini justru merupakan suatu “hak” bukan suatu “kewajiban” yang dimana “hak” tersebut dapat digunakan dan juga dapat tidak digunakan tergantung kepada pemilik “hak” tersebut dalam hal ini yaitu warga masyarakat yang merasa dirugikan terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan di dalam lingkup administrasi pemerintahan.
BIBLIOGRAFI
Aditya, R. (2019). Keputusan
PTUN Yogyakarta dalam Sengketa
Mahasiswa dan Universitas Gadjah Mada.
Jurnal Hukum Dan Pendidikan, 15(2),
123–135.
Breyer, S. G., Stewart, R. B.,
Sunstein, C. R., Vermeule, A., & Herz, M.
(2022). Administrative Law and Regulatory Policy: Problems, Text, and Cases
[Connected eBook with Study Center]. Aspen Publishing.
Burhanudin, A. A. (2018). Peran etika
profesi hukum sebagai upaya penegakan hukum yang baik. El-Faqih: Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam, 4(2), 50–67.
Craig, P. (2012).
Administrative law in the Anglo-American tradition. The Sage Handbook of
Public Administration, London: Sage, 333–345.
Fikriawan, S. (2023). Analisa Hukum terhadap Penolakan oleh Majelis Hakim PTUN dalam Perspektif Hukum Administrasi. Al-Manhaj: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 5(1),
23–34.
Hidayat, A., & Arifin, Z. (2019). Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium Di Indonesia. Jurnal Ius Constituendum, 4(2), 147–159.
Kelsen, H. (2017). General theory of law and
state. Routledge.
Mason, A., & Stephenson,
M. (2010). Judicial Review of Administrative Action in Common Law. Oxford
University Press.
Mulyadi, H. (2022). Hukum Tata Usaha Negara: Teori dan Praktek di Indonesia.
Penerbit Kencana.
Ridwan, I. H. J., & Sudrajat, M. H. A. S. (2020). Hukum administrasi
Negara dan kebijakan pelayanan
publik. Nuansa Cendekia.
Rubin, E. L. (1984). Due
process and the administrative state. Calif. L. Rev., 72, 1044.
Sakti, M., & Wahyuningsih, Y. Y. (2017). Tanggung
Jawab Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Jurnal
Yuridis, 4(1).
https://doi.org/10.35586/.v4i1.135
Scholten, P. (2003). Struktur Ilmu Hukum. Terjemahan Oleh B. Arief
Sidharta, Alumni, Bandung.
Soemantri, S. (1992). Bunga Rampai
Hukum Tata Negara Indonesia.
Sugiyono. (2023). Metode
Penelitian Kualitatif (Untuk penelitian yang bersifat: eksploratif, enterpretif, interaktif dan konstruktif). CV. Alfabeta.
Syamsuddin, A. (2022). Proses Dan Teknik Penyusunan Undang-Undang (Edisi Kedua). Sinar Grafika.
Copyright holder: Arief Rahman Ruslan, Anna Erliyana (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |