Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9. No. 9, September 2024

 

ANALISA HUKUM TERKAIT PENOLAKAN MAJELIS HAKIM PTUN SURABAYA ATAS GUGATAN LUQMAN ALWI YANG DINILAI PREMATURE TERHADAP KEPUTUSAN REKTOR UNAIR NOMOR 887/UN3/2021

Arief Rahman Ruslan1, Anna Erliyana2

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Putusan Hakim PTUN Surabaya menilai gugatan Luqman Alwi terhadap SK Rektor UNAIR masih prematur karena belum melalui tahap administrasi di tingkat kampus sebelum dilimpahkan ke Pengadilan, Majelis Hakim menilai bahwa gugatan Luqman Alwi terhadap SK Rektor UNAIR masih prematur. kewenangan peradilan tata usaha negara secara tidak langsung dibatasi oleh Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan jo. Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan yaitu Setelah dilakukannya tindakan administratif. Meski terdapat Perma Nomor 6 Tahun 2018 yang dianggap menjelaskan isi Pasal 75 ayat (1), namun hal ini juga menjadi kontroversi karena Perma tersebut masih dipertanyakan kedudukannya dalam tatanan hukum nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Putusan Hakim PTUN Surabaya terkait gugatan Luqman Alwi terhadap Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Airlangga (UNAIR) yang dinilai prematur, serta menilai relevansi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 6 Tahun 2018 dalam tata hukum nasional. Menggunakan metode penelitian hukum normatif/doktrinal melalui studi literatur yang mengkaji putusan pengadilan terkait gugatan Luqman Alwi terhadap SK Rektor UNAIR dan relevansi Perma Nomor 6 Tahun 2018 dalam tatanan hukum nasional. Putusan hakim dalam hal ini PTUN Surabaya harus didasarkan pada landasan hukum yang kuat agar kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat tidak dirugikan, oleh karena itu kedudukan Perma dalam Tata Hukum Nasional harus dikaji lebih dalam. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlunya pengkajian lebih mendalam terhadap kedudukan Perma dalam tatanan hukum nasional untuk memastikan bahwa putusan pengadilan didasarkan pada landasan hukum yang kuat, sehingga tidak merugikan kepastian hukum dan rasa keadilan. keadilan dalam masyarakat.

Kata Kunci: Putusan Hakim, Perma, Gugatan, Pengadilan Tata Usaha Negara.

 

Abstract

The verdict of the Surabaya State Administrative Court judges considered Luqman Alwi's lawsuit against the UNAIR Rector's Decree premature because it had not gone through the administrative stage at the campus level before being submitted to the Court, the Panel of Judges considered that Luqman Alwi's lawsuit against the UNAIR Rector's Decree was premature. the authority of the state administrative court is indirectly limited by Article 75 paragraph (1) of the Government Administration Law jo. Perma Number 6 of 2018 concerning Guidelines for Settlement of Government Administration Disputes, namely after administrative action is taken. Although there is Perma Number 6 of 2018 which is considered to explain the contents of Article 75 paragraph (1), this has also become controversial because the Perma is still questionable in its position in the national legal order. This study aims to analyze the Decision of the Surabaya State Administrative Court Judge regarding Luqman Alwi's lawsuit against the Decree (SK) of the Rector of Universitas Airlangga (UNAIR) which was considered premature, and assess the relevance of Supreme Court Regulation (Perma) Number 6 of 2018 in the national legal system. This research uses normative/doctrinal legal research methods through literature studies that examine court decisions related to Luqman Alwi's lawsuit against the UNAIR Rector Decree and the relevance of Perma No. 6/2018 in the national legal order. The judge's decision in this case PTUN Surabaya must be based on a strong legal basis so that legal certainty and a sense of justice are not harmed, therefore the position of Perma in the National Legal System must be studied more deeply. The recommendation from this research is the need for a deeper study of the position of Perma in the national legal order to ensure that court decisions are based on a strong legal basis, so as not to harm legal certainty and a sense of justice in society.

Kata Kunci: Judge's Decision, Perma, Lawsuit, State Administrative Court.

 

Pendahuluan

Mengenai akses hukum untuk memberi rasa keadilan kepada masyarakat tentunya tidak lepas dari yang Namanya badan peradilan di Indonesia, yang dimana Majelis hakim memiliki kewenangan mewakili Peradilannya masing-masing untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.  Peradilan dalam hal ini Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menerima dan menolak suatu gugatan yang diajukan oleh pemohon melalui putusan yang dikeluarkannya atas nama pengadilan. Dalam mengeluarkan suatu putusan tentunya Majelis Hakim memiliki dasar yang dijadikan sebagai suatu batu uji dalam menolak ataupun mengabulkan suatu gugatan yang menjadi kewenangannya dengan berdasar kepada undang-undang.

Dalam hal ini, persoalan terjadi apabila rasa keadilan masyarakat mengenai akses terhadap hukum dibatasi oleh suatu aturan tertulis dalam hal ini undang-undang yang justru tidak menjelaskan secara spesifik terkait norma yang menjadi tujuan aturan tersebut dibuat atau ke arah mana harusnya aturan tersebut di implementasikan sehingga hal ini dapat menimbulkan multitafsir diantara para akademisi ataupun praktisi hukum yang berpotensi menciderai kepastian hukum dan rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat pencari keadilan.

Adapun aturan yang dimaksud disini adalah Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan, “Warga masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan upaya administratif kepada pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan”. Dalam pasal tersebut tidak di atur secara spesifik mengenai aturan jika suatu penyelesaian sengketa mengharuskan/mewajibkan dilakukannya upaya administrasi terlebih dahulu sebelum suatu sengketa dilimpahkan ke Pengadilan.

Fenomena penolakan gugatan oleh PTUN Surabaya ini mencerminkan dinamika yang kompleks antara kepentingan individu dengan kebijakan institusional. PTUN, sebagai lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa di bidang administrasi negara, memainkan peran penting dalam menyeimbangkan antara kewenangan eksekutif dan hak-hak warga negara. Dalam kasus ini, penolakan gugatan oleh PTUN didasarkan pada pertimbangan bahwa gugatan tersebut dianggap prematur, yang berarti gugatan diajukan sebelum terpenuhinya syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh hukum.

Menurut hukum tata usaha negara di Indonesia, suatu keputusan administrasi baru dapat digugat apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu, termasuk di antaranya adalah keputusan tersebut telah final dan mengikat (Mulyadi, 2022). Dalam konteks ini, keputusan Rektor UNAIR mungkin dianggap belum memenuhi kriteria tersebut sehingga gugatan yang diajukan oleh Luqman Alwi dinilai prematur. Putusan PTUN yang menolak gugatan ini menunjukkan pentingnya memahami tahapan dan prosedur dalam menggugat keputusan administrasi di lingkungan pendidikan tinggi.

Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan pentingnya pemahaman yang lebih mendalam mengenai mekanisme pengambilan keputusan di institusi pendidikan tinggi. Universitas sebagai lembaga otonom memiliki kewenangan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan operasional dan manajemen kampus, termasuk yang menyangkut mahasiswa dan staf akademik. Namun, dalam pelaksanaannya, keputusan-keputusan ini tidak jarang menimbulkan sengketa hukum, baik dari pihak mahasiswa, staf, maupun pihak eksternal lainnya. Sengketa ini biasanya berkaitan dengan penilaian terhadap apakah keputusan tersebut telah dibuat secara adil dan sesuai dengan prosedur yang berlaku (Sakti & Wahyuningsih, 2017).

Dalam kasus Luqman Alwi, aspek yang menjadi sorotan adalah bagaimana proses hukum berlangsung dalam sengketa antara mahasiswa dan universitas. Keputusan PTUN Surabaya untuk menolak gugatan ini berdasarkan penilaian bahwa gugatan tersebut diajukan terlalu dini, sebelum proses administrasi internal di universitas selesai. Hal ini menunjukkan pentingnya prosedur internal di universitas yang harus diikuti oleh para pihak yang merasa dirugikan sebelum membawa kasusnya ke ranah hukum.

Fenomena serupa juga pernah terjadi dalam berbagai kasus di institusi pendidikan lainnya, di mana sengketa antara mahasiswa dan institusi sering kali diselesaikan melalui mekanisme internal sebelum akhirnya dibawa ke pengadilan. Misalnya, kasus di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2019, di mana seorang mahasiswa menggugat keputusan rektor terkait skorsing, namun gugatan tersebut juga ditolak oleh PTUN karena dianggap prematur (Aditya, 2019). Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan di kalangan mahasiswa untuk langsung membawa kasusnya ke pengadilan tanpa melalui mekanisme penyelesaian internal terlebih dahulu, yang akhirnya berujung pada penolakan gugatan.

Di sisi lain, fenomena ini juga menggarisbawahi perlunya perbaikan dalam sistem administrasi dan tata kelola di universitas, agar dapat memberikan kepastian hukum yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat. Keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas di dalam universitas dapat mengurangi potensi sengketa hukum yang berlarut-larut dan meningkatkan kepercayaan terhadap institusi pendidikan tersebut (Fikriawan, 2023).

Dengan demikian, penolakan gugatan Luqman Alwi oleh PTUN Surabaya memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya pemahaman hukum dalam konteks administrasi pendidikan tinggi. Ini juga menegaskan bahwa hak untuk menggugat keputusan administrasi harus dilandasi oleh pemenuhan syarat-syarat hukum yang berlaku, serta pentingnya penyelesaian sengketa melalui mekanisme internal sebelum membawa kasusnya ke pengadilan. Hal ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi institusi pendidikan dalam memperbaiki sistem tata kelola mereka, serta bagi mahasiswa dalam memahami hak dan kewajiban mereka dalam konteks hukum.

Walaupun dalam Perma Nomor 6 Tahun 2018 yang dinilai menjelaskan isi Pasal 75 ayat (1) tersebut, akan tetapi hal ini juga menjadi kontroversi sebab Perma masih dipertanyakan kedudukannya sebab dibuat bukan dari cabang kekuasaan legislatif tempat suatu produk Undang-Undang dibuat/dirumuskan normanya, terlebih lagi Perma tidak disebutkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat 1 (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga putusan Majelis Hakim PTUN Surabaya yang menolak gugatan Luqman Alwi terhadap Surat Keputusan Rektor UNAIR hanya karena tidak melakukan upaya administratif sebelum mengajukannya ke PTUN masih perlu dikaji lebih lanjut sebab Majelis Hakim menjuncto-kan Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan, sedangkan hakim dalam membuat putusan harus berdasar pada aturan perundang-undangan yang benar dan memiliki dasar yang kuat sebagai suatu batu uji yang legalitasnya dapat dipertanggung jawabkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Putusan Hakim PTUN Surabaya terkait gugatan Luqman Alwi terhadap Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Airlangga (UNAIR) yang dinilai prematur, serta menilai relevansi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 6 Tahun 2018 dalam tata hukum nasional.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif/doktrinal, penelitian ini dilakukan dengan cara studi dokumen (library research) yang bersumber dari bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, keputusan / ketetapan pengadilan, kontrak / perjanjian / akad, teori hukum, dan pendapat para sarjana (Sugiyono, 2023). Penelitian ini dilakukan dengan cara menggambarkan dan memberikan penjelasan mengenai upaya administratif dan penghitungan tenggang waktu pengajuan gugatan setelah menempuh upaya administratif. Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai data yang didapat dengan melakukan studi kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier (Fikriawan, 2023). Bahan hukum lainnya meliputi kontrak, perjanjian, atau akad yang berkaitan dengan hubungan hukum antara mahasiswa dan universitas, serta teori-teori hukum yang mendukung analisis normatif ini. Pendapat para sarjana yang diambil dari berbagai literatur hukum juga digunakan untuk memperkuat argumen dan memberikan perspektif yang komprehensif dalam penelitian ini. Melalui pendekatan ini, penulis berusaha untuk memahami dan menganalisis permasalahan hukum yang muncul dalam konteks kasus yang diteliti, serta memberikan solusi berdasarkan kajian normatif yang mendalam. Tekhnik pengolahan terhadap bahan hukum yang telah terkumpul dilakukan dengan tahapan; inventarisasi, identifikasi, klasifikasi dan melakukan sistematisasi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis yang bersifat kualitatif yaitu dengan cara melakukan interpretasi (penafsiran) terhadap bahan-bahan hukum yang telah diolah.

 

Hasil dan Pembahasan

Kasus ini bermula ketika Luqman Alwi, seorang mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR), mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya terkait keputusan Rektor UNAIR yang tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 887/UN3/2021. Dalam gugatannya, Luqman Alwi menilai bahwa keputusan tersebut merugikan hak-haknya sebagai mahasiswa dan ia meminta agar keputusan tersebut dibatalkan oleh pengadilan. Namun, Majelis Hakim PTUN Surabaya menolak gugatan tersebut dengan alasan bahwa gugatan yang diajukan oleh Luqman Alwi dianggap premature. Dalam artian, gugatan tersebut diajukan sebelum terpenuhinya syarat-syarat formal yang diperlukan untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Oleh karena itu, gugatan tersebut tidak dapat diterima dan diproses lebih lanjut oleh pengadilan.

Dalam menganalisis penolakan Majelis Hakim PTUN Surabaya, penting untuk memahami kedudukan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) sebagai salah satu sumber hukum yang digunakan oleh pengadilan dalam memutuskan perkara. Perma berfungsi sebagai pedoman teknis bagi para hakim dalam melaksanakan tugas yudisial mereka. Pada kasus ini, penolakan gugatan yang dinilai premature kemungkinan besar didasarkan pada pemahaman hakim terhadap Perma yang mengatur mengenai prosedur beracara di PTUN. Penolakan gugatan yang dianggap premature ini mengacu pada pemahaman bahwa suatu gugatan ke PTUN harus memenuhi syarat-syarat formal tertentu, seperti adanya keputusan yang definitif dan berkekuatan hukum tetap dari badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat. Jika syarat-syarat ini belum terpenuhi, maka gugatan dianggap premature dan tidak dapat diterima. Dalam kasus Luqman Alwi, Majelis Hakim menilai bahwa keputusan Rektor UNAIR yang digugat belum memenuhi syarat sebagai keputusan yang definitif atau berkekuatan hukum tetap, sehingga gugatan dianggap premature. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam hukum administrasi, di mana pengadilan harus memastikan bahwa semua syarat formil terpenuhi sebelum mengadili substansi perkara. Pendekatan yang diambil oleh Majelis Hakim PTUN Surabaya dapat dibandingkan dengan berbagai penelitian dan literatur hukum yang membahas tentang pengujian syarat formil dalam proses beracara di PTUN. Misalnya, penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal hukum nasional menunjukkan bahwa penolakan gugatan karena alasan premature sering kali disebabkan oleh ketidaktahuan atau ketidakpahaman pihak penggugat terhadap prosedur beracara di PTUN.

Beberapa penelitian internasional juga menyoroti pentingnya pengadilan dalam mempertahankan integritas proses hukum dengan menegakkan syarat-syarat formil. Penelitian dari berbagai negara menunjukkan bahwa penegakan syarat-syarat formil yang ketat dapat mencegah penyalahgunaan proses hukum dan memastikan bahwa pengadilan hanya mengadili perkara yang benar-benar layak untuk diadili. Namun, ada juga pandangan kritis yang menyatakan bahwa penolakan gugatan dengan alasan premature dapat dianggap sebagai bentuk formalitas yang menghambat akses terhadap keadilan. Dalam konteks ini, penelitian-penelitian tersebut mendorong perlunya fleksibilitas dalam penerapan syarat formil, terutama jika hal tersebut dapat menghambat substansi keadilan.

Craig menekankan bahwa syarat formil bertujuan untuk menjaga integritas proses hukum dan mencegah penyalahgunaan prosedur (Craig, 2012). Mashaw menyoroti pentingnya prosedur yang adil dalam proses administrasi dan pengadilan, dengan penekanan pada peran syarat formil dalam memastikan bahwa pengadilan hanya mengadili perkara yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum (Rubin, 1984).

Schwartz mengulas bagaimana pengadilan di berbagai negara menerapkan syarat-syarat formil dalam konteks hukum administrasi. Ia menekankan bahwa penegakan syarat formil yang ketat adalah salah satu cara untuk menjaga keabsahan dan kredibilitas sistem hukum (Breyer et al., 2022). Mason melakukan pendekatan pengadilan di negara-negara common law dalam menegakkan syarat formil dalam proses administrasi, dengan analisis perbandingan terhadap berbagai yurisdiksi internasional (Mason & Stephenson, 2010).

 

Kewenangan Membuat Perma Tidak Diatur Secara Khusus dalam Undang-Undang dan Berpotensi Melanggar Asas Hierarki

Perma sebagai suatu aturan pada dasarnya dibuat untuk mengisi kekosongan hukum, pelengkap kekurangan hukum, sarana penegakan dan penemuan hukum serta sebagai sumber hukum, ternyata tidak dikenal dalam dalam Hierarki Peraturan Perundangan-undangan yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang jenjang normanya diatur sebagai berikut:

a.  Undang-Undang Dasar 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c.  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

d. Peraturan Pemerintah

e.  Peraturan Presiden

f.  Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Walaupun tidak diatur dalam Pasal 7 di atas, menurut pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 justru melegitimasi peraturan diluar ke-enam aturan dalam jenjang norma tersebut sebagai suatu jenis paraturan perundang-undangan yang pada ayat (2) disebutkan mengikat seperti undang-undang sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Adapun bunyi Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.

Apabila dilihat dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 di atas, Mahkamah Agung bersama lembaga-lembaga negara yang disebutkan di atas diberi legitimasi untuk menetapkan peraturan diluar sebagaimana hierarki yang disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) yang justru disejajarkan dengan Jenis Peraturan Perundang-Undangan.

Hanya saja dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 yang merupakan kelanjutan dari ayat tersebut menegaskan bahwa keberadaan aturan-aturan diluar hierarki yang disebutkan pada Pasal 7 ayat (1) dari lembaga-lembaga negara yang disebutkan pada Pasal 8 ayat (1) tersebut baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Adapun bunyi Pasal 8 ayat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut: ”Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.

Berdasarkan bunyi Pasal di atas timbul tiga pertanyaan sebagai berikut:

Yang pertama, Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi mana yang memerintahkan Pasal 8 ayat (1) tersebut melegitimasi Mahkamah Agung untuk menetapkan Peraturan diluar sebagaimana Hierarki yang disebutkan pada Pasal 7 ayat (1), jika yang dimaksud aturan yang lebih tinggi itu adalah pasal 24A ayat (1) UUD 1945, maka dalam aturan yang lebih tinggi tersebut justru hanya membawa kita pada kelanjutan dari Pasal 8 ayat (2) tersebut yang bunyinyaatau dibentuk berdasarkan kewenangansebab pasal 24A ayat 1 UUD 1945 hanya berbicara pendelegasian kepada aturan yang ada dibawahnya yang bunyinya sebagai berikut:  Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

Yang kedua, jika pasal 24A ayat 1 UUD 1945 berdasarkan ayatnya yang berbunyi:

Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang- undang” yang menjelaskan wewenang lain dari Mahkamah Agung hanya didelegasikan atau diatur oleh aturan yang lebih rendah dalam hal ini Pasal 8 ayat (2) yang harusnya berisi aturan-aturan lebih khusus dari aturan umum yang ada di atasnya, mengapa pada Pasal 8 ayat (2) UU No.12 justru memuat kalimat

Sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggisedangkan aturan yang lebih tingginya pun yaitu pasal 24A ayat 1 UUD 1945 yang berbicara tentang kewenangan tambahan dari Mahkamah Agung justru bukan memerintahkan melainkan hanya menyerahkan kembali kepada peraturan yang lebih rendah di bawahnya dalam hal ini Undang-Undang. Hal ini justru menimbulkan kontradiktif antara pasal 24A ayat 1 UUD 1945 yang mendelegasikan open legal policy kepada aturan yang ada dibawahnya, akan tetapi aturan yang dibawahnya dalam hal ini Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 berdasarkan kalimatdiperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggijustru menyuruh undang-undang menunggu perintah dari aturan yang ada diatasnya sebagai syarat sahnya aturan-aturan diluar hierarki tersebut dalam memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sedangkan pasal 24A ayat 1 UUD 1945 sama sekali tidak berisi perintah terhadap wewenang tambahan kepada Mahkamah Agung melainkan hanya pendelegasian aturan mengenai wewenang tambahan kepada aturan yang ada dibawahnya, dari hal tersebut dapat kita lihat ada tabrakan antara aturan tertinggi yaitu pasal 24A ayat 1 UUD 1945 yang mengharapkan ada aturan dibawahnya yaitu undang- undang untuk mengatur lebih secara spesifik terkait kewenangan tambahan dari MA, dengan aturan yang ada dibawahnya yaitu Pasal 8 ayat (2) UU N0.12 Tahun 2011 yang justru juga mengharapkan sesuatu yang konkrit berupa perintah dari aturan yang ada di atasnya dan bukan suatu pelimpahan atau pendelegasian aturan seperti yang ada di pasal 24A ayat 1 UUD 1945.

Yang ketiga, jika memang Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 hanya memberikan pendelegasian aturan mengenai wewenang tambahan Mahkamah Agung kepada aturan yang ada dibawahnya, mengapa aturan- aturan yang berada dibawahnya justru hanya terkesan mengulang-ulangi kalimatmempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang”, dapat kita lihat pada Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang bunyinya sebagai berikut:

Mahkamah Agung berwenang:

a.  Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;

b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan

c.  Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

Pada bagian huruf c pasal di atas, dapat kita lihat dengan jelas isi pasal tersebut hanya mengulangi sifat open legal policy yang sebelumnya disebutkan oleh Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 yaitu  mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undangpadahal secara idealnya aturan yang bersifat umum dalam konstitusi harusnya dijelaskan secara lebih khusus dan konkrit di dalam aturan yang ada dibawahnya, dengan kata lain, kalimatmempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undangdalam UUD 1945 justru menginginkan adanya aturan yang lebih bersifat khusus dan konkrit pada Pasal 20 ayat (2) Huruf C UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut. Hanya saja, pada pasal tersebut justru hanya mengulangi kembali sifat open legal policy yang terkandung dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945.

Merujuk pada Stufenbau Theory yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dalam suatu susunan hierarki yang dalam Dalam buku “General Theory of Law and State”, Kelsen mengungkapkan bahwa:

The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of the norm–the lower one-is determined by another-the higher-the creation of which of determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity(Kelsen, 2017).

Artinya, norma hukum yang dibawah berlaku dan bersumber dari norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi tersebut juga bersumber dari norma yang lebih tinggi lagi. Hal ini berlaku seterusnya sampai berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar (Grundnorm) (Syamsuddin, 2022).

Jika kita kaitkan tiga pertanyaan sebelumnya dengan Stufenbau Theory yang sudah dijelaskan di atas makan dapat kita tarik suatu jawaban bahwa lahirnya Perma dengan berdasar pada Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebenarnya telah mengacaukan asas hierarkis dalam aturan perundang-undangan sebab pada Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011, memuat kalimatsepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggisedangkan peraturan yang lebih tingginya yaitu pasal 24A UUD 1945 sama sekali tidak berisi perintah melainkan hanya pendelegasian atau pelimpahan aturan kepada Undang- Undang yang ada dibawahnya (Open Legal Policy) yang secara logika hukum menyebabkan Pasal 24A UUD 1945 harus diubah dan memuat perintah secara langsung terhadap pembuatan aturan-aturan diluar hieraki aturan perundang-undangan terkhusus Perma jika ingin tetap mempertahankan kalimatsepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggidalam Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011, sebab tanpa adanya perintah tersebut, aturan Perma yang dibuat atas dasar Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 ini menjadi inkonstitusional secara logika hukum.

Harusnya jika ingin mengikuti logika Pasal 24A UUD 1945, isi pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 tersebut tidak perlu berisi kalimatsepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggimelainkan dapat diganti saja dengan kalimatPeraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dibolehkan/dilegitimasi oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.

Begitu juga dengan Pasal 20 ayat (2) Huruf C UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, aturan ini jelas tidak mengikuti amanat dari Pasal 24A UUD 1945 yaitu kalimatmempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”, sebab pada huruf C dari pasal 20 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tersebut bukannya mengkhususkan aturan umum yang ada di atasnya, aturan ini malah mengulangi kalimatkewenangan lainnya yang diberikan undang-undang” yang sudah disebutkan sebelumnya dalam Pasal 24A UUD 1945.

Harusnya jika ingin mengikuti logika Pasal 24A UUD 1945, isi Pasal 20 ayat (2) Huruf C UU No. 48 Tahun 2009 tersebut tidak perlu mengulang kalimatkewenangan lainnya yang diberikan undang-undangmelainkan dapat diganti saja dengan kalimat yang lebih konkrit yang langsung berisi kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat Perma agar dasar kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat Perma memiliki dasar yang kuat dan tidak terkesan sewenang-wenang, sebab idealnya kekuasaan kehakiman sebagai cabang kekuasaan yudikatif harus dibatasi kewenangannya melalui undang-undang agar tidak menabrak konsep pemisahan kekuasaan, apalagi jika cabang kekuasaan tersebut sudah mulai menyentuh pada fungsi legislasi atau pembentukan aturan perundang- undangan, akan sangat berbahaya jika Undang-Undang hanya meng- estafetkan open legal policy tersebut kepada Mahkamah Agung dengan mengulang kalimatkewenangan lainnya yang diberikan undang-undang”.

Atas dasar inilah penulis beranggapan bahwa Perma sebenarnya tidak dikenal dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan sebab dasar keberadaannya dalam Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sulit untuk dipertanggung jawabkan logika Hukumnya ditambah lagi kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat Perma tidak diatur secara khusus di dalam Pasal 20 ayat (2) Huruf C UU No. 48 Tahun 2009 yang terkesan membuat dasar hukum dalam pembuatan. Namun demikian, dalam beberapa kasus tertentu, Perma tetap memiliki peran yang sangat penting, terutama untuk mengisi kekosongan hukum dalam proses peradilan.

Misalnya, Perma tentang Dispensasi Kawin dan Perma tentang Mediasi sangat diperlukan untuk mengatasi ketidakjelasan hukum di lingkup acara peradilan. Perma semacam ini membantu menyediakan pedoman hukum yang dibutuhkan dalam praktik, meskipun status hierarkisnya dalam perundang-undangan masih diperdebatkan, akan tetapi penelitian ini sifatnya filosofis bukan fungsional, jadi lebih melihat kepada aspek ideal atau bagaimana semestinya hierarki bekerja, bukan kepada aspek bagaimana jika terjadi kekosongan hukum, jika tetap dipaksakan hal ini ditanyakan,  itu sama saja mengatakan bahwaanda tidak boleh berbicara tentang bahaya rokok sebab ada banyak petani tembakau dan karyawan yang bergantung hidup pada pabrik rokok, jika terjadi kekosongan pabrik rokok maka akan banyak PHK” sama saja logikanya dengananda tidak boleh berbicara kerancuan Perma dalam hierarki peraturan perundang-undagan karena ada banyak aturan hukum yang bergantung kepada Perma untuk menghindari kekosongan Hukum” tapi itu bukan alasan untuk tidak boleh membahas bahaya rokok ataupun kerancuan Perma, ketergantukan kita kepada Perma untuk mengisi kekosongan hukum tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak boleh membahas dasar kedudukan Perma yang keliru dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Hal inilah yang menjadi dasar dalam penelitian ini untuk mengatakan bahwa dasar argumen membenarkan kedudukan Perma ini terlalu dibuat buat hanya karena aspek fungsional semata yaitu mengisi kekosongan hukum, pelengkap kekurangan hukum, sarana penegakan dan penemuan hukum serta sebagai sumber hukum, yang hal ini pun sebenarnya tidak dapat menjadi pengecualian atau mengesampingkan aspek filosofisnya yaitu aturan-aturan serta asas-asas hukum yang harus dipatuhi sebagaimana mestinya.

 

Dibentuk oleh Cabang Kekuasaan yang Tidak Semestinya dan Melanggar Konsep Pemisahan Kekuasaan (Trias Politica)

Selain daripada hal yang sudah disebutkan di atas, jenjang norma dalam aturan perundang-undangan dibuat agar pendelegasian norma umum yang ada dalam konstitusi kita dalam hal ini UUD 1945 dapat diturunkan secara khusus melalui peraturan-peraturan yang ada di bawahnya melalui penafsiran norma-norma yang diambil dari masyarakat yang dibahas oleh cabang kekuasaan legislatif sebagai delegasi rakyat yang kemudian disahkan dalam bentuk undang-undang bersama presiden sebagai cabang kekuasaan eksekutif yang menjadi pelaksana jalannya pemerintahan yang biasanya peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut diterbitkan melalui peraturan pemerintah bahkan peraturan presiden.

Aturan-aturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan dari umum ke khusus inilah yang kemudian diterapkan sebagai sarana penegakan asas legalitas untuk membatasi kekuasaan (Soemantri, 1992) pemerintah (eksekutif) dan juga tidak terkecuali pada tiap-tiap cabang kekuasaan lain (legislatif, yudikatif) untuk melakukan checks and balances atau saling mengontrol satu sama lain sesuai tugas dan fungsinya agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang diakibatkan tidak jelasnya batasan kewenangan diantara tiga cabang kekuasaan ini. Hal inilah yang disebut oleh John Locke dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang memisahkan bahwa kekuasaan dalam suatu negara terbagi dalam 3 kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk membuat Undang-Undang, kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan Undang- Undang dan kekuasaan federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.

Teori ini kemudian dikembangkan oleh ahli politik dan filsafat perancis yang bernama Montesquieu (1689-1755). Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Menurut Montesquieu, kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang (oleh Montesquieu diutamakan tindakan dibidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang- undang.

Ajaran ini lazim diseut sebagai trias politica yang menuntut adanya suasana checks and balances, dimana di dalam hubungan antar lembaga negara tersebut terdapat saling menguji, karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang sudah ditentukan. Pengakuan kekuasaan yang diberikan kepada berbagai badan negara oleh pembuat undang-undang dasar atau undang-undang dipandang sebagai balances. Kewajiban penerima kekuasaan untuk bertanggung jawab kepada pemberi kekuasaan dipandang sebagai checks. Dengan demikian antara pemberi kekuasaan dan penerima kekuasaan terdapat hubungan, yaitu hubungan pengawasan badan pemberi kekuasaan terhadap badan penerima kekuasaan.

Oleh karena Hierarki Peraturan Perundang-Undangan dalam pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan hanya menyebutkan aturan yang dibuat oleh legislatif dan eksekutif sebagai dasar dalam menjalankan asas legalitas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka menjadi aneh jika pada pasal 8 dalam UU tersebut justru melegitimasi suatu kekuasaan yang sama sekali tidak dilibatkan dalam perancangan undang-undang dalam hal ini yudikatif untuk membuat aturan yang setara dengan undang-undang, menjelaskan isi suatu undang-undang dan bahkan berlaku sebagai dasar hukum yang dipakai hakim dalam mengeluarkan suatu putusan di pengadilan, belum lagi jika aturan diluar hierarki ini melanggar hak warga negara, tentunya akan menimbulkan problematika tersendiri sebab pengujiannya akan dipertanyakan oleh lembaga kekuasaan kehakiman apakah aturan diluar hierarki ini masuk dalam kategori undang-undang yang dapat diuji atau tidak sebab tidak diatur secara jelas kedudukannya dalam tatanan hukum nasional.

Hal ini jelas melanggar prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran/konsep trias politica yang menuntut adanya suasana checks and balances diantara cabang kekuasaan sebab bagaimana mungkin terjadi suasana checks and balances sebagaimana yang sudah disebutkan di atas jika kedudukan Perma dalam hierarki aturan perundang-undangan tidak disebutkan secara jelas melalui undang-undang yang hal ini akan berdampak pada sulitnya kekuasaan kehakiman dalam menentukan dasar dalam pengujiannya sebagai aturan yang dianggap berlaku seperti undang- undang yang di atas disebutkan sebagai istilah checks. Sedangkan dalam teori trias politica penerima kekuasaan dalam hal ini Mahkamah Agung sebagai pembuat Perma wajib bertanggung jawab kepada pemberi kekuasaan/wewenang membuat Perma dalam hal ini masyarakat yang diwakili oleh DPR melalui produk Undang-Undang yang harusnya dapat di uji di lembaga Kekuasaan Kehakiman sebagai bentuk Checks kepada kekuasaan yudikatif yang mengeluarkan aturan diluar Hierarki peraturan perundang-undangan yang semestinya.

Apalagi dengan dibukanya keran open legal policy kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan kewenangan tambahan dari Mahkamah Agung melalui pasal 24A UUD 1945 yaitu kalimatmempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undangakan melanggar nilai balances yaitu tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang sudah ditentukan sebagaimana kita ketahui idealnya yudikatif memiliki fungsi asli sebagai “Rule Adjudication Function” atau dikenal juga dengan kekuasaan mengadili atas adanya pelanggaran dalam undang-undang, bukan sebagai “Rule Making Function” atau pembentuk aturan perundang-undangan, yang dimana hal ini sangat berpotensi untuk menabrak palang-palang konsep pemisahan kekuasaan yang disebabkan tidak disebutkannya secara rinci sejauh mana kewenangan tambahan itu dibatasi oleh konstitusi.

Akan tetapi hal ini sebenarnya masih bisa dikontrol oleh pembuat Undang-Undang yaitu DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif dengan cara tidak memberikan kewenangan pembentukan peraturan perundang- undangan kepada Mahkamah Agung dengan tetap berpegang tegung pada konsep pemisahan kekuasaan, akan tetapi pada kenyatannya DPR melalui Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, justru tidak membatasi keran open legal policy tersebut dengan mengkerucutkan atau mengkonkritkan kewenangan Mahkamah Agung melaui Undang-Undang tersebut melainkan hanya mengulangi kalimat Mahkamah Agung memilikikewenangan lainnya yang diberikan undang- undang” yang mengakibatkan Mahkamah Agung dapat dengan bebasnya membuat suatu aturan atas dasar untuk mengisi kekosongan hukum, pelengkap kekurangan hukum, sarana penegakan dan penemuan hukum serta sebagai sumber hukum, yang sebenarnya tidak dikenal dalam dalam Hierarki Peraturan Perundangan-undangan.

 

Berisi Perintah dan Larangan yang melampaui kewenangan Mahkamah Agung dalam Undang-Undang

Dilihat dari segi teknik pembentukan peraturan perundang-undangan Perma tidak mencerminkan suatu peraturan perundang-undangan akan tetapi jika dilihat dari segi aspek materi muatannya aturan ini memiliki kemiripan dengan peraturan perundang- undangan, hal ini dibuktikan dengan adanya suatu jenis norma perundang- undangan seperti perintah (gebod) dan larangan (verbod).  Contoh dari adanya norma perintah (gebod) terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) PERMA RI Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelsaian Sengketa Administrasi Pemerintahan yang mengatur:  Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif.”

Pasal ini mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk menempuh upaya administratif terlebih dahulu sebelum melimpahkan gugatannya ke PTUN. Contoh lain bahwa PERMA RI ini mengandung norma larangan (verbod) terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) yang mengatur: “Pihak ketiga tidak dapat mengajukan gugatan atas keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif terhadap putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap

Ketentuan Pasal 4 ayat 2 ini adalah berupa larangan kepada pihak ketiga untuk mengajukan suatu gugatan terhadap suatu keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif apabila hal tersebut sudah dinyatakan berkekuatan hukum melalui suatu putusan pengadilan. Oleh karena PERMA RI ini mengatur pula pihak ketiga, khususnya yang merasa dirugikan atas suatu keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif, maka selain berlaku secara internal, karena mengatur Hakim PTUN untuk tunduk pada ketentuan tersebut, PERMA RI ini juga memiliki daya mengikat secara eksternal, dalam hal ini para pihak ketiga yang merasa dirugikan terhadap suatu keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif.

Akan tetapi perintah (gebod) dan larangan (verbod) yang terdapat dalam PERMA RI ini menjadi kontradiktif dengan kewenangan Mahkamah Agung yang disebutkan dalam Pasal 32 UU No.3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang isi Pasalnya adalah sebagai berikut:

a.  Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.

b.  Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksana tugas administrasi dan keuangan.

c.  Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal- hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya.

d.  Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya.

e.  Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Dari isi Pasal 32 di atas tidak ada satupun ayat yang menyebutkan mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam memerintahkan atau melarang badan peradilan yang berada dibawahnya, melainkan hanya mengawasi dengan memberi petunjuk, teguran, atau peringatan, bahkan pada ayat (5) menegaskan bahwa pengawasan dan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, yang artinya pengawasan dan kewenagan yang diberikan oleh Mahkamah Agung terhadap badan peradilan yang ada dibawahnya idealnya bukan bersifat perintah (gebod) dan larangan (verbod) melainkan hanya bersifat petunjuk, teguran, atau peringatan sebagaimana yang disebutkan pada ayat (4).

Atas dasar tersebut dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa adanya jenis norma perundang-undangan seperti perintah (gebod) dan larangan (verbod) di dalam PERMA RI jelas telah melampaui kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang, yang berarti perintah (gebod) dan larangan (verbod) dalam PERMA RI ini tidak dapat bersifat mengikat secara hukum sebagaimana idealnya suatu peraturan perundang-undangan yang lain, akibatnya PERMA RI hanya dapat disejajarkan dengan SEMA atau aturan-aturan lain yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

 

Analisis Hukum Terkait Penolakan Majelis Hakim PTUN Surabaya Atas Gugatan Luqman Alwi Yang Dinilai Premature

Akar masalahnya ada pada tidak diperolehnya Keputusan Dewan Etik Fakultas oleh Luqman Alwi yang dimana Keputusan Dewan Etik tersebut adalah dasar yang dapat digunakan banding ke Dewan Etik di Tingkat Universitas jika merasa keberatan oleh Keputusan Dewan Etik Fakultas, adapun ketentuan banding diatur dalam Pasal 27 Peraturan Rektor Universitas Airlangga No.18/H3/PR/2009 tentang Dewan Etika Universitas Airlangga yang berbunyi:

a.  Keputusan Sidang Dewan Etika di tingkat Fakultas dapat dilakukan upaya banding ke Dewan Etika di tingkat Universitas

b.  Banding dapat diajukan oleh Pelapor atau Terlapor

c.  Pengajuan upaya banding sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara tertulis dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak ditetapkannya keputusan Dewan Etika di Tingkat Fakultas.

Karena tidak diperolehnya informasi mengenai Keputusan Dewan Etik Fakultas yang harusnya diterima Luqman Alwi, yang bersangkutan akhirnya tidak mengetahui kapan dimulainya “7 (tujuh) hari kalender sejak ditetapkannya keputusan Dewan Etika di Tingkat Fakultasguna mengajukan Banding ke Dewan Etika Universitas, akibatnya haknya untuk mengajukan banding menjadi hilang jika mengacu pada pasal 27 Peraturan Rektor Universitas Airlangga No.18/H3/PR/2009 tentang Dewan Etika Universitas Airlangga di atas, dan berujung pada diterbitkannya Keputusan Rektor UNAIR Nomor 887/UN3/2021.

Akibat hal itu, Luqman Alwi pun melakukan upaya administrasi berupakeberatankepada pihak universitas karena menganggap Surat Keputusan Rektor UNAIR Nomor 887/UN3/2021 cacat secara formil sebab tidak dibuat berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Airlangga No.18/H3/PR/2009 tentang Dewan Etika Universitas Airlangga yang harusnya dijadikan dasar dalam penerbitannya, yang kemudian setelah Luqman Alwi beberapa kali mengajukan keberatan secara tertulis, pada akhirnya upaya administratif tersebut ditanggapi dengan Surat Bernomer 1691/UN3.2/HK/2021 Tertanggal 1 Desember 2021 yang pada intinya MENOLAK keberatan yang Penggugat mohonkan. Adapun pertimbangan Tergugat sebagai berikut:

“Pada pokoknya, dari proses tersebut sampai pada suatu kesimpulan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Sdr. Luqman Alwi, tidak hanya terbatas pada pelanggaran etika dan norma akademik yang berpotensi mencoreng nama baik Universitas Airlangga dan profesi dokter saja, melainkan juga ada indikasi yang mengarah pada suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku”.

Karena hal tersebut, pada tanggal 7 Desember 2021 Luqman Alwi memutuskan mengajukan gugatan ke PTUN Surabaya yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 8 Desember 2021 dengan Register Perkara Nomor 190/G/2021/PTUN.SBY. Hasilnya, putusan PTUN Surabaya pun menerima eksepsi tergugat yang dimana isinya menilai gugatan saudara Luqman Alwi terhadap SK Rektor UNAIR tersebut masih Premature karena belum melalui upaya administrasi sebelum dilimpahkan ke Pengadilan dan secara yuridis formal kewenangan peradilan tata usaha negara dibatasi secara tidak langsung oleh Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan jo. Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelsaian Sengketa Administrasi Pemerintahan.

Yang menjadi persoalan adalah di dalam Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menjadi dasar hukum eksepsi tergugat tersebut tidak secara spesifik menjelaskan mengenai keharusan dilakukannya upaya administrasi terlebih dahulu sebelum suatu sengketa dilimpahkan ke Pengadilan. Adapun bunyi Pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Warga masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan upaya administratif kepada pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan

Jika kita cermati isi pasal di atas, kalimat dalam pasal tersebut sebenarnya sama sekali tidak berisi suatu perintah yang mewajibkan seseorang mengajukan upaya administratif terlebih dahulu sebelum gugatannya dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kata “dapat” yang berarti pasal ini hanya memberikan suatu pilihan kepada seseorang yang ingin mengajukan gugatan, apakah ingin menggunakan upaya administratifnya terlebih dahulu atau tidak, dengan kata lain upaya administratif pada pasal ini justru merupakan suatuhakbukan suatukewajiban” yang dimanahaktersebut dapat digunakan dan juga dapat tidak digunakan tergantung kepada pemilikhaktersebut dalam hal ini yaitu warga masyarakat yang merasa dirugikan terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan di dalam lingkup administrasi pemerintahan.

Atas dasar penjelasan tersebut, maka isi Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan, yang mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk menempuh upaya administratif terlebih dahulu sebelum melimpahkan gugatannya ke PTUN serta isi eksepsi tergugat yang menjelaskan kewenangan peradilan tata usaha negara dibatasi secara tidak langsung oleh Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan jo. Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelsaian Sengketa Administrasi Pemerintahan, menjadi keliru, sebab upaya administratif pada pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan justru hanya merupakan suatuhak” dan bukan suatukewajibanlagipula perintah (gebod) dan larangan (verbod) dalam PERMA RI ini tidak dapat bersifat mengikat secara hukum sebagaimana idealnya suatu peraturan perundang-undangan yang lain dikarenakan perintah (gebod) dan larangan (verbod) yang terdapat dalam PERMA RI ini kontradiktif/tidak diatur dengan kewenangan Mahkamah Agung yang disebutkan dalam Pasal 32 UU No.3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Akibatnya Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan ini justru tidak sesuai dengan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi sebagai berikut:

a.  Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c.  Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e.  Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f.  Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

Dari isi Pasal di atas kita dapat melihat bahwa Perma Nomor 6 Tahun 2018 ini telah melanggar:

a.  Huruf b sebab dibuat diluar kewenangan Mahkamah Agung yang dituliskan dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945, Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 32 UU No.3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

b.  Huruf c sebab Perma tidak dikenal dalam Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 tentng Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan lahirnya Perma dengan berdasar pada Pasal 8 UU tersebut telah mengacaukan asas hierarkis dalam aturan perundang-undangan dikarenakan pada Pasal 8, memuat kalimatsepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggisedangkan peraturan yang lebih tingginya yaitu pasal 24A UUD 1945 sama sekali tidak berisi perintah melainkan hanya pendelegasian atau pelimpahan aturan kepada Undang-Undang yang ada dibawahnya (Open Legal Policy).

c.  Huruf f sebab penjelasannya mengenai kata “dapatdalam Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan adalah keliru sebab kata “dapatdalam pasal tersebut menggambarkan suatuhak” dan bukan suatukewajiban”.

d.  Huruf g sebab dibentuk oleh kekuasaan yang sama sekali tidak dilibatkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Parlemen yang mengakibatkan peraturan tersebut bukan berasal dari norma yang ada di masyarakat melalui wakilnya diparlemen, artinya peraturan ini (Perma) sama sekali tidak melibatkan masyarakat dalam pembentukannya, disamping itu peraturan ini juga tidak jelas bagaimana prosedur pengujiannya, konsekuensinya aturan ini dapat dikatakan tidak terbuka.

Jika kita kaitkan dengan apa yang telah dibahas sebelumnya, terdapat 3 hal yang dilanggar oleh perma ini yaitu:

1) Melanggar Asas Hierarki Jenjang Norma (Stufenbau Theory), sebab norma paraturan perundang-undangan yang tertinggi bertentangan dengan norma peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, hal ini dibuktikan dengan lahirnya Perma dengan berdasar pada Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mengacaukan asas hierarkis dalam aturan perundang-undangan dikarenakan pada Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011, memuat kalimatsepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggisedangkan peraturan yang lebih tingginya yaitu pasal 24A UUD 1945 sama sekali tidak berisi perintah melainkan hanya pendelegasian atau pelimpahan aturan kepada Undang-Undang yang ada dibawahnya (Open Legal Policy).

2) Melanggar Asas Pemisahan Kekuasaan (Trias Politica), sebab pasal 8 dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan justru melegitimasi suatu kekuasaan yang sama sekali tidak dilibatkan dalam perancangan undang-undang dalam hal ini yudikatif untuk membuat aturan yang setara dengan undang-undang yaitu PERMA. Sedangkan, sebagaimana yang kita ketahui, idealnya yudikatif memiliki fungsi asli sebagai “Rule Adjudication Function” atau dikenal juga dengan kekuasaan mengadili atas adanya pelanggaran dalam undang-undang, bukan sebagai “Rule Making Function” atau pembentuk aturan perundang- undangan.

3) Melanggar Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik karena pembentukannya melanggar Pasal 5 Huruf b, c, f, g UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan seperti yang sebelumnya dijelaskan di atas.

Berdasarkan alasan-alasan di atas dapat kita lihat bahwa PERMA RI khususnya Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan sebenarnya tidak tidak memenuhi syarat sebagai peraturan perundang-undangan, baik dari aspek formil maupun materilnya, dan oleh karena ia tidak memenuhi syarat sebaga peraturan perundang-undangan, maka seharusnya ia tidak bisa dipakai oleh hakim di PTUN Surabaya sebagai dasar hukum untuk menolak gugatan Luqman Alwi atas dikeluarkannya Surat Keputusan Rektor UNAIR Nomor 887/UN3/2021, tertanggal 9 September 2021, tentang Pemberhentian Sebagai Mahasiswa Universitas Airlangga, apalagi PERMA RI ini dibuat dari cabang kekuasaan Yudikatif yaitu Mahkamah Agung yang menjadi aneh apabila aturan ini justru berusaha menjelaskan isi pasal dalam suatu Undang-Undang yang merupakan produk dari kekuasaan Legislatif bahkan sampai memuat perintah dan larangan yang sebenarnya hal ini justru melampaui kewenangan Mahkamah Agung yang telah diatur dalam Undang-Undang.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pertimbangan hukum haruslah berdasar kepada aturan hukum yang jelas, yang dimana aturan yang jelas disini merupakan aturan yang dibuat sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang dimuat dalam undang-undang dan tidak bertentangan dengan konstitusi dalam hal ini UUD 1945 serta tidak keluar dari asas-asas hukum yang semestinya (Scholten, 2003). Hal ini menjadi penting sebab kepastian Hukum hanya dapat dicapai apabila tertib hukum dapat dijalankan dengan baik, hal ini terlepas dari keadilan yang dimuat dalam materi hukum tersebut, sebab antara hukum dan keadilan merupakan dua hal yang berbeda dimana hukum hanya menjembatani proses menuju keadilan tersebut, jika dalam penegakan hukum ternyata penagakan keadilan belum dapat tercapai setidaknya ada penegakan kepastian hukum yang dapat dicapai (Burhanudin, 2018; Hidayat & Arifin, 2019; Ridwan & Sudrajat, 2020).

 

Kesimpulan

Kedudukan Perma dalam tatanan Hukum Nasional tidak dapat dikatakan sebagai Peraturan Perundang-Undangan sebab dalam pembentukannya, aturan ini telah melanggar hierarki jenjang norma, melanggar konsep pemisahan kekuasaan serta melanggar asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik. Oleh karena kedudukan Perma dalam tatanan Hukum Nasional tidak dapat dikatakan sebagai Peraturan Perundangan-Undangan maka logika Majelis Hakim PTUN Surabaya yang menolak gugatan Luqman Alwi terhadap Surat Keputusan Rektor UNAIR hanya karena tidak melakukan upaya administratif sebelum mengajukannya ke PTUN dengan menjuncto-kan Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan Perma Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan menjadi keliru sebab pertimbangan hukum haruslah berdasar kepada aturan hukum yang jelas, yang dimana aturan yang jelas disini merupakan aturan yang dibuat sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang dimuat dalam undang-undang dan tidak bertentangan dengan konstitusi dalam hal ini UUD 1945.

Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menjadi dasar hukum eksepsi tergugat tersebut sama sekali tidak berisi suatu perintah yang mewajibkan seseorang mengajukan upaya administratif terlebih dahulu sebelum gugatannya dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kata “dapat” yang berarti pasal ini hanya memberikan suatu pilihan kepada seseorang yang ingin mengajukan gugatan, apakah ingin menggunakan upaya administratifnya terlebih dahulu atau tidak, dengan kata lain upaya administratif pada pasal ini justru merupakan suatuhakbukan suatukewajiban” yang dimanahaktersebut dapat digunakan dan juga dapat tidak digunakan tergantung kepada pemilikhaktersebut dalam hal ini yaitu warga masyarakat yang merasa dirugikan terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan di dalam lingkup administrasi pemerintahan.

 

BIBLIOGRAFI

 

Aditya, R. (2019). Keputusan PTUN Yogyakarta dalam Sengketa Mahasiswa dan Universitas Gadjah Mada. Jurnal Hukum Dan Pendidikan, 15(2), 123–135.

Breyer, S. G., Stewart, R. B., Sunstein, C. R., Vermeule, A., & Herz, M. (2022). Administrative Law and Regulatory Policy: Problems, Text, and Cases [Connected eBook with Study Center]. Aspen Publishing.

Burhanudin, A. A. (2018). Peran etika profesi hukum sebagai upaya penegakan hukum yang baik. El-Faqih: Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam, 4(2), 50–67.

Craig, P. (2012). Administrative law in the Anglo-American tradition. The Sage Handbook of Public Administration, London: Sage, 333–345.

Fikriawan, S. (2023). Analisa Hukum terhadap Penolakan oleh Majelis Hakim PTUN dalam Perspektif Hukum Administrasi. Al-Manhaj: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 5(1), 23–34.

Hidayat, A., & Arifin, Z. (2019). Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium Di Indonesia. Jurnal Ius Constituendum, 4(2), 147–159.

Kelsen, H. (2017). General theory of law and state. Routledge.

Mason, A., & Stephenson, M. (2010). Judicial Review of Administrative Action in Common Law. Oxford University Press.

Mulyadi, H. (2022). Hukum Tata Usaha Negara: Teori dan Praktek di Indonesia. Penerbit Kencana.

Ridwan, I. H. J., & Sudrajat, M. H. A. S. (2020). Hukum administrasi Negara dan kebijakan pelayanan publik. Nuansa Cendekia.

Rubin, E. L. (1984). Due process and the administrative state. Calif. L. Rev., 72, 1044.

Sakti, M., & Wahyuningsih, Y. Y. (2017). Tanggung Jawab Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Jurnal Yuridis, 4(1). https://doi.org/10.35586/.v4i1.135

Scholten, P. (2003). Struktur Ilmu Hukum. Terjemahan Oleh B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung.

Soemantri, S. (1992). Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia.

Sugiyono. (2023). Metode Penelitian Kualitatif (Untuk penelitian yang bersifat: eksploratif, enterpretif, interaktif dan konstruktif). CV. Alfabeta.

Syamsuddin, A. (2022). Proses Dan Teknik Penyusunan Undang-Undang (Edisi Kedua). Sinar Grafika.

 

Copyright holder:

Arief Rahman Ruslan, Anna Erliyana (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: