Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 12, Desember 2024

 

LAPORAN KASUS PADA PASIEN MIKROTIA

 

Arie Pratama Putra1, Dharma PTR Maluegha2

RSUD Doris Sylvanus, Indonesia1,2

Email: [email protected]1

 

Abstrak

Mikrotia adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak terbentuknya atau terbentuknya daun telinga secara abnormal. Kondisi ini dapat memengaruhi penampilan fisik dan fungsi pendengaran pasien. Penanganan mikrotia memerlukan pendekatan multidisiplin, termasuk rekonstruksi telinga dan rehabilitasi pendengaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tahapan-tahapan penanganan pasien dengan mikrotia, termasuk evaluasi awal, prosedur bedah rekonstruksi telinga, serta hasil pasca-operasi, baik dari segi estetika maupun fungsi pendengaran. Pasien yang dilaporkan menjalani serangkaian evaluasi klinis yang mencakup pemeriksaan fisik, tes pendengaran, dan imaging untuk menentukan tingkat keparahan mikrotia. Selanjutnya, pasien menjalani operasi rekonstruksi telinga dengan menggunakan metode graft tulang rawan costal (tulang rawan dari rusuk). Evaluasi pasca-operasi dilakukan untuk memantau hasil estetika dan pemulihan fungsi pendengaran. Hasil rekonstruksi telinga menunjukkan peningkatan yang signifikan dari segi penampilan estetika, serta perbaikan fungsi pendengaran pada pasien. Tidak ditemukan komplikasi besar selama proses pemulihan, dan pasien melaporkan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap hasil operasi. Prosedur ini terbukti efektif dalam memperbaiki deformitas mikrotia dan meningkatkan kualitas hidup pasien.  Penanganan mikrotia melalui operasi rekonstruksi telinga memberikan hasil yang baik dari segi estetika dan fungsi. Pendekatan yang komprehensif, termasuk evaluasi pendengaran dan estetika, sangat penting dalam menentukan keberhasilan terapi bagi pasien mikrotia.

Kata kunci: Mikrotia, pendengaran, rekonstruksi telinga

 

Abstract

Microtia is a congenital abnormality characterized by non-formation or abnormal formation of the auricle. This condition can affect the patient's physical appearance and hearing function. Management of microtia requires a multidisciplinary approach, including ear reconstruction and hearing rehabilitation. The aim of this study was to describe the stages of management of patients with microtia, including initial evaluation, ear reconstruction surgical procedures, and post-operative outcomes in terms of both aesthetics and hearing function. The reported patient underwent a series of clinical evaluations that included physical examination, hearing tests, and imaging to determine the severity of the microtia. Subsequently, the patient underwent ear reconstruction surgery using the costal cartilage graft method. A post-operative evaluation was performed to monitor the aesthetic outcome and hearing function recovery. The results of the ear reconstruction showed significant improvement in terms of aesthetic appearance, as well as improvement in the patient's hearing function. There were no major complications during the recovery process, and the patient reported a high level of satisfaction with the surgical outcome. The procedure proved effective in correcting the microtia deformity and improving the patient's quality of life. Microtia treatment through ear reconstruction surgery provides good results in terms of aesthetics and function A comprehensive approach, including auditory and aesthetic evaluation, is essential in determining the success of therapy for patients with microtia.

Keywords: Microtia, hearing, ear reconstruction

 

Pendahuluan

Mikrotia adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan perkembangan abnormal atau tidak lengkapnya telinga eksternal, yang dapat bervariasi dari bentuk yang sangat kecil hingga hampir tidak ada sama sekali (Firmansyah et al., 2024). Kondisi ini sering disertai dengan kelainan pada saluran telinga dan dapat berdampak signifikan pada kemampuan pendengaran pasien (Widodo et al., 2023). Mikrotia terjadi pada sekitar 1 dari 3.000 hingga 1 dari 20.000 kelahiran, dan prevalensinya lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Meskipun kelainan ini tidak mengancam jiwa, dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan dapat memengaruhi perkembangan emosional dan interaksi sosial pasien, terutama pada anak-anak (Putri et al., 2023).

Aspek pendengaran menjadi perhatian utama dalam penanganan mikrotia, karena banyak pasien mengalami gangguan pendengaran akibat tidak berfungsinya struktur telinga. Terlepas dari adanya variasi dalam keparahan mikrotia, penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap fungsi pendengaran sejak dini (Putri et al., 2021). Intervensi yang tepat dan tepat waktu, seperti penggunaan alat bantu dengar atau implan koklea, dapat membantu meningkatkan kemampuan mendengar dan berkomunikasi, yang sangat penting untuk perkembangan bahasa dan interaksi sosial anak (Dewi & Zachreini, 2024).

Rekonstruksi telinga merupakan bagian integral dari penanganan mikrotia, tidak hanya untuk memperbaiki penampilan estetika tetapi juga untuk memastikan bahwa pasien memiliki telinga yang fungsional (Rafifah, 2024). Berbagai teknik bedah telah dikembangkan untuk mencapai hasil rekonstruksi yang optimal, termasuk penggunaan graft tulang rawan dari berbagai sumber, seperti tulang rawan costal atau tulang rawan aurikula. Pendekatan ini tidak hanya bertujuan untuk menciptakan bentuk telinga yang lebih natural tetapi juga untuk memperbaiki struktur anatomis yang mendukung pendengaran (Tadika, 2023).

 Penelitian sebelumnya yang dilakuan Sitompul dan Handoko (2023) menyatakan bahwa penatalaksanaan mikrotia bilateral di bidang THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan) tidak hanya berfokus pada rekonstruksi bentuk telinga untuk memperbaiki penampilan estetika, tetapi juga menekankan pentingnya fungsi telinga sebagai alat komunikasi yang optimal. Pendekatan ini mencakup evaluasi menyeluruh terhadap kemampuan pendengaran pasien, penggunaan alat bantu dengar atau implan koklea jika diperlukan, serta intervensi bedah untuk merekonstruksi struktur telinga eksternal. Tujuannya adalah memastikan pasien tidak hanya mendapatkan hasil estetika yang memadai, tetapi juga mampu mendengar secara fungsional untuk meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan berkomunikasi.

Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mendeskripsikan secara rinci proses penanganan klinis pada pasien dengan mikrotia, termasuk langkah-langkah diagnosis, pilihan teknik rekonstruksi telinga, serta evaluasi hasil estetika dan fungsi pasca-operasi. Kebaruan dari penelitian ini terletak pada penggambaran prosedur bedah rekonstruksi telinga yang menggunakan teknik graft tulang rawan costal dan penilaiannya yang komprehensif terhadap hasil estetika dan pendengaran, memberikan wawasan lebih mendalam mengenai strategi penanganan mikrotia yang dapat diadopsi dalam praktik klinis.

 

Metode Penelitian

Studi Kasus

Seorang pasien laki-laki berusia 15 tahun berinisial M datang ke RSUD dR. H. Moch Ansari Saleh, Banjarmasin dengan keluhan bahwa daun telinga kanannya tidak terbentuk sejak lahir. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis mengalami mikrotia tipe lobulus pada telinga kanan, yaitu kelainan bawaan di mana bagian lobulus dari daun telinga tidak berkembang dengan sempurna.

Gambar 1. Sebelum Tindakan

 

Setelah diagnosa, pasien menjalani beberapa prosedur operasi rekonstruktif untuk membentuk ulang daun telinganya. Jenis tindakan yang dilakukan antara lain free skin graft, attachment of pedicle or flap graft ke area yang membutuhkan, operasi tambahan pada telinga luar, dan rekonstruksi saluran telinga luar. Operasi tersebut bertujuan untuk memperbaiki tampilan dan fungsi dari telinga eksternal. Pada persiapan operasi, area yang akan dioperasi dibersihkan dengan desinfektan povidon iodin. Insisi dibuat sesuai desain operasi untuk membantu prosedur rekonstruksi. Proses rekonstruksi ini dilakukan dalam dua tahap operasi untuk mencapai hasil yang optimal.

 

Gambar 2. Post Operasi Pertama dan Kedua

 

Selama operasi, perdarahan minimal terjadi dan berhasil dikendalikan. Pasien diberikan perawatan pascaoperasi berupa terapi antibiotik dan antinyeri. Medikamentosa yang diberikan di rumah sakit termasuk injeksi ceftriaxone 2x500 mg, ranitidin 2x1/2 ampul, ketorolac 2x2,5 mg, serta gentamisin salep untuk merawat luka di area operasi. Pada hari kelima pascaoperasi, dilakukan evaluasi terhadap skin graft yang menunjukkan kondisi yang baik, dengan flap yang terlihat sehat dan berfungsi. Setelah dipastikan bahwa tidak ada komplikasi pada flap dan graft, pasien diberi instruksi untuk melanjutkan perawatan di rumah. Pengobatan lanjutan termasuk cefixime per oral 2x200 mg dan asam mefenamat 3x500 mg untuk mengurangi nyeri. Dressing pada area operasi diinstruksikan untuk dipertahankan guna menjaga kebersihan luka dan mendukung proses penyembuhan. Pasien dijadwalkan untuk evaluasi lanjutan guna memastikan hasil operasi tetap stabil dan tidak ada komplikasi lanjutan.

 

Hasil dan Pembahasan

Laporan kasus ini menunjukan seorang pasien laki-laki mengalami kondisi mikrotia yaitu suatu kelainan bawaan pada telinga, sebagaimana diuraikan oleh Yudhiono dan Boesoerie (2018) yang menyebutkan bahwa kejadian mikrotia pada lelaki lebih sering terjadi daripada perempuan. Insidens mikrotia diperkirakan terjadi pada 1 dari 7.000 kelahiran, dengan kasus lebih sering terjadi pada telinga kanan. Sekitar 90% kasus melibatkan satu telinga (unilateral), sedangkan 10% sisanya mempengaruhi kedua telinga (bilateral). Mikrotia sendiri merupakan kelainan kraniofasial bawaan kedua yang paling umum, ditandai dengan spektrum kelainan yang bervariasi mulai dari perubahan bentuk ringan pada daun telinga hingga ketidakhadiran telinga secara total (Alexander, 2020).

Mikrotia terbagi dalam beberapa tingkatan berdasarkan tingkat keparahan kelainannya. Pada derajat I, daun telinga berukuran kecil namun bentuknya masih dapat dikenali. Pada derajat II, daun telinga lebih kecil dengan bentuk yang mulai tidak normal. Derajat III menunjukkan daun telinga yang sangat kecil atau hanya berupa lobus, sedangkan pada derajat IV, daun telinga tidak ada sama sekali (anotia) (Yamada et al., 2011). Dalam kasus ini, pasien mengalami mikrotia dengan tipe lobulus, yang masuk dalam kategori derajat ketiga di mana daun telinga tampak sangat kecil atau hanya berupa lobus.

Mikrotia tidak hanya memengaruhi bentuk daun telinga, tetapi juga sering kali terkait dengan berbagai kelainan lain yang dapat muncul bersamaan. Dalam sebuah tinjauan terhadap 1.200 kasus mikrotia dalam (Putri et al., 2021), ditemukan adanya sejumlah kelainan terkait, termasuk kelainan pada lengkung brakial, kelemahan saraf wajah, bibir sumbing, gangguan kardiovaskular, dan kondisi mulut lebar atau makrostomia. Kondisi ini menunjukkan bahwa mikrotia dapat menjadi berbahaya dan memicu komplikasi lain jika tidak segera ditangani oleh tenaga medis profesional.

Penanganan mikrotia bertujuan tidak hanya untuk memperbaiki penampilan daun telinga tetapi juga untuk meningkatkan fungsi pendengaran jika terdapat gangguan pada aspek tersebut (Zou, 2023). Seiring waktu, berbagai metode telah digunakan untuk mengembalikan bentuk dan fungsi telinga anak-anak pada usia sekolah guna mengurangi risiko stigma sosial. Beberapa pilihan penanganan yang tersedia meliputi observasi dan penggunaan alat bantu dengar yang ditambatkan ke tulang jika diperlukan untuk gangguan pendengaran. Selain itu, penggunaan telinga prostetik dapat dilakukan untuk tujuan kosmetik. Untuk rekonstruksi, prosedur medis yang lebih kompleks seperti implantasi aloplastik atau penggunaan cangkok tulang rawan kosta dapat diterapkan untuk membentuk kembali daun telinga (Andrews et al., 2024). Operasi rekonstruksi telinga dapat dilakukan dengan memanfaatkan tulang rawan tubuh pasien atau bahan buatan, yang bertujuan menciptakan daun telinga baru dan memperbaiki estetika serta fungsionalitas telinga yang terpengaruh.

Rekonstruksi mikrotia merupakan salah satu prosedur yang cukup kompleks dalam bidang bedah plastik rekonstruktif. Meskipun berbagai metode tersedia, rekonstruksi telinga dengan menggunakan tulang rawan iga autologus atau implan polietilen masih belum dapat menghasilkan hasil yang seindah penggunaan prostesa telinga. Saat ini, tulang rawan iga autologus masih dianggap sebagai standar emas untuk prosedur rekonstruksi telinga karena menghasilkan hasil yang mendekati struktur alami. Di samping itu, berbagai teknik baru terus dikembangkan, termasuk penggunaan implan aloplastik, prostesa, serta teknologi pengembangan jaringan, seperti penggunaan tissue expander untuk meningkatkan hasil rekonstruksi (Widodo et al., 2014).

Pada laporan kasus ini, rekonstruksi mikrotia dilakukan dalam dua tahap. Berdasarkan penelitian Jiang et al. (2011), berbagai teknik operasi tersedia untuk rekonstruksi mikrotia, namun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), teknik Nagata paling sering digunakan. Teknik ini menyederhanakan proses rekonstruksi menjadi dua tahap, yang memberikan keuntungan bagi pasien dengan mempercepat waktu pemulihan. Rekonstruksi tahap kedua biasanya dilakukan sekitar 12 minggu setelah tahap pertama, memungkinkan pasien untuk memperoleh hasil rekonstruksi yang lebih cepat.

Dalam laporan kasus ini, beberapa tindakan bedah dilakukan untuk mencapai hasil rekonstruksi telinga yang optimal. Pertama, prosedur free skin graft atau pencangkokan kulit bebas diterapkan, di mana potongan kulit dari bagian tubuh lain dicangkokkan ke area telinga yang memerlukan tambahan jaringan. Selanjutnya, pemasangan pedikel atau flap graft dilakukan, yaitu proses mencangkok jaringan yang tetap terhubung pada area yang membutuhkan, memastikan suplai darah yang baik untuk mendukung pertumbuhan jaringan baru. Di samping itu, dilakukan pula operasi tambahan pada struktur luar telinga. Langkah ini bertujuan untuk memperbaiki penampilan telinga dan memastikan bentuknya menyerupai telinga yang normal. Terakhir, rekonstruksi saluran telinga luar dilakukan untuk memperbaiki fungsi pendengaran serta meningkatkan estetika keseluruhan. Prosedur-prosedur ini diintegrasikan untuk menghasilkan telinga yang tidak hanya berfungsi secara baik tetapi juga memiliki tampilan yang lebih alami.

Selama operasi rekonstruksi mikrotia, terjadi perdarahan minimal yang dapat dikelola dengan baik oleh tim bedah. Setelah prosedur selesai, pasien menerima perawatan pascaoperasi yang mencakup pemberian terapi antibiotik dan penghilang rasa sakit untuk mencegah infeksi dan mengurangi ketidaknyamanan. Obat-obatan yang diberikan di rumah sakit meliputi injeksi ceftriaxone dua kali sehari dengan dosis 500 mg, ranitidin untuk mengurangi asam lambung sebanyak setengah ampul dua kali sehari, ketorolac dengan dosis 2,5 mg dua kali sehari untuk meredakan nyeri, serta gentamisin salep untuk menjaga kebersihan dan mencegah infeksi pada area luka operasi.

Pada hari kelima setelah operasi, evaluasi dilakukan terhadap kondisi skin graft. Hasilnya menunjukkan bahwa cangkok kulit dalam keadaan baik, dengan flap yang tampak sehat dan berfungsi optimal. Penyembuhan pascaoperasi pada kasus mikrotia ini berjalan sesuai rencana, meskipun perlu dicatat bahwa durasi penyembuhan dapat bervariasi pada tiap pasien.

Meskipun komplikasi pascaoperasi mikrotia jarang terjadi, beberapa potensi risiko tetap ada, termasuk infeksi, perdarahan, penolakan terhadap cangkok kulit, perubahan bentuk telinga, dan gangguan pendengaran jika prosedur melibatkan bagian telinga dalam. Karena itu, perawatan pascaoperasi sangat penting, dan mengikuti semua instruksi dokter membantu memastikan proses penyembuhan berjalan lancar dan hasil operasi memuaskan.

Pada beberapa kasus, diperlukan prosedur lanjutan untuk menyempurnakan bentuk telinga atau menangani komplikasi yang mungkin timbul. Rekonstruksi telinga untuk mikrotia adalah salah satu prosedur bedah yang paling menantang, namun bila dilakukan dengan hati-hati dan detail, hasilnya dapat sangat memuaskan secara kosmetik (Yudhiono & Boesoerie, 2018). Keberhasilan prosedur ini membutuhkan perencanaan yang teliti serta manajemen jaringan yang cermat dan konservatif.

Agar proses penyembuhan berlangsung lebih cepat, pasien disarankan untuk beristirahat cukup, karena tubuh memerlukan waktu untuk pemulihan. Nutrisi yang baik juga sangat penting, sehingga pasien dianjurkan mengonsumsi makanan bergizi untuk mendukung penyembuhan. Selain itu, penting bagi pasien menghindari aktivitas berat yang dapat menimbulkan tekanan pada area operasi. Kebersihan area luka operasi harus selalu dijaga, dengan mencuci area tersebut secara lembut sesuai arahan dokter. Mengonsumsi obat-obatan sesuai resep juga sangat penting, dan kunjungan rutin ke dokter perlu dilakukan untuk memantau perkembangan penyembuhan.

 

Kesimpulan

Mikrotia adalah kondisi bawaan di mana telinga luar tidak berkembang sempurna, yang seringkali disertai dengan atresia saluran telinga. Riwayat medis pasien biasanya mencakup keluhan awal tentang bentuk telinga yang tidak normal, serta faktor risiko selama kehamilan, seperti paparan zat terlarang. Saat pemeriksaan fisik, dokter akan menemukan ukuran dan bentuk telinga yang abnormal, serta memeriksa adanya gangguan pendengaran melalui tes audiometri. Pemeriksaan penunjang seperti CT atau MRI dilakukan untuk menilai struktur telinga tengah dan dalam, membantu mendeteksi kelainan tambahan. Penanganan pasien mikrotia melibatkan pendekatan multidisiplin, di mana opsi rekonstruksi telinga melalui operasi dan penggunaan alat bantu dengar menjadi solusi utama untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Etiologi mikrotia dapat terkait dengan faktor genetik dan lingkungan, menunjukkan perlunya pemahaman mendalam tentang penyebabnya untuk perawatan yang efektif.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alexander, N. L., Kini, S. D., & Liu, Y. C. C. (2020). Cardiac anomalies in microtia patients at a tertiary pediatric care center. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 136, 110211.

Andrews, J., Kopacz, A. A., & Hohman, M. H. (2024). Ear microtia. In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.

Dewi, M., & Zachreini , I. (2024). Syarat- Syarat Abd (Alat Bantu Dengar) Pada Penderita Tuli Kongenital. Seroja Husada: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(4), 72–78.

Firmansyah, S. E., Pribadi, A., Pramatirta, A. Y., Rachmawati, A., & Rinaldi, A. (2024). The Success Rate for Diagnosing Congenital Anomalies During Prenatal. Prenatal Diagnosis, 12, 3.

Jiang, H., Pan, B., Zhao, Y., Lin, L., Liu, L., & Zhuang, H. (2011). A 2-stage ear reconstruction for microtia. Archives of facial plastic surgery, 13(3), 162-166.

Putri, I. L., Stephanie, A., Pramanasari, R., et al. (2023). The role of genetic factors in microtia: A systematic review. F1000Research, 11, 537. https://doi.org/10.12688/f1000research.111995.3

Putri, V. H., Kuswanto, D., Samboro, M. Y. A., & Putri, I. L. (2021). Desain alat kontrol akurasi perletakan dan geometri implan telinga pada kasus rekonstruksi microtia ears tahap 1. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 1-8.

Rafifah, Z. N. (2024). Analisis pengaruh penambahan gelatin terhadap morfologi dan sifat mekanik scaffold PVA/Collagen/Gelatin pada rekonstruksi mikrotia. Tesis sarjana, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Sitompul, B., & Handoko, E. (2023). Kolesteatoma kongenital pada atresia canalis acousticus externus kongenital unilateral dan mikrotia grade I. Malang Otorhinolaryngologi Head and Neck Sugery Journal, 2(1), 1-6.

Tadika, R. S., Farelina, R., Budi, A., & Perdana, R. F. (2023). Karakteristik pasien mikrotia di Rumah Sakit Universitas Airlangga periode 2018-2021. Medika Kartika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 6(4), 385-394. https://doi.org/10.35990/mk.v6n4.p385-394

Widodo, D. W., Irfan, I., Safitri, E. D., & Reksodiputro, M. H. (2023). Outcomes of Autologous Reconstruction in Comparison with Alloplastic in Microtia Patients. EJournal Kedokteran Indonesia, 10(3), 258–64. https://doi.org/10.23886/ejki.10.178.258-64

Widodo, D. W., Priyono, H., & Suryati, I. (2014). Penanganan mikrotia bilateral: laporan kasus berbasis bukti. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 44(1), 63-68.

Yamada, A., Ueda, K., & Harada, T. (2011). Aesthetic curve analysis of the normal auricle: development of normal ear templates and its clinical application for total auricular reconstruction. Jpn J Plast Surg, 54, 251-259.

Yudhiono, F., & Boesoerie, S. F. (2018). Aurikuloplasti (Serial Kasus) pada Mikrotia Post Graft dan Rekonstruksi Tahap 1. Bandung: Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin.

Zou, Y. (2023). Congenital ear malformation (CEM). Acta oto-laryngologica, 143(sup1), S3-S16.

 

 

 

Copyright holder:

Arie Pratama Putra, Dharma PTR Maluegha (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: