Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

REVITALISASI PERANAN BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM PERSPEKTIF PENETAPAN PENUNJUKAN WALI ANAK 

 

I Ketut Sudira1, Natalia Maharani2

Universitas Muhammadiyah Mataram, Mataram, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis urgensi peran Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai pengawas dalam penetapan perwalian anak, mengingat dalam praktiknya pengadilan seringkali tidak melibatkan BHP, sehingga potensi penyalahgunaan wewenang oleh wali yang merugikan anak sangat tinggi. Peraturan perwalian yang berlaku sejak masa kolonial Belanda telah dihapus dengan diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan, namun ketentuan formal tentang tugas BHP masih berlaku selama tidak diatur dalam undang-undang baru. Melalui pendekatan yuridis normatif, penelitian ini menelaah peran BHP dalam mengawasi pelaksanaan perwalian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali serta Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja BHP. Hasil penelitian menunjukkan adanya disarmonisasi dalam perundang-undangan terkait peran BHP, yang mengakibatkan lemahnya perlindungan hukum bagi anak di bawah perwalian. Keterlibatan BHP sebagai pengawas dalam perwalian sangat penting untuk menjamin kepentingan terbaik anak, serta perlunya peninjauan dan harmonisasi peraturan terkait agar peran BHP lebih efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Pentingnya reformasi regulasi perwalian untuk memperkuat pengawasan BHP guna mencegah tindakan merugikan terhadap anak di bawah perwalian.

Kata kunci: Keputusan pengadilan, perwalian anak, peran pengadilan perkebunan

 

Abstract

This study aims to analyze the urgency of the role of the Balai Harta Peninggalan (BHP) as a supervisor in the determination of guardianship of children, considering that in practice the courts often do not involve the BHP, so the potential for abuse of authority by guardians to the detriment of children is very high. The guardianship regulations in force since the Dutch colonial period have been abolished with the enactment of the Marriage Law, but the formal provisions on the duties of the BHP are still valid as long as they are not regulated in a new law. Through a normative juridical approach, this research examines the role of BHP in overseeing the implementation of guardianship based on Government Regulation Number 29 of 2019 concerning Conditions and Procedures for Appointing Guardians and Minister of Law and Human Rights Regulation Number 7 of 2021 concerning Organization and Work Procedures of BHP. The results showed that there was a disharmonization in the legislation related to the role of BHP, which resulted in weak legal protection for children under guardianship. The involvement of BHP as a supervisor in guardianship is very important to ensure the best interests of the child, as well as the need for review and harmonization of related regulations so that the role of BHP is more effective and in accordance with applicable legal principles. The importance of reforming guardianship regulations to strengthen BHP's supervision to prevent harm to children under guardianship.

Keywords: Court decisions, guardianship of children, the role of the estate court

 

Pendahuluan

Beberapa tahun yang lalu,  dunia maya diebohkan oleh pemberitaan bahwa ada seorang bocah asal Madura mendadak menjadi milioner lataran mendapat warisan dari orang tuanya berkebangsaan Arab, dalam upaya memberikan perlindungan kepada anak tersebut diangkat seorang wali yaitu pamannya sendiri dengan penetapan pengadilan maka pamannya sah menjadi wali dari anak tersebut, tetapi timbul permasalahan siapa yang mengawasi paman anak tersebut dalam memanfaatkan harta anak yang belum dewasa sehingga tidak merugikan anak tersebut (Zulfa, 2022).

Di Indonesia permohonan perwalian anak diajukan di Pengadilan Agama dan a tau Pengadilan Negeri yang berwenang memberikan penetapan tentang keabsahan pengangkatan wali bagi anak untuk mewakili kepentingannya di dalam atau di luar pengadilan, dalam hal mana penetapan dimaksud atas permohonan calon wali atau kuasanya. 

Dalam praktek peradilan tentang penyelesaian perkara permohonan perwalian didahului oleh adanya surat permohonan pemohon, kemudian pengadilan akan memanggil pemohon untuk mengikuti persidangan tanpa terlebih dahulu berkoordinasi dengan Kantor Balai Harta Peninggalan sesuai dengan wilayah hukum sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk memberikan pengawasan terhadap penetapan perwalian.

Dalam proses penyelesaian perkara pengangkatan wali didahului dengan pemohon membacakan surat permohonannya (Arischa, 2019). Kemudian Pemohon akan diberi kesempatan untuk mengajukan bukti – bukti baik berupa bukti surat maupun bukti saksi – saksi dan dalam hal pemohon dapat membuktikan dalil permohonannya, maka permohonan akan dikabulkan tetapi sebaliknya jika pemohon tidak berhasil membuktikan dalil permohonannya, maka permohonan perwalian tersebut akan ditolak, dan dalam perkara permohonan upaya hukumnya hanya kasasi.

Dalam penyelesaian perkara permohonan perwalian, pengadilan hampir tidak pernah melibatkan Balai Harta Peninggalan yang secara ex-officio melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perwalian atas penetapan pengadilan karena tiap – tiap perwalian secara mutatis mutandis diperlukan kehadilan Balai Harta Peninggalan sebagai wali pengawas terhadap jalannya perwalian dan dalam melaksanakan tugasnya dapat memberikan nasihat agar perwalian tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (Putranto, 2013)

Jika dikaji beberapa penetapan hakim tentang penunjukan wali, pertimbangannya relative sumir dan tidak menjangkau kemungkinan seorang wali menggunakan harta bukan untuk kepentingan anak melainkan untuk kepentingannya sendiri sehingga anak akan dirugikan.

Konsekuensi yuridis penetapan wali adalah kewajiban seorang wali untuk mempertanggungjawabkan segala penggunaan harta anak ketika anak tersebut telah dewasa sebagai batas akhir berlakunya perwalian (Dewi, 2020), oleh karena itu seyogianya dalam amar penetapan perwalian memuat adanya kewajiban tersebut sehingga anak yang berada dalam perwalian dapat menuntut pertanggungjawaban tersebut, selain Balai Harta Peninggalan dapat memantau dan mengawasi pelaksanaan perwalian dimaksud, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 366 BW yang menentukan Balai Harta Peninggalan berwajib melakukan tugas selaku wali pengawas, yang dapat mewakili kepentingan anak dalam perwalian sebelum dewasa dalam upaya  untuk menjaga agar wali mempergunakan harta kekayaan anak untuk kepentingan dari anak yang bersangkutan, dimana Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menempatkan Balai Harta Peninggalan sebagai wali pengawas (Yustisia & Pustaka, 2016).

Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor   7 Tahun   2021 Tentang Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan menempatkan Balai Harta Peninggalan dapat mewakili dan melaksanakan pengurusan kepentingan subyek hukum dalam rangka menjalankan penetapan pengadilan dalam pengelolaan harta si anak sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda terbentuknya Balai Harta Peninggalan (BHP)  terdapat di hampir tiap-tiap Karisidenan/ Kabupaten pada waktu itu sebagai  Kantor Perwakilan, sedangkan untuk  Balai Harta Peninggalan Jakarta mempunyai Kantor Perwakilan di Bandung, Cirebon, Bogor, Sukabumi, Serang, Lampung, Palembang, Pangkal Pinang, Pontianak dan Singkawang (Putranto, 2013).

Pada  tahun 1987 seluruh kantor Balai Harta Peninggalan dihapuskan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI. Nomor M.06-PR.07.01 Tahun 1987 dan pada masa sekarang ini terdapat  5 (lima) Kantor Balai Harta Peninggalan di Indonesia, yaitu: Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Makasar, dan masing-masing meliputi wilayah kerja di daerah tingka I dan tingkat II. Pada saat ini Balai Harta Peninggalan Jakarta mempunyai wilayah kerja yang meliputi 8 (delapan) propinsi terdiri dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jambi dan Kalimantan Barat (KEPAILITAN, 2008). Penelitian dalam rangka penulisan jurnal ini bertujuan untuk  Memperoleh bahan hukum terkait dengan penetapan perwalian atas permohonan dari calon wali anak untuk dikaji dalam upaya mengetahui praktek  hukum tentang pengangkatan seorang wali.Memperoleh bahan hukum tentang regulasi yang mengatur kewenangan Balai Harta Peninggalan sebagai wali pengawas dalam melindungi harta kekayaan anak dan pengaruhnya dalam memberikan perlindungan terhadap harta anak.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis urgensi peran Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai pengawas dalam penetapan perwalian anak, mengingat dalam praktiknya pengadilan seringkali tidak melibatkan BHP, sehingga potensi penyalahgunaan wewenang oleh wali yang merugikan anak sangat tinggi.

 

Metode Penelitian

Dalam upaya mendukung tulisan ini, diperlukan bahan-bahan hukum diperoleh melalui penelitian melalui pembacaan terhadap literature terkait dan peraturan serta  karya ilmiah hukum, bahan-bahan tertulis lainnya termasuk bahan – bahan hukum  dari media cetak dan elektronik serta kamus-kamus hukum (Jonaedi Efendi et al., 2018).  Metode Penelitian yang digunakan yakni metode penelitian hukum normative, untuk menyusun pembahasan, bahan-bahan hukum dianalisis secara normatif. Dalam menganalisis bahan hukum yang diperoleh, dipergunakan teknik analisis isi (content analysis), yaitu suatu analisis terhadap isi bahan hukum  yang diperoleh secara kualitatif.

 

Hasil dan Pembahasan

Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Perwalian

Pada hakekatnya perwalian identik dengan perlindungan anak yang belum cakap melakukan perbuatan hukum, sehingga tidak terhambat haknya untuk memperoleh pendidikan dan kelayakan hidup berdasarkan harta yang sebenarnya telah dapat diambil manfaatnya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 383 ayat (1) BW, bahwa pada pokoknya menentukan bahwa kewajiban wali menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan dari anak dalam perwaliannya berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh anak tersebut.

Dalam peraturan perundang–undangan perwalian dibedakan menjadi beberapa jenis :

1.   Perwalian yang dilakukan oleh suami atau istri yang hidup terlama terhadap anak yang belum dewasa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 345-354 BW, dalam hal mana  Pasal 345 BW yang mana ketentuan ini bertentangan dengan asas pengangkatan seorang wali bagi anak yang belum dewasa yang tidak dalam kekuasaan orang tuanya sehinbgga apabila salah satu atau kedua orang tuanya masih ada, disebut menjalankan kekuyasaan orang tua sepanjang tidak dicabut haknya.

2.   Ketentuan dimaksud tidak mengatur suami isteri yang pisah karena perceraian melainkan hanya mengatur pada orang tua yang hidup paling lama yasng demi hukum mempunyai hak untuk menjalankan kekuasaan orang tua bukan wali (Wibowo & BAB, 2004).

3.   Perwalian yang disebabkan adanya penunjukan pada masa orang tuanya masih hidup berupa surat wasiat yang biasanya dibuat dalam bentuk akte notaris.

4.   Wali diangkat oleh hakim sebagaimana tertuang dalam penetapan pengadilan.

Perwalian anak diatur secara tegas dalam beberapa peraturan perundang–undangan doiantaranya adalah peraturan tentang perlindungan anak dan undang–undang perlkawinan yang menentukan bahwa wali selain orang perorangan juga badan hukum yang ditunjuk untuk menjalankan kekuasaan orang tua bagi anak yang belum berusia 18 tahun yang selain menyangkut pribadinya juga meliputi harta kekayaannya.

Salah satu syarat yang dapat ditetapkan sebagai wali dengan surat wasiat atau lisan harus dilakukan dihadapan dua orang saksi  yang sedapatnya diambil dari keluarga anak yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik sebagaimana ditentukan dalam undang – undang perkawinan, selain itu ditetapkan juga syarat khusus adanya kesamaan agama yang dianut antara anak dengan wali yang ditetapkan.

Penetapan wali dilakukan melalui permohonan ke Pengadilan Agama bagi mereka yang menganut agama Islam sedangkan ke Pengadilan Negeri bagi yang non muslim. dengan demikian  terciptanya hak perwalian harus melalui penetapan  pengadilan yang memberikan wewenang kepada para wali , yaitu :

1.   Menjadi wakil  anak dalam untuk sahnya perbuatan hukum demi kepentingan hukum si anak.

2.   Mengurus harta si anak dengan berpedoman pada agama yang dianut oleh si anak.

3.   Menyusun daftar harta benda yang menjadi hak si anak sejak ditetapkan sebagai wali.

Kekuasaan seorang wali terhadap harta kekayaan anak dalam perwaliannya tidak meliputi kekuasaan memindahtangankan atau menggadaikan barang tetap apabila bukan untuk kepentingan si anak karena pada akhirnya seorang wali akan dituntut pertanggungjawabannya atas kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaian wali.

Kewajiban seorang wali juga ditentukan dalam Hukum Islam, disebutkan bahwa:

1.   Seorang wali  wajib melakukan poengurusan terhadap anak dan harta anak dengan sebagi- baiknya  dan  berkewajiban memberikan  pengetahuan serta keterampilan sesuai dengan agama yang dianutnya demi masa depan anak yang dalam perwaliannya.

2.   Seorang wali tidak diperkenankan mengasingkan harta anak di bawah perwaliannya dengan pengecualian apabila perbuatan tersebut menguntungkan  anak  yang berada  di  bawah  perwaliannya  atau  karena emergensi atau keadaan memaksa.

3.   Seorang wali akan dituntut pertanggungjawabannya terhadap harta anak dalam perwaliannya serta mengganti kerugian jika melakukan kesalahan atau kelalaiannya.

4.   Merujuk pada pertanggungjawaban dimaksud dituntut pembuktian melalui pembukuan tertutup pada setiap tahun.

Regulasi mengenai perwalian sebagaimana telah dipaparkan di atas sama sekali tidak menempatkan Balai Harta Peninggalan yang berdasarkan peraturan peundang – undangan dengan tegas ditunjuk untuk melakukan monitoring dan supervise dalam pelaksanaan perwalian terhadap anak.

   Syarat sahnya perwalian telah ditentukan dengan tegas dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali, yang dalam konsiderannya ditentuykan bahwa tujuan penunjukan wali adalah untuk memberikan perlindungan kepada anak dan harta kekaayaan yang dimilikinya agar anak tidak kehilangan hak – hak dasarnya untuk tumbuh kembangnya melalui pengelolaan harta kekayaan yang dimiliki oleh anak tersebut.

   Seseorang dapat ditunjuk sebagai wali berdasarkan alasan orang tua anak tidak dapat melaksanakan kekuasaannya sebagai orang tua baik karena telah tiada atau tidak diketahui keberadaannya dan dalam hal seseorang mau menjadi wali diperlukan suatu syarat bahwa yang bersangkutan wajib membuat surat pernyataan yang isinya bahwa tidak akan melalukan kekerasan atau penelantaran terhadap anak yang berada dibawah perwaliannya dan menerapkan kekerasan fisik baik dengan alasan  penegakan disiplin atau alasan lain.

Dalam regulasi sebagaimana telah disebutkan di atas, ditentukan bahwa perwalian dimulai dari adanya permohonan atau wasiat orang tua yang harus memenuhi persyaratan  dan diajukan oleh calon wali ke pengadilan yang bersama – sama dengan pencabutan  kuasa asuh Dalam peraturan pemerintah tersebut ditegaskan, bahwa  penunjukan Wali dilakukan berdasarkan permohonan atau wasiat Orang Tua. Permohonan sebagaimana dimaksud harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dan disampaikan oleh seseorang atau badan hukum sebagai calon Wali kepada Pengadilan, dan diajukan bersamaan dengan permohonan pencabutan kuasa asuh yang ditetapkan dipersidangan dan seseorang ditetapkan sebagai wali setelah mendapat penetapan dari pengadilan,

Berdasarkan  pengamatan, baik dalam penetapan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama di Indonesia  amar penetapan pengadilan tentang perwalian sejak dahulu sampai saat ini hanya menetapkan Pemohon sebagai wali dari anak, sedangkan hak materiil anak dan kewajiban wali sama sekali tidak tersentuh dalam pertimbangan penetapan perwalian, pada hal dalam ketentuan perundang – undangan ditentukan bahwa perwalian bukan hanya menyangkut pribadi anak, melainkan juga termasuk harta kekayaannya sehingga terjadi sisarmoni dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asai Manuasia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan, sebagai peraturan yang merujuk pada ketentuan Pasal 366 – 375 BW dan Stb. 1872 Nomor 166 (Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia).

Penetapan perwalian dari pengadilan selama ini kurang memberikan  peran Balai Harta Peninggalan sebagai wali pengawas yang dalam Penetapan izin dari hakim selama ini tidak melibatkan peran BHP selaku wali pengawas, yang dalam proses perwalian diperintahkan oleh undangundang untuk turut campur dalam seluruh tindakan yang dilakukan wali atas nama anak, tetapi dilain pihak  dalam terjadinya proses peralihan, pemisahan dan pembagian hak anak yang melibatkan notaris dan PPAT, juga tidak melibatkan peran wali pengawas (Natasha, 2019). Proses peralihan, pemisahan dan pembagian hak tersebut dilakukan hanya berdasarkan pemenuhan syarat formal yakni adanya penetapan perwalian dan/atau izin jual dan memberikan peluang untuk menjual harta anak di bawah umur tanpa pengawasan BHP (Yani, 2022)

Urgensi pengawasan terhadap perwalian agar harta dari anak yang di bawah perwalian tidak disalahgunakan oleh wali dan sebagai langkah preventif adanya sengketa waris, maka gagasan untuk memperbarui adanya disharmoni pelaksanaan perlindungan terhadap harta kekayaan anak dalam perwalian, yang dalam hal ini kepentingan dan perbuatan hukum anak diwakili oleh wali tidak diharapkan menghilangkan salah satu peran dari pengawasan oleh negara melalui BHP, yang   bertujuan melindungi pengelolaan harta kekayaan yang menjadi hak anak dipergunakan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan dapat dipertanggungjawabkan ketika anak tersebut dewasa. Dalam mengoptimalkan tata pemerintahan yang baik, harmonisasi peraturan hukum seyogianya  dapat mencerminkan keterpaduan dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan dan penegakan hukum yang dalam kolaborasinya tercermin harmonisasi hukum (Kusnu Goesniadhie, 2010).

Berpedoman pada beberapa ketentuan di atas, penetapan permohonan perwalian memegang peranan penting dalam melindungi kepentingan dan hak anak. Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara permohonan wajib memperhatikan segala aspek secara  berhati-hati (Merchiano et al., 2023).

Dalam setiap penetapan hakim ada dua kepentingan hukum yang harus dilindungi dan dijaga, oleh karena itu penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan harus memberikan perlindungan kepada hak anak serta berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak,  dan tidak menutup kemungkinan perwalian yang diajukan, agar harta peninggalan yang menjadi hak anak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan wali dan anak, tentu pemanfaatan harta ini harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Keadaan karena dalam hukum acara perdata ditentukan bahwa hakim dilarang memutus lebih dari yang diminta oleh penggugat atau Pemohon dalam surat gugatan atau surat permohonannya.

Dalam upaya memberikan perlindungan kepada anak yang dalam perwalian, diharapkan dalam dictum penetapan dicantumkan BHP ditunjuk sebagai wali pengawas dan berhubung merupakan perintah undang – undang, maka tidak disyaratkan harus dimohon oleh pemohon dalam surat permohonannya dengan mencantumkan dictum menetapkan BHP menetapkan BHP sebagai wali pengawas tidak menyalahi ketentuan karena melaksanakan perintah peraturan perundang – undangan seperti halnya dalam perkara perceraian dalam surat gugatan tidak dituntut supaya memerintahkan panitera mengirimkan salinan putusan kepada Kantor Catatan Sipil ditempat perceraian dilangsungkan walaupun dalam gugatan tidak diminta,oleh karena itu  karena atas perintah undang–undang sehingga hakim secara eks officio dalam penetapan perwaliannya menetapkan BHP sebagai Wali Pengawas (Elza Syarief, 2021).

Bertolak dari uraian di atas dapat dipahami  bahwa hakim dalam penetapannya tidak perlu menetapkan Balai Harta Peninggalan sebagai Wali Pengawas karena secara yuridis formal peranan Balai Harta Peninggalan sebagai Wali Pengawas telah ditetapkan oleh peraturan perundang – undangan.

 

Revitalisasi Peranan Balai Harta Peninggalan Dalam Perwalian Anak

Dibatkannya Balai Harta Peninggalan dalam penetapan pengangkatan wali adalah bersifat imperative dalam penetapan pengadilan dengan ketentuan jika pabila wali tidak memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan tentang terjadinya perwalian, maka wali itu dapat dipecat (Napitupulu, 2023).

Tugas dan kewajiban wali pengawas dijabarkan secara umum dalam pasal-pasal BW, khususnya dalam pasal yang menjabarkan tentang perwalian, akan tetapi di dalam peraturan perundang-undangan lain, peran Balai Harta Peninggalan seolah-olah dikikis karena minimnya aturan perundang-undangan yang menjelaskan peran Balai Harta Peninggalan sebagai wali pengawas.

Dalam Pasal 25 dan Pasal 26  Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali  dijabarkan bahwa pengawasan terhadap wali dan urusan perwalian dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah pemerintah yang menyelenggarakan urusan social, hal mana  mengakibatkan abrasi kewenangan pada Balai Harta Peninggalan selaku Wali Pengawas yang telah ditentukan dalam peraturan setingkat Undang – Undang, yaitu Pasal 366 – 375 BW dan Stb. 1872 Nomor 166 (Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia). sehingka terjadi tumpeng tindih norma tentang tugas Balai Harta Peninggalan.

Jika dikaji  muatan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perwalian, terdapat disharmonisasi, overlapping (tumpang tindih) ketentuan peraturan, serta penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi di antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain, bahkan peraturan Pemerintah tersebut mengalahkan peraturan setingkat Undang – Undang yaitu : Pasal 366 – 375 BW dan Stb. 1872 Nomor 166 (Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia), hal mana dapat  menyebabkan hak-hak anak yang berada di bawah perwalian menjadi kurang jelas karena tidak jelasnya ketentuan hukum tentang wali pengawas, selain itu disharmonisasi tersebut cepat atau lambat akan menyebabkan kemunduran dalam perkembangan hukum di Indonesia.

Jika pemberian wali  dinyatakan sah secara hukum menjadi seorang wali, maka wali akan mengemban kewajiban – kewajiban keperdataan sebagai berikut :

a.   Memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan bahwa telah berlangsung suatu perwalian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 368 BW

b.   Menyelenggarakan pengurusan harta kekayaan anak dengan baik sesuai dengan ketentuan perundang – undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 371 BW.

c.   Mengadakan inventarisasi mengenai harta si Anak yang berada dibawah perwaliannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 386 ayat (1) BW.

d.   Membuat suatu ikatan jaminan, atau menambah jaminan yang telah ada  dalam hal harta anak yang berada dibawah perwalian semakin bertambah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 335 BW.

e.   Menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 338  BW.

f.    Mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan si anak terdapat surat piutang negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 392 BW.

g.   Mengajukan surat permohonan penjualan harta kekayaan anak yang berada di bawah perwalian kepada Pengadilan Negeri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 394 BW.

h.   Memberikan perhitungan dan tanggung jawab atas pengurusan yang sudah dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 373 jo. Pasal 409 BW.

Dalam upaya mencegah penyimpangan ataupun pelanggaran dalam perwalian, khususnya penyimpangan dalam penggunaan harta kekayaan si anak, peraturan perundang-undangan telah mengatur mengenai peran Wali Pengawas, yakni pihak yang mengawasi keberlangsungan perwalian terhadap seorang anak.

Wali Pengawas berperan untuk menjaga agar wali mempergunakan harta kekayaan anak yang berada di bawah perwalian digunakan untuk kepentingan dari anak yang bersangkutan, dalam hal mana  Pasal 366 BW jo. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa pihak yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai wali pengawas dalam hal adanya perwalian adalah Balai Harta Peninggalan.

Balai Harta Peninggalan merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis yang secara sruktural berada di bawah Direktorat Perdata, Direktorat Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang memiliki tugas pokok dan fungsi di bidang keperdataan.

Balai Harta Peninggalan pada zaman penjajahan Belanda dikenal dengan nama “Wees-en Boedelkamer” atau “Weeskamer”, yang dibentuk pertama kali berkedudukan di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1624. Balai Harta Peninggalan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan anggota VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) khusus dalam mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan oleh mereka bagi mereka para ahli waris yang berada di Nederland, anak-anak yatim piatu dan sebagainya (Simatupang, 2018).

Balai Harta Peninggalan bertindak untuk mengamati apakah wali melaksanakan kewajiban dengan baik atau tidak dan seberapa perlu memberikan nasihat kepada wali untuk melakukan kewajiban dengan sebaik-baiknya (Putranto, 2013).

Panitera pada pengadilan yang menetapkan adanya suatu perwalian harus segera memberitahukan adanya pengangkatan wali kepada Balai Harta Peninggalan sesuai dengan ketentuan Pasal 369 BW dan dengan adanya pemberitahuan tertulis kepada Balai Harta Peninggalan, maka Balai Harta Peninggalan dapat melaksanakan fungsi sebagai wali pengawas.

Dalam implementasi tugas Balai Harta Peninggalan melakukan penyumpahan sebagaimana dalam penelitian diperoleh bahan bukum sebagai berikut :

Pada hari Jum’at, tanggal 9 November 2021, Balai Harta Peninggalan Jakarta yang diwakili oleh Ario Priojati (Anggota Teknis Hukum), Muhammad (Kepala Seksi Harta Peninggalan Wilayah III) dan Sofia Annasia (Staff Seksi Harta Peninggalan Wilayah III) melakukan pengangkatan sumpah wali atas nama Muksin Amir Huwel, yang demi hukum berdasarkan Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi wali atas anak kandungnya yang masih di bawah umur bernama Fahri Ibrahim.

Pengangkatan sumpah wali tersebut dilakukan di Kantor Balai Harta Peninggalan Jakarta, Jl. MT. Haryono No. 24 A Cawang Atas Jakarta Timur. Pada kegiatan tersebut, dilakukan juga proses perbal komparisi dan pencatatan harta kekayaan di bawah tangan anak di bawah umur. Hasil dari masing-masing kegiatan tersebut kemudian dituangkan ke dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh Wali serta Anggota Teknis Hukum. Selanjutnya, Anggota Teknis Hukum menjelaskan mengenai proses pengawasan perwalian yang akan dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan Jakarta, dimana Balai Harta Peninggalan Jakarta selaku Wali Pengawas akan melakukan pengawasan terhadap perwalian secara berkala sampai dengan anak tersebut dewasa.

 

Kesimpulan

Penetapan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama tentang Perwalian Anak belum dapat memberikan nilai kesimbangan hak antara anak dan walinya, karena tidak disertai dengan penunjukan wali pengawas dalam hal ini Balai Harta Peninggalan sehingga secara preventif dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh wali terhadap harta benda anak yang dalam perwaliannya. Penetapan Pengadilan tentang perwalian anak belum mencantumkan jumlah harta atau mewajibkan wali untuk mencatat harta kekayaan milik anak dalam perwaliannya, kemudian melaporkan kepada Balai Harta Peninggalan selaku wali pengawas.

 

BIBLIOGRAFI

 

Arischa, R. (2019). Peran Pengadilan Agama dalam memberikan penetapan pengangkatan anak. IAIN Metro.

Dewi, E. C. (2020). Tinjauan yuridis mengenai perwalian anak yatim piatu yang masih dibawah umur. Perspektif Hukum, 328–346.

Elza Syarief, S. H. (2021). Praktik Peradilan Perdata: Teknis dan Kiat Menangani Perkara di Pengadilan. Sinar Grafika (Bumi Aksara).

Jonaedi Efendi, S. H. I., Johnny Ibrahim, S. H., & Se, M. M. (2018). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Prenada Media.

Kepailitan, S. P. (2008). Balai Harta Peninggalan.

Kusnu Goesniadhie, S. (2010). Harmonisasi sistem hukum: mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Nasa Media.

Merchiano, R., Syafariansyah, M., Effendi, E., Ichandri, I., & Sadli, S. (2023). Analisis Hukum dalam Penetapan Pengadilan Agama tentang Perwalian Anak Kandung yang Masih di Bawah Umur. Lex Stricta: Jurnal Ilmu Hukum, 2(1), 49–62.

Napitupulu, D. R. W. (2023). Hukum Orang dan Keluarga. UKI Press.

Natasha, S. (2019). Rekonstruksi Eksistensi Balai Harta Peninggalan Sebagai Wali Pengawas Melalui Harmonisasi Peraturan Hukum Tentang Perwalian. Majalah Hukum Nasional, 49(2), 131–160.

Putranto, N. (2013). Balai Harta Peninggalan Fungsi dan Tugas Pokoknya. Jurnal Ilmiah Balai Harta Peninggalan Surabaya.

Simatupang, T. H. (2018). Eksistensi dan Efektivitas Pelaksanaan Tugas Balai Harta Peninggalan di Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum P-ISSN, 1410, 5632.

Wibowo, S. A., & BAB, I. (2004). “Perwalian” Menurut Kuhp Perdata Dan Uu No. 1 Tahun 1974. USU Digital Library, 138.

Yani, D. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Harta Warisan Anak Melalui Revitalisasi Balai Harta Peninggalan (BHP). Jurnal Notarius, 1(1).

Yustisia, T. V., & Pustaka, V. (2016). Konsolidsai Undang-Undang Perlindungan Anak: UU RI No. 23/2002 & UU RI No. 35/2014. VisiMedia.

Zulfa, I. S. (2022). Peran Balai Harta Peninggalan Sebagai Wali Pengawas Dalam Melindungi Harta Kekayaan Anak (Studi Di Kantor Balai Harta Peninggalan Medan). Universitas Medan Area.

 

Copyright holder:

I Ketut Sudira, Natalia Maharani (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: