Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
12, Desember 2024
IMPLEMENTASI PROSES PENANGANAN
KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI UPTD PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DI
KOTA BENGKULU
Arini Larassagita
Cahyani1, Sri Putri Permata2, Aries
Munandar3
Universitas Bengkulu, Indonesia1,2,3
Email: [email protected]1
Abstrak
Kekerasan pada perempuan yaitu semua bentuk
tindak kekerasan yang terjadinya didasari perbedaan
jenis kelamin yang berakibat rasa sakit dan penderitaan pada perempuan seperti paksaan, ancaman, pembatasan kebebasan di area publik atau domestik. Kekerasan perempuan di Kota
Bengkulu telah mengalami peningkatan setiap tahunya khususnya Bengkulu, oleh kareanya peneliti ingin melihat pelaksanaan
penanganan kekerasan perempuan di Kota Bengkulu. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tentang implementasi proses penanganan korban kekerasan terhadap perempuan UPTD PPA Kota
Bengkulu. Metode penelitian
yang digunakan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan studi dokumentasi dengan jumlah informan sebanyak 13 orang. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa, sosialisasi dilaksanakan secara langsung kepada masyarakat melalui sarasehan, dan brosur sehingga selaras dengan ketentuan teori menurut Nugroho (2008) pada poin
4 dan 5. Implementasi sebagian
telah melaksanakan ketentuan seperti tahapan pelaporan, akan tetapi implementasi
belum dilakukan secara maksimal pada tahapan pendampingan dan rujukan dalam menyiapkan
organisasi dan sumber daya manusia. Monitoring dan evaluasi dilakukan secara on site dan on desk, yang melibatkan
petugas internal yaitu
antara petugas UPTD PPA dan
dinas DP3A yang melakukan bedah kasus pada saat penanganan suatu kasus. Kesimpulan hasil penelitian ini menjelaskan bahwa implementasi proses penanganan
korban kekerasan terhadap perempuan belum sepenuhnya dilaksanakan dengan maksimal, masih terdapat kelemahannya seperti belum menyiapkan organisasi pelaksana dan sumber daya manusia
yang mumpuni, sehingga memberikan saran dalam penelitian ini agar UPTD PPA Kota
Bengkulu dapat menyiapkan organisasi pelaksana yang terstruktur, dan menyiapkan komponen sumber daya pelaksana yang mumpuni sehingga mampu menjalankan penanganan korban kekerasan perempuan dengan maksimal.
Kata kunci: Implementasi, Penanganan,
Korban, Kekerasan terhadap Perempuan.
Abstract
Violence against
women is all forms of violence that occur based on gender differences that
result in pain and suffering in women such as coercion, threats, restrictions
on freedom in public or domestic areas. Women's violence in Bengkulu City has
increased every time, especially Bengkulu, because the researcher wants to see
the implementation of handling violence against women in Bengkulu City. The
purpose of this study is to find out and analyze the implementation of the
process of handling victims of violence against women in UPTD PPA Bengkulu
City. The research method used is qualitative descriptive with data collection
techniques, namely observation, interviews and documentation studies with a
total of 13 informants. The results of the study explain that socialization is
carried out directly to the community through workshops, and brochures so that
it is in line with the theoretical provisions according to Nugroho (2008) in
points 4 and 5. Some implementations have implemented provisions such as the reporting
stage, but the implementation has not been carried out optimally at the
mentoring and referral stages in preparing organizations and human resources.
Monitoring and evaluation are carried out on site and on desk, involving
internal officers, namely between UPTD PPA officers and the DP3A office who
conduct case analysis when handling a case. The conclusion of the results of
this study explains that the implementation of the process of handling victims
of violence against women has not been fully implemented optimally, there are
still weaknesses such as not having prepared a qualified implementing
organization and human resources, so it provides suggestions in this study so
that the UPTD PPA Bengkulu City can prepare a structured implementing organization,
and prepare qualified implementing resource components so that it is able to
run handling victims of violence against women to the maximum.
Keyword: Implementation, Handling, Victims, Violence against Women.
Pendahuluan
Perempuan dalam arti fisik
yaitu suatu jenis kelamin yang ditandainya dengan alat reproduksi seperti sel telur dan rahim. Pülzl & Treib, (2017) mengatakan jika perempuan sebagai seorang manusia
yang mempunyai alat reproduksi seperti misalkan saluran melahirkan, Rahim
memiliki sel telur, alat untuk menyusui dan juga vagina. Permasalahan yang
dialami oleh perempuan cukup banyak, hal ini pun telah menjadi konsentrasi dari
perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak dahulu beberapa permasalahan yang sering
dialami oleh kaum perempuan di antaranya yaitu permasalahan mengenai kesetaraan
gender yang terhalang budaya patriarki, lalu sistem strukturnya yang memberi
kesempatan yang minim terhadap perempuan untuk berkembang dengan porsi yang
sama besar dengan para laki-laki (Alhakim, 2021).
Selanjutnya diskriminasi pada para perempuan dan kekerasan terhadap
perempuan. Sering dianggap lemah menyebabkan kekerasan menjadi masalah besar
yang dialami oleh perempuan, perjuangan perempuan untuk memperoleh kesetaraan
yang telah dilakukan sejak dahulu ternyata belum bisa mengangkat harkat
perempuan untuk bisa sejajar dengan kaum laki-laki, ketidakadilan berbasis
gender ini masih belum bisa diatasi sebagai mana yang diharapkan (Pekei, 2016).
Organisasi kesehatan dunia menyatakan bahwa kekerasan terhadap
perempuan terutama kekerasan baik yang secara fisik hingga seksual sudah
menduduki tingkat epidemi yang terjadi pada perempuan sudah melebihi satu
pertiga berdasarkan data globalnya (Saragih, 2018). WHO di penelitian yang dilakukan diketahui jika
kekerasan pada perempuan sifatnya merasuk dan juga meluas sampai menembus ke
semua lapisan dengan tingkatan yang berbeda-beda pada masyarakat, berdasarkan
studi itu menunjukkan jika 1 pertiga perempuan berpotensi tinggi mendapatkan
kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat, bisa dari suami, pacar, keluarga,
atau orang terdekat lainnya (Putri, 2023).
WHO menyebutkan jika kekerasan secara seksual dan fisik benar-benar
berdampak besar kepada kesehatan perempuan sekitar 42 persen para perempuan
yang mengalami penganiayaan luka fisik yang mengakibatkan cedera (Ilaa, 2021). Dalam sebuah analisis pembunuhan internasional
yang juga diterbitkan oleh WHO mengungkap fakta bahwa pasangan merupakan pelaku
dari 38% penyebab kematian perempuan yang diakibatkan kekerasan di dunia.
Pemikiran jika para perempuan ialah makhluk yang tida berdaya selalu menjadi
penghalang untuk perempuan bisa mendapatkan hak-hak dengan semestinya (Tristanto et al., 2021; Widodo et al.,
2022).
Hak perempuan terbagi menjadi lima bagian pertama yaitu hak
ketenagakerjaan, yang mana semua wanita memiliki hak mendapatkan pekerjaan dan
kesempatan yang sama dengan para laki-laki. Hak pada bidang kesehatan yang mana
para perempuan memiliki hak memperoleh bebas atas kematian ketika mereka
melahirkan (Zulfiani et al., 2019). Hak mendapatkan pendidikan dengan layak
sebagaimana poin perjuangan pahlawan wanita yaitu R.A Kartini bahwa perempuan
harus mendapatkan kesempatan bersekolah setinggi mungkin agar hal ini bisa
terwujud maka perlu adanya penghapusan stereotip tentang peran laki-laki dan
perempuan pada semua tingkat pendidikan (Prabowo, 2014). Hak perkawinan, selain itu keluarga pihak perempuan memiliki hak sama
dengan laki-laki mengenai hal ini. Hak kehidupan berpolitik dan publik bagi perempuan
mempunyai hak dipilih dan memilih secara demokratis serta perempuan juga perlu
memperoleh kesempatan yang sama dalam berpartisipasi pada rumusan kebijakan
pemerintah sampai dengan proses implementasi, jika dilihat dari kelima hak
perempuan yang telah disebutkan di atas maka sudah sangat semestinya posisi
perempuan haruslah setara dengan lelaki namun pada faktanya perempuan terus
saja mengalami diskriminasi (Suaib et al., 2022).
Jika dilihat pada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah
banyak sekali undang-undang yang berpihak pada perlindungan terhadap perempuan
beberapa undang-undang yang berlaku di antaranya adalah UU No. 23/2004 tentang
Penghapusan KDRT, UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan
Undang-undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008) (Kementerian et al., 2018). Selanjutnya Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 9
Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan perpres No. 181 Tahun 1998
tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau
Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005 (Nomor, 23 C.E.). Dengan adanya sejumlah UU tersebut seharusnya
perlindungan hak-hak perempuan lebih bisa diupayakan terutama agar perempuan
lebih merasa aman dan nyaman serta tidak lagi selalu menjadi kelompok yang
dianggap lemah dan rentan terhadap tindak kejahatan terutama kekerasan (Nurhayati et al., 2022).
Kekerasan pada perempuan menjadi suatu pelanggaran hak asasi manusia
yang sangat kejam baagi perempuan, hal ini sudah jadi suatu kekhawatiran khusus
untuk semua negara yang ada di dunia seperti berbagai negara maju yang peduli
dan menghargai hak para manusia. Kekerasan pada perempuan bisa terjadi di mana
pun di berbagai tempat-tempat umum seperti di tempat kerja atau bahkan di dalam
rumah tangga sekalipun. Hal ini bisa saja dilakukan oleh siapa pun misalkan
orang tua, suami, saudara perempuan atau laki-laki. Kejadian kekerasan pada
perempuan bukan menjadi suatu kelainan bagi seseorang tetapi disebabkan
ketimpangan antara kewajiban, hak dan peranan laki-laki dengan perempuan. Hal
itu penyebabnya yaitu system patriarki. Hal tersebut menyebabkan munculnya laki-laki
sebagai pihak superior (diutamakan), berbeda dengan perempuan yang selalu
dijadikan pihak yang lemah. Kesenjangan ini juga berakibat munculnya kekerasa pada perempuan yang basisnya ialah
gender (L.M Gandi Lapian, 2012).
Perempuan dan laki-laki yang memiliki relasi yang tidak seimbang, hal
tersebut disebabkan karena masyarakat Indonesia sudah terlalu yakin dengan
stigma yang mengatakan jika kodrat perempuan tidak begitu pandai sehingga
dinilai pihak yang lebih lemah dibandingkan laki-laki. Berdasarkan hal itu yang
membuat sebagian masyarakat negara Indonesia masih yakin dengan pembagian kerja
menurut seksual yang mana lebih membuat subordinatkan pihak perempuan. Berbagai
pandangan yang lantas melekat kepada para laki-laki dan perempuan yang ada di
Indonesia menjadi seperti pemakluman jika pihak perempuan ialah bodoh,
emosional, dan penakut.
Jumlah korban Tindak kekerasan terhadap perempuan di Negara Republik
Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan secara terus menerus setiap tahunnya
pembaharuan data yang dilakukan oleh pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia merupakan bukti yang bisa dilihat
untuk bisa menjadi perhatian oleh semua kalangan bahwa masalah kekerasan
terhadap perempuan merupakan permasalahan yang serius dan penting. Berikut data jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam enam tahun terakhi.
Tabel 1. Jumlah Kasus Kekerasan
Terhadap Perempuan Di Indonesia
No. |
Tahun |
Jumlah |
1 |
2008 |
17.948 |
2 |
2018 |
18.141 |
3 |
2019 |
17.132 |
4 |
2020 |
17.575 |
5 |
2021 |
21.753 |
6 |
2022 |
25.050 |
Sumber:
Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan
Anak (KemenPPA), 2022.
Dari data yang tersaji di atas bisadiketahui jika angka kekerasan pada
pihak perempuan dari tahun ke tahunya terus mengalami peningkatan selama waktu
6 tahun terakhir, sejak tahun 2008 terlihat angka kekerasan yang ada di
Indonesia terus mengalami kenaikan, bahkan pada tahun 2021 dan tahun 2022
kenaikan kasus kekerasan terhadap Perempuan mencapai 3.299 hal ini tentu sangat
memprihatinkan dan menjadi masalah yang harus ditanggapi dengan serius
agar kasus kekerasan terhadap perempuan
bisa terus menurun dan perempuan bisa lebih merasa tenang dan aman dalam
menjalankan aktivitas pada kehidupan sehari-hari.
Pada periode pertama pada tahun 2023 yaitu terhitung dimulai pada bulan
Januari-Juni tahun 2023 sistem informasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia telah mengumumkan data terkait dengan 10
provinsi dengan jumlah kekerasan terhadap perempuan paling tinggi yang ada di
Negara Republik Indonesia data yang diumumkan melalui webside kementerian PPA
yang disebut SIMFONI itu melakukan update setiap 6 bulan sekali dan pengumuman
pertama pada tahun 2023 dilakukan pada bulan
Juni tahun 2023 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak
(KemenPPPA) telah mengeluarkan pengumuman terkait data mengenai 10 provinsi di
Indonesia dengan jumlah angka kasus kekerasan terhadap Perempuan paling banyak
di Negara Republik Indonesia, untuk mengetahui mengenai lebih rinci mengenai
angka kekerasan tersebut maka bisa dilihat di tabel berikut :
Tabel 2. Daftar Provinsi Dengan Kekerasan Terbanyak 2023
No. |
Provinsi |
Jumlah Kekerasan |
1 |
Kepulauan
Riau |
1.154 |
2 |
Jawa
Barat |
815 |
3 |
DKI
Jakarta |
781 |
4 |
Papua
Barat |
586 |
5 |
Sulawesi
Tenggara |
577 |
6 |
Bengkulu |
573 |
7 |
Sumatera
Selatan |
492 |
8 |
Banten |
489 |
9 |
Aceh |
468 |
10 |
Kalimantan
Timur |
465 |
Sumber: Kementerian PPA, 2023.
Tabel tersebut menunjukkan 10 dari 38 Provinsi dengan jumlah kekerasan
terhadap Perempuan paling tinggi di Indonesia, hal ini cukup membuat miris
karena angka diatas merupakan catatan dari Kementrian perlindungan Perempuan
dan anak dalam waktu 6 bulan partama pada tahun 2023, artinya angka tersebut
masih berpotensi bisa terus meningkat hingga akhir tahun mendatang. Kemudian
bisa dilihat di pulau Sumatera terdapat empat Provinsi yang masuk ke dalam
urutan 10 Provinsi dengan jumlah kekerasan terhadap perempuan tertinggi di
Indonesia, Provinsi Bengkulu berada di urutan kedua setelah Riau dan diikuti
oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Aceh. Di Provinsi Bengkulu sendiri, Kota Bengkulu menduduki posisi teratas
tingkat kekerasan pada perempuan.
Tabel 3. Jumlah kekerasan Provinsi Bengkulu Tahun 2022
No. |
Kabupaten/Kota |
Jumlah |
1 |
Kota Bengkulu |
48 |
2 |
Kepahiang |
39 |
3 |
Seluma |
27 |
4 |
Rejang Lebong |
19 |
5 |
Bengkulu Utara |
14 |
6 |
Bengkulu Tengah |
12 |
7 |
Mukomuko |
11 |
8 |
Bengkulu Selatan |
2 |
9 |
Kaur |
0 |
10 |
Lebong |
0 |
Sumber: KemenPPA, 2022.
Kota Bengkulu menduduki
posisi tertinggi dengan jumlah korban sebanyak 48 kasus yang merupakan gabungan pelaporan yang
dilakukan oleh pemerintah Kota dan Provinsi melalui UPTD PPA maupun pelaporan
kasus yang ditangani oleh Lembaga yang bergerak di bidang pendampingan
perempuan.
Kota Bengkulu memiliki lembaga dalam penanganan
kekerasan pada anak dan perempuan yaitu UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak
(PPA) Kota Bengkulu di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak
Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Bengkulu. Lembaga
ini merupakan unit pelaksanaan yang pemerintah daerah bentuk yang berfungsi
memberi pelayanan kepada anak dan perempuan yang mengalami diskriminasi,
kekerasan, agar memperoleh perlindungan khusus dan lain-lain. Lembaga ini juga
memiliki tugas untuk memberikan rasa nyaman dan perlindungan terhadap korban
sesuai dengan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang standar pelayanan perlindungan
perempuan dan anak.
Tabel 4. Bentuk kekerasan
I.
No |
II.
Bentuk kekerasan |
III.
2020 |
IV.
2021 |
V.
2022 |
VI.
1 |
VII.
KDRT |
VIII. 14 |
IX.
5 |
X.
10 |
XI.
2 |
XII.
Kekerasan Fisik |
XIII. 1 |
XIV. 0 |
XV.
5 |
XVI. 3 |
XVII. Kekerasan Seksual |
XVIII. 3 |
XIX. 4 |
XX.
6 |
XXI. |
XXII. Jumlah |
XXIII. 18 |
XXIV. 9 |
XXV. 21 |
Sumber: UPTD PPA Kota Bengkulu
Pada data di atas dapat dilihat bahwa angka
kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bengkulu masih belum stabil terlihat dari
data 2020 total keseluruhan pengaduan yang diterima oleh UPT PPA Kota Bengkulu
sebanyak 18 kasus lalu pada tahun 2021
mengalami penurunan menjadi 9 kasus namun, pada tahun 2022 pengaduan yang
diterima Kembali meningkat menjadi 21 kasus kekerasan dengan katagori Perempuan
dewasa. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan menganalisis tentang implementasi proses penanganan
korban kekerasan terhadap perempuan UPTD PPA Kota Bengkulu
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Metode deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan hasil lapangan sebagaimana adanya dan mendalaminya kemudian menjelaskannya dengan kata-kata atau kalimat, yang kemudian menarik kesimpulan dari hasil lapangan tersebut (Sugiyono, 2020). Informan penelitian diidentifikasi melalui teknik purpossive sampling, karena pertimbangan sampelnya adalah orang yang mengerti dan mengetahui permasalahan yang akan diteliti, informan pada penelitian ini terdiri dari
informan utama dan informan tambahan dengan jumlah informan
dalam penelitian ini sebanyak 13 orang, yaitu Kassubag Umum dan Kepegawaian, KaBid Pemberdayaan Masyarakat dan
Perempuan, staff dinas, pendamping
korban dan korban kekerasan (Moleong, 2017). Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tumbuan Kecamatan Lubuk Sandi Kabuapten Seluma waktu penelitian
Januari 2024 sampai selesai.
Hasil dan Pembahasan
Sosialisasi
Hasil observasi yang ditemukan
dilapangan menggambarkan bahwa terkiat proses sosialisasi yang dilakukan tidak ada petunjuk atau alur yang peneliti
temukan. Berikut merupakan kondisi saat peneliti melakukan observasi dan gambar
yang ada pada papan pengumuman Dinas DP3AP2KB Kota Bengkulu. tidak ada petunjuk
yang memberikan kemudahan untuk korban yang datang langsung dan ingin melakukan
pelaporan, lalu kemudian pada papan pengumuman yang seharusnya memberikan
kemudahan informasi bagi tamu yang datang tidak terlihat ada brosur atau
informasi tentang UPTD PPA , yang peneliti lihat justru berisikan pengumuman
yang telah lampau seperti jadwal lomba bulan Agustus dan jadwal piket petugas
tahun 2023. Hasil penelitian dalam penelitian ini, peneliti membagi pada tiga
bagian konsep sosialisasi, pertama terkait bagaimana mensosialisasi pelaksanaan
tahapan pengaduan, kedua bagaimana mensosialisasikan pelaksanaan tahapan
pembinaan, dan yang ketiga bagaimana mensosialisasikan pelaksanaan tahapan
rujukan.
Sosialisasi tahapan Pengaduan
Peneliti memberikan pertanyaan kepada beberapa
informan penelitian, terkait bagaimana sosialisasi terkait pengaduan yang
dilakukan oleh UPTD PPA Kota Bengkulu dalam mensosialisasikan mengenai
pengaduan korban kekerasan perempuan di Kota Bengkulu. Para informan memberikan
beberapa jawaban kesamaan dalam memberikan informasi bahwa telah dilakukan
dengan cara menyebar brosur dan sosialisasi secara langsung yang dilakukan
dengan cara turut hadir pada kegiatan yang melibatkan masyarakat seperti
kegiatan di kelurahan serta acara yang dilakukan oleh mitra pelayanan. Brosur
tersebut dibagikan kepada orang-orang yang ada di jalan maupun yang ada di
pusat keramaian Kota. Hal ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan pihak
UPTD PPA Kota Bengkulu untuk meningkatkan jangkauan pelayanan agar korban
kekerasan yang ada di luar sana mengetahui di mana harus melakukan pengaduan
terkait dengan kekerasan yang terjadi atau yang dialami oleh kerabat dekat
mereka.
Sosialisasi tahapan Pendampingan
Peneliti memberikan pertanyaan kepada beberapa
informan penelitian, terkait bagaimana sosialisasi terkait pendampingan yang
dilakukan oleh UPTD PPA Kota Bengkulu dalam mensosialisasikan mengenai
pendampingan korban kekerasan perempuan di Kota Bengkulu. Para informan
memberikan beberapa jawaban kesamaan dalam memberikan informasi bahwa
Sosialisasi yang dilakukan terlihat tidak memiliki tim khusus hanya saja dari
pihak Dinas DP3AP2KB Kota Bengkulu juga turut membantu dengan cara mengenalkan
UPTD PPA pada saat ada kegiatan diluar. Sosialisasi dilakukan turun secara
langsung kepada masyarakat, melalui kegiatan di Kelurahan, akan tetapi kegiatan
ini masih dirasa kurang efektif hal ini disebabkan oleh dana yang tidak
terkelola dengan baik, dan SDM yang mumpuni.
Sosialisasi tahapan Rujukan
Peneliti memberikan pertanyaan kepada beberapa
informan penelitian, terkait bagaimana sosialisasi terkait rujukan yang
dilakukan oleh UPTD PPA Kota Bengkulu dalam mensosialisasikan mengenai rujukan
korban kekerasan perempuan di Kota Bengkulu. Para informan memberikan beberapa
jawaban kesamaan dalam memberikan informasi bahwa sosialisasi terkait tahapan
rujukan telah dilakukan dalam bentuk pertemuan atau sosialisasi berupa
sarasehan, hal ini guna memperkuat ikatan kerja sama kepada mitra seperti WCC
dan PUPA, serta memberikan layanan yang maksimal kepada korban dalam menerima
layanan lanjutan.
Implementasi
Hasil penelitian dalam penelitian ini, peneliti
membagi pada tiga bagian konsep implementasi, pertama terkait bagaimana
implementasi pelaksanaan tahapan pengaduan, kedua bagaimana implementasi pelaksanaan
tahapan pembinaan, dan yang ketiga bagaimana implementasi pelaksanaan tahapan
rujukan.
Implementasi tahapan Pengaduan
Peneliti memberikan pertanyaan terkait dengan
alur pengaduan yang dapat dilakukan oleh korban, didapatkan bahwa 3 cara yang
dapat dilakukan oleh korban yang ingin melakukan pengaduan. Yaitu, tahap
pengaduan secara langsung dengan cara korban datang langsung dan melapor, kedua
yaitu secara tidak langsung atau melalui media sosial atau dengan cara
menghubungi pihak PPA Kota Bengkulu. Selanjutnya, jika ada informasi terkait
dengan adanya korban kekerasan namun tidak memungkinkan untuk melakukan
pengaduan maka pihak PPA Kota Bengkulu akan melakukan penjangkauan korban
dengan cara mendatangi lokasi tempat korban kekerasan berada. Peneliti mencoba
melakukan observasi dengan melihat media sosial Dinas DP3AP2KB Kota Bengkulu
untuk mengetahui mengenai apakah ada informasi yang dibagikan melalui media
sosial tersebut.
Akun media sosial Dinas DP3AP2KB Kota Bengkulu
terdapat kontak telepon kepala UPTD PPA yang bisa dihubungi untuk pengaduan
pada jam kerja yaitu pada pukul 07.30-16.00 Wib. Selain itu terdapat aktivitas
lain juga seperti agenda apel rutin dan kegiatan penting lain yang di bagikan
melalui media sosial tersebut. Untuk kemudahan pengaduan korban kekerasan maka
pihak Dinas melakukan kerjasama dengan Kominfo Kota Bengkulu agar layanan call center bisa tersambung untuk
kebutuhan pengaduan.
Standar operasional penanganan korban sudah
tertuang dalam peraturan yang baku. Di
UPTD PPA Kota Bengkulu selain korban dapat melakukan pengaduan secara langsung
juga bisa melalui rekomendasi dari mitra layanan sehingga korban yang dinilai
perlu untuk mendapatkan penanganan secara lebih khusus akan dialihkan ke PPA
Kota dikarenakan jangkauan yang dimiliki oleh PPA Kota Bengkulu sebagai lembaga
pemerintah tentu lebih kuat dan lebih luas dan lebih kuat jika korban akan
menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan kasus kekerasan yang dialami oleh
korban.
Pengaduan
yang dilakukan oleh korban bisa melalui berbagai cara di antaranya adalah
dengan datang langsung atau melalui pihak ketiga. Adapun yang harus disiapkan
oleh korban yaitu identitas diri agar petugas dapat memasukkan data ke sistem
resmi kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia. Pengaduan korban kekerasan khususnya di Kota Bengkulu memang belum
begitu diketahui oleh masyarakat luas, untuk mensiasati hal tersebut maka pihak
PPA kota Bengkulu telah melakukan sosialisasi dan menyebarkan brosur agar
masyarakat dapat mengetahui tentang PPA Kota Bengkulu dan mengetahui pelayanan
apa saja yang bisa diberikan oleh PPA Kota kepada korban yang terlibat
kekerasan khususnya perempuan.
Implementasi
tahapan Pendampingan
Berdasarkan observasi yang telah peneliti lakukan
dilapangan dengan meninjau hasil lapangan dan didukung dengan studi dokumentasi
didapati bahwa tahapan yang dilakukan setelah pengaduan adalah tahapan
pendampingan dilakukan dengan cara turun langsung kelapangan mendampingi korban
pada tahapan selanjutnya. Setelah tahap pengaduan langkah selanjutnya yang
dilakukan dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan adalah tahapan
pendampingan. Pada tahap ini petugas UPTD PPA Kota Bengkulu bersama mitra akan
melakukan pendampingan terhadap korban hingga kasus yang dialami korban
selesai.
Pendampingan terhadap korban
bersifat fleksibel artinya mengikuti dengan apa yang korban butuhkan.
Pendampingan korban juga tidak memiliki jangka waktu, jika korban masih
membutuhkan bantuan untuk memulihkan fisik dan psikis walaupun kasus sudah
selesai di tahap hukum maka pihak UPTD PPA masih akan terus mengontrol sampai
korban merasa cukup dan dirinya sudah kembali berdaya.
Dalam melakukan pendampingan korban pihak UPTD PPA
saat ini mengalami keterbatasan tenaga oleh karena itu sering melibatkan pihak
Dinas DP3AP2KB Kota Bengkulu untuk diajak bersama-sama terlibat dalam kegiatan
dilapangan agar pelayanan bisa maksimal dilakukan. Salah satu pihak yang
terlibat dalam pendampingan korban yaitu pekerja sosial dari Dinas Sosial Kota
Bengkulu.
Tidak ada perjanjian tertulis antara sosial
dengan pihak UPTD PPA mereka bekerja karena panggilan hati nurani saja. Lebih
lanjut dari hasil wawancara diketahui bahwa awalnya kalaborasi antara pekerja
sosial dengan UPTD PPA terjadi saat melakukan penangananan kasus anak .
dikarenakan UPTD PPA kekuragan tenaga dan mereka diminta untuk ikut terlibat
pada saat pendampingan agar penanganan yang dilakukan oleh petugas dapat
berjalan lebih baik.
pekerja sosial diatas menunjukkan bahwa mereka
bergerak atas dasar kemanusiaan. Untuk kasus anak memang biasanya ada
keterkaitan karena banyak korban yang melapor ke PPA Kota atau ke PPA Polres
lalu untuk kebutuhan persidangan pekerja sosial dibutuhkan sebagai saksi. Untuk
kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja sosial membantu untuk melakukan
assesment terhadap korban agar mempermudah proses penanganan hal ini juga
dikatakan informan HD dikarenakan tidak adanya tenaga ahli dari pihak UPTD PPA
Kota Bengkulu sehingga mereka saling bantu untuk pendampingan korban termasuk
ketika konseling, pekerja sosial terlibat untuk mendampingi korban sejak awal
hingga sampai pada proses pengadilan berjalan.
UPTD PPA melakukan kerjasama dengan lembaga non
Pemerintah di Kota Bengkulu yang bergerak di bidang pendampingan dan penanganan
korban kekerasan, Kota Bengkulu memiliki duaa lembaga yang bernama yayasan
Cahaya Perempuan WCC dan Yayasan PUPA , kedu lembaga ini mempunyai fungsi yang
sama dan menjadi mitra pelayanan UPTD PPA Kota Bengkulu. Mekanisme kerjasamanya
yaitu Pendampingan yang dilakukan oleh UPTD PPA Kota bengkulu melibatkan
lembaga non pemerintah salah satunya yaitu yayasan Cahaya Perempuan WCC MOU ini
telah berlangsung sejak lima tahun yang lalu namun belum diperbaharui hingga
saat ini, informan YO mengatakan bahwa lembaga tempat YO bekerja lebih berfkus
pada pemberdayaan korban yang telah mendapat tindak kekerasan. Informan YO
mengatakan bahwa saat pendampingan mereka memberikan materi yang telah disusun
sebelumnya dan memiliki kesamaan pada setiap korban yang bertujuan untuk
memulihkan kepercayaan diri sehingga korban bisa kembali bisa berdaya.
Dari kedua lembaga yang menjadi mitra layanan
UPTD PPA Kota bengkulu dapat terlihat perbedaan yaitu untuk yayasan Cahaya
Perempuan WCC yang terlihat lebih fokus untuk pemulihan keberfungsian sosial
korban kekerasan sedangkan Yayasan PUPA terlihat lebih fokus pada pelayanan
korban pada saat terjadi kekerasan. Kedua lembaga sama-sama menjadikan UPTD PPA
sebagai lembaga rujukan korban dengan pertimbangan bahwa lembaga non pemerintah
memiliki banyak keterbatasan baik itu dari segi tenaga ahli maupun segi biaya oprasional.
Disisi lain UPTD PPA memiliki keterbatasan tenaga sehingga masih membutuhkan
bantuan dari pihak lain.
UPTD PPA Kota Bengkulu memiliki sumberdana yang
jelas sehingga memudahkan untuk pemenuhan kebutuhan korban yang berkaitan
dengan kasus yang sedang dialami misalnya jika korban memerlukan rujukan ke
Psiater atau Psikolog yang tentu memerlukan biaya , ataupun jika fisik korban
masih terluka maka perlu penanganan medis hal seperti itu jelas memerlukan dana
hal ini lah yang membuat UPTD PPA menjadi salah satu lembaga yang penting untuk
terlibat dalam penanganan kasus. Disisi lain keterbatasan tenaga dan gerak UPTD
PPA membuat pendamping korban tidak bisa untuk melepas dan menyerahkan korban
secara penuh kepada UPTD PPA karena jumlah korban yang ditangani tidak
sebanding dengan tenaga yang ada di unit PPA.
Peran pemerintah untuk
memperhatikan keamanan dan keselamatan para pendamping korban sangat minim.
Sampai saat ini tidak ada peraturan ataupun undang-undang yang memuat tentang
hak dan kewajiban para pendamping kasus terutama kasus kekerasan yang sangat jelas
bahwa tingkat rentan bahaya yang dimiliki para pendamping sama besarnya dengan
korban. Hal ini dikarenakan para pendamping harus berada dipihak korban, jelas
hal ini secara tidak langsung mengancam keamanan. Bahkan tak jarang ancaman dan
tekanan datang dari keluarga korban yang terkesan mendesak agar proses cepat
diselesaikan dan dilimpahkan ke jalur hukum padahal untuk menuju ke tahap itu
ada banyak hal yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh pihak petugas UPTD maupun
pihak korban.
Hambatan pada saat melakukan pendampingan korban
yang dilakukan terlihat bahwa yang masih menjadi perhatian adalah perhatian
pemerintah tentang pendamping korban, di sisi lain temuan-temuan di lapangan
pada saat melakukan pendampingan terkadang tidak terduga. Namun, bagi para
pendamping rasa sabar dan ikhlas yang besar membuat mereka bisa melewati itu
semua. Kondisi korban yang selalu berbeda di setiap kasus yang ditemui membuat
para pendamping harus terus belajar memperdalam ilmu agar penanganan korban yang
diberikan bisa lebih ringan dan efisien.
Petugas yang ada pada UPTD PPA Kota ataupun
Provinsi harus merupakan tenaga ahli yang relevan untuk penanganan korban serta
disebutkan bahwa pembekalan dan
pelatihan harus terus dilakukan, program pelatihan harus dimiliki oleh pihak
UPTD PPA selain itu tenaga petugas yang tergabung pada UPTD PPA harus memenuhi
beberapa komponen yang terdiri dari beberapa tenaga ahli seperti psikolog.
perawat, bidan, advokat dan lainnya. Namun yang terlihat di UPTD Kota Bengkulu
pada saat peneliti melakukan pra Penelitian di bulan Agustus 2023 ada 4 petugas
termasuk kepala UPTD yaitu informan EW sementara pada saat peneliti melakukan
penelitian di bulan Januari-Februari 2024 terlihat hanya ada 1 petugas yaitu
kepala UPTD PPA yaitu informan EW.
pendampingan yang dilakukan oleh pihak UPTD PPA
Kota Bengkulu mengikuti jam kerja kantor jadi jika ada pelaporan yang masuk
akan ditindaklanjuti pada keesokan harinya. Kemudian dengan kondisi tertentu
petugas harus memilih mana korban yang harus didahulukan dikarenakan tidak
adanya petugas yang cukup untuk menangani seluruh laporan yang masuk. Maka pada
kondisi tertentu UPTD PPA akan meminta pihak pekerja sosial atau mitra layanan
untuk mendampingi korban dengan catatan akan tetap dipantau.
Implementasi belum menyiapkan organisasi atau
lembaga seperti bekerja sama dengan mumpuni, hanya menjalin kerja sama dengan
mitra WCC Cahaya Perempuan, dan PUPA. Kemudian belum menyiapkan sumber daya
manusia dengan mumpuni seperti pembentukan tim khusus, hanya menyediakan
pendamping pekerja sosial sebagai pendamping. Implementasi pendampingan dan
telah menyiapkan prosedur pelaksaan pendampingan yaitu menggunakan SOP yang
sesuai dengan Standar Layanan pendampingan oleh KemenPPA.
Akan tetapi, dalam menyiapkan sumber daya dan
prosedur pelaksaan masih terdapat kelemahan yang meliputi pembentukan tim
khusus dan harus menjalin kerja sama mitra penunjang yang lain seperti Rumah
Sakit umum, Kepolisian, lembaga pendamping perempuan lain dan tenaga ahli
seperti advokat, konselor, psikolog, pekerja sosial, dan lainnya untuk
melakukan pelayanan yang diberikan.
Implementasi
tahapan Rujukan
Tahapan rujukan korban kekerasan terhadap
perempuan dilakukan setelah petugas mengetahui dan memahami kronologi dan akur
kasus yang sedang ditangani kemudian setelah itu petugas akan memetakan apa
yang harus dilakukan dan apa yang dbutuhkan oleh korban untuk melakukan hal ini
tentu piihak UPTD PPA Kota Bengkulu tidak bisa berdiri sendiri. Dikarenakan
keterbatasan tenaga ahli membuat korban harus dirujuk ke lembaga lain yang
tentu mempunyai tenaga yang lebih profesional.
Pihak yang menjadi lembaga rujukan korban
sekaligus sudah menjadi mitra UPTD PPA kota Bengkulu adalah Yayasan PUPA dan
Yayasan Cahaya Perempuan WCC. Selain itu psikolog yang bertugas di Rumah Sakit
Khusus Jiwa juga merupakan psikolog yang rutin mendapat rujukan korban dari
UPTD PPA Kota Bengkulu.rujukan lainnya yaitu kondisional pada waktu korban
datang apa yang dibutuhkan maka itu akan langsung diproses oleh pihak UPTD PPA,
misalnya, jika korban datang dengan luka yang dirasa belum mendapatkan penanganan
secara maksimal maka pihak UPTD PPA Kota Bengkulu akan melakukan rujukan ke
Rumah Sakit Harapan dan Doa Kota Bengkulu yang merupakan rujukan kesehatan dari
UPTD PPA, kondisi lain jika korban masih tertekan dan sulit untuk diajak
berbicara maka petugas akan melakukan rujukan ke tenaga ahli yaitu psikiater
untuk memulihkan mental korban terlebih dahulu.
Rujukan yang dilakukan pada korban kekerasan
sebetulnya tidak bisa diberi jangka waktu karena setiap kasus mempunyai
kerumitan yang berbeda, setiap korban juga membutuhkan waktu yang berbeda untuk
bisa menyembuhkan trauma atas apa yang sudah dialami oleh korban tersebut. UPTD
PPA Kota Bengkulu menjadikan kedua lembaga tersebut menjadi mitra pelayanan dan
rekomendasi rujukan dkarenakan kedua lembaga tersebut mempunyai alur dan cara
yang berbeda pada mekanisme penanganan korban yang digunakan. Yayasan PUPA mempunyai
alur dan mekanisme yang cenderung sama dengan yang dilakukan oleh pihak UPTD
PPA Kota Bengkulu yang lebih berfikus pada apa yang korban butuhkan pada saat
itu dan membantu korban untuk menyelesaikan masalah sampai ke ranah hukum.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Yayasan Cahaya Perempuan WCC yang lebih
memikirkan apa yang korban butuhkan setelah kasus ini selesai dan korban dapat
kembali berdaya dengan pelatihan dan penguatan yang mereka lakukan selama
pendampingan.
Setelah tahap rujukan selesai dilakukan dan
korban sudah layak untuk dilepas dari pantauan petugas dan telah pulih secara
mental maka tahapan penanganan diputuskan sudah selesai.
Monitoring dan Evaluasi
Hasil penelitian dalam penelitian ini, peneliti
membagi pada tiga bagian konsep monitoring dan evaluasi, pertama terkait
bagaimana monve pelaksanaan tahapan pengaduan, kedua bagaimana monve
pelaksanaan tahapan pembinaan, dan yang ketiga bagaimana monve pelaksanaan
tahapan rujukan.
Monitoring Evaluasi tahapan Pelaporan
Pada tahapan pelaporan masih terdapat kelemahan
seperti, masih minimnya kesadaran masyarakat untuk melapor kekerasan perempuan
yang terjadi di Kota Bengkulu, sehingga menjadikan catatan dan tantangan serta
perbaikan kedepannya dengan terus melakukan kampanya melalui media sosial, dan
terus menjalin kerja sama kepada mitra.
Sehingga melalui penjelasan informan, terkait bagaimana monev pengaduan
yang dilakukan oleh UPTD PPA Kota Bengkulu dalam pelaporan korban kekerasan
perempuan di Kota Bengkulu. Dapat memberikan gambaran dan penjelasan bahwa, monitoring dan evaluasi pelaporan dilakukan dalam bentuk secara
langsung dan melihat meninjau terhadap laporan yang terjadi.
Monitoring
Evaluasi tahapan Pendampingan
UPTD PPA rutin melakukan monitoring kasus bersama
mitra jika dalam suatu kasus mereka tanganai secara bersama. Namun, jika dalam
suatu kasus PPA merupakan lembaga rujukan dari pihak lain atau sebaliknya PPA
Kota merujuk korban untuk ditangani oleh pihak lain maka tidak lagi dilakukan
monitoring pada proses yang dilakukan pada korban tersebut dikarenakan korban
sudah bukan lagi menjadi tanggung jawab petugas PPA Kota Bengkulu. Hal ini
dibenarkan oleh informan NR yang mengatakan bahwa mereka berjalan secara
mandiri jika dalam suatu kasus korban langsung datang dan melapor ke Yayasan
PUPA begipun jika mereka merujuk korban untuk ditangani oleh PPA Kota maka
proses pendampingan oleh Yayasan PUPA pun dianggap selesai.
Sehingga melalui penjelasan informan, terkait
bagaimana monev pendampingan yang dilakukan oleh UPTD PPA Kota Bengkulu dalam
pendampingan korban kekerasan perempuan di Kota Bengkulu. Dapat memberikan
gambaran dan penjelasan bahwa, monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam
melaksanakan pendampinga dilakukan secara langsung atau turun kelapangan
bersama sama.
Monitoring
Evaluasi tahapan Rujukan
Tidak
ada proses evaluasi yang dilakukan oleh pihak PPA Kota bersama mitra pada
penanganan suatu kasus, proses monitoring dilakukan jika pada suatu kasus
dilakukan pendampingan secara bersama. Pada saat salah satu pihak melakukan
rujukan maka mereka akan melakukan rapat yang bertujuan untuk membedah suatu
kasus agar pihak yang menjadi lembaga rujukan bisa lebih memahami kondisi yang
dialami korban, bedah kasus ini pun dilakukan secara bersama yang melibatkan
seluruh pihak terkait seperti petugas UPTD PPA Kota Bengkulu, pekerja sosial,
psikolog, pengacara, dan pihak mitra lainnya
Sehingga melalui penjelasan informan, terkait bagaimana monev rujukan
yang dilakukan oleh UPTD PPA Kota Bengkulu dalam rujukan korban kekerasan
perempuan di Kota Bengkulu. Dapat memberikan gambaran dan penjelasan bahwa,
monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam melaksanakan pendampinga dilakukan
secara langsung atau turun kelapangan bersama sama
Kesimpulan
Sosialisasi yang dilakukan oleh pihak UPTD PPA Kota Bengkulu yaitu dengan
cara sosialisasi langsung ke kelompok masyarakat. Kegiatan sosialisasi juga
dilakukan dengan cara membagikan. Implementasi pelaporan yang dilakukan oleh
UPTD PPA Kota Bengkulu dalam implementasi mengenai pelaporan korban kekerasan
perempuan di Kota Bengkulu. Kemudian belum menyiapkan sumber daya manusia
dengan mumpuni seperti pembentukan tim khusus, hanya menyediakan pendamping
pekerja sosial sebagai pendamping. dan telah menyiapkan prosedur pelaksaan
pendampingan yaitu menggunakan SOP yang sesuai dengan Standar Layanan
pendampingan oleh KemenPPA. Monitoring dan evaluasi pada tahapan pelaporan
dilakukan secara on site, misalnya mengamati perkempangan kasus laporan yang
masuk, dan monev yang dilakukan pada tahapan pendampingan dan rujukan dilakukan
secara on site dan on desk, melibatkan internal saja yaitu antara petugas UPTD
PPA dan dinas DP3A. Monitoring dan evaluasi belum berjalan dengan baik hal ini
dikarenakan UPTD PPA Kota Bengkulu sangat kekurangan sumber daya manusia
sehingga menyulitkan dalam proses pemantauan korban. Monitoring dan evaluasi
hanya dilakukan secara internal yang melibatkan Dinas DP3AP2KB saja dan untuk
beberapa kasus tertentu yang ditangani bersama mitra hanya melakukan bedah
kasus dan setelah penanganan selesai tidak dilakukan evaluasi
BIBLIOGRAFI
Alhakim, A. (2021).
Kekerasan terhadap Perempuan: Suatu Kajian Perlindungan Berdasarkan Hukum
Positif Di Indonesia. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(1),
115–122.
Ilaa, D. T. (2021).
Feminisme dan Kebebasan Perempuan Indonesia dalam Filosofi. Jurnal Filsafat
Indonesia, 4(3), 211–216.
Kementerian, P., PRIBADI,
I. D., & SITEPU, P. N. U. R. (2018). Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan
Perlindungan Anak. Kemenpppa. Go. Id, 1–4.
Moleong, L. J. (2017).
Metodologi penelitian kualitatif (Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
102–107.
Nomor, U.-U. (23 C.E.). Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Nurhayati, E. S.,
Swarnawati, A., Wibowo, C., Widarti, E. I., Thufail, A., & Sativa, I. O.
(2022). Komunikasi Efektif Pimpinan Dalam Mengatasi Konflik Organisasi. Metacommunication;
Journal of Communication Studies, 7(1), 84–95.
Pekei, B. (2016). Konsep
dan analisis efektivitas pengelolaan keuangan daerah di era otonomi.
Penerbit Taushia.
Prabowo, E. (2014). Konsep
& aplikasi asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Pülzl, H., & Treib, O.
(2017). Implementing public policy. In Handbook of public policy analysis
(pp. 115–134). Routledge.
Putri, E. T. (2023). Optimalisasi
Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Perempuan Dan Anak Di Kabupaten
Trenggalek Provinsi Jawa Timur. IPDN.
Saragih, D. N. U. (2018). Efektivitas
Pengelolaan Alokasi Dana Desa Tahun 2017 dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat di Desa Hessa Perlompongan Kecamatan Air Batu Kabupaten Asahan.
Suaib, H., Rakia, A. S. R.
S., Purnomo, A., & Ohorella, H. M. (2022). Pengantar Kebijakan Publik.
Humanities Genius.
Sugiyono. (2020). Metode
Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. In Alfabeta, Bandung
(Cetakan ke). ALFABETA, cv.
Tristanto, A., Medina, S.,
& Restiana, R. (2021). Pemberdayaan masyarakat Desa Gede Pangrango melalui
praktek pekerjaan sosial komunitas. Altruis: Journal of Community Services,
2(2).
Widodo, W., Hardiyanti,
M., & Latifah, K. (2022). Optimalisasi Penanganan Korban Kekerasan
Perempuan dan Anak melalui Perancangan Sistem E-Rujuk di Kabupaten Pemalang. Seminar
Nasional Hasil Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 3,
138–156.
Zulfiani, D., Kondorura,
O., & AF, M. S. (2019). Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di
provinsi kalimantan timur. Jurnal Administrative Reform, 6(3),
141–152.
Copyright holder: Arini Larassagita Cahyani, Sri Putri Permata, Aries Munandar (2024) |
First publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |