Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 11, November 2024

 

KAJIAN HUKUM ISLAM TENTANG PERJANJIAN PRA NIKAH SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA PERKAWINAN

 

Nazma Tsania Salsabila

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Email: [email protected]

 

Abstrak

Perjanjian pra nikah semakin penting dalam masyarakat modern saat ini, di mana kompleksitas hubungan hukum dan keuangan antara pasangan suami istri memerlukan pengaturan yang jelas untuk melindungi harta dan hak masing-masing. Penelitian ini mengkaji perjanjian pra nikah dalam konteks hukum Islam sebagai upaya perlindungan hukum terhadap harta perkawinan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis normatif untuk mengeksplorasi ketentuan hukum yang mengatur perjanjian pra nikah dan dampaknya dalam praktik kehidupan berumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian pra nikah tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi pasangan, tetapi juga berkontribusi pada pencegahan konflik di masa depan, sehingga dapat mendukung terciptanya hubungan perkawinan yang lebih harmonis dan adil.

Kata Kunci: Hukum, Keluarga, Islam, Pernikahan

                                                                                                                           

Abstract

Pre-nuptial agreements are increasingly important in today's modern society, where the complexity of legal and financial relationships between married couples requires clear arrangements to protect each other's assets and rights. This research examines pre-nuptial agreements in the context of Islamic law as an effort to legally protect marital property. This research uses a qualitative approach and normative analysis to explore the legal provisions governing pre-nuptial agreements and their impact in the practice of married life. The results show that pre-nuptial agreements not only provide legal certainty for couples, but also contribute to the prevention of future conflicts, thus supporting the creation of a more harmonious and fair marital relationship.

Keywords: Law, Family, Islam, Marriage

 

Pendahuluan

Perkawinan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), merupakan sebuah hubungan hukum antara subjek-subjek yang terikat satu sama lain (Salim & Sh, 2021). Hubungan ini dibentuk berdasarkan persetujuan yang diberikan oleh kedua belah pihak, yang bersifat mengikat (Farid, 2022). Namun, penting untuk dicatat bahwa persetujuan ini tidak sama dengan yang dijelaskan dalam Buku III KUHPerdata, karena terdapat perbedaan dalam bentuk dan isi. Dengan demikian, perkawinan dapat dipandang sebagai sebuah perjanjian, selama terdapat kehendak yang harmonis antara seorang pria dan wanita yang ingin bersatu.

Lembaga perkawinan dibentuk dengan tujuan menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah, yang berkaitan erat dengan asas percampuran harta (Idrus, 2021). Pada masa lalu, pasangan yang menikah tidak banyak mempermasalahkan hal-hal terkait harta, seperti harta bawaan masing-masing, cara pembagian harta, kewajiban nafkah, atau tanggung jawab terhadap utang yang sudah ada maupun yang akan muncul di kemudian hari. Kepercayaan dan saling pengertian antara kedua pihak menjadi fondasi penting dalam perkawinan, yang menunjukkan bahwa penyatuan individu juga mencakup penyatuan harta dalam ikatan perkawinan tersebut (Fahmi, 2019).

Seiring dengan perkembangan zaman, pengaruh budaya asing yang bersifat individualis dan materialistis mulai memasuki Indonesia melalui proses penjajahan yang mengubah pola pikir dan praktik hukum perkawinan. Salah satu dampak signifikan dari perubahan ini adalah munculnya perjanjian kawin yang mengatur harta calon pasangan suami istri. Dalam konteks hukum, perjanjian kawin menjadi elemen penting yang tidak terpisahkan dari hukum perjanjian, di mana keabsahannya harus memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal tersebut mencakup empat syarat dasar perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang terikat, kecakapan hukum, objek tertentu, dan alasan yang sah (Hardiyani, 2023).

Perlindungan harta dalam perkawinan memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas keuangan dan menghindari potensi konflik di kemudian hari (Noverisa, 2024). Perkawinan tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga melibatkan penyatuan aset dan keuangan masing-masing pihak. Dengan mengatur pembagian dan kepemilikan harta yang jelas melalui perjanjian pranikah atau kesepakatan yang terstruktur, pasangan dapat melindungi kepentingan masing-masing dan meminimalisir risiko sengketa harta di masa mendatang. Selain itu, perlindungan harta juga penting untuk memastikan bahwa hak dan kewajiban finansial antara suami dan istri dipenuhi secara adil, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun jika terjadi perceraian (Sofyan, 2023).

Perjanjian pra nikah di Indonesia diatur secara sah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Siswanti, 2021). Pasal 29 UU ini menjelaskan bahwa sebelum atau selama perkawinan berlangsung, pasangan dapat membuat kesepakatan yang mengatur pengelolaan harta kekayaan mereka. Kesepakatan ini, dikenal sebagai perjanjian pra nikah (atau perjanjian kawin), harus disetujui oleh kedua belah pihak dan dituangkan secara tertulis sebelum perkawinan dicatat. Dalam perjanjian tersebut, pasangan dapat menentukan pembagian harta selama perkawinan, baik terkait harta bersama maupun harta bawaan masing-masing. Selain itu, dalam konteks hukum Islam di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 45 ayat 1 KHI mengatur mengenai izin untuk mencantumkan taklik talak dalam Perjanjian Kawin (Azkia, 2023). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa, “Kedua calon mempelai diperbolehkan untuk membuat perjanjian perkawinan dalam bentuk: 1. Taklik talak dan 2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”

Kedudukan hukum perjanjian pra nikah adalah sah dan mengikat kedua belah pihak sebagaimana kontrak lainnya yang diakui dalam hukum positif di Indonesia (Pratama et al., 2024). Perjanjian ini tidak hanya berlaku selama perkawinan berlangsung, tetapi juga dapat mencakup pengaturan terkait pembagian harta jika terjadi perceraian atau kematian salah satu pasangan. Dalam praktiknya, perjanjian pra nikah berfungsi sebagai alat hukum yang melindungi hak-hak pasangan terkait kepemilikan harta, baik dalam perkawinan maupun setelahnya.

Perkembangan tren perjanjian pra nikah di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengaturan harta kekayaan dalam pernikahan. Meskipun pada awalnya perjanjian pra nikah cenderung dipandang tabu atau dianggap sebagai tanda ketidakpercayaan antara pasangan, kini banyak pasangan yang semakin terbuka dalam menyusun perjanjian ini. Fenomena ini didorong oleh pemahaman bahwa perjanjian pra nikah bukan hanya untuk melindungi hak pasangan, tetapi juga memberikan kepastian hukum dalam mengatur harta yang dimiliki sebelum dan selama perkawinan.

Salah satu alasan utama semakin banyak pasangan memilih membuat perjanjian pra nikah adalah untuk melindungi bisnis keluarga atau kekayaan pribadi yang sudah dimiliki sebelum pernikahan. Di tengah pertumbuhan ekonomi, banyak individu memiliki aset yang cukup besar, termasuk properti, investasi, atau saham dalam perusahaan, sehingga merasa perlu melindungi kekayaan tersebut. Selain itu, bagi pasangan yang menjalankan bisnis bersama atau terlibat dalam bisnis keluarga, perjanjian pra nikah membantu mengatur dengan jelas pembagian tanggung jawab dan hak terkait harta kekayaan dalam perusahaan. Selain itu, tren ini juga didorong oleh kesadaran akan risiko perceraian atau ketidakpastian finansial, sehingga perjanjian pra nikah menjadi langkah preventif untuk menghindari sengketa di kemudian hari (Suprapti et al., 2024).

Potensi konflik dan sengketa harta dalam perkawinan sering muncul saat pasangan menghadapi perceraian, terutama terkait pembagian harta bersama dan harta bawaan. Sengketa ini biasanya disebabkan oleh ketidakjelasan pengelolaan aset selama perkawinan, termasuk aset yang dihasilkan bersama, investasi, properti, dan utang yang mungkin terjadi dalam rumah tangga. Ketidaksepakatan mengenai siapa yang berhak atas harta tertentu seringkali memperpanjang proses perceraian dan menambah ketegangan emosional. Di Indonesia, meskipun undang-undang mengatur tentang harta bersama, implementasi dan pembagian harta sering kali memicu konflik, terutama ketika pasangan memiliki kekayaan melimpah. Dalam konteks ini, perjanjian pra nikah dianggap sebagai salah satu solusi efektif untuk meminimalisir sengketa harta pasca perceraian. Dengan adanya kesepakatan yang jelas dan tertulis sebelum pernikahan, pasangan dapat menghindari ketidakpastian dan sengketa di kemudian hari, serta memastikan bahwa hak dan kewajiban terkait harta telah disepakati secara adil sejak awal.

Kajian mengenai perjanjian pra nikah dalam perspektif hukum Islam sangat relevan dan mendesak di masa sekarang, terutama dalam konteks perlindungan hak-hak perempuan dan keadilan dalam pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan. Di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya hak ekonomi bagi perempuan dan perlunya kesetaraan gender, perjanjian pra nikah dapat menjadi alat hukum yang efektif untuk memastikan bahwa hak-hak finansial istri terjaga, baik selama pernikahan maupun pasca perceraian. Dalam hukum Islam, perjanjian ini juga sejalan dengan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap harta pribadi, yang memberikan ruang bagi istri untuk menjaga haknya atas mahar dan harta bawaan. Mengingat meningkatnya kompleksitas hubungan ekonomi dalam perkawinan modern, kajian ini memberikan wawasan penting bagi pasangan Muslim untuk merancang pernikahan yang tidak hanya didasarkan pada cinta dan kepercayaan, tetapi juga diiringi dengan perlindungan hukum yang kuat terhadap hak-hak harta masing-masing pihak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana perjanjian pra nikah dapat menjadi sarana perlindungan hukum yang efektif terhadap harta kekayaan dalam perkawinan, khususnya dalam perspektif hukum Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi ketentuan-ketentuan syariat yang mengatur hak dan kewajiban suami-istri dalam hal harta, serta bagaimana perjanjian pra nikah dapat membantu mencegah terjadinya konflik harta di kemudian hari. Selain itu, penelitian ini berusaha mengidentifikasi peran perjanjian tersebut dalam melindungi hak-hak perempuan, menjaga keadilan dalam pembagian harta, serta memberikan kepastian hukum bagi pasangan yang menikah. Melalui kajian ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang relevansi dan manfaat perjanjian pra nikah dalam konteks hukum Islam dan praktik perkawinan modern.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yang berfokus pada analisis terhadap ketentuan-ketentuan hukum Islam yang relevan dengan perjanjian pra nikah. Pendekatan ini melibatkan studi kepustakaan, yang mencakup penelusuran literatur-literatur primer terkait aturan-aturan harta dalam perkawinan. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis hukum positif Indonesia, terutama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, untuk memahami bagaimana aturan perjanjian pra nikah diterapkan dalam konteks hukum nasional.  Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi. Hasil dari analisis ini akan dipresentasikan dalam bentuk narasi yang sistematis, disertai dengan kesimpulan yang menunjukkan bagaimana perjanjian pra nikah berfungsi sebagai instrumen perlindungan hukum dalam konteks perkawinan di Indonesia. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang mendalam mengenai kedudukan hukum perjanjian pra nikah dalam Islam serta relevansinya sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap harta dalam perkawinan.

 

Hasil dan Pembahasan

Konsep Perjanjian Pra Nikah dalam Perspektif Hukum Islam

Perjanjian pra nikah dalam hukum Islam adalah sebuah kesepakatan yang dibuat oleh calon suami dan istri sebelum pernikahan yang mengatur hak dan kewajiban mereka terkait harta kekayaan selama dan setelah perkawinan (Assidik & Gassing, 2019). Dalam Islam, perjanjian atau akad memiliki posisi penting sebagai kontrak yang sah selama memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti adanya kerelaan dari kedua belah pihak, kejelasan isi perjanjian, dan tidak melanggar prinsip-prinsip syariat (Naufal, 2023). Perjanjian pra nikah termasuk dalam cakupan akad karena ia berfungsi sebagai kesepakatan yang mengikat secara hukum antara kedua pihak, dengan tujuan untuk menjaga keadilan dan mencegah perselisihan, khususnya terkait pengelolaan harta bawaan, mahar, serta harta yang diperoleh selama pernikahan (Suprapti et al., 2024). Dalam hal ini, perjanjian pra nikah bisa dilihat sebagai bentuk ikhtiar dari pasangan untuk mengatur harta sesuai dengan syariat Islam, yang juga mencakup perlindungan terhadap hak-hak istri dan suami dalam kehidupan perkawinan.

Perjanjian pra nikah dapat memberikan perlindungan yang jelas terhadap harta bawaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak sebelum pernikahan. Dalam hukum Islam, harta yang dimiliki sebelum menikah dikenal sebagai harta bawaan yang sepenuhnya menjadi milik individu tersebut dan tidak berubah statusnya setelah pernikahan, kecuali jika disepakati sebaliknya. Melalui perjanjian pra nikah, pasangan dapat secara eksplisit menentukan bahwa harta bawaan tidak akan digabungkan dengan harta bersama, sehingga jika terjadi perceraian, harta tersebut tetap menjadi hak pribadi masing-masing. Islam mengajarkan keadilan dalam hal ini di mana suami dan istri berhak mempertahankan kepemilikan atas harta yang telah mereka bawa ke dalam pernikahan, sementara harta yang diperoleh selama pernikahan dianggap sebagai harta bersama yang diatur lebih lanjut (Teguh, 2023).

Perjanjian pra nikah juga memainkan peran penting dalam mengatur pengelolaan harta suami dan istri selama masa perkawinan (Selinah, 2024). Perjanjian ini dapat mencakup kesepakatan tentang bagaimana harta yang diperoleh selama pernikahan akan dikelola, dibagi atau digunakan termasuk pembagian keuntungan dari aset bersama atau pengelolaan utang. Jika terjadi perceraian, perjanjian pra nikah memungkinkan pasangan untuk menghindari perselisihan dengan memiliki pengaturan yang jelas mengenai pembagian harta, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam tentang keadilan dan hak-hak individu. Dengan adanya kesepakatan ini, konflik dapat diminimalisir, sehingga harmoni rumah tangga dapat terjaga selama perkawinan. Kesepakatan yang matang dan transparan dalam pengelolaan harta juga dapat memberikan rasa aman bagi kedua belah pihak serta memastikan bahwa hak dan kewajiban terkait harta kekayaan telah ditentukan sejak awal.

 

Bentuk Perlindungan Hukum Perjanjian Pra Nikah Terhadap Harta Bawaan dalam Perkawinan

Perjanjian Pra Nikah, yang juga dikenal sebagai Perjanjian Perkawinan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa sebelum atau saat pernikahan dilangsungkan, kedua pihak dapat membuat perjanjian tertulis atas kesepakatan bersama, yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Setelah disahkan, perjanjian tersebut juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang mereka terlibat. Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa perjanjian yang dimaksud tidak termasuk dalam ta'lik talak (Pratama et al., 2024).

Perjanjian Pra Nikah dianggap tidak sah jika melanggar hukum, agama, atau kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Assidik & Gassing, 2019). Perjanjian ini mulai berlaku sejak pernikahan dilangsungkan dan hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua belah pihak, asalkan perubahan tersebut tidak merugikan salah satu pihak maupun pihak ketiga. Konsep perjanjian pra nikah awalnya berasal dari hukum perdata barat yang diadopsi ke dalam KUHPerdata. Dalam Pasal 139 KUHPerdata disebutkan bahwa calon suami-istri dapat membuat penyimpangan dari aturan mengenai persatuan harta kekayaan, selama perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Masri & Wahyuni, 2021).

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperluas cakupan Perjanjian Pra Nikah, tidak hanya terbatas pada pengaturan harta benda, tetapi juga hal-hal lain selama tidak bertentangan dengan hukum, agama, kesusilaan, moral, atau adat istiadat. Namun, perjanjian ini tidak diperbolehkan jika isinya bertentangan dengan prinsip agama, seperti menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Sebagai contoh, sebuah perjanjian pra nikah yang menyatakan bahwa seluruh harta suami akan diwariskan sepenuhnya kepada istri jika suami meninggal tanpa anak, bertentangan dengan aturan Islam. Dalam hukum Islam, harta warisan suami yang meninggal tanpa anak tidak seluruhnya diberikan kepada istri, melainkan juga dibagi kepada saudara kandung atau orang tua suami yang masih hidup.

Perjanjian pra nikah sering kali disusun untuk melindungi hak-hak hukum atas harta bawaan masing-masing pasangan. Meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara rinci isi dari perjanjian tersebut, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu tidak boleh melanggar batasan hukum, agama, dan kesusilaan. Umumnya, isi dari perjanjian pra nikah mencakup beberapa aspek penting, seperti pemisahan harta yang diperoleh sebelum perkawinan, pengaturan pencampuran atau pemisahan harta yang diperoleh setelah perkawinan, dan pemisahan hutang yang muncul sebelum, selama, dan setelah pernikahan, termasuk dalam hal perceraian atau kematian. Selain itu, perjanjian ini juga mengatur hak dan kewajiban suami istri, pembagian peran dalam rumah tangga, tanggung jawab terhadap pendidikan dan keuangan anak-anak yang lahir selama pernikahan, serta hak asuh anak jika terjadi perselingkuhan, perceraian, atau kematian. Semua ini disusun dengan tetap memperhatikan norma agama, kesusilaan, dan hukum yang berlaku.

Perjanjian pra nikah memberikan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing pasangan dengan tujuan memproteksi aset yang dimiliki sebelum pernikahan. Melalui perjanjian ini, pasangan dapat menentukan kepemilikan harta bawaan secara jelas, termasuk aset yang diperoleh melalui hadiah atau warisan, yang tetap berada di bawah kendali masing-masing pihak kecuali ada kesepakatan lain. Perjanjian ini bertujuan untuk menghindari konflik di masa depan dan memberikan landasan hukum yang kuat bagi kedua belah pihak terkait hak dan kewajiban mereka dalam pernikahan. Keunggulan perjanjian pra nikah adalah kemampuannya untuk melindungi hak-hak pasangan, bahkan mengesampingkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jika terjadi perceraian atau sengketa. Dengan adanya perjanjian ini, beberapa manfaat yang diperoleh antara lain pemisahan harta yang dimiliki sebelum pernikahan, tanggung jawab hutang tetap pada masing-masing pasangan, menjaga keberlangsungan harta peninggalan keluarga, dan menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat.

Perjanjian pra nikah yang semula diwajibkan untuk dibuat dalam bentuk akta notaris sebelum pernikahan, kini memiliki dimensi baru setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 pada tahun 2015. Putusan ini mengubah pemahaman bahwa perjanjian perkawinan tidak hanya dapat dibuat sebelum pernikahan, tetapi juga bisa dilakukan setelah pernikahan berlangsung. Hal ini memberikan fleksibilitas kepada pasangan untuk menetapkan kesepakatan terkait harta dan tanggung jawab mereka, dengan perjanjian tersebut tetap berlaku efektif sejak pernikahan dilangsungkan (Azkia, 2023). Dengan demikian, perjanjian pra nikah kini dapat dijadikan alat yang lebih adaptif untuk mengatur hubungan keuangan dan harta dalam konteks pernikahan.

Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, ketentuan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengalami perubahan signifikan. Ketentuan baru ini menyatakan bahwa kedua pihak dapat membuat perjanjian tertulis, baik sebelum pernikahan berlangsung maupun selama ikatan perkawinan dengan persetujuan bersama. Perjanjian tersebut harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, dan setelah disepakati isinya akan berlaku juga terhadap pihak ketiga yang terlibat. Perubahan ini memberikan landasan hukum yang lebih fleksibel dan adaptif bagi pasangan dalam mengatur hak dan kewajiban mereka, sekaligus memastikan perlindungan yang lebih baik dalam hubungan perkawinan.

Perlindungan hukum terhadap harta bawaan dalam Perjanjian Pra Nikah juga dapat ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang antara lain mencakup (Putri et al., 2024):

1) Suami atau istri memiliki niat buruk terkait utang piutang dengan pihak ketiga

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1081 K/SIP/1978, dinyatakan bahwa jika terdapat perjanjian perkawinan antara suami dan istri yang tidak diinformasikan kepada pihak ketiga saat transaksi berlangsung, maka jelas bahwa suami istri tersebut beritikad buruk. Mereka menggunakan perjanjian perkawinan sebagai perlindungan untuk menghindari tuntutan hukum dari pihak yang memberi utang. Tindakan ini bertentangan dengan prinsip ketertiban hukum, sehingga perjanjian tersebut harus dinyatakan tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi pihak ketiga yang beritikad baik. Dengan demikian, suami dan istri tetap bertanggung jawab secara bersama atas utang yang dibuat oleh salah satu dari mereka, beserta semua konsekuensi hukumnya.

2) Terjadi pelanggaran terhadap isi perjanjian yang dilakukan oleh suami.

Setelah akta perjanjian kawin disusun, jika calon suami melanggar isi perjanjian sebelum pernikahan berlangsung, calon istri berhak untuk meminta pembatalan pernikahan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa "pelanggaran terhadap perjanjian kawin memberikan hak kepada istri untuk mengajukan permohonan pembatalan nikah." Dengan demikian, pelanggaran tersebut dapat menjadi dasar bagi calon istri untuk mengambil langkah hukum dalam melindungi hak-haknya.

3) Jika selama pernikahan suami melanggar isi perjanjian kawin, maka istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama (Pasal 51 KHI). 

4) Jika terjadi sengketa sipil terkait dengan isi perjanjian kawin.

Perjanjian Pra Nikah yang telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan memiliki kekuatan mengikat dan berlaku layaknya undang-undang bagi para pihak yang terlibat, termasuk pihak ketiga jika berkaitan. Jika perjanjian tersebut dilanggar atau tidak dilaksanakan, pasangan berhak untuk meminta pembatalan pernikahan atau menggunakannya sebagai alasan untuk mengajukan gugatan cerai. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau menjadikannya dasar gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

 

Akibat Hukum Perjanjian Pra Nikah Terhadap Harta Bawaan dalam Perkawinan

Perjanjian Pra Nikah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan kesepakatan yang dibuat oleh dua calon pasangan suami-istri baik sebelum atau pada saat pernikahan berlangsung dengan tujuan mengatur konsekuensi hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan mereka. Untuk memastikan bahwa perjanjian ini sah dan mengikat bagi semua pihak yang terlibat serta pihak ketiga terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Keabsahan perjanjian kawin ini berfokus pada tiga aspek penting (Tsamara & Kartika, 2024).

a. Syarat Subjektif, dalam Perjanjian Pra Nikah berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian, yaitu mengenai identitas dan keadaan pribadi dari masing-masing calon pasangan.

b. Syarat Formal, terdiri dari:

a) Perjanjian Pra Nikah harus disusun di depan notaris dalam bentuk akta otentik atau akta notariil. 

b) Perjanjian Pra Nikah harus dibuat dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum dilangsungkannya ijab kabul antara kedua mempelai. 

c) Perjanjian Pra Nikah mulai berlaku sejak perkawinan dilaksanakan.

c. Syarat Material, dalam Perjanjian Pra Nikah berkaitan dengan konten yang diatur oleh undang-undang. Isi dari perjanjian tersebut sepenuhnya menjadi wewenang calon pasangan yang akan menikah, asalkan tidak melanggar batasan hukum, norma agama, dan etika. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi pasangan untuk menyusun kesepakatan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai mereka.

Tujuan utama dari pembuatan Perjanjian Pra Nikah adalah untuk mengatur dampak hukum dari perkawinan terhadap harta kekayaan masing-masing calon pasangan. Oleh karena itu, segala ketentuan yang bertujuan lain dan tidak sesuai dengan yang diizinkan oleh undang-undang dianggap dilarang dan tidak diperkenankan. Hal ini bertujuan untuk menjaga kejelasan dan keadilan dalam pengelolaan harta selama dan setelah perkawinan berlangsung.

Akibat hukum dari Perjanjian Pra Nikah adalah terikatnya kedua pihak selama mereka berada dalam ikatan perkawinan. Jika perjanjian tersebut tidak dilaksanakan dengan baik dan salah satu pihak merasa dirugikan akibat pelanggaran yang dilakukan, pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan keberatan melalui permohonan gugatan kepada hakim. Dengan adanya Perjanjian Pra Nikah yang umumnya mengatur percampuran atau pemisahan harta sebelum dan selama perkawinan, kedua pihak memiliki kepastian mengenai pengelolaan harta mereka, sehingga dapat menghindari sengketa di masa depan:

1) Harta bawaan dalam perkawinan, termasuk harta yang diperoleh dari usaha pribadi, hibah, warisan, atau pemberian cuma-cuma selama perkawinan, tetap berada di bawah kendali masing-masing pasangan, kecuali ditentukan lain. 

2) Semua utang yang dibawa oleh pasangan ke dalam perkawinan, serta utang yang dibuat selama perkawinan, tetap menjadi tanggung jawab masing-masing. 

3) Istri memiliki hak penuh untuk mengelola harta pribadinya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, termasuk hasil dan pendapatan yang berasal dari harta tersebut, pekerjaan, atau sumber lainnya. 

4) Dalam mengurus hartanya, istri tidak memerlukan bantuan atau wewenang dari suami.

                                       

Kesimpulan

Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perjanjian pra nikah memiliki peran penting sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap harta perkawinan dalam perspektif hukum Islam. Melalui perjanjian ini, calon pasangan suami istri dapat secara jelas mengatur hak dan kewajiban masing-masing terkait dengan pengelolaan harta, baik yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Perlindungan yang diberikan oleh perjanjian pra nikah tidak hanya melindungi kepentingan pribadi masing-masing pasangan, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi pihak ketiga. Dengan demikian, perjanjian pra nikah berfungsi sebagai instrumen hukum yang efektif dalam mencegah sengketa dan konflik di masa depan, serta mendukung terciptanya hubungan perkawinan yang harmonis dan adil.

 

BIBLIOGRAFI

 

Assidik, A., & Gassing, A. Q. (2019). Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Prenuptial Agreement atau Perjanjian Pra Nikah. Qadauna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam, 1(1), 1–16.

Azkia, L. N. (2023). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Perkawinan. Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Fahmi, A. (2019). Konstruksi Hukum Adat Pernikahan Masyarakat Melayu Palembang Berdasarkan Syar’iat Islam. Medina-Te: Jurnal Studi Islam, 15(1), 17–38.

Farid, A. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Perkawinan Dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin. Universitas Bhayangkara Surabaya.

Hardiyani, Y. I. P. (2023). Rekonstruksi Keabsahan Perjanjian Kawin Pasca Pernikahan Berbasis Nilai Keadilan. Universitas Islam Sultan Agung.

Idrus, A. (2021). Urgensitas Perjanjian Perkawinan Dalam Membentuk Keluarga Sakinah Perspektif Hukum Keluarga Islam (Analisis Pasal 29 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974). UIN Raden Intan Lampung.

Masri, E., & Wahyuni, S. (2021). Implementasi perjanjian perkawinan sebelum, saat dan sesudah perkawinan. Jurnal Kajian Ilmiah, 21(1), 111–120.

Naufal, H. (2023). Kedudukan hukum akta perjanjian kawin dalam rangka memberi perlindungan bagi suami dan istri di kabupaten rembang. Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia).

Noverisa, O. (2024). Tinjauan Yuridis Efektivitas Perjanjian Pra Nikah (Prenuptial Agreement) Apabila Terjadi Konflik Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di KUA Kecamatan Semarang Selatan). Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Pratama, M. A., Zega, M. S., Muhdiya, I., Butar, H. F. B., & Maylafaiza, H. (2024). Perjanjian Pranikah dalam Perspektif Hukum Perdata di Indonesia. As-Syirkah: Islamic Economic & Financial Journal, 3(3), 1556–1565.

Putri, A. M., Nawi, S., & Risma, A. (2024). Konsekuensi Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam. Journal of Lex Theory (JLT), 5(2), 763–781.

Salim, H. S., & Sh, M. S. (2021). Pengantar Hukum perdata tertulis (BW). Bumi Aksara.

Selinah, S. H. (2024). Urgensi Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Sebagai Pencegahan Perceraian Di Kabupaten Karimun Perspektif Sadd Al-Zariah. Uin Suska Riau.

Siswanti, E. (2021). Perjanjian Pra Nikah Dalam Prespektif Hukum Islam. Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum), 7(2), 433–447.

Sofyan, A. (2023). Perjanjian Pra-Nikah Perspektif Islam: Studi Fenomenologi di Era Society 5.0. Qonuni: Jurnal Hukum Dan Pengkajian Islam, 3(2), 99–109.

Suprapti, H., Dedi, S., & Saputra, H. (2024). Urgensitas Perjanjian Perkawinan Dalam Membentuk Keluarga Sakinah. Institut Agama Islam Negeri Curup.

Teguh, H. P. (2023). Teori dan Praktik Pembagian Harta Kekayaan dalam Perkawinan-Metode Pembagian Harta Kekayaan Antara yang Hak dan Batil. Penerbit Andi.

Tsamara, R. T., & Kartika, A. W. (2024). Tinjauan Yuridis Mengenai Perjanjian Pra Nikah Dalam Bentuk Lisan. Kabillah: Journal of Social Community, 9(1), 65–80.

 

 

Copyright holder:

Nazma Tsania Salsabila (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: