Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
12, Desember 2024
PERSPEKTIF KEADILAN PADA
KETIDAKBERIMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARIS DENGAN CARA HIBAH
Muhammad Abdur Rozaq1, Sabrina Audelia2,
Jeffaldo3, Andryawan4
Universitas Tarumanagara,
Jakarta, Indonesia1,2,3,4
Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, [email protected]4
Abstrak
Hibah telah menjadi
alternatif dalam pembagian harta warisan dimana Pemberi Hibah dapat
menentukan lain (dapat digantikan) dari apa yang diatur dalam hukum positif
yang bersifat regelend-recht.
Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis bagaimana pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris. Selanjutnya apakah hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris merepresentasikan
keadilan. Penelitian doktrinal yang menggunakan pendekatan perundang-undangan diterapkan. Analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Ditegaskannya Hibah sebagai Perjanjian maka berlaku asas
kebebasan berkontrak yang memungkinkan Penghibah untuk membagi harta
kekayaannya berdasarkan kehendak si Penghibah
sehingga secara implisit dalam Hibah dapat ditetapkan
bagian-bagian yang mungkin saja mengakibatkan ketidakberimbangan (tidak sama rata) dalam Pembagian Harta. Walaupun demikian secara eksplisit diatur hibah tersebut
tidak boleh melebihi legitime portie. Eksistensi hibah sebagai alternatif waris untuk mendistribusikan
kekayaan pewaris kepada ahli waris
pada saat masih hidup dengan skema
pendistribusian kekayaan
yang dibagi secara tidak sama rata dalam hal jumlah
namun pembagian yang memperhatikan perbedaan-perbedaan
yang secara objektif ada pada masing-masing individu, ini juga telah memberikan keadilan karena merupakan perwujudan keadilan dengan memberikan keuntungan untuk menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak tersebut
juga harus membuka peluang bagi mereka
yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya.
Kata kunci: harta waris, hibah, keadilan,
ketidakberimbangan
Abstract
Grants have
become an alternative in the distribution of inheritance where the Grantor can
determine other (replaceable) than what is regulated in the positive law of the
regelend-recht. This study aims to analyze how the
regulation in the Civil Code (KUHPer) regarding
grants results in imbalances in the distribution of inheritance. Furthermore,
whether grants that result in imbalances in the distribution of inheritance
represent justice. Doctrinal research using a legislative approach is applied.
The analysis used is a deductive method. Affirming the Grant as an Agreement,
the principle of freedom of contract applies which allows the Grantor to divide
his wealth based on the will of the Grantor so that implicitly in the Grant can
be determined the parts that may result in an imbalance (unequal) in the
Distribution of Property. However, it is explicitly regulated that the grant
must not exceed the legitime of the portie. The
existence of grants as an alternative to heirs to distribute the wealth of
heirs to heirs while they are still alive with a scheme of distributing wealth
that is divided unequally in terms of number but a division that pays attention
to the differences that objectively exist in each individual, this has also
provided justice because it is a manifestation of justice by providing benefits
to enjoy various social benefits more. opening up opportunities for those less
fortunate to improve their life prospects.
Keywords: inheritance, grants, justice, inequality.
Pendahuluan
Sengketa kewarisan secara
berturut-turut, tahun 2022
dan 2023 telah menempati urutan pertama pada daftar Perkara Perdata yang diajukan Peninjauan Kembali pada
Kamar Agama di Mahkamah Agung dan urutan
kedua pada daftar Perkara Perdata yang diajukan Kasasi. (Tim Pokja Laporan Tahunan MARI, 2023); (Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2024)
Gambar
1. Laporan Tahunan 2022 dan 2023
Sumber: Mahkamah
Agung Republik Indonesia, 2024
Gambar 2. Laporan
Tahunan 2022 dan 2023
Sumber: Mahkamah Agung
Republik Indonesia, 2024
Selain sengketa kewarisan
yang mendominasi perkara perdata pada Kamar Agama di Mahkamah
Agung, pada kenyataannya beberapa
sengketa pembagian waris telah menimbulkan
konflik antar anggota keluarga di masyarakat. Di Mapolda Sumatera
Selatan (Erfizal & Tiarhendi,
2024), seorang Istri dari Pewaris dipolisikan
oleh anak kandungnya perihal harta waris.
Istri Pewaris dilaporkan atas tuduhan penggelapan waris terhadap harta waris yang telah dijual oleh Istri Pewaris sebelum
harta waris tersebut dibagikan. Menurut keterangan Istri Pewaris, dari hasil penjualan
tanah tersebut, selanjutnya Istri Pewaris bermaksud akan mendistribusikan uang hasil penjualan kepada ahli waris.
Di tempat yang berbeda, karena permasalahan tuntutan warisan yang tidak dihiraukan dan tidak pernah memperoleh
kejelasan telah menyebabkan anggota keluarga melakukan pembakaran toko bangunan milik kakaknya di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng, Bali (Tim detikBali,
2024).
Terkait pewarisan yang dipengaruhi sistem kekerabatan, masyarakat Indonesia
sendiri menganut beberapa sistem kekerabatan, yaitu patrilineal
(garis keturunan bapak),
matrilineal (garis keturunan ibu),
dan bilateral (garis keturunan kedua
orangtua). Sistem kekerabatan yang berbeda-beda tersebut berpengaruh terhadap hukum waris adat yang berbeda pula (Yusha, Sinaga,
& Widodo, 2021).
Masyarakat Sai Batin (Lampung) masih memegang teguh hukum adat
pewarisan anak sulung terlebih dahulu. Anak sulung berhak atas seluruh
harta warisan dan menjadi ahli waris
bagi keturunannya. Begitu kuatnya kedudukan anak laki-laki dalam keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka keluarga tersebut kemudian dianggap tidak mempunyai keturunan atau dianggap tidak mempunyai keturunan (Sopyan et al., 2020, 295-316). Berbeda dengan masyarakat Minangkabau
yang hak waris atas tanah dan harta benda lainnya
diwariskan dari ibu ke anak
perempuannya, lalu diteruskan ke anak-anak
perempuan mereka (Karimah & Gunawan, 2024, p. 2302-2320). Pola yang berbeda ditemukan pada masyarakat Kabupaten Nganjuk, tepatnya di wilayah Desa Pehserut, Kecamatan Sukomoro, terdapat praktik pembagian waris secara “Sigar Semangka”, sesuai bagian-bagian yang sama di antara perempuan dan laki-laki (1:1) (AD
et al., 2022, 231-250).
Pluralisme Hukum Waris nyata adanya. Indonesia memberlakukan beberapa sistem Hukum Waris.
Hukum Waris yang masih berlaku
sampai saat ini, yaitu Hukum Waris Barat,
Adat, dan Islam. Hukum Waris Barat mendasarkan pada sumber Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW). Eksistensi masyarakat Adat yang masih diakui juga memberikan keberlakuan Hukum Waris Adat. Serta, keberadaan
mayoritas masyarakat Muslim
di Indonesia, juga kemudian diberlakukan
Hukum Waris Islam yang bersumber pada Al-Qur’an, hadits dan Ijma (Setiawan et al., 2021, 107-123).
Berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam pewarisan yang dibagikan setelah meninggalnya pewaris (Pasal 830
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer) dalam Subekti & Tjitrosudibio,
2014) telah memunculkan alternatif-alternatif untuk membagikan harta kekayaan Pewaris yang dapat meminimalkan konflik antar para ahli waris dan/atau keluarga atau
pihak ketiga lainnya. Menurut Ritonga dan Nasution (Ritonga & Nasution, 2023,
64-82), konsep pemberian hibah dipandang sebagai salah satu alternatif pilihan pewarisan. Alternatif pewarisan ini dinilai
dari sudut pandang etika dimaksudkan
untuk memberikan kepastian. Ini juga upaya Pewaris memberikan
perlindungan kepada keluarga. Melalui hibah, Pewaris dapat memberikan kejelasan. Perlindungan moral dapat dibangun oleh Pewaris terhadap kemungkinan konflik dan kebingungan di masa depan perihal hak ahli
waris dan pembagian harta. Ini merupakan
wujud tanggung jawab moral atas keharmonisan dan keberlangsungan hubungan keluarga. Prinsip etika ini
memberi tahu kita bahwa pemberian
hibah tidak hanya melibatkan tindakan hukum namun juga niat baik yang tertanam dalam tindakan tersebut. Mengingat aspek etika dalam
pewarisan alternatif melibatkan keadilan sebagai prinsip fundamental. Pemberian hibah sebagai alat utama
membuka pintu menuju keadilan yang lebih dinamis. Hibah menggantikan model tradisional yang dapat dengan mudah menimbulkan
kesenjangan.
Dalam masyarakat muslim
yang mualaf, hibah dapat menjadi metode
alternatif dalam mendistribusikan harta mualaf kepada ahli
waris sah non-Muslim juga
(Azmi et al., 2022, 81-87). Pada masyarakat Sai Batin (Lampung) yang masih menganut hukum waris adat, terdapat
kecenderungan untuk meninggalkan hukum adat waris mereka
yang dinilai tidak adil karena lebih
mengutamakan anak laki-laki tertua, sehingga untuk menghindari pertikaian internal keluarga, sebagian masyarakat Sai Batin telah memilih untuk
membagi aset mereka dengan keturunan
mereka saat mereka masih hidup
melalui cara hibah yang dianggap sebagai cara yang efektif, adil dan setara (Sopyan et al., 2020,
295-316). Selain itu, di Nganjuk, tepatnya di Kecamatan Sukomoro, Desa Pehserut, ditemukan juga terdapat praktik pembagian harta warisan sebelum
kematian, salah satunya dengan hibah dengan
kemungkinan pembagian sebagai berikut: “Sapikulan rong gendhongan” yang membagi bagian-bagian dengan perbandingan 2:1 (artinya, 2 bagian untuk laki-laki
dan 1 bagian untuk perempuan), atau perbandingan dengan membagi berdasarkan bagian-bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan (“Sigar Semangka”) –
Hal ini terlihat dalam ilustrasi bahwa jika harta
warisan dalam bentuk kas dan setara kas telah dibagi seluruhnya,
maka setiap anak mendapat sebidang
sawah. Selanjutnya, Ahli Waris yang memperoleh sawah dengan nilai jual lebih
tinggi harus memberikan uang kepada ahli waris yang memperoleh sawah dengan nilai jual sawah yang lebih rendah -, atau skema pembagian
di mana anak bungsu bisa menjadi pemilik
rumah (AD et al., 2022, 231-250). Selain
itu, praktik orang tua angkat yang memberikan hibah kepada anak angkat
juga ditemukan di Kabupaten
Lumajang. Ini tepatnya di Kecamatan Sukodono, Desa Bondoyudo. Penghibahan orangtua angkat kepada anak angkat
tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir konflik yang akan terjadi. Dalam hal ini, Penghibah
yang tidak memiliki keturunan, membagikan seluruh kekayaannya kepada anak angkatnya
-karena ras cintanya yang dalam dan sebagai orang yang selalu bersamanya- dan salah satu saudaranya saja. Harta tersebut dibagikan setelah saudara laki-laki Pewaris menyetujuinya. Artinya, telah terdapat musyawarah dengan anggota keluarga terlebih dahulu (Nisa' et al., 2024). Skema-skema
tersebut menunjukkan eksistensi hibah sebagai alternatif waris untuk mendistribusikan
kekayaan pewaris kepada ahli waris
pada saat masih hidup dengan berbagai
skema. Terlihat juga bahwa penghibahan tersebut juga memberi keleluasaan kepada Pemberi Hibah untuk
menentukan siapa Penerima Hibah yang dapat didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu dan tujuan tertentu, memungkinkan pembagian harta dengan cara
dapat menentukan lain (dapat diganti) dari yang diredaksikan di dalam hukum positif
dengan tujuan mengatur atau menambah.
Berangkat dari permasalahan
kerentanan konflik dalam pewarisan dan pilihan hibah yang dapat menjadi metode
alternatif dalam mendistribusikan harta yang mana Penghibah dapat menentukan lain (dapat diganti) dari yang diredaksikan di dalam hukum positif dengan
tujuan mengatur atau menambah, seperti mendistribusikan harta mualaf kepada
ahli waris sah non-Muslim, hibah dengan probabilitas pembagian di mana membagi bagian-bagian dengan perbandingan 2:1 (artinya, 2 bagian untuk laki-laki
dan 1 bagian untuk perempuan), atau orang tua angkat yang memberikan hibah kepada anak angkat,
maka diformulasikan rumusan masalah, yaitu: (1) Bagaimana pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris. Apakah hibah
yang mengakibatkan ketidakberimbangan
dalam pembagian harta waris merepresentasikan
keadilan?
Berdasarkan tinjauan pustaka
terhadap penelitian Skripsi oleh Alief Laam Roo
Identifikasi dan analisis secara
yuridis normatif terhadap pengaturan di KUHPer yang memungkinkan ketidakberimbangan pembagian harta waris dengan
cara hibah dan mengkajinya berdasarkan perspektif keadilan menjadi keunikan dari penelitian ini. Ini berbeda
dengan penelitian terdahulu yang menggunakan studi empiris dan studi kasus.
Mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris dan mengidentifikasi dan menganalisis hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris dari
perspektif keadilan, menjadi tujuan dari penelitian ini. Kegunaan ilmiah
yang diharapkan dari penelitian ini adalah memperkaya khasanah pengetahuan di bidang keilmuan Hukum Keperdataan di bidang Pewarisan dan Penghibahan. Adapaun kegunaan praktis penelitian ini adalah memberikan
pengetahuan dan masukan kepada Stakeholders, antara lain Pihak Pewaris dan/atau Pemberi Hibah,
Penerima Hibah dan/atau Ahli Waris, Notaris dan/atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dalam praktik pewarisan
dan/atau penghibahan yang memberikan kepastian hukum dan berkeadilan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan
pendekatan penelitian doktrinal yang menjelaskan berbagai asas dan doktrin hukum dengan
meneliti materi hukum. Sebagai penelitian doktrinal, penelitian ini digunakan untuk menjelaskan aturan, norma, konsep, dan doktrin hukum
Hasil dan Pembahasan
Pengaturan dalam KUHPer tentang
Hibah yang Mengakibatkan Ketidakberimbangan dalam Pembagian Harta Waris
Hibah sebagaimana didefinisikan
dalam Pasal 1666 KUHPer dalam
Unsur-unsur penghibahan
Melalui suatu perjanjian
hibah, seseorang dapat memberikan secara cuma-cuma kepada orang lain. Dengan demikian, hibah merupakan suatu perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian.
Perjanjian sebagaimana didefinisikan
dalam Pasal 1313 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 2014) adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ini selaras
dengan rumusan Subekti dalam
Hibah sebagai suatu
perjanjian maka berlaku Hukum Perjanjian yang menganut sistem terbuka. Subekti
Dalam konteks hibah
sebagai alternatif untuk membagikan harta kekayaan Pewaris selagi si Pewaris masih
hidup dimana Hukum Waris itu sendiri ditempatkan
pada Buku Kedua BW tentang Kebendaan. Dianutnya sistem tertutup pada Hukum Benda
Pada kasus dengan
nomor putusan 7/Pdt.G/2016/PN.Lrt
yang telah diputus pada 15
Mei 2017 oleh Pengadilan Negeri (PN) Larantuka, merupakan putusan pengadilan yang telah membatalkan suatu penghibahan. Pembatalan hibah disebabkan oleh karena pemberian hibah melebihi daripada bagian mutlak. Tuntutan Para Penggugat yang posisinya adalah sebagai Ahli Waris sah diajukan terhadap bagian mutlak (legitime portie)-nya daripada
sebidang tanah yang merupakan harta peninggalan/warisan asal dari Pewaris
yang mana sebelum warisan terbuka telah didahului
peristiwa peralihan hak dengan cara
hibah. Hibah tersebut diberikan kepada salah seorang anak perempuan Ahli Waris daripada Pewaris. Penghibahan tersebut juga telah dilekatkan pada Akta Hibah. Putusan
Pengadilan tersebut menegaskan bahwa penghibahan pun harus memperhatikan juga legitime portie.
Selain daripada itu, Hibah sebagai
perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak.
Kebebasan berkontrak harus
dibangun berdasarkan keseimbangan kebebasan (“balance
of freedom”) dengan memperhatikan
keseimbangan kepentingan
masing-masing pihak, serta melindungi pihak "lemah" dalam perjanjian hukum perdata
Asas kebebasan berkontrak
yang diterapkan secara proporsional berarti telah memungkinkan untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris
atau pihak ketiga lainnya pada saat masih hidup
dengan berbagai skema, termasuk juga memberi keleluasaan kepada Pemberi Hibah untuk menentukan
siapa Penerima Hibah yang dapat didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu dan tujuan tertentu dan harus didasarkan pada itikad baik. Telah diatur syarat tambahan untuk dapat sahnya
suatu perjanjian pada Pasal
1338 (3) dan 1339 KUHPer, bahwa
itikad baik harus menjadi dasar
untuk pelaksanaan perjanjian sehingga perjanjian mengikat sesuai kebiasaan, kepatutan, ketertiban umum dan undang-undang. Perjanjian yang mengikat sesuai undang-undang dalam hal ini
hanyalah terhadap hukum yang bersifat memaksa saja
Dalam masyarakat muslim
yang mualaf, hibah dapat menjadi metode
alternatif dalam mendistribusikan harta mualaf kepada ahli
waris sah non-Muslim juga
Selain itu, pada masyarakat
di Kabupaten Nganjuk, khususnya pada wilayah Kecamatan Sukomoro, tepatnya di Desa Pehserut, juga terdapat praktik pembagian waris yang dilakukan sebelum kematian, salah satunya dengan cara hibah.
Penghibahan diterapkan dengan berbagai kemungkinan cara pembagian, “Sapikulan rong gendhongan” (membagi bagian-bagian dengan cara memberikan
laki-laki 2 bagian dan 1 bagian untuk perempuan),
atau “Sigar Semangka” dengan cara membagi
dalam bagian-bagian yang sama secara berimbang
antara laki-laki dan perempuan – hal ini terlihat dalam
ilustrasi bahwa jika harta warisan
dalam bentuk kas dan setara kas telah dibagi seluruhnya, maka setiap anak
mendapat sebidang sawah. Selanjutnya, Ahli Waris yang memperoleh
sawah dengan nilai jual lebih tinggi
harus memberikan uang kepada ahli waris
yang memperoleh sawah dengan
nilai jual sawah yang lebih rendah -, atau skema pembagian
di mana anak bungsu bisa menjadi pemilik
rumah
Dalam pembagian waris
sendiri, sebagaimana menurut Pasal 852 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 2014), keturunan Pewaris atau anak-anaknya,
walaupun berasal dari perkawinan yang berbeda-beda, mereka memiliki hak waris
atas warisan yang berasal dari kedua
orangtua, nenek, kakek atau seluruh
keluarga dalam talian darah di antara mereka yang mengikuti garis lurus ke atas. Hak waris
atas masing-masing kepala dibagi berdasarkan bagian-bagian yang sama antara perempuan atau laki-laki. Urutan kelahiran juga tidak menentukan terhadap bagian-bagian yang akan diterima. Artinya, KUHPer menganut pembagian waris secara sama
rata kepada ahli waris.
Pewaris yang tidak memiliki
keluarga sedarah dalam garis ke bawah dan ke atas
sebagai ahli waris dan tidak adanya anak-anak di luar kawin yang telah diakui secara
sah maka di antara mereka yang masih hidup boleh
diadakan penghibahan atau testamen terhadap
harta peninggalan Pewaris, Pasal 917 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 2014). Pengaturan ini memberikan kemungkinan suatu penghibahan terjadi sesuai kehendak Pemberi Hibah.
Tergerusnya bagian mutlak
suatu warisan karena penghibahan atau testamen maka
atas dasar tuntutan ahli waris
atau penggantinya boleh dilakukan pengurangan terhadap harta yang telah dihibahkan tersebut pada saat telah terjadinya
pembagian harta warisan. Walaupun demikian, terhadap penggantian kerugian yang telah dibayarkan kepada pihak yang berpiutang oleh si meninggal tidak boleh dikurangi oleh para ahli waris mutlak
(Pasal 920 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio,
2014)). Pengaturan ini dapat diartikan bahwa penghibahan yang melebihi bagian mutlak ahli waris
dimungkinkan sepanjang disetujui oleh para ahli waris. Hal ini ditegaskan pada pengaturan pengurangan hibah yang harus didasarkan pada adanya tuntutan oleh Ahli Waris.
Penentuan bagian mutlak
waris dihitung dengan mentotalkan seluruh harta peninggalan
si Penghibah atau Pewaris. Harta
peninggalan yang dikumpulkan
tersebut di dasarkan pada kondisi saat si
Pewaris atau Penghibah meninggal. Jika ada, barang yang telah dihibahkan semasa si meninggal
masih hidup juga diikutsertakan dalam penjumlahan tersebut. Adapun, untuk menentukan nilai dari barang-barang
tersebut didasarkan pada harga saat si
Pewaris atau Penghibah meninggal. Setelah utang-utang si meninggal dikurangkan dari hasil penjumlahan
tersebut, baru dapat kemudian secara proporsional berdasarkan tingkat derajat ahli waris
dibagilah bagian-bagian mutlak ahli waris
tersebut. Pengurangan segala yang telah diterima ahli waris
dari si meninggal
terhadap bagian mutlak membebaskan kewajiban pemasukan (Pasal 921 KUHPer dalam (Subekti
& Tjitrosudibio, 2014).
Kebebasan kehendak para pihak lagi-lagi menjadi yang diutamakan. Dalam hal, selama
masa hidupnya si meninggal telah melakukan perbuatan atau melalui testamen
dengan memberikan hak pakai hasil
atau bunga cagak hidup yang menggerus bagian mutlak, akan dikembalikan
kepada para ahli waris untuk memilih
antara tetap menjalankan ketetapan itu atau menyerahkan
hak milik atas bagian yang ada kepada penerima
hibah wasiat (Pasal 918 KUHPer dalam (Subekti
& Tjitrosudibio, 2014).
Berdasarkan uraian tersebut,
pengaturan pada KUHPer tentang hibah, hibah sebagai suatu
perjanjian maka berlaku Hukum Perjanjian yang menganut sistem terbuka. Dalam konteks hibah sebagai
alternatif untuk membagikan harta kekayaan Pewaris selagi si Pewaris
masih hidup dimana Hukum Waris itu sendiri ditempatkan pada Buku Kedua BW tentang
Kebendaan dan Hukum Benda mempunyai
sistem tertutup sehingga pemberian hibah yang menyangkut penyerahan suatu barang atau benda
pun yang notabenenya diatur
di Buku Ketiga BW dengan sifat mengatur
menjadi beririsan dengan sifat memaksa
Hukum Benda karena menyangkutnya
suatu Benda. Ini menunjukkan bahwa penghibahan pun harus memperhatikan juga legitime portie
sebagai Hukum yang bersifat
Memaksa. Selain daripada itu, Hibah
sebagai perjanjian berlaku asas kebebasan
berkontrak. Ini dimaksudkan bahwa kebebasan berkontrak yang menempatkan posisi para pihak dalam keadaan
seimbang - proporsional. Pemberi Hibah dalam
melakukan penghibahan wajib memastikan penghibahan tidak melebihi legitime portie sebagai bentuk perlindungan kepada si Penerima Hibah
dari tuntutan Pihak Ketiga termasuk
Ahli Waris di kemudian hari.
Sebagaimana proporsionalitas
hak dan kewajiban tidak dapat dilepaskan
dari asas kelayakan (redelijkheid;
reasonableness), kepatutan (billijkheid;
equity), dan kecermatan (zorgvuldigheid).
Asas kebebasan berkontrak yang diterapkan secara proporsional berarti telah memungkinkan
untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris
atau pihak ketiga lainnya pada saat masih hidup
dengan berbagai skema, termasuk juga memberi keleluasaan kepada Pemberi Hibah untuk menentukan
siapa Penerima Hibah yang dapat didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu dan tujuan tertentu dan harus didasarkan pada itikad baik. Pasal 917 KUHPer mengatur bahwa pewaris yang tidak memiliki keluarga sedarah dalam garis ke bawah dan ke
atas sebagai ahli waris dan tidak adanya anak-anak
di luar kawin yang telah diakui secara
sah maka di antara mereka yang masih hidup boleh
diadakan penghibahan atau testamen terhadap
harta peninggalan Pewaris. Pengaturan ini memberikan kemungkinan suatu penghibahan terjadi sesuai kehendak Pemberi Hibah.
Dengan demikian, pengaturan
pada KUHPer tidak ditemukan secara eksplisit mengenai pengaturan tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian waris. Namun, ditegaskannya Hibah sebagai Perjanjian
maka berlaku asas kebebasan berkontrak yang memungkinkan Penghibah untuk membagi harta kekayaannya
berdasarkan kehendak si Penghibah sehingga
secara implisit dalam Hibah dapat
ditetapkan bagian-bagian
yang mungkin saja mengakibatkan ketidakberimbangan
(tidak sama rata) dalam Pembagian Harta. Walaupun demikian secara eksplisit diatur hibah tersebut tidak boleh melebihi
legitime portie.
Hibah
yang Mengakibatkan Ketidakberimbangan
dalam Pembagian Harta waris dari
Perspektif Keadilan
Menurut Ritonga dan Nasution
Keadilan menurut Aristoteles dalam (Hernoko, 2014), prinsip keadilan sebagai kebajikan yang utama. Berangkat dari asumsi tentang
keadilan itu sendiri yang mana menurut
Aristoteles, keadilan diartikan
dengan proporsional di mana
terhadap hal-hal yang serupa diperlakukan secara sama. Adapun, terhadap perbedaan diperlakukan secara proporsional. Lebih lanjut Hernoko menguraikan (Hernoko, 2014) dengan mengutip pemikiran Manuel Velasquez dan John Boatright, terdapat keadilan distributif. Keadilan distributif berarti membagi secara adil dengan memperhitungkan
benefits and burdens. Mengutip dari
Beauchamp dan Bowie dalam (Kan and Beekhuis, 1990,), untuk mewujudkan keadilan distributif diajukan 6 (enam) prinsip, memberikan bagian yang sama kepada tiap-tiap
orang, kebutuhan individu tiap orang menjadi dasar memberikan haknya, apa yang menjadi hak tiap
sebagai dasar untuk memberikan yang menjadi bagiannya, usaha yang telah dicurahkan tiap individu akan menjadi
dasar apa yang harus diterimanya, jasa-jasa yang telah diberikan (merit) tiap individu menjadi dasar memberikan bagiannya.
Dua prinsip yang diajukan John Rawls dalam memaknai keadilan yaitu terjaminnya kebebasan yang setara untuk tiap orang terhadap kesempatan dan prospek kesejahteraan yang ditingkatkan. Sehubungan dengan peningkatan prospek kesejahteraan dianut prinsip perbedaan dan kesetaraan kesempatan. Prinsip perbedaan dimaksudkan bahwa kelompok yang paling tidak beruntung karena perbedaan harus diberikan manfaat sebesar-besarnya. Prinsip kesetaraan kesempatan dimaksudkan bahwa termasuk mereka yang paling tidak beruntung harus diberikan kesempatan yang sama pula
Eksistensi hibah sebagai
alternatif waris untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris
pada saat masih hidup dengan berbagai
skema sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya merupakan perwujudan keadilan menurut John Rawls dimana kesempatan memperoleh keuntungan untuk memperoleh manfaat sosial lebih banyak
tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung sehingga mereka dapat meningkatkan prospek kehidupannya. Dalam masyarakat muslim yang mualaf, hibah dapat menjadi
metode alternatif dalam mendistribusikan harta mualaf kepada
ahli waris sah non-Muslim juga (Azmi et al., 2022). Pada masyarakat Kecamatan Sukomoro, Desa Pehserut yang berada di wilayah Kabupaten Nganjuk, cara hibah dengan
pilihan kemungkinan pembagian dimana pembagian dengan kemungkinan anak bungsu akan menjadi
pemilik dari rumah (AD et al., 2022). Praktik hibah yang diterima anak angkat atas
pemberian hibah dari orangtua angkatnya
di Kecamatan Sukodono, Desa Bondoyudo, sebuah wilayah di Kabupaten Lumajang, di mana Penghibah yang tidak memiliki keturunan membagikan seluruh kekayaannya kepada anak angkatnya
dan salah satu saudaranya saja yang telah didahului persetujuan oleh saudara laki-laki si Pewaris secara
musyawarah di antara keluarga (Nisa' et al., 2024). Walaupun
pendistribusian kekayaan dibagi secara tidak
sama rata dalam hal jumlah namun
pembagian yang memperhatikan
perbedaan-perbedaan yang secara
objektif melekat pada
masing-masing individu, ini
juga telah memberikan keadilan.
Keadilan tersebut telah
konsisten dengan tujuan teori hukum
progresif yang dikemukakan Satjipto Rahardjo dalam (Tanya et al., 2019). Teori
hukum progresif menaruh perspektif etika dengan meletakkan
perhatiannya pada akibat hukum dan tujuannya. Perhatian terhadap tindakan untuk suatu tujuan yang baik dan hasil yang baik adalah bagian
dari etika teologis. Oleh karena itu, yang menjadi tujuan primer hukum adalah kebutuhan dan kepentingan manusia itu sendiri. Konsekuensinya,
hukum pun harus peka terhadap permasalahan
yang muncul dalam hubungan antar manusia, terutama semangat itikad baik hibah sebagai
alternatif waris untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris
pada saat masih hidup untuk meminimalisir
konflik di kemudian hari.
Kesimpulan
Pengaturan
pada KUHPer tentang hibah, hibah sebagai
suatu perjanjian maka berlaku Hukum Perjanjian yang menganut sistem terbuka. Dalam konteks hibah
sebagai alternatif untuk membagikan harta kekayaan Pewaris selagi si Pewaris masih
hidup dimana Hukum Waris itu sendiri ditempatkan
pada Buku Kedua BW tentang Kebendaan dan Hukum Benda
mempunyai sistem tertutup sehingga pemberian hibah yang menyangkut penyerahan suatu barang atau
benda pun yang notabenenya diatur di Buku Ketiga BW dengan sifat mengatur menjadi beririsan dengan sifat memaksa
Hukum Benda karena menyangkutnya
suatu Benda. Ini menunjukkan bahwa penghibahan pun harus memperhatikan juga legitime portie
sebagai Hukum yang bersifat
Memaksa. Selain daripada itu, Hibah
sebagai perjanjian berlaku asas kebebasan
berkontrak dengan menempatkan posisi para pihak dalam keadaan
seimbang - proporsional. Pemberi Hibah dalam
melakukan penghibahan wajib memastikan penghibahan tidak melebihi legitime portie sebagai bentuk perlindungan kepada si Penerima Hibah
dari tuntutan Pihak Ketiga termasuk
Ahli Waris di kemudian hari.
Sebagaimana proporsionalitas
hak dan kewajiban tidak dapat dilepaskan
daripada asas kepatutan (billijkheid; equity), kecermatan (zorgvuldigheid) dan kelayakan (redelijkheid;
reasonableness). Asas kebebasan
berkontrak yang diterapkan secara proporsional berarti telah memungkinkan
untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris
atau pihak ketiga lainnya pada saat masih hidup
dengan berbagai skema, termasuk juga memberi keleluasaan kepada Pemberi Hibah untuk menentukan
siapa Penerima Hibah yang dapat didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu dan tujuan tertentu dan harus didasarkan pada itikad baik. Pasal 917 KUHPer mengatur bahwa pewaris yang tidak memiliki keluarga sedarah dalam garis ke bawah dan ke
atas sebagai ahli waris dan tidak adanya anak-anak
di luar kawin yang telah diakui secara
sah maka di antara mereka yang masih hidup boleh
diadakan penghibahan atau testamen terhadap
harta peninggalan Pewaris. Pengaturan ini memberikan kemungkinan suatu penghibahan terjadi sesuai kehendak Pemberi Hibah. Dengan demikian, pengaturan pada KUHPer tidak ditemukan secara eksplisit mengenai pengaturan tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian waris. Namun, ditegaskannya
Hibah sebagai Perjanjian maka berlaku asas kebebasan
berkontrak yang memungkinkan
Penghibah untuk membagi harta kekayaannya
berdasarkan kehendak si Penghibah sehingga
secara implisit dalam Hibah dapat
ditetapkan bagian-bagian
yang mungkin saja mengakibatkan ketidakberimbangan
(tidak sama rata) dalam Pembagian Harta. Walaupun demikian secara eksplisit diatur hibah tersebut tidak boleh melebihi
legitime portie.
Eksistensi hibah sebagai
alternatif waris untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris
pada saat masih hidup dengan skema
pendistribusian kekayaan
yang dibagi secara tidak sama rata dalam hal jumlah
namun pembagian yang memperhatikan keadaan objektif pada setiap individu, ini juga telah memberikan keadilan. Ini merupakan
perwujudan keadilan dengan memberikan keuntungan untuk memperoleh manfaat sosial lebih banyak
tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Selaras dengan teori hukum progresif
dari Satjipto Rahardjo yang menaruh perhatian hukum pada tujuan dan akibat hukum berdasarkan perspektif etika. Tujuan utama hukum
yang untuk kepentingan dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, hukum
pun harus peka terhadap permasalahan yang muncul dalam hubungan
antar manusia, terutama semangat itikad baik hibah
sebagai alternatif waris untuk mendistribusikan
kekayaan pewaris kepada ahli waris
pada saat masih hidup untuk meminimalisir
konflik di kemudian hari.
BIBLIOGRAFI
Abdulkadir, M. (2000). Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Andriani, A., Mulyana, A., & Widarnandana, I. (2022). Manajemen sumber daya manusia.
Azmi, A. F., Saleh, N. S. S. N., & Zakaria, M. Z. (2022). Hibah as Alternative to Resolve Inheritance Issue among New Muslim Converts (Muallaf) in Malaysia: An Analysis. Islamiyyat, 44(1), 81–87.
Boudjaaba, F., & Herment, L. (2022). Marriage, land and law. Signing a marriage contract in Normandy and Ile-de-France, at the time of the Napoleonic Code. The History of the Family, 27(1), 82–99.
Edor, E. J. (2020). John Rawls’s Concept of Justice as Fairness. PINISI Discretion Review, 4(1), 179–190.
Fuady, M. (2014a). Hukum Pailit dalam Teori & Praktek. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti.
Fuady, M. (2014b). Konsep hukum perdata.
Hernoko, A. Y. (2010). Hukum perjanjian asas proporsionalitas dalam kontrak komersial. Kencana.
Hernoko, A. Y., & Sh, M. H. (2019). Hukum Perjanjian. Prenada Media.
Kronman, A. T. (2013). Contract law and distributive justice. In Readings in the Philosophy of Law (pp. 598–637). Routledge.
Kurniawan, F., Nugraha, X., Putra, G. A., Taniady, V., & Jansen, B. (2020). The Principle of Balance Formulation as the Basis for Camcellation of Agreement: An Effort to Create Equitable Law in Indonesia. Lex Scientia Law Review, 6(1), 121–156.
Majeed, N., Hilal, A., & Khan, A. N. (2023). Doctrinal Research in Law: Meaning, Scope and Methodology. Bulletin of Business and Economics (BBE), 12(4), 559–563.
Ritonga, R., & Nasution, M. (2024). Dinamika Kewarisan Alternatif: Analisis Konsep Hibah Dalam Konteks Penggantian Warisan. Tahkim (Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam), 7(1), 64–82.
Roo, A. L. (2023). Hibah sebagai alternatif pencegah sengketa waris perspektif teori Keadilan Distributif Aristoteles: Studi di Dusun Wotgalih, Desa Rejoyoso, Kabupaten Malang. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Saadah, S. L., & Faisol, M. (2024). Pembagian Harta Dengan Cara Hibah Kepada Anak Angkat Perspektif Maslahat. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan, 18(3), 2169–2181.
Sopyan, Y., Nusirwan, N., Rais, I., & Aswawi, A. (2021). Degradation of Customary Inheritance Law in The Sai Batin Lampung Tribe. Al-’Adalah, 17(2), 295–314.
Subekti, R. (2014). Aneka Perjanjian, Cet. Kesebelas, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Subekti, R., & Tjitrosudibio, R. (1999). Kitab undang-undang hukum perdata.
Zenrif, F., & Mahmudi, Z. (2022). Pembagian Waris Pra-Kematian Pada Masyarakat Islam Jawa Perspektif Hukum Progresif. Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, 9(1), 231–250.
Copyright holder: Muhammad
Abdur Rozaq, Sabrina Audelia,
Jeffaldo, Andryawan (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |