Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 12, Desember 2024

 

 

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU DENGAN KEJADIAN TINEA PEDIS PADA TARUNA AKADEMI KEPOLISIAN SEMARANG

 

Intan Permatasari Putri S.

Universitas Batam, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Pekerjaan sebagai Taruna Akademi Kepolisian yang setiap hari menggunakan sepatu boots, perawatan kebersihan kaki yang buruk, lingkungan pekerjaan serta pengetahuan yang kurang dapat menjadi risiko utama terinfeksi tinea pedis.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan pengetahuan dan perilaku sehari-hari mengenai penyakit tinea pedis pada Taruna Akademi Kepolisian di Semarang. Penelitian dilakukan menggunakan metode cross sectional. Instrumen pengambilan data yaitu kuesioner yang mengandung 24 pertanyaan terdiri dari pengetahuan, perilaku sehari-hari, dan infeksi tinea pedis. Pengambilan sampel menggunakan rumus Slovin, dengan jumlah sampel yang telah dihitung sebanyak 154 responden. Hasil penelitian diolah dengan program statistik komputer SPSS menggunakan cross tabulation dan diuji menggunakan uji chi square dengan α = 0,05. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan cukup (6,5%), pengetahuan baik (0,6), dan pengetahuan kurang (92,9%). Terdapat juga sebagian besar responden memiliki perilaku yang cukup (9,1%), perilaku baik (0,6%) dan perilaku buruk (90,3%). Dari seluruh sampel yang terinfeksi tinea pedis jumlahnya lebih besar (73,4%) dibandingkan yang tidak terinfeksi (26,6%). Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan perilaku sehari-hari mengenai penyakit tinea pedis pada Taruna Akademi Kepolisian di Semarang. Disarankan untuk instansi pendidikan di Akademi Kepolisian agar dapat lebih memberikan wawasan pada taruna Akpol berkaitan dengan kejadian tinea pedis dan bagaimana pengetahuan tersebut memengaruhi perilaku sehari-hari supaya dapat terhindar dari infeksi jamur pada kaki yang sering ditemukan ini.

Kata kunci: Tinea Pedis, Taruna, Pengetahuan, Perilaku.

 

Abstract

Police Academy cadets in their daily using boots shoes, poor hygiene and bad care of foot, work environment, less of knowledge can be a main risk factor of tinea pedis infection. The objective of this study is to know correlation of knowledge and behavior about tinea pedis of Indonesian Police Academy Cadets in Semarang. Data instrument was collected from questionnaire consisting of 24 questions about knowledge, behavior, and tinea pedis infection. Sampling using Slovin formula, with sample total 154 as respondent. The results of this study were processed by statistic program SPSS used cross tabulation and chi square test with α = 0,05. Most respondents have sufficient knowledge (6.5%), good knowledge (0.6), and less knowledge (92.9%). There were also most respondents who had sufficient behavior (9.1%), good behavior (0.6%) and bad behavior (90.3%). Of all samples infected with tinea pedis, the number was greater (73.4%) than those who were not infected (26.6%). The conclusion in this study is that there is a significant relationship between knowledge (P value = 0.017 < 0.05) and daily behavior (P value = 0.017 < 0.05) regarding tinea pedis disease in Police Academy cadets in Semarang. It is recommended for educational institutions at the Police Academy to provide more insight into the extent to which knowledge of Akpol cadets is related to the incidence of tinea pedis and how this knowledge affects daily behavior regarding tinea pedis disease in order to avoid fungal infections in the feet that are often found. This information can help in the development of more effective educational programs or interventions to prevent and manage tinea pedis within the Police Academy in Semarang.

Keywords: Tinea Pedis, Taruna, Knowledge, Behavior.

 

Pendahuluan

   Lingkungan Akademi Kepolisian (Akpol) atau akademi militer sering kali memiliki karakteristik khusus yang dapat mempengaruhi kejadian tinea pedis di antara taruna.Kegiatan pendidikan dan pelatihan fisik yang intensif dapat meningkatkan keringat dan kontak langsung dengan permukaan yang dapat terinfeksi, memperbesar risiko penularan tinea pedis.

Beberapa faktor lingkungan yang mungkin memainkan peran dalam kejadian tinea pedis di Akpol termasuk kelembaban lingkungan, fasilitas bersama, pola hidup bersama, penggunaan alas kaki dan peralatan militer, pendidikan dan pelatihan fisik, kontak kulit langsung, pendidikan kesehatan, kebijakan kesehatan.

Tinea pedis atau kerap juga disebut athlete’s foot merupakan penyakit tinea pedis yang disebabkan dermatofita terutama Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum (Sariana, 2017). Penyakit ini dapat menyebabkan ruam kemerahan yang bersisik dan gatal di kulit kaki. Gatal akan bertambah parah ketika penderitanya melepas kaus kaki atau sepatu. Pada beberapa kasus, kutu air juga bisa menimbulkan bau kaki, luka di kaki, atau kulit kaki yang terlihat melepuh.

Tinea pedis sering memberikan kelainan menahun. Tinea pedis sering menyerang orang dewasa yang bekerja ditempat basah seperti tukang cuci, petani atau orang yang setiap harinya memakai sepatu tertutup misalnya tentara (Hadi, 2020).

Dermatomikosis superfisialis merupakan jenis infeksi yang paling sering terjadi, dimana telah mengenai 20-25% populasi dunia. Penyebab utama dermatomikosis superfisialis adalah dermatofit. Dermatofit merupakan kelompok jamur yang menginvasi stratum korneum kulit (Marila, Marpaung, & Nainggolan, 2021). Secara umum dermatomikosis dibagi dua yaitu infeksi jamur yang menyebabkan inflamasi (dermatofitosis) dan yang tidak menyebabkan inflamasi (non inflamasi). Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering terjadi. Tinea pedis menginfeksi sekitar 10% populasi dunia. Tinea pedis dapat menginfeksi daerah tumit, selasela jari, dan telapak kaki. Infeksi tinea pedis dapat menyebar ke daerah lain termasuk kuku yang bisa menjadi sumber infeksi ke daerah lainnya.

Menurut Jindal, (2019) penyakit ini dapat menular dan dapat dipengaruhi oleh faktor kaki yang sering basah atau lembap akibat berkeringat akibat memakai sepatu boots atau sepatu ketat. Swabber adalah salah satu tenaga kesehatan yang berperan besar dalam pengambilan sampels swab di era pandemi covid-19.

Pemakaian APD yang sesuai SOP wajib digunakan swabber sebagai pelindung diri, salah satunya sepatu tertutup atau sepatu boots. Pemakaian tertutup terlalu lama dalam keadaan cuaca panas dan hujan membuat kaki lembap serta basah. Hal tersebut menjadi salah satu faktor tumbuhnya mikroorganisme, terutama fungi yang dapat menyebabkan penyakit kutu air atau athlete’s foot. Infeksi jamur pada kulit merupakan penyakityangmempunyaiprevalensi berkisar tinggidi Indonesiaberkisar antara 20-80% karena negara Indonesia beriklim tropis dan kelembabannyacukup tinggi (Simamora & Saragih, 2019). Salah satu penyakit yang sering dijumpai di daerah tropis yaitu penyakit kulit (Murlistyarini, Prawitasari, & Setyowatie, 2018).

Salah satunya adalah infeksi kulit pada sela jari kaki dan telapak kaki yang disebabkan oleh jamur atau yang lebih dikenal sebagai Tinea pedis atau ringworm of the foot (Isramilda, 2020). Tinea pedis disebabkan oleh Trichophyton rubrum yang sering memberikan kelainan menahun. Tinea pedis sering menyerang orang dewasa yang bekerja ditempat basah seperti tukang cuci, petani atau orang yang setiap harinya memakai sepatu tertutup misalnya tentara (Hadi, 2020).

Menurut data terbaru WHO yang dipublikasikan pada bulan 2020, Kematian Penyakit kulit di Indonesia mencapai 3,734 atau 0.22% dari total kematian. Usia yang disesuaikan dengan Tingkat Kematian adalah 1.90 per 100.000 penduduk peringkat Indonesia #75 di dunia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putri, (2019) didapatkan angka kejadian tinea pedis pada Taruna Akademi Angkatan Udara sebesar 64%. Dalam penelitian yang dilakukan menjelaskan bahwa pengetahuan dan perilaku sehari-hari mempengaruhi angka kejadian tinea pedis pada Taruna Akademi Angkatan Udara terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan (P value = 0,000 < 0,05) dan perilaku sehari-hari (P value = 0,000 < 0,05) mengenai penyakit tinea pedis pada Taruna Akademi Angkatan Udara di Yogyakarta tahun 2019.

Penyebaran geografik penyakit ini terdapat baik di daerah dengan iklim tropis maupun daerah lainnya. Pada salah satu hasil penelitian yang dilakukan pada petani sawah di desa Pematang kecamatan Banyuasin I dari 62 orang 40 orang diantaranya positif tinea pedis. Didapatkan juga prevalensi tinea pedis berdarkan data statistic dari beberapa rumah sakit Pendidikan di Indonesia seperti RS. Dr. Soetomo, RSCM, RS. Dr. Hasan Sadikin, RS. Dr. Sardjito didapatkan peningkatan sebesar 16%, dan juga ditemukan pada tahun 2013- 2021 di RSUD Undata Palu Sulawesi tengah di dapatkan 167 orang positif tinea pedis       (Sofyan & Buchair, 2022).

Risiko tinea pedis dapat meningkat jika memiliki kebiasaan berjalan tanpa alas kaki, menggaruk kaki telanjang dan menggunakan handuk sembarangan. Kebiasaan seperti ini juga membantu penyebaran jamur ke area tubuh lain, terutama daerah tubuh yang selalu dalam kondisi hangat atau lembap, seperti jari kaki yang selalu terbungkus kaos kaki dan sepatu tertutup atau sepatu boots. Penderita yang sudah pernah terinfeksi tinea pedis akan lebih mudah mengalami pengulangan infeksi. Penderita dengan diabetes, sistem kerja imun yang rendah, dan hyperhidrosis juga memiliki risiko rentan terinfeksi dan mengalami penyembuhan yang lebih lama (Marila et al., 2021).

Data epidemiologi tinea pedis atau athlete’s foot global memperkirakan 7 dari 10 orang pernah mengalami tinea pedis sekali dalam hidupnya. Tinea pedis diperkirakan lebih sering terjadi di negara beriklim tropis . Sekitar 70% populasi dunia pernah mengalami tinea pedis. Prevalensi tinea pedis di populasi Jepang diperkirakan sekitar 21,6%. Kejadian tinea pedis meningkat seiring dengan pertambahan usia. Tinea pedis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan wanita, pada usia pubertas hingga lansia. Tinea pedis pada anak jarang terjadi (Mochizuki et al., 2020).

Berdasarkan data epidemiologi di Swiss pada tahun 2001-2018, penyebab tersering tinea pedis adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton interdigitale. Trichophyton rubrum pernah menyebabkan kasus endemik tinea pedis pada beberapa negara di Afrika, Asia, dan Australia. Hingga saat ini, organisme tersebut dapat ditemukan di Eropa dan Amerika (Nowicka & Nawrot, 2021).

Akpol mungkin terletak di wilayah dengan iklim tertentu, dan faktor kelembaban bisa menjadi kontributor utama untuk pertumbuhan jamur penyebab tinea pedis. Ruang-ruang bersama, seperti kamar tidur atau kamar mandi, dapat menjadi lingkungan yang lembab, meningkatkan risiko penularan jamur. Lingkungan akademi militer sering kali melibatkan penggunaan fasilitas bersama, seperti kamar mandi atau area istirahat. Berbagi tempat-tempat ini dapat meningkatkan risiko penularan tinea pedis. Penggunaan alas kaki tertutup atau peralatan militer yang mungkin memperburuk kelembaban dan kurang sirkulasi udara dapat menjadi faktor risiko untuk tinea pedis.

Kegiatan pendidikan dan pelatihan fisik yang intensif dapat meningkatkan keringat dan kontak langsung dengan permukaan yang dapat terinfeksi, memperbesar risiko penularan tinea pedis. Perilaku dan pengetahuan taruna di dalam asrama dapat memiliki dampak signifikan terhadap kejadian tinea pedis. Kelengkapan infrastruktur yang tergolong bangunan lama mendapat perhatian yang cukup besar untuk bisa diperbaiki mengingat kebutuhan dan aktivitas pengguna di era sekarang mengalami perkembangan terus menerus. Salah satu yang menjadi perhatian adalah komplek Graha Taruna dimana merupakan komplek asrama bagi taruna taruni Akpol. Selain itu Graha Taruna juga sebagai tempat tinggal bagi siswa integrasi dari instansi lain jika sedang ada kegiatan bersama di Akademi Kepolisian Semarang. Tingkat pengetahuan mereka tentang faktor risiko, seperti kelembaban lingkungan, penggunaan sepatu tertutup, dan berbagi barang pribadi. Dimana kegiatannya sehari-hari banyak menggunakan sepatu tertutup atau boots yang lama, terkena trauma, keadaan lembab maupun keringat, banyaknya kegiatan di lapangan, serta pola higienitas yang berbeda-beda bahkan kurang terjaga dikarenakan waktu sempit akibat padatnya aktivitas sebagai taruna.

Adapun upaya solusi pencegahan (preventif) dan kekambuhan penderita yang belum atau sudah terkena tinea pedis, yaitu dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan akan penyebab, risiko, dampak dan pencegahan akan kekambuhan serta dengan pengobatan yang teratur terhadap penyakit tinea pedis atau kutu air. Juga dengan memperhatikan faktor internal contohnya menjaga kebersihan tubuh dan faktor eksternal yaitu lingkungan contoh penjaga kebersihan kamar mandi Pengetahuan (Knowledge), Sikap (Attitude), dan Perilaku (Pratice) seseorang mengenai suatu penyakit juga dapat mempengaruhi timbulnya penyakit tersebut. Kurangnya pengetahuan mengenai penyakit tinea pedis berdampak pada sikap dan perilaku sehari -hari pada taruna untuk mencegah atau menanganinya sehingga dapat menjadi faktor risiko penyakit tinea pedis menjadi kronik atau berulang.

Dengan merinci latar belakang penelitian ini, dapat memberikan konteks yang diperlukan dan memotivasi kebutuhan untuk penelitian lebih lanjut dalam hubungan antara pengetahuan, perilaku, dan kejadian tinea pedis pada taruna Akademi Kepolisian Semarang.

 

Metode Penelitian

            Penelitian dilakukan menggunakan metode cross sectional (Abduh, Alawiyah, Apriansyah, Sirodj, & Afgani, 2023). Instrumen pengambilan data yaitu kuesioner yang mengandung 24 pertanyaan terdiri dari pengetahuan, perilaku sehari-hari, dan infeksi tinea pedis. Pengambilan sampel menggunakan rumus Slovin, dengan jumlah sampel yang telah dihitung sebanyak 154 responden. Hasil penelitian diolah dengan program statistik komputer SPSS menggunakan cross tabulation dan diuji menggunakan uji chi square dengan α = 0,05.

 

Hasil dan Pembahasan

Gambaran Umum

Penelitian ini dilakukan di Akademi Kepolisian Semarang, yang didirikan pada 24 Januari 1985. Kampus Akademi Polisi Republik Indonesia merupakan perguruan tinggi kedinasan dengan lembaga induk Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mana Akademi Kepolisian ini sudah terakreditasi A. Pendekatan pendidikan melalui metode pembelajaran, pelatihan dan pengasuhan. Hal tersebut mengakibatkan padatnya jadwalnya responden sehingga berisiko menimbulkan penyakit kulit seperti tinea pedis. Karakteristik responden digunakan untuk mengetahui keragaman dari responden berdasarkan jenis kelamin, usia, asal demografis, riwayat kontak dengan penderits tinea pedis, kegiatan fisik, kepatuhan terhadap peraturan lingkungan akademi, riwayat pengobatan sebelumnya.

 

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan

Pengetahuan

Frekuensi (f)

Persentase (%)

Baik

1

0,6

Cukup

10

6,5

Kurang

143

92,9

Total

154

100

 

Hasil distribusi diatas menunjukkan tingkat pengetahuan responden terkait dengan tinea pedis. Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan kurang sebanyak 143 responden (92,9%), kemudian diikuti dengan tingkat pengetahuan cukup sebanyak 10 responden (6,5%) dan tingkat pengetahuan baik sebanyak 1 responden (0,6%).

Tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat meliputi pendidikan, pekerjaan maupun usia. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki seseorang maka akan semakin bertambah pengetahuan yang diperoleh. Faktor eksternal dapat meliputi informasi, lingkungan dan sosial budaya. Informasi berpengaruh dikarenakan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang terhadap suatu hal. Informasi yang benar dan tepat dapat mempengaruhi pengetahuan agar dapat dicapai mutu pengetahuan yang baik (Syarifah, Ningrum, Zuhana, & Muthoharoh, 2021).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniadi & Aprilla (2022) yang menunjukkan bahwa 109 responden atau 58% memiliki pengetahuan yang kurang mengenai tinea pedis (Kurniadi, 2022).

 

Distribusi Frekuensi Perilaku

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada 154 responden yang merupakan Taruna di Akademi Kepolisian Semarang, diperoleh distribusi tingkat perilaku dari responden sebagai berikut:

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Perilaku

Perilaku

Frekuensi (f)

Persentase (%)

Baik

1

0,6

Cukup

14

9,1

Kurang

139

90,3

Total

154

100

 

Dari Tabel 2 diatas menunjukkan tingkat perilaku responden terhadap kejadian tinea pedis, diketahui bahwa mayoritas responden memiliki perilaku yang buruk sebanyak 139 responden (90,3%), kemudian dilanjutkan dengan perilaku cukup sebanyak 14 responden (9,1%), dan perilaku yang baik sebanyak 1 responden (0,6%).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang, yaitu pengalaman pribadi, budaya, tokoh penting, media massa, dan pemberian pendidikan. Pendidikan terdiri dari formal (sekolah formal) dan nonformal (kursus, seminar, pelatihan dll). Pengetahuan sebagai salah satu hal yang mempengaruhi pembentukan perilaku. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori dan fakta yang menunjukkan bahwa dengan memberikan informasi maka tingkat pengetahuan akan meningkat sehingga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang menerima informasi dan memperoleh pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan sejalan dengan semakin baik pula tingkat perilaku yang dimilikinya (Farida, Rohim, & Waddin, 2022).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2019) yang menunjukkan bahwa mayoritas respondennya atau sebanyak 53 responden (67%) memiliki perilaku yang buruk mengenai tinea pedis. Sedangkan sisanya sebanyak 26 responden (33%) memiliki perilaku kurang.

 

Distribusi Frekuensi Kejadian Tinea Pedis

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada 154 responden yang merupakan anggota dari Taruna di Akademi Kepolisian Semarang, diperoleh hasil dari distribusi kejadian tinea pedis pada responden anggota dari Taruna di Akademi Kepolisian Semarang. Tabel distribusi menunjukkan frekuensi kejadian tinea pedis pada Taruna di Akademi Kepolisian Semarang sebagai berikut:

 

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kejadian Tinea Pedis

Perilaku

Frekuensi (f)

Persentase (%)

Tidak Pernah

41

26,6

Pernah

113

73,4

Total

154

100

 

Diketahui bahwa dari 154 orang taruna yang menjadi responden, sebanyak 113 taruna (73,4%) pernah mengalami kejadian tinea pedis dan sisanya sebanyak 41 taruna (26,6%) tidak pernah mengalami kejadian tinea pedis.

Tinea pedis adalah infeksi kaki yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Ini adalah infeksi dermatofita yang paling umum dan sangat lazim terjadi di lingkungan perkotaan yang panas dan tropis. Tinea pedis disebabkan oleh jamur antropofilik Trichophyton rubrum yang sering menyebabkan kelainan kronis (79,08%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nilawati et al (2021) yang menyatakan bahwa dari 78 responden, yang tidak mengalami tinea pedis sebanyak 37 orang (47,4%) dan responden yang mengalami tinea pedis sebanyak 41 orang (52,6%).

 

Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Tinea Pedis

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh tabulasi silang antara pengetahuan dengan kejadian tinea pedis sebagai berikut:


Tabel 4. Tabulasi Silang Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian

 

Kejadian Tinea Pedis

Total

 

Pengetahuan

Tidak Pernah

Pernah

P-Value

 

F

%

F

%

F

%

 

Baik

1

100

0

0

1

100

 

Cukup

9

90

1

10

10

100

0,000

Kurang

31

21,7

112

78,3

143

100

Total

41

26,6

113

73,4

154

100

 

 

Pada tabel 4 memperlihatkan responden yang memiliki pengetahuan baik dan tidak pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 1 responden (100%), sedangkan yang pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 0 responden (0%). Responden yang memiliki pengetahuan cukup dan tidak pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 9 responden (90%), sedangkan yang pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 1 responden (10%). Responden yang memiliki pengetahuan kurang dan tidak pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 31 responden (21,7%), sedangkan yang pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 112 responden (78,3%).

Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p ≤ 0,05), sehingga dapat disimpulkan Analisis Univariat

 

Distribusi Frekuensi Pengetahuan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada 154 responden yang merupakan Taruna di Akademi Kepolisian Semarang, diperoleh distribusi tingkat pengetahuan dari responden sebagai berikut:

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan

Pengetahuan

Frekuensi (f)

Persentase (%)

Baik

1

0,6

Cukup

10

6,5

Kurang

143

92,9

Total

154

100

 

Hasil distribusi diatas menunjukkan tingkat pengetahuan responden terkait dengan tinea pedis. Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan kurang sebanyak 143 responden (92,9%), kemudian diikuti dengan tingkat pengetahuan cukup sebanyak 10 responden (6,5%) dan tingkat pengetahuan baik sebanyak 1 responden (0,6%).

Tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat meliputi pendidikan, pekerjaan maupun usia. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki seseorang maka akan semakin bertambah pengetahuan yang diperoleh. Faktor eksternal dapat meliputi informasi, lingkungan dan sosial budaya. Informasi berpengaruh dikarenakan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang terhadap suatu hal. Informasi yang benar dan tepat dapat mempengaruhi pengetahuan agar dapat dicapai mutu pengetahuan yang baik (Syarifah et al., 2021)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniadi & Aprilla (2022) yang menunjukkan bahwa 109 responden atau 58% memiliki pengetahuan yang kurang mengenai tinea pedis (Kurniadi, 2022).

 

 

 

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Perilaku

Perilaku

Frekuensi (f)

Persentase (%)

Baik

1

0,6

Cukup

14

9,1

Kurang

139

90,3

Total

154

100

 

Dari Tabel 6 diatas menunjukkan tingkat perilaku responden terhadap kejadian tinea pedis, diketahui bahwa mayoritas responden memiliki perilaku yang buruk sebanyak 139 responden (90,3%), kemudian dilanjutkan dengan perilaku cukup sebanyak 14 responden (9,1%), dan perilaku yang baik sebanyak 1 responden (0,6%).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang, yaitu pengalaman pribadi, budaya, tokoh penting, media massa, dan pemberian pendidikan. Pendidikan terdiri dari formal (sekolah formal) dan nonformal (kursus, seminar, pelatihan dll). Pengetahuan sebagai salah satu hal yang mempengaruhi pembentukan perilaku. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori dan fakta yang menunjukkan bahwa dengan memberikan informasi maka tingkat pengetahuan akan meningkat sehingga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang menerima informasi dan memperoleh pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan sejalan dengan semakin baik pula tingkat perilaku yang dimilikinya (Ningsih, Sudaryanto, & Setiyawati, 2013).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2019) yang menunjukkan bahwa mayoritas respondennya atau sebanyak 53 responden (67%) memiliki perilaku yang buruk mengenai tinea pedis. Sedangkan sisanya sebanyak 26 responden (33%) memiliki perilaku kurang.

 

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Kejadian Tinea Pedis

Perilaku

Frekuensi (f)

Persentase (%)

Tidak Pernah

41

26,6

Pernah

113

73,4

Total

154

100

 

Diketahui bahwa dari 154 orang taruna yang menjadi responden, sebanyak 113 taruna (73,4%) pernah mengalami kejadian tinea pedis dan sisanya sebanyak 41 taruna (26,6%) tidak pernah mengalami kejadian tinea pedis. Tinea pedis adalah infeksi kaki yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Ini adalah infeksi dermatofita yang paling umum dan sangat lazim terjadi di lingkungan perkotaan yang panas dan tropis. Tinea pedis disebabkan oleh jamur antropofilik Trichophyton rubrum yang sering menyebabkan kelainan kronis (79,08%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nilawati et al (2021) yang menyatakan bahwa dari 78 responden, yang tidak mengalami tinea pedis sebanyak 37 orang (47,4%) dan responden yang mengalami tinea pedis sebanyak 41 orang (52,6%).


Tabel 8. Tabulasi Silang Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian

 

Kejadian Tinea Pedis

Total

 

Pengetahuan

Tidak Pernah

Pernah

P-Value

 

F

%

F

%

F

%

 

Baik

1

100

0

0

1

100

 

Cukup

9

90

1

10

10

100

0,000

Kurang

31

21,7

112

78,3

143

100

Total

41

26,6

113

73,4

154

100

 

 

Pada tabel 8 memperlihatkan responden yang memiliki pengetahuan baik dan tidak pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 1 responden (100%), sedangkan yang pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 0 responden (0%). Responden yang memiliki pengetahuan cukup dan tidak pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 9 responden (90%), sedangkan yang pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 1 responden (10%). Responden yang memiliki pengetahuan kurang dan tidak pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 31 responden (21,7%), sedangkan yang pernah mengalami kejadian tinea pedis ada sebanyak 112 responden (78,3%).

Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p ≤ 0,05), sehingga dapat disimpulkan isi kutipan secara langsung. Quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote. quote The text continues here. Proofs must be formatted as follows: quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote quote. Penjelasan kutipan tersebut bisa di tulis di sini.

1.  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada Taruna Akademi Kepolisian Semarang, Gambaran Tingkat pengetahuan dan perilaku pada Taruna Akademi Kepolisian Semarang masih belum maksimal dan dapat berisiko terinfeksi tinea pedis. Berdasarkan 154 sampel penelitian, sebanyak 73,4% mengalami kejadian tinea pedis dan sisanya 26,6% tidak mengalami kejadian tinea pedis. Kemudian,

2.  Taruna Akademi Kepolisian mayoritas memiliki tingkat pengetahuan kurang 92,9% dan diikuti dengan pengetahuan cukup 6,5% selanjutnya untuk tingkat pengetahuan baik 0,6%.

Berdasarkan hal tersebut maka terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian tinea pedis pada Taruna di Akademi Kepolisian Semarang (p-value = 0,000). Pada penelitian ini mayoritas Taruna Akademi Kepolisian Semarang yang berpengetahuan kurang, mengalami kejadian tinea pedis. Terdapat hubungan antara perilaku dengan kejadian tinea pedis pada Taruna di Akademi Kepolisian Semarang (p-value = 0,017). Pada penelitian ini mayoritas Taruna yang berperilaku buruk, mengalami kejadian tinea pedis.

Penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan sampel responden yang lebih banyak sehingga diharapkan hasil penelitian yang akan datang akan lebih spesifik guna memperkuat hal yang menjadikan keunggulan dari instansi Pendidikan khususnya Akademi Kepolisian Semarang. Kegunaannya dapat dirasakan oleh berbagai pihak, serta menjadi salah satu sumber dalam melakukan penelitian yang berhubungan tentang pengetahuan dan perilaku mengenai kejadian tinea pedis.

 

Kesimpulan

            Penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian tinea pedis pada Taruna di Akademi Kepolisian Semarang (p-value = 0,000). Pada penelitian ini mayoritas Taruna Akademi Kepolisian Semarang yang berpengetahuan kurang, mengalami kejadian tinea pedis. Terdapat hubungan antara perilaku dengan kejadian tinea pedis pada Taruna di Akademi Kepolisian Semarang (p-value = 0,017). Pada penelitian ini mayoritas Taruna yang berperilaku buruk, mengalami kejadian tinea pedis. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan sampel responden yang lebih banyak sehingga diharapkan hasil penelitian yang akan datang akan lebih spesifik guna memperkuat hal yang menjadikan keunggulan dari instansi Pendidikan khususnya Akademi Kepolisian Semarang. Kegunaannya dapat dirasakan oleh berbagai pihak, serta menjadi salah satu sumber dalam melakukan penelitian yang berhubungan tentang pengetahuan dan perilaku mengenai kejadian tinea pedis.

 

BIBLIOGRAFI

 

Abduh, M., Alawiyah, T., Apriansyah, G., Sirodj, R. A., & Afgani, M. W. (2023). Survey design: Cross sectional dalam penelitian kualitatif. Jurnal Pendidikan Sains dan Komputer, 3(1), 31–39.

Farida, F., Rohim, A., & Waddin, A. Z. (2022). Hubungan antara tingkat pengetahuan dan tipe kepribadian dengan perilaku merokok pada remaja di Desa Segong Kabupaten Kuningan tahun 2021. Journal of Nursing Practice and Education, 2(2), 127–139.

Hadi, S. (2020). Faktor yang berhubungan dengan kejadian tinea pedis pada mahasiswa tamtama di Resimen Induk KODAM VII Wirabuana Makassar. UMI Medical Journal, 5(1), 12–19.

Isramilda, I. (2020). Hubungan antara sanitasi lingkungan rumah dan personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di Kampung Tanjung Kelengking Kelurahan Rempang Cate Kota Batam tahun 2019. Zona Kedokteran: Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Batam, 10(1), 26–34.

Jindal, S. (2019). Review of dermatology. Jaypee Brothers Medical Publishers.

Kurniadi, R. (2022). Faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian tinea corporis (kurap) di Desa Nelayan wilayah kerja Puskesmas Jambu Kabupaten Rokan Hilir. SEHAT: Jurnal Kesehatan Terpadu, 1(1), 79–88.

Marila, D. M., Marpaung, A. P., & Nainggolan, R. (2021). Hubungan faktor resiko higiene dengan kejadian tinea pedis. Majalah Ilmiah METHODA, 11(1), 48–52.

Mochizuki, T., Tsuboi, R., Iozumi, K., Ishizaki, S., Ushigami, T., Ogawa, Y., Kaneko, T., Kawai, M., Kitami, Y., & Kusuhara, M. (2020). Guidelines for the management of dermatomycosis (2019). The Journal of Dermatology, 47(12), 1343–1373.

Murlistyarini, S., Prawitasari, S., & Setyowatie, L. (2018). Intisari ilmu kesehatan kulit dan kelamin. Universitas Brawijaya Press.

Ningsih, E. W., Sudaryanto, A., & Setiyawati, W. (2013). Hubungan antara tingkat pengetahuan dan motivasi perawat dengan perilaku pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Nowicka, D., & Nawrot, U. (2021). Tinea pedis—An embarrassing problem for health and beauty—A narrative review. Mycoses, 64(10), 1140–1150.

Putri, A. N. (2019). Hubungan perilaku dengan tinea pedis pada taruna Akademi Angkatan Udara Yogyakarta tahun 2019. Universitas Kristen Indonesia.

Sariana, S. (2017). Upaya meningkatkan disiplin guru dalam kehadiran mengajar di kelas melalui waskat kepala sekolah pada SMP Negeri 4 Rimba Melintang Kabupaten Rokan Hilir. Perspektif Pendidikan dan Keguruan, 8(1), 12–17.

Simamora, R. H., & Saragih, E. (2019). Penyuluhan kesehatan masyarakat: Penatalaksanaan perawatan penderita asam urat menggunakan media audiovisual. JPPM (Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, 6(1), 24–31.

Sofyan, A., & Buchair, N. H. (2022). Penyakit kulit dan kelamin akibat infeksi jamur di Poliklinik RSUD Undata Palu tahun 2013-2021. Preventif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 13(2).

Syarifah, N., Ningrum, W. A., Zuhana, N., & Muthoharoh, A. (2021). Tingkat pengetahuan dan sikap terhadap tindakan pengobatan mandiri penyakit kutu air. Prosiding University Research Colloquium, 215–221.

 

Copyright holder:

Intan Permatasari Putri S. (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: