Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 11, November 2024
KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU
PEMBELAAN TERPAKSA DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN PADA SISTEM PERADILAN PIDANA
Arief Dermawan Singhs1, Ade
Adhari2
Universitas
Tarumanagara, Jakarta, Indonesia1,2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Penelitian ini membahas bagaimana
kebijakan penegakan hukum terhadap pelaku pembelaan terpaksa dalam mewujudkan
keadilan pada sistem hukum pidana. Seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa guna
melindungi diri atau orang lain dari serangan yang mendesak dan nyata, sehingga
hukum menganggap situasi ini sebagai alasan pembenar. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif-analitis dengan pendekatan undang-undang dan
pendekatan kasus untuk menggambarkan kebijakan yang ada. Berdasarkan hasil
penelitian kebijakan penegakan hukum digunakan untuk menciptakan keseimbangan
antara perlindungan hukum terhadap individu yang terpaksa melakukan tindakan
pembelaan diri dan penerapan aturan hukum yang berlaku sehingga menghasilkan
penegakan hukum yang efektif.
Kata Kunci: Kebijakan penegakan hukum, pembelaan terpaksa, keadilan.
Abstract
This study discusses
how law enforcement
policies regarding individuals who act in self-defense contribute to achieving
justice within the criminal justice
system. A person who engages in self-defense to protect themselves
or others from an urgent
and real threat is recognized by
the law as having a justifiable reason. This research
employs a descriptive-analytical
method with a statutory and case
approach to illustrate the existing policies. Based on the
research findings, law enforcement policy are used to create a balance
between legal protection for individuals compelled to act
in self-defense and the application of the prevailing
legal rules, thereby resulting in effective law enforcement.
Keywords: law
enforcement policy, self-defense, justice
Pendahuluan
Kejahatan adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja atau kelalaian yang melanggar hukum pidana tertulis atau keputusan hakim, yang dilakukan oleh individu tanpa alasan pembelaan
atau pembenaran, dan yang dapat dikenai sanksi
oleh negara sebagai bentuk kejahatan atau pelanggaran
Sistem peradilan pidana harus berfungsi dengan baik dan adil untuk memastikan
bahwa setiap individu yang terlibat dalam proses hukum mendapatkan hak dan perlakuan yang setara. Partisipasi masyarakat dalam sistem demokrasi
dan hukum merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mendorong
penegakan hukum dalam mengatasi berbagai bentuk kejahatan.
Pada Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1), menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil, serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum. Perlindungan hukum ini berperan penting dalam menciptakan masyarakat yang adil, damai, dan berperadaban.
Implementasi perlindungan hukum
yang konsisten dan menyeluruh
juga sangat penting untuk membangun kepercayaan public terhadap sistem hukum serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara umum. Perlindungan hukum ini merupakan
salah satu indikator suatu negara yang mengakui prinsip negara hukum. Dalam konteks negara hukum, seluruh warga negara memiliki kedudukan yang setara di depan hukum
Sistem hukum yang bekerja dengan efektif, berdasarkan pada prinsip kepastian, keadilan, dan manfaat hukum, sangat diperlukan untuk mewujudkan negara hukum yang baik dalam segala
aspek kehidupan. Hukum yang efektif tidak akan berfungsi
dengan baik tanpa penerapan yang tepat. Oleh karena itu, untuk memastikan
bahwa hukum ditegakkan secara efektif, diperlukan berbagai kebijakan dalam penegakan hukum, termasuk pembuatan undang-undang, pengawasan, serta penegakan oleh lembaga penegakan hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum mencakup segala upaya yang bertujuan untuk memastikan bahwa hukum, sebagai
sistem norma yang mengatur
dan mengikat setiap subjek hukum dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat dan negara, benar-benar dipatuhi dan dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
Agar seseorang
dapat dijatuhi hukuman atas tindak
pidana yang dilakukannya, individu tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu dalam proses pemidanaan. Dalam perkembangan
teori hukum pidana, terdapat pergeseran menuju asas “tiada pidana
tanpa kesalahan”, yang mencerminkan pendekatan dualistis dalam hukum pidana. Pemikiran untuk memisahkan antara tindak pidana
dan pertanggungjawaban pidana
peril dipertimbangkan dalam
rangka pembaruan hukum pidana di Indonesia.
Dalam pejatuhan pidana, pengadilan memiliki tanggung jawab untuk menilai secara
adil antara tindak pidana yang dilakukan dan pertanggungjawaban pidana yang relevan. Hal ini berlandaskan
pada teori dualistis yang disebutkan di atas
Pada keseharian
kita sering kali terdapat situasi di mana individu terpaksa untuk bertindak di
luar batas hukum sebagai tindakan pembelaan diri atau pembelaan terpaksa.
Aturan pembelaan terpaksa memungkinkan individu untuk bertindak melampaui norma
hukum dalam situasi-situasi yang mengancam keselamatan atau kehidupan mereka
sendiri atau orang lain.
Pembelaan terpaksa
atau noodweer merupakan salah satu aspek dalam
hukum pidana yang memberikan perlindungan bagi individu melakukan tindakan
untuk mempertahankan diri dari ancaman atau serangan yang membahayakan
Penelitian ini
dilakukan untuk menentukan sejauh mana kebijakan penegakan hukum saat ini dapat
memberikan keadilan kepada pelaku pembelaan terpaksa dan apakah ada upaya
konkret yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem pidana agar sesuai dengan
prinsip keadilan yang substantif.
Berdasarkan pada
latar belakang di atas, bahwa permasalahan yang akan menjadi penelitian lebih
lanjut berupa, bagaimana kebijakan penegakan hukum
terhadap pelaku pembelaan terpaksa dalam mewujudkan keadilan dalam sistem hukum
pidana?. Penelitian ini membahas bagaimana kebijakan penegakan hukum
terhadap pelaku pembelaan terpaksa dalam mewujudkan keadilan pada sistem hukum
pidana.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif yang bertujuan untuk memberikan argumentasi yang terarah terhadap isu-isu yang diteliti. Sebagai dasar teoritis,
penelitian ini mengacu pada teori hukum normatif atau kontemplatif
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis,
yang berfokus untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai permasalahan yang menjadi pokok bahasan. Metode ini bertujuan
untuk menyajikan deskripsi yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, karakteristik, serta hubungan antar fenomena yang diteliti, sekaligus menganalisisnya dengan cara mencari
hubungan sebab-akibat dan menguraikan hasil analisis tersebut secara logis dan terstruktur
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data sekunder, yang mencakup kajian literatur tertulis seperti buku, jurnal, serta
dokumen-dokumen cetak dan
digital lainnya
a.
Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia, termasuk Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
b.
Bahan hukum sekunder, yang mencakup buku-buku, artikel ilmiah, dan sumber lainnya;
c.
Bahan hukum tersier, seperti sumber-sumber dari internet,
kamus hukum, dan referensi lainnya.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode analisis deduktif, yang dimulai dengan ketentuan hukum sebagai premis mayor
Hasil dan Pembahasan
Kebijakan hukum pidana
memegang peranan yang
sangat penting dalam penentuan apakah suatu tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Hukum pidana mengatur dua jenis standar, yakni standar yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana, dan standar yang berkaitan dengan jenis ancaman pidana
yang seharusnya dijatuhkan kepada terdakwa
Secara rinci, undang-undang hukum pidana mengatur
hal-hal berikut
1)
Kapan seorang pelaku dapat dijatuhi pidana;
2)
Jenis pidana
apa yang dapat dikenakan kepada pelaku;
3)
Seberapa lama pidana tersebut dapat dijatuhkan atau besaran pidana
denda yang dapat diberikan;
4)
Bagaimana cara pelaksanaan pidana tersebut.
Dalam konteks ini, penegakan hukum harus mempertimbangkan
tidak hanya menerapkan sanksi terhadap mereka yang melanggar hukum, tetapi juga
melindungi hak asasi manusia dan keadilan substantif bagi setiap orang. Berbagai
bagian dari kebijakan ini termasuk pembuatan undang-undang, pelaksaan
penyidikan, penuntutan, dan tahap peradilan.
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan tindakan untuk menerapkan tujuan yang telah dirumuskan oleh pembuat undang-undang dalam hukum, agar dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata
Oleh karena itu,
penegakan hukum yang efektif di sini bukan sekedar menerapkan undang-undang,
tetapi juga memastikan bahwa undang-undang tersebut dapat memberikan keadilan
yang nyata bagi pelaku yang melakukan pembelaan terpaksa. Hal inilah yang
menjadi fokus kebijakan penegakan hukum yaitu bagaimana undang-undang yang
dibuat dalam aturan pembelaan terpaksa dapat diterapkan untuk menjamin bahwa
pelaku yang melakukan pembelaan terpaksa menerima perlakuan yang adil dalam
sistem peradilan pidana.
Ketentuan tentang pembelaan
terpaksa diatur dalam Pasal 49 KUHP terbagi menjadi dua, yaitu pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dengan adanya aturan ini,
individu yang melangsungkan
tindakan pidana dalam rangka membela
diri bisa terbebas dari hukuman.
Aturan ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi pelaku yang melakukan pembelaan terpaksa, sekaligus memberikan perlindungan yang seimbang antara penegakan hukum dan keadilan substantif bagi mereka yang bertindak dalam kondisi tersebut.
Menurut A. Mulder, sebagaimana dikutip dalam buku
karya Barda Nawawi Arief, kebijakan hukum pidana mencakup
1)
Penentuan sejauh mana ketentuan pidana yang ada perlu diubah atau
diperbarui;
2)
Upaya pencegahan tindak pidana;
3)
Cara pelaksanaan penyidikan, penuntutan, peradilan, dan eksekusi pidana.
Dari sini dapat disimpulkan
bahwa kebijakan hukum pidana berfungsi
sebagai acuan untuk beberapa hal penting. Pertama,
untuk menilai apakah ketentuan pidana yang ada perlu diperbarui atau disesuaikan guna mencapai keadilan
substantif, terutama dalam konteks pembelaan
terpaksa. Apabila hukum yang berlaku tidak memberikan keadilan kepada pelaku yang bertindak untuk melindungi diri atau orang lain, ketentuan tersebut harus disesuaikan agar memberikan kepastian hukum yang adil.
Kedua, kebijakan ini juga harus mencakup langkah-langkah pencegahan kejahatan, termasuk mengurangi kondisi yang dapat mendorong tindakan pembelaan terpaksa, seperti ancaman terhadap keselamatan seseorang. Hal ini dapat
dicapai dengan meningkatkan perlindungan masyarakat, memberikan edukasi tentang
hukum serta langkah-langkah proaktif dalam menciptakan lingkungan menjadi lebih
aman dan teratur. Pada dasarnya, pembahasan tentang hukum tidak dapat
dipisahkan dari diskusi tentang kehidupan manusia, termasuk aspek filosofis
seperti moralitas dan keadilan
Ketiga, proses penyelidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana wajib dilakukan. Untuk
menghindari interpretasi yang salah dan merugikan pelaku yang bertindak dalam
keadaan darurat, proses penegakan hukum dalam kasus pembelaan terpaksa harus
dilakukan secara objektif dengan mempertimbangkan semua unsur dan bukti yang
ada. Selain memiliki kebijakan yang mendukung pelaksanaan hukum yang adil dan
tidak memihak. Dalam hal ini penyidik, jaksa, dan hakim harus memahami secara
menyeluruh aspek-aspek di dalam pembelaan terpaksa.
Secara keseluruhan
garis kebijakan di atas menekankan bahwa evaluasi dan adaptasi kebijakan hukum
pidana, termasuk dalam konteks pembelaan terpaksa sangat penting supaya sistem
peradilan pidana dapat mewujudkan keadilan yang substantif bagi semua pihak.
Pelaksanaan kebijakan ini akan memperkuat sistem hukum yang lebih responsif
terhadap situasi yang sebenarnya dan memastikan bahwa tindakan pembelaan yang
sah mendapat perlakuan yang adil.
Kebijakan yang berhubungan dengan
penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana
pada dasarnya merupakan bagian dari upaya
penegakan hukum secara keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan
hukum pidana sering kali dianggap sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy)
Di dalam hukum pidana Indonesia, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur tindakan pembelaan terpaksa, yang memberikan hak kepada seseorang
untuk bertindak dalam menghadapi ancaman atau bahaya
yang nyata. Kebijakan yang
ideal wajib mampu mengakomodasi situasi di mana pelaku pembelaan terpaksa tidak dianggap sebagai penjahat, melainkan sebagai individu yang bertindak untuk melindungi diri atau orang lain. Oleh sebab itu, penting bagi
aparat penegak hukum untuk memahami
konteks dan rincian setiap kasus, sehingga
keputusan yang diambil dapat memberikan keadilan.
Untuk memastikan
bahwa prinsip keadilan dan kepastian hukum diterapkan dalam setiap kasus yang
mengakibatkan adanya pembelaan terpaksa, kebijakan penegakan hukum pidana juga
harus mencakup sistem evaluasi dan supervisi yang kuat. Hal ini penting agar
keputusan penegak hukum tidak hanya didasarkan pada keadaan saat ini tetapi
juga mempertimbangkan keadilan yang lebih luas. Evaluasi yang sistematis
membantu penegakan hukum dan memperbaiki prosedur untuk mencegah kesalahan
serupa di masa mendatang.
Kebijakan
penegakan hukum terhadap pelaku pembelaan terpaksa dalam mewujudkan keadilan
dalam sistem hukum pidana ini menekankan pentingnya penilaian menyeluruh
terhadap konteks dan kondisi khusus dari setiap tindakan pembelaan terpaksa
untuk proses penegakan hukum yang efektif. Maka dari itu tujuan kebijakan ini
adalah untuk menciptakan keseimbangan antara perlindungan hukum terhadap
individu yang terpaksa melakukan tindakan pembelaan diri dan penerapan aturan
hukum yang berlaku.
Kebijakan penegakan hukum berperan dalam menciptakan keseimbangan antara pemberian perlindungan hukum bagi individu
yang terpaksa melakukan tindakan membela diri dan penerapan aturan hukum yang berlaku, sehingga tercipta penegakan hukum yang efektif. Dalam praktiknya kebijakan ini seharusnya
memungkinkan penegak hukum untuk memutuskan
secara objektif apakah perbuatan yang diperbuat oleh pelaku memenuhi unsur pembelaan terpaksa yakni adanya ancaman
serius dan tidak dapat dihindari.
Fakta dan analisis yang mempertimbangkan proporsionalitas
tindakan, motif pelaku, dan
situasi saat peristiwa terjadi harus digunakan untuk mendukung penilaian tersebut. Selain itu, kebijakan
yang efektif juga memerlukan
peraturan yang jelas dan tidak ambigu mengenai
pembelaan terpaksa ini agar tidak ditafsirkan secara berbeda oleh penegak hukum. Undang-undang harus secara tegas
mengatur batasan dan syarat-syarat yang sah untuk pembelaan terpaksa sehingga memberikan perlindungan hukumyang adil bagi pelaku yang memang bertindak untuk mempertahankan diri atau orang lain.
Kesimpulan
Dengan melihat
uraian yang telah diberikanm dapat disimpulkan bahwa kebijakan penegakan hukum seharusnya memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi individu yang bertindak dalam kondisi terpaksa demi membela diri sendiri
atau orang lain, sekaligus menetapkan keseimbangan antara penerapan hukum dan keadilan substantif. Untuk mencapai keadilan, kebijakan hukum terhadap individu yang melakukan pembelaan terpaksa perlu menerapkan aturan yang tidak hanya berfokus
pada aspek formal, tetapi
juga mempertimbangkan konteks
tindakan tersebut. Kebijakan ini idealnya
memungkinkan hakim dan aparat
penegak hukum lain untuk menilai situasi
secara komprehensif, sehingga keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan. Dengan demikian, diharapkan kebijakan yang diterapkan tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga memberikan rasa keadilan kepada individu yang bertindak demi melindungi diri atau orang lain.
BIBLIOGRAFI
Adhari, A. (2022). Mengenalkan
Hukum Dan Pelanggaran Hukum Terhadap Siswa Sma N. 17
Jakarta. Prosiding Serina.
Arief, B. N. (2011). Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana:(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru).
Ariyanti, V. (2019). Kebijakan
Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal Yuridis,
6(2). https://doi.org/10.35586/jyur.v6i2.789
Diantha, I. M. P. (2016). Metodologi penelitian hukum normatif
dalam justifikasi teori hukum. Prenada Media.
Hakim, L. (2019). Implementasi
Teori Dualistis Hukum Pidana Di Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RKUHP). Krtha Bhayangkara,
13(1). https://doi.org/10.31599/krtha.v13i1.12
Iqsandri, R. (2022). Pengaruh Politik
terhadap Proses Penegakan Hukum di Indonesia. Criminology
and Justice, 2(1).
Lakoy, R. E. K. (2020). Syarat Proporsionalitas Dan Subsidaritas
Dalam Pembelaan Terpaksa Menurut Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Lex Crimen,
9(2).
Marzuki, M. (2017). Penelitian
hukum: Edisi revisi. Prenada Media.
Masidin. (2023). Penelitian Hukum Normatif: Analisis Putusan
Hakim. Prenada Media.
Pasaribu, K. M. (2024). Pembangunan
Hukum Dalam Menciptakan Masyarakat Yang Anti Korupsi. Jurnal Indragiri
Penelitian Multidisiplin, 4(3), 27–33.
Saragih, Y. M., Tarigan, C. A. P.,
Meliala, N. M. S., & Hutabarat, R. A. C. (2024). Peran Masyarakat dalam
Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Ethics and Law Journal: Business and Notary, 2(1), 139–147.
Widyawati, A., & Adhari, A.
(2020). Hukum Penitensier Di Indonesia: Konsep Dan
Perkembangannya. In Rajawali Pers.
Wignjosoebroto, S. (2002). Hukum: Paradigma,
metode dan dinamika masalahnya. (No Title).
Yanto, O. (2020). Negara hukum
kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Edited
By, 1.
Zaidan, M. A. (2021). Kebijakan
Kriminal. Sinar Grafika (Bumi Aksara).
Copyright holder: Arief Dermawan Singhs, Ade Adhari (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |