Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 12, Desember 2024

 

PERSPEKTIF KEADILAN PADA KETIDAKBERIMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARIS DENGAN CARA HIBAH 

 

Muhammad Abdur Rozaq1, Sabrina Audelia2, Jeffaldo3, Andryawan4

Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia1,2,3,4

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, [email protected]4

 

Abstrak

Hibah telah menjadi alternatif dalam pembagian harta warisan dimana Pemberi Hibah dapat menentukan lain (dapat digantikan) dari apa yang diatur dalam hukum positif yang bersifat regelend-recht. Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis bagaimana pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris. Selanjutnya apakah hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris merepresentasikan keadilan. Penelitian doktrinal yang menggunakan pendekatan perundang-undangan diterapkan. Analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Ditegaskannya Hibah sebagai Perjanjian maka berlaku asas kebebasan berkontrak yang memungkinkan Penghibah untuk membagi harta kekayaannya berdasarkan kehendak si Penghibah sehingga secara implisit dalam Hibah dapat ditetapkan bagian-bagian yang mungkin saja mengakibatkan ketidakberimbangan (tidak sama rata) dalam Pembagian Harta. Walaupun demikian secara eksplisit diatur hibah tersebut tidak boleh melebihi legitime portie. Eksistensi hibah sebagai alternatif waris untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris pada saat masih hidup dengan skema pendistribusian kekayaan yang dibagi secara tidak sama rata dalam hal jumlah namun pembagian yang memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif ada pada masing-masing individu, ini juga telah memberikan keadilan karena merupakan perwujudan keadilan dengan memberikan keuntungan untuk menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya.

Kata kunci: harta waris, hibah, keadilan, ketidakberimbangan

 

Abstract

Grants have become an alternative in the distribution of inheritance where the Grantor can determine other (replaceable) than what is regulated in the positive law of the regelend-recht. This study aims to analyze how the regulation in the Civil Code (KUHPer) regarding grants results in imbalances in the distribution of inheritance. Furthermore, whether grants that result in imbalances in the distribution of inheritance represent justice. Doctrinal research using a legislative approach is applied. The analysis used is a deductive method. Affirming the Grant as an Agreement, the principle of freedom of contract applies which allows the Grantor to divide his wealth based on the will of the Grantor so that implicitly in the Grant can be determined the parts that may result in an imbalance (unequal) in the Distribution of Property. However, it is explicitly regulated that the grant must not exceed the legitime of the portie. The existence of grants as an alternative to heirs to distribute the wealth of heirs to heirs while they are still alive with a scheme of distributing wealth that is divided unequally in terms of number but a division that pays attention to the differences that objectively exist in each individual, this has also provided justice because it is a manifestation of justice by providing benefits to enjoy various social benefits more. opening up opportunities for those less fortunate to improve their life prospects.

Keywords: inheritance, grants, justice, inequality.

 

Pendahuluan

Sengketa kewarisan secara berturut-turut, tahun 2022 dan 2023 telah menempati urutan pertama pada daftar Perkara Perdata yang diajukan Peninjauan Kembali pada Kamar Agama di Mahkamah Agung dan urutan kedua pada daftar Perkara Perdata yang diajukan Kasasi. (Tim Pokja Laporan Tahunan MARI, 2023); (Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2024)

 

Gambar 1. Laporan Tahunan 2022 dan 2023

Sumber:  Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2024

 

 Gambar 2. Laporan Tahunan 2022 dan 2023

Sumber:  Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2024

 

Selain sengketa kewarisan yang mendominasi perkara perdata pada Kamar Agama di Mahkamah Agung, pada kenyataannya beberapa sengketa pembagian waris telah menimbulkan konflik antar anggota keluarga di masyarakat. Di Mapolda Sumatera Selatan (Erfizal & Tiarhendi, 2024), seorang Istri dari Pewaris dipolisikan oleh anak kandungnya perihal harta waris. Istri Pewaris dilaporkan atas tuduhan penggelapan waris  terhadap harta waris yang telah dijual oleh Istri Pewaris sebelum harta waris tersebut dibagikan. Menurut keterangan Istri Pewaris, dari hasil penjualan tanah tersebut, selanjutnya Istri Pewaris bermaksud akan mendistribusikan uang hasil penjualan kepada ahli waris. Di tempat yang berbeda, karena permasalahan tuntutan warisan yang tidak dihiraukan dan tidak pernah memperoleh kejelasan telah menyebabkan anggota keluarga melakukan pembakaran toko bangunan milik kakaknya di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng, Bali (Tim detikBali, 2024).

Terkait pewarisan yang dipengaruhi sistem kekerabatan, masyarakat Indonesia sendiri menganut beberapa sistem kekerabatan, yaitu patrilineal (garis keturunan bapak), matrilineal (garis keturunan ibu), dan bilateral (garis keturunan kedua orangtua). Sistem kekerabatan yang berbeda-beda tersebut berpengaruh terhadap hukum waris adat yang berbeda pula (Yusha, Sinaga, & Widodo, 2021).

Masyarakat Sai Batin (Lampung) masih memegang teguh hukum adat pewarisan anak sulung terlebih dahulu. Anak sulung berhak atas seluruh harta warisan dan menjadi ahli waris bagi keturunannya. Begitu kuatnya kedudukan anak laki-laki dalam keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka keluarga tersebut kemudian dianggap tidak mempunyai keturunan atau dianggap tidak mempunyai keturunan (Sopyan et al., 2020, 295-316).  Berbeda dengan masyarakat Minangkabau yang hak waris atas tanah dan harta benda lainnya diwariskan dari ibu ke anak perempuannya, lalu diteruskan ke anak-anak perempuan mereka (Karimah & Gunawan, 2024, p. 2302-2320). Pola yang berbeda ditemukan pada masyarakat Kabupaten Nganjuk, tepatnya di wilayah Desa Pehserut, Kecamatan Sukomoro, terdapat praktik pembagian waris secara “Sigar Semangka”, sesuai bagian-bagian yang sama di antara perempuan dan laki-laki (1:1) (AD et al., 2022, 231-250).

Pluralisme Hukum Waris nyata adanya. Indonesia memberlakukan beberapa sistem Hukum Waris. Hukum Waris yang masih berlaku sampai saat ini, yaitu Hukum Waris Barat, Adat, dan Islam. Hukum Waris Barat mendasarkan pada sumber Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW). Eksistensi masyarakat Adat yang masih diakui juga memberikan keberlakuan Hukum Waris Adat. Serta, keberadaan mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia, juga kemudian diberlakukan Hukum Waris Islam yang bersumber pada Al-Qur’an, hadits dan Ijma (Setiawan et al., 2021, 107-123).

Berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam pewarisan yang dibagikan setelah meninggalnya pewaris (Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dalam Subekti & Tjitrosudibio, 2014) telah memunculkan alternatif-alternatif untuk membagikan harta kekayaan Pewaris yang dapat meminimalkan konflik antar para ahli waris dan/atau keluarga atau pihak ketiga lainnya. Menurut Ritonga dan Nasution (Ritonga & Nasution, 2023, 64-82), konsep pemberian hibah dipandang sebagai salah satu alternatif pilihan pewarisan. Alternatif pewarisan ini dinilai dari sudut pandang etika dimaksudkan untuk memberikan kepastian. Ini juga upaya Pewaris memberikan perlindungan kepada keluarga. Melalui hibah, Pewaris dapat memberikan kejelasan. Perlindungan moral dapat dibangun oleh Pewaris terhadap kemungkinan konflik dan kebingungan di masa depan perihal hak ahli waris dan pembagian harta. Ini merupakan wujud tanggung jawab moral atas keharmonisan dan keberlangsungan hubungan keluarga. Prinsip etika ini memberi tahu kita bahwa pemberian hibah tidak hanya melibatkan tindakan hukum namun juga niat baik yang tertanam dalam tindakan tersebut. Mengingat aspek etika dalam pewarisan alternatif melibatkan keadilan sebagai prinsip fundamental. Pemberian hibah sebagai alat utama membuka pintu menuju keadilan yang lebih dinamis. Hibah menggantikan model tradisional yang dapat dengan mudah menimbulkan kesenjangan.

Dalam masyarakat muslim yang mualaf, hibah dapat menjadi metode alternatif dalam mendistribusikan harta mualaf kepada ahli waris sah non-Muslim juga (Azmi et al., 2022, 81-87). Pada masyarakat Sai Batin (Lampung) yang masih menganut hukum waris adat, terdapat kecenderungan untuk meninggalkan hukum adat waris mereka yang dinilai tidak adil karena lebih mengutamakan anak laki-laki tertua, sehingga untuk menghindari pertikaian internal keluarga, sebagian masyarakat Sai Batin telah memilih untuk membagi aset mereka dengan keturunan mereka saat mereka masih hidup melalui cara hibah yang dianggap sebagai cara yang efektif, adil dan setara (Sopyan et al., 2020, 295-316). Selain itu, di Nganjuk, tepatnya di Kecamatan Sukomoro, Desa Pehserut, ditemukan juga terdapat praktik pembagian harta warisan sebelum kematian, salah satunya dengan hibah dengan kemungkinan pembagian sebagai berikut: “Sapikulan rong gendhongan” yang membagi bagian-bagian dengan perbandingan 2:1 (artinya, 2 bagian untuk laki-laki dan 1 bagian untuk perempuan), atau perbandingan dengan membagi berdasarkan bagian-bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan (“Sigar Semangka”) – Hal ini terlihat dalam ilustrasi bahwa jika harta warisan dalam bentuk kas dan setara kas telah dibagi seluruhnya, maka setiap anak mendapat sebidang sawah. Selanjutnya, Ahli Waris yang memperoleh sawah dengan nilai jual lebih tinggi harus memberikan uang kepada ahli waris yang memperoleh sawah dengan nilai jual sawah yang lebih rendah -, atau skema pembagian di mana anak bungsu bisa menjadi pemilik rumah (AD et al., 2022, 231-250). Selain itu, praktik orang tua angkat yang memberikan hibah kepada anak angkat juga ditemukan di Kabupaten Lumajang. Ini tepatnya di Kecamatan Sukodono, Desa Bondoyudo. Penghibahan orangtua angkat kepada anak angkat tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir konflik yang akan terjadi. Dalam hal ini, Penghibah yang tidak memiliki keturunan, membagikan seluruh kekayaannya kepada anak angkatnya -karena ras cintanya yang dalam dan sebagai orang yang selalu bersamanya- dan salah satu saudaranya saja. Harta tersebut dibagikan setelah saudara laki-laki Pewaris menyetujuinya. Artinya, telah terdapat musyawarah dengan anggota keluarga terlebih dahulu (Nisa' et al., 2024). Skema-skema tersebut menunjukkan eksistensi hibah sebagai alternatif waris untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris pada saat masih hidup dengan berbagai skema. Terlihat juga bahwa penghibahan tersebut juga memberi keleluasaan kepada Pemberi Hibah untuk menentukan siapa Penerima Hibah yang dapat didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu dan tujuan tertentu, memungkinkan pembagian harta dengan cara dapat menentukan lain (dapat diganti) dari yang diredaksikan di dalam hukum positif dengan tujuan mengatur atau menambah.       

Berangkat dari permasalahan kerentanan konflik dalam pewarisan dan pilihan hibah yang dapat menjadi metode alternatif dalam mendistribusikan harta yang mana Penghibah dapat menentukan lain (dapat diganti) dari yang diredaksikan di dalam hukum positif dengan tujuan mengatur atau menambah, seperti mendistribusikan harta mualaf kepada ahli waris sah non-Muslim, hibah dengan probabilitas pembagian di mana membagi bagian-bagian dengan perbandingan 2:1 (artinya, 2 bagian untuk laki-laki dan 1 bagian untuk perempuan), atau orang tua angkat yang memberikan hibah kepada anak angkat, maka diformulasikan rumusan masalah, yaitu: (1) Bagaimana pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris. Apakah hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris merepresentasikan keadilan?

Berdasarkan tinjauan pustaka terhadap penelitian Skripsi oleh Alief Laam Roo (Roo, 2023), yang menerapkan metode penelitian empiris dan pendekatan yuridis sosiologis ditemukan bahwa hibah digunakan sebagai cara untuk membagikan harta. Pembagian hibah yang bagian-bagiannya dibagi kepada anak istrinya dengan mendasarkan berbagai pertimbangan adalah manifestasi dari keadilan distributif. Namun demikian, tidak terpenuhi keadilan yang dialaskan pada Hukum Islam mengingat hibah sebagai alternatif pewarisan tidak bergantung pada kontribusi, tetapi nasab. Penelitian serupa oleh (Zenrif & Mahmudi, 2022), menunjukkan bahwa berdasarkan studi empiris melalui penelitian lapangan, pemecahan harta waris sebelum kematian yang dilakukan menurut adat setempat (yang tidak memperoleh legalitas Fiqh klasik dan hukum positif Indonesia) adalah implementasi hukum progresif. Hukum progresif tersebut dimaksudkan bahwa dalam berhukum tidak harus pada keadaan status quo yang tidak lain adalah hukum untuk kepentingan manusia.

Identifikasi dan analisis secara yuridis normatif terhadap pengaturan di KUHPer yang memungkinkan ketidakberimbangan pembagian harta waris dengan cara hibah dan mengkajinya berdasarkan perspektif keadilan menjadi keunikan dari penelitian ini. Ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang menggunakan studi empiris dan studi kasus.

Mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris dan mengidentifikasi dan menganalisis hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian harta waris dari perspektif keadilan, menjadi tujuan dari penelitian ini. Kegunaan ilmiah yang diharapkan dari penelitian ini adalah memperkaya khasanah pengetahuan di bidang keilmuan Hukum Keperdataan di bidang Pewarisan dan Penghibahan. Adapaun kegunaan praktis penelitian ini adalah memberikan pengetahuan dan masukan kepada Stakeholders, antara lain Pihak Pewaris dan/atau Pemberi Hibah, Penerima Hibah dan/atau Ahli Waris, Notaris dan/atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dalam praktik pewarisan dan/atau penghibahan yang memberikan kepastian hukum dan berkeadilan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menerapkan pendekatan penelitian doktrinal yang menjelaskan berbagai asas dan doktrin hukum dengan meneliti materi hukum. Sebagai penelitian doktrinal, penelitian ini digunakan untuk menjelaskan aturan, norma, konsep, dan doktrin hukum (Majeed et al., 2023). Data dikumpulkan dari sumber primer dan sekunder. Bahan hukum primer bersumber dari peraturan perundang-undangan, KUHPer yang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD”) masih berlaku di Indonesia. Bahan-bahan sekunder diperoleh dari berbagai sumber, publikasi tentang hukum seperti buku, jurnal hukum dan bahan non-hukum. Peneliti selanjutnya menganalisis bahan hukum tersebut untuk menentukan kesesuaian masalah atau untuk menyarankan solusi dari masalah hukum. Peneliti juga melakukan sintesis terhadap bahan hukum untuk menyoroti ketidakkonsistenan antara peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan norma dan asas hukum dasar sistem hukum. Analisis yang digunakan adalah metode deduktif.

 

Hasil dan Pembahasan

Pengaturan dalam KUHPer tentang Hibah yang Mengakibatkan Ketidakberimbangan dalam Pembagian Harta Waris

Hibah sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1666 KUHPer dalam (Subekti, 2014) adalah sebagai suatu perjanjian. Dalam hal ini Pemberi Hibah secara sukarela pada saat masih hidup menyerahkan suatu benda untuk kepentingan si Penerima Hibah yang menerima penyerahan itu. Penghibahan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Karena hibah adalah suatu Perjanjian maka syarat-syarat penghibahan menjadi tunduk pada syarat sahnya suatu perjanjian. Di dalam Pasal 1320 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 1999) mensyaratkan suatu perjanjian terpenuhi sepakat antar mereka yang terikat, kecakapan bagi mereka untuk membuat suatu perikatan, atas suatu hal tertentu, dan oleh karena suatu sebab yang halal.

Unsur-unsur penghibahan (Hernoko & Sh, 2019) meliputi: (1) Subjek Hukum: a. Penghibah (di waktu hidupnya, ini yang membedakan denganWarisan”, seperti dalam hal “Surat Wasiat/Testament”), b. Penerima Hibah; (2) Objek Hukum: a. Penyerahan Barang atau Benda: hanya benda-benda yang sudah ada (Ps. 1667 KUHPer), syarat adanya Levering/Penyerahan  karena penghibahan sebagai salah satutitelbagi Pemindahan Hak Milik (contohnya: UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) Pasal 26, “... penghibahan … yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik …”), perjanjian penghibahan sebagai perjanjianObligatoir” (mengikatnya suatu perjanjian telah dilahirkan sejak perjanjian secara sah terjadi dan telah memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak sehingga telah menimbulkan hak dan kewajiban, namun belum memindahkan hak kebendaan), maka diperlukan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomst). b. Secara cuma-cuma dimaksudkan sebagaiPerjanjian Cuma-cuma”, dalam arti bahwa hanya adanya prestasi dari satu pihak saja (“Perjanjian Sepihak/Unilateral”) sehingga Subekti membagi adanya Formele Schenking (arti sempit, hanya perbuatan yang memenuhi syaratdengan cuma-cuma”) dan Materiele Schenking (penghibahan menurut hakikatnya, contoh jual rumah di bawah harga pasar/sangat murah, pembebasan utang ini tidak ada pemberian namun secara substansi dikatakan sebagai pemberian/penghibahan menurut Pasal 1666 KUHPer). c. Tidak dapat dilakukan penarikan kembali (secara sepihak) yang membedakan dengan Testament yang memungkinkan untuk dilakukan perubahan atau dilakukan penarikan kembali selama si Pemberi masih hidup. Walaupun Pasal 1672 KUHPer mengatur bahwa si Pemberi Hibah dimungkinkan memberikan suatu syarat, bahwa terhadap barang yang menjadi objek hibah itu akan dikembalikan kepada si Pemberi Hibah apabila si Penerima Hibah atau Ahli Warisnya telah meninggal dunia mendahului daripada si Pemberi Hibah yang mana harus terpenuhi syarat sepanjang dalam rangka kepentingan si Penghibah sendiri. Selain itu, Pasal 1673 KUHPer mengatur bahwa apabila dalam perjanjian hibah telah ditentukan syarat adanya hak yang menjadikan terjadinya Pemberi Hibah untuk melakukan penarikan kembali maka ini memberikan akibat hukum segala pengasingan benda-benda yang telah dihibahkan dibatalkan, dan benda-benda tersebut dikembalikan kepada si Pemberi Hibah dan bebas dari segala beban dan hipotik yang telah diletakkan di atasnya sejak saat penghibahan. Namun, ketentuan bebas dari segala beban dan hipotik ini tidak berlaku jika untuk barang hibah sebagai barang bergerak, di mana terhadap benda bergerak (tidak termasuk bunga maupun piutang) yang tidak harus dibayar kepada pembawa, maka barangsiapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya (Pasal 1977 (1) KUHPer.). d. Pemberi Hibah tidak harus menanggung atas penghukuman untuk menyerahkan suatu barang yang telah dihibahkan kepada orang lain (Pasal 1674 KUHPer). (3) Perjanjian hibah harus dibuat di hadapan notaris dengan suatu akta otentik (Pasal 1682 KUHPer), namun tidak harus dibuat di hadapan notaris terhadap pemberian benda-benda bergerak berwujud atau surat-surat penagihan utang. Sahnya penghibahan untuk benda bergerak berwujud atau surat-surat penagihan utang cukup hanya dengan penyerahan belaka kepada Penerima Hibah (Pasal 1687 KUHPer).

Melalui suatu perjanjian hibah, seseorang dapat memberikan secara cuma-cuma kepada orang lain. Dengan demikian, hibah merupakan suatu perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian.

Perjanjian sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1313 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 2014) adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ini selaras dengan rumusan Subekti dalam (Kurniawan et al., 2020), suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Lebih lanjut, tidak hanya terbatas pada pendefinisian para pihak, perjanjian mencakup juga pelaksanaan suatu hal dalam bidang harta kekayaan (Abdulkadir, 2000), seperti pewarisan kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Boudjaaba & Herment, 2022).

Hibah sebagai suatu perjanjian maka berlaku Hukum Perjanjian yang menganut sistem terbuka. Subekti (Subekti, 2014) menguraikan bahwa pemaknaan sistem terbuka adalah diberikannya keleluasaan kepada masyarakat untuk menentukan isi dalam menyelenggarakan suatu perjanjian sepanjang menjaga kesesuaian kesusilaan dan terselenggaranya ketertiban umum. Lebih lanjut, menurut Subekti, Hukum Perjanjian berisi pasal-pasal yang sebagai hukum pelengkap (Bahasa Inggris “optional law”). Sepanjang para pihak yang menyelenggarakan perjanjian menghendakinya, maka pasal-pasal yang bersifat hukum pelengkap boleh untuk dikesampingkan. Artinya, para pihak yang terikat pada perjanjian tersebut diperbolehkan untuk menciptakan pengaturan-pengaturan sendiri yang menyimpangi terhadap pasal-pasal Hukum Perjanjian. Dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu diperbolehkan para pihak mengatur sendiri kepentingan mereka. Baru apabila suatu soal tidak diatur khusus pada hal-hal yang disepakati para pihak yang berjanji, maka ditundukkan terhadap undang-undang yang berlaku. Selaras dengan Subekti, menurut Munir Fuady (Fuady, 2014b), hukum perjanjian termasuk dalam kategori hukum mengatur (aanvullen recht, optional law). Kehendak bebas dan semangat hak asasi manusia telah menjadi hal yang melatarbelakangi perkembangan asas kebebasan berkontrak. Ini dilandasi pada paham individualisme yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan semangat dari liberalisme (Hernoko & Sh, 2019).

Dalam konteks hibah sebagai alternatif untuk membagikan harta kekayaan Pewaris selagi si Pewaris masih hidup dimana Hukum Waris itu sendiri ditempatkan pada Buku Kedua BW tentang Kebendaan. Dianutnya sistem tertutup pada Hukum Benda (Subekti, 2014), ini dimaksudkan bahwa hak-hak kebendaan terbatas pada apa yang oleh peraturan-peraturan telah ditentukan dan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa. Konsekuensi Hukum Benda yang bersifat memaksa tersebut, pemberian hibah yang menyangkut penyerahan suatu barang atau benda (Pasal 1666 KUHPer) pun yang notabenenya diatur di Buku Ketiga BW dengan sifat mengatur menjadi beririsan dengan sifat memaksa Hukum Benda karena menyangkutnya suatu Benda. Sebagaimana pasal 913 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 1999) diatur mengenai legitime portie sebagai hak mutlak yang mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat terhadap bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris dalam garis lurus menurut undang-undang.

Pada kasus dengan nomor putusan 7/Pdt.G/2016/PN.Lrt yang telah diputus pada 15 Mei 2017 oleh Pengadilan Negeri (PN) Larantuka, merupakan putusan pengadilan yang telah membatalkan suatu penghibahan. Pembatalan hibah disebabkan oleh karena pemberian hibah melebihi daripada bagian mutlak. Tuntutan Para Penggugat yang posisinya adalah sebagai Ahli Waris sah diajukan terhadap bagian mutlak (legitime portie)-nya daripada sebidang tanah yang merupakan harta peninggalan/warisan asal dari Pewaris yang mana sebelum warisan terbuka telah didahului peristiwa peralihan hak dengan cara hibah. Hibah tersebut diberikan kepada salah seorang anak perempuan Ahli Waris daripada Pewaris. Penghibahan tersebut juga telah dilekatkan pada Akta Hibah. Putusan Pengadilan tersebut menegaskan bahwa penghibahan pun harus memperhatikan juga legitime portie. Selain daripada itu, Hibah sebagai perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak harus dibangun berdasarkan keseimbangan kebebasan (“balance of freedom”) dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan masing-masing pihak, serta melindungi pihak "lemah" dalam perjanjian hukum perdata (Kronman, 2013). Oleh karena itu, hal ini akan sebagai suatu pengingkaran asas kebebasan berkontrak itu sendiri apabila terdapat ketidakadilan dan ketidakseimbangan sehingga berakibat pada posisi berat sebelah dan sebagainya (Hernoko, 2010). Karena suatu hibah sebagai memberikan suatu barang yang akan digunakan untuk keperluan si Penerima Hibah, maka Pemberi Hibah dalam melakukan penghibahan wajib memastikan penghibahan tidak melebihi legitime portie sebagai bentuk perlindungan kepada si Penerima Hibah dari tuntutan Pihak Ketiga termasuk Ahli Waris di kemudian hari. Ini merupakan implementasi untuk memberikan posisi para pihak dalam keadaan seimbangproporsional. Pemberi Hibah dengan kepentingannya untuk memberikan suatu barang, juga kepentingan Penerima Hibah diperhatikan dengan memastikan cara-cara penghibahan telah dilakukan secara benar sehingga memberikan perlindungan dan kepastian bagi Penerima Hibah. Sebagaimana proporsionalitas hak dan kewajiban melekat jugas asas kepatutan (billijkheid; equity), kelayakan (redelijkheid; reasonableness) dan kecermatan (zorgvuldigheid) (Hernoko, 2010).

Asas kebebasan berkontrak yang diterapkan secara proporsional berarti telah memungkinkan untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris atau pihak ketiga lainnya pada saat masih hidup dengan berbagai skema, termasuk juga memberi keleluasaan kepada Pemberi Hibah untuk menentukan siapa Penerima Hibah yang dapat didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu dan tujuan tertentu dan harus didasarkan pada itikad baik. Telah diatur syarat tambahan untuk dapat sahnya suatu perjanjian pada Pasal 1338 (3) dan 1339 KUHPer, bahwa itikad baik harus menjadi dasar untuk pelaksanaan perjanjian sehingga perjanjian mengikat sesuai kebiasaan, kepatutan, ketertiban umum dan undang-undang. Perjanjian yang mengikat sesuai undang-undang dalam hal ini hanyalah terhadap hukum yang bersifat memaksa saja (Fuady, 2014a).

Dalam masyarakat muslim yang mualaf, hibah dapat menjadi metode alternatif dalam mendistribusikan harta mualaf kepada ahli waris sah non-Muslim juga (Azmi et al., 2022). Pada masyarakat Sai Batin (Lampung) yang masih menganut hukum waris adat, terdapat kecenderungan untuk meninggalkan hukum adat waris mereka yang dinilai tidak adil karena lebih mengutamakan anak laki-laki tertua, sehingga untuk menghindari pertikaian internal keluarga, sebagian masyarakat Sai Batin telah memilih untuk membagi aset mereka dengan keturunan mereka saat mereka masih hidup melalui cara hibah yang dianggap sebagai cara yang efektif, adil dan setara (Sopyan et al., 2021).

Selain itu, pada masyarakat di Kabupaten Nganjuk, khususnya pada wilayah Kecamatan Sukomoro, tepatnya di Desa Pehserut, juga terdapat praktik pembagian waris yang dilakukan sebelum kematian, salah satunya dengan cara hibah. Penghibahan diterapkan dengan berbagai kemungkinan cara pembagian, “Sapikulan rong gendhongan” (membagi bagian-bagian dengan cara memberikan laki-laki 2 bagian dan 1 bagian untuk perempuan), atau “Sigar Semangkadengan cara membagi dalam bagian-bagian yang sama secara berimbang antara laki-laki dan perempuanhal ini terlihat dalam ilustrasi bahwa jika harta warisan dalam bentuk kas dan setara kas telah dibagi seluruhnya, maka setiap anak mendapat sebidang sawah. Selanjutnya, Ahli Waris yang memperoleh sawah dengan nilai jual lebih tinggi harus memberikan uang kepada ahli waris yang memperoleh sawah dengan nilai jual sawah yang lebih rendah -, atau skema pembagian di mana anak bungsu bisa menjadi pemilik rumah (Andriani et al., 2022). Selain itu, ditemukan praktik orang tua angkat yang memberikan hibah kepada anak angkat juga ditemukan di Kabupaten Lumajang. Ini tepatnya di Kecamatan Sukodono, Desa Bondoyudo. Penghibahan orangtua angkat kepada anak angkat tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir konflik yang akan terjadi. Dalam hal ini, Penghibah yang tidak memiliki keturunan, membagikan seluruh kekayaannya kepada anak angkatnya -karena ras cintanya yang dalam dan sebagai orang yang selalu bersamanya- dan salah satu saudaranya saja. Harta tersebut dibagikan setelah saudara laki-laki Pewaris menyetujuinya. Artinya, telah terdapat musyawarah dengan anggota keluarga terlebih dahulu (Saadah & Faisol, 2024).

Dalam pembagian waris sendiri, sebagaimana menurut Pasal 852 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 2014), keturunan Pewaris atau anak-anaknya, walaupun berasal dari perkawinan yang berbeda-beda, mereka memiliki hak waris atas warisan yang berasal dari kedua orangtua, nenek, kakek atau seluruh keluarga dalam talian darah di antara mereka yang mengikuti garis lurus ke atas. Hak waris atas masing-masing kepala dibagi berdasarkan bagian-bagian yang sama antara perempuan atau laki-laki. Urutan kelahiran juga tidak menentukan terhadap bagian-bagian yang akan diterima. Artinya, KUHPer menganut pembagian waris secara sama rata kepada ahli waris.

Pewaris yang tidak memiliki keluarga sedarah dalam garis ke bawah dan ke atas sebagai ahli waris dan tidak adanya anak-anak di luar kawin yang telah diakui secara sah maka di antara mereka yang masih hidup boleh diadakan penghibahan atau testamen terhadap harta peninggalan Pewaris, Pasal 917 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 2014). Pengaturan ini memberikan kemungkinan suatu penghibahan terjadi sesuai kehendak Pemberi Hibah.

Tergerusnya bagian mutlak suatu warisan karena penghibahan atau testamen maka atas dasar tuntutan ahli waris atau penggantinya boleh dilakukan pengurangan terhadap harta yang telah dihibahkan tersebut pada saat telah terjadinya pembagian harta warisan. Walaupun demikian, terhadap penggantian kerugian yang telah dibayarkan kepada pihak yang berpiutang oleh si meninggal tidak boleh dikurangi oleh para ahli waris mutlak (Pasal 920 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 2014)). Pengaturan ini dapat diartikan bahwa penghibahan yang melebihi bagian mutlak ahli waris dimungkinkan sepanjang disetujui oleh para ahli waris. Hal ini ditegaskan pada pengaturan pengurangan hibah yang harus didasarkan pada adanya tuntutan oleh Ahli Waris.

Penentuan bagian mutlak waris dihitung dengan mentotalkan seluruh harta peninggalan si Penghibah atau Pewaris. Harta peninggalan yang dikumpulkan tersebut di dasarkan pada kondisi saat si Pewaris atau Penghibah meninggal. Jika ada, barang yang telah dihibahkan semasa si meninggal masih hidup juga diikutsertakan dalam penjumlahan tersebut. Adapun, untuk menentukan nilai dari barang-barang tersebut didasarkan pada harga saat si Pewaris atau Penghibah meninggal. Setelah utang-utang si meninggal dikurangkan dari hasil penjumlahan tersebut, baru dapat kemudian secara proporsional berdasarkan tingkat derajat ahli waris dibagilah bagian-bagian mutlak ahli waris tersebut. Pengurangan segala yang telah diterima ahli waris dari si meninggal terhadap bagian mutlak membebaskan kewajiban pemasukan (Pasal 921 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 2014).

Kebebasan kehendak para pihak lagi-lagi menjadi yang diutamakan. Dalam hal, selama masa hidupnya si meninggal telah melakukan perbuatan atau melalui testamen dengan memberikan hak pakai hasil atau bunga cagak hidup yang menggerus bagian mutlak, akan dikembalikan kepada para ahli waris untuk memilih antara tetap menjalankan ketetapan itu atau menyerahkan hak milik atas bagian yang ada kepada penerima hibah wasiat (Pasal 918 KUHPer dalam (Subekti & Tjitrosudibio, 2014).

Berdasarkan uraian tersebut, pengaturan pada KUHPer tentang hibah, hibah sebagai suatu perjanjian maka berlaku Hukum Perjanjian yang menganut sistem terbuka. Dalam konteks hibah sebagai alternatif untuk membagikan harta kekayaan Pewaris selagi si Pewaris masih hidup dimana Hukum Waris itu sendiri ditempatkan pada Buku Kedua BW tentang Kebendaan dan Hukum Benda mempunyai sistem tertutup sehingga pemberian hibah yang menyangkut penyerahan suatu barang atau benda pun yang notabenenya diatur di Buku Ketiga BW dengan sifat mengatur menjadi beririsan dengan sifat memaksa Hukum Benda karena menyangkutnya suatu Benda. Ini menunjukkan bahwa penghibahan pun harus memperhatikan juga legitime portie sebagai Hukum yang bersifat Memaksa. Selain daripada itu, Hibah sebagai perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak. Ini dimaksudkan bahwa kebebasan berkontrak yang menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang - proporsional. Pemberi Hibah dalam melakukan penghibahan wajib memastikan penghibahan tidak melebihi legitime portie sebagai bentuk perlindungan kepada si Penerima Hibah dari tuntutan Pihak Ketiga termasuk Ahli Waris di kemudian hari. Sebagaimana proporsionalitas hak dan kewajiban tidak dapat dilepaskan dari asas kelayakan (redelijkheid; reasonableness), kepatutan (billijkheid; equity), dan kecermatan (zorgvuldigheid). Asas kebebasan berkontrak yang diterapkan secara proporsional berarti telah memungkinkan untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris atau pihak ketiga lainnya pada saat masih hidup dengan berbagai skema, termasuk juga memberi keleluasaan kepada Pemberi Hibah untuk menentukan siapa Penerima Hibah yang dapat didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu dan tujuan tertentu dan harus didasarkan pada itikad baik. Pasal 917  KUHPer mengatur bahwa pewaris yang tidak memiliki keluarga sedarah dalam garis ke bawah dan ke atas sebagai ahli waris dan tidak adanya anak-anak di luar kawin yang telah diakui secara sah maka di antara mereka yang masih hidup boleh diadakan penghibahan atau testamen terhadap harta peninggalan Pewaris. Pengaturan ini memberikan kemungkinan suatu penghibahan terjadi sesuai kehendak Pemberi Hibah.

Dengan demikian, pengaturan pada KUHPer tidak ditemukan secara eksplisit mengenai pengaturan tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian waris. Namun, ditegaskannya Hibah sebagai Perjanjian maka berlaku asas kebebasan berkontrak yang memungkinkan Penghibah untuk membagi harta kekayaannya berdasarkan kehendak si Penghibah sehingga secara implisit dalam Hibah dapat ditetapkan bagian-bagian yang mungkin saja mengakibatkan ketidakberimbangan (tidak sama rata) dalam Pembagian Harta. Walaupun demikian secara eksplisit diatur hibah tersebut tidak boleh melebihi legitime portie.

 

Hibah yang Mengakibatkan Ketidakberimbangan dalam Pembagian Harta waris dari Perspektif Keadilan

Menurut Ritonga dan Nasution (Ritonga & Nasution, 2024), konsep Hibah dipandang sebagai pilihan pewarisan alternatif yang dinilai dari aspek etika dimaksudkan mencakup memberikan kepastian dan perlindungan kepada keluarga. Lebih lanjut, Ritonga dan Nasution menguraikan bahwa melalui Hibah, ini juga upaya Pewaris memberikan perlindungan kepada keluarga. Melalui hibah, Pewaris dapat memberikan kejelasan. Perlindungan moral dapat dibangun oleh Pewaris terhadap kemungkinan konflik dan kebingungan di masa depan perihal hak ahli waris dan pembagian harta. Ini merupakan wujud tanggung jawab moral atas keharmonisan dan keberlangsungan hubungan keluarga. Prinsip etika ini memberi tahu kita bahwa pemberian hibah tidak hanya melibatkan tindakan hukum namun juga niat baik yang tertanam dalam tindakan tersebut. Mengingat aspek etika dalam pewarisan alternatif melibatkan keadilan sebagai prinsip fundamental. Pemberian hibah sebagai alat utama membuka pintu menuju keadilan yang lebih dinamis. Hibah menggantikan model tradisional yang dapat dengan mudah menimbulkan kesenjangan.

Keadilan menurut Aristoteles dalam (Hernoko, 2014), prinsip keadilan sebagai kebajikan yang utama. Berangkat dari asumsi tentang keadilan itu sendiri yang mana menurut Aristoteles, keadilan diartikan dengan proporsional di mana terhadap hal-hal yang serupa diperlakukan secara sama. Adapun, terhadap perbedaan diperlakukan secara proporsional. Lebih lanjut Hernoko menguraikan (Hernoko, 2014) dengan mengutip pemikiran Manuel Velasquez dan John Boatright, terdapat keadilan distributif. Keadilan distributif berarti membagi secara adil dengan memperhitungkan benefits and burdens. Mengutip dari Beauchamp dan Bowie dalam (Kan and Beekhuis, 1990,), untuk mewujudkan keadilan distributif diajukan 6 (enam) prinsip, memberikan bagian yang sama kepada tiap-tiap orang, kebutuhan individu tiap orang menjadi dasar memberikan haknya, apa yang menjadi hak tiap sebagai dasar untuk memberikan yang menjadi bagiannya, usaha yang telah dicurahkan tiap individu akan menjadi dasar apa yang harus diterimanya, jasa-jasa yang telah diberikan (merit) tiap individu menjadi dasar memberikan bagiannya.

Dua prinsip yang diajukan John Rawls dalam memaknai keadilan yaitu terjaminnya kebebasan yang setara untuk tiap orang terhadap kesempatan dan prospek kesejahteraan yang ditingkatkan. Sehubungan dengan peningkatan prospek kesejahteraan dianut prinsip perbedaan dan kesetaraan kesempatan. Prinsip perbedaan dimaksudkan bahwa kelompok yang paling tidak beruntung karena perbedaan harus diberikan manfaat sebesar-besarnya. Prinsip kesetaraan kesempatan dimaksudkan bahwa termasuk mereka yang paling tidak beruntung harus diberikan kesempatan yang sama pula (Edor, 2020). Mengenai prinsip-prinsip tersebut, Rawls menegaskan bahwa dalam hal terjadi pertentangan prinsip, prinsip kedua didahului oleh prinsip pertama. Sementara itu, prinsip kesetaraan kesempatan akan didahulukan dari prinsip perbedaan. Oleh karena itu, dalam rangka terciptanya keadilan di dalam masyarakat, nilai tertinggi diletakkan pada hak-hak dasar. Pada akhirnya, terhadap prospek kesempatan terbuka bagi tiap orang secara sama. Terakhir, Rawls juga mengatakan bahwa  pembedaan tertentu diperbolehkan sepanjang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada kelompok yang paling tidak beruntung. Keadilan menurut John Rawls ini sebagaimana diuraikan dalam (Hernoko, 2014), bahwa fairness yang digunakan untuk memahami keadilan diartikan bahwa segala hak untuk menikmati manfaat sosial yang lebih banyak tidak hanya diberikan kepada mereka yang telah berbakat atau memiliki kemampuan lebih baik tetapi juga harus terbuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung dalam rangka meningkatkan prospek hidupnya. Artinya, terdapat pertanggungjawaban moral bagi mereka yang “kelebihanuntuk meletakkan kepentingan mereka yang kurang beruntung. Dalam arti, “kesamaan hasil” yang dapat diperoleh semua orang bukan dasar tentang keadilan itu sendiri, melainkan kesetaraan hak dan kedudukan.

Eksistensi hibah sebagai alternatif waris untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris pada saat masih hidup dengan berbagai skema sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya merupakan perwujudan keadilan menurut John Rawls dimana kesempatan memperoleh keuntungan untuk memperoleh manfaat sosial lebih banyak tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung sehingga mereka dapat meningkatkan prospek kehidupannya. Dalam masyarakat muslim yang mualaf, hibah dapat menjadi metode alternatif dalam mendistribusikan harta mualaf kepada ahli waris sah non-Muslim juga (Azmi et al., 2022). Pada masyarakat Kecamatan Sukomoro, Desa Pehserut yang berada di wilayah Kabupaten Nganjuk, cara hibah dengan pilihan kemungkinan pembagian dimana pembagian dengan kemungkinan anak bungsu akan menjadi pemilik dari rumah (AD et al., 2022). Praktik hibah yang diterima anak angkat atas pemberian hibah dari orangtua angkatnya di Kecamatan Sukodono, Desa Bondoyudo, sebuah wilayah di Kabupaten Lumajang, di mana Penghibah yang tidak memiliki keturunan membagikan seluruh kekayaannya kepada anak angkatnya dan salah satu saudaranya saja yang telah didahului persetujuan oleh saudara laki-laki si Pewaris secara musyawarah di antara keluarga (Nisa' et al., 2024). Walaupun pendistribusian kekayaan dibagi secara tidak sama rata dalam hal jumlah namun pembagian yang memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif melekat pada masing-masing individu, ini juga telah memberikan keadilan.

Keadilan tersebut telah konsisten dengan tujuan teori hukum progresif yang dikemukakan Satjipto Rahardjo dalam (Tanya et al., 2019). Teori hukum progresif menaruh perspektif etika dengan meletakkan perhatiannya pada akibat hukum dan tujuannya. Perhatian terhadap tindakan untuk suatu tujuan yang baik dan hasil yang baik adalah bagian dari etika teologis. Oleh karena itu, yang menjadi tujuan primer hukum adalah kebutuhan dan kepentingan manusia itu sendiri. Konsekuensinya, hukum pun harus peka terhadap permasalahan yang muncul dalam hubungan antar manusia, terutama semangat itikad baik hibah sebagai alternatif waris untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris pada saat masih hidup untuk meminimalisir konflik di kemudian hari.

 

Kesimpulan

   Pengaturan pada KUHPer tentang hibah, hibah sebagai suatu perjanjian maka berlaku Hukum Perjanjian yang menganut sistem terbuka. Dalam konteks hibah sebagai alternatif untuk membagikan harta kekayaan Pewaris selagi si Pewaris masih hidup dimana Hukum Waris itu sendiri ditempatkan pada Buku Kedua BW tentang Kebendaan dan Hukum Benda mempunyai sistem tertutup sehingga pemberian hibah yang menyangkut penyerahan suatu barang atau benda pun yang notabenenya diatur di Buku Ketiga BW dengan sifat mengatur menjadi beririsan dengan sifat memaksa Hukum Benda karena menyangkutnya suatu Benda. Ini menunjukkan bahwa penghibahan pun harus memperhatikan juga legitime portie sebagai Hukum yang bersifat Memaksa. Selain daripada itu, Hibah sebagai perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak dengan menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang - proporsional. Pemberi Hibah dalam melakukan penghibahan wajib memastikan penghibahan tidak melebihi legitime portie sebagai bentuk perlindungan kepada si Penerima Hibah dari tuntutan Pihak Ketiga termasuk Ahli Waris di kemudian hari. Sebagaimana proporsionalitas hak dan kewajiban tidak dapat dilepaskan daripada asas kepatutan (billijkheid; equity), kecermatan (zorgvuldigheid) dan kelayakan (redelijkheid; reasonableness). Asas kebebasan berkontrak yang diterapkan secara proporsional berarti telah memungkinkan untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris atau pihak ketiga lainnya pada saat masih hidup dengan berbagai skema, termasuk juga memberi keleluasaan kepada Pemberi Hibah untuk menentukan siapa Penerima Hibah yang dapat didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu dan tujuan tertentu dan harus didasarkan pada itikad baik. Pasal 917  KUHPer mengatur bahwa pewaris yang tidak memiliki keluarga sedarah dalam garis ke bawah dan ke atas sebagai ahli waris dan tidak adanya anak-anak di luar kawin yang telah diakui secara sah maka di antara mereka yang masih hidup boleh diadakan penghibahan atau testamen terhadap harta peninggalan Pewaris. Pengaturan ini memberikan kemungkinan suatu penghibahan terjadi sesuai kehendak Pemberi Hibah. Dengan demikian, pengaturan pada KUHPer tidak ditemukan secara eksplisit mengenai pengaturan tentang hibah yang mengakibatkan ketidakberimbangan dalam pembagian waris. Namun, ditegaskannya Hibah sebagai Perjanjian maka berlaku asas kebebasan berkontrak yang memungkinkan Penghibah untuk membagi harta kekayaannya berdasarkan kehendak si Penghibah sehingga secara implisit dalam Hibah dapat ditetapkan bagian-bagian yang mungkin saja mengakibatkan ketidakberimbangan (tidak sama rata) dalam Pembagian Harta. Walaupun demikian secara eksplisit diatur hibah tersebut tidak boleh melebihi legitime portie.

Eksistensi hibah sebagai alternatif waris untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris pada saat masih hidup dengan skema pendistribusian kekayaan yang dibagi secara tidak sama rata dalam hal jumlah namun pembagian yang memperhatikan keadaan objektif pada setiap individu, ini juga telah memberikan keadilan. Ini merupakan perwujudan keadilan dengan memberikan keuntungan untuk memperoleh manfaat sosial lebih banyak tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Selaras dengan teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo yang menaruh perhatian hukum pada tujuan dan akibat hukum berdasarkan perspektif etika. Tujuan utama hukum yang untuk kepentingan dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, hukum pun harus peka terhadap permasalahan yang muncul dalam hubungan antar manusia, terutama semangat itikad baik hibah sebagai alternatif waris untuk mendistribusikan kekayaan pewaris kepada ahli waris pada saat masih hidup untuk meminimalisir konflik di kemudian hari.

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdulkadir, M. (2000). Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Andriani, A., Mulyana, A., & Widarnandana, I. (2022). Manajemen sumber daya manusia.

Azmi, A. F., Saleh, N. S. S. N., & Zakaria, M. Z. (2022). Hibah as Alternative to Resolve Inheritance Issue among New Muslim Converts (Muallaf) in Malaysia: An Analysis. Islamiyyat, 44(1), 81–87.

Boudjaaba, F., & Herment, L. (2022). Marriage, land and law. Signing a marriage contract in Normandy and Ile-de-France, at the time of the Napoleonic Code. The History of the Family, 27(1), 82–99.

Edor, E. J. (2020). John Rawls’s Concept of Justice as Fairness. PINISI Discretion Review, 4(1), 179–190.

Fuady, M. (2014a). Hukum Pailit dalam Teori & Praktek. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti.

Fuady, M. (2014b). Konsep hukum perdata.

Hernoko, A. Y. (2010). Hukum perjanjian asas proporsionalitas dalam kontrak komersial. Kencana.

Hernoko, A. Y., & Sh, M. H. (2019). Hukum Perjanjian. Prenada Media.

Kronman, A. T. (2013). Contract law and distributive justice. In Readings in the Philosophy of Law (pp. 598–637). Routledge.

Kurniawan, F., Nugraha, X., Putra, G. A., Taniady, V., & Jansen, B. (2020). The Principle of Balance Formulation as the Basis for Camcellation of Agreement: An Effort to Create Equitable Law in Indonesia. Lex Scientia Law Review, 6(1), 121–156.

Majeed, N., Hilal, A., & Khan, A. N. (2023). Doctrinal Research in Law: Meaning, Scope and Methodology. Bulletin of Business and Economics (BBE), 12(4), 559–563.

Ritonga, R., & Nasution, M. (2024). Dinamika Kewarisan Alternatif: Analisis Konsep Hibah Dalam Konteks Penggantian Warisan. Tahkim (Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam), 7(1), 64–82.

Roo, A. L. (2023). Hibah sebagai alternatif pencegah sengketa waris perspektif teori Keadilan Distributif Aristoteles: Studi di Dusun Wotgalih, Desa Rejoyoso, Kabupaten Malang. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Saadah, S. L., & Faisol, M. (2024). Pembagian Harta Dengan Cara Hibah Kepada Anak Angkat Perspektif Maslahat. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan, 18(3), 2169–2181.

Sopyan, Y., Nusirwan, N., Rais, I., & Aswawi, A. (2021). Degradation of Customary Inheritance Law in The Sai Batin Lampung Tribe. Al-’Adalah, 17(2), 295–314.

Subekti, R. (2014). Aneka Perjanjian, Cet. Kesebelas, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Subekti, R., & Tjitrosudibio, R. (1999). Kitab undang-undang hukum perdata.

Zenrif, F., & Mahmudi, Z. (2022). Pembagian Waris Pra-Kematian Pada Masyarakat Islam Jawa Perspektif Hukum Progresif. Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, 9(1), 231–250.

 

Copyright holder:

Muhammad Abdur Rozaq, Sabrina Audelia, Jeffaldo, Andryawan (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: