Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 5, Mei 2022
KONSEP
FIKIH OTORITATIF DALAM PENDEKATAN HERMENEUTIKA
KHALED ABOU EL FADL
Fajrul Falah
Mahasiswa Program Magister Ilmu Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini membahas
tentang pemikiran hermeneutika Khaled Abou El Fadl yang merespon penyebaran
fatwa otoritarianisme di Amerika dan Kerajaan Arab Saudi. Penelitian ini merupakan
penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual dari
pemikiran Khaled Abou El Fadl yang mengkritisi fatwa-fatwa yang mendiskreditkan
hak dan bias gender perempuan dengan dalih ungkapan bahwa ini adalah kehendak
Tuhan. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa Hermeneutika yang ditawarkan oleh Abou El Fadl terdiri dari
tiga komponen yaitu pengarang, teks dan pembaca. Dalam hal pengarang, Abou El Fadl lebih berfokus
pada sunnah dan tidak mengkritik Al-Qur�an karena termasuk dalam ranah iman.
Adapun dalam sebuah teks ia menginginkan
teks selalu terbuka dan dibaca dengan kajian historis
tanpa menghindari nilai normatif didalamnya. Sedangkan dalam hal pembaca, menurutnya pembaca haruslah menguasi kelima
persyaratan yang telah ia konsepkan agar ia tidak bersikap sewenang-wenang pada
penafsirannya.
Kata kunci: Hermeneutik, Otoritarianisme,
Hadits
Abstract
This article discusses about
Abou El Fadls hermeneutic thought which responses to
the spreading of otoritarianism fatwa in America and
Kingdom of Saudi Arabia. This
research is a normative juridical research using a
conceptual approach from the thoughts of Khaled Abou El Fadl
who criticizes fatwas that discredit women's gender rights and biases under the
pretext of saying that this is God's will. The results of this study illustrate
that the Hermeneutics offered by Abou El Fadl
consists of three components, the author, the text and the reader. In this
case, the author, Abou El Fadl focuses more on the sunnah and does not criticize the
Qur'an because it is included in the realm of faith. This in the text he wants
the text to always be open and read with a study of history without avoiding
the normative values in it. Meanwhile, in terms of the reader,
the leader of the reader must master the five requirements that he has
conceptualized so that he is not arbitrary in his storage.
Keywords: Hermeneutic thought, Otoritarianism, Hadits.
Pendahuluan
Hermeneutika berasal dari
kata hermeneuin yaitu bahasa Yunani yang
berarti interpretasi. Khalid Abou
El Fadl merupakan pemikir hukum islam.
Ia berusaha menggabungkan antara tradisi Islam Klasik dan Metode Hermeneutika
yang berkembang
di Abad Modern ini. Dalam hal ini Abou Fadl
tidak serta merta menggunakan hermeneutika secara radikal dan semena-mena dikarenakan Abou El Fadl ingin melakukan
pendekatan yang berbeda
agar gagasan yang ia tawarkan dapat diterima oleh kalangan umat Islam.
Abou El Fadl memiliki
pandangan bahwa tradisi Islam pada akhir ini telah bergeser pada sikap otoritarianisme,
hal ini ditandai
dengan adanya sikap beberapa ahli hukum atau
wakil khusus yang mengklaim
bahwa penafsiran mereka atau penentuan makna dalam
sebuah teks adalah hasil final yang tidak dapat digugat
dan menafikan pendapat yang berbeda
dari ahli hukum lain. Hal ini berakibat teks menjadi tertutup yang tidak
lagi menerima ruang diskusi dan akan susah dalam menjawab berbagai persoalan
perkembangan zaman secara pesat.
Gagasan hermenutika
Abou El Fadl seputar bentuk permasalahan otoritas, otoritatif dan otoritarianisme dalam kajian Islam merupakan suatu terobosan baru dimana terdapat negosiasi antara pengarang,
teks, dan pembaca. Sehingga makna dalam sebuah teks
dapat ditafsirkan secara
benar dan tidak semena-mena dengan hawa nafsu belakang. Kritik beliau banyak tertuju
kepada fatwa yang dikeluarkan
oleh CRLO (Council for
Scientific Research and Legal Opinions) sebuah lembaga fatwa resmi di Arab Saudi yang
diketuai oleh ibnu baz dan beranggotakan ustaimin, ibn fawzan dan ibn jibrin (Fadilah, 2016).
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif
yang menggunakan pendekatan konseptual mengenai hermenutika
Abou El Fadl. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif deskriptif, yakni peneliti menganalisis serta menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul
dapat berupa kata-kata yang
tertulis maupun lisan, gambar dan bukan angka-angka (Moleong, 2006), dengan menafsirkan serta menganalisis
data-data mengenai konsep hermeneutika Khaled Abou El Fadl.
Peneliti menganalisis konsep
hermenutika
Abou El Fadl
dengan cara mengumpulkan data-data yang relevan, kemudian
disajikan dengan konsep yang baru sehingga menghasilkan banyak manfaat dalam kehidupan bermasyarakat. Jenis penelitian yang peneliti
akan gunakan adalah sebuah kajian kepustakaan (Library Research), yakni penelitian yang mengkaji serta menganalisis dokumentasi dari
data primer, sekunder, serta
tersier (Soimitio, n.d.). Jenis penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data yang
berkaitan tentang kitab-kitab hadis, ushul fikih, buku-buku karangan Khaled Abou
El Fadl, artikel, jurnal yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
A. Biografi
Khaled Abou El Fadl
Khaled Medhat Abou El Fadl
lahir pada tahun 1963 di
Kuwait. Orang tuanya berdarah
Mesir. Pendidikan dasar dan
menengah ia tamatkan di Kuwait. Kemudian ia melanjutkan
studinya di Mesir. Namun ada yang menyebutkan jika sejak
kecil ia telah menempuh pendidikan di Madrasah Al Azhar
Mesir yang mengajarkan paham Wahabi. Maka dari itu, Abou Fadl suka menyebarkan dan membela paham
Wahabi ini ketika ia remaja. Akan tetapi kemudian ia mengkritik
paham Wahabi ini yang ia nilai semena-mena
dan mengekang kebebasan berpikir.
Abou El Fadl telah menghafal Al Quran pada usia
12 tahun. belajar tentang hukum
islam secara lebih mendalam. Saat liburan musim
panas, Abou el Fadl
sering menikuti halaqah Al Quran dan ilmu-ilmu
syariah yang diadakan di masjid Al Azhar, khususnya ketika halaqah itu dipimpin
oleh Shaykh Muhammad Al Ghazali tokoh pemikir Islam moderat dari barisan
revivalis yang ia kagumi(Fathony,
2019).
Abou El Fadl tumbuh dalam keadaan
sosial politik Mesir yang masih belum stabil dikarenakan
kegagalan pan Arabisme dalam perang tahun
1967. Kemudian Bangsa Arab pada umumnya dan Mesir pada khususnya melakukan �introspeksi sejarah
dan kultur� Arab dengan meninjau
kembali apa yang dimaksud turats atau tradisi yang bertumpu
pada al aslah (otentisitas) dan berhadapan dengan tantangan al-mu�asarah
(modernitas). Kekalahan tersebut merupakan kekalahan spiritual dan religius bagi bangsa Arab muslim. Bangsa Mesir dengan bantuan
pasukan Ikhwan Muslimin mampu mengusir tentara Israel pada tahun 1973.
Abou El Fadl berpendapat kemenangan ini bukanlah kemenangan
yang gemilang, namun akan
membawa keuntungan yang besar bagi bangsa
Arab penghasil minyak pada umumnya
dan bagi para elite Mesir
pada khususnya. Akan tetapi keuntungan
ini juga menyebabkan chaos atau kekacauan bagi
bangsa Arab dalam hal sosial maupun
politik. Kondisi ini juga merambatdalam ruang lingkup keagamaan
yang bergeser ke arah tatharruf
al-Dini (ekstremisme agama), terutama pusat-pusat intelektual Arab. Tidak terkecuali adalah lembaga Al-Azhar, yang telah dikuasai mainstream konservatisme
Islam.
Abou El Fadl pergi menuju Amerika pada tahun 1982 untuk melanjutkan studi di bidang hukum untuk
tingkat bachelorius di Yale
University. Ia lulus pada tahun 1985 dengan
predikat cumlaude. Kemudian ia melanjutkan
studi untuk tingkat magister di University of
Pennsylvania Law School dan meraih gelar JD pada tahun
1989. Kemudian ia dterima untuk mengabdi
di Upreme Court Justice wilayah
Arizona. Ia menjadi pengacara untuk bidang hukum dagang
dan hukum imigrasi.
Atas pengabdiannya tersebut
ia mendapatkan kewarganegaraan Amerika. Selain itu ia juga dipercaya
untuk menjadi staf pengajar di University of
Texas di Austin. Ia melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Princeton dalam
bidang studi
Islam, dan secara bersamaan
Khaled menempuh kuliah studi hukum di Universitas
California Los Angeles (UCLA) disinilah ia membangun dan mengembangkan karir
akademiknya. Atas prestasinya
ia dipercaya menjabat sebagai profesor hukum Islam pada School
of Law, University of California, Los Angeles (UCLA)(Ulya, 2015). Ia mengampu beberapa mata kuliah
seperti hukum islam, hukum keamanan nasionail dan internasional, imigrasi, HAM. Jabatan
yang pernah diduduki Abou
El Fadl:
1. Advokat di bidang pembelaan HAM
2. Anggota di Dewan Direksi untuk Human Rights Watch
3. Anggota Komisi Internasional Kebebasan Beragama yang dilantik langsung oleh George W Bush
4.
Kepala sebuah lembaga HAM di Amerika
5. Anggota di Dewan Penasehat
Watch Timur Tengah
Sedangkan buku-buku yang ditulis oleh Abou
El Fadl diantaranya adalah:
1. And God Knows the Soldiers: The Authoritative
and Authoritarian in Islamic Discourse
2. Rebellion and Violence in Islamic Law
a.
3 Speaking in God�s Name: Islamic Law, Authority and Woman
3. The Authoritative and Authoritarian in
Islamic Discourses: A Contemporary Case study
4. Conference of Books: The Search for Beauty
in Islam
5. The Place of Tolerance in Islam
6. Islam and Challenge of Democracy
Buku-bukunya tersebut telah diakui di Amerika maupun di dunia
Islam sebagai rujukan untuk blantika diskursus intelektual(Syarifuddin, 2015).
B. Problem
Otoritas, Otoritatif dan Otoritarianisme dalam Islam
Dalam kegelisahan akademisnya Abou El Fadl sangat mengkhawatirkan tentang sikap keotoriteran dalam kajian Islam terutama terhadap paham
wahabi dalam permasalahan misoginis atau hukum yang
merendahkan wanita. Maka
Abou El Fadl menjelaskan lebih rinci lagi
mengenai persoalan tentang otoritas (wewenang), otoritarian (keberwenangan) dalam komunitas Interpretasi Muslim terhadap teks al-Qur�an dan
Hadis, serta sikap otoritarianisme. Hannah Arendt mendefinisikan otoritas sebagai sebuah kekuatan agar seseorang tunduk
dan patuh tanpa harus dibujuk. Sedangkan Friedman mendefinisikan otoritas sebagai kemampuan untuk memengaruhi orang lain untuk mengikuti bentuk perbuatan tertentu dengan memperlihatkan manfaat dari
perbuatan tersebut. Kemudian Friedman memisahkan
antara memangku otoritas
dan memegang otoritas. Memangku otoritas ialah menduduki jabatan resmi
sehingga mempunyai kekuasaan untuk memerintah. Sedangkan mematuhi pemegang otoritas ialah melepaskan pendapat pribadi dan patuh kepada pemegang otoritas yang dianggap mempunyai kebijaksanaan dan
pemahaman yang lebih baik.
Jadi perbedaannya ialah jika memangku otoritas,
orang lain boleh berbeda pendapat dengan arahannya akan tetapi tetap
harus menaati. Sedangkan memegang otoritas, seseorang harus tunduk tanpa
diperbolehkan memiliki pendapat
yang berbeda(El Fadl,
2004).
Abou El Fadl membagi otoritas menjadi dua, yaitu
otoritas koersif dan otoritas persuasif. Otoritas
koersif adalah kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam atau menghukum sehingga orang
yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis
mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Adapun otoritas persuasif adalah adanya kekuatan atau kekuasaan normatif dan menggunakan kemampuan tersebut untuk mengarahkan perilaku atau keyakinan
seseorang atas
dasar kepercayaan alternatif. Abou El Fadl
lebih memilih istilah otoritas koersif daripada memangku otoritas, karena Abou El Fadl menilai jika jabatan
resmi yang dimilik seseorang tidak bisa diketahui dengan jelas. Otoritas
persuasif tidak mesti melibatkan penyerahan keputusan
secara total atau penyerahan tanpa syarat. Pada kenyataannya, penyerahan keputusan dan otonom secara total sering kali berubah
menjadi bentuk
otoritas koersif. Otoritas persuasif mempengaruhi orang lain untuk
percaya, bertindak
atau tidak bertindak sesuatu hal dengan cara
membujuk mereka
bahwa hal
tersebut sesuatu yang sudah seharusnya. Ia mempengarahui orang lain
untuk percaya
bahwa bertindak sesuai dengan arahan
tertentu sejalan dengan rasa tanggung jawab pribadi mereka(El Fadl, 2004).
Hal ini apabila ditarik pada diskursus
fatwa-fatwa Islam, maka terdapat berbagai persoalan yang patut dipertanyakan. Bagaimana sikap seorang mufti dan
lembaga Fatwa dalam
mengeluarkan fatwanya? Apakah fatwa tersebut wajib diikuti oleh
orang yang meminta fatwa dan masyarakat
didaerah tersebut hingga dibuat suatu Undang-Undang
untuk mematuhinya atau cukup dengan
memaparkan landasan hukum dan argumennya atas fatwa yang ia keluarkan? Bagaimana sikap seorang mufti atau lembaga fatwa apabila banyak ditemukan produk fatwa mereka berbeda pendapat
dengan mufti atau kelompok lembaga lain? Apakah ia harus
menafikan pendapat
yang berbeda dalam produk fatwanya dan mengklaim bahwa fatwanya yang paling benar atau bersikap
lembut dengan fatwa yang berbeda? Sebagaimana
yang terjadi pada kolompok interpretasi CRLO. CRLO sangat
berwenang dalam mengeluarkan fatwa tentang permasalahan-permasalahan Islam
dengan kapasitas mereka memiliki ulama�-ulama� yang
kompeten dan kredibel di bidangnya. Namun CRLO dituntut memberikan ulasan hukum yang tepat dan dapat
diterima oleh kaum muslimin, serta mereka tidak dapat memaksakan kehendak mereka bahwa fatwa tersebut wajib untuk diikuti
dan menafikan
fatwa-fatwa komunitas interpretasi
lain yang tidak sependapat dengan fatwa mereka.
Dalam tataran
ini mereka seakan akan telah
berbicara atas nama Tuhan. Bentuk contoh
diatas merupakan otoritarianisme dalam Islam, Abou
El Fadl berpendapat jika otoritarianisme merupakan prilaku yang tidak berpegang pada prinsip
pengendalian diri serta membuat klaim
palsu yang mengakibatkan
penyalahgunaan terhadap hak Tuhan.
Abou El Fadl menyarankan
pada masyarakat agar
selektif, cermat dan tidak terjebak pada pembaca tertentu yang memiliki otoritas dalam memahami pesan dan kehendak Tuhan. Abou El Fadl menawarkan dua prinsip, yakni praduga epistemologis dan penggunaan nalar eksklusif. Praduga epistemologis adalah
adanya kesamaan sudut pandang antara
orang yang diikuti dan mengikuti, sedangkan nalar eksklusif merupakan nalar yang dapat mengambil keputusan secara
independen apakah ia harus mengikuti
atau tidak(Syarifuddin, 2015).
Mencermati fenomena pelimpahan otoritas yang sering berujung pada bentuk otoritarianime. Disini Abou Fadl memberikan beberpa definisi tentang beberapa bentuk otoritarianisme diantaranya. Pertama, Abou El Fadl mengatakan bahwa otoritarianisme adalah tindakan mengunci dan mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan penetapan tersebut sebagi sesuatu yang pasti, absolut, dan menentukan. Kedua, otoritarianisme merupakan perbuatan yang melampaui batas wewenang dari apa yang telah diamanatkan sedemikian rupa, bahkan dapat dikatakan mengambil alih wewenang dari pemberi mandat. Ketiga, otoritarianisme merupakan tindakan dari orang-orang yang menggunakan simbolisme dari komunitas interpretasi hukum tertentu untuk mendukung argumentasi mereka. Keempat, otoritarianisme merupakan pengabaian terhadap realitas ontologis Tuhan dan pengambil alihan kehendak Tuhan oleh wakil Tuhan sehingga wakil tersebut secara efektif kemudian mengacu kepada dirinya sendiri(El Fadl, 2004).
Untuk lebih
mendalami lagi pembahasan terkait otoritas yang dapat menimbulkan otoritarianisme
atau sikap otoriter seseorang. Disini Abou El Fadl mencoba mengkonstruksi gagasan tentang pemegang otoritas, hal ini
penting untuk
diterapkan
demi menjaga dan membatasi sikap otoriter dan otoritarian dalam hukum Islam. Abou El Fadl berpendapat terdapat tiga komponen
yaitu: pertama, kompetensi (autentisitas),
kedua, penetapan makna, dan ketiga adalah perwakilan. Pertama Kompetensi, merupakan
pembuktian sejarah dan pengujian autentisitas dari perintah Tuhan
atau Rasullah. Maksudnya agar kita dapat memverifikasi bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari Rasullah
atau Allah swt. Dengan
ungkapan yang lebih sederhana, bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang tidak
berbohong dan menisbahkan sesuatu kepada Tuhan atau Rasullah,
padahal sebenarnya
Tuhan atau Rasullah tidak mengatakan hal demikian?(Tilawati, 2019).
Abou Fadl berpendapat
apabila menemukan sebuah teks yang mengklaim
atas kehendak
Tuhan, maka harus dilakukan uji kualifikasi (otoritas teks untuk mewakili atas
nama atau tentang Tuhan). Apabila sebuah teks terbukti dari
seorang sahabat
Nabi, maka kita harus menanyakan dan menverifikasi sejauh mana teks itu dapat mewakili
atas nama Nabi, dan akhirnya atas nama
Tuhan. Begitu juga
terhadap teks
berasal dari seorang yang cerdas, berilmu dan shaleh maka kita harus
mempertanyakan hal yang serupa. Kedua penetapan makna, menurut Abou Fadl penetapan makna merupakan sebuah tindakan untuk menentukan makna sebuah teks.
Selama perintah-perintah Tuhan bersandar pada sebuah teks, maka
perintah-perintah teks
tersebut bersandar
pada sebuah bahasa. Pada batas tertentu bahasa memiliki sebuah realitas objektif karena maknanya tidak dapat ditentukan secara terpisah oleh
pengarang atau
pembaca saja. Bahasa mengandung makna dan penggunaan kosa kata
yang telah disepakati, namun penggunaan makna dan kosakata tersebut selalu berubah seiring
berjalannya waktu. Maka Seorang pengarang
biasanya mengerahkan kemampuan kreatifitas yang maksimal untuk memilih simbol-simbol
bahasa yang sekiranya
dapat memberi gambaran yang ada pada pikirannya, tapi pengarang tidak
dapat mengontrol dampak sebuah bahasa
pada penggunanya.
Ketiga perwakilan, menurut Abou Fadl hanya manusia yang diberikan tanggung jawab sebagai wakil Tuhan dimuka bumi ini untuk melaksanakan kehendak Tuhan dengan penuh keimanan. Meskipun manusia dipandang sebagai pelaksana kehendak Tuannya, mereka sebenarnya pelaksana yang tidak sepenuhnya bebas, karena terikat dengan instruksi yang dikeluarkan Tuannya. Mereka tidak boleh bertindak melampaui mandat yang diberikan. Fenomena yang berlaku sampai saat ini ialah sebagian wakil menundukkan kemauannya dan menyampaikan beberapa keputusannya kepada beberapa kelompok orang atau wakil dari golongan tertentu (ulama�). Mereka melakukan hal tersebut karena mereka beranggapan jika wakil dari golongan tertentu memiliki otoritas. Kelompok khusus ini menjadi otoritatif karena dianggap mempunyai kompetensi dan pemahaman yang khusus terhadap perintah atau kehendak Tuhan(Mubarok, 2017).
Adapun menurut Abou El Fadl
terdapat lima persyaratan khusus yang harus dipenuhi
oleh wakil khusus atau seorang mufti dan para ahli hukum terhadap peran mereka
sebagai pelimpahan pemegang otoritas untuk menyampaikan kepada masyarakat atas
dasar kepercayaan, diantaranya yaitu sebagai berikut Pertama, kejujuran, seorang ahli hukum harus
bersikap apa adanya atau jujur terhadap
perintah Tuhan, dengan tidak menyembunyikan
sebagian perintah
Tuhan ataupun
merubah bunyi perintah Tuhan dengan sengaja. Jadi seorang ahli hukum tidak
akan berpura-pura memahami apa yang tidak ia ketahui
dan dan bersikap jujur tentang sejauh
mana tentang ilmu dan kemampuannya dalam memahami perintah
Tuhannya. Kedua, kesungguhan,
seorang ahli hukum harus berusaha
semaksimal mungkin dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk menemukan dan memahami petunjuk petunjuk yang ada yang sesuai dengan persoalan tertentu, serta bersedia mempertanggung jawabkan tindakannya
di hadapan Tuhan pada hari akhir nanti.
Usaha yang harus dilakukan
oleh ahli hukum ini ialah dengan
menyelidiki, mengkaji dan
menganalisis perintah-perintah
yang ada.
Di sini Abou El Fadl menegaskan bahwa dalam sistem teologi
Islam, kewajiban untuk bersungguh-sungguh menemukan dan memahami menjadi lebih besar ketika
sebuah hukum bersentuhan dengan hak orang lain. Seseorang
bertanggung jawab atas keputusannya
yang menyesatkan atau melanggar hak orang lain. Oleh karena itu
bagi orang-orang yang berakal,
semakin bersentuhan dengan hak orang lain, semakin besar pula keharusan mereka berhati-hati, dan semakin
keras upaya
mereka dalam melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain. Semakin besar pelanggaran mereka terhadap orang lain, semakin besar pula pertanggung jawaban
mereka di sisi Tuhan. Ketiga, kemenyeluruhan,
dimana seorang ahli hukum diharuskan
untuk menyelidiki perintah Tuhan secara menyeluruh dan telah mempertimbangkan
semua perintah
yang relevan, membuat upaya terus menerus
untuk menemukan
semua perintah
yang relevan, dan tidak melepas tanggung jawabnya untuk menyelidiki atau
menemukan alur pembuktian tertentu.
Keempat, rasionalitas, seorang ahli hukum harus
melakukan upaya
penafsiran dengan menganalisis perintah perintah Tuhan secara rasional.
Rasional menurut
Abou El Fadl ialah sesuatu yang dalam kondisi tertentu dipandang kebenarannya secara umum. Kelima, pengendalian diri, dimana seorang ahli hukum menunjukkan
tingkat kerendahan
hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuhan.
Prasyarat ini
dalam Islam telah diungkapkan dengan perkataan
wa Allah a�lam bi al-Shawab (Dan Tuhan
lebih tahu yang terbaik). Ungkapan ini berperan sebagai klaim epistemologis
dan moral. Gagasan utama ungkapan ini adalah bahwa
seorang ahli hukum harus memiliki
kehati-hatian dan mampu
mengendalikan diri untuk menghindari
penyimpangan atau kemungkinan penyimpangan atas peran Tuhannya.
Pengendalian diri mengandung arti bahwa
seorang ahli
hukum harus mengetahui batasan peran yang dimilikinya, terlebih ia harus mampu
menahan diri dan tidak ceroboh untuk
tidak menarik kesimpulan terhadap sebuah persoalan apabila bukti-buktinya tidak mencukupi. Adapun
Implikasi bagi seorang ahli hukum
jika tidak memegang kelima prinsip ini,
mereka akan bertindak sewenang-wenang dalam proses penafsiran
cenderung mendukung
ideologi tertentu dan tidak bersikap toleransi dengan kelompok interpreter lain yang berbeda pendapat. Bahkan mereka cenderung mendiskriditkan kelompok tertentu. Dikarenakan dalam proses interpretasinya mereka tidak memaparkan argumentasi interpreter lain yang tidak
sependapat dengan mereka, serta mereka
mudah menjustifikasi suatu permasalahan dengan membenarkan pendapat pribadi dan menyalahkan pendapat yang beda dengan mereka.
C. Sistematika
Hermeneutika Khalid Abou El Fadl
Hermeneutika yang digunakan Abou El Fadl tidaklah sama dengan hermeneutika
pada umumnya. Ia menggabungkan tradisi keilmuan islam klasik yang telah
mapan dengan hermeneutika barat. Ia enggan menggunakan hermeneutika barat dengan
semena-mena karena ia menilai hanya
akan memperoleh sedikit legitimasi dalam konteks islam.
Yang kemudian tidak akan dijadikan rekomendasi bagi pendekatan konservatif yang mengakui gagasan tentang hierarki.
Lebih jauh lagi Abou Fadl ingin adanya penggabungan
antara tradisi keilmuan islam klasik dengan hermeneutika
barat harus dilaksanakan dengan terukur dan
rasional sehingga gugus budaya yang menerima proses pencakokan itu tidak bereaksi keras. Abou
El Fadl mengedepankan proses
pencarian makna otentik dengan cara dialog dalam
mencari makna dari pengarang teks dan pembaca di dalam hermeneutikanya(Suhendra, 2015).
Abou El Fadl menggunakan
teori hermeneutika yang bersifat analitisnormatif. Ia masih mengkaji
tradisi islam klasik dan meyakini otentisitas Al Quran sebagai wahyu Alquran dan Kerasulan Muhammad(Supriatmoko,
2010). Abou el Fadl melibatkan
beberapa pendekatan
seperti linguistik,
literacy criticsm dan juga ilmu
islam klasik seperti mustolahul
hadits, ushulul fiqh, tafsir yang kemudian disatukan dengan humaniora kontemporer. Fiqh memiliki pemahaman
secara teks dan konteks. Seperti yang diketahui, hukum islam berupaya
memahami pesan tuhan yang terkandung di Al
Qur�an dan Hadis. Jadi alangkah baiknya jika kedua
dimensi ini harus dipertimbangkan, sehingga akan terjalin
hubungan antara makna-esoterik batiniah
dan makna eksoterik-lahiriah
dari teks-teks fiqh.
Dalam kajian
ini Abou El Fadl lebih banyak mengkritis
seputar persoalan
teks dan sumber
penulisannya seputar sunnah
nabi atau hadis-hadis nabi. Sedangkan dalam
hal kompetensi Al-Qur�an
Abou Fadl tidak
mempermasalahkannya, dikarenakan ini sudah masuk pada ranah iman(Al-Jauhari, 1999).
Namun perlu digaris
bawahi bahwa penolakan Abou El Fadl tidak termasuk pada ranah penetapan makna dan interpretasinya.
Sebagaimana
Abou El Fadl mencontohkan persoalan Sunnah tentang hadis nabi
yang diriwayatkan oleh Abou Bakrah
tentang larangan bagi kaum perempuan
menduduki jabatan
hakim atau pemimpin politik seperti khalifah. Dalam konteks ini terdapat
banyak kejanggalan dari apa yang diriwayatkan
Abu Bakrah tentang
sabda nabi
yang berbunyi, �sebuah bangsa yang menyerahkan
urusannya ke pada
perempuan tidak akan
sukses�. Sedangkan
Abu Bakrah sendiri baru masuk islam
pada masa-masa terakhir Nabi hidup.
������ Hadits diatas dipandang autentik (shahih) termasuk al-Bukhari. Nabi meriwayatkan hadis tersebut ketika mendengar bahwa seorang perempuan
telah menduduki kursi kekuasaan kerajaan persia dan ketika menerima berita tersebut beliau membuat
pernyataan diatas. Dalam versi lain Abu Bakrah meriwayatkan
bahwa Nabi sedang
berbaring di pangkuan Aisyah, ketika seorang yang tidak dikenal menghampiri
beliau dan memberitahukan bahwa persia kalah
dalam sebuah peperangan. Nabi segera
bangkit dan mengatakan bahwa, �sungguh kaum laki-laki akan
celaka bila mereka mematuhi kaum perempuan�.
Namun ada
hal yang menjanggal dalam diri Abu Bakrah dan periwayatannya.
Antara lain ialah ia telah dituduh sebagai
seorang tukang fitnah. Ketika khalifah Umar bin Khattab memerintah, beliau menolak kesaksian hukum dari Abu
Bakrah. Selain itu latar belakang
sebelum Abu Bakrah menjadi muallaf tidak terlacak.
Selanjutnya Abu Bakrah menolak keterlibatannya dalam dunia politik tapi anehnya hadis-hadis
yang ia riwayatkan syarat dengan muatan
politik. Yang lebih
mengganjal lagi mengapa sayyidatina Aisyah tidak meriwayatkan
hadis yang sama
sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Bakrah. Atas
dasar persoalan ini lah penting
menggali lebih dalam lagi terkait
dugaan-dugaan pengarangan dibalik hadist, bagaimana konteks perawi meriwayatkan hadis
tersebut, dalam komuitas interpretasi manakah hadis tersebut
cepat populer
bahkan memiliki derajat autentik. Maka gagasan Aboul
El Fadl terkait hermeneutikanya dalam mendisuksiakan secara berimbang antara pengarang, teks
dan pembaca sangat penting,
sehingga makna dari sebuah teks
dapat diterapkan
sebaik mungkin.
1. Pengarang
Jika dilihat dari segi sejarah, maka
munculnya sebuah teks tidak mungkin terpisahkan dari pengarang. Madzhab Romansisme sangat memuja posisi pengarang, karena
subjek pengarang adalah sebuah pusat
kerja inovasi secara keseluruhan, kehadirannya terhadap teks ibarat roh
yang sangat dominan. Akan tetapi, madzab
strukturalisme dan teori-teori
lain telah membunuh pengarang dan sebalinya, memeberikan teks nilai yang sangat tinggi, karena tujuannya adalah mengungkapkan sistem yang menjadi fondasi sebuah sistem linguistik. Adapun
E.D.JR Hirsh dalam bukunya
Validity in Interpretation yang
didalamnya ia
mengedepankan pengarang dalam teks dan ingin mengembalikan maksud
pengarang sebagai
kunci memaknai teks, dengan kata lain seorang pembaca dituntut mengembalikan
tujuan pengarang dan niatnya dari karya
itu(Salim, 2010).
Namun penjelasan
diatas tidak dapat serta merta
diterapkan dalam kajian Pengarang al-Qur�an dan Hadis. Maka Abou El Fadl memberi batasan terkait pengarang
al-Qur�an dan Hadis. al-Qur�an berasal dari Allah SWT sedangkan hadist merupakan
segala apa yang disandarkan pada Rasulullah SAW. Terlebih
dari
segi mukjizat
al-Quran mencakup makna dan
teks sehingga tidak terjadi perubahan
dalam pembukuannya.
Adapun hadis hanya dari segi makna
sedangkan lafadz
tidak, sehingga
tidak jarang banyak kita temui
hadis yang berbicara sama dalam konteks namun
berbeda dari segi redaksi. Ketika
membahas tentang author hadis, kita tidak
dapat melepaskannya dari proses kepengarangan
pembentukan hadis. Nabi sebagai pengarang utama dalam proses
kepengarangan pembentukan hadis. Tetapi kita
sangat sadar jika kita tidak menerima hadis
dari Nabi melalui proses
yang bersifat abadi dan dijamin Tuhan. Hadis
yang kita ketahui saat ini, sampai
kepada kita dari Nabi melalui banyak media yang telah
dinegosiasikan, dipilah, dilindungi sehingga menghasilkan unsur-unsur
kebenaran Nabi(Matswah, 2013).
2.
Teks
Pada umumnya teks dijadikan sebuah hasil dari pembacaan-pembacaan
yang menjadikan ilmu linguistik sebagi titik awal serta
menganggap bahasa sebagai media dan tujuan. Jadi teks syair pada umumnya adalah struktur
yang linguistik yang cukup dengan dirinya, yakni struktur yang
tertutup pada dirinya
sendiri, untuk berpindah teks tanpa membutuhkan sesuatu yang diluar
sistem. sehingga teks dapat melampaui dirinya menuju lingkupnya dan faktor-faktor yang
berpengaruh didalamnya.
Teks menjadi terbuka bagi para penerimanya, mereka dapat berbeda-beda
pendapat dan kecenderungannya(Hidayat, 1996).
Adapun jika sebuah teks menjadi tertutup,
teks tidak dapat berbicara dan dibungkam suaranya, tidak ada alasan untuk
menggeluti teks, dan teks menjadi beku dan tertutup
dari interpretasi. Teks menjadi tertutup dikarenakan ketika pembaca bersikeras
menganggap bahwa teks mengandung makna yang telah ditentukan, stabil,
tetap, dan tidak berubah. Teks akan menjadi sebuah sumber yang tertutup ketika seorang pembaca menutup proses interpretasi serta menggabungkan teks dengan penetapan makna tertentu, contohnya jika terdapat makna dari sebuah hadis tertentu
menjadi mapan, makna teks secara
efektif telah dinyatakan tertutup(Khadun, 2012).
3. Pembaca
Seorang reader dalam pandangan
Abou El Fadl harus memiliki lima syarat utama yang harus dipedomani sebagaimana yang telah penulis jelaskan
diatas, yaitu
Kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas dan
pengendalian diri. Kelima syarat
ini harus dijalankan seorang reader dalam menjalankan interpretasinya
terhadap teks(Mubarok, 2017). Namun bagi Abou El Fadl tidak sampai berhenti
pada kelima aspek
ini. Ia
kemudian menetapkan 4 gagasan dalam hal
landasan dalam
membangun analisis
sebuah hukum yang juga berfungsi sebagai batas luar bagi
penentuan hukum. Hal ini dikarenakan dalam kajian Islam, terdapat berbagai kalangan atau kelompok
interpretatif yang memiliki
ciri dan pedoman tersendiri dalam penetapan hukum, sehingga tidak heran antara satu
kelompok interpretatif
dengan lainnya memiliki pendapat yang bertenangan.
Maka dari
itu Abou Fadl menawarkan ke-empat gagasannya terdiri dari: Pertama asumsi berbasis nilai, ia harus dilandasi
berdasarkan nilai-nilai normatif yang dipandang menjadi dasar oleh sebuah sistem hukum.
Pada dasarnya asumsi ini menjadi
asas bagi sebuah budaya hukum,
atau oleh komunitas interpretasi hukum tertentu dipandang sebagai asumsi yang secara normatif diperlukan. Misalnya pelestarian kehidupan, perlindungan terhadap
hak milik,
pentingnya menjaga kesopanan, kebebasan berbicara, atau peningkatan berbagai
bentuk ekspresi diri bisa menjadi
nilai normatif yang
mendasar sebagai
sebuah sitem hukum. Para ahli hukum Islam sering menyebutkan jika
keperluan mendasar dari hukum Islam terdiri dari al dharuriyat al khomsah
yaitu menjaga agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta(Kadi, 2012).
Kedua asumsi metodologis. Menurut Abou El Fadl, asumsi metodologis pada sisi-sisi tertentu berbeda dengan asumsi-asumsi berbasis nilai, dan pada sisi yang lain asumsi-asumsi metodologis cenderung tumpeng tindih dengan asumsi nilai
dalam sistem hukum. Seperti persoalan apakah konsensus para ahli hukum
Madinah bisa menjadi dasar hukum, merupakan
persoalan metodologis. Asumsi-asumsi
metodologis muncul dari pendekatan teoritis yang sistematis terhadap hukum, namun asumsi ini
cenderung bertahan dan berkembang melalui kekuatan kebiasaan. Asumsi-asumsi ini menjadi sebuah kerangka
yang sering digunakan oleh budaya hukum dalam
menghasilkan hukum. Yang perlu
diperhatikan ialah perdebatan antara berbagai kalangan madzhab hukum merupakan
bersifat metodologis. Maka sering ditemukan persoalan
metodologis sangat berhubungan
erat dengan asumsi-asumsi berbasis nilai
yang menjadikannya sulit bagi kita untuk
dapat membedakan antara asumsi-asumsi nilai dan asumsi-asumsi berbasis metodologis.
Ketiga, asumsi berbasis akal. Menurut Abou El Fadl asumsi berbasis akal ini berbeda
dengan dua asumsi sebelumnya, asumsi berbasis akal memperoleh eksistensinya dari
logika atau bukti hukum pada penetapan hukum yang bersifat substantif. Ia bukanlah hasil
dari dinamika langsung antara Muslim dengan Tuhannya,
tapi didasarkan pada hubungan antara seorang Muslim dengan dan berbagai bukti atau perintah Tuhan
yang ia temukan. Asumsi ini bersandar
pada bagian-bagian bukti
yang bersifat kumulatif. Asumi semacam ini
merupakan hasil dari proses objektif dalam mempertimbangkan dan
menganalisa berbagai bukti secara rasional,
dan bukan berasal dari hasil
pengalaman eksistensial, etis, atau metafisik
yang bersifat pribadi. Asumsi berbasis akal bersikap
objektif dan moderat, serta tidak mengakui adanya pengaruh nilai normatif. Persoalan yang bersifat menentukan bagi jenis asumsi
ini adalah, sebagaimana pembacaan literal
terhadap hukum,
ia mengklaim sebagai bebas nilai,
dan didasarkan hanya
pada bobot pembuktian.
Keempat, asumsi berbasis iman. Ia muncul
diakibatkan hubungan tambahan antara wakil dan Tuannya. Asumsi ini terlahir
bukan dari perintah langsung dari Tuannya, namun
dari dinamika interaksi antara wakil dengan tuannya. Asumsi berbasis iman dibangun pada pemahaman pokok tentang karakteristik pesan Tuhan serta
tujuannya. Maka, asumsi-asumsi membentuk
sebuah keyakinan
yang mendasar yang tidak dapat dibagikan atau dipertanggungjawabkan kepada orang lain.
Keempat asumsi
diatas wajib dikuasai oleh komunitas interpretasi, dikarenakan dalam menganalisis dan mengkritisi berbagai asumsi komunitas interpretasi akan
menambahkan keterpaduan diskursus tersebut. Serta
penggunaan keempat asumsi diatas bukanlah suatu perbuatan otoriter. Yang menjadi sebuah permasalahan ialah ketika asumsi-asumsi
tersebut menjadi
sebuah objek
loyalitas yang pada akhirnya
menggantikan keberwenangan
Tuhan dan perintahnya.
Maka asumsi-asumsi tersebut harus dijadikan sebuah moralitas proses bukan
moralitas hasil. Dari sinilah Abou El-Fadl
membangun teori
hermenuetikanya dalam rangka menyikapi fenomena hukum
Islam yang cenderung bersifat
otoriter menuju hukum Islam yang otoritatif(Raisul, 2015).
D. Implementasi
Hermeneutika Khalid Abou El Fadl
Gagasan
Hermeneutika Abou El Fadl ditujukan untuk mengkritik fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga fatwa resmi CRLO di Saudi Arabia yang mana fatwa-fatwa
ini dikeluarkan oleh para ahli hukum yang menganut madzhab Wahabi. Pemilihan ini dikarenakan dua alasan, Pertama Abou El Fadl berpendapat produk intelektual para ahli hukum dari
madzhab tersebut melambangkan bentuk otoritarianisme interpretatif. Kedua madzab ini menjadi
salah satu madzhab yang
dominan di dunia Islam dewasa ini. Maka dapat
dikatakan hasil pendekatan hukum kontemporer yang dilakukan Wahabi hasilnya bersifat pasti, kesimpulannya tidak bisa digugat dan penetapannya
bersifat tegas(Islahuddin,
2019). Berikut beberapa fatwa yang dikritik oleh Abou El Fadl:
1. Fatwa
Perempuan Mengenakan Sepatu Bertumit Tinggi
Fatwa yang dikeluarkan oleh CRLO dan juga Ibn Baz
dan Ibn Jibrin melarang penggunaan sepatu bertumit tinggi bagi wanita karena sepatu
tersebut tidak menyehatkan dan berbahaya bagi perempuan. Selain itu sepatu tersebut
juga menipu karena menjadikan perempuan terlihat lebih tinggi, dan dapat
menimbulkan fitnah karena akan menonjolkan paha perempuan.
Aspek yang paling mengganggu dalam penggunaan sepatu bertumit tinggi ini ialah
mereka membentuk kaitan antara pengelabuan
sebuah komoditi
dan pengelabuan bentuk
fisik perempuan dengan maksud agar ia terlihar tidak seperti
yang sebenarnya. Kemudian muncul pertanyaan apakah perempuan
yang terlihat lebih tinggi dan dada menonjol lebih mengundang nafsu, sehingga
diperlukan pelarangan ini? Mungkin para ahli hukum ini
tidak mentolerir
segala jenis penipuan atau pengelabuan
karena Tuhan tidak memaafkan segala jenis penipuan(El Fadl, 2004).
2. Fatwa
Perempuan Bepergian
CRLO mengeluarkan fatwa yang menjelaskan bahwa dalam
keadaan apapun
seorang perempuan tidak dibenarkan melakukan perjalanan lebih dari
80 km seorang diri tanpa ada mahram. Fatwa ini diambil dari hadis Nabi
yang berbunyi �Tidak dibenarkan bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan rasul nya untuk bepergian
sejauh satu hari perjalanan tanpa ditemani seorang mahram�. disini ibn fawzan menjelaskan
jika larangan tersebut penting ditegaskan karena apapun
bentuk transportasinya bisa saja mengalami masalah
sehingga si perempuan akan terlantar tanpa seorang
pelindung. akan tetapi ulama klasik seperti sa�id ibnu jubair, imam
malik dan imam syafi'i melihat permasalahan bukan ada atau tidaknya
mahram akan tetapi kepada permasalahan
keamanan. oleh karena itu jika keamanan bisa dijamin
melalui berbagai sarana, seorang perempuan boleh bepergian sendirian
atau bersama perempuan lain. lebih lanjut, perempuan yang sudah
berusia lanjut, ia lebih aman karena tidak dikhawatirkan akan diculik,
berbanding dengan perempuan yang masih muda, maka kehadiran seorang
mahram diperlukan(El Fadl, 2004).
Kesimpulan
Kegelisahan utama akademik Abou El Fadl ialah keluarnya fatwa-fatwa misoginis pada lembaga fatwa di Amerika dan Arab Saudi yang mendiskriditkan pada kaum wanita dan bersifat otoritarianisme sehingga menafikan segala pendapat yang berbeda darinya. Abou El Fadl menginginkan dalam mengeluarkan fatwa tidak terjadi otoriter, namun yang diinginkan ialah otoritas koersif. Untuk menghindari otoritarianisme Abou Fadl memberi lima syarat yang harus dimiliki ahli hukum yaitu kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas dan pengendalian diri. Apabila persyaratan telah dipenuhi maka ahli hukum telah terhindar dari sikap otoriter. Hermeneutika yang ditawarkan oleh Abou El Fadl terdiri dari tiga komponen yaitu pengarang, teks dan pembaca. Dalam hal pengarang Abou El Fadl lebih berfokus pada sunnah dan tidak mengkritik Al Qur�an karena termasuk dalam ranah iman. Adapun dalam sebuah teks ia menginginkan teks selalu terbuka dan dibaca dengan kajian historis tanpa menghindari nilai normatif didalamnya. Sedangkan dalam hal pembaca, menurutnya pembaca haruslah menguasi kelima persyaratan yang telah ia konsepkan agar ia tidak bersikap sewenang-wenang pada penafsirannya. Dalam penerapannya ketiga komponen tersebut harus saling berinteraksi dan berdialog satu dengan yang lain. Sehingga makna dalam sebuah teks tidak bersifat final dan terus mengalir. ��
Al-Jauhari, I. H. (1999). Hermeneutika
Islam: Membangun Peradaban Tuhan Di Pentas Global. Ittaqa Press.
El Fadl, K. A. (2004). Atas Nama Tuhan
Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, Terj. R. Cecep Lukman Yasin.
Serambi Ilmu Semesta.
Fadilah, I. (2016). Aplikasi Hermeneutika
Dalam Fiqh Perempuan (Studi Pemikiran Khaled Abou El Fadl Tentang Fiqh
Perempuan Dalam Fatwa Crlo). Iqtisad, 3(1), 22�51.
Fathony, A. (2019). Hermeneutika Negosiatif
Khaled Abou El Fadl: Menangkal Otoritariani Smetafsir Agama Dalam Hukum Islam. At
Turas: Jurnal Studi Keislaman, 6(1), 117.
Hidayat, K. (1996). Memahami Bahasa
Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Paramadina.
Islahuddin, M. (2019). Hermeneutika Khaled
M. Abou El Fadl Tentang Konsep Otoritarianisme Dalam Hukum Islam. Jurnal
Imtiyaz, 3(2), 150�162.
Kadi. (2012). Menjadi Wakil Tuhan (Memahami
Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl Tentang Konsep Otoritas Penafsir Pesan Tuhan).
Al-Ihkam, 7(1), 7.
Khadun, R. (2012). Hermeneutika Khaled Abou
El Fadl: Sebuah Upaya Untuk Menemukan Makna Petunjuk Kehenda Tuhan Dalam Teks
Agama. Edu Islamika, 3(1), 120.
Matswah, A. (2013). Hermeneutika Negosiatif
Khaled M. Aboue El Fadl Terhadap Hadis Nabi. Addin, 7(2), 259.
Moleong, L. J. (2006). Metode Penelitian
Kualitatif. Remaja Rosdakarya.
Mubarok, Z. (2017). Hermeneutika Abou El
Fadl Tentang Otoritas Dalam Hukum Islam. Adzkiya Jurnal Hukum Dan Ekonomi
Syariah, 5(2), 338.
Raisul. (2015). Pemikiran Hukum Islam
Khaled Abou El Fadl. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Hukum Islam, 14(2),
155.
Salim, F. (2010). Kritik Terhadap Studi
Al-Qur�an Kaum Liberal. Perspektif.
Soimitio, R. H. (N.D.). Metode
Penelitian Hukum Dan Jurimateri. Ghlmia Indonesia.
Suhendra, A. (2015). Hermeneutika Khaled M.
Abou El Fadl. Jurnal Mutawatir, 5(2), 329.
Supriatmoko. (2010). Konstuksi
Otoritarianisme Klaled M. Abou El-Fadl. Eisaq Press.
Syarifuddin. (2015). Hermeneutika Khalid
Abou El Fadl. Substantia, 17(2), 233.
Tilawati, A. (2019). Mahar Perkawinan
Dengan Hafalan Al-Qur�an: Analisis Hermeneutika Hadis Khaled M. Abou El Fadl. Indonesian
Journal Of Islamic Literature And Muslim Society, 4(1), 22.
Ulya. (2015). Studi Kritis Terhadap Ide
Khaled Abou Al- Fadl Dalam Speaking In God�s Name. Hermeneutik, 9(1),
139�161.
Copyright holder: Fajrul
Falah (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |