Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 12, Desember 2021

 

KOMUNIKASI KELOMPOK DALAM BUDAYA GOTONG ROYONG UNTUK MENINGKATKAN PEREKONOMIAN WARGA GENTENG CANDIREJO

 

Adrian Pratama Afrianto, Irwansyah

Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Menerapkan komunikasi kelompok dalam satu kampung membutuhkan kesadaran dan rasa saling memiliki antar warga. Sehingga setiap tujuan dalam mengembangkan, menjaga, dan mengenalkan kampung pada masyarakat luas bisa tercapai. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan menjaga budaya gotong royong, yang selama ini ditanamkan oleh warga Indonesia. Meski sudah lama tertanam budaya tersebut, masih banyak kampung yang hanya menerapkan gotong royong dalam satu kegiatan saja, yakni kerja bakti rutin. Bahkan ada pula warga yang tidak memiliki kesadaran dan meninggalkan budaya gotong royong tersebut. Salah satu kampung di Kota Surabaya berhasil menjaga budaya gotong royong dalam bentuk komunikasi kelompok untuk mengembangkan lingkungannya menjadi objek wisata. Sehingga warga kampung bisa melakukan pemberdayaan ekonomi secara mandiri dari rumahnya masing-masing.

 

Kata Kunci: Komunikasi Kelompok; Gotong Royong; Kebersamaan; Pemberdayaan

 

Abstract

Implementing group communication in a village requires awareness and a sense of belonging among residents so that every goal in developing, maintaining and introducing the village to the wider community can be achieved. This effort can be done by maintaining the culture of mutual cooperation (gotong royong), which has long been inculcated by Indonesians. Even though this culture has long been embedded, there are still many villages that only implement mutual cooperation in one activity, that is a routine community service. There are even residents who do not have awareness and leave the culture of gotong royong. One of the villages in Surabaya city has succeeded in maintaining the culture of gotong royong in the form of group communication to develop its environment into a tourist attraction so that villagers can carry out economic activities independently from their respective homes.

 

Keywords: group communication; gotong royong; togetherness; empowerment.

 

Received: 2021-11-20; Accepted: 2021-12-05; Published: 2021-12-20

 

 

 

Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa dilepas dengan hidup saling berinteraksi untuk tolong menolong dengan manusia lainnya. Hal tersebut karena manusia sebagai bagian dari masyarakat memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya sehingga memiliki ciri kehidupan yang khas (Djatimurti & Hanafie, 2016). Kehidupan bermasyarakat tentunya memiliki norma ataupun kebudayaan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Meskipun berbeda, tujuan adanya kebudayaan tersebut adalah untuk dapat menciptakan harmonisasi antar masyarakat yang hidup berdampingan serta menjaga nilai luhur yang telah ada sebelumnya. Tidak hanya itu, kebudayaan juga digunakan sebagai jalan ataupun arah dalam bertindak dan berpikir, sehubungan dengan pengalaman-pengalaman yang fundamental (Djatimurti & Hanafie, 2016).

Beragam kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia masih terus menunjukkan eksistensi dan dilestarikan oleh masyarakat. Salah satu kebudayaan yang masih terus dihidupkan di tengah-tengah masyarakat adalah budaya gotong royong (Nurcahyono & Astutik, 2018). Budaya tersebut merupakan interaksi antar masyarakat untuk saling tolong menolong serta bersama-sama melakukan suatu hal untuk mencapai tujuan dan juga kesejahteraan. Budaya ini bahkan tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Semakin berkembangnya zaman, gotong royong tidak lagi hanya sekedar sebuah budaya, namun sudah menjadi prinsip pemerintah bersama para warga dalam mencapai cita-cita membangan sebuah bangsa yang lebih maju. Program pemerintah pusat untuk memaksimalkan budaya gotong royong tersebut salah satunya adalah Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM). Kegiatan ini digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai upaya untuk menggelorakan kembali semangat gotong royong masyarakat agar ikut berperan akitf dalam pembangunan di daerah masing-masing (Rustan & Hakki, 2017).

Secara universal, gotong royong diartikan dalam banyak hal dan bentuk. Tidak hanya dengan melakukan kerja bakti mingguan di kampung-kampung, tapi juga seperti bersikap toleransi dan saling menghormati, bekerja sama menjaga keamanan lingkungan, membantu sesama yang sedang berduka, dan masih banyak lainnya (Irfan, 2017). Oleh sebab itu, masyarakat sendiri harus memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan serta mempertahankan semangat gotong royong tersebut. Agar tujuan dalam menciptakan lingkungan yang harmonis, aman, sejahtera di lingkungannya dapat tercapai (Dewantara, 2016).

Meski berbagai program dibuat oleh pemerintah pusat dan juga daerah di Indonesia, masih banyak masyarakat yang belum menerapkan dengan baik budaya gotong royong. Bahkan ada pula yang mulai meninggalkan� budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena kepentingan tiap individu yang berbeda-beda. Terlebih bagi mereka yang hidup di perkotaan yang selalu sibuk dengan berbagai macam pekerjaan sehingga kurang bersosialisasi dengan tetangga ataupun kerabat terdekatnya (Rolitia, Achdiani, & Eridiana, 2016).

Menerapkan budaya gotong royong membutuhkan peran dari seluruh elemen masyarakat, yakni pemimpin dan warganya. Sehingga, dalam hal ini kesadaran masing-masing individu sangat diperlukan. Budaya gotong royong yang diterapkan bisa diartikan dalam bentuk komunikasi kelompok, karena budaya ini membutuhkan peran kelompok masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis akan membahas penerapan budaya gotong royong di salah satu kampung di Kota Surabaya, yakni Genteng Candirejo RT 02 RW 08. Penulis akan mengulas bentuk komunikasi kelompok dalam gotong royong yang dilakukan masyarakat setempat. Selain itu, penelitian ini juga akan mengulas tujuan masyarakat setempat dalam melakukan budaya tersebut.

Berbagai penelitian mengenai budaya gotong royong di tengah lingkungan masyarakat telah banyak diteliti sebelumnya. Dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa kajian pustaka terdahulu yang membahas kemiripan teori maupun subjek penelitian. Berikut merupakan kajian penelitian terdahulu yang membahas komunikasi kelompok dalam kegiatan gotong royong.

1.    Komunikasi Dalam Komunikasi Kelompok yang ditulis oleh (Tutiasri, 2016). Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Mulyana, 2005). Kelompok dalam hal ini bisa dari gerakan dalam satu desa, satu organisasi, keluarga dan lainnya. Sedangkan komunikasi kelompok terjadi ketika tiga orang atau lebih bertatap muka, biasanya di bawah pengarahan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan atau sasaran bersama dan mempengaruhi satu sama lain (Dan B. Curtis, James J Floyd, dan Jerril L. Winsor, 2005, h.149) dalam (Hartanto, 2015).� Lebih mendalam ketiga ilmuwan tersebut menjabarkan sifat-sifat komunikasi kelompok meliputi kelompok komunikasi tatap muka, memiliki sedikit partisipan, bekerja dibawah arahan seorang pemimpin, membagi tujuan dan sasaran bersama, dan memiliki pengaruh atas satu sama lain.

2.    Nilai Gotong Royong Untuk Memperkuat Solidaritas Dalam Kehidupan Masyarakat Kampung Naga yang ditulis oleh (Rolitia et al., 2016). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, studi literatur serta menggunakan data-data dari online dan dokumentasi. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di lapangan, ada dua bentuk pelaksanaan gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga yaitu kondisional dan tidak kondisional. Bentuk gotong royong tersebut meliputi gotong royong di bidang pertanian, bidang perbaikan seperti renovasi rumah, hingga acara resmi seperti pernikahan, khitanan, upacara-upacara adat, hingga upacara kematian. Sebagai masyarakat adat, masyarakat Kampung Naga memaknai bahwa gotong royong sebagai salah satu pedoman hidup yang tidak terlepas dari bantuan orang lain. Oleh sebab itu pada setiap kegiatan gotong royong, berbagai lapisan masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, orang tua hingga lansia turut berpartisipasi. Adanya rasa solidaritas satu sama lain tersebut menciptakan makna kebersamaan yang kuat di tengah-tengah masyarakat Kampung Naga. Sehingga solidaritas dengan adanya gotong royong pun perlu terus dipertahankan (Supriatna, 2021).

3.    Efektivitas Komunikasi Kepala Desa Dalam Melestarikan Tradisi Gotong Royong Di Desa Tabah Pasemah Kabupaten Bengkulu Tengah yang ditulis oleh (Suri, 2018). Sama seperti referensi tinjauan pustaka sebelumnya, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun teknik penelitian yang dilakukan adalah dengan wawancara� tokoh masyarakat dan warga setempat, pengamatan langsung ke lokasi, serta mengumpulkan data melalui arsip serta dokumen-dokumen. Dari hasil penelitian tersebut, peneliti menemukan bahwa meskipun zaman sudah berubah, masyarakat Desa Taba Pasemah masih melestarikan budaya gotong royong. Hal tersebut terlihat dari adanya kelompok-kelompok yang dibuat untuk saling membantu satu sama lain seperti halnya kelompok kematian, kelompok yasinan, kelompok sarapa anam, kelompok syukuran hingga kelompok keamanan. Hal tersebut berhasil terbentuk karena adanya peran kepala desa yang berhasil merangkul para warganya, mau mendengarkan aspirasi, memberi solusi terbaik, hingga mempersuasif warganya untuk terus meningkatkan semangat gotong royong. Kepala desa Taba Pasemah sebagai komunikator di tengah masyarakat menggunakan pendekatan dan elemen-elemen komunikasi kelompok seperti menyampaikan pesan yang persuasif kepada masyarakat, menggunakan media komunikasi kelompok seperti facebook untuk berkoordinasi terkait kegiatan gotong royong, serta mengenali lebih dalam sifat dan karakter dari tiap masyarakat yang terlibat.

4.    Terakhir hasil penulisan artikel jurnal Budaya Gotong Royong Masyarakat dalam Perubahan Sosial Saat Ini ditulis oleh (Effendi, 2013), dalam penelitian ini membahas tentang pemahaman gotong royong. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa gotong royong telah tumbuh berkembang dalam masyarakat sejak lama. Sebagai modal sosial, gotong royong dapat dijadikan rujukan dan pegangan dalam mencapai kemajuan suatu bangsa. Itu artinya bila masyarakat masih memegang teguh prinsip gotong royong sebagai modal sosial maka lebih mudah dalam mencapai kemajuan bersama. Sebaliknya, bila nilai-nilai gotong royong yang terkandung dalam modal sosial tidak lagi menjadi pegangan dan rujukan dalam masyarakat dan komunitas bisa jadi akan mengalami kesulitan karena energi sosial bisa terbuang sia-sia dan berpotensi menghalangi mencapai tujuan kemajuan bersama.

Keempat hasil penelitian ini sebagai acuan penulis dalam menyelesaikan jurnal ini. Penelitian tersebut sama-sama menggunakan metode kualitatif dengan beberapa pendekatan, salah satunya adalah wawancara. Dalam penelitian ini pula menggunakan metode yang sama. Namun menggunakan teori komunikasi kelompok.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara secara mendalam atau yang dikenal dengan indepth interview. Wawancara dalam riset kualitatif ini bertujuan untuk mendapatkan data yang mendalam (Bungin, 2006). Subjek penelitian ini adalah warga yang tinggal di kawasan Kampung Genteng Candirejo RT 02 RW 08. Informan yang dipilih oleh penulis meliputi ketua RT, ketua kader lingkungan, dan beberapa warga setempat yang juga memproduksi minuman berbahan dasar herbal. Selanjutnya, hasil wawancara dengan informan-informan tersebut akan dianalisis menggunakan teori komunikasi kelompok untuk melihat penerapan budaya gotong royong dalam meningkatkan perekonomian warga kampung Genteng Candirejo.

 

Hasil dan Pembahasan

Kemajemukkan masyarakat perkotaan seringkali luput dengan budaya-budaya sederhana seperti budaya gotong royong. Namun tidak demikian dengan Kota Surabaya, kota yang dikenal sebagai Kota Pahlawan ini sudah delapan kali berturut-turut mendapatkan gelar Adipura Kencana. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini terus berupaya mencanangkan dengan serius budaya gotong royong ini. Hal tersebut terlihat dengan aksi nyata yang dilakukan kepala daerah yang kerap mengajak staf nya melakukan kerja bakti membersihkan bantaran sungai, maintenance taman-taman di seluruh wilayah Kota Surabaya. Bukan tidak hanya dengan staf nya, tapi dengan masyarakat, baik siswa, guru, dan masyarakat umum ikut serta membersihkan bantaran sungai atau laut.

Sebagai sosok pemimpin, upaya Tri Rismaharini tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat yang tinggal di kota Surabaya. Masih banyak kampung-kampung yang aktif menggelar kerja bakti setiap hari minggu. Selain itu toleransi antar masyarakat juga masih terasa kental di kota ini. Salah satunya di Kampung Genteng Candirejo RT 02 RW 08 yang terus menerapkan budaya gotong royong dan menerapkan komunikasi kelompok.

Berdasarkan analisis pola kegiatan dan komunikasi kelompok di atas, dapat dilihat dari Teori Groupthink dikemukakan oleh (Hayati, 2020) bahwa untuk menguji efektifitas proses pembuatan kebijakan yang dilakukan secara berkelompok. Kurt Lewin kemudian menyatakan bahwa kepaduan (cohesiveness) adalah variabel penentu efektif atau tidaknya suatu kelompok (Saputra, 2016).� Kepaduan dapat terwujud jika semua anggota kelompok memiliki pandangan bahwa tujuan atau cita-cita mereka hanya dapat terwujud melalui kerja sama kelompok. Pandangan tersebut kemudian menyebabkan setiap anggota kelompok saling bergantung satu sama lain dalam bekerja sama mencapai tujuan atau cita-cita mereka.

Menurut Janis, ada 9 langkah yang harus diperhatikan agar proses pembuatan kebijakan yang dilakukan dalam suatu kelompok dapat berhasil:

1.    Mendorong setiap orang untuk kritis dalam proses pembuatan kebijakan;

2.    Pemimpin tidak boleh secara terbuka menyampaikan keinginan pribadi di tahap awal;

3.    Membentuk sub-tim pembuat kebijakan dan beberapa orang lain bertindak memberi masukan;

4.    Membagi anggota menjadi beberapa kelompok kecil;

5.    Jika timbul permasalahan, tidak boleh dibahas dalam kelompok;

6.    Undang pihak eksternal untuk mendapatkan masukan;

7.    Menunjuk beberapa individu dalam setiap pertemuan untuk memperjuangkan suatu gagasan;

8.    Luangkan waktu yang banyak untuk mengamati perpecahan yang kemungkinan terjadi;

9.    Mengadakan pertemuan kedua sebelum suatu kebijakan diambil.

 

1.    Komunikasi Kelompok Masyarakat Genteng Candirejo

Kota Surabaya memiliki 31 kecamatan dan 154 kelurahan. Setiap kawasan di Kota Pahlawan tersebut memiliki karakteristik masing-masing, baik kawasan sejarah maupun daya tarik wisata, pusat perbelanjaan dan lainnya. Salah satu kampung Genteng Candirejo RT 02 RW 08 memiliki ciri khas tersendiri di Surabaya. Meskipun berada di pusat kota yang berdampingan dengan gedung-gedung tinggi seperti mall, hotel maupun apartemen, kampung dengan jumlah 125 warga ini memiliki nuansa kampung yang asri. Bahkan antar individu di lingkungan tersebut saling mengenal dan berinteraksi satu sama lain.

Masyarakat Genteng Candirejo tidak lepas dari kegiatan komunikasi kelompok di kehidupan sehari-harinya. Komunikasi atau interaksi tersebut guna merencanakan atau melakukan musyawarah dalam menciptakan lingkungan yang asri. Dalam menjaga kelestariannya, warga kampung bersama-sama mengeluarkan ide, inovasi untuk kampungnya. Tujuannya adalah untuk menjadikan kampung Genteng Candirejo RT 02 RW 08 menjadi kampung wisata. Komunikasi kelompok ini sangat terlihat dengan jelas ketika warga kampung akan mengikuti kegiatan lomba Surabaya Smart City (SSC) tahun 2008 lalu. Dengan koordinasi oleh Ketua RT, warga bergotong royong membuat sebuah program, baik dalam mempercantik kampung dengan penghijauan, atau dengan menambah fasilitas umum. Selain itu, warga kampung memiliki rasa memiliki dan mencintai kampung yang ditinggalinya.

Kelompok di Kampung Genteng Candirejo meliputi kelompok ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), kelompok pengajian, kader lingkungan, kelompok UMKM, dan juga Karang Taruna. Hampir seluruh warga tergabung dan berpartisipasi dalam kelompok tersebut. Selain dengan tujuan menciptakan lingkungan yang guyub rukun, warga tersebut berupaya membanguan kampungnya menjadi salah satu objek wisata di Kota Surabaya. Dalam prosesnya, warga Genteng Candirejo melakukan komunikasi secara langsung (bisa saat berkumpul atau arisan) dan tak langsung, atau menggunakan media sosial, yakni grup chatting Whatsapp.

Warga Genteng Candirejo kerap melakukan diskusi di balai RW yang terletak di ujung gerbang kampung. Ketua RT dengan warga-warga akan berkumpul jika merencanakan sebuah kegiatan dan terjadi komunikasi kelompok. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, partisipasi warga, baik dalam memberikan, dan memutuskan ide akan dilakukan dengan musyawarah. Pastinya selama pelaksanaan kegiatan tersebut diikuti oleh seluruh warga kampung tersebut.

Kegiatan guyup, gotong royong dan inovatif tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tapi juga anak-anak kampung. Di Kampung Genteng Candirejo RT 02 RW 08 terdapat juga Karang Taruna yang diikuti oleh anak-anak muda. Meski hanya terdapat tujuh anak muda, mereka mau bergabung dan berkreasi dalam organisasi tersebut. Setiap anggota aktif memberikan ide dan menjalan serangkaian kegiatan untuk warga kampung. Misalnya dengan mengadakan acara tahunan 17 Agustus untuk perlombaan perayaan kemerdekaan. Adapula kegiatan pesta di akhir tahun, tentunya untuk menyambut tahun baru. Kegiatan tersebut dikelola anak muda, dan diikuti oleh seluruh warga kampung.

Komunikasi kelompok yang dilakukan oleh warga Genteng� Candirejo sesuai dengan teori Groupthink yang diungkapkan oleh Janis yang sudah tertulis sebelumnya. Ketua RT mendorong setiap warganya untuk bersikap kritis dalam proses pembuatan kebijakan. Warga diberikan kesempatan untuk berpendapat, mengkritik kebijakan yang kurang sesuai atau memberatkan warga. Dalam tahap awal pembuatan program atau kegiatan pun, Ketua RT tidak mengemukakan keinginan pribadinya pada awal pertemuan maupun diskusi. Hal tersebut terjadi di semua kegiatan dalam kampung, salah satunya seperti penentuan produk unggulan di Kampung Genteng Candirejo. Warga memberikan pendapat produk yang diinginkannya, jika terdapat masalah akan didiskusikan dengan bimbingan Ketua RT.

Selain itu, Ketua RT membentuk sub-tim untuk menjalankan sebuah program atau kegiatan, seperti gerakan ekonomi, gerakan kebersihan, pengajian, dan lainnya. Dalam meningkatkan kualitas pun, warga Genteng Candirejo menerima pendampingan dari berbagai pihak, baik dari Pemerintah Kota Surabaya, perusahaan tertentu, maupun stakeholder. Pihak eksternal kampung tersebut memberikan dukungan, pendampingan, dan program-program tambahan yang mungkin bisa diterapkan oleh warga setempat.

2.    Gotong Royong Sebagai Bentuk Komunikasi Kelompok

Karakteristik warga Genteng Candirejo RT 02 RW 05 dalam melakukan kegiatan adalah dengan menerapkan dan memegang teguh gotong royong. Mereka melakukan segala kegiatan pengembangan dan menjaga kampung secara bersama-sama, saling tolong menolong, dan juga toleransi. Seperti yang terlihat saat ini, sepanjang jalan di kampung tersebut dipenuhi dengan tanaman dalam pot di depan rumah masing-masing. Dalam perawatannya, antar tetangga saling menjaga dan mau membantu menyiram tanaman tetangga secara bergantian. Bahkan ada pula green house yang dikelola bersama-sama mampu diperjual belikan untuk masyarakat umum. Tentunya gratis untuk warga kampung Genteng Candirejo RT 02 RW 08 sendiri.

Selain dalam penghijauan, warga Genteng Candirejo saling menyapa satu sama lain jika bertemu. Setiap orang hampir mengenal seluruh warga dalam kampung tersebut. Setiap sore, ketika warga tengah bersantai dan selesai dari urusan pribadi masing-masing, mereka ngobrol antar tetangga di depan rumah masing-masing. Menariknya, jika ada tanaman rusak, lingkungan kotor, atau bahkan fasilitas umum yang rusak warga dengan spontan mengajak kerja bakti di hari libur kerja. Inisiatif tersebut bukan atas suruhan Ketua RT, tapi dari kesadaran dan budaya gotong royong menjaga lingkungannya.

Budaya gotong royong dalam kampung tersebut lambat laun membentuk tujuh pilar yang dipegang teguh oleh warga Genteng Candirejo. Tujuh pilar tersebut meliputi bidang lingkungan, bidang ekonomi, bidang kesehatan dan nutrisi, bidang daur ulang atau sanitasi, bidang teknologi informasi, bidang pendidikan dan bidang keamanan. Dalam bidang-bidang tersebut diterapkan dengan baik oleh warga setempat, yang dilakukan untuk sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pilar tersebut pula dijadikan sebagai acuan warga dalam mengembangkan kampung yang layak menjadi objek wisata. Beberapa kegiatan yang dilakukan seperti kerja bakti, pengajian, senam dan penimbangan bank sampah tiap satu bulan sekali di minggu pertama awal bulan. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya diikuti oleh 20-25 orang.

Kegiatan penimbangan sampah mulai dilakukan oleh setempat pada tahun 2010. Awalnya, pihak Unilever datang ke Kampung Genteng Candirejo untuk menawarkan kerjasama ini dan disambut baik oleh para warga setempat. Selain itu ada pula kegiatan pengajian yang diselenggarakan berkat kerjasama dengan Badan Amil Zakat (BAZ). Pengajian rutin dilakukan selama tiga tahun belakangan ini merupakan ide dari salah satu staff Dinas Pertanian dan mengajak BAZ untuk memberikan fasilitas pengajian dan juga penceramah. Tidak hanya itu, jika warga setempat rutin melakukan pengajian, maka warga akan diberi pinjaman modal untuk mengembangkan UMKM.

Tidak hanya ibu-ibu PKK saja yang aktif melakukan kegiatan, bapak-bapak dan juga seluruh lapisan yang ada di Kampung Genteng Candirejo ini juga turut berpartisipasi dalam kegiatan kerja bakti setiap tiga bulan sekali. Kegiatan yang sudah rutin dilakukan sejak lama ini memiliki keunikan sendiri di Kampung Genteng Candirejo. Para warga disini memiliki sistem barter tanaman yang dilakukan antar tetangga.

Adapula kegiatan barter, tradisi lama yang diterapkan kembali di Kampung Genteng Candirejo. Barter di kampung ini untuk menukar tanaman-tanaman atau barang yang dimiliki tetangga. Banyak warga yang menilai bahwa kegiatan ini sangat menguntungkan, karena bisa menghemat pengeluaran untuk membeli tanaman baru. Soal harga dari tanaman yang dibarter, masyarakat menentukan sendiri harga masing-masing tanaman dan tentunya tidak memaksa jika ada pihak yang tidak mau diajak untuk melakukan barter tanaman.

Warga berprinsip bahwa hidup bertetangga harus saling rukun dan bergotong royong. Banyak hal yang dilakukan hingga timbul keharmonisan dalam hidup bermasyarakat di Kampung Genteng Candirejo. Ketika sudah santai di sore hari, warga yang menyiram tanaman atau duduk-duduk di depan rumah akan saling sapa. Bahkan terkadang mencetuskan untuk melakukan kerjabakti bersama pada hari yang sudah ditentukan bersama. Inisiatif tersebut bukan dari paksaan Ketua RT, tapi kesadaran masing-masing. Banyak warga merasa bangga dengan kegiatan yang dilakukan oleh Ketua RT Genteng Candirejo, mereka merasa menambah wawasan untuk rajin menjaga lingkungan serta menumbuhkan sikap mandiri.

Salah satu warga yang baru tinggal 10 tahun tinggal di Kampung Genteng Candirejo mengaku bangga bisa berada di lingkungan warga yang guyup dan peduli antar tetangga. Perempuan yang juga sebagai Bendahara kegiatan Bank Sampah menyampaikan tempat tinggal sebelumnya memiliki banyak perbedaan. Jika dulu tak saling mengenal antar tetangga, kini seluruh warga kampung saling mengenal. Dalam menjalankan program pun antusiasme warga berbeda dengan kampung sebelumnya. Kini antar tetangga saling membantu jika terdapat keluarga yang tertimpa musibah, seperti keluarga meninggal, atau rumah yang butuh perbaikan.

3.    Gotong Royong untuk Mencapai Kesejahteraan Ekonomi Bersama

Komunikasi kelompok yang terjadi dalam budaya gotong royong dengan Kampung Candirejo RT 02 RW 08 ini memiliki tujuan, yakni mengupayakan perekonomian bersama. Ketua RT dan warga dengan kompak menjadikan kampungnya sebagai salah satu objek wisata di Kota Surabaya. Selain mengubah lingkungan menjadi asri dan hijau, warga kampung membuat beberapa inovasi seperti membuat budidaya ikan, menanam tanaman hidroponik, daur ulang air dan melengkapi fasilitas umum seperti taman baca dengan layanan internet, bank sampah, posyandu, perpustakaan, greenhouse dan lainnya.

Dalam tujuannya menjadikan objek wisata yang targetnya pengunjung nasional dan internasional, Ketua RT bersama warga bergerak membentuk Sentra Olahan Herbal atau membentuk Unit Mikro Kecil Menengah (UMKM). Kini terdapat 13 UMKM yang memproduksi minuman herbal. Pastinya setiap unit memiliki produk unggulan untuk dipasarkan ke warga. Sehingga wisatawan memiliki banyak pilihan untuk membeli oleh-oleh dari kampung tersebut. Nama masing-masing unit usaha memiliki branding nama, kemasan, dan juga logo masing-masing.

Para warga yang tinggal di kampung Genteng Candirejo saling bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk menciptakan kampung yang asri dan nyaman bagi mereka sendiri dan juga para tamu pendatang. Hal tersebut terbukti dengan dipilihnya kampung Genteng Candirejo sebagai salah satu kampung wisata yang dikunjungi oleh para Delegasi UN Habitat tahun 2016. Terpilihnya kampung Genteng Candirejo sebagai salah satu kampung wisata terbaik di Surabaya tersebut karena peran serta warga dari segala lapisan yang terus saling menjaga komunikasi dan kerjasama yang baik. Para ibu rumah tangga yang rata-rata tidak bekerja di lingkungan tersebut dikoordinasi secara persuasif untuk dapat menciptakan sebuah usaha yang mampu meningkatkan perekonomian keluarga mereka. Mereka aktif mengelola UMKM dengan membuat beragam produk minuman berbahan dasar herbal. Produk-produk tersebut pun sudah dipasarkan di berbagai pusat perbelanjaan khusus UMKM yang ada di kota Surabaya secara offline hingga melalui media online.

Komunitas yang terdiri dari ibu-ibu ini diberi nama Kelompok Tani. Kelompok Tani ini terdiri dari 13 UMKM yang masing-masing memproduksi berbagai jenis olahan pangan yang berbeda. Jenis olahan tersebut antara lain adalah sinom, sari kacang hijau, beras kencur, temulawak, kunyit asem, minuman kemangi jeruk, bir pletok, manisan belimbing, degan jelly, rosella, kopi susu kekinian hingga kletikan khas surabaya. Meskipun beragam, ada beberapa ibu-ibu yang mengolah minuman herbal sejenis.

 

Kesimpulan

Meskipun berada di tengah kota Surabaya, nilai budaya gotong royong di Kampung Genteng Candirejo masih terjaga dengan baik. Hal tersebut karena adanya kerjasama dan koordinasi yang baik dari Ketua RT dan antar warga. Masing-masing individu memiliki kesadaran untuk saling menjaga, melindungi, toleransi dan aktif berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan di kampung. Ketua RT memberikan contoh teladan, fasilitas bagi warga yang ingin berkreasi, serta mau mendengarkan ide-ide dari para warga yang betujuan untuk menciptakan kesejahteraan bersama.

Bentuk gotong royong yang ada di Kampung Genteng Candirejo terdiri dari kegiatan penimbangan bank sampah, senam bersama, pengajian, kerja bakti, Agustusan, acara penutupan akhir tahun hingga mengikuti beragam kompetisi lingkungan. Tidak hanya kegiatan-kegiatan formal saja, nilai solidaritas dan gotong royong di kampung ini juga terlihat saat ada salah satu warga yang mengalami musibah duka. Para warga dengan sukarela memberi bantuan bahkan juga menyumbangkan konsumsi yang juga merupakan produk UMKM mereka. Seluruh lapisan masyarakat yang tinggal di kampung tersebut selalu turut ambil bagian dalam kegiatan yang dilaksanakan.

�Selain itu, sikap solidaritas dan gotong royong mereka juga tercermin dari keguyuban dalam komunitas Kelompok Tani yang memproduksi produk minuman dengan olahan bahan herbal. Meskipun produk minuman yang dijual memiliki kesamaan jenis antar satu UMKM dengan UMKM lain, mereka tetap saling bekerjasama dan tidak ada persaingan di antara para warga. Mereka mencari pembeda dan keunggulan dari produk UMKM masing-masing.�

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai gotong royong sudah memiliki makna tersendiri bagi warga Kampung Genteng Candirejo. Bukan sebagai kewajiban lagi, mereka menerapkan nilai-nilai mulia gotong royong tersebut dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam hal kecil sekalipun. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bersama dan juga meningkatkan nilai perekonomian bagi setiap keluarga yang hidup di Kampung Genteng Candirejo. Oleh sebab itu, kegiatan gotong royong yang tertanam di Kampung Genteng Candirejo perlu terus dipertahankan.

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Bungin, Burhan. (2006). Sosiologi Komunikasi Kencana Prenadamedia Group. Jakarta Putra Grafik. Google Scholar

 

Dewantara, Agustinus Wisnu. (2016). Gotong-royong menurut Soekarno dalam perspektif aksiologi Max Scheler, dan sumbangannya bagi nasionalisme Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Google Scholar

 

Djatimurti, Sri Rahayu, & Hanafie, Rita. (2016). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: CV Andi Offset. Google Scholar

 

Effendi, Tadjuddin Noer. (2013). Budaya Gotong-Royong Masyarakat dalam Perubahan Sosial Saat Ini. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 2(1). Google Scholar

 

Hartanto, Ari. (2015). Pola Komunikasi Komunitas Perantau Asal Madura Di Kota Bandung Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Pola Komunikasi Komunitas Perantau Asal Madura Di Kota Bandung. Google Scholar

 

Hayati, Wita Nur. (2020). Groupthink Dalam Pembuatan Keputusan Kegiatan Bina Desa Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam. Jurnal Syntax Fusion, 1(1), 85�98. Google Scholar

 

Irfan, Maulana. (2017). Metamorfosis gotong royong dalam pandangan konstruksi sosial. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(1), 1�10. Google Scholar

 

Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar. Bandung: Rosda. Google Scholar

 

Nurcahyono, Okta Hadi, & Astutik, Dwi. (2018). Harmonisasi Masyarakat Adat Suku Tengger (Analisis Keberadaan Modal Sosial Pada Proses Harmonisasi Pada Masayarakat Adat Suku Tengger, Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur). Dialektika Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 2(1), 1�12. Google Scholar

 

Rolitia, Meta, Achdiani, Yani, & Eridiana, Wahyu. (2016). Nilai Gotong royong untuk memperkuat solidaritas dalam kehidupan masyarakat kampung naga. Sosietas, 6(1). Google Scholar

 

Rustan, Ahmad Sultra, & Hakki, Nurhakki. (2017). Pengantar ilmu komunikasi. Deepublish. Google Scholar

 

Saputra, Aditya Oktendy. (2016). Memahami pola komunikasi kelompok antar anggota komunitas punk di Kota Semarang. Jurnal The Messenger, 4(1), 44�62. Google Scholar

 


Supriatna, Encup. (2021). Pelestarian Budaya Lokal Kampung Naga Sesebagai Perekat Solidaritas Sosial Masyarakat. Akselerasi: Jurnal Ilmiah Nasional, 3(2), 44�55. Google Scholar

 

Suri, Evsa Wulan. (2018). Efektivitas Komunikasi Kepala Desa Dalam Melestarikan Tradisi Gotong Royong Di Desa Taba Pasemah Kabupaten Bengkulu Tengah. Mimbar: Jurnal Penelitian Sosial Dan Politik, 6(4), 28�32. Google Scholar

 

Tutiasri, Ririn Puspita. (2016). Komunikasi Dalam Komunikasi Kelompok. Jurnal Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 4(1). Google Scholar

 

Copyright holder:

Adrian Pratama Afrianto, Irwansyah (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

������������������������������������������������������������