Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, Special Issue No. 2, Desember 2021

 

ROSASEA PHYMATOUS YANG DITERAPI DENGAN ISOTRETINOIN ORAL DAN ASAM AZALEAT TOPIKAL

 

Budi Eko Prasetyorini, Minna Hasniah, Moerbono Mochtar, Arie Kusumawardhani

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia

Email: [email protected][email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Rosasea phymatous adalah penyakit inflamasi kulit kronik dengan manifestasi kulit berupa penebalan kulit, edema, permukaan nodul tidak rata pada hidung, dagu, kening telinga dan kelopak mata. Insidensi kebanyakan berusia 40-60 tahun, wanita lebih sering 2-3 kali. Eritema wajah pada rosasea sulit diobati dan berdampak negatif pada kualitas hidup penderita. Seorang perempuan usia 54 tahun datang dengan keluhanbercak kemerahan di wajah. Bercak kemerahan semakin menebal dan meluas, terasa gatal dan perih terutama bila terkena sinar matahari. Pemeriksaan fisik terdapat plak dan nodul eritem multiple sebagian berkonfluens dengan teleangiktasis pda bagian sentral wajah. Pemeriksaan histopatologi menunjukan epidermis intak, dermis tampak hiperplasia kelenjar sebasea, penyumbatan folikel, penebalan dan fibrosis serta endapan mucin kulit, inflamasi sel plasma dan sebukan limfosit diantara folikel rambut. Pemeriksaan imunohistokimia (IHC) dengan CD138 menunjukan positif pada sel plasma. Diagnosis rosasea phymatous ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dan lesi kulit berupa edema, plak, phyma, flushing persisten, burning dan stinging pada bagian wajah. Pasien mendapat terapi sistemik berupa oral isotretinoin 40 mg perhari selama 2 bulan dan terapi topikal pada lesi kulit krim dengan krim asam azaleat 20% pada area erosi malam hari dan sunscreen sepanjang hari oles seluruh wajah. Pengamatan pada hari ke 60 perawatan pasien menunjukan perbaikan lesi kulit. Rosasea phymatous merupakan kelainan kulit kronik yang sulit diobati. Terapi pada rosasea bertujuan untuk memperingan gejala, menunda dan mencegah progesivitas, menjaga keadaan remisi, mencegah terjadinya eksaserbasi, menjaga kulit dalam keadaan terbaik dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

 

Kata Kunci: asam azaleat, isotretinoin, rosasea phymatous

 

Abstract

Phymatous rosacea is a chronic inflammatory skin disease with skin manifestations in the form of skin thickening, edema, uneven surface nodules on the nose, chin, forehead, ears and eyelids. The incidence is mostly 40-60 years old, women are 2-3 times more often. Facial erythema in rosacea is difficult to treat and has a negative impact on the patient's quality of life. A 54-year-old woman came with complaints of red spots on her face. Red spots thicken and expand, feel itchy and sore, especially when exposed to sunlight. Physical examination revealed multiple erythematous plaques and nodules partially confluent with telangiectasia in the central part of the face. Histopathological examination showed intact epidermis, dermis showed hyperplasia of sebaceous glands, follicular blockage, thickening and fibrosis and deposition of skin mucin, inflammation of plasma cells and lymphocyte infiltration between hair follicles. Immunohistochemical examination (IHC) with CD138 showed positive in plasma cells. The diagnosis of phymatous rosacea was established based on histopathological examination and skin lesions in the form of edema, plaque, phyma, persistent flushing, burning and stinging on the face. The patient received systemic therapy in the form of oral isotretinoin 40 mg per day for 2 months and topical therapy on skin lesions was cream with 20% azaleic acid cream on erosion areas at night and sunscreen throughout the day applied all over the face. Observations on the 60th day of patient treatment showed improvement in skin lesions. Phymatous rosacea is a chronic skin disorder that is difficult to treat. Therapy in rosacea aims to relieve symptoms, delay and prevent progression, maintain a state of remission, prevent exacerbations, keep the skin in the best condition and improve the patient's quality of life.

 

Keywords:  azaleic acid, isotretinoin, phymatous rosacea

 

Pendahuluan

Rosasea adalah penyakit inflamasi kulit kronik dengan manifestasi klinis antara lain flushing, eritema persisten, telangiektasi, papul, pustul dan hiperplasi jaringan sebasea dengan distribusi pada daerah hidung, pipi, dagu dan dahi (sentrofasial) (Del Rosso & Tanghetti, 2021). Etiologi dari rosasea masih belum diketahui secara pasti hingga saat ini. Beberapa hipotesis etiologi rosasea antara lain reaktivasi vaskuler pada wajah, struktur atau komposisi jaringan ikat dermis, komposisi matriks, struktur pilosebaseus dan kolonisasi mikobakteri (Alexis et al., 2019; Woo, Lim, Cho, & Park, 2016).

Prevalensi rosasea di dunia telah dilaporkan oleh negara dengan populasi kulit berwarna signifikan yaitu di Afrika, Asia dan Selatan Amerika hingga 10%. Prevalensi rosasea di Jerman pada September 2013-Maret 2014 didapatkan sebesar 12,3%. Penelitian Bae dkk di Korea pada 2002-2007 melaporkan 168 pasien rosasea 40% terdapat pada pasien Fitzpatrick tipe IV dan V (Two, Wu, Gallo, & Hata, 2015). Fernandes dkk di RSUD Dr. Soetomo Indonesia pada periode 2013-2015 melaporkan terdapat 24 kasus rosasea.7 Insidensi rosasea menurut The National Rosacea Society kebanyakan berusia 40-60 tahun, 2-3 kali lebih sering pada Wanita (Bae et al., 2009).

The National Rosacea Society Expert Committe mengklasifikasikan rosasea menjadi 4 berdasarkan gejala klinis yaitu erytrematelangiektatic rosacea (ETR), papulopustular rosacea (PPR), phymatous rosacea (PR) dan ocular rosacea (OR) (Shalita, Del Rosso, & Webster, 2011). Diagnosis rosasea berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik didasarkan pada manifestasi klinis. Pemeriksaan histopatologis dilakukan bila distribusi lesi di wajah tidak spesifik dan berfungsi untuk menyingkirkan diagnosis banding (Rainer, Kang, & Chien, 2017).

Eritema wajah yang terkait dengan rosasea dapat berdampak negatif pada kualitas hidup penderita dan seringkali sulit diobati. Tatalaksana rosasea bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, memperingan gejala, mencegah progresivitas penyakit, menjaga dalam masa remisi untuk menjaga kulit dalam keadaan terbaik (Lennox et al., 2020). Terapi sistemik rosasea dengan isotretinoin memiliki sifat anti inflamasi, mengecilkan ukuran kelenjar sebasea dan menurunkan produksi sebum yang menyebabkan penurunan jumlah papula dan pustula. Oral isotretinoin memiliki sifat anti inflamasi, mengurangi aliran darah kulit wajah sehingga efektif untuk mengobati rosasea (Tan & Bhate, 2015). Terapi topikal perlu digunakan sebagai terapi kombinasi untuk mengurangi inflamasi pada pasien rosasea dan menjaga kulit dalam keadaan baik. Asam azaleat topikal mempunyai efek antiinflamasi, antioksidan dan antikeratinisasi (Schaller et al., 2017). Terapi farmakologi jangka panjang yaitu diberikan terapi topikal, terapi sistemik atau dengan prosedur intervensi (Rallis & Korfitis, 2012). Edukasi pada pasien diberikan untuk menghindari pencetus, perawatan kulit yang adekuat, proteksi dari sinar matahari dan pemberian kosmetik korektif (Setiawan, 2020).

Penulisan makalah ini akan membahas satu kasus rosasea phymatous yang diterapi dengan oral isotretinoin dan krim asam azaleat. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui efek terapi krim asam azaleat dan oral isotretinoin pada kasus rosasea phymatous sehingga dapat menjadi salah satu terapi yang dapat diaplikasikan pada kasus tersebut.

 

Metode Penelitian

Seorang pasien perempuan usia 54 tahun datang dengan keluhan bercak kemerahan diwajah. Berdasarkan autoanamnesis, sekitar 5 bulan sebelum periksa RS pasien mengalami keluhan bercak kemerahan pada pipi kanan berukuran 1 cm yang terasa gatal dan perih terutama bila terkena sinar matahari. Keluhan bercak kemerahan dirasakan semakin menebal dan meluas 3 bulan sebelum periksa RS, kemudian pasien berobat ke dokter spesialis kulit dan kelamin sebanyak 2 kali. Pengobatan awal yang diberikan pada pasien berupa niacef� gel (nicotinamide 4%) namun keluhan belum membaik. Pada pemeriksaan selanjutnya pasien mendapatkan terapi krim permetrin 5% dan krim eritromisin 2%, keluhan bercak pasien tidak membaik dan bertambah berat yaitu lesi kulit semakin meluas serta menebal. Pasien kemudian dirujuk ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi untuk tata laksana lebih lanjut. Pasien memiliki aktivitas di bawah matahari yang cukup sering serta mengkonsumsi makanan pedas. Riwayat keluhan serupa, keganasan, alergi makanan, obat maupun cuaca disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat sering bersin di pagi hari, asma ataupun eksim. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit ringan dan kesadaran kompos mentis. Berat badan pasien 58 kg dan tinggi badan 158 cm. Denyut jantung 80 kali per menit, laju pernapasan 26 kali per menit, suhu tubuh 36.70C. Pembesaran kelenjar getah bening tidak didapatkan. Pada pemeriksaan dermatologis regio fasialis tampak plak dan nodul eritem multipel sebagian berkonfluens dengan teleangiektasis pada bagian sentral wajah (Gambar 1). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien kami diagnosis banding rosasea phymatous dengan sarkoidosis dan tuberkulosis (tb) kutis verukosa.

Pemeriksaan penunjang kerokan kulit dengan NaCl tidak didapatkan demodikosis. Pemeriksaan histopatologi diambil dari kulit regio fasialis dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE). Sediaan makroskopis berupa jaringan kulit dengan ukuran 0,3 cm dan berwarna kemerahan. Hasil biopsi mikroskopis seperti pada Gambar 2 epidermis tampak intak sedangkan pada lapisan dermis tampak hiperplasia kelenjar sebasea, penyumbatan folikel, penebalan dan fibrosis serta endapan musin kulit, inflamasi sel plasma dan sebukan limfosit diantara folikel rambut. Pemeriksaan imunohistokimia (IHK) atau immunofluoresen (IF) dengan CD138 seperti ditampilkan pada Gambar 3 menunjukan sel plasma positif. Secara histopatologis dan pengecatan IHC CD138 sesuai untuk rosasea. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologis dan pemeriksaan imunohistokimia, pasien pada kasus ini kami diagnosis kerja dengan rosasea. Berdasarkan The National Rosacea Society Standard (NRSS) pasien dikategorikan rosasea tipe phymatous.

 

B

C

C

A

C

Gambar 1. (A-C) Pada regio fasialis, tampak plak dan nodul eritema multipel sebagian berkonfluens dengan teleangiektasis (panah hitam)

Gambar 2. (A) Gambaran histopatologi dengan pewarnaan H&E pada lapisan epidermis tersusun intak, dermis terdapat hiperplasia kelenjar sebasea, penyumbatan folikel, penebalan dan fibrosis serta endapan mucin kulit, inflamasi sel plasma dan sebukan limfosit diantara folikel rambut/ folikel limfoid (panah hijau) (perbesaran 40x) (B) Histiositik (lingkaran biru), sel raksasa (panah kuning) (HE perbesaran 100x)

B

A

 

 

 

 

 

 

Gambar 3. (A) Imunohistokimia (IHC) CD138 tampak sel plasma (panah hitam) (B) Imunohistokimia (IHC) CD138 positif pada sel plasma (panah merah) (perbesaran 100x)

 

B

A

 

 

Pasien diterapi dengan kombinasi terapi sistemik isotretinoin oral 40 mg/hari selama 2 bulan, dan terapi topikal krim asam azaleat 20% pagi sore dan krim tabir surya untuk dioleskan pagi hari setelah pemberian krim asam azaleat 20%. Pasien dievaluasi dengan NRSS setelah 8 minggu perawatan dan menunjukkan perbaikan (Gambar 3).

 

Hasil dan Pembahasan

Rosasea adalah penyakit kulit inflamasi kronis dengan predileksi pada area wajah bagian tengah dan jarang mengenai daerah luar wajah (leher dan dahi). Rosasea berasal dari bahasa Yunani yaitu rose like yang menggambarkan gejala utama berupa flushing berulang atau kombinasi flushing transien dan persisten. Prevalensi rosasea di seluruh dunia lebih dari 22 juta pasien, pada tahun 2014 penelitian di Amerika melaporkan insidensi rosasea sebanyak 9,6%. Pada tahun 2010 Swedia melaporkan prevalensi rosasea sebanyak 10% (Eckel, 2014). Insidensi pada wanita lebih banyak dibanding pria (3:1) dapat terjadi pada awal dekade kedua, remaja dan dewasa muda dengan usia terbanyak 40-60 tahun (Bae et al., 2009). Pada kasus ini usia pasien berusia 54 tahun dengan jenis kelamin perempuan sesuai dengan literatur.

Etiologi rosasea masih belum diketahui secara pasti, penyebab multifaktorial diduga memiliki peran terhadap terjadinya rosasea. Disregulasi neurovaskular dan kelainan pada sistem imun adaptif dan bawaan menyebabkan vasodilatasi abnormal dikulit wajah. Etiologi yang berbeda mempengaruhi proses penyakit pada rosasea dan menyebabkan subtype yang berbeda. Predisposisi genetik dan lingkungan, neurogenik, flora normal pada kulit yaitu Demodex dan S. epidermidis dapat menjadi pencetus terjadinya rosasea pada individu yang sensitive (Gether, Overgaard, Egeberg, & Thyssen, 2018). Faktor pencetus rosasea seperti sinar matahari, makanan pedas, suhu panas atau dingin, minuman dan makanan panas, olahraga, alkohol, emosi, kosmetik, bahan topikal iritan, hormon dan menopouse. Etiopatogenesis rosasea dapat disebabkan oleh paparan sinar matahari. Corticotropin releasing hormone (CRH) dan radiasi ultraviolet (UV) memiliki peran penting dalam terjadinya rosasea, sensitivitas penderita rosasea terhadap sinar UV dan sirkulasi mediator vasoaktif seperti CRH adalah faktor predisposisi yang harus dipertimbangkan. Mekanisme neural dan humoral yang menyebabkan area kemerahan pada wajah karena aliran darah wajah yang meningkat dan pembuluh darah pada wajah yang berjumlah banyak serta terletak superfisial.3 Pada pasien terdapat riwayat sering terpapar sinar matahari dan faktor resiko lain yaitu sering mengkonsumsi makanan pedas. Etiopatogenesis rosasea yang lain berawal sebagai vaskulopati aktinik yang kemungkinan berasal dari pembuluh limfe. Hal tersebut diduga sebagai penyebab faktor risiko terjadinya rosasea pada pasien.

Manifestasi klinis rosasea terdiri dari gejala primer dan sekunder. Gejala primer rosasea adalah flushing, papul, pustul dan telangiektasis. Gejala sekunder adalah edema, plak, tampilan kulit kering, phyma, flushing perifer, manifestasi okuler dan rasa terbakar (burning) dan menyengat (stinging) pada wajah. Plak pada rosasea merupakan daerah inflamasi, sering terlihat lebih besar dan merah diantara papul dan pustul namun pada pemeriksaan histopatologi tidak didapatkan perubahan epidermis. Edema biasanya terjadi pada daerah periorbital, kelopak mata, pipi atau tulang pipi (Steinhoff, Schmelz, & Schauber, 2016). Manifestasi klinis rosasea pada penglihatan dapat diidentifikasikan dengan adanya bengkak pada bulbar, palpebra konjungtiva, kelopak mata atau periokular eritema, adanya benda asing, mata seperti ada pasir, stinging, menimbulkan rasa gatal, kekeringan, sensitivitas ringan, penglihatan kabur atau kurang fokus. Rosasea dapat mengenai lokasi ekstra fasial seperti leher, dada, kulit kepala dan telinga. Perubahan vaskular pada rosasea dapat menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda pada masing-masing individu. Eritem sementara dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam, eritem menetap terjadi beberapa hari hingga minggu dan eritema perilesi muncul disekitar papul dan pustul. Manifestasi klinis berupa telangiektasis, eritema, pustula dan papul disebabkan karena pasien rosasea memiliki ekspresi peptide antimikrobial berlebihan termasuk katelisidin  yang membentuk LL-37 dimana LL-37 mempunyai efek kemotaksis leukosit, menginduksi angiogenesis dan aktivasi NF-k.1 Proses inflamasi neurogenik menyebabkan stimulasi pada saraf sensorik karena pelepasan neuropeptide. Neuropeptida vasoaktif seperti substansi P, calcidonis genrelated peptide (CGRP), vasoaktif intestinal peptide (VIP) dan pituitary adenylate cyclase activaty polypeptide (PACAP) meningkat pada rosasea menyebabkan vasodilatasi yang berkepanjangan. Substansi P menyebabkan regulator aliran darah meningkat dan menginduksi degranulasi sel mast yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi. Pasien rosasea ditemukan kepadatan kanal ion transient reseptor potential (TRP) yang sensitif terhadap rangsangan dan reaksi meningkat pada neuron sensorik, sel vakuler dan sel imun. Stimulasi pada saraf sensorik dengan pelepasan peptide yang memicu inflamasi nurogenik menyebabkan flushing pada rosasea. Pada pasien ini didapatkan manifestasi klinis lesi kulit sekunder berupa edema, plak, tampilan kulit kering, phyma, flushing persisten, burning dan stinging pada bagian wajah.

Perkembangan terbaru tentang petunjuk diagnosis dan klasifikasi oleh National Rosacea Society Expert Committee on the Classification and Staging of Rosacea menjadikan klasifikasi rosasea lebih tepat dan terfokus.3 Klasifikasi rosasea berdasarkan subtipe terbagi menjadi 4 yaitu erythematotelangiectatic rosacea, papulopustular rosacea, phymatous rosacea dan ocular rosacea. Erythematotelangiectatic rosacea (ETR) memiliki tanda dominan flushing atau merah pada wajah sentral yang bertahan lebih dari 10 menit diikuti rasa terbakar atau menyengat. Daerah wajah lain seperti lateral wajah, telinga dan leher juga dapat terlibat, tetapi tidak mempengaruhi area kulit periokular dan submental. Lesi akan mengalami perkembangan ditandai dengan munculnya telangiektasis dan kecenderungan mudah terjadi flushing. Lesi kulit ETR secara umum adalah tekstur halus tanpa minyak, radang kronik membuat kulit menjadi mudah teriritasi. Papulopustular rosacea (PPR) ditandai dengan munculnya eritema sentral dengan erupsi multipel (< 3 mm), papul eritem dan pustul di pusat wajah. Subtipe ini dapat meliputi area perioral ataupun perinasal. Flushing yang berkepanjangan dapat menyebabkan edema jaringan lunak yang bertahan beberapa hari. Pasien dengan lesi PPR dapat mengeluh pruritus, sedikit nyeri dan keluhan gangguan psikososial yang tinggi. Papul pustul sekitar 2 minggu kemudian menjadi lesi post inflamasi eritem yang memudar sekitar 10 hari. Lesi ini sembuh tanpa meninggalkan bekas luka scar, tetapi beberapa lesi dapat menjadi persisten.1,5 Rosasea phymatous (RP) ditandai dengan penebalan kulit, edema, permukaan nodul tidak rata pada hidung, dagu, kening, telinga dan kelopak mata. Pada pemeriksaan histopatologi tampak glandula sebasea jelas dan permukaan folikuler pada kulit besar, hipertrofi jaringan ikat dengan fibrosis dan kelenjar sebasea hiperplasia. Rhinophyma adalah manifestasi klinis RP tersering. Pasien rhinophyma dapat juga memiliki gejala awal PPR ringan hingga berat atau berdiri sendiri tanpa disertai perubahan inflamasi. Tanda awal rhinophyma adalah dilatasi pori-pori pada hidung distal. Pada kasus berat dapat terjadi distorsi hidung dengan pertumbuhan soft fleshy nodular. Pasien rosasea pada perempuan tidak membentuk phyma tetapi dapat ditemukan kulit berminyak dan menebal hasil pembesaran kelenjar sebasea. Ocular rosacea (OR) memiliki manifestasi pada mata meliputi, blepharitis, konjungtivitis, inflamasi kelopak mata dan kelenjar meibom, infiltrat, ulkus dan vaskularisasi kornea. Keluhan pasien adalah mata kering dan rasa terbakar (Shirzadeh, Bagheri, Abdizadeh, & Kanavi, 2017). Pada pasien ini memiliki lesi kulit berupa kulit yang berminyak dan terdapat penebalan kulit karena pembesaran kelenjar sebasea, edema, permukaan nodul tidak rata pada hidung, dagu dan kening namun tidak terdapat distorsi hidung sehingga berdasarkan klasifikasi subtipe pasien ini termasuk pada klasifikasi rosasea phymatous.

Diagnosis banding pada pasien ini adalah sarkoidosis dan tb kutis verukosa. Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa yang melibatkan berbagai sistem organ termasuk paru-paru, ginjal, kulit, sendi, otot dan mata. Keterlibatan organ terbanyak adalah pada paru dan kulit. Etiologi sarkoidosis belum diketahui penyebabnya, hipotesis etiologi sarkoidosis adalah respon autoimun terhadap infeksi spesies Mycobacteria atau Propionibacteria dan faktor lingkungan. Lebih sering mengenai perempuan dan biasanya terjadi antara umur 20-40 tahun. Proses spesifik ditandai dengan granuloma nonkaseosa pada pemeriksaan histopatologik. Lesi kulit sarkoidosis terdiri dari lesi spesifik dan non spesifik. Lesi sarkoidosis pada proses spesifik terdiri atas makulopapula, nodul, plak dan jaringan parut pada pemeriksaan histopatologik ditandai dengan granuloma nonkaseosa. Karakteristik sarkoidosis adalah adanya granuloma epiteloid tanpa perkejuan yang dapat mengenai berbagai sistem organ. Eritema nodosum merupakan bentuk lesi tersering pada proses non spesifik, lesi nonspesifik menandakan adanya proses reaktif dan tidak terdapat granuloma (Tripipitsiriwat, Komoltri, Ruangchira-Urai, & Ungprasert, 2020). Pada pasien kasus ini terdapat kelainan kulit berupa nodul dan plak pada daerah fasialis yang dapat mengarah pada diagnosis sarkoidosis. Berdasarkan pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan adanya granuloma non kaseosa sehingga diagnosis sarkoidosis dan eritema nodosum pada pasien ini dapat disingkirkan.

Diagnosis banding lain pada pasien kasus ini adalah tb kutis verukosa. Tuberkulosis kutis verukosa adalah infeksi yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan Bacil calmette guerin (BCG), merupakan bentuk klinis tuberkulosis kutis sekunder. Tuberkulosis kutis berdasarkan pola penyebaran infeksinya dapat terjadi secara eksogen, endogen, hematogen dan tuberkulid. Tuberkulosis kutis verukosa merupakan bentuk yang paling umum dari tuberkulosis eksogen. Penyakit ini terjadi pada orang dengan kekebalan ringan sampai dengan sedang yang tersensitisasi sebelumnya dan terjadi inokulasi primer pada kulit.  Manifestasi klinis berupa plak verukosa dengan tepi tidak teratur, konsistensi kasar atau lunak pada bagian tengah, dikelilingi oleh halo hiperpigmentasi dan terdapat lesi serpiginosa. Biasanya tidak nyeri dan tanpa gejala sistemik (Chopra et al., 2017). Histopatologi menunjukan hiperkeratosis, akantosis, granulasi dan sel raksasa langhans. Pada pewarnaan Ziehl Neelson didapatkan basil tahan asam. Tuberkulosis kutis verukosa dapat mengenai bagian tubuh terbuka yang mudah mengalami trauma. Tuberkulosis kutis verukosa terutama mengenai wajah dan tungkai bawah, meskipun dapat pula ditemui pada leher dan badan (Shah, Pritt, & Alexander, 2017). Manifestasi klinis pada kelainan ini berupa plak dan nodul eritema sebagian berkonfluens pada daerah fasialis tidak nyeri dan tanpa gejala sistemik. Tampilan lesi kulit pada pasien ini menyerupai tb kutis verukosa yaitu terdapat plak eritem namun pada pemeriksaan biopsi kulit pada pasien tidak didapatkan granulasi dan sel raksasa langhans menyingkirkan kecurigaan bahwa pasien mengalami tb kutis verukosa.

Pemeriksaan histopatologi dapat membantu penegakan diagnosis rosasea ketika dijumpai lesi yang tidak khas atau ketika dicurigai adanya pembentukan granuloma. Gambaran histopatologi pada ETR tampak adanya limfohistiositik perivaskuler yang sedikit, edema pada dermis dan elastosis yang berat. Histopatologis pada PPR mirip dengan ETR namun infiltrat inflamasi tampak pada sekeliling folikel rambut dan kelenjar sebasea. Pemeriksaan histopatologi rosasea phymatous tampak adanya elastosis yang prominen, fibrosis, inflamasi pada dermis, hiperplasi sebasea dan hipertrofi folikel sebasea. Hasil biopsi histopatologi dengan hematoksilin eosin (HE) pada pasien ini dijumpai gambaran mikroskopis fragmen kecil jaringan kulit, epidermis tersusun intak, dermis dengan sebukan sel histiosit, sel plasma, eosinofil, kesan sel mast dan leukosit PMN. Penegakan diagnosis pasti rosasea dilakukan pemeriksaan imunohistokimia dengan pewarnaan CD138 dengan hasil positif pada sel plasma. Berdasarkan kriteria manifestasi klinis dan didukung pemeriksaan histopatologi pada pasien ditegakkan diagnosa rosasea phymatous.

Tatalaksana rosasea bergantung pada subtipe, terapi disesuaikan dengan keparahan rosasea yang diderita oleh pasien. Tujuan terapi pada rosasea meliputi memperingan gejala, menunda dan mencegah progesivitas, menjaga keadaan remisi, mencegah terjadinya eksaserbasi, menjaga kulit dalam keadaan terbaik dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Del Rosso et al., 2020). Pada rosasea tahap awal diberikan edukasi pada pasien yaitu menghindari faktor risiko timbulnya rosasea seperti radiasi UV, makanan pedas, olahraga berlebih, suhu ekstrim, stres, suhu ekstrim, minuman beralkohol dan obat-obat yang dapat memicu terjadinya rosasea. Penggunaan tabir surya broad spectrum (UVA dan UVB), perawatan kulit dengan sabun muka yang mempunyai pH seimbang, kosmetik untuk kamuflase lesi yang mudah dibersihkan, tidak mengandung alkohol, mentol, pewangi sehingga tidak menimbulkan iritasi, pelembab humektan dan oklusi untuk menjaga fungsi barrier kulit dan menurunkan transepidermal water loss. Terapi farmakologis maupun intervensi bermanfaat untuk mengurangi gejala dan meningkatkan aspek astetik dari lesi rosasea. Terapi rosasea dapat dibagi menjadi terapi topikal, terapi sistemik dan terapi intervensi.

Tatalaksana rosasea phymatous dengan antibiotik sistemik dapat diberikan dalam jangka waktu yang pendek untuk mencapai target terapi dan mengontrol gejala dengan cepat. Antibiotik sistemik untuk terapi rosasea disarankan hanya diberikan dalam waktu yang singkat mengingat meningkatnya resistensi mikroba apabila menggunakan antiobiotik oral dalam jangka panjang. Terapi sistemik rosasea selain oral antibiotik dapat diberikan oral isotretinoin (Navarro et al., 2018). Isotretinoin diserap secara optimal dengan adanya makanan berlemak (Melnik, 2017). Isotretinoin oral menggunakan kisaran dosis 0,5-1mg/kg/hari pemberian setiap hari selama durasi maksimum empat bulan efektif untuk pengobatan rosasea dan secara signifikan mengurangi lesi inflamasi, papula, pustula dan eritema. Keberhasilan ini terkait dengan kemampuan isotretinoin oral untuk mengurangi ukuran kelenjar sebasea dan dapat mencegah kekambuhan. Terapi rosasea menggunakan isotretinoin oral dosis rendah (20 mg per hari) memungkinkan aplikasi agen topikal bersamaan dan ditoleransi lebih baik oleh pasien. Penggunaan isotretinoin untuk pasien hamil perlu dihindari karena mempunyai efek teratogenik.

Pemberian terapi topikal pada rosasea baik monoterapi maupun bagian dari kombinasi dengan modalitas terapi lain umumnya dapat mengurangi gejala utama rosasea seperti eritema atau rosasea papulopustular. Terapi topikal rumatan diberikan untuk mengontrol gejala eritema dan flushing serta mempertahankan kulit dalam keadaan terbaik. Asam azeleat merupakan terapi yang direkomendasikan untuk pengobatan topikal rosasea karena mempunyai efek anti inflamasi, anti oksidan, anti mikrobial dan anti keratinisasi ringan (Solomon et al., 2016). Asam azaleat (AsA) merupakan zat asam alami yang terbuat dari jamur Malassezia furfur. Asam azaleat banyak digunakan untuk mengobati jerawat, hiperpigmentasi paska inflamasi dan melasma. Absorpsi perkutan sebanyak 3% dari pengaplikasian 20% AsA. Asam azaleat dapat digunakan dua kali sehari dengan lama penggunaan setidaknya 2-3 bulan. Kadar konsentrasi AsA di pasaran yang digunakan dalam produk krim berkisar antara 15-20%. Efek samping yang bisa muncul pada penggunanya adalah iritasi kulit, sensasi terbakar (burning), tingling, pruritus dan eritema, tetapi efek samping ini jarang terjadi serta mudah ditoleransi. Keluhan efek samping hanya terjadi pada 5% pengguna asam azaleat. Asam azaleat tidak menimbulkan sensitivitas terhadap sinar matahari (Kumar, Takada, Boriek, & Aggarwal, 2004; Kumari, Thng, Verma, & Gautam, 2018). Regimen monoterapi baik dengan asam azeleat krim 15% maupun 20% dua kali sehari menunjukan perbaikan gejala mulai minggu ke 4 pada rosasea papulopustular. Pada kasus ini pasien diberikan terapi oral isotretinoin 20 mg per 12 jam selama 2 bulan dan topikal krim zelface (asam azaleat) 20% pada malam hari, tabir surya pada pagi hari. Pengamatan hari ke 60 perawatan, terdapat perbaikan lesi kulit yaitu plak yang semakin menipis dan eritem tampak berkurang.

 

Kesimpulan

Seorang perempuan berusia 54 tahun dengan keluhan muncul bercak kemerahan diwajah. Status dermatologis pada regio fasialis tampak plak dan nodul eritem multipel sebagian berkonfluens dengan teleangiektasis pada bagian sentral wajah. Hasil biopsi histopatologis mendukung diagnosis Rosasea. Pasien mendapat tatalaksana berupa oral isotretinoin 20 mg per 12 jam. Terapi topikal yaitu pemberian tabir surya pada seluruh wajah, azam azaleat krim 20% pada area plak eritem. Pengamatan 60 hari pemberian tatalaksana menunjukan perbaikan lesi kulit. Evaluasi pengobatan pada pasien dilakukan untuk mengontrol aktifitas penyakit, mencegah terjadinya kekambuhan dan mengurangi akibat penyakit yang bersifat permanen. Pengobatan pada lesi kulit dapat dihentikan jika lesi telah mengalami perbaikan.

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Alexis, Andrew F., Callender, Valerie D., Baldwin, Hilary E., Desai, Seemal R., Rendon, Marta I., & Taylor, Susan C. (2019). Global Epidemiology And Clinical Spectrum Of Rosacea, Highlighting Skin Of Color: Review And Clinical Practice Experience. Journal Of The American Academy Of Dermatology, 80(6), 1722�1729. Google Scholar

 

Bae, You In, Yun, Sook Jung, Lee, Jee Bum, Kim, Seong Jin, Won, Young Ho, & Lee, Seung Chul. (2009). Clinical Evaluation Of 168 Korean Patients With Rosacea: The Sun Exposure Correlates With The Erythematotelangiectatic Subtype. Annals Of Dermatology, 21(3), 243�249. Google Scholar

 

Chopra, Dimple, Chopra, Vishal, Sharma, Aastha, Chopra, Siddharth, Aggarwal, Shivali, & Goyal, Deepak. (2017). Unusual Sites Of Cutaneous Tuberculosis: A Report Of Two Cases. Case Reports In Dermatological Medicine, 2017. Google Scholar

 

Del Rosso, James Q., & Tanghetti, Emil. (2021). Topical Oxymetazoline Hydrochloride Cream 1% For The Treatment Of Persistent Facial Erythema Of Rosacea In Adults: A Comprehensive Review Of Current Evidence. The Journal Of Clinical And Aesthetic Dermatology, 14(3), 32. Google Scholar

 

Del Rosso, James Q., Tanghetti, Emil, Webster, Guy, Gold, Linda Stein, Thiboutot, Diane, & Gallo, Richard L. (2020). Update On The Management Of Rosacea From The American Acne & Rosacea Society (Aars). The Journal Of Clinical And Aesthetic Dermatology, 13(6 Suppl), S17. Google Scholar

 

Eckel, Rachael. (2014). Rosacea: The Strawberry Fields Of Dermatology. Prime Journal, 4(4), 60�62. Google Scholar

 

Gether, L., Overgaard, L. K., Egeberg, A., & Thyssen, J. P. (2018). Incidence And Prevalence Of Rosacea: A Systematic Review And Meta‐Analysis. British Journal Of Dermatology, 179(2), 282�289. Google Scholar

 

Kumar, Ashok, Takada, Yasunari, Boriek, Aladin M., & Aggarwal, Bharat B. (2004). Nuclear Factor-Κb: Its Role In Health And Disease. Journal Of Molecular Medicine, 82(7), 434�448. Google Scholar

 

Kumari, Sulekha, Thng, Steven Tien Guan, Verma, Navin Kumar, & Gautam, Hemant K. (2018). Melanogenesis Inhibitors. Acta Dermato-Venereologica, 98(9�10), 924�931. Google Scholar

 

Lennox, Ashley L., Hoye, Mariah L., Jiang, Ruiji, Johnson-Kerner, Bethany L., Suit, Lindsey A., Venkataramanan, Srivats, Sheehan, Charles J., Alsina, Fernando C., Fregeau, Brieana, & Aldinger, Kimberly A. (2020). Pathogenic Ddx3x Mutations Impair Rna Metabolism And Neurogenesis During Fetal Cortical Development. Neuron, 106(3), 404�420. Google Scholar

 

Melnik, Bodo C. (2017). Apoptosis May Explain The Pharmacological Mode Of Action And Adverse Effects Of Isotretinoin, Including Teratogenicity. Acta Dermato-Venereologica, 97(2), 173�181. Google Scholar

 

Navarro, M. Lova, Guillen, P. S�nchez Pedre�o, Mart�nez, A. M. Victoria, Mench�n, T. Mart�nez, V�lez, R. Corbal�n, & Iniesta, J. Fr�as. (2018). Papulopustular Rosacea: Response To Treatment With Oral Azithromycin. Actas Dermo-Sifiliogr�ficas (English Edition), 109(6), 529�535. Google Scholar

 

Rainer, Barbara M., Kang, Sewon, & Chien, Anna L. (2017). Rosacea: Epidemiology, Pathogenesis, And Treatment. Dermato-Endocrinology, 9(1), E1361574. Google Scholar

 

Rallis, Efstathios, & Korfitis, Chrysovalantis. (2012). Isotretinoin For The Treatment Of Granulomatous Rosacea: Case Report And Review Of The Literature. Journal Of Cutaneous Medicine And Surgery, 16(6), 438�441. Google Scholar

 

Schaller, M., Almeida, L. M. C., Bewley, A., Cribier, B., Dlova, N. C., Kautz, G., Mannis, M., Oon, H. H., Rajagopalan, M., & Steinhoff, M. (2017). Rosacea Treatment Update: Recommendations From The Global Ros Acea Co Nsensus (Rosco) Panel. British Journal Of Dermatology, 176(2), 465�471. Google Scholar

 

Setiawan, Ricky. (2020). Aspek Klinis Rosasea. Cermin Dunia Kedokteran, 47(1), 35�38. Google Scholar

 

Shah, Kabeer K., Pritt, Bobbi S., & Alexander, Mariam P. (2017). Histopathologic Review Of Granulomatous Inflammation. Journal Of Clinical Tuberculosis And Other Mycobacterial Diseases, 7, 1�12. Google Scholar

 

Shalita, Alan R., Del Rosso, James Q., & Webster, Guy. (2011). Acne Vulgaris. Crc Press. Google Scholar

 

Shirzadeh, Ebrahim, Bagheri, Abbas, Abdizadeh, Mojtaba Fattahi, & Kanavi, Mozhgan Rezaei. (2017). Severe Rosacea: A Case Report. Journal Of Ophthalmic & Vision Research, 12(4), 429. Google Scholar

 

Solomon, James A., Tyring, Stephen, Staedtler, Gerald, Sand, Meike, Nkulikiyinka, Richard, & Shakery, Kaweh. (2016). Investigator-Reported Efficacy Of Azelaic Acid Foam 15% In Patients With Papulopustular Rosacea: Secondary Efficacy Outcomes From A Randomized, Controlled, Double-Blind, Phase 3 Trial. Cutis, 98(3), 187�194. Google Scholar

 

Steinhoff, Martin, Schmelz, Martin, & Schauber, J�rgen. (2016). Facial Erythema Of Rosacea�Aetiology, Different Pathophysiologies And Treatment Options. Acta Dermato-Venereologica, 96(5), 579�589. Google Scholar

 

 

Tan, Jerry K. L., & Bhate, K. (2015). A Global Perspective On The Epidemiology Of Acne. British Journal Of Dermatology, 172, 3�12. Google Scholar

 

Tripipitsiriwat, Athiwat, Komoltri, Chulaluk, Ruangchira-Urai, Ruchira, & Ungprasert, Patompong. (2020). Clinical Characteristics Of Sarcoidosis In Asian Population: A 14-Year Single Center Retrospective Cohort Study From Thailand. Sarcoidosis, Vasculitis, And Diffuse Lung Diseases, 37(4). Google Scholar

 

Two, Aimee M., Wu, Wiggin, Gallo, Richard L., & Hata, Tissa R. (2015). Rosacea: Part I. Introduction, Categorization, Histology, Pathogenesis, And Risk Factors. Journal Of The American Academy Of Dermatology, 72(5), 749�758. Google Scholar

 

Woo, Yu Ri, Lim, Ji Hong, Cho, Dae Ho, & Park, Hyun Jeong. (2016). Rosacea: Molecular Mechanisms And Management Of A Chronic Cutaneous Inflammatory Condition. International Journal Of Molecular Sciences, 17(9), 1562. Google Scholar

           

Copyright holder:

Budi Eko Prasetyorini, Minna Hasniah, Moerbono Mochtar, Arie Kusumawardhani (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: