Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol.
6, Spesial Issue No. 1, November 2021
PENGARUH TERAPI
RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP TINGKAT STRES PADA LANSIA DI RW 23 KELURAHAN
MELONG
Khrisna Wisnusakti
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kesehatan Unjani, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Lanjut usia (lansia) di
seluruh dunia diperkirakan mencapai 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun.
Indonesia sebagai negara berkembang menempati urutan ke-4 dengan jumlah penduduk
terbanyak di dunia. Tujuan penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui pengaruh terapi
relaksasi otot progresif terhadap tingkat stres pada lansia Provinsi Jawa
Barat. Penelitian ini menggunakan metode kuisioner untuk mengetahui tingkat stres
pada lansia dengan menggunakan Perceived Stress Scale (PSS 10). Skor PSS
diperoleh dengan reversing responses (sebagai contoh 0=4,1=3, 2=2, 3=1, 4=0)
terhadap empat soal yang bersifat positif (pertanyaan 4,5,7,8). Pada penelitian
ini dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan Shapiro Wilk dan diperoleh
hasil bahwa Pvalue pre test dan post test (0,318 dan 0,824) >alpha 0,05. Hal
ini menunjukan bahwa distribusi data normal sehingga analisis bivariat
menggunakan t test dependen.
Kata Kunci: lansia; terapi; relaksasi otot progresif
Abstract
The world's elderly are estimated at 500 million
with an average age of 60. Indonesia as a developing country ranks 4th with the
largest population in the world. The purpose of this study was to find out the
effect of progressive muscle relaxation therapy on stress levels in the elderly
of West Java Province. This study used a questionnaire method to determine the
level of stress in the elderly by using perceived stress scale (PSS 10). Pss
scores are obtained by reversing responses (for example 0=4.1=3, 2=2, 3=1, 4=0)
against four positive questions (question 4,5,7,8). In this study, data
normality tests were conducted using Shapiro Wilk and obtained the results that
Pvalue pre test and post test (0.318 and 0.824) >alpha 0.05. This shows that
the distribution of data is normal so that bivariate analysis uses a dependent
test.
Keywords: elderly; therapy; progressive muscle relaxation
Lanjut
usia (lansia) di seluruh dunia diperkirakan mencapai 500 juta dengan usia
rata-rata 60 tahun (Wahyuni & Ambarwati,
2016).
Indonesia sebagai negara berkembang menempati urutan ke-4 dengan jumlah
penduduk terbanyak di dunia. Berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) tahun 2014, jumlah lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta orang atau
sekitar 8,03% dari seluruh penduduk Indonesia. Data tersebut menunjukan
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu 18,1 juta orang atau 7,6%
dari total jumlah penduduk. Jawa Barat merupakan provinsi ke 5 dengan lansia
terbanyak dengan jumlah 7,09% dari total penduduk di Jawa Barat (Depkes, 2016).
Seiring
meningkatnya derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk akan berpengaruh pada
peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia. Berdasarkan laporan Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) 2011, pada tahun 2000-2005 UHH adalah 66,4 tahun (dengan
persentase populasi lansia tahun 2000 adalah 7,74%), angka ini akan meningkat
pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan UHH menjadi 77,6 tahun (dengan
persentase populasi lansia tahun 2045 adalah 28,68%). Begitu pula dengan
laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan UHH (BPS,
2013). Pada tahun 2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan
persentase populasi lansia adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43
tahun pada tahun 2010 (dengan persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada
tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%) (Depkes, 2013).
Adanya
peningkatan jumlah lansia menyebabkan perlunya perhatian dan tentunya disertai
dampak lebih banyak terjadinya beberapa gangguan pada lansia. Lansia akan
mengalami berbagai perubahan fisik, sosial dan psikologis (Hidayati, 2009). Sejalan dengan perubahan tersebut pada fase lansia
ini akan lebih mudah menimbulkan rasa cemas, depresi, mudah tersinggung dan
kebingungan (Nugroho, 2008).
Pada usia ini seringkali lansia melaporkan bahwa tubuhnya tidak sehat,
perasaannya tidak tenang terus menerus, penampilan diri menjadi tua, serta
merasa kehilangan peran dan status. Sehingga reaksi mereka terhadap gejala ini
bermacam-macam. Ada yang sama sekali tidak memperhatikannya sedangkan yang
lainnya terlalu memperhatikan dan dianggap sebagai crisis (Suli, Aini, & Prasetyo,
2019).
Perubahan
psikologis seperti bingung, panik, depresif, apatis tidak hanya terjadi pada
lansia. Perubahan kesehatan psikologis juga dapat terjadi pada dewasa, remaja
bahkan anak-anak. Hal itu biasanya bersumber
dari munculnya stressor psikologis paling berat misalnya kematian pasangan
hidup dan kematian sanak keluarga dekat (Kartinah & Sudaryanto,
2008).
Perubahan kesehatan psikologis pada masing-masing rentang usia berbeda-beda. Namun
perubahan psikologis pada lansia memerlukan perhatian lebih karena kondisi ini
yang mengalami penurunan fungsi dibandingkan pada usia yang relatif muda (Hertanto & Suratini,
2014).
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh (Suli et al., 2019)
tentang aspek sosio-psikologis lansia di Indonesia dijelaskan bahwa
perkembangan terakhir manusia ini ditandai oleh berhasil tidaknya tugas
perkembangan sebelumnya. Apabila tugas-tugas tersebut dapat dipenuhi dengan
baik, maka dapat diharapkan bahwa di masa lansia individu dapat selalu
melakukan penyesuaian terhadap apa yang dihadapinya.
Ketakutan
serta gambaran akan keadaan yang semakin parah ditambah dengan menurunnya
fungsi yang terdapat dalam tubuh memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang
semakin berujung pada keadaan stres (Suli et al., 2019).
Namun, disamping itu stres dapat juga merupakan faktor pencetus, sekaligus
akibat dari suatu gangguan atau penyakit. Faktor-faktor psikososial contohnya
perkawinan, masalah orang tua, hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan
hidup, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik atau cidera dan faktor
keluarga cukup mempunyai arti bagi terjadinya stres pada diri seseorang (Yosep, 2009).
Masyarakat
menganggap stres sebagai reaksi terhadap perubahan pada lingkungan yang
diakibatkan oleh tekanan yang tidak dapat diatasi serta kurang memperhatikan
gejala-gejala yang timbul sehingga mengakibatkan gangguan psikologis.
Penerimaan yang kurang baik pada lansia juga dianggap sebagai beban sehingga
mendorong keluarga untuk menempatkan lansia di panti sosial tresna werdha.� Hal ini menyebabkan terjadinya stres pada
lansia karena tidak menerima perubahan lingkungan (Yudi & Suratini, 2014).
Sebagian besar penduduk
lansia di Indonesia hidup bertempat tinggal bersama keluarganya. Namun, di sisi
lain terdapat pula panti werdha yaitu suatu institusi hunian bersama dari para
lansia. Perbedaan tempat tinggal ini memunculkan perbedaan lingkungan fisik,
sosial, ekonomi, psikologis dan spiritual religius (Soejono & Probosuseno, 2009).
Menurut
(Mahfiroh, 2013)
dari hasil penelitiannya menjelaskan bahwa stres di sebuah panti werdha dapat
dipengaruhi oleh stimulus dari lingkungan eksternal dan internal. Stimulus di
lingkungan eksternal yaitu berasal dari luar tubuh lansia atau lebih tepatnya
adalah dari kondisi lingkungan tempat tinggal lansia seperti keadaan sosial
masyarakat sekitar. Sedangkan stimulus dari lingkungan internal adalah dari
dalam diri lansia, yaitu secara psikologis yang berhubungan dengan derajat
kesehatan lansia. Hal ini dapat berakibat buruk bagi kesehatan lansia apabila
tidak diatasi dengan berbagai upaya salah satunya dengan latihan relaksasi
karena dapat memberikan rasa nyaman secara fisik yang akan berpengaruh terhadap
kondisi mental lansia (Ashari, 2018).
Ketegangan
otot dianggap sebagai gejala stres yang paling umum pada lansia. Keseluruhan
efeknya dapat menyebabkan kekauan, nyeri dan ketidaknyamanan. Seiring dengan
rangsangan saraf yang berulang, ketegangan otot dapat muncul dalam bentuk sakit
kepala akibat tegang, kaku leher, nyeri punggung bawah, kram perut, dan
beberapa bentuk sindrom sendi temporomandibular (temporomandibular joint syndrome) (Council, 2010).
Psikofarmaka dan psikoterapi
merupakan terapi yang bisa menurunkan tingkat stres. Anti-cemas dan
anti-depresi diberikan sebagai terapi medik dan psikoterapi untuk keperawatan
jiwanya. Ada beberapa terapi yang dapat digunakan untuk mengurangi tingkat
stres, seperti Terapi benson, Terapi Autogenik,
Hypnoteraphy, Reminiscence Therapy dan Relaksasi Otot Progresif
(Herodes, 2010).
Teknik
relaksasi otot progresif merupakan teknik relaksasi otot dalam yang tidak
memerlukan imajinasi, ketekunan atau sugesti. Relaksasi otot progresif
memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot dengan melakukan teknik
relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks. Teknik relaksasi ini
mengkombinasikan latihan napas dalam dan serangkaian seri kontraksi dan
relaksasi otot. Teknik relaksasi otot progresif memungkinkan pasien untuk
mengendalikan respon tubuhnya terhadap ketegangan (Wahyuni, 2016).
Dalam
penelitian Ari (2010) menyebutkan bahwa
relaksasi progresif sebagai salah satu teknik relaksasi otot yang telah
terbukti dalam program terapi terhadap ketegangan otot mampu mengatasi keluhan
ansietas, stres, insomnia, kelelahan, kram otot, nyeri leher dan pinggang,
tekanan darah tinggi, fobia ringan dan gagap. Menurut penelitian (Hertanto & Suratini, 2014)
tentang pengaruh terapi relaksasi progresif terhadap tingkat stres pada lansia,
peneliti tersebut mendapatkan hasil penelitian bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan terhadap pemberian terapi relaksasi progresif terhadap tingkat stres
lansia.
Dilihat
dari fenomena diatas, penulis tertarik melakukan penelitian tentang �Pengaruh
Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Stres Pada Lansia Di RW 23
Kelurahan Melong.
A.
Rancangan
Penelitian
a.
Desain
Penelitian
Desain yang
akan dilakukan dalam penelitian ini adalah Quasi
Experiment dengan rancangan one group
pretest-posttest design.
�������������������������������������������������������������������������������������������
Gambar 1 Rancangan Penelitian
(Sumber : (Sugiyono, 2017))
Keterangan:
O1��������� : Tingkat stres pada lansia sebelum dilakukan terapi relaksasi
�otot progresif
�X������� : Pemberian terapi relaksasi otot progresif
O2��������� : Tingkat stres
pada lansia setelah dilakukan terapi relaksasi
����������� � otot progresif
b.
Definisi
Operasional
Polit
dan Beck (2012) memberi gambaran tentang definisi operasional sebagai sesuatu
kekhususan yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi. �Definisi
harus menetapkan bagaimana variable akan diamati dan diukur dengan situasi
penelitian yang nyata� (Polit & Beck 2012). Berikut ini akan
diuraikan beberapa definisi (lihat pada tabel 1), dimana setiap definisi akan
dikaji atau diukur dalam penelitian ini.
Tabel 1
Definisi Operasional
Variabel |
Definisi
Konseptual |
Definisi
Operasional |
Alat
Ukur |
Hasil
Ukur |
Skala |
Variabel Independen : Terapi Relaksasi
Otot Progresif |
Terapi Relaksasi Otot
Progresif merupakan suatu terapi relaksasi yang diberikan kepada klien dengan
menegangkan otot-otot tertentu dan kemudian relaksasi. Relaksasi progresif
adalah salah satu cara dari teknik relaksasi yang mengombinasikan latihan napas
dalam dan serangkaian seri kontraksi dan relaksasi otot tertentu menurut
Kustanti dan Widodo dalam (Setyoadi, 2011). |
Terapi Relaksasi Otot Progresif
merupakan suatu cara untuk membuat otot-otot rileks dengan mengkontraksikan
dan merileksasikan otot-otot. Yang dilakukan selama 7 kali dalam satu minggu
dengan durasi waktu 15-20 menit setiap kali perlakuannya. |
SOP (Standar Operasional
Prosedur) |
- |
- |
Variabel Dependen : Stres pada Lansia |
Stres adalah kondisi
yang tidak menyenangkan dimana manusia melihat adanya tuntutan dalam suatu
situasi sebagai beban atau diluar batasan kemampuan mereka untuk memenuhi
tuntutan tersebut (Nasir, 2011). |
Stres merupakan reaksi fisiologis dan
psikologis yang terjadi apabila seseorang merasakan ketidakseimbangan antara
tuntutan yang dihadapi dengan kemampuan untuk mengatasi tuntutan tersebut. |
Kuisioner Stres Perceived Stress
Scale (PSS-10) |
a. skor
1-14 b. skor
15-26 c. skor
26-40 (Cohen, 1983) |
Interval |
c.
Populasi
dan Sampel
Populasi pada penelitian
ini adalah seluruh lansia yang berada di Kelurahan Melong sejumlah 150 orang.
Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang mengalami stres di kelurahan
melong dengan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Perhitungan sampel
berdasarkan rumus besar sampel penelitian analitis numerik berpasangan menurut (Dahlan, 2013),
yaitu sebagai berikut:
==2
==2
==2
==2
==2
== 24,74 dibulatkan menjadi 25 sampel
Keterangan:
�Deviasi baku alfa
= Deviasi baku beta
S = simpang baku dan selisih
nilai antar kelompok
X1-X2 = selisihh minimal
rerata yang dianggap bermakna
Kesalahan
tipe I ditetapkan sebesar 10% hipotesis dua arah, sehingga �=
1,645. Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20% maka �=
0,842. Selisih minimal yang dianggap bermakna (X1-X2) = 0,44 ini didapatkan
dari hasil penelitian sebelumnya Hertanto K.Y (2014) yang berjudul Pengaruh
Terapi Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Stres pada Lansia. Simpang
bakunya adalah dua kali dari selisih rerata minimal yang dianggap bermakna, maka
S = 0,88.
Maka sesuai
rumus diatas, jumlah sampel pada penelitian ini adalah 25 orang. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah concecutive sampling. Teknik ini di
dasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti berdasarkan
kriteria-kriteria yang dapat memenuhi persyaratan sebagai sampel. Adapun kriteria yang ditentukan dalam penelitian ini meliputi:
a) Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi merupakan karakteristik umum subjek
penelitian pada populasi yang terjangkau dan akan diteliti (Riyanto, 2011).
Kriteria inklusi dalam penelitian
ini yaitu :
1) Rentang usia >60 tahun
2) Telah dinilai tingkat stres dengan
skala ukur PSS 10 minimal tingkat stres ringan.
3) Tidak terdapat gangguan pada
ekstermitas diukur menggunakan NBP (Nordic Body Map).
4) Tidak terdapat gangguan kognitif diukur
menggunakan Kuesioner MMSE minimal gangguan kognitif ringan.
5) Tidak terdapat gangguan pendengaran
di ukur menggunakan garputala (tes rinne, weber, schwabach, tes bing, stenger)
normal.
b) Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi merupakan kriteria dari subjek penelitian
yang tidak boleh ada dan harus dikeluarkan dari penelitian (Riyanto, 2011).
Kriteria ekslusi dalam penelitian
ini yaitu :
1) Kelompok lansia dengan gangguan jiwa
2)
Kelompok lansia dengan gangguan
eliminasi (inkontinensia urine)
d.
Instrumen
Penelitian
Instrumen dalam penelitian
ini adalah alat-alat yang digunakan untuk mengumpulkan data (Notoadmodjo, 2014).
Penelitian ini menggunakan kuisioner untuk mengetahui tingkat stres pada lansia
dengan menggunakan Perceived Stress Scale
(PSS 10). Skor PSS diperoleh dengan reversing
responses (sebagai contoh 0=4,1=3, 2=2, 3=1, 4=0) terhadap empat soal yang
bersifat positif (pertanyaan 4,5,7,8).
a. Tidak
pernah diberi skor 0
b. Hampir
tidak pernah diberi nilai skor 1
c. Kadang-kadang
diberi nilai 2
d. Cukup
sering diberi nilai 3
e. Sangat
sering diberi nilai 4
Semua penilaian
diakumulasikan, kemudian disesuaikan dengan tingkat stres sebagai berikut :
a. Stres
ringan (total skor 1-14)
b. Stres
sedang (total skor 15-26)
c. Stres
berat (tolat skor >26) (Cohen, Kamarck, &
Mermelstein, 1983).
e.
Analisis
data
Analisis data
merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan pokok penelitian
yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengungkap fenomena (Nursalam & Sri, 2011).
Analisis data dalam penelitian menggunakan analisis univariat dan analisis
bivariat
f.
Waktu
dan tempat penelitian
Penelitian akan dilakukan di Kelurahan
Melong pada bulan Oktober sampai desember 2020.
Metode penelitian Quasi experiment pre test and post test design dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat stres pada lansia di Kelurahan Melong. Responden dalam penelitian ini berjumlah 25 responden dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara dan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah Perceived Stress Scale-10. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah The Psychologycal Stress Model (Lazarus & Folkman, 1986). Pada penelitian ini dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan Shapiro Wilk dan diperoleh hasil bahwa Pvalue pre test dan post test (0,318 dan 0,824) >alpha 0,05. Hal ini menunjukan bahwa distribusi data normal sehingga analisis bivariat menggunakan t test dependen.� Hasil penelitian pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat stres pada lansia Kelurahan Melong adalah sebagai berikut.
Analisis univariat
digunakan untuk mengetahui gambaran responden berdasarkan usia, jenis kelamin,
tingkat stres; dan rata-rata tingkat stres sebelum dan sesudah diberikan terapi
relaksasi otot progresif. Dimana karakteristik usia, jenis kelamin, tingkat
stres dianalisis dengan menggunakan frekuensi dan presentase sedangkan
rata-rata tingkat stres sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi otot
progresif dianalisis dengan menggunakan Mean,
Standar Deviasi dan nilai minimum-maximum.
a.
Gambaran
Responden Berdasarkan Karakteristik Usia dan Jenis Kelamin Kelurahan Melong
Tabel 2
Gambaran
Responden Berdasarkan Karakteristik Usia dan Jenis Kelamin Kelurahan Melong
Karakteristik
Responden |
Jumlah (n) |
Presentase (%) |
|
Usia |
|
60-70 tahun |
6 |
24 |
71-80 tahun |
15 |
60 |
81-90 tahun |
4 |
16 |
Total |
25 |
100 |
|
Jenis
Kelamin |
|
Perempuan |
13 |
52 |
Laki-Laki |
12 |
48 |
Total |
25 |
100 |
Tabel 2
menunjukkan gambaran responden berdasarkan karakteristik usia dan jenis kelamin
dengan jumlah responden pada penelitian ini adalah sebanyak 25 responden.
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa terdapat sebagian besar (60%)
responden dengan kelompok usia 71-80 tahun. Sedangkan sebagian besar (52%)
responden adalah berjenis kelamin perempuan diikuti oleh responden berjenis
kelamin laki-laki (48%).
b. Gambaran
Frekuensi Tingkat Stres Responden Sebelum dan sesudah dilakukan Terapi
Relaksasi Otot Progresif Kelurahan Melong
Menurut (Cohen et al., 1983) Perceived Stress Scale-10
membagi tingkatan stres� dalam 3
kategori, yaitu stres ringan (1-14), stres sedang (15-25) dan stres berat
(26-40).
Tabel
3
Gambaran
Frekuensi Tingkat Stres Responden Sebelum dan Sesudah dilakukan Terapi
Relaksasi Otot Progresif Kelurahan Melong
Tingkat
stres |
Jumlah
(n) |
Presentase
(%) |
|
Pretest |
|
Ringan |
1 |
10 |
Sedang |
16 |
64 |
Berat |
8 |
32 |
Total |
25 |
100 |
|
Posttest |
|
Ringan |
2 |
8 |
Sedang |
23 |
92 |
Berat |
0 |
0 |
Total |
25 |
100 |
c.
Gambaran
Rata-rata Tingkat Stres Sebelum diberikan Terapi Relaksasi Otot Progresif pada
Lansia Kelurahan Melong.
Tabel 4
Gambaran Rata-Rata Tingkat Stres Sebelum diberikan Terapi Relaksasi
Otot� Progresif pada Lansia Kelurahan
Melong
Variabel |
Mean |
S.D |
Minimal-Maksimal |
95% CI |
Pretest |
23,84 |
3,682 |
14-30 |
22,32-25,36 |
Hasil
analisis pada tabel 4 didapatkan rata-rata (mean)
tingkat stres sebelum dilakukan terapi relaksasi otot progresif adalah 23,84
(95% CI: 22,32-25,36) dengan standar deviasi 3,682. Tingkat stres terendah
yaitu 14, dan tingkat stres tertinggi yaitu 30. Dari estimasi interval
disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata tingkat stres sebelum diberikan
relaksasi otot progresif pada lansia Kelurahan Melong adalah diantara 22,32
sampai dengan 25,36.
d.
Gambaran Rata-rata Tingkat Stres Sesudah diberikan Terapi
Relaksasi Otot Progresif pada Lansia Kelurahan Melong.
Tabel 5
Gambaran Rata-Rata Tingkat Stres Sesudah diberikan Terapi Relaksasi Otot Progresif
pada Lansia Kelurahan Melong
Variabel |
Mean |
S.D |
Minimal-Maksimal |
95% CI |
Posttest |
19,00 |
3,266 |
11-25 |
17,65-20,35 |
Hasil
analisis pada tabel 5
didapatkan rata-rata (mean) tingkat
stres sesudah dilakukan relaksasi otot progresif adalah 19,00 (95% CI:
17,65-20,35) dengan standar deviasi 3,266. Tingkat stres terendah yaitu 11, dan
tingkat stres tertinggi yaitu 25. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95%
diyakini rata-rata tingkat stres sesudah diberikan relaksasi otot progresif
pada lansia Kelurahan Melong adalah diantara 17,65 sampai dengan 20,35.
Analisis bivariat
digunakan untuk mengetahui Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Tingkat Stres pada Lansia Kelurahan Melong. Analisis dalam penelitian ini
menggunakan t test dependen, dimana t test dependen itu mempunyai syarat
kelompok yang diteliti harus sama dan data harus normal.
a.
Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Stres pada
Lansia Kelurahan Melong.�
Tabel 6
Variabel |
Mean |
SD |
SE |
P
Value |
N |
Tingkat Stres |
|
|
|
|
|
Pretest |
23,84 |
3,682 |
0,736 |
0,001 |
25 |
Posttest |
19,00 |
3,266 |
0,653 |
Perbedaan Rata-Rata
Tingkat Stres Sebelum dan Sesudah Terapi Relaksasi Otot Progresif pada Lansia
Kelurahan Melong.
Hasil analisis pada tabel 6 didapatkan bahwa rata-rata (mean) tingkat stres lansia sebelum diberikan terapi relaksasi otot progresif sebesar 23,84 dengan standar deviasi 3,682, dan standard eror 0,653. Sementara itu nilai rata-rata tingkat stres sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif adalah 19,00 dengan standar deviasi 3,266 dan standard eror 0,653. Hasil uji statistik menggunakan T-test dependen diperoleh Pvalue sebesar 0,001. Hal ini berarti Pvalue < alpha (0,05), artinya terdapat perbedaan antara tingkat stres sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif.
Hasil penelitian
sebelumnya telah dibahas mengenai data yang didapatkan oleh peneliti ketika
meneliti di lapangan. Pada bagian kali ini, peneliti akan menguraikan hasil
penelitian secara rinci yang juga disertai dengan referensi teori yang telah
ada sebelumnya untuk memperkuat hasil penelitian yang didapat.
Berdasarkan data yang didapatkan oleh peneliti sebelum diberikan terapi relaksasi otot progresif terdapat 1 responden mengalami stres ringan, 16 responden mengalami stres sedang dan 8 responden mengalami stres berat. Setiap responden memiliki tingkat stres yang berbeda-beda, hal ini disebabkan karena stres pada lansia dapat disebabkan oleh berbagai situasi kondisi sebagai akibat stresor yang berupa perubahan-perubahan baik fisik, mental, maupun sosial dalam keadaan yang dialami lansia dan karena stres bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Hertanto & Suratini, 2014).
Didukung oleh teori (Laza rus & Folkman, 1986) bahwa setiap orang memilliki respon yang berbeda dalam menghadapi stres. Respon terhadap segala bentuk stres bergantung pada fungsi fisiologis, kepribadian, serta sifat dari stresor. Seseorang yang mengalami stres akan menimbulkan keluhan-keluhan seperti mudah marah, tersinggung, murung cemas, sedih pesimis, mudah menangis, suasana hati sering berubah-ubah, mudah menyerah, mempunyai sikap bermusuhan. Apabila tidak diatasi dapat menimbulkan permasalahan yang harus dihadapi oleh lansia sehingga dapat mengakibatkan aktifitas sehari-hari terganggu dan kualitas hidup lansia yang menurun.
Stres adalah stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang. Stres membutuhkan coping dan adaptasi. Sindrom adaptasi umum atau teori Selye, menggambarkan stres sebagai kerusakan yang terjadi pada tubuh tanpa mempedulikan apakah penyebab stres tersebut positif atau negatif. Respons tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan stresor atau penyebab tertentu (Hawari, 2006).
Menurut Selye stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Bila seseorang setelah mengalami stres mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami distres. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik), tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan psikis (Achdiat, 2003).
Menurut National Safety (Council, 2010) manajemen stres dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: keterampilan coping yang efektif, teknik relaksasi, dan gaya hidup yang lebih sehat.Manajemen stres ialah upaya yang rasional, terarah dan karenanya efektif untuk mengatasi stress. Upaya ini bersifat menyeluruh, dalam artian melibatkan baik mental maupun fisik bahkan sprit. Selain itu, manajemen stress juga menyangkut sisi pencegahan (preventive) maupun upaya penanganan (treatment). Upaya ini hanya mungkin efektif kalau dilaksanakan.
Mulyono (2005) menjelaskan beberapa keuntungan yang diperoleh dari latihan relaksasi diantaranya relaksasi membuat seseorang lebih mampu menghindari reaksi yang berlebihan karena adanya stres. keterampilan relaksasi sangat berguna untuk mengembangkan kemampuan tetap tenang atau menghindari stres saat menghadapi kesulitan, selalu rileksakan membuat seseorang memegang kendali hidup.
Melihat adanya efek negatif dari
stres yang dapat membawa kerugian bagi setiap yang mengalaminya, maka perlu
adanya manajemen stres. Manajemen stres merupakan upaya untuk mengendalikan stres
namun tidak untuk menghilangkannya. Salah satu manajemen stres yang dapat
dilakukan adalah dengan teknik relaksasi otot progresif (Hertanto & Suratini,
2014).
Berdasarkan teori yang disampaikan oleh (Hurlock, 1980) yang menyatakan bahwa bagi lansia yang berhasil
dalam penyesuaian diri terhadap perubahan dan kemunduran yang dialaminya akan
memunculkan perasaan dan sikap-sikap yang positif bagi dirinya maupun
lingkungannya. Lansia akan terhindar dari stres karena memiliki perasaan masih
tetap berguna, bijaksana, bahagia, mampu memanfaatkan waktu secara efektif dan
efisien, melibatkan diri dengan aktivitas sosial, perasaan optimis,
mengembangkan hobi, lebih religious (Hurlock, 1980).
Ketidak berhasilan lansia dalam melakukan penyesuaian diri terhadap semua
perubahan yang dialami kaan memunculkan sifat-sifat negatif secara emosional,
seperti mudah marah, mudah tersinggung, sering ngambek, suka bertengkar,
ketakutan berlebihan, kecemasan yang berlebihan, serta perasaan tersiksa.
Lansia yang mengalami kesepian, tidak berguna, keinginan untuk cepat mati,
membutuhkan perhatian lebih, muncul rasa tersisih, merasa tidak dibutuhkan
lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak
kunjung sembuh merupakan beberapa masalah yang tidak enak dan potensial
memunculkan stress (Nugroho, 2008).
Teknik relaksasi progresif ini sendiri mempunyai manfaat untuk mengatasi
berbagai permasalahan dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam mengatasi
stres, kecemasan, insomnia dan juga dapat membangun emosi positif dari emosi
negatif. Keempat permasalahan tersebut dapat menjadi suatu rangkaian bentuk
gangguan psikologis bila tidak diatasi. Stres terhadap tugas maupun
permasalahan lainnya, apabila tidak segera ditangani dapat memunculkan suatu
bentuk kecemasan dalam diri seseorang, sehingga menimbulkan emosi yang negatif
yang timbul akibat stres dan relaksasi dapat digunakan supaya seseorang kembali
pada keadaan normal (Setyoadi, 2011).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa manfaat teknik relaksasi
progresif dapat menurunkan ketegangan otot, kecemasan, insomnia, depresi,kelelahan,
iritabilitas, spasme otot, nyeri leher, dan punggung, tekanan darah tinggi,
fobia ringan (Setyoadi, 2011).
Terapi relaksasi progresif merupakan salah satu teknik relaksasi yang
diberikan kepada lanjut usia yang dapat menenangkan pikiran dan melemaskan
otot-otot yang kaku. Relaksasi progresif juga merupakan teknik latihan
nafas yang teratur dan apabila dilakukan dengan benar tubuh akan menjadi
rileks. Relaksasi progresif ini dilakukan mulai dari otot-otot dikaki, tangan, perut,
dada dan wajah dengan cara menegangkan otot-otot tertentu kemudian melepaskan
ketegangan tersebut. Setelah itu lanjut usia dapat merasakan keduanya pada saat
otot dalam keadaan tegang dan rileks (Setyoadi, 2011).
Dari hasil penelitian ini, setelah diberikan terapi relaksasi otot
progresif sebanyak 23 responden masuk dalam kategori stres sedang, 2 responden
masuk kedalam kategori stres ringan dan tidak ada satu pun yang masuk ke dalam
kategori stres berat.
Hal ini didukung oleh hasil wawancara setelah diberikan terapi relaksasi
otot progresif ini bahwa lansia mengatakan badannya menjadi lebih segar, rileks
dan tidak merasa tegang lagi. Salah satu lansia mengatakan sebelum dilakukan
terapi relaksasi otot progresif, ia sering mengalami kesemutan di daerah
persendian namun setelah diberikan terapi relaksasi otot progresif ini lansia
tersebut mengatakan bahwa sudah jarang mengalami kesemutan lagi. Dari hasil
pengamatan peneliti, perubahan yang signifikan adalah lansia yang tadinya biasa
mengurung diri di kamar setelah diberikan terapi relaksasi otot progresif ini
ia sudah bisa bergaul dengan teman-temannya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa manfaat teknik relaksasi
otot progresif dapat menurunkan ketegangan otot, kecemasan, insomnia, depresi,
kelelahan, iritasi, spasme otot, nyeri leher dan punggung, tekanan darah tinggi
dan fobia ringan (Setyoadi, 2011).
Didapatkan
bahwa rata-rata (mean) tingkat stres
lansia sebelum dilakukan terapi relaksasi otot progresif adalah 23,84 dengan
standar deviasi 3,682. Sedangkan tingkat stres sesudah dilakukan terapi
relaksasi otot progresif adalah 19,00 dengan standar deviasi 3,266. Terlihat
perbedaan antara nilai mean pada
tingkat stres sebelum dan sesudah dilakukan terapi relaksasi otot progresif
adalah 4,84 dengan standar deviasi 2,014. Hasil uji statistik dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata tingkat stres sebelum
terapi relaksasi otot progresif dan sesudah terapi relaksasi otot progresif (pvalue : 0,001 ; α=0,05).
Dari hasil
wawancara pada saat pretest 15 lansia
mengatakan bahwa ia cukup sering marah karena sesuatu hal yang terjadi secara
tiba-tiba namun pada saat posttest terdapat
2 lansia yang masih sering marah
secara tiba-tiba dan sisanya mengatakan bahwa mereka sudah dapat mengatasi
kesulitan yang berlipat-lipat di bandingkan sebelum diberikan terapi relaksasi
otot progresif. Hal ini terbukti dari hasil kuesioner pretest bahwa sebagian
besar lansia (70,4%) mengatakan dirinya cukup sering tidak bisa mangatasi
masalah-masalahnya namun pada saat postest sudah berkurang (25,9%).
Christian berpandangan jika stres hanya bisa dikelola dengan manajemen
stres merupakan upaya menyeluruh untuk mengendalikan stres namun tidak untuk
menghilangkannya (Hurlock, 1980). Manajemen stres
dengan teknik relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang
didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Selain itu
juga, ketika otot-otot sudah dirilekskan maka akan menormalkan kembali
fungsi-fungsi organ tubuh. Setelah seseorang melakukan relaksasi dapat membantu
tubuhnya menjadi rileks, dengan demikian dapat memperbaiki berbagai aspek
kesehatan fisik (Yosep, 2009).
Di
dalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom.
Sistem saraf pusat berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki,
misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom
berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi
digestif, proses kardiovaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf otonom ini
terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatetis dan sistem saraf
parasimpatetis yang kerjanya saling berlawanan. Jika sistem saraf simpatetis
meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya
denyut jantung dan pernafasan, serta menimbulkan penyempitan pembuluh darah
tepi (peripheral) dan pembesaran pembuluh darah pusat, maka sebaliknya sistem
saraf parasimpatetis menstimulasi turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh
sistem saraf simpatetis dan menaikkan semua fungsi yang diturunkan oleh sistem
saraf simpatetis (Council, 2010).
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik manajemen stres yang cukup
sering digunakan untuk menangani stres.
Relaksasi
otot progresif menurut Jacobson adalah suatu keterampilan yang dapat dipelajari
dan digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan dan mengalami rasa
nyaman tanpa tergantung pada hal/subjek diluar dirinya. Relaksasi otot
progresif ini digunakan untuk melawan rasa cemas, stres, atau tegang. Dengan
menegangkan dan melemaskan beberapa kelompok otot dan membedakan sensasi tegang
dan rileks, seseorang bisa menghilangkan kontraksi otot dan mengalami rasa
rileks (Soewondo, 2009). Hal ini dikarenakan relaksasi otot progresif
merupakan jenis relaksasi termurah, mudah untuk dilakukan secara mandiri.
Tujuan
pokok teknik relaksasi adalah untuk menahan terbentuknya respon stres terutama
dalam sistem saraf dan hormon. Pada akhirnya teknik relaksasi dapat membantu
mencegah atau meminimalkan gejala fisik akibat stres ketika tubuh bekerja
berlebihan dalam menyelesaikan masalah sehari-hari (National safety council,
2004).
Menurut (Setyoadi, 2011) teknik relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik untuk
memelihara kesehatan fisik maupun psikologis pada lansia dimana teknik ini
dapat menurunkan tekanan darah, menjadikan detak jantung tenang, dan menurunkan
tingkat hormon stres.
Hal ini sesuai dengan teori yang
menjelaskan beberapa keuntungan yang diperoleh dari latihan relaksasi otot
progresif diantaranya membuat seseorang menjadi lebih mampu menghindari reaksi
yang berlebihan karena adanya stres (Mulyono, 2005).
Hal tersebut beriringan dengan hasil pretest
bahwa sebanyak 12 lansia mengatakan mereka cukup sering mengalami gugup dan tertekan
namun pada saat posttest hanya ada 6
lansia yang masih mengalami gugup dan tertekan. Dari hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa relaksasi otot progresif ini mampu menghindari reaksi yang
berlebihan yang disebabkan oleh stres.
Berdasarkan hasil penelitian,
analisis data dan pembahasan mengenai pengaruh terapi relaksasi otot progresif
terhadap tingkat stres pada lansia Kelurahan Melong, dapat disimpulkan sebagai
berikut: a). Rata-rata tingkat stres sebelum dilakukan
terapi relaksasi otot progresif 23,84. b). Rata-rata tingkat stres sesudah
dilakukan terapi relaksasi otot progresif 19,00. c). Hasil uji statistik
menunjukan terdapat pengaruh rata-rata tingkat stres lansia sebelum dilakukan
terapi relaksasi otot progresif dan sesudah terapi relaksasi otot progresif
Kelurahan Melong (pvalue: 0,001; a: 0,05) dengan selisih nilai mean sebelum dan sesudah dilakukan
terapi relaksasi otot progresif sebesar 4,84.
Ashari, Rizqi
Ganis. (2018). Memahami hambatan dan cara lansia mempelajari media sosial.
Google Scholar
Cohen,
Sheldon, Kamarck, Tom, & Mermelstein, Robin. (1983). A global measure of
perceived stress. Journal of Health and Social Behavior, 385�396. Google Scholar
Council,
N. S. (2010). Manajemen Stres. Jakarta: Buku Kedokteran.
Dahlan,
S. (2013). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Google Scholar
Depkes.
(2013). Data dan Informasi Kesehatan. (diperoleh pada tanggal 03 Maret 2017).
Retrieved from http://www.depkes.go.id
Depkes.
(2016). Lansia Yang Sehat, Lansia Yang Jauh Dari Demensia (diperoleh pada
tanggal 03 Maret 2017). Retrieved from http://www.depkes.go.id
Hertanto,
Krisna Yudhi, & Suratini, Suratini. (2014). Pengaruh Terapi Relaksasi
Progresif terhadap Tingkat Stres pada Lanjut Usia di PSTW Yogyakarta Unit Budi
Luhur. STIKES�Aisyiyah Yogyakarta. Google Scholar
Hidayati,
Laili Nur. (2009). Hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada
lansia di Kelurahan Daleman Tulung Klaten. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Google Scholar
Hurlock,
Elizabeth B. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Kartinah,
Kartinah, & Sudaryanto, Agus. (2008). Masalah psikososial pada lanjut usia.
Jurnal Berita Ilmu Keperawatan, 1(2), 93�96. Google Scholar
Lazarus,
Richard S., & Folkman, Susan. (1986). Cognitive theories of stress and the
issue of circularity. In Dynamics of stress (pp. 63�80). Springer. Google Scholar
Mahfiroh,
Intan. (2013). Hubungan pola aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar dengan tingkat
stres lanjut usia di panti sosial tresna werdha mulia dharma kabupaten kubu
raya. Jurnal ProNers, 1(1). Google Scholar
Nasir,
A. (2011). Dasar Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Notoadmodjo.
(2014). Prinsip dasar ilmu kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho,
W. (2008). Perawatan Lanjut Usia. Jakarta: EGC.
Nursalam,
Siti Pariani, & Sri, U. (2011). Konsep dan penerapan metodologi
penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi. Doctoral dissertation, Tesis,
dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta �. Google Scholar
Riyanto,
A. (2011). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Setyoadi,
&. Herodes. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien
Psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.
Sugiyono.
(2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suli,
Didik Prasetyo, Aini, Nur, & Prasetyo, Yoyok Bekti. (2019). Pengaruh green
color breathing therapy terhadap penurunan tingkat stres pada pasien
hemodialisa. Jurnal Keperawatan, 2(2), 86�96. Google Scholar
Wahyuni,
Wahyuni, & Ambarwati, Lucia. (2016). Relaksasi Otot Progresifsebagai
Upaya Menurunkan Tingkat Depresi Lansia Di Posyandu Anggrek Desa Gandekan
Wilayah Kerja Puskesmas Purwodiningratan Jebres Surakarta. Google Scholar
Yosep,
I. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama.
Copyright holder: Khrisna Wisnusakti (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |