How to cite:
Zanjabil, A., Hannase, M., & CH, I. (2021) Kesesuaian Syariah Antara Praktik Operasional BPJS
Kesehatan dengan Fatwa DSN-MUI. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia 6(8).
http://dx.doi.org/10.36418/ syntax-literate.v6i8.3873
E-ISSN:
2548-1398
Published by:
Ridwan Institute
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia pISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
KESESUAIAN SYARIAH ANTARA PRAKTIK OPERASIONAL BPJS
KESEHATAN DENGAN FATWA DSN-MUI
Aviciena Zanjabil, Mulawarman Hannase, Irwan CH
Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Indonesia
Abstrak
Kesehatan adalah modal berharga bagi setiap manusia. Pemerintah Republik
Indonesia telah bertangggungjawab terhadap kesehatan dengan dibentuknya BPJS
Kesehatan. Namun BPJS Kesehatan yang sekarang ada dirasa tidak sesuai dengan
syariat. Hal tersebut dikarenakan banyak praktik operasional BPJS Kesehatan yang
tidak sesuai dengan Fatwa DSN-MUI. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kesyariahan praktik operasional BPJS Kesehatan dengan fatwa
DSN-MUI. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis
dengan teknik pengumpulan data secara dokumentasi, observasi dan wawancara.
Teknik analisis yang digunakan menggunakan teori yang dikembangkan oleh
Michael Huberman dan Mattew Miles. Sehingga hasil penelitian yang didapatkan
adalah praktik operasional BPJS Kesehatan berdasarkan fatwa DSN-MUI terbagi
menjadi dua pembahasan yaitu pembahasan keuangan dan non-keuangan.
Pembahasan keuangan yakni mengenai pengelolaan iuran, denda, dana dan
investasi. Sedangkan pembahasan non-keuangan yakni mengenai akad awal,
pelayanan fasilitas kesehatan dan keberadaan dewan pengawas syariah. Dari hal
tersebut diperoleh kesimpulan bahwa kedua praktik operasional BPJS Kesehatan
tidak sesuai dengan syariat Islam berdasarkan fatwa DSN-MUI. Agar dapat sesuai
syariah maka BPJS Kesehatan harus mengikuti fatwa DSN-MUI yang telah ada.
Kata Kunci: kesesuaian syariah; BPJS kesehatan; fatwa DSN-MUI; ekonomi islam
Abstract
Health is a valuable asset for every human being. The Government of the Republic
of Indonesia has been responsible for health with the establishment of BPJS
Kesehatan. However, the current BPJS Kesehatan is deemed incompatible with the
Shari'a. This is because many BPJS Kesehatan operational practices are not in
accordance with the DSN-MUI Fatwa. Therefore, this study aims to determine the
operational practices of BPJS Kesehatan with the DSN-MUI fatwa. This research
uses descriptive analytical research method with data collection techniques by
means of documentation, observation and interviews. The analysis technique used
is the theory developed by Michael Huberman and Mattew Miles. So that the
Aviciena Zanjabil, Mulawarman Hannase, Irwan CH
3748 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
research results obtained are the operational practices of BPJS Kesehatan based
on the DSN-MUI fatwa divided into two discussions, namely financial and non-
financial discussions. Financial discussion, namely regarding the management of
fees, fines, funds and investments. Meanwhile, the non-financial discussion
concerns the initial contract, health facility services and the existence of a sharia
supervisory board. From this it is concluded that the two operational practices of
BPJS Kesehatan are not in accordance with Islamic law based on the DSN-MUI
fatwa. In order to comply with sharia, BPJS Kesehatan must follow the existing
DSN-MUI fatwa.
Keywords: sharia complience; BPJS kesehatan; fatwa DSN-MUI; islamic economic
Pendahuluan
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh setiap manusia.
Dengan tubuh yang sehat manusia dapat beraktivitas dengan maksimal. Oleh karena itu
diperlukan peran negara dalam menjamin kesehatan warganya. Dalam hal bernegara,
Pemerintah Republik Indonesia ikut berkontribusi secara maksimal dengan menanggung
kesehatan warga negaranya. Hal tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya sebuah
Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Terbitnya UU tersebut mengamanatkan agar
pemerintah Indonesia membentuk lembaga penjamin sosial. Lembaga yang dibentuk
oleh Pemerintah adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan
Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah sebuah lembaga yang menjamin kesehatan
masyarakat Indonesia secara luas. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan adalah lembaga
yang menjamin kesejahteraan dalam hal jiwa seperti hari tua, pensiunan dan kecelakaan
kerja. Diharapkan dengan dibentuknya kedua lembaga tersebut maka kesejahteraan
rakyat dapat meningkat dan tanggungjawab pemerintah terpenuhi. Khususnya kehadiran
BPJS Kesehatan diharapkan anekdot yang sering berkembang seperti orang miskin
dilarang sakit dapat hilang (Prasetyo, 2004).
Kehadiran BPJS Kesehatan sangat disyukuri dan diterima oleh masyarakat
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah peserta BPJS Kesehatan
setiap tahun dan angka klaim fasilitas kesehatan yang meningkat setiap tahun. Namun
juga terdapat permasalahan yang sangat mendasar dirasakan oleh warga negara yang
menjadi para peserta BPJS Kesehatan. Hal ini dikarenakan oleh masih tidak syariahnya
operasional BPJS Kesehatan yang sekarang beroperasi. Terlebih didukung oleh data
BPS tahun 2010 bahwa lebih dari 85% jumlah penduduk Indonesia adalah beragama
Islam, maka sudah seharusnya prinsip syariah Islam digunakan untuk mengakomodir
mayoritas umat Islam tersebut.
Komisi B 2 Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V tahun 2015
memutuskan bahwa BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan syariat Islam karena dalam
operasionalnya masih terdapat unsur riba, gharar dan maysir. Lebih lanjut (Erwandi,
2013) mengatakan terdapat transaksi yang bertentangan dengan syariat. Seperti praktik
Kesesuaian Syariah Antara Praktik Operasional BPJS Kesehatan dengan Fatwa DSN-
MUI
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2020 3749
riba terjadi ketika BPJS Kesehatan membayarkan klaim yang lebih besar dari iuran yang
telah dibayarkan oleh para peserta serta kegiatan investasi yang dilakukan tidak
menggunakan instrumen keuangan syariah. Praktik gharar terjadi ketika BPJS
Kesehatan dan para peserta tidak tahu secara pasti kapan klaim dapat terjadi dan kapan
dari akhir pembayaran iuran oleh peserta dan juga terjadi ketika BPJS Kesehatan
membayarkan kepada klinik dengan sistem kapitasi yang tidak melihat jumlah
pelayanan secara nyata. Terakhir maysir terjadi karena dalam kegiatannya antara BPJS
Kesehatan dan peserta akan terjadi resiko antara pihak satu menerima keuntungan dan
pihak lainnya akan menanggung kerugian (Al Arif, Nachrowi, Nasution, & Mahmud,
2017). Oleh karena itu banyaknya praktik yang tidak menguntungkan satu sama lain
haruslah dihindari dan dicegah agar tidak menimbulkan kezaliman. Untuk itulah
diperlukan penegakan syariat Islam dalam BPJS Kesehatan selain karena merupakan
kewajiban bagi umat Islam juga karena mengandung kejahatan bagi umat manusia
(Arshad, Yusoff, & Tahir, 2016).
Islam melarang setiap kegiatan ekonomi yang mengandung dari unsur riba,
gharar dan maysir (Maulidizen, 2016). (Hamka, 1982) mengatakan bahwa riba adalah
kejahatan yang jahiliyah besar dan tidak sesuai dengan orang yang beriman. Praktek
riba akan membuat dendam dan kekacauan satu sama lain. Sehingga harus dihindari dan
dimusnahkan agar tidak terjadi permusuhan dan kerusakan kehidupan. (Suzuki, 2013)
berpendapat bahwa gharar adalah sebuah ketidakjelasan baik dapat hal sifat dan benda
dari sebuah transaksi ekonomi. Gharar merupakan sebuah perbuatan yang tidak baik
karena penuh dengan unsur kecurangan dan tidak terpuji yang harus dihentikan dan
diberantas (Aqiel, 2018). Karena gharar adalah kegiatan yang disertai dengan maksud
menipu, menjarah dan adanya resiko yang tidak jelas sehingga akan menyebabkan
mudharat kepada pihak-pihak yang bertransaksi. Kemudian maysir adalah sebuah
transaksi dimana salah satu pihak akan memperoleh keuntungan tapi disisi lain secara
bersamaan pihak lain akan mengalami kerugian. Praktik maysir juga tidak hanya terjadi
aktivitas ekonomi tapi juga sering terjadi pada permainan-permainan yang melibatkan
uang. Para ulama sepakat mengharamkan aktivitas maysir baik dalam kegiatan ekonomi
maupun permainan lainnya (Maizal, 2020).
Penghindaran perilaku yang tidak sesuai dengan syariat tersebut haruslah
dilakukan dengan cara meneladani ajaran Islam secara kaffah. (Shihab, 2002)
mengatakan bahwa kaffah adalah perbuatan yang meneladani ajaran Islam secara
menyeluruh dan utuh sehingga ia tidak memilah-milah mana ajaran agama yang mudah
ia kerjakan dan mana ajaran agama yang sulit ia kerjakan. Allah SWT mewajibkan agar
seluruh umat Islam mampu kaffah dalam menjalan agama sehingga umat Islam tidak
lalai dalam berkehidupan (Pasya, 2017).
Umat Islam sangat membutuhkan BPJS Kesehatan yang sesuai dengan syariat
Islam. Hal ini sebagai bentuk praktik ke-kaffah-an yang harus ditunjukkan dan
diperlihatkan dalam berkegiatan ekonomi. Selain itu prinsip syariah dalam aktivitas
ekonomi khususnya BPJS Kesehatan akan menghindarkan dari kezaliman dan
ketenangan dari para peserta yang beragama Islam (Asutay, 2012).
Aviciena Zanjabil, Mulawarman Hannase, Irwan CH
3750 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
Allah SWT mengancam umat manusia yang masih menggunakan riba, gharar
dan maysir dalam setiap aktivitas ekonominya. Allah SWT akan mengajak para pelaku
riba berperang secara langsung. Selain itu azab neraka yang sangat pedih pun
disediakan oleh pelaku riba. Kemudian para pelaku gharar dan maysir juga disediakan
neraka yang pedih serta tidak diberkahi dalam setiap kehidupannya. Mereka akan
mendapat kesengsaraan baik di dunia maupun diakhirat. Sehingga umat Islam haruslah
menjauhi setiap aktivitas ekonomi yang menggunakan riba, gharar dan maysir (Alani &
Yaacob, 2012).
Penerapan prinsip syariah pada BPJS Kesehatan merupakan sebuah urgensi yang
dirasakan oleh umat Islam Indonesia. Tidak hanya dalam hal beragama saja tapi juga
dalam hal bernegara urgensi mengenai BPJS Kesehatan Syariah juga telah diakomodir
dalam sebuah peraturan negara. Hal tersebut dimuat dalam panca ke-1 dalam Pancasila
dan dalam UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 Bab XI Tentang Agama pasal 29.
Sehingga benarlah BPJS Kesehatan yang menerapkan prinsip Islam dapat dijalankan.
Lebih lanjut Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Islam (DSN-MUI) telah
mengeluarkan berbagai macam fatwa yang berkaitan langsung maupun tidak langsung
tentang BPJS Kesehatan Syariah, sehingga penerapan BPJS Kesehatan Syariah dapat
terwujud.
Menurut (Nahar, 2015) mengatakan bahwa terdapat perbedaan mendasar dalam
praktik asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dimana perbedaan tersebut dalam
hal aktivitas keuangan dan akad awal yang membentuk perusahaan tersebut. Sehingga
dengan perbedaan tersebut akan terlihat corak yang terdapat dalam asuransi syariah dan
konvensional. (Labib, 2018) mengatakan bahwa terdapat perbedaan sudut pandang
dalam proses pembentukan fatwa antara DSN-MUI dan NU. Dimana DSN-MUI lebih
menekankan pada aspek akad dan transaksi yang berkesesuaian dengan syariat Islam.
Sedangkan NU melihat kepada aspek umum dimana BPJS Kesehatan memberikan
kemaslahatan kepada banyak pihak masyarakat Indonesia. Penelitian ini merupakan
sebuah penelitian pertama yang mengungkapan kesyariahan BPJS Kesehatan.
Pengungkapan kesyariahan BPJS Kesehatan menggunakan fatwa dari DSN-MUI. DSN-
MUI merupakan lembaga non pemerintah yang berisi sekumpulan ulama dari berbagai
organisasi agama Islam sehingga lebih memberikan pandangan luas dan pengetahuan
yang berbagai macam. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah
praktik yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan syariat berdasarkan
fatwa DSN-MUI atau tidak. Kesesuaian dengan syariat dapat dilihat berdasarkan isi
fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI dibandingkan praktik operasional BPJS
Kesehatan. Kesyariahan merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji dan diteliti
agar membuat mayoritas masyarakat Islam dapat tenang dalam bertransaksi. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui kesyariahan praktik operasional BPJS Kesehatan
dengan fatwa DSN-MUI.
Kesesuaian Syariah Antara Praktik Operasional BPJS Kesehatan dengan Fatwa DSN-
MUI
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2020 3751
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertipe analisis deskriptif.
(Sekaran, 2006) mengatakan bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk memahami
fenomena yang terjadi pada subjek penelitian. Pengumpulan data menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer yang dilakukan dengan cara observasi di
lapangan langsung sedangkan data sekunder berupa data dokumentasi berupa fatwa-
fatwa DSN-MUI, peraturan mengenai BPJS Kesehatan, publikasi tulisan, buku-buku
terkait dan berbagai situs internet. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif dimana akan memberikan gambaran garis besar dan menyeluruh serta
fenomena dan fakta yang terjadi selama penelitian. Sedangkan alat analisisnya
menggunakan teori yang telah dikembangkan oleh Michael Huberman dan Matthew
Miles. (Huberman & Michael, 2009) berpendapat data yang diolah dari penelitian
kualitatif melalui 3 tahap pengolahan, yakni: reduksi data, penyajian data, dan
kesimpulan dan verifikasi. Reduksi data adalah memilah data yang dipakai dan tidak,
sedangkan penyajian data adalah membuat diagram, tabel atau apapun yang saling
berkaitan dan berhubungan tentang penelitian dan kesimpulan dan verifikasi adalah
interpretasi hasil data dari penyajian data yang telah dibuat sebelumnya.
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pendalaman pada fatwa-fatwa yang terkait dengan BPJS
Kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dijabarkan menjadi 2
pembahasan. Pembahasan tersebut berdasarkan pada fatwa utama mengenai BPJS
Kesehatan syariah nomor 98/DSN-MUI/XII/2015 tentang pedoman penyelenggaraan
jaminan sosial kesehatan syariah. Kemudian juga diambil dari beberapa fatwa
pendukung mengenai asuransi syariah yakni nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman umum asuransi syariah, fatwa nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad
Tabarru’ pada asuransi syariah, fatwa nomor 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad
Wakalah bil Ujrah pada asuransi syariah dan reasuransi syariah, fatwa nomor
17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda
pembayaran dan fatwa nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang akad mudharabah
musytarakah pada asuransi syariah.
Secara garis besar 5 fatwa yang telah dikeluarkan DSN-MUI tersebut
memberikan rekomendasi dan petunjuk kepada pembahasan mengenai keuangan dan
pembahasan mengenai non keuangan. Pembahasan mengenai keuangan adalah
berupa setiap akad pada aktivitas keuangan yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan.
Seperti dalam hal pengambilan iuran, denda, pengelolaan dana dan juga investasi.
Setiap transaksi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan secara garis besar sudah
dijabarkan oleh fatwa DSN-MUI apa yang harus dilakukan dan bagaimana bila
dilakukan secara syariah. Kemudian dalam pembahasan non keuangan adalah berupa
akad awal yang secara umum membentuk BPJS Kesehatan, pelayanan dari BPJS
Kesehatan juga mengenai adanya DPS (Dewan Pengawas Syariah). Hal non
Aviciena Zanjabil, Mulawarman Hannase, Irwan CH
3752 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
keuangan tidak luput dari pandangan fatwa DSN-MUI karena walaupun bukan inti
dari kegiatan keuangan tetapi adanya hal tersebut adalah sebagai pembentuk dari
sebuah lembaga syariah. Sehingga berbagai pembahasan tersebut haruslah dapat
dilakukan sesuai dengan konsep dalam fatwa DSN-MUI.
Pembahasan mengenai keuangan dalam fatwa DSN-MUI secara lebih spesifik
mengatur mengenai hal apa saja yang boleh digunakan untuk menghitung iuran.
Kemudian pengelolaan denda apa saja yang dapat diatur dan tidak boleh digunakan
oleh BPJS Kesehatan. Kemudian dalam pengaturan dana yang dipegang oleh BPJS
Kesehatan juga telah diatur dalam fatwa DSN-MUI. Kemudian bagaimana cara
investasi yang syariah dijabarkan secara umum dalam fatwa tersebut. Berikut dapat
dilihat mengenai kesesuaian syariah antara fatwa DSN-MUI dengan praktik
operasional BPJS Kesehatan dalam tabel berikut:
Tabel 1
Perbandingan Aktivitas Keuangan antara Fatwa DSN-MUI dengan Praktik
Operasional BPJS Kesehatan
Poin
Fatwa DSN-MUI
Praktik Operasional BPJS
Kesehatan
Kesesuaian
dengan
Syariah
1
Untuk menentukan besarnya premi
perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, tabel
morbidita untuk asuransi
kesehatan, dengan syarat tidak
memasukkan unsur riba dalam
penghitungannya
Dalam menentukan besaran iuran,
BPJS Kesehatan menggunakan 2
pendekatan yakni makro dan mikro.
Dalam pendekatan makro digunakan
faktor umum yakni terdapat
perhitungan inflasi, suku bunga dan
pengangguran. Pendekatan mikro
menggunakan daya beli masyarakat,
konsumsi masyarakat dan juga sisi
aktuaria yang menghitung mengenai
pengaruah besaran iuran terhadap
layanan yang dapat dicover oleh
BPJS Kesehatan.
Tidak Sesuai
2
BPJS Kesehatan boleh
mengenakan sanksi (ta 'zir) kepada
Pemberi Kerja atau Peserta dengan
ketentuan, sanksi yang dapat
diberikan kepada peserta yang lalai
dan tidak boleh diberikan kepada
peserta yang tidak disengaja/force
majeur dengan dibuktikan
kebenarannya
BPJS Kesehatan mengenakan denda
kepada seluruh peserta BPJS
Kesehatan yang terbukti secara
sistem melakukan penunggakan
pembayaran iuran. BPJS Kesehatan
tidak melihat mengenai faktor yang
menyebabkan peserta menunggak,
baik karena disengaja maupun tidak
disengaja. Karena hal tersebut tidak
dapat terlihat dalam sistem
keuangan BPJS Kesehatan.
Tidak Sesuai
3
Dana dari pengenakan sanksi harus
dialokasikan kepada dana sosial
dan tidak boleh diakui sebagai
pendapatan dan tidak boleh
dipakai untuk kegiatan apapun
selain dana sosial
Dana denda yang diterima oleh
BPJS Kesehatan dicatat sebagai
penerimaan dalam rekening dana
jaminan sosial. Kemudian
berdasarkan peraturan bahwa dana
jaminan sosial boleh dilakukan
Tidak Sesuai
Kesesuaian Syariah Antara Praktik Operasional BPJS Kesehatan dengan Fatwa DSN-
MUI
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2020 3753
Poin
Fatwa DSN-MUI
Praktik Operasional BPJS
Kesehatan
Kesesuaian
dengan
Syariah
investasi sesuai peraturan yang
berlaku. Investasi tersebut juga
menggunakan dana denda yang
terkumpul.
4
BPJS Kesehatan wajib memiliki
rekening penampungan DJS pada
bank syariah
Dalam mengelola dana, BPJS
Kesehatan menggunakan bank yang
tergabung dalam HIMBARA
(Himpunan Bank Negara). Ada 3
bank yang saat ini digunakan oleh
BPJS Kesehatan, yakni Bank
Mandiri, Bank BRI dan Bank BNI.
Pemilihan tersebut karena
diprioritaskan bahwa bank yang
digunakan memiliki fundamental
yang kuat dan besar.
Tidak Sesuai
5
BPJS Kesehatan wajib melakukan
pengelolaan portofolio DJS sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah;
dan tidak boleh mengembangkan
pada kegiatan usaha dan/atau
transaksi keuangan yang
bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah dan harus
menggunakan akad-akad yang
sesuai prinsip syariah
Dalam melakukan pengelolaan
portofolio, BPJS Kesehatan
menggunakan acuan suku bunga
dalam pemilihan investasinya. Suku
bunga yang paling tinggi selalu
dipilih dalam setiap investasi.
Kemudian investasi yang dilakukan
oleh BPJS Kesehatan menggunakan
produk konvensional. Karena hanya
produk konvensional yang berani
memberikan suku bunga yang
tinggi. Saat ini ada 3 instrumen
investasi utama yang digunakan
oleh BPJS kesehatan, yakni,
Deposito, Obligasi dan Reksadana.
Tidak Sesuai
6
Pembukuan dana tabarru’ harus
terpisah dari dana lainnya.
Dalam mengelola iuran, BPJS
Kesehatan memisahkan dana yang
dikelolanya. Ada 2 rekeninng dana
yang dikelola oleh BPJS Kesehatan,
yaitu rekening milik BPJS Keseh
atan yang didapat dari hasil usaha
BPJS Kesehatan sendiri serta
Rekening dana jaminan Sosial (DJS)
yang bersumber dari iuran rutin
peserta dan denda peserta. Rekening
DJS tersebutlah yang berfungsi
sebagai dana tabarru’.
Sesuai
Pembahasan mengenai non keuangan yakni akad pembentukan BPJS
Kesehatan, pelayanan yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada peserta melalui
faskes dan ada tidaknya DPS. Pembahasan mengenai hal tersebut telah difatwakan
bahwasanya bila BPJS Kesehatan ingin sesuai syariah maka haruslah mengikuti hal
Aviciena Zanjabil, Mulawarman Hannase, Irwan CH
3754 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
tersebut. Berikut dapat dilihat mengenai kesesuaian syariah antara fatwa DSN-MUI
dengan praktik operasional BPJS Kesehatan dalam tabel:
Tabel 2
Perbandingan Aktivitas Non-Keuangan antara Fatwa DSN-MUI dengan Praktik
Operasional BPJS Kesehatan
Fatwa DSN-MUI
Praktik Operasional BPJS
Kesehatan
Kesesuaian dengan
Syariah
Asuransi Syariah (Ta’min,
Takaful atau Tadhamun)
adalah usaha saling
melindungi dan tolong-
menolong di antara
sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam
bentuk aset dan /atau
tabarru yang memberikan
pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu
melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syariah.
Akad yang sesuai adalah
yang tidak mengandung
gharar (penipuan), maysir
(perjudian), riba, zhulm
(penganiayaan), risywah
(suap), barang haram dan
maksiat.
BPJS Kesehatan mengelola
berdasarkan prinsip
kegotongroyongan, nirlaba,
keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas,
kepesertaan bersifat wajib, dana
amanat dan Hasil pengelolaan
dana jaminan sosial
dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan
untuk sebesar-besar kepentingan
peserta. Kemudian
pengelolaanya berdasarkan asas
kemanusiaan, manfaat dan
keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Tidak Sesuai
Akad antara BPJS
Kesehatan dengan Faskes
adalah akad ijarah. Agar
kepada fasilitas layanan
kesehatan (Faskes) melalui
sistem yang adil dan
transparan
Terdapat 2 sistem pembayaran
yang digunakan oleh BPJS
Kesehatan kepada faskes.
Pembayaran kepada rumah sakit
menggunakan sistem INA-
CBG’s atau sistem klaim.
Pembayaran tersebut dibayarkan
berdasarkan jumlah peserta riil
yang menggunakan manfaat
pelayanan pada BPJS Kesehatan.
Pembayarn kepada klinik
menggunakan sistem kapitasi.
Pembayaran kapitasi adalah
pembayarn dimuka kepada klinik
hanya berdasarkan peserta yang
terdaftar, dan tidak melihat
peserta yang riil menggunakan
manfaat pelayanan kepada
klinik.
Tidak Sesuai
Implementasi dari kegiatan
harus dikonsultasikan dan
diawasi oleh Dewan
Pengawas Syariah (DPS)
Terdapat dewan pengawas dalam
sistem organ BPJS Kesehatan.
Dewan pengawas tersebut
bertugas untuk mengawasi dan
Tidak Sesuai
Kesesuaian Syariah Antara Praktik Operasional BPJS Kesehatan dengan Fatwa DSN-
MUI
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2020 3755
Fatwa DSN-MUI
Praktik Operasional BPJS
Kesehatan
Kesesuaian dengan
Syariah
memberikan saran kepada
direksi BPJS Kesehatan. Tugas
dan wewenang tersebut dibatasi
hanya untuk kegiatan yang
bersifat konvensional dan tidak
kapada prinsip syariah.
B. Pembahasan
Pembahasan keuangan berdasarkan fatwa DSN-MUI dengan praktik
operasional BPJS Kesehatan terdapat 6 poin yang dibahas. Pada poin ke-1 (satu)
fatwa DSN-MUI menekankan bahwa perhitungan iuran boleh menggunakan tabel
mortalitas yang sesuai dengan syariah. Akan tetapi praktik yang digunakan oleh
BPJS Kesehatan adalah menggunakan tabel mortalitas dengan masih terdapat unsur
riba didalamnya. Suku bunga masih diperhitungkan tabel pembentukan iuran oleh
BPJS Kesehatan. Padahal suku bunga merupakan salah satu keharaman dalam
keuangan syariah. Sehingga hal tersebut yang membuat aktivitas BPJS Kesehatan
masih tidak sesuai dengan fatwa DSN-MUI. Poin ke-2 (dua) fatwa mengatakan
bahwa pengenaan denda hanya boleh diberikan pada peserta yang lalai dan tidak
boleh dibebankan kepada peserta yang tidak sengaja dan dapat dibuktikan
kebenarannya. Namun praktik operasional yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan
mengenai denda adalah pengenaan denda diberlakukan kepada seluruh peserta yang
terbukti secara sistem melakukan penunggakan pembayaran. Walaupun si peserta
tidak sengaja menunggak karena faktor keuangan seperti kesulitan keuangan, di PHK
dan terjadi musibah, namun hal tersebut tidak dapat menggugurkan denda yang akan
dikenakan kepada dia. Hal tersebutlah yang membuat aktivitas terkait denda yang
diberlakukan oleh BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan syariat Islam berdasarkan
fatwa DSN-MUI. Kemudian pada poin 3 (tiga) fatwa DSN-MUI mengatakan bahwa
bahwa denda harus dimasukkan dalam dana sosial dan tidak boleh diakui sebagai
pendapatan serta tidak boleh digunakan untuk aktivitas apapun selain aktivitas sosial.
Namun praktik yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan, dana denda dicatat sebagai
pendapatan dalam rekening DJS. Hal tersebut dikarenakan denda merupakan sebuah
penerimaan uang yang diberikan oleh peserta. Kemudian dana denda tersebut
dimasukkan dalam rekening DJS dan sesuai dengan peraturan bahwa dana DJS dapat
diinvestasikan sesuai kebutuhan. Sehingga secara langsung bahwa dana denda yang
ditampung oleh BPJS Kesehatan juga ikut dalam investasi. Praktik operasional
tersebutlah yang membuat terjadi ketidaksesuaian antara fatwa DSN-MUI dengan
praktik yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan. Pada poin 4 (empat) fatwa DSN-MUI
mengatakan bahwa dana yang dikelola oleh BPJS Kesehatan wajib untuk ditampung
pada bank syariah. Namun praktik yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan adalah dana
yang berada di BPJS Kesehatan semuanya ditampung dalam bank konvensional.
Bank yang digunakan oleh BPJS Kesehatan adalah bank Mandiri, bank BNI dan
Aviciena Zanjabil, Mulawarman Hannase, Irwan CH
3756 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
bank BRI. Hal tersebut karena bank yang digunakan oleh BPJS Kesehatan adalah
bank BUMN yang memiliki sisi fundamental yang kuat dan cangkupan keuangan
yang luas di seluruh pelosok Indonesia. Dengan tidak menggunakan bank syariah,
maka dapat diputuskan bahwa aktivitas BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan fatwa
DSN-MUI (Asif, Ahmed, Zahid, & Khan, 2017). Poin 5 (lima) fatwa DSN-MUI
mengatakan bahwa aktivitas portofolio dan pengembangan investasi haruslah
menggunakan prinsip Islam dan dilarang menggunakan sesuatu yang bertentang pada
syariat Islam. Namun praktik operasional yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan
adalah setiap tujuan pengembangan investasi didasarkan pada suku bunga yang
ditawarkan oleh pasar. BPJS Kesehatan akan memilih setiap produk investasi yang
berani dan bersedia menawarkan suku bunga tertinggi akan dapat memberikan imbal
hasil yang menguntungkan. Pada sisi investasi saat ini BPJS Kesehatan melakukan
kegiatan investasi hanya pada produk-produk konvensional. Hal tersebut juga terkait
karena suku bunga yang ditawarkannya. Ada 3(tiga) produk investasi utama yang
dilakukan oleh BPJS Kesehatan dalam pengembangannya yakni, deposito, obligasi
dan reksadana. Oleh sebab itu aktivitas portofolio dan investasi yang dilakukan oleh
BPJS Kesehatan tidak sesuai seluruhnya dengan syariat Islam yang difatwakan oleh
DSN-MUI. Terakhir poin 6 (enam) fatwa DSN-MUI mengatakan bahwa pembukuan
dana tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya. Praktik operasional BPJS Kesehatan
melakukan pemisahan dana antara dana BPJS Kesehatan dan dana jaminan sosial.
Dana BPJS Kesehatan adalah dana yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan bersumber
dari pendapatan usaha yang dilakukan. Sedangkan dana jaminan sosial adalah dana
iuran rutin peserta dan dana denda. Sehingga dana tabbaru’ yang merupakan dana
hibah dari peserta atau dana iuran rutin peserta telah dilakukan pemisahan oleh BPJS
Kesehatan. Pada poin ini, BPJS Kesehatan telah menjalankan apa yang difatwakan
oleh DSN-MUI. Sehingga praktik operasional BPJS Kesehatan telah sesuai dengan
fatwa DSN-MUI.
Pembahasan non-keuangan dari fatwa DSN-MUI terdiri dari 3 poin utama yang
dibahas. Dalam poin 1 (satu) fatwa DSN-MUI mengatakan bahwa akad awal
asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong yang tidak
mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram dan maksiat. Praktik operasional BPJS Kesehatan
terkait akad awal adalah BPJS Kesehatan menerapkan sistem gotong royong antar
seluruh peserta yang ada. Kemudian lembaga BPJS Kesehatan diawasi oleh
peraturan dan pemerintah sehingga harus terbebas dari setiap hal yang ilegal
termasuk barang haram dan maksiat. Namun BPJS Kesehatan masih menerapkan
sistem kepesertaan yang wajib kepada seluruh masyarakat Indonesia dan diberikan
hukuman berupa penolakan administrasi sipil bila menolak mengikuti BPJS
Kesehatan. Oleh karena itu masih terdapat penganiayaan dimana rakyat Indonesia
diwajibkan dan diharuskan untuk mengikuti tanpa diberikan pilihan berdasarkan hati
nurani untuk menolak. Hal tersebutlah yang membuat BPJS Kesehatan masih tidak
sesuai dengan fatwa DSN-MUI karena masih terdapat hal yang tidak diperbolehkan
Kesesuaian Syariah Antara Praktik Operasional BPJS Kesehatan dengan Fatwa DSN-
MUI
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2020 3757
oleh fatwa tersebut. Poin 2 (dua) fatwa DSN-MUI mengatakan bahwa dalam
pembayaran kepada faskes harus menggunakan akad ijarah dan menggunakan sistem
yang adil dan transparan. BPJS Kesehatan melakukan 2 metode pembayaran kepada
rumah sakit dan klinik. Pembayaran kepada rumah sakit dilakukan dengan cara INA-
CBG’s atau lebih dikenal sistem klaim. Dimana dalam metode tersebut pembayaran
dilakukan berdasarkan jumlah riil peserta yang memanfaatkan pelayanan pada rumah
sakit. Metode pembayaran kepada rumah sakit sudah sesuai dengan fatwa DSN-MUI
yang menggunakan akad ijarah dan sistem yang adil dan transparan. Pada metode
pembayaran kepada klinik menggunakan sistem kapitasi. Sistem kapitasi adalah
pembayaran dimuka berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar di klinik dan tidak
melihat peserta riil yang memanfaatkan pelayanan kesehatan. Metode tersebut tidak
sesuai dengan akad ijarah karena pembayaran dimuka yang hanya berdasarkan
peserta terdaftar tanpa melihat riil peserta memanfaatkan pelayanan kesehatan sangat
sarat akan gharar dan maysir. Karena bila seluruh peserta yang memanfaatkan
pelayanan dan berulang, maka akan merugikan pihak klinik. Sebaliknya bila peserta
tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan di klinik maka akan merugikan pihak BPJS
Kesehatan. Sistem tersebut tidak adil dan transparan bagi kedua belah pihak. Pada
poin 3 (tiga) fatwa DSN-MUI mengatakan bahwa Implementasi kegiatan BPJS
Kesehatan harus dikonsultasikan dan diawasi oleh dewan pengawas syariah. Namun
praktik operasional yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan, setiap kegiatan hanya
dikonsultasikan dan diawasi oleh dewan pengawas saja. Dewan pengawas hanya
memberikan saran dan pengawasan dalam hal-hal yang bersifat umum atau
konvensional. Dewan tidak melihat faktor syariah dalam praktik operasional BPJS
Kesehatan. Sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan syariah berdasarkan fatwa
DSN-MUI.
Kesimpulan
Secara keseluruhan dari pembahasan keuangan dilihat secara lebih detail bahwa
lima dari enam poin yang ada tidak sesuai dengan syariah. Sehingga secara langsung
pembahasan keuangan BPJS Kesehatan tidak sesuai seluruhnya dengan syariat Islam
berdasarkan fatwa DSN-MUI. Kemudian pembahasan non-keuangan dilihat secara lebih
detail bahwa 3 poin yang ada semuanya tidak sesuai dengan syariah. Sehingga secara
langsung pembahasan non-keuangan BPJS Kesehatan tidak sesuai seluruhnya dengan
syariat Islam berdasarkan fatwa DSN-MUI. BPJS Kesehatan harus mengikuti fatwa
DSN-MUI yang telah ada agar dapat sesuai dengan syariat Islam. Karena bila tidak
mengikuti fatwa maka praktik yang dilakukan tidak sesuai dengan syariat Islam.
Aviciena Zanjabil, Mulawarman Hannase, Irwan CH
3758 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
BIBLIOGRAFI
Al Arif, Muhammad, Nachrowi, Nachrowi, Nasution, Mustafa, & Mahmud, T. M.
(2017). The Islamic Banking Spin-Off: Lessons From Indonesian Islamic Banking
Experiences. Journal Of King Abdulaziz University: Islamic Economics, 30(2).
Google Scholar
Alani, Farooq Salman, & Yaacob, Hisham. (2012). Traditional Banks Conversion
Motivation Into Islamic Banks: Evidence From The Middle East. International
Business Research, 5(12), 83. Google Scholar
Aqiel, Mohammad. (2018). Metode Pendidikan Islam Dalam Perspektif Al-Quran Surat
Yusuf Ayat 111 Dan An-Nahl Ayat 125 (Kajian Tafsir Sya’rawi). Iain Kediri.
Google Scholar
Arshad, Muhammad Usman, Yusoff, Mohammed Effandi, & Tahir, Muhammad Sohail.
(2016). Issues In Transformation From Conventional Banking To Islamic Banking.
International Journal Of Economics And Financial Issues, 6(3s). Google Scholar
Asif, Muhammad, Ahmed, Umair, Zahid, Muhammad, & Khan, Aamir. (2017). Motives
Behind The Transfer Of A Bank From Conventional Banking To Islamic Banking
In Pakistan. Journal Of Business And Tourism, 3(2), 225234. Google Scholar
Asutay, Mehmet. (2012). Conceptualising And Locating The Social Failure Of Islamic
Finance: Aspirations Of Islamic Moral Economy Vs The Realities Of Islamic
Finance. Asian And African Area Studies, 11(2), 93113. Google Scholar
Erwandi, Tarmizi. (2013). Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cet-Iv,(Bogor:
Berkat Mulia Insani Publishing. Google Scholar
Hamka, Buya. (1982). Tafsir Al-Azhar Juz. Ix, X, Xii, Xvii, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Google Scholar
Huberman, Matthew B. Miles, & Michael, A. (2009). Analisis Data Kualitatif, Buku
Sumber Tentang MetodeMetode Baru, Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta: Pt.
UiPress. Google Scholar
Labib, Mughni. (2018). Bpjs Kesehatan Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Dan Fatwa Nahdlatul Ulama). Jurnal Hukum Islam, 141
154. Google Scholar
Maizal, Arif Zunzul. (2020). Tafsir Fikih Dalam Khazanah Penafsiran Alquran. Juris
(Jurnal Ilmiah Syariah), 19(1), 123132. Google Scholar
Maulidizen, Ahmad. (2016). Riba, Gharar Dan Moral Ekonomi Islam Dalam Perspektif
Sejarah Dan Komparatif: Satu Sorotan Literatur. Islamiconomic, 7(2), 255680.
Google Scholar
Kesesuaian Syariah Antara Praktik Operasional BPJS Kesehatan dengan Fatwa DSN-
MUI
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2020 3759
Nahar, Hairul Suhaimi. (2015). Insurance Vs Takaful: Identical Sides Of A Coin?
Journal Of Financial Reporting And Accounting. Google Scholar
Pasya, Hikmatiar. (2017). Studi Metodologi Tafsir Asy-Sya’rawi. Studia Quranika,
1(2), 145160. Google Scholar
Prasetyo, Eko. (2004). Orang Miskin Dilarang Sakit: Eko Prasetyo. Google Scholar
Sekaran, Uma. (2006). Research Methods For Business: Metodologi Penelitian Untuk
Bisnis. Buku 2. Google Scholar
Shihab, M. Quraish. (2002). Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2. Google
Scholar
Suzuki, Yasushi. (2013). A Post‐Keynesian Perspective On Islamic Prohibition Of
Gharar. International Journal Of Islamic And Middle Eastern Finance And
Management. Google Scholar
Copyright holder:
Aviciena Zanjabil, Mulawarman Hannase, Irwan CH (2021)
First publication right:
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
This article is licensed under: