Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

LAPORAN KASUS PASIEN DENGAN RETINITIS TOKSOPLASMA, PRIMARY OPEN ANGLE GLAUCOMA (POAG), DAN ASTIGMATISMA MIOPIA COMPOSITORUM 

 

Belinda Junitia1, Hayati Fuad2

Universitas Tarumanegara, Jakarta, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Kompleksitas penanganan pasien yang mengalami Retinitis Toxoplasma, Primary Open Angle Glaucoma (POAG), dan Astigmatisme Miopia Composita, yang dapat saling berinteraksi dan mempengaruhi prognosis penglihatan pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana ketiga penyakit tersebut berinteraksi, dampaknya terhadap prognosis pasien, serta tantangan yang muncul dalam penanganan medisnya. Metode yang digunakan meliputi pengumpulan data klinis dari riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan oftalmologi menyeluruh, dan analisis hasil pemeriksaan untuk mengidentifikasi interaksi antara ketiga kondisi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga kondisi, di mana Retinitis Toxoplasma dapat memperburuk penglihatan pada pasien dengan POAG dan astigmatisme, sementara pengelolaan tekanan intraokular juga menjadi tantangan utama dalam mempertahankan fungsi visual pasien. Temuan ini menekankan perlunya pendekatan multidisiplin dalam penanganan pasien dengan kondisi medis yang kompleks untuk meningkatkan hasil penglihatan dan kualitas hidup.

Kata kunci: Astigmatisme Miopia Composita, Primary Open Angle Glaucoma (POAG), dan Retinitis Toxoplasma

 

Abstract

The complexity of handling patients with Toxoplasma Retinitis, Primary Open Angle Glaucoma (POAG), and Myopia Composita Astigmatism, which can interact with each other and affect the patient's vision prognosis. The purpose of this study is to explore how the three diseases interact, their impact on the patient's prognosis, and the challenges that arise in their medical treatment. The methods used include the collection of clinical data from the patient's medical history, a thorough ophthalmological examination, and the analysis of the examination results to identify the interaction between the three conditions. The results showed that there was a significant association between the three conditions, where Toxoplasma Retinitis can worsen vision in patients with POAG and astigmatism, while managing intraocular pressure is also a major challenge in maintaining the patient's visual function. These findings highlight the need for a multidisciplinary approach in the treatment of patients with complex medical conditions to improve vision outcomes and quality of life.

Keywords: Astigmatisme Miopia Composita, Primary Open Angle Glaucoma (POAG), dan Retinitis Toxoplasma

 

Pendahuluan

Retinitis Toxoplasma adalah infeksi pada retina yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Kondisi ini sering kali terjadi pada individu dengan sistem kekebalan yang terganggu, namun dapat juga terjadi pada pasien dengan imunitas normal. Infeksi ini dapat menyebabkan peradangan yang signifikan pada retina, mengakibatkan kerusakan visual yang berpotensi permanen (Souza et al., 2023). Pasien dengan Retinitis Toxoplasma sering melaporkan gejala seperti penglihatan kabur, bintik-bintik hitam dalam pandangan, dan nyeri pada mata. Penanganan yang tepat sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, seperti kebutaan (Kalogeropoulos et al., 2022).

Primary Open Angle Glaucoma (POAG) adalah jenis glaukoma yang umum dan ditandai dengan peningkatan tekanan intraokular yang berujung pada kerusakan saraf optik. POAG biasanya tidak menunjukkan gejala pada tahap awal, sehingga banyak pasien tidak menyadari kondisinya sampai terjadi kerusakan penglihatan yang signifikan (Selvan et al., 2022). Pada banyak kasus, kombinasi faktor genetik, usia, dan kondisi medis lainnya dapat berkontribusi terhadap perkembangan POAG. Oleh karena itu, deteksi dini dan pengelolaan tekanan intraokular menjadi sangat penting dalam upaya mempertahankan penglihatan (Gedde et al., 2021).

Astigmatisme Miopia Composita merupakan kelainan refraksi yang terjadi ketika bentuk kornea tidak simetris, menyebabkan penglihatan kabur baik untuk objek jauh maupun dekat. Hal ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari pasien dan menyebabkan ketidaknyamanan, terutama saat melakukan tugas yang membutuhkan fokus visual tinggi (Martínez-Plaza et al., 2023). Pengelolaan astigmatisme ini umumnya melibatkan penggunaan kacamata atau lensa kontak untuk memperbaiki penglihatan, namun perlu diperhatikan dalam konteks pasien dengan kondisi medis lain seperti Retinitis Toxoplasma dan POAG (Vyas & Kee, 2021).

Kombinasi ketiga kondisi ini dapat menimbulkan tantangan dalam penanganan medis yang efektif. Penanganan Retinitis Toxoplasma memerlukan perhatian khusus terhadap risiko infeksi yang lebih tinggi pada pasien dengan glaukoma, di mana pengobatan dapat mempengaruhi tekanan intraokular. Selain itu, kondisi refraksi seperti astigmatisme miopia harus diperbaiki untuk memastikan penglihatan yang optimal tanpa memperburuk kondisi lain. Laporan kasus ini bertujuan untuk mengeksplorasi interaksi antara ketiga penyakit ini, dampaknya terhadap prognosis, dan tantangan yang dihadapi dalam manajemen klinis pasien.

Studi sebelumnya yang dilakukan (Kafi & Akter, 2023) menjelaskan bahwa infeksi parasit toxoplasma gondii menyerang kedua mata, menyebabkan peradangan retina yang berat. Bilateral toxoplasma retinitis jarang terjadi, tetapi ketika muncul, dapat mengakibatkan gangguan penglihatan yang signifikan atau bahkan kebutaan jika tidak ditangani dengan baik. Laporan ini menyoroti pentingnya diagnosis dini dan penanganan agresif, termasuk pemberian terapi antimikroba dan antiinflamasi yang tepat. Kondisi ini menimbulkan tantangan besar dalam pengelolaan klinis karena keterlibatan kedua mata, dan laporan ini menambah literatur mengenai pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi yang mengancam penglihatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana ketiga penyakit tersebut berinteraksi, mempengaruhi prognosis, dan tantangan dalam penanganan medisnya. Kebaruan penelitian ini adalah belum pernah dilaporkan sebelumnya dengan fokus khusus pada keterlibatan kedua mata secara bersamaan dan dampaknya yang sangat merusak penglihatan. Selain itu, kombinasi ketiga kondisi ini juga jarang dilaporkan secara bersamaan dalam satu kasus, sehingga dapat memberikan wawasan baru bagi klinisi dalam mengidentifikasi, mendiagnosis, dan menangani pasien dengan kondisi serupa secara lebih komprehensif.

 

 

Metode Penelitian

Seorang pasien perempuan berusia 21 tahun datang ke poli klinik mata RS Bhayangkara Semarang dengan keluhan utama pandangan buram pada mata kanan serta nyeri pada mata kanan. Pasien menjelaskan bahwa pandangan buram pada mata kanan telah dirasakan sejak 9 tahun lalu, disertai penglihatan yang seakan dipenuhi bintik-bintik hitam berterbangan. Nyeri pada mata kanan dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan sering muncul ketika pasien merasa lelah atau stres. Keluhan tersebut bersifat hilang timbul. Pasien sempat menjalani pengobatan rutin di Balai Kesehatan Indera Masyarakat (BKIM) Semarang selama empat bulan. Namun, pada saat itu, pasien juga mulai menyadari adanya keluhan serupa pada mata kirinya.

Empat tahun lalu, keluhan buram pada kedua mata kambuh kembali dan semakin memberat. Pasien berobat ke dokter spesialis mata di RSUP Kariadi Semarang selama empat bulan. Satu tahun yang lalu, keluhan pandangan buram semakin sering muncul, terutama akibat stres dari tugas kuliah, yang menyebabkan kesulitan melihat dengan jelas saat kuliah dan mengendarai sepeda motor. Karena merasa kondisinya semakin memburuk, pasien memutuskan untuk berobat ke dokter spesialis mata di RS Bhayangkara Semarang, dan telah menjalani kontrol rutin hingga saat ini.

Pasien menggunakan kacamata minus sejak 9 tahun yang lalu. Ibu pasien mengalami infeksi Toxoplasma saat hamil pasien di usia 28 minggu. Tante pasien juga memiliki riwayat infeksi Toxoplasma sebanyak 2x pada saat hamil. Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi kopi 1x/hari dan waktu tidur yang kurang. Pasien juga memiliki kebiasaan melihat handphone dan laptop dalam jangka waktu lama. Riwayat memelihara kucing pada saat ibu pasien hamil.

Pada pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2024 pukul 11.15 WIB di Poli Mata RS Bhayangkara Semarang, didapatkan beberapa temuan klinis.

 

Tabel 1. Kesimpulan Hasil Pemeriksaan Pasien

OD

OS

1.   VOD 0.5

2.   Refraksi S -0.50 C -0.75

3.   Koreksi 1.0

4.   TIO : 15 mmHg

5.   Funduskopi: reflek fundus (+), reflek macula (+), optic disc bulat, batas tegas, warna kuning kemerahan, CDR 0,4, A/V ratio 2/3, lesi toxoplasma lama inaktif (+), sikatrik (+), lesi scar (+) di superotemporal

1. VOS 0.06 NC

2. TIO : 18 mmHg

3. Lapang pandang menyempit

4. COA dalam

5. Funduskopi: reflek fundus (+), reflek macula (+), optic disc bulat, batas tegas, warna kuning kemerahan, CDR 0,6, A/V ratio 2/3, filamen cellen (-), lesi toxoplasma lama inaktif (+) ukuran 2000 mikron, sikatrik (+), nervus II glaucomatosa, fibrin di depan nervus II (+)

 

Berdasarkan hasil pemeriksaan, ditemukan beberapa kondisi medis pada pasien, yaitu:

1.     ODS Retinitis Toxoplasma

2.     OS Primary Open Angle Glaucoma (POAG)

3.     OD Astigmatisme Miopia Compositorum

Gambar 1. Foto Hasil Biomikroskopi Pasien

 

Hasil dan Pembahasan

Dalam laporan kasus ini, pasien didiagnosis dengan beberapa kondisi medis yang memengaruhi kedua matanya. Pertama, ODS Retinitis Toxoplasma, yang berarti adanya peradangan pada retina kedua mata. Kedua, pasien didiagnosis dengan Primary Open Angle Glaucoma (POAG) di mata kiri (oculus sinister). Ketiga, pasien juga mengalami Astigmatisme Miopia Composita di mata kanan (oculus dexter).

 

Retinitis Toxoplasma

Toxoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, protozoa intraseluler obligat yang diperkirakan menginfeksi lebih dari separuh populasi orang dewasa di wilayah mediterania dan tropis (Cox et al., 2017). Kucing bertindak sebagai inang definitif bagi T. gondii, sementara inang perantaranya termasuk tikus, hewan ternak, burung, dan manusia. Siklus hidup parasit ini dimulai ketika ookista yang dikeluarkan melalui kotoran kucing tertelan oleh inang perantara (Khandwala, Nikhila, 2020). Pada manusia, infeksi terutama terjadi melalui air, makanan (seperti daging yang tidak dimasak dengan baik), atau tanah yang tercemar oleh kotoran kucing. Penularan vertikal juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu yang terinfeksi ke janin selama kehamilan. Selain itu, infeksi dapat menyebar melalui transfusi darah atau transplantasi organ. Gejala infeksi T. gondii sering kali tidak tampak (asimtomatik), tetapi ketika gejala muncul, mereka biasanya tidak spesifik, seperti demam dan kelelahan (Sari & Ni’mah, 2024).

Toxoplasmosis dapat bermanifestasi secara sistemik maupun okular dengan gejala dan karakteristik yang berbeda tergantung pada kondisi pasien (Khandwala, Nikhila, 2020). Pada toxoplasmosis kongenital, ibu hamil biasanya tidak menunjukkan gejala yang jelas atau spesifik. Namun, jika infeksi terjadi pada awal kehamilan, risiko kematian janin lebih tinggi. Lebih dari 75% kasus toxoplasmosis kongenital dapat mengalami retinokoroiditis, yang ditemukan secara tidak disengaja. Infeksi toxoplasmosis pada anak yang terjadi setelah kelahiran, biasanya terjadi pada lebih dari 50% kasus pada masa kanak-kanak dan bersifat subklinis. Meskipun lesi okular dapat muncul, perkembangan lesi tersebut mungkin tidak terjadi dengan cepat setelah infeksi awal.

Pada orang dewasa yang memiliki sistem imun yang normal (imunokompeten), toxoplasmosis sering kali bersifat subklinis dalam 80-90% kasus. Gejalanya dapat berupa limfadenopati servikal, demam, malaise, dan faringitis, namun manifestasi sistemik yang lebih berat jarang terjadi. Sekitar 20% kasus infeksi pada orang dewasa imunokompeten dapat menyebabkan retinitis.

Sedangkan pada orang dewasa dengan sistem imun yang terganggu (imunokompromais), infeksi toxoplasmosis dapat didapat atau terjadi akibat reaktivasi penyakit yang sudah ada sebelumnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan infeksi yang lebih parah.

Sementara secara okular, manifestasi khas dari toxoplasmosis adalah retinitis nekrosis fokal yang terlihat sebagai area putih halus yang berdekatan dengan jaringan parut yang telah berpigmen, dikenal sebagai "lesi satelit." Lesi ini biasanya muncul di bagian posterior mata. Selain itu, inflamasi pada vitreus atau vitritis sering kali mengaburkan lesi aktif ketika dilakukan pemeriksaan funduskopi, menghasilkan fenomena yang dikenal sebagai "Headlight in the fog," di mana cahaya terang dari lesi yang aktif tampak buram di tengah kekeruhan vitreus (Levin, 2019)

Gambar 2. Lesi fokal pada retinitis akibat T. gondii

 

Gambar 3. Headlight in the fog

 

Manifestasi lain dari infeksi Toxoplasma meliputi vaskulitis, pembengkakan pada diskus optik, neuroretinitis, dan penurunan penglihatan (Das et al., 2016). Kehilangan kemampuan melihat dapat bersifat permanen dan disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk lesi inflamasi dan pembengkakan pada makula, keterlibatan saraf optikus, penyumbatan pembuluh darah, ablasi retina serosa, serta neovaskularisasi koroid yang terjadi sebagai komplikasi lanjut (Wildani & Cahyono, 2024). Faktor-faktor ini berkontribusi terhadap kerusakan struktural pada mata, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan yang signifikan.

Pemeriksaan retina untuk Toxoplasma biasanya dapat dilakukan melalui pengamatan manifestasi klinis, karena sebagian besar pasien menunjukkan tanda-tanda khas seperti bekas luka korioretinal disertai lesi satelit dan area retinokoroiditis yang masih aktif. Namun, jika diagnosis klinis tidak sepenuhnya jelas, pemeriksaan penunjang tambahan mungkin diperlukan untuk memastikan kondisi tersebut. Berikut merupakan jenis pemeriksaan untuk mendiagnosis Toxoplasma seperti dikutip dalam (Khandwala, Nikhila, 2020), seperti:

 

Tes serologi

Pemeriksaan serum antibodi IgM dan IgG Toxoplasma cukup banyak dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis. Antibodi IgM dan IgG serum diproduksi dalam 1-2 minggu setelah infeksi, dengan kadar IgM meningkat pada minggu pertama dan tidak terdeteksi dalam waktu 6-9 bulan. IgM positif biasanya menunjukkan bahwa infeksi telah didapat dalam 1 tahun terakhir, sehingga membantu membedakan antara infeksi akut dan kronis. IgG positif mengindikasikan adanya paparan terhadap organisme pada suatu saat di masa lalu. Namun, pada pasien imunokompromais pemeriksaan serologi ini tidak dapat diandalkan terutama jika terdapat kecurigaan klinis yang tinggi, sehingga harus didasarkan pada presentasi klinis bersama dengan tes diagnostik lainnya.

 

Tes PCR

Pemeriksaan PCR pada cairan intraocular bersifat sensitif dan sangat spesifik. Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan diagnosis pada kasus yang tidak pasti secara klinis

 

Pemeriksaan antibodi cairan ocular.

Menghitung rasio IgG spesifik dalam humor aqueous dengan yang ada dalam serum merupakan pemeriksaan yang cukup sensitif.

 

Pencitraan

Pemeriksaan Optical Coherence Tomography (OCT) dapat membantu dalam menilai berbagai tahapan toxoplasmosis ocular. Fase aktif ditandai dengan adanya penebalan dan hiperreflektifitas retina. Seiring dengan membaiknya penyakit, hiperreflektifitas akan menghilang dan meninggalkan lesi berupa jaringan parut dan atrofi retina.

Setelah dilakukan pemeriksaan, sebagian besar pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang baik tidak memerlukan perawatan medis, karena toksoplasmosis okular adalah kondisi yang seringkali dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 4-8 minggu (Khandwala, Nikhila, 2020). Namun, dalam kasus tertentu, seperti pasien yang mengalami lesi di area yang mengancam penglihatan dan mereka yang memiliki sistem imun yang lemah, pengobatan perlu dipertimbangkan (Kalogeropoulos et al., 2022). Bukti mengenai efektivitas rejimen pengobatan saat ini masih terbatas, dan eradikasi parasit belum dapat dipastikan. Meskipun demikian, pengobatan dapat membantu mengurangi aktivitas dan perkembangbiakan parasit serta mengecilkan ukuran bekas luka retinokoroidal. Beberapa pilihan obat yang dapat digunakan meliputi (Bowling, 2016):

 

Prednisolon

Diberikan dengan dosis 1 mg/kg dan dosisnya dikurangi secara bertahap sesuai dengan respon klinis, tetapi harus selalu digunakan bersama dengan agen anti Toxoplasma spesifik, paling sering pirimetamin yang dikombinasikan dengan sulfadiazine, terkadang ditambah klindamisin (terapi klasik). Steroid sistemik harus dihindari atau digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien imunokompromais.

 

Pirimetamin

Pirimetamin merupakan antagonis asam folat yang sangat efektif. Obat ini diberikan sebagai loading dose 75-100 mg selama 1-2 hari diikuti dengan 25-50 mg setiap hari selama 4 minggu yang dikombinasikan dengan asam folinat oral 5 mg 3 kali seminggu untuk memperlambat trombositopenia, leukopenia, dan defisiensi folat.

 

Sulfadiazin

Diberikan dengan dosis 1 g, 4 kali sehari selama 3-4 minggu. Sulfadiazine biasanya diberikan bersama dengan pirimetamin.

 

 

Terapi intravitreal

Terapi dengan klindamisin 1 mg dan deksametason 400 μg. Dapat diberikan 2-3 suntikan dengan interval 2 minggu. Terapi ini dapat dipertimbangkan pada infeksi berulang saat kehamilan.

 

Azitromisin

Dosis 250-500 mg setiap hari menunjukkan bukti mengurangi tingkat kekambuhan retinokoroiditis. Pemberian azitromisin dalam kombinasi dengan pirimetamin, asam folinat, dan prednisolon merupakan rejimen baru yang menjanjikan. Klaritromisin dapat menjadi alternatif yang baik untuk azitromisin.

 

Kotrimoksazol

Trimetoprim 160 mg/sulfametoksazol 800 mg, 2 kali sehari yang dikombinasikan dengan prednisolon adalah pilihan terapi dengan biaya yang lebih murah dan dapat ditoleransi dengan lebih baik, tetapi tidak seefektif terapi klasik.

 

Klindamisin

Dosis 300 mg, 4 kali sehari dapat ditambahkan ke dalam terapi klasik atau digunakan sebagai pengganti pirimetamin.

 

Kehamilan

Pengobatan selama kehamilan harus dipertimbangkan dengan baik dan hanya dimulai jika memang diperlukan. Terapi intravitreal, pengobatan sistemik dengan azitromisin, klindamisin, dan prednisolon dapat menjadi pilihan bagi ibu hamil.

Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat toksoplasmosis okular termasuk iridosiklitis kronis, katarak, glaukoma sekunder, edema makula kistik, ablasi retina, dan atrofi saraf optikus (Park & Nam, 2013). Prognosisnya menunjukkan bahwa banyak pasien dapat mengalami serangan berulang dari kondisi ini. Anak-anak dan remaja memiliki tingkat rekurensi yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Sebuah penelitian melaporkan bahwa tingkat kekambuhan mencapai sekitar 50% dalam kurun waktu 3 tahun dan meningkat menjadi 80% dalam 5 tahun. Rata-rata, pasien mengalami sekitar 2,7 episode kekambuhan sepanjang hidup mereka (Stokkermans & Havens, 2023). Komplikasi tersebut dapat memengaruhi kualitas penglihatan pasien secara signifikan, dan rekurensi penyakit menunjukkan perlunya pemantauan dan, dalam beberapa kasus, pengobatan jangka panjang untuk mengelola kondisi ini secara efektif.

 

Primary Open Angle Glaucoma (POAG)

Glaukoma adalah kondisi yang ditandai oleh neuropati optik progresif yang berlangsung kronis, mengakibatkan perubahan morfologi yang khas pada saraf optik serta lapisan serabut retina. Meskipun penyebab pasti glaukoma belum sepenuhnya dipahami, terdapat hubungan yang jelas antara kondisi ini dan peningkatan tekanan intraokular (TIO), yang merupakan salah satu faktor risiko utama. Rentang TIO normal adalah antara 10 hingga 21 mmHg (Bowling, 2016; Sitorus et al., 2017; Augsburger & Riordan-Eva, 2018; Mahabadi et al., 2020).

Salah satu jenis glaukoma adalah glaukoma sudut terbuka primer (POAG), yang merupakan bentuk neuropati optik kronis dan progresif yang umum terjadi pada orang dewasa (Gedde et al., 2021). POAG ditandai oleh penipisan lapisan serabut saraf retina, kerusakan pada saraf optik yang berkaitan dengan glaukoma, serta kehilangan lapang pandang yang semakin parah seiring dengan progresivitas kerusakan. Dalam POAG, sudut bilik mata depan tetap terbuka, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya glaukoma sekunder atau penyebab lain dari neuropati optik. Selain itu, TIO yang tinggi merupakan faktor risiko utama yang dapat dimodifikasi (Bowling, 2016).

Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak, dengan lebih dari 70 juta orang terpengaruh secara global. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 110 juta pada tahun 2040. Dari total tersebut, sekitar 74% menderita glaukoma sudut terbuka. Populasi Afrika-Amerika memiliki prevalensi POAG yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Wanita juga merupakan kelompok yang paling sering terkena berbagai bentuk glaukoma, mencakup sekitar 55,4% dari semua kasus POAG (Gurnani & Tripathy, 2020; Mahabadi et al., 2024). Berikut adalah faktor resiko yang dapat menyebabkan glaucoma (Sitorus et al., 2017):

1.     Semakin tinggi TIO, semakin besar kemungkinan terjadinya glaukoma. TIO yang tidak simetris sebesar 4 mmHg atau lebih juga, signifikan.

2.     POAG lebih sering terjadi pada individu yang lebih tua.

3.     Penyakit ini secara signifikan (mungkin empat kali) lebih umum terjadi, berkembang pada usia lebih dini dan mungkin lebih sulit dikendalikan pada individu berkulit hitam dibandingkan pada individu berkulit putih.

4.     Riwayat keluarga POAG, dimana kerabat tingkat pertama pasien dengan POAG mempunyai risiko lebih tinggi. Perkiraan risiko terhadap saudara kandung adalah empat kali lipat dan terhadap keturunannya dua kali lipat risiko populasi normal, meskipun angka yang disurvei bervariasi.

5.     Diabetes mellitus, pada studi longitudinal tidak menunjukkan peningkatan risiko glaukoma. Bias seleksi mungkin menjelaskan mengapa penelitian berbasis klinik melaporkan prevalensi glaukoma yang lebih tinggi pada penderita diabetes.

6.     Miopia, dikaitkan dengan peningkatan insiden POAG dan mata rabun mungkin lebih rentan terhadap kerusakan glaukoma.

7.     Terapi anti-VEGF (faktor pertumbuhan endotel vaskular). Pasien yang menjalani terapi anti-VEGF untuk degenerasi makula terkait usia atau edema makula diabetik berisiko mengalami peningkatan TIO berkelanjutan. Hal ini lebih mungkin terjadi setelah suntikan berulang dengan bevacizumab dibandingkan dengan ranibizumab. Risiko ini secara signifikan lebih besar pada pasien dengan glaukoma dibandingkan pada orang normal. Risiko diperlukannya operasi glaukoma meningkat setelah enam suntikan.

8.     Pil kontrasepsi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan pil kontrasepsi oral dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko glaukoma, mungkin dengan menghalangi efek pelindung estrogen.

9.     Penyakit pembuluh darah. Berbagai kondisi sistemik yang terkait dengan gangguan vaskular mungkin berhubungan, meskipun hubungan yang jelas terbukti sulit untuk ditunjukkan secara konsisten.

10.  Tekanan perfusi okular adalah perbedaan antara tekanan darah arteri dan TIO dan telah ditunjukkan dalam penelitian populasi terkait dengan peningkatan risiko perkembangan dan perkembangan glaukoma.

Pasien dengan glaukoma sering kali tidak menunjukkan gejala dan mengalami perkembangan penyakit yang bersifat kronis. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemeriksaan mata secara rutin, terutama pada usia lanjut. Meskipun penderita biasanya tidak merasakan sakit, beberapa mungkin mengeluhkan sakit kepala atau ketegangan di area sekitar mata. Seiring berjalannya waktu, glaukoma dapat menyebabkan defek pada lapang pandang, yang dapat bermanifestasi sebagai kehilangan pada bagian atas atau bawah lapangan pandang, atau bahkan kehilangan penglihatan total kecuali pada area sentral atau temporal. Penglihatan yang tersisa di area sentral ini dikenal sebagai tunnel vision, di mana pasien hanya dapat melihat melalui bagian tengah, seolah-olah mereka melihat melalui lubang kunci atau tabung (Sitorus et al., 2017)

Gambar 4. Defek Lapang Pandang pada Glaukoma

 

Meskipun penglihatan sentral pasien dapat tetap 6/6, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam melihat benda-benda di samping, yang menyebabkan mereka sering menabrak objek saat berjalan. Jika kondisi ini berlanjut, penderita dapat mengalami kebutaan permanen.

Diagnosis glaukoma sudut terbuka primer (OAG) dapat dilakukan melalui evaluasi klinis menggunakan berbagai alat diagnostik, dengan beberapa kriteria dasar sebagai panduan (Bowling, 2016; Mahabadi et al., 2024). Pertama, perubahan pada diskus optik atau lapisan serabut saraf retina dapat dilihat, yang mencakup penyempitan difus atau fokal pada rim neuroretinal, terutama di bagian atas atau bawah diskus optikus. Rasio cup-to-disc yang lebih besar dari 0,5 dan perbedaan CDR yang signifikan antara kedua mata juga merupakan indikator penting. Selain itu, perdarahan di sekitar diskus optik, atrofi peripapiler, serta perubahan pada pembuluh darah di area cakram optik dapat diamati.

Kedua, perubahan pada bidang visual harus dievaluasi menggunakan perimetri. Diagnosis cacat lapang pandang glaukoma dapat didasarkan pada kriteria Hoddap – Parrish – Anderson. Umumnya, perubahan ini mencakup asimetri bidang visual antara kedua mata, scotoma paracentral yang sering muncul di area superonasal, serta berbagai jenis scotoma lain seperti scotoma temporal dan scotoma berbentuk bulan sabit.

Ketiga, peningkatan tekanan intraokular (TIO) menjadi salah satu indikator diagnosis. TIO diukur menggunakan tonometri, dengan tonometri aplanasi Goldmann sebagai standar emas. Ketebalan kornea individu dapat memengaruhi hasil pengukuran, di mana individu dengan kornea tebal cenderung memiliki TIO yang lebih tinggi, sementara individu dengan kornea lebih tipis mungkin memiliki nilai TIO yang lebih rendah. TIO dianggap meningkat jika hasil pengukuran menunjukkan nilai lebih dari 21 mmHg.

Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan yang dapat menggunakan alat dibawah ini (Mahabadi et al., 2017).

 

Gonioskopi

Gonioskopi menentukan apakah diagnosisnya termasuk glaukoma sudut “terbuka” atau “tertutup”. Gonioskopi memungkinkan memvisualisasikan sudut antara kornea dan iris dan menentukan apakah kornea terbuka. Sudut antara iris dan kornea harus 20° hingga 45° agar dianggap “terbuka” sehingga aqueous humor dapat melewati bilik posterior ke bilik mata depan.

 

 

 

 

Tomografi Koherensi Optik

Optical coherence tomography (OCT) adalah modalitas pencitraan diagnostik yang memberikan pencitraan penampang resolusi tinggi pada retina, saraf optik, dan segmen anterior.

 

Fotokeratoskopi Kornea

Fotokeratoskopi kornea, atau topografi kornea, merupakan penanda biologis potensial untuk memantau pasien dengan OAG primer. Hasil awal menunjukkan adanya pergeseran ke depan pada permukaan kornea posterior dan anterior, hal ini berkorelasi dengan kerusakan fungsional stadium lanjut, yang menunjukkan adanya hubungan antara perubahan struktural kornea dan durasi serta intensitas peningkatan TIO. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memvalidasi penanda ini pada pasien dengan POAG.

Tujuan utama dari terapi glaukoma adalah untuk menurunkan tekanan intraokular (TIO) dan menjaga fungsi penglihatan (Mahabadi et al., 2017; Sitorus et al., 2017). Obat-obatan yang digunakan untuk mengurangi produksi humor akuos meliputi:

1.   Penghambat adrenergik-beta (tetes mata: betaxolol 0,5% (selektif) dan timolol 0,5% (non-selektif)), bekerja dengan menghambat produksi cyclic ndenosine monophosphate di epitel badan siliar sehingga menururkan sekresi humor akuos.

2.   Penghambat anhidrase karbonat (tetes mata brinzolamid atau oral asetazolamid), secara langsung menghambat produksi humor akuos di epitel badan siliar.

3.   Agonis adrenergik-alfa (tetes mata apraclonidine danbrimonidine), dapat bekerja untuk menurunkan produksi dan menurunkan tekanan vena episkleral serta memperbaiki aliran keluar jalur trabekular.

Obat tetes mata yang digunakan untuk meningkatkan pengeluaran humor akuos mencakup analog prostaglandin dan obat parasimpatomimetik/miotikum. Analog prostaglandin, seperti latanoprost dan travoprost, bekerja dengan meningkatkan aliran keluar uveoskleral dan trabekular, meskipun mekanisme pastinya belum sepenuhnya dipahami. Obat parasimpatomimetik, seperti pilokarpin, memicu kontraksi otot badan siliar yang mengencangkan trabekular meshwork, sehingga meningkatkan pengeluaran humor akuos.

Jika obat tetes mata tidak efektif dalam menurunkan tekanan intraokular (TIO) atau menimbulkan efek samping yang signifikan, tindakan laser trabekuloplasti dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan aliran keluar humor akuos. Indikasi pembedahan muncul ketika terapi obat atau laser gagal mencapai target penurunan TIO, kerusakan saraf optik tetap berlanjut, atau ketika penggunaan obat tetes glaukoma tidak optimal karena alasan biaya, kepatuhan, atau efek samping. Pembedahan juga mungkin menjadi pilihan primer bagi pasien dengan glaukoma lanjut yang memerlukan TIO lebih rendah.

Pilihan pembedahan termasuk trabekulektomi, yang menciptakan saluran baru untuk mengalirkan humor akuos ke ruang subkonjungtiva, dan pemasangan alat drainase glaukoma seperti implan Baerveldt atau Ahmed. Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien glaukoma sudut terbuka meliputi kehilangan penglihatan, defisit lapang pandang, atrofi saraf optik, dan kerusakan retina (Lee et al., 2019). Maka dengan deteksi dini dan penanganan medis yang tepat, sebagian besar pasien glaukoma dapat diatasi. Namun, tanpa pengobatan, glaukoma sudut terbuka dapat menyebabkan kebutaan total. Meskipun terapi antiglaukoma mampu mengontrol TIO, beberapa pasien tetap berisiko mengalami kehilangan lapang pandang seiring waktu (Augsburger & Riordan-Eva, 2018; Mahabadi et al., 2024).

 

Astigmatisme Miopia Compositorum

Astigmatisma adalah kondisi optik pada mata di mana sinar-sinar cahaya yang masuk tidak difokuskan pada satu titik fokus tunggal. Gangguan terjadi karena kelengkungan dan kekuatan refraksi permukaan kornea atau lensa bervariasi di antara meridian yang berbeda, sehingga menghasilkan lebih dari satu titik fokus. Kondisi ini berbeda dari kelainan refraksi sferik, di mana kelengkungan dan kekuatan refraksi seragam di semua meridian, sehingga hanya terdapat satu titik fokus (Sitorus et al., 2017). Berdasarkan posisi garis fokus relatif terhadap retina, astigmatisma dibagi menjadi lima jenis.

1.   Astigmatisma miopia simpleks : astigmatisma dengan satu garis fokus pada retina, sedangkan garis fokus lain terletak di depan retina.

2.   Astigmatisma miopia kompositus : apabila kedua garis fokus berada di depan retina.

3.   Astigmatisma hipermetropia simpleks : astigmatisma dengan satu garis fokus pada retina, sedangkan garis fokus lain terletak di belakang retina.

4.   Astigmatisma hipermetropia kompositus : astigmatisma di mana kedua garis fokus terletak di belakang retina.

5.   Astigmatisma mixtus : astigmatisma dengan satu garis fokus di depan retina, dan garis fokus lain berada di belakang retina.

Gambar 5. Klasifikasi astigmatisma berdasarkan letak relative garis fokus terhadap retina

(Sumber: Duane’s Ophtalmology. CD-ROM Ed, 2006)

 

Astigmatisma regular diklasifikasikan berdasarkan orientasi meridian utamanya menjadi tiga jenis. Pertama, astigmatisma with-the-rule, di mana kekuatan pembiasan terbesar berada pada meridian vertikal, biasanya dikoreksi dengan lensa silinder negatif pada aksis sekitar 180 derajat, sering ditemukan pada anak-anak. Kedua, astigmatisma against-the-rule, di mana kekuatan pembiasan terbesar berada pada meridian horizontal dan dikoreksi dengan lensa silinder negatif pada aksis sekitar 90 derajat. Ketiga, astigmatisma oblik, di mana kekuatan pembiasan terbesar berada pada meridian sekitar 45 dan 135 derajat (Sitorus et al., 2017)

Penyebab spesifik astigmatisma belum diketahui, namun kondisi ini dapat bersifat herediter dan muncul sejak lahir, serta dapat berubah seiring bertambahnya usia. Selain itu, astigmatisma juga bisa terjadi akibat trauma kornea atau jaringan parut setelah infeksi kornea, seperti keratitis. Penyakit keratokonus, yaitu degenerasi kolagen kornea yang menyebabkan penipisan progresif kornea hingga membentuk kerucut, juga dapat mengakibatkan astigmatisma tinggi yang sulit dikoreksi dengan kacamata. Gejala astigmatisma meliputi penglihatan ganda, bentuk benda yang tampak berubah, sakit kepala, sering menyipitkan mata untuk melihat, dan pada astigmatisma tinggi, penglihatan kabur yang bisa menyebabkan ambliopia (mata malas).

Astigmatisma dapat didiagnosis melalui pemeriksaan refraksi subjektif menggunakan teknik juring astigmat atau alat Jackson-cross cylinder. Pengukuran kelengkungan kornea dengan keratometer dilakukan untuk memastikan dan mengukur perbedaan kelengkungan pada meridian utama kornea. Pemetaan topografi terkomputerisasi memberikan gambaran lebih detail tentang permukaan kornea, sementara alat sederhana seperti cakram placido juga dapat digunakan untuk memeriksa dan memperkirakan kelengkungan permukaan kornea. Astigmatisma dapat dikoreksi dengan menggunakan (Sitorus et al., 2017):

 

Kaca mata

Kaca mata merupakan pilihan pertama untuk koreksi astigmatisma. Lensa silinder mempunyai tambahan kekuatan pembiasan pada meridian tertentu. Koreksi astigmatisma menggunakan lensa silinder dapat digabungkan dengan kelainan refraksi yang lain, baik miopia, hipermetropia dan presbyopia. Untuk mengurangi distorsi bayangan yang terjadi, lensa silinder yang biasa digunakan untuk koreksi astigmatisma adalah lensa silinder negative.

 

Lensa kontak

Pada kasus astigmatisma tinggi atau astigmatisma iregular, lensa kontak dapat memberikan koreksi penglihatan yang lebih baik dibandingkan kaca mata.

 

Tindakan bedah

Dapat dikoreksi dengan bedah refraktif yaitu LASIK (Laser in situ keratomileusis) atau Photorefractive keratectomy (PRK).

Berdasarkan teori dari ketiga rekam medis, yaitu retinitis toxoplasma, glaukoma, dan astigmatisma, dapat disimpulkan bahwa memiliki kesesuaian. Artinya, pasien mengalami gangguan mata yang saling berkaitan dan memerlukan perhatian medis yang komprehensif. Tatalaksana yang diberikan kepada pasien meliputi tetes mata sodium hyaluronat untuk menjaga kelembaban mata, timolol maleate yang berfungsi mengurangi tekanan di dalam mata (intraokular), vitamin A untuk mendukung kesehatan mata, serta suplemen zinc dan mecobalamin untuk mendukung proses penyembuhan dan kesehatan saraf.

Dokter juga memberikan edukasi mengenai risiko perburukan penyakit jika tidak diobati. Jika dibiarkan, kondisi tersebut dapat mengarah pada komplikasi seperti ridosiklitis kronis, katarak, glaukoma sekunder, edema makula kistik, ablasio retina, dan atrofi saraf optikus, yang semuanya dapat mempengaruhi penglihatan secara signifikan.

Selain pengobatan, pasien diinstruksikan untuk menghindari paparan terhadap hewan inang parasit, terutama kucing, menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan, serta mencuci buah dan sayuran sebelum dikonsumsi dan memasak daging hingga matang. Kontrol mata secara rutin juga disarankan setiap bulan untuk memantau perkembangan kondisi pasien dan mengevaluasi efektivitas perawatan. Secara keseluruhan, tindakan pengobatan dan edukasi ini bertujuan untuk memperlambat perkembangan penyakit dan mencegah komplikasi yang lebih serius.

Kesimpulan

Laporan kasus ini membahas seorang pasien dengan diagnosis tiga kondisi medis yang mempengaruhi kedua matanya. Pertama, pasien didiagnosis dengan ODS Retinitis Toxoplasma, yaitu peradangan pada retina kedua mata yang disebabkan oleh infeksi parasit Toxoplasma gondii. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang signifikan, terutama jika tidak segera ditangani. Kedua, di mata kiri (oculus sinister), pasien mengalami Primary Open Angle Glaucoma (POAG), suatu jenis glaukoma di mana terjadi peningkatan tekanan intraokular yang perlahan merusak saraf optik, biasanya tanpa disertai gejala yang jelas hingga tahap lanjut, sehingga berisiko menyebabkan kebutaan permanen bila tidak diobati. Ketiga, pada mata kanan (oculus dexter), pasien juga didiagnosis dengan Astigmatisme Miopia Composita, yaitu kelainan refraksi yang ditandai dengan penglihatan kabur akibat kelengkungan kornea yang tidak sempurna, disertai dengan miopia (rabun jauh), yang menyebabkan objek jauh tampak buram. Kombinasi ketiga kondisi ini menuntut penanganan medis yang hati-hati dan terintegrasi untuk mencegah penurunan kualitas penglihatan yang lebih parah pada pasien.

 

BIBLIOGRAFI

 

Cox, J. J., Slabach, B., Hast, J. T., Murphy, S. M., Kwok, O. C. H., & Dubey, J. P. (2017). High seroprevalence of Toxoplasma gondii in elk (Cervus canadensis) of the central Appalachians, USA. Parasitology Research, 116, 1079–1083.

Das, D., Ramachandra, V., Islam, S., Bhattacharjee, H., Biswas, J., Koul, A., Deka, P., & Deka, A. (2016). Update on pathology of ocular parasitic disease. Indian Journal of Ophthalmology, 64(11), 794–802.

Gedde, S. J., Vinod, K., Wright, M. M., Muir, K. W., Lind, J. T., Chen, P. P., Li, T., & Mansberger, S. L. (2021). Primary open-angle glaucoma preferred practice pattern®. Ophthalmology, 128(1), P71–P150.

Kafi, M. A., & Akter, N. (2023). Securing financial information in the digital realm: case studies in cybersecurity for accounting data protection. American Journal of Trade and Policy, 10(1), 15–26.

Kalogeropoulos, D., Sakkas, H., Mohammed, B., Vartholomatos, G., Malamos, K., Sreekantam, S., Kanavaros, P., & Kalogeropoulos, C. (2022). Ocular toxoplasmosis: a review of the current diagnostic and therapeutic approaches. International Ophthalmology, 42(1), 295–321.

Khandwala, Nikhila, N. K. (2020). Ocular Toxoplasmosis: A Refresher. EyeNet Magazine. https://www.aao.org/eyenet/article/ocular-toxoplasmosis-a-refresher

Lee, J. W. Y., Chan, P. P., Zhang, X., Chen, L. J., & Jonas, J. B. (2019). Latest developments in normal-pressure glaucoma: diagnosis, epidemiology, genetics, etiology, causes and mechanisms to management. The Asia-Pacific Journal of Ophthalmology, 8(6), 457–468.

Levin, A. (2019). Incandescent: We need to talk about light. Saraband.

Mahabadi, N., Foris, L. A., & Tripathy, K. (2017). Open angle glaucoma.

Martínez-Plaza, E., López-de la Rosa, A., López-Miguel, A., Holgueras, A., & Maldonado, M. J. (2023). EVO/EVO+ Visian Implantable Collamer Lenses for the correction of myopia and myopia with astigmatism. Expert Review of Medical Devices, 20(2), 75–83.

Sari, I. P., & Ni’mah, T. (2024). Infeksi Toxoplasma gondii dan Hubungannya dengan Penyakit Skizofrenia. EJournal Kedokteran Indonesia, 12(2), 221.

Selvan, H., Gupta, S., Wiggs, J. L., & Gupta, V. (2022). Juvenile-onset open-angle glaucoma–A clinical and genetic update. Survey of Ophthalmology, 67(4), 1099–1117.

Sitorus, R. S., Sitompul, R., Widyawati, S., & Bani, A. P. (2017). Buku ajar oftalmologi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Souza, G. M., Biccas, L., Maia, A., Silveira, C., & Belfort Jr, R. (2023). Atypical pattern of ocular toxoplasmosis: recurrent inner foveal toxoplasmic retinitis (rifter). International Journal of Retina and Vitreous, 9(1), 75.

Vyas, S. A., & Kee, C. (2021). Early astigmatism can alter myopia development in chickens. Investigative Ophthalmology & Visual Science, 62(2), 27.

Wildani, R. A., & Cahyono, A. (2024). Seorang Laki-Laki Berusia 15 Tahun dengan Dermatitis Kontak Alergi dan Tinea Corporis. Proceeding Book Call for Papers Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, 227–235.

 

Copyright holder:

Belinda Junitia, Hayati Fuad (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: