Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 10, Oktober 2024
REVITALISASI PERANAN BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM PERSPEKTIF PENETAPAN
PENUNJUKAN WALI ANAK
I Ketut Sudira1,
Natalia Maharani2
Universitas Muhammadiyah Mataram,
Mataram, Indonesia1,2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis urgensi peran Balai Harta Peninggalan (BHP)
sebagai pengawas dalam penetapan perwalian anak, mengingat dalam praktiknya
pengadilan seringkali tidak melibatkan BHP, sehingga potensi penyalahgunaan
wewenang oleh wali yang merugikan anak sangat tinggi. Peraturan perwalian yang
berlaku sejak masa kolonial Belanda telah dihapus dengan diberlakukannya
Undang-Undang Perkawinan, namun ketentuan formal tentang tugas BHP masih
berlaku selama tidak diatur dalam undang-undang baru. Melalui pendekatan
yuridis normatif, penelitian ini menelaah peran BHP dalam mengawasi pelaksanaan
perwalian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat
dan Tata Cara Penunjukan Wali serta Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7
Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja BHP. Hasil penelitian menunjukkan
adanya disarmonisasi dalam perundang-undangan terkait peran BHP, yang
mengakibatkan lemahnya perlindungan hukum bagi anak di bawah perwalian.
Keterlibatan BHP sebagai pengawas dalam perwalian sangat penting untuk menjamin
kepentingan terbaik anak, serta perlunya peninjauan dan harmonisasi peraturan
terkait agar peran BHP lebih efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
yang berlaku. Pentingnya reformasi regulasi perwalian untuk memperkuat
pengawasan BHP guna mencegah tindakan merugikan terhadap anak di bawah
perwalian.
Kata
kunci: Keputusan
pengadilan, perwalian anak, peran pengadilan perkebunan
Abstract
This study aims to analyze the urgency of
the role of the Balai Harta Peninggalan (BHP) as a supervisor in the
determination of guardianship of children, considering that in practice the
courts often do not involve the BHP, so the potential for abuse of authority by
guardians to the detriment of children is very high. The guardianship
regulations in force since the Dutch colonial period have been abolished with
the enactment of the Marriage Law, but the formal provisions on the duties of
the BHP are still valid as long as they are not regulated in a new law. Through
a normative juridical approach, this research examines the role of BHP in overseeing
the implementation of guardianship based on Government Regulation Number 29 of
2019 concerning Conditions and Procedures for Appointing Guardians and Minister
of Law and Human Rights Regulation Number 7 of 2021 concerning Organization and
Work Procedures of BHP. The results showed that there was a disharmonization in
the legislation related to the role of BHP, which resulted in weak legal
protection for children under guardianship. The involvement of BHP as a
supervisor in guardianship is very important to ensure the best interests of
the child, as well as the need for review and harmonization of related
regulations so that the role of BHP is more effective and in accordance with
applicable legal principles. The importance of reforming guardianship regulations
to strengthen BHP's supervision to prevent harm to children under guardianship.
Keywords: Court
decisions, guardianship of children, the role of the estate court
Pendahuluan
Beberapa
tahun yang lalu, dunia maya diebohkan
oleh pemberitaan bahwa ada seorang bocah asal Madura mendadak menjadi milioner
lataran mendapat warisan dari orang tuanya berkebangsaan Arab, dalam upaya
memberikan perlindungan kepada anak tersebut diangkat seorang wali yaitu
pamannya sendiri dengan penetapan pengadilan maka pamannya sah menjadi wali
dari anak tersebut, tetapi timbul permasalahan siapa yang mengawasi paman anak
tersebut dalam memanfaatkan harta anak yang belum dewasa sehingga tidak
merugikan anak tersebut
Di Indonesia
permohonan perwalian anak diajukan di Pengadilan Agama dan a tau Pengadilan
Negeri yang berwenang memberikan penetapan tentang keabsahan pengangkatan wali
bagi anak untuk mewakili kepentingannya di dalam atau di luar pengadilan, dalam
hal mana penetapan dimaksud atas permohonan calon wali atau kuasanya.
Dalam praktek
peradilan tentang penyelesaian perkara permohonan perwalian didahului oleh
adanya surat permohonan pemohon, kemudian pengadilan akan memanggil pemohon
untuk mengikuti persidangan tanpa terlebih dahulu berkoordinasi dengan Kantor
Balai Harta Peninggalan sesuai dengan wilayah hukum sebagai lembaga yang diberi
kewenangan untuk memberikan pengawasan terhadap penetapan perwalian.
Dalam proses
penyelesaian perkara pengangkatan wali didahului dengan pemohon membacakan
surat permohonannya
Dalam
penyelesaian perkara permohonan perwalian, pengadilan hampir tidak pernah
melibatkan Balai Harta Peninggalan yang secara ex-officio melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan perwalian atas penetapan pengadilan karena tiap – tiap
perwalian secara mutatis mutandis diperlukan kehadilan Balai Harta Peninggalan
sebagai wali pengawas terhadap jalannya perwalian dan dalam melaksanakan
tugasnya dapat memberikan nasihat agar perwalian tersebut dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya
Jika dikaji
beberapa penetapan hakim tentang penunjukan wali, pertimbangannya relative
sumir dan tidak menjangkau kemungkinan seorang wali menggunakan harta bukan
untuk kepentingan anak melainkan untuk kepentingannya sendiri sehingga anak
akan dirugikan.
Konsekuensi
yuridis penetapan wali adalah kewajiban seorang wali untuk
mempertanggungjawabkan segala penggunaan harta anak ketika anak tersebut telah
dewasa sebagai batas akhir berlakunya perwalian
Dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun
2021 Tentang Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan menempatkan Balai Harta
Peninggalan dapat mewakili dan melaksanakan pengurusan kepentingan subyek hukum
dalam rangka menjalankan penetapan pengadilan dalam pengelolaan harta si anak
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Pada masa
pemerintahan Hindia Belanda terbentuknya Balai Harta Peninggalan (BHP) terdapat di hampir tiap-tiap Karisidenan/
Kabupaten pada waktu itu sebagai Kantor
Perwakilan, sedangkan untuk Balai Harta Peninggalan Jakarta mempunyai
Kantor Perwakilan di Bandung, Cirebon, Bogor, Sukabumi, Serang, Lampung,
Palembang, Pangkal Pinang, Pontianak dan Singkawang
Pada
tahun 1987 seluruh kantor Balai Harta Peninggalan dihapuskan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI. Nomor M.06-PR.07.01 Tahun 1987 dan pada
masa sekarang ini terdapat 5 (lima)
Kantor Balai Harta Peninggalan di Indonesia, yaitu: Jakarta, Semarang,
Surabaya, Medan dan Makasar, dan masing-masing meliputi wilayah kerja di daerah
tingka I dan tingkat II. Pada saat ini Balai Harta Peninggalan Jakarta
mempunyai wilayah kerja yang meliputi 8 (delapan) propinsi terdiri dari DKI
Jakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jambi
dan Kalimantan Barat
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis urgensi peran Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai pengawas dalam penetapan perwalian anak, mengingat dalam praktiknya pengadilan seringkali tidak melibatkan BHP, sehingga potensi penyalahgunaan wewenang oleh wali yang merugikan anak sangat tinggi.
Metode
Penelitian
Dalam upaya mendukung tulisan ini, diperlukan bahan-bahan hukum
diperoleh melalui penelitian melalui pembacaan terhadap literature terkait dan peraturan
serta karya ilmiah hukum, bahan-bahan
tertulis lainnya termasuk bahan – bahan hukum
dari media cetak dan elektronik serta kamus-kamus hukum
Hasil
dan Pembahasan
Perlindungan Hukum
Terhadap Anak dalam Perwalian
Pada hakekatnya perwalian identik dengan perlindungan anak yang belum cakap melakukan perbuatan hukum, sehingga tidak terhambat haknya untuk memperoleh pendidikan dan kelayakan hidup berdasarkan harta yang sebenarnya telah dapat diambil manfaatnya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 383 ayat (1) BW, bahwa pada pokoknya menentukan bahwa kewajiban wali menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan dari anak dalam perwaliannya berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh anak tersebut.
Dalam peraturan perundang–undangan perwalian dibedakan menjadi beberapa jenis :
1. Perwalian yang dilakukan oleh suami atau istri yang hidup terlama
terhadap anak yang belum dewasa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 345-354 BW,
dalam hal mana Pasal 345 BW yang mana
ketentuan ini bertentangan dengan asas pengangkatan seorang wali bagi anak yang
belum dewasa yang tidak dalam kekuasaan orang tuanya sehinbgga apabila salah
satu atau kedua orang tuanya masih ada, disebut menjalankan kekuyasaan orang
tua sepanjang tidak dicabut haknya.
2. Ketentuan dimaksud tidak mengatur suami
isteri yang pisah karena perceraian melainkan hanya mengatur pada orang tua
yang hidup paling lama yasng demi hukum mempunyai hak untuk menjalankan
kekuasaan orang tua bukan wali
3. Perwalian yang disebabkan adanya
penunjukan pada masa orang tuanya masih hidup berupa surat wasiat yang biasanya
dibuat dalam bentuk akte notaris.
4. Wali diangkat oleh hakim sebagaimana
tertuang dalam penetapan pengadilan.
Perwalian anak diatur secara tegas dalam
beberapa peraturan perundang–undangan doiantaranya adalah peraturan tentang
perlindungan anak dan undang–undang perlkawinan yang menentukan bahwa wali
selain orang perorangan juga badan hukum yang ditunjuk untuk menjalankan
kekuasaan orang tua bagi anak yang belum berusia 18 tahun yang selain
menyangkut pribadinya juga meliputi harta kekayaannya.
Salah satu syarat yang dapat ditetapkan
sebagai wali dengan surat wasiat atau lisan harus dilakukan dihadapan dua orang
saksi yang sedapatnya diambil dari
keluarga anak yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan
baik sebagaimana ditentukan dalam undang – undang perkawinan, selain itu
ditetapkan juga syarat khusus adanya kesamaan agama yang dianut antara anak
dengan wali yang ditetapkan.
Penetapan wali dilakukan melalui
permohonan ke Pengadilan Agama bagi mereka yang menganut agama Islam sedangkan
ke Pengadilan Negeri bagi yang non muslim. dengan demikian terciptanya hak perwalian harus melalui penetapan pengadilan yang memberikan wewenang kepada
para wali , yaitu :
1. Menjadi wakil anak dalam untuk sahnya perbuatan hukum demi
kepentingan hukum si anak.
2. Mengurus harta si anak dengan
berpedoman pada agama yang dianut oleh si anak.
3. Menyusun daftar harta benda yang menjadi
hak si anak sejak ditetapkan sebagai wali.
Kekuasaan seorang wali terhadap harta
kekayaan anak dalam perwaliannya tidak meliputi kekuasaan memindahtangankan
atau menggadaikan barang tetap apabila bukan untuk kepentingan si anak karena
pada akhirnya seorang wali akan dituntut pertanggungjawabannya atas kerugian
yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaian wali.
Kewajiban seorang wali juga ditentukan dalam Hukum Islam, disebutkan bahwa:
1. Seorang wali wajib melakukan
poengurusan terhadap anak dan harta anak dengan sebagi- baiknya dan
berkewajiban memberikan pengetahuan serta keterampilan sesuai dengan agama yang dianutnya
demi masa depan anak yang dalam perwaliannya.
2. Seorang wali tidak diperkenankan
mengasingkan harta anak di bawah perwaliannya dengan pengecualian apabila
perbuatan tersebut menguntungkan
anak yang berada di
bawah perwaliannya atau
karena emergensi atau keadaan memaksa.
3. Seorang wali akan dituntut
pertanggungjawabannya terhadap harta anak dalam perwaliannya serta mengganti
kerugian jika melakukan kesalahan atau kelalaiannya.
4. Merujuk pada pertanggungjawaban dimaksud
dituntut pembuktian melalui pembukuan tertutup pada setiap tahun.
Regulasi mengenai perwalian sebagaimana
telah dipaparkan di atas sama sekali tidak menempatkan Balai Harta Peninggalan
yang berdasarkan peraturan peundang – undangan dengan tegas ditunjuk untuk
melakukan monitoring dan supervise dalam pelaksanaan perwalian terhadap anak.
Syarat
sahnya perwalian telah ditentukan dengan tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019
tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali, yang dalam konsiderannya
ditentuykan bahwa tujuan penunjukan wali adalah untuk memberikan perlindungan
kepada anak dan harta kekaayaan yang dimilikinya agar anak tidak kehilangan hak
– hak dasarnya untuk tumbuh kembangnya melalui pengelolaan harta kekayaan yang
dimiliki oleh anak tersebut.
Seseorang
dapat ditunjuk sebagai wali berdasarkan alasan orang tua anak tidak dapat
melaksanakan kekuasaannya sebagai orang tua baik karena telah tiada atau tidak
diketahui keberadaannya dan dalam hal seseorang mau menjadi wali diperlukan
suatu syarat bahwa yang bersangkutan wajib membuat surat pernyataan yang isinya
bahwa tidak akan melalukan kekerasan atau penelantaran terhadap anak yang
berada dibawah perwaliannya dan menerapkan kekerasan fisik baik dengan
alasan penegakan disiplin atau alasan
lain.
Dalam regulasi sebagaimana telah
disebutkan di atas, ditentukan bahwa perwalian dimulai dari adanya permohonan
atau wasiat orang tua yang harus memenuhi persyaratan dan diajukan oleh calon wali ke pengadilan
yang bersama – sama dengan pencabutan
kuasa asuh Dalam peraturan pemerintah tersebut ditegaskan, bahwa penunjukan Wali dilakukan berdasarkan
permohonan atau wasiat Orang Tua. Permohonan sebagaimana dimaksud harus
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dan
disampaikan oleh seseorang atau badan hukum sebagai calon Wali kepada
Pengadilan, dan diajukan bersamaan dengan permohonan pencabutan kuasa asuh yang
ditetapkan dipersidangan dan seseorang ditetapkan sebagai wali setelah mendapat
penetapan dari pengadilan,
Berdasarkan pengamatan, baik dalam penetapan Pengadilan
Negeri maupun Pengadilan Agama di Indonesia
amar penetapan pengadilan tentang perwalian sejak dahulu sampai saat ini
hanya menetapkan Pemohon sebagai wali dari anak, sedangkan hak materiil anak
dan kewajiban wali sama sekali tidak tersentuh dalam pertimbangan penetapan
perwalian, pada hal dalam ketentuan perundang – undangan ditentukan bahwa
perwalian bukan hanya menyangkut pribadi anak, melainkan juga termasuk harta
kekayaannya sehingga terjadi sisarmoni dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asai Manuasia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta
Peninggalan, sebagai peraturan yang merujuk pada ketentuan Pasal 366 – 375 BW
dan Stb. 1872 Nomor 166 (Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia).
Penetapan perwalian dari pengadilan selama
ini kurang memberikan peran Balai Harta
Peninggalan sebagai wali pengawas yang dalam Penetapan izin dari hakim selama
ini tidak melibatkan peran BHP selaku wali pengawas, yang dalam proses
perwalian diperintahkan oleh undangundang untuk turut campur dalam seluruh
tindakan yang dilakukan wali atas nama anak, tetapi dilain pihak dalam terjadinya proses peralihan, pemisahan
dan pembagian hak anak yang melibatkan notaris dan PPAT, juga tidak melibatkan
peran wali pengawas
Urgensi pengawasan terhadap perwalian agar
harta dari anak yang di bawah perwalian tidak disalahgunakan oleh wali dan
sebagai langkah preventif adanya sengketa waris, maka gagasan untuk memperbarui
adanya disharmoni pelaksanaan perlindungan terhadap harta kekayaan anak dalam
perwalian, yang dalam hal ini kepentingan dan perbuatan hukum anak diwakili
oleh wali tidak diharapkan menghilangkan salah satu peran dari pengawasan oleh
negara melalui BHP, yang bertujuan melindungi
pengelolaan harta kekayaan yang menjadi hak anak dipergunakan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dan dapat dipertanggungjawabkan ketika anak tersebut dewasa.
Dalam mengoptimalkan tata pemerintahan yang baik, harmonisasi peraturan hukum
seyogianya dapat mencerminkan
keterpaduan dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas
mekanisme pengaturan, administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan
dan penegakan hukum yang dalam kolaborasinya tercermin harmonisasi hukum
Berpedoman pada beberapa ketentuan di
atas, penetapan permohonan perwalian memegang peranan penting dalam melindungi
kepentingan dan hak anak. Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara
permohonan wajib memperhatikan segala aspek secara berhati-hati
Dalam setiap penetapan hakim ada dua
kepentingan hukum yang harus dilindungi dan dijaga, oleh karena itu penetapan
yang dikeluarkan oleh pengadilan harus memberikan perlindungan kepada hak anak
serta berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak, dan tidak menutup kemungkinan perwalian yang
diajukan, agar harta peninggalan yang menjadi hak anak dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan wali dan anak, tentu pemanfaatan harta ini harus sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Keadaan karena dalam hukum acara perdata
ditentukan bahwa hakim dilarang memutus lebih dari yang diminta oleh penggugat
atau Pemohon dalam surat gugatan atau surat permohonannya.
Dalam upaya memberikan perlindungan kepada
anak yang dalam perwalian, diharapkan dalam dictum penetapan dicantumkan BHP
ditunjuk sebagai wali pengawas dan berhubung merupakan perintah undang –
undang, maka tidak disyaratkan harus dimohon oleh pemohon dalam surat
permohonannya dengan mencantumkan dictum menetapkan BHP menetapkan BHP sebagai
wali pengawas tidak menyalahi ketentuan karena melaksanakan perintah peraturan
perundang – undangan seperti halnya dalam perkara perceraian dalam surat
gugatan tidak dituntut supaya memerintahkan panitera mengirimkan salinan
putusan kepada Kantor Catatan Sipil ditempat perceraian dilangsungkan walaupun
dalam gugatan tidak diminta,oleh karena itu
karena atas perintah undang–undang sehingga hakim secara eks officio dalam penetapan perwaliannya
menetapkan BHP sebagai Wali Pengawas
Bertolak dari uraian di atas dapat
dipahami bahwa hakim dalam penetapannya
tidak perlu menetapkan Balai Harta Peninggalan sebagai Wali Pengawas karena
secara yuridis formal peranan Balai Harta Peninggalan sebagai Wali Pengawas
telah ditetapkan oleh peraturan perundang – undangan.
Revitalisasi Peranan Balai Harta Peninggalan Dalam Perwalian Anak
Dibatkannya Balai Harta Peninggalan dalam
penetapan pengangkatan wali adalah bersifat imperative dalam penetapan
pengadilan dengan ketentuan jika pabila wali tidak memberitahukan kepada Balai
Harta Peninggalan tentang terjadinya perwalian, maka wali itu dapat dipecat
Tugas dan kewajiban wali pengawas
dijabarkan secara umum dalam pasal-pasal BW, khususnya dalam pasal yang
menjabarkan tentang perwalian, akan tetapi di dalam peraturan
perundang-undangan lain, peran Balai Harta Peninggalan seolah-olah dikikis
karena minimnya aturan perundang-undangan yang menjelaskan peran Balai Harta
Peninggalan sebagai wali pengawas.
Dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019
tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali
dijabarkan bahwa pengawasan terhadap wali dan urusan perwalian dilakukan
oleh pemerintah, dalam hal ini adalah pemerintah yang menyelenggarakan urusan
social, hal mana mengakibatkan abrasi
kewenangan pada Balai Harta Peninggalan selaku Wali Pengawas yang telah
ditentukan dalam peraturan setingkat Undang – Undang, yaitu Pasal 366 – 375 BW
dan Stb. 1872 Nomor 166 (Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia).
sehingka terjadi tumpeng tindih norma tentang tugas Balai Harta Peninggalan.
Jika dikaji muatan berbagai peraturan perundang-undangan
di bidang perwalian, terdapat disharmonisasi, overlapping (tumpang tindih) ketentuan peraturan, serta
penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi di antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain,
bahkan peraturan Pemerintah tersebut mengalahkan peraturan setingkat Undang –
Undang yaitu : Pasal 366 – 375 BW dan Stb. 1872 Nomor 166 (Instruksi untuk
Balai Harta Peninggalan di Indonesia), hal mana dapat menyebabkan hak-hak anak yang berada di bawah
perwalian menjadi kurang jelas karena tidak jelasnya ketentuan hukum tentang
wali pengawas, selain itu disharmonisasi tersebut cepat atau lambat akan
menyebabkan kemunduran dalam perkembangan hukum di Indonesia.
Jika pemberian wali dinyatakan sah secara hukum menjadi seorang
wali, maka wali akan mengemban kewajiban – kewajiban keperdataan sebagai
berikut :
a.
Memberitahukan
kepada Balai Harta Peninggalan bahwa telah berlangsung suatu perwalian
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 368 BW
b.
Menyelenggarakan
pengurusan harta kekayaan anak dengan baik sesuai dengan ketentuan perundang –
undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 371 BW.
c.
Mengadakan
inventarisasi mengenai harta si Anak yang berada dibawah perwaliannya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 386 ayat (1) BW.
d.
Membuat
suatu ikatan jaminan, atau menambah jaminan yang telah ada dalam hal harta anak yang berada dibawah
perwalian semakin bertambah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 335 BW.
e.
Menentukan
jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya
pengurusan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 338 BW.
f.
Mendaftarkan
surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan si anak terdapat
surat piutang negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 392 BW.
g.
Mengajukan
surat permohonan penjualan harta kekayaan anak yang berada di bawah perwalian
kepada Pengadilan Negeri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 394 BW.
h.
Memberikan perhitungan dan tanggung jawab atas
pengurusan yang sudah dilakukan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 373 jo. Pasal 409 BW.
Dalam upaya mencegah penyimpangan ataupun
pelanggaran dalam perwalian, khususnya penyimpangan dalam penggunaan harta
kekayaan si anak, peraturan perundang-undangan telah mengatur mengenai peran
Wali Pengawas, yakni pihak yang mengawasi keberlangsungan perwalian terhadap
seorang anak.
Wali Pengawas berperan untuk menjaga agar
wali mempergunakan harta kekayaan anak yang berada di bawah perwalian digunakan
untuk kepentingan dari anak yang bersangkutan, dalam hal mana Pasal 366 BW jo. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menyebutkan bahwa pihak yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai wali pengawas dalam hal adanya perwalian adalah Balai Harta
Peninggalan.
Balai Harta Peninggalan merupakan salah
satu Unit Pelaksana Teknis yang secara sruktural berada di bawah Direktorat
Perdata, Direktorat Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia yang memiliki tugas pokok dan fungsi di bidang
keperdataan.
Balai Harta Peninggalan pada zaman
penjajahan Belanda dikenal dengan nama “Wees-en
Boedelkamer” atau “Weeskamer”,
yang dibentuk pertama kali berkedudukan di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober
1624. Balai Harta Peninggalan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan anggota VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)
khusus dalam mengurus harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh mereka bagi mereka para ahli waris yang berada di
Nederland, anak-anak yatim piatu dan sebagainya
Balai Harta Peninggalan bertindak untuk
mengamati apakah wali melaksanakan kewajiban dengan baik atau tidak dan
seberapa perlu memberikan nasihat kepada wali untuk melakukan kewajiban dengan
sebaik-baiknya
Panitera pada pengadilan yang menetapkan
adanya suatu perwalian harus segera memberitahukan adanya pengangkatan wali
kepada Balai Harta Peninggalan sesuai dengan ketentuan Pasal 369 BW dan dengan
adanya pemberitahuan tertulis kepada Balai Harta Peninggalan, maka Balai Harta
Peninggalan dapat melaksanakan fungsi sebagai wali pengawas.
Dalam implementasi tugas Balai Harta
Peninggalan melakukan penyumpahan sebagaimana dalam penelitian diperoleh bahan
bukum sebagai berikut :
Pada hari
Jum’at, tanggal 9 November 2021, Balai Harta Peninggalan Jakarta yang diwakili
oleh Ario Priojati (Anggota Teknis Hukum), Muhammad (Kepala Seksi Harta
Peninggalan Wilayah III) dan Sofia Annasia (Staff Seksi Harta Peninggalan
Wilayah III) melakukan pengangkatan sumpah wali atas nama Muksin Amir Huwel,
yang demi hukum berdasarkan Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi
wali atas anak kandungnya yang masih di bawah umur bernama Fahri Ibrahim.
Pengangkatan sumpah wali tersebut
dilakukan di Kantor Balai Harta Peninggalan Jakarta, Jl. MT. Haryono No. 24 A
Cawang Atas Jakarta Timur. Pada kegiatan tersebut, dilakukan juga proses perbal
komparisi dan pencatatan harta kekayaan di bawah tangan anak di bawah umur. Hasil dari masing-masing kegiatan
tersebut kemudian dituangkan ke dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh
Wali serta Anggota Teknis Hukum. Selanjutnya, Anggota Teknis Hukum menjelaskan
mengenai proses pengawasan perwalian yang akan dilakukan oleh Balai Harta
Peninggalan Jakarta, dimana Balai Harta Peninggalan Jakarta selaku Wali
Pengawas akan melakukan pengawasan terhadap perwalian secara berkala sampai
dengan anak tersebut dewasa.
Kesimpulan
Penetapan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama tentang Perwalian Anak belum dapat memberikan nilai
kesimbangan hak antara anak dan walinya, karena tidak disertai dengan
penunjukan wali pengawas dalam hal ini Balai Harta Peninggalan sehingga secara
preventif dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh wali
terhadap harta benda anak yang dalam perwaliannya. Penetapan Pengadilan tentang
perwalian anak belum mencantumkan jumlah harta atau mewajibkan wali untuk
mencatat harta kekayaan milik anak dalam perwaliannya, kemudian melaporkan
kepada Balai Harta Peninggalan selaku wali pengawas.
BIBLIOGRAFI
Arischa, R. (2019). Peran
Pengadilan Agama dalam memberikan penetapan pengangkatan anak. IAIN Metro.
Dewi, E. C. (2020). Tinjauan
yuridis mengenai perwalian anak yatim piatu yang masih dibawah umur. Perspektif
Hukum, 328–346.
Elza Syarief, S. H. (2021). Praktik
Peradilan Perdata: Teknis dan Kiat Menangani Perkara di Pengadilan. Sinar
Grafika (Bumi Aksara).
Jonaedi Efendi, S. H. I.,
Johnny Ibrahim, S. H., & Se, M. M. (2018). Metode Penelitian Hukum:
Normatif dan Empiris. Prenada Media.
Kepailitan, S. P. (2008). Balai
Harta Peninggalan.
Kusnu Goesniadhie, S. (2010). Harmonisasi
sistem hukum: mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Nasa Media.
Merchiano, R., Syafariansyah,
M., Effendi, E., Ichandri, I., & Sadli, S. (2023). Analisis Hukum dalam
Penetapan Pengadilan Agama tentang Perwalian Anak Kandung yang Masih di Bawah
Umur. Lex Stricta: Jurnal Ilmu Hukum, 2(1), 49–62.
Napitupulu, D. R. W. (2023). Hukum
Orang dan Keluarga. UKI Press.
Natasha, S. (2019).
Rekonstruksi Eksistensi Balai Harta Peninggalan Sebagai Wali Pengawas Melalui
Harmonisasi Peraturan Hukum Tentang Perwalian. Majalah Hukum Nasional, 49(2),
131–160.
Putranto, N. (2013). Balai
Harta Peninggalan Fungsi dan Tugas Pokoknya. Jurnal Ilmiah Balai Harta
Peninggalan Surabaya.
Simatupang, T. H. (2018).
Eksistensi dan Efektivitas Pelaksanaan Tugas Balai Harta Peninggalan di
Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum P-ISSN, 1410, 5632.
Wibowo, S. A., & BAB, I.
(2004). “Perwalian” Menurut Kuhp Perdata Dan Uu No. 1 Tahun 1974. USU
Digital Library, 138.
Yani, D. (2022). Perlindungan
Hukum Terhadap Harta Warisan Anak Melalui Revitalisasi Balai Harta Peninggalan
(BHP). Jurnal Notarius, 1(1).
Yustisia, T. V., &
Pustaka, V. (2016). Konsolidsai Undang-Undang Perlindungan Anak: UU RI No.
23/2002 & UU RI No. 35/2014. VisiMedia.
Zulfa, I. S. (2022). Peran
Balai Harta Peninggalan Sebagai Wali Pengawas Dalam Melindungi Harta Kekayaan
Anak (Studi Di Kantor Balai Harta Peninggalan Medan). Universitas Medan
Area.
Copyright holder: I Ketut Sudira, Natalia Maharani (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |