Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 11, November 2024

 

AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT DAN DITANDATANGANI DI HADAPAN NOTARIS YANG TIDAK DIDAFTARKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL

 

Albern Derian1, Maman Sudirman2

Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Dalam studi kasus dari Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 126/PDT/2021/PT Sby, terjadi perselisihan keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris sebelum perkawinan antara Terbanding yang bernama Lidyawati dengan Almarhum Mochamad Iming Sulaiman yang berujung pada sengketa harta waris antara Pembanding I yang merupakan saudara kandung Almarhum dengan Terbanding dan perjanjian tersebut tidak didaftarkan di kantor catatan sipil serta tidak melekat pada akta perkawinan antara Terbanding dengan almarhum tersebut. Objek penelitian yang terdapat dalam putusan ini adalah mengenai akibat hukum atas perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana akibat hukum terhadap Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat dan ditandatangani oleh Notaris yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil adalah tidak sah bagi kedua belah pihak sebagai suami istri, sesuai yang diputuskan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dan diperkuat oleh Majelis Hakim Tingkat Banding.

Kata Kunci: Perjanjian Perkawinan, Kantor Catatan Sipil, Akibat Hukum.

                                                                                                                           

Abstract

In the case study of the Surabaya High Court Decision Number 126/PDT/2021/PT Sby, a dispute arose regarding the validity of a prenuptial agreement made by a notary before the marriage between the Appellee, Lidyawati, and the late Mochamad Iming Sulaiman. This dispute led to an inheritance conflict between Appellant I, who is the late individual's sibling, and the Appellee. The agreement was not registered with the civil registry office and was not attached to the marriage certificate between the Appellee and the deceased. The research focus of this case study is on the legal consequences of a prenuptial agreement that is not registered with the civil registry office. The research purpose is to determine and analyze the legal consequences of a prenuptial agreement deed that is made and signed by a notary but not registered with the civil registry office. The research method employed is normative juridical and descriptive analytical. The findings indicate that legal consequences of a marriage contract that is not registered at the Civil Registry Office are invalid for both parties as husband and wife, as decided by the Panel of Judges at the First Level and reinforced by the Panel of Judges at the Appellate Level.

Keywords: Prenuptial Agreement, Civil Registry Office, Legal Consequences.

 

 

 

Pendahuluan

Secara naluriah, manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bersama dengan seseorang dalam ikatan perkawinan. Perkawinan adalah hasrat seksual yang dimiliki oleh semua mahluk hidup. Kitab suci mengajarkan dan menuntun bagaimana melakukan perkawinan sebagai suatu kebaikan yang harus dilakukan oleh manusia.

Perkawinan sejak lama telah menjadi amatan para ahli sosiologi dan antropologi. Cara manusia untuk melakukan perkawinan berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Dalam kehidupan manusia, perkawinan tidak hanya berkaitan dengan hasrat dan kesenangan, tetapi juga sebagai bagian dari aspek kemasyarakatan. (Setyaningsih dan Nugrahani, 2021)

Sebagai satu bagian dari siklus hidup manusia, perkawinan merupakan hal yang kaya akan budaya dimana perkawinan itu dilaksanakan. Hal ini merupakan landasan bagi terbentuknya suatu keluarga. Keluarga merupakan suatu kelompok individu yang ada hubungannya, hidup bersama dan bekerja sama di dalam satu unit. Keberlangsungan suatu bangsa bergantung pada keberadaan unit kecil yang disebut keluarga yang diawali dengan perkawinan. (Oktarina et al., 2015)

Sejak mulai perkawinan terjadi, kekayaan suami dan kekayaan istri bercampur menjadi kekayaan bersama, jikalau tidak diikat dengan sebuah perjanjian. Keadaan yang demikian akan terus berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan. Jika misalnya salah satu dari kedua belah pihak ingin memilah beberapa bagian dari kekayaan masing-masing, maka ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatuperjanjian perkawinan” (huwelijksvoorwaarden). (Rofiq, 2015)

Perjanjian Perkawinan dituangkan dalam bentuk akta. Istilah akta dalam bahasa Belanda disebutacte” dan dalam bahasa Inggris disebutactataudeed”. Disebutkan bahwa ”acta” merupakan bentuk jamak dari ”actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan.

Subekti dan Tjitrosoedigio mengartikan akta secara luas, yaitu perbuatan hukum (Rechts Handeling) yang meliputi suatu tulisan yang dibuat sebagai bukti suatu perbuatan hukum, tulisan sebagai sesuatu yang dapat dibedakan antara surat otentik dan di bawah tangan. (Perjannah, 2016)

Perjanjian perkawinan adalah bentuk proteksi atau perlindungan apabila dikemudian hari terjadi hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan seperti perceraian, kematian atau salah satu pihak mengalami kepailitan. Pembuatan perjanjian perkawinan bukanlah suatu keharusan yang harus ada dalam perkawinan, tetapi lebih kepada sebuah pilihan hukum bagi calon pasangan suami istri untuk melakukannya atau tidak. (Fauzillah, 2023)

Dasar hukum perjanjian perkawinan sebagai bagian dari syarat perkawinan ini diatur di dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan) jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015 (selanjutnya disebut dengan Putusan MK) yang menyebutkan bahwa: “pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Selain itu Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan jo Putusan MK juga menyebutkan bahwaperjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.”

Perjanjian perkawinan, yang umumnya dikenal sebagai perjanjian nikah dan perjanjian kawin, merupakan kesepakatan yang dibuat oleh calon suami dan istri. Kesepakatan ini dibuat secara resmi di hadapan seorang Notaris dengan akta autentik atau pihak yang menyatakan dimana keduanya tersebut telah sepakat dan setuju untuk membuat perjanjian perkawinan. (Royani, 2017)

Kehadiran Notaris dalam pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan sangat penting karena Notaris memiliki peran krusial dalam proses ini. Jika perjanjian perkawinan dibuat melalui akta yang disusun oleh Notaris, maka perjanjian tersebut akan terjamin tidak merugikan pihak-pihak yang terlibat dikarenakan Notaris memiliki kewajiban, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJNP). Pasal 16 ayat (1) huruf a dari UUJNP menyatakan bahwa Notaris wajib bertindak jujur, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak saat menjalankan tugasnya. Dengan demikian, keberadaan Notaris memberikan jaminan bahwa perjanjian perkawinan dibuat secara transparan, adil, dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. (Witariyani, 2021)

Sesuai Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK, sebenarnya Perjanjian Perkawinan cukup disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris sebagai alternatifnya. Tetapi berdasarkan Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri No.472.2/5876/Dukcapil (SE Dukcapil) yang diterbitkan tanggal 19 Mei 2017 tersebut menyebutkan bahwa berdasarkan tindak lanjut dari Putusan MK, perjanjian perkawinan dengan akta Notaris ini dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Instansi Pelaksana.

Penulis dalam hal ini juga akan mengambil studi kasus dari Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 126/PDT/2021/PT Sby (selanjutnya disebut Putusan PT Surabaya) dimana dalam singkat ceritanya terjadi perselisihan keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris sebelum perkawinan antara Terbanding yang bernama Lidyawati dengan Almarhum Mochamad Iming Sulaiman yang berujung pada sengketa harta waris antara Pembanding I yang merupakan saudara kandung almarhum dengan Terbanding dan perjanjian tersebut tidak didaftarkan di kantor catatan sipil serta tidak melekat pada akta perkawinan antara Terbanding dengan almarhum tersebut.

Hal ini tentu menimbulkan persoalan baru terkait akibat hukum dari akta perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil walau Putusan MK memperbolehkan pengesahan perjanjian perkawinan oleh antara Notaris atau Pegawai Pencatat Perkawinan sebagai bentuk pilihan alternatif. Walau Putusan MK tidak pernah disinggung dan disebut di dalam Putusan PT Surabaya, tetapi kita perlu mengetahuinya apakah Putusan MK dapat dijadikan dalil di dalam Putusan PT Surabaya terkait keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat antara Terbanding dengan Almarhum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana akibat hukum terhadap Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat dan ditandatangani oleh Notaris yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil.

 

Metode Penelitian

Penelitian hukum normatif (legal research) biasanyahanyamerupakan studi dokumen, yakni menggunakan sumber bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan/ketetapan pengadilan, kontrak/perjanjian/akad, teori hukum, dan pendapat para sarjana. Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. (Muhaimin, 2020)

Berdasarkan pandangan dari Hans Kelsen, teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud adalah teori hukum murni, yang disebut teori hukum positif. Teori hukum murni, karena ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasan dari segala hal yang tidak bersangkut paut dengan hukum. Sebagai teori, ia menjelaskan apa itu hukum, dan bagaimana ia ada. (Fardiansyah et al., 2023)

Dilihat dari sudut jenis yang doktriner maupun normatif, penelitian hukum normatif di Indonesia memiliki kesamaan dengan penelitian hukum common law. Dalam sistem hukum common law, penelitian hukum lebih cenderung kepada aspek praktis, yaitu umumnya digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum konkret dan dilakukan oleh praktisi hukum. Baik berupa penyelesaian sengketa maupun keinginan untuk memahami bagaimana dan di mana suatu permasalahan hukum diatur oleh hukum. Penelitian tersebut dilakukan melalui analisis fakta-fakta hukum, peraturan hukum yang relevan, bahkan melibatkan pemeriksaan kasus-kasus yang berkaitan dengan pertanyaan yang ingin dipecahkan. (Sonata, 2014)

Endang Saefullah Wiradipradja menguraikan bahwa, penelitian hukum normatif merupakanpenelitian hukum yang mengkaji norma hukum positif sebagai obyek kajiannya”. Dalam penelitian hukum normatif, hukum tidak lagi dipandang sebagai sebuah hal yang bersifat utopia semata tetapi telah terlembaga dan telah ditulis dalam bentuk norma, asas dan lembaga hukum yang ada. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum dogmatik yang mengkaji, memelihara dan mengembangkan bangunan hukum positif dengan bangunan logika. (Wiradipradja, 2015)

Sedangkan pengertian dari metode deskriptif analitis yaitu data yang diperoleh akan dijabarkan dalam penelitian ini dengan memberikan gambaran mengenai masalah hukum dan sistem hukum. Selanjutnya, data akan dikaji dan dianalisis sesuai dengan kebutuhan penelitian, dengan merinci analisis berdasarkan teori-teori yang ada. Pendekatan ini bertujuan untuk mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam tesis ini. (Saskia, 2015)

 

Hasil dan Pembahasan

Kasus Pengadilan Tinggi Surabaya

Almarhum Mochamad Iming Sulaiman yang selanjutnya disebut sebagai Almarhum saja pernah melangsungkan perkawinannya kedua kali, yang pertama pada tahun -/+ 1988 dengan seorang perempuan bernama Yovita dan perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian tanpa dikaruniai anak. Kemudian, pada tahun -/+ 2009, Almarhum menikah untuk kedua kalinya dengan seorang perempuan, yaitu Terbanding semula Tergugat dengan Surat Akta Nikah Nomor 192/30/V/2009 tertanggal 18 Mei 2009 dan sebelum melaksanakan perkawinan dengan Terbanding, telah membuat Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 tertanggal 30 April 2009 di hadapan Notaris Rina Hartati Muljono, S.H./Turut Terbanding semula Turut Tergugat dengan tujuan agar di antara suami istri tersebut tidak akan ada percampuran harta benda.

Isi dari Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 tersebut pada pokoknya berisi sebagai berikut:

a.     Pasal 1 yang berbunyi “Di antara suami-isteri sekali-kali tidak akan ada percampuran harta benda, sehingga baik percampuran harta benda menurut hukum, maupun percampuran pendapatan-pendapatan dan hasil-hasil serta percampuran laba dan rugi dengan tegas ditiadakan diantara suami-isteri.”.

b.     Pasal 2 yang berbunyiSemua harta benda yang masing-masing suami isteri membawa ke dalam perkawinan atau secara bagaimanapun juga mendapatkannya selama perkawinan, demikian juga barang-barang yang menjadi gantinya, tetap menjadi milik suami atau isteri yang membawa atau mendapatkannya.

c.     Pasal 6 yang berbunyiPada waktu berhentinya perkawinan, istri atau suami atau ahli warisnya-ahli warisnya hanya mempunyai hak atas barang-barang yang dibawa olehnya ke dalam perkawinan atau yang didapatnya selama perkawinan, demikian juga atas barang-barang yang menjadi nantinya, sedangkan barang-barang tinggal milik suami atau ahli warisnya.

Almarhum telah meninggal pada 20 Juli 2014 tanpa dikaruniai anak dan Almarhum telah mempunyai harta bawaan yang ditinggalkannya, yaitu seluruh tanah yang disebut sebagai Objek Sengketa I, II, dan III yang disengketakan oleh Para Pembanding terhadap Terbanding dikarenakan Terbanding mengalihkan harta bawaan dari Almarhum tersebut menjadi atas nama Terbanding dikarenakan klaim bahwa Terbanding merupakan ahli waris golongan pertama sedangkan Pembanding I mendalilkan bahwa dirinya merupakan ahli waris golongan kedua yang berhak menjadi ahli waris dikarenakan Terbanding terhalang menjadi ahli warisnya berdasarkan Pasal 6 Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 tersebut.

Setelah terjadinya musyawarah perdamaian yang diadakan Para Pembanding, Terbanding tidak menyerahkan seluruh Objek Sengketa kepada Pembanding I sehingga terjadinya gugatan ke Pengadilan Negeri Jember Nomor 56/Pdt.G/2020/PN Jmr yang sudah dibanding ke Putusan PT Surabaya ini.

Akibat perbuatan Terbanding, Pembanding mengalami kerugian karena tidak dapat menikmati tanah hak Pembanding yaitu untuk dua bidang tanah sawah apabila disewakan setahunnya dapat laku Rp. 15.000.000,- (lima belas juta Rupiah) dan untuk Objek Sengketa I apabila disewakan setahun maka berlaku Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta Rupiah) terhitung sejak Almarhum meninggal dunia.

Atas gugatan dari Para Pembanding semula Para Penggugat tersebut, Terbanding semula Tergugat mengajukan jawaban-jawabannya dimana Terbanding menolak seluruh dalil gugatan Para Pembanding, kecuali yang secara tegas diakui oleh Terbanding. Salah satu jawabannya adalah bahwa Terbanding tersebut merupakan ahli waris golongan pertama yang sah disebabkan karena Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 ini tidak sah disebabkan tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang belum diubah dengan Putusan MK tersebut serta akta tersebut tidak melekat pada Akta Perkawinan berdasarkan Pasal 12 huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP Pelaksanaan UU Perkawinan), sehingga dianggap tidak memenuhi syarat formil sahnya Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 tersebut.

Dalam kasus ini, Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama yang putusannya diperkuat oleh Pengadilan Tingkat Banding hanya mempertimbangkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang belum diubah dengan Putusan MK yang menjadi penyebab tidak terpenuhinya syarat formil dari Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18.

 

 

Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak Didaftarkan di Kantor Catatan Sipil

Berdasarkan apa yang dijabarkan oleh Terbanding semula Tergugat di dalam Putusan PT Surabaya bahwa jika perjanjian perkawinan tidak disahkan oleh Pegawai Catatan Sipil/tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan Pasal 12 huruf h PP Pelaksanaan UU Perkawinan yang menyatakan bahwa akta perkawinan memuat perjanjian perkawinan bila ada, yang artinya perjanjian perkawinan dan akta perkawinan tersebut tidak dapat terpisahkan dan pasal tersebut juga dikaitkan dengan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang belum diubah dengan Putusan MK. Pasal 12 huruf h PP Pelaksanaan UU Perkawinan ini hampir selaras dengan Pasal 78 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (Perpres 96/2018) yang menyatakan bahwaperjanjian perkawinan yang dibuat sebelum, pada saat, atau selama perkawinan termasuk perubahan dan pencabutannya dapat dicatatkan pada Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota atau Perwakilan Republik Indonesia dengan melampirkan akta perjanjian perkawinan”. Penulis mengatakan kedua pasal tersebut hampir selaras karena Pasal 78 ayat (1) Perpres 96/2018 hanya menganjurkan (tetapi tidak mewajibkan) pencatatan perjanjian perkawinan di Disdukcapil dengan frasa katadapat dicatatkan” yang menurut KBBI, katadapatberarti: mampu, sanggup, bisa, boleh, dan mungkin sedangkan Pasal 12 huruf h PP Pelaksanaan UU Perkawinan menekankan wajibnya akta perjanjian perkawinan yang termuat dalam akta perkawinan, karena terkait dengan definisi peristiwa penting yang terdapat pada Pasal 1 angka 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Perubahan Adminduk) yang menyebutkan bahwaPeristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.” Pasal tersebut dengan jelas mencantumkan bahwa peristiwa penting ini mencakup perkawinan di dalamnya dan jika dikaitkan dengan Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang menyebutkan bahwaSetiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”, artinya Perjanjian Perkawinan ini harus didaftarkan di Kantor Catatan Sipil sesuai Pasal 12 huruf h PP Pelaksanaan UU Perkawinan tersebut.

Mengutip keterangan dari Penetapan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 388/Pdt.P/2020/PA.Cbn, Habieb Adjie berpendapat bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung seharusnya dituangkan dalam akta Notaris, selanjutnya mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan dengan maksud agar Pengadilan memerintahkan Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil untuk mendaftarkan atau mencatatkan perjanjian perkawinan. Jika didaftarkan/dicatatkan ke KUA, permohonan diajukan ke Pengadilan Agama dan jika ke Kantor Catatan Sipil diajukan ke Pengadilan Negeri. Pendapat ini selaras dengan Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk bahwaPencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya putusan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Bagi yang beragama Islam, Akta Perjanjian Perkawinan didaftarkan di Kantor Urusan Agama sedangkan bagi yang beragama diluar Islam, Akta Perjanjian Perkawinan didaftarkan di Kantor Catatan Sipil.

Selain itu Benny Djaja menjelaskan tahapan-tahapan setelah dibuatnya Perjanjian Perkawinan dengan akta Notaris, maka harus dicatat dalam catatan pinggir register dan Kutipan Akta Perkawinan agar berlaku terhadap pihak ketiga. Benny Djaja menafsirkan Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk dimana pencatatan pemisahan harta benda dalam perkawinan dikategorikan olehnya sebagai peristiwa penting lainnya berdasarkan pasal tersebut yang pencatatannya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan para pemohon yang bersangkutan setelah adanya penetapan Pengadilan Negeri yang telah memproleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, agar perjanjian perkawinan dapat berlaku terhadap pihak ketiga, harus dicatat dalam catatan pinggir register dan Kutipan Akta Perkawinan setelah adanya penetapan Pengadilan Negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Djaja, 2020)

Namun Pasal 12 huruf h PP Pelaksanaan UU Perkawinan itu sendiri walau selaras dengan Pasal 3 UU Adminduk tetapi bertentangan dengan Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK itu sendiri yang menyatakan bahwapada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut,” yang artinya bahwa perjanjian perkawinan dapat disahkan dengan pilihan alternatif, yaitu pegawai pencatat perkawinan atau Notaris sesuai yang ingin dipilih oleh para pihak di dalam perkawinan.

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK ini tidak disebutkan, tidak diperhatikan, dan diabaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama maupun Banding. Pada praktiknya, tidak disinggungnya Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK ini disebabkan karena adanya ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Kata “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surutmerupakan istilah dari asas non-retroaktif. Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tersebut dapat dipahami bahwa asas non-retroaktif merupakan salah satu dari hak warga negara yang dilindungi oleh konstitusi, oleh karenanya apabila ketentuan ini diabaikan berarti telah terjadi pelanggaran konstitusi. Asas ini juga berlaku serta mengikat untuk semua tata hukum yang ada di Republik Indonesia, karena semua produk hukum yang berlaku di Indonesia harus tunduk kepada ketentuan konstitusi yaitu UUD 1945.

Asas non-retroaktif tidak hanya berlaku untuk hukum materil/substantive, akan tetapi juga berlaku untuk untuk hukum formil/ajektif atau hukum yang mengatur mengenai acara. Penerapan hukum formil secara surut dapat mengakibatkan kekacauan administration of justice yang sangat pelik. Jadi pada prinsipnya asas non-retroaktif mengikat semua peraturan perundangan, atau dengan kata lain semua peraturan harus bersifat prospektif atau berlaku maju ke depan. Penerapan aturan hukum secara retroaktif dalam peraturan perundang-undangan selain hukum pidana juga mengakibatkan dirugikannya hak-hak seseorang bahkan dapat berakibat terjadinya kekacauan hukum serta ketidakpastian hukum. (Imron, 2016)

Terkait perjanjian perkawinan yang dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil yang dilakukan untuk memenuhi asas publisitas, pada intinya adalah supaya pihak ketiga selain pasangan suami dan istri dapat mengetahui dan tunduk pada ketentuan dan aturan dalam perjanjian perkawinan yang telah diatur oleh pasangan tersebut. Jika tidak diumumkan, maka perjanjian perkawinan hanya mengikat bagi kedua belah pihak saja.

Asas publisitas berarti berkewajiban untuk memberitahukan informasi kepada publik agar masyarakat, siapapun dapat mengetahuinya. Agar dapat disebut telah memenuhi asas publisitas, asal suatu informasi dapat diakses semua orang, dan bukan bersifat pribadi. Pencatatan perjanjian perkawinan ke Kantor Catatan Sipil akan memenuhi asas publisitas tersebut. (Novany dan Putra, 2016)

Karena Pembanding I dirujuk sebagai pihak ketiga di dalam perjanjian perkawinan secara tidak langsung karena statusnya sebagai ahli waris dari Almarhum karena terhalangnya Terbanding sebagai ahli waris golongan pertama, maka sebenarnya Almarhum dan Terbanding selama masa dalam perkawinan seharusnya dapat mencatatkan perjanjian perkawinannya ke Kantor Catatan Sipil tetapi bukan sebagai penentu sah atau tidaknya Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 tetapi untuk mengikat Pembanding I sebagai pihak ketiga secara tidak langsung dalam hal mengantisipasi untuk menjadi ahli waris berdasarkan Pasal 6 Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18.

Pengaturan pihak ketiga di dalam Perjanjian Perkawinan tercantum di dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan bahwadapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu. Siapa pun yang telah menentukan suatu syarat, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak ketiga telah menyatakan akan mempergunakan syarat itu.” Pasal 1318 KUHPerdata juga mengatur perihal ahli waris yang dapat memperoleh warisan, disebutkan bahwaorang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri dan untuk ahli warisnya dan orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau telah nyata dan sifat persetujuan itu bahwa bukan itu maksudnya.”

Pembanding I seharusnya dapat menggunakan syarat dari Pasal 6 Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 tetapi asas publisitas secara praktik dan juga Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang belum diubah dengan Putusan MK dapat menghalangi hak dari Pembanding I sebagai ahli waris. Ini bertentangan dengan Pasal 1317 KUHPerdata yang mengatur Pembanding I sebagai pihak ketiga secara tidak langsung dengan kalimat “bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, mengandung syarat semacam itu” dan Pasal 1318 KUHPerdata yang menyatakan bahwaorang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri dan untuk ahli warisnya.” Hal ini harus sesuai dengan Pasal 1340 KUHPerdata yang menyatakan bahwapersetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga.”

Jika pihak ketiga yang terikat di dalam Perjanjian Perkawinan adalah bank secara praktiknya karena keperluan bank atas ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Perjanjian Perkawinan, asas publisitas dapat diberlakukan secara pasti dengan pencatatan Perjanjian Perkawinan di Kantor Catatan Sipil tetapi jika pihak ketiga tersebut terkait dengan hubungannya sebagai ahli waris dari salah satu atau kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian perkawinan, maka seharusnya Pasal 1317 dan 1318 KUHPerdata digunakan untuk mengabaikan praktik dari asas publisitas dan juga tidak perlu mencatatkan perjanjian tersebut di Kantor Catatan Sipil.

Pasal 139 KUHPerdata juga mengatur bahwa “para calon suami isteri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.” Artinya diperbolehkan mengatur perihal pewarisan harta benda kepada ahli waris yang berbeda terkait masalah harta bersama.

Karena itu, seharusnya Majelis Hakim dapat mengetahui peraturan perundang-undangan ini seperti Pasal 139, 1317, dan 1318 KUHPerdata karena Penjelasan Pasal 81 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa setiap orang dianggap telah mengetahui peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dalam lembaran resmi. Mengetahui peraturan-perundang-undangan seperti pasal-pasal yang telah disebutkan tadi karena juga merupakan kewenangan Majelis Hakim sesuai Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Pengadilan wajib untuk memeriksa dan mengadili. Karena terkait dengan kewajiban dalam memeriksa, maka Majelis Hakim diwajibkan untuk mengetahui dan mencari keberadaan atas ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.

Karena Putusan MK ini sangat dimaklumi untuk tidak disinggung dan tidak disebutkan oleh Majelis Hakim dan juga Para Pembanding dan Terbanding karena akan bertentangan dengan Pasal 28I ayat 1 UUD 1945, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 secara sah dapat diubah oleh Putusan MK atau tidak? Disini kita perlu memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan yang berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yang menyebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d) Peraturan Pemerintah;

e) Peraturan Presiden;

f) Peraturan Daerah Provinsi; dan

g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011 menyebutkan bahwakekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Berdasarkan penjelasan dari pasal tersebut, yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

UU Perkawinan tentunya termasuk di dalam hierarki tingkat ketiga setelah UUD 1945 dan juga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi Pasal 29 UU Perkawinan tersebut (kecuali ayat 2 nya) telah diubah oleh Putusan MK tersebut, sehingga Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari undang-undang itu sendiri mengingat kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang berdasarkan Pasal 24C UUD 1945.

Dalam praktik dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji. Ketiganya sama-sama bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan putusan hukum, yaitu keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan, keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif, dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman yang biasa yang disebut vonis. Menurut Jimly Asshiddiqie, ketiga bentuk norma hukum tersebut sama-sama dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan ataupun mekanisme non justisial (Sumadi, 2019).  Karena itu, pengujian undang-undang yang dilakukan MK tergolong dalam keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan, seperti Putusan MK yang telah mengubah seluruh Pasal 29 UU Perkawinan, kecuali ayat (2).

Di dalam Putusan PT Surabaya, juga terdapat Notaris Rina Hartati Muljono, S.H. yang menyusun Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 sebagai Turut Terbanding. Mengapa Para Pembanding ini menyertakan Notaris Rina Hartati Muljono, S.H. sebagai Turut Terbanding semula Turut Tergugat di dalam Putusan Pengadilan Tingkat Pertama maupun Banding walau sebenarnya Para Pembanding tersebut berniat untuk menguatkan Perjanjian Perkawinan Nomor 18 yang disahkan oleh Turut Terbanding tersebut? Kita perlu mengingat bahwa tugas Notaris dalam membuat akta autentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwasuatu akta autentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Berdasarkan ketentuan tersebut, agar dapat menyusun akta autentik, seseorang harus menjabat sebagai Pejabat Umum tersebut dan Notaris merupakan Pejabat Umum itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJNP yang menyatakan bahwaNotaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.”

Seorang Notaris, menurut pendapat Tan Thong Kie, “Notaris adalah seorang fungsionaris dalam masyarakat, hingga sekarang jabatan seorang Notaris masih disegani. Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan“. Dengan keseganan dan nasihatnya yang dapat diandalkan, maka Turut Terbanding sebagai Notaris dituntut agar menegakkan keseganan dari jabatan yang diembannya sebagai pejabat umum/Notaris dengan menaati peraturan perundang-undangan yang ada, terlebih lagi UUJN dan UUJNP sebagai peraturan dasar yang mengatur tanggung jawab, hak, dan kewajiban dari Notaris. Ini selaras dengan pendapat dari Rusdianto Sesung dan penulis lainnya di buku yang berjudulHukum dan Politik Hukum Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa seorang pejabat umum tercermin dari keahlian yang dimiliki, serta didukung oleh ilmu pengetahuan, pengalaman dan memiliki keterampilan yang tinggi serta memiliki integritas moral yang baik dimana Notaris harus mengetahui batas-batas kewenangannya dan harus mentaati peraturan hukum yang berlaku serta mengetahui batas-batas tindakan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. (Sesung, 2017)

Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJNP menegaskan terkait kewajiban Notaris di dalam jabatannya, yaknidalam menjalankan jabatannya Notaris wajib bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.” Oleh karena itu Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum terhadap pelaksanaan tugas Notaris. Hal tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa tujuan negara hukum adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Demikian pula dalam Pasal 28 huruf D UUD 1945 yang menyatakan bahwasetiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. (Siahaan et al., 2022)

Dari Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJNP, kita dapat melihat kewajiban Notaris dalam hal menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum dimana Subekti dan Tjitrosoedigio mengartikan akta secara luas, yaitu perbuatan hukum (Rechts Handeling) yang meliputi suatu tulisan yang dibuat sebagai bukti suatu perbuatan hukum, tulisan sebagai sesuatu yang dapat dibedakan antara surat autentik dan di bawah tangan.

Selain itu, Pasal 65 UUJNP menyebutkan bahwaNotaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap Akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris.” Berdasarkan pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa tanggung jawab Notaris atas akta yang telah disusunnya tersebut akan terus mengikat walau akta yang termasuk di dalam Protokol Notaris tersebut telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris yang baru, yaitu Notaris yang baru maupun Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris.

Dikarenakan Turut Terbanding sebagai Notaris tersebut mensahkan Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 yang dibuat oleh para pihak, yaitu Terbanding dengan Almarhum, maka Turut Terbanding semula Turut Tergugat ini digugat dan kemudian dibandingkan oleh Para Pembanding tersebut dimana pada petitum di Pengadilan Tingkat Pertama tersebut, Para Pembanding meminta agar Turut Terbanding ini tunduk dan patuh pada putusan perkara di Pengadilan Tingkat Pertama. Karena itu, jika melihat Pasal 16 ayat (1) huruf a dan Pasal 65 UUJNP, sangat wajar jika Turut Terbanding ini dilibatkan oleh Para Pembanding dalam Pengadilan Tingkat Pertama maupun tingkat Banding karena memiliki pertanggungjawaban hukum di dalamnya.

Terkait peran hadirnya Notaris sebagai Turut Terbanding, maka kita perlu melihat pendapat dari Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum yang bersifat represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. Dalam hal ini, dengan begitu banyaknya akta autentik yang dibuat oleh Notaris, tidak jarang Notaris tersebut dipermasalahkan oleh salah satu pihak atau pihak lainnya karena dianggap telah merugikan kepentingannya, baik itu dengan pengingkaran akan isi akta, tanda tangan maupun kehadiran pihak dihadapan Notaris. Walau Turut Terbanding ini tidak merugikan kepentingan para pihak dalam Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 maupun Para Pembanding, tetapi seharusnya peran Turut Terbanding sebagai Notaris adalah terlibat di dalam lembaga peradilan agar sengketa harta waris akibat perselisihan keabsahan perjanjian perkawinan dapat terselesaikan dengan memberikan pendapat hukumnya dan juga keterangan yang dapat memperkuat posisi keabsahan Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 yang disahkan olehnya, namun sangat disayangkan bahwa Turut Terbanding ini tidak pernah memberikan keterangan apapun sebagai Turut Terbanding karena diduga tidak hadir dalam persidangan, padahal hal tersebut diperlukan karena tanggung jawabnya dalam memberikan nasihat yang dapat diandalkan dan keseganannya sebagaimana yang dimaksud oleh Tan Thong Kie.

                                       

Kesimpulan

Akibat hukum terhadap Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Notaris yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil, yaitu sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015, Akta Perjanjian Perkawinan hanya disahkan oleh Kantor Catatan Sipil setelah akta ditandatangani oleh Notaris untuk yang beragama selain Islam. Sedangkan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015, Akta Perjanjian Perkawinan disahkan oleh Kantor Catatan Sipil atau Notaris dan dalam hal pemberlakuan bagi pihak ketiga, Akta Perjanjian Perkawinan perlu disahkan di Kantor Catatan Sipil. Dalam Putusan PT Surabaya, Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 18 tidak sah berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang belum diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015 karena harus sesuai dengan asas non-retroaktif yang diatur Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Tetapi dalam konteks hak waris, Perjanjian Perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dapat menjadi sah jika Pembanding I dapat menjadi pihak ketiga sebagai ahli waris dari Almarhum jika mengacu pada Pasal 1317 dan 1318 KUHPerdata karena Pasal 139 KUHPerdata juga telah menjamin pengaturan hal-hal lain diluar harta bersama di dalam Perjanjian Perkawinan walau Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama tidak pernah mempertimbangkan pasal-pasal tersebut karena tidak disinggung oleh Para Pembanding dan Terbanding.

 

BIBLIOGRAFI

 

Assidik, A., & Gassing, A. Q. (2019). Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Prenuptial Agreement atau Perjanjian Pra Nikah. Qadauna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam, 1(1), 1–16.

Azkia, L. N. (2023). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Perkawinan. Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Fahmi, A. (2019). Konstruksi Hukum Adat Pernikahan Masyarakat Melayu Palembang Berdasarkan Syar’iat Islam. Medina-Te: Jurnal Studi Islam, 15(1), 17–38.

Farid, A. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Perkawinan Dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin. Universitas Bhayangkara Surabaya.

Hardiyani, Y. I. P. (2023). Rekonstruksi Keabsahan Perjanjian Kawin Pasca Pernikahan Berbasis Nilai Keadilan. Universitas Islam Sultan Agung.

Idrus, A. (2021). Urgensitas Perjanjian Perkawinan Dalam Membentuk Keluarga Sakinah Perspektif Hukum Keluarga Islam (Analisis Pasal 29 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974). UIN Raden Intan Lampung.

Masri, E., & Wahyuni, S. (2021). Implementasi perjanjian perkawinan sebelum, saat dan sesudah perkawinan. Jurnal Kajian Ilmiah, 21(1), 111–120.

Naufal, H. (2023). Kedudukan hukum akta perjanjian kawin dalam rangka memberi perlindungan bagi suami dan istri di kabupaten rembang. Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia).

Noverisa, O. (2024). Tinjauan Yuridis Efektivitas Perjanjian Pra Nikah (Prenuptial Agreement) Apabila Terjadi Konflik Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di KUA Kecamatan Semarang Selatan). Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Pratama, M. A., Zega, M. S., Muhdiya, I., Butar, H. F. B., & Maylafaiza, H. (2024). Perjanjian Pranikah dalam Perspektif Hukum Perdata di Indonesia. As-Syirkah: Islamic Economic & Financial Journal, 3(3), 1556–1565.

Putri, A. M., Nawi, S., & Risma, A. (2024). Konsekuensi Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam. Journal of Lex Theory (JLT), 5(2), 763–781.

Salim, H. S., & Sh, M. S. (2021). Pengantar Hukum perdata tertulis (BW). Bumi Aksara.

Selinah, S. H. (2024). Urgensi Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Sebagai Pencegahan Perceraian Di Kabupaten Karimun Perspektif Sadd Al-Zariah. Uin Suska Riau.

Siswanti, E. (2021). Perjanjian Pra Nikah Dalam Prespektif Hukum Islam. Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum), 7(2), 433–447.

Sofyan, A. (2023). Perjanjian Pra-Nikah Perspektif Islam: Studi Fenomenologi di Era Society 5.0. Qonuni: Jurnal Hukum Dan Pengkajian Islam, 3(2), 99–109.

Suprapti, H., Dedi, S., & Saputra, H. (2024). Urgensitas Perjanjian Perkawinan Dalam Membentuk Keluarga Sakinah. Institut Agama Islam Negeri Curup.

Teguh, H. P. (2023). Teori dan Praktik Pembagian Harta Kekayaan dalam Perkawinan-Metode Pembagian Harta Kekayaan Antara yang Hak dan Batil. Penerbit Andi.

Tsamara, R. T., & Kartika, A. W. (2024). Tinjauan Yuridis Mengenai Perjanjian Pra Nikah Dalam Bentuk Lisan. Kabillah: Journal of Social Community, 9(1), 65–80.

 

 

Copyright holder:

Albern Derian, Maman Sudirman (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: