Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 11, November 2024
Universitas Indonesia, Indonesia1,2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Perkembangan
jumlah UMKM di Indonesia terus meningkat dan memiliki kontribusi terhadap PDB
mencapai 60,51 persen pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan peran penting dan
strategis UMKM dalam perekonomian nasional. Mengingat potensi penerimaan pajak
UMKM yang besar namun tingkat kepatuhan pajak yang belum optimal, Pemerintah
mengambil langkah dengan mengimplementasikan presumptive tax pada tahun
2013. Lebih lanjut Pemerintah mengambil langkah penurunan tarif PPh Final UMKM
dari 1 persen menjadi 0,5 persen dengan tujuan mempermudah UMKM untuk
mengembangkan usahanya serta meningkatkan partisipasi pembayaran pajak UMKM. Penurunan
tarif pajak atau tax cut merupakan salah satu instrumen dari supply-side
tax policy yang sering digunakan Pemerintah untuk mendorong produktivitas.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemerintah mendorong perkembangan UMKM
dengan menurunkan tarif PPh final menjadi 0,5 persen. Tulisan ini bertujuan
menggambarkan pengaruh penurunan tarif pajak dari 1 persen (berdasarkan PP
46/2013) menjadi 0,5 persen (berdasarkan PP 23/2018) terhadap penerimaan negara
dan kepatuhan pembayaran wajib pajak UMKM. Menggunakan data nasional bulanan
tahun 2015-2021, dilakukan analisis deskriptif statistik non
parametrik dengan uji Wilcoxon Signed Ran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan
tarif, dalam hal ini penurunan tarif PPh final UMKM menjadi 0,5 persen
berdasarkan PP No.23 Tahun 2018 memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
penerimaan negara dan kepatuhan pembayaran wajib pajak.
Kata kunci: PPh Final, UMKM, kepatuhan pajak, Indonesia
Abstarct
The
development of Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) in Indonesia has
been continually increasing, contributing to as much as 60.51 percent of the
GDP in 2019. This underscores the vital and strategic role of MSMEs in the
national economy. Given the substantial potential of MSME tax revenue and the
suboptimal level of tax compliance, the Government implemented a presumptive
tax in 2013. Moreover, the Government has taken measures to reduce the final
income tax rate for MSMEs from 1 percent to 0.5 percent, with the aim of
facilitating the growth of MSMEs and increasing their participation in tax
payments. Tax cut is one of the instruments in the supply-side tax policy that
frequently used by the Government to stimulate productivity. Hence, it is not
surprising that the government encourages the development of MSMEs by reducing
the final income tax rate to 0.5 percent. This article aims to describe the
effect of reducing the tax rate from 1 percent (based on PP 46/2013) to 0.5
percent (based on PP 23/2018) on state revenues and MSME taxpayer payment
compliance. Using
national monthly data from 2015-2021, a non-parametric statistical descriptive
analysis was conducted with the Wilcoxon Signed Rank test. The study found that
the tax rate adjustment - in this case, the reduction of the final income tax
rate for MSMEs to 0.5 percent as per Government Regulation No. 23 of 2018 - has
had a significant impact on state revenue and tax compliance.
Keywords: Final income tax rate,
MSMEs, tax compliance, Indonesia
Pendahuluan
Pasca diterbitkannya Undang-Undang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tanggal 7 Oktober 2021, terjadi beberapa
perubahan terkait dengan perlakuan atas Pajak Penghasilan (PPh). Kebijakan baru
telah diterapkan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yaitu Wajib
Pajak Orang Pribadi yang masuk kategori UMKM dengan peredaran bruto di bawah
Rp500 juta setahun tidak dikenai pajak, sementara UMKM dengan peredaran bruto
di atas Rp500 juta setahun akan terkena pajak. Akibatnya, beban pajak UMKM menjadi
lebih ringan. Tujuan kebijakan perpajakan saat ini adalah menjamin kepastian
hukum, memastikan kesetaraan bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto
khusus dalam periode waktu tertentu, memudahkan administrasi perpajakan, serta
untuk mendorong Wajib Pajak agar meningkatkan kualitas pembukuan dan
mengembangkan usaha mereka. Namun, kebijakan ini memiliki batas waktu, dan
setelah batas waktu tersebut berakhir, tarif pajak akan kembali ke tarif umum
yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 juncto UU Nomor 36 Tahun 2008
tentang PPh.
Adanya perubahan kebijakan ini, menjadi suatu
fenomena yang sangat menarik untuk ditinjau dari sisi tingkat kepatuhan pajak
mengingat jumlah UMKM yang mencapai 99 persen dari keseluruhan unit usaha yang
ada di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM tahun 2019,
kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 60,5 persen dan terhadap penyerapan
tenaga kerja adalah 97 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional.
Ada beberapa kali pergeseran dalam penerapan
kebijakan yang berkaitan dengan pajak atas pendapatan, terutama bagi UMKM.
Menurut penjelasan pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP) No. 6 Tahun 1983 yang terakhir kali direvisi oleh Undang-Undang No. 28
Tahun 2007, Indonesia mengadopsi sistem self-assessment dalam
perpajakan. Dalam sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan dan tanggung
jawab untuk melakukan registrasi dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
sendiri, serta menghitung, membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang harus
dibayarkan. Dengan kata lain, Wajib Pajak memegang tanggung jawab dalam
menentukan jumlah pajak yang seharusnya mereka bayarkan. Proses pelaporan hasil
perhitungan dan pembayaran pajak dilaksanakan secara periodik melalui Surat
Pemberitahuan (SPT). Namun, seluruh proses ini harus dijalankan dengan
kejujuran dan niat baik dalam membayar pajak secara tepat dan benar.
Pemerintah telah memberikan insentif pajak
untuk UMKM sebagai upaya mendorong pertumbuhan usaha lebih cepat, lebih luas,
dan lebih efisien. Dari segi perpajakan, terdapat insentif tarif bagi UMKM. Hal
ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pada Pasal 31E. Perubahan yang menjadi
insentif tersebut yaitu bahwa terhadap Wajib Pajak badan terdapat pengurangan
tarif pajak penghasilan (PPh) senilai 50 persen dari tarif menurut Pasal 17
ayat (1) huruf b dan ayat (2a) bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dengan
peredaran bruto usaha sampai Rp50 miliar atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.
Ketentuan jumlah peredaran bruto
sampai dengan Rp 4,8 miliar terkait kategori UMKM sesuai dengan sebagaimana
tertuang dalam Pasal 14 UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Oleh
karena itu, tarif pajak yang berlaku bagi wajib pajak badan dalam negeri sesuai
kategori UMKM diatur dalam Pasal 31E UU No.36 Tahun 2008.
Lebih lanjut, dengan perkembangan jumlah UMKM
di Indonesia terus meningkat dan memiliki kontribusi terhadap PDB mencapai
60,51 persen pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan peran penting dan strategis
UMKM dalam perekonomian nasional. Meskipun jumlah UMKM mengalami pertumbuhan
yang signifikan, namun hal ini belum sepenuhnya tercermin dalam sektor
perpajakan. Mengingat potensi penerimaan pajak UMKM yang besar namun tingkat
kepatuhan pajak yang belum optimal, Pemerintah mengambil langkah dengan
mengimplementasikan presumptive tax pada tahun 2013. Presumptive tax
merupakan metode menghitung jumlah pajak terhutang berdasarkan indikator selain
penghasilan neto yang dapat mencerminkan pendapatan wajib pajak. Tujuan
utamanya adalah menyederhanakan administrasi pajak bagi pelaku UMKM melalui
penyederhanaan perhitungan pajak.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu diterbitkan untuk
memberikan kemudahan kepada wajib pajak orang pribadi dan badan yang memiliki
peredaran bruto tertentu dan diterapkan efektif sejak 1 Juli 2013. Tujuannya
adalah untuk mendorong UMKM untuk memenuhi kewajiban pajaknya secara sukarela.
Berdasarkan PP
tersebut, orang pribadi maupun badan (tidak termasuk dengan bentuk usaha tetap)
dengan peredaran bruto sampai Rp4,8 miliar pada satu tahun pajak dikenakan
pajak penghasilan bersifat Final dengan tarif sebesar 1 persen dari jumlah
peredaran bruto.
Pemerintah telah mengevaluasi pelaksanaan PP
Nomor 46 Tahun 2013 dan menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2018 yang berlaku 1 Juli 2018. Pada PP Nomor 46 Tahun 2013 diterapkan PPh Final
untuk UMKM atau dikenal dengan istilah PPh Final 1 persen. PP Nomor 23 Tahun
2018 mengatur tentang pengenaan Pajak Penghasilan Final, yang mana Pasal 4 Ayat
(2) menetapkan bahwa wajib pajak dengan peredaran bruto atau omzet hingga Rp
4,8 miliar dalam satu Tahun Pajak akan dikenakan PPh Final. Terdapat beberapa
perubahan pada peraturan tersebut, diantaranya adalah penurunan tarif PPh Final
atas Penghasilan Bruto Tertentu dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari omzet.
Pembayaran PPh Final harus dilakukan setiap bulan sebelum tanggal 15 bulan
berikutnya, dan jumlahnya bergantung pada besarnya omzet wajib pajak setiap
bulan. Penurunan tarif pajak atau tax cut merupakan salah satu instrumen
dari supply-side tax policy yang sering digunakan Pemerintah untuk
mendorong produktivitas (Rosdiana, 2008). Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika Pemerintah mendorong perkembangan UMKM dengan menurunkan tarif menjadi 0,5
persen.
PP Nomor 23 Tahun 2018 memiliki perbedaan
dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 karena PP Nomor 23 Tahun 2018 mengatur batasan
waktu penggunaan tarif PPh Final 0,5 persen bagi wajib pajak baik orang pribadi
maupun badan. Dalam hal ini, wajib pajak orang pribadi diberikan waktu 7 tahun
untuk memanfaatkan tarif tersebut, sedangkan wajib pajak badan berbentuk
koperasi, CV, dan Firma diberikan waktu selama 4 tahun. Namun, wajib pajak
badan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) memiliki batasan waktu paling
singkat yaitu 3 tahun. Sementara itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak memiliki
batasan waktu dalam memanfaatkan tarif PPh Final 1 persen.
Perubahan PP Nomor 46 Tahun 2013 didasari oleh
desakan untuk lebih memberikan keadilan bagi wajib pajak sekaligus memperbaiki
beberapa kelemahan yang ada pada peraturan sebelumnya. Bagi wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu tetapi sudah mampu melakukan pembukuan, dapat
memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU HPP Nomor 7 Tahun 2021.
Sebuah pilihan yang sebelumnya tidak ada di PP Nomor 46 Tahun 2013. Perubahan
ini juga dimaksudkan untuk mendorong pelaku UMKM agar lebih ikut berperan aktif
dalam kegiatan ekonomi formal dengan cara memberikan kemudahan dan
kesederhanaan kepada para pelaku UMKM dalam pembayaran pajak dan pengenaan
pajak.
Dalam perkembangannya, pada periode
tahun 2015-2019 sebagaimana terlihat pada Grafik 1 di bawah ini, jumlah pelaku
UMKM, jumlah wajib pajak yang membayar tarif 1 persen (PP No.46/2013) dan tarif
0,5 persen (PP No.23 Tahun 2018), dan rasio kepatuhan pajak cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan
untuk melihat tingkat kepatuhan pajak, salah satunya adalah dengan rasio perbandingan
antara wajib pajak yang terdaftar wajib SPT dengan wajib pajak yang menyampaikan
SPT PPh Tahunan.
Dari Grafik 1 tersebut terlihat gap yang
cukup tinggi antara jumlah UMKM dan jumlah wajib pajak yang membayar pajak
dengan tarif tersebut. Terdapat dua kemungkinan penyebab dari fenomena ini,
yaitu masih banyak kegiatan UMKM yang belum terekam dalam skema perpajakan atau
pelaku UMKM membayar pajak penghasilannya menggunakan tarif normal sebagaimana
diatur dalam Pasal 31E UU No.36 Tahun 2008.
Gambar 1. Perkembangan UMKM,
Wajib Pajak, dan Rasio Kepatuhan Pajak 2015-2019
Sumber: diolah dari data Kemenkop
UKM dan Kemenkeu, 2023
Dugaan penulis, hal ini lebih
condong disebabkan masih banyaknya kegiatan UMKM yang belum terekam dalam skema
perpajakan. Lebih lanjut, untuk
meningkatkan tingkat kepatuhan pajak, diterbitkan PP No. 23 Tahun 2018
(perubahan atas PP No. 46 Tahun 2013) memberikan insentif dengan mengurangi
tarif pajak UMKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Pajak UMKM tersebut dihitung
berdasarkan peredaran bruto dengan tetap menggunakan prinsip presumptive tax,
yaitu suatu metode perhitungan nilai pajak terutang berdasarkan indikator
selain penghasilan neto. Dengan
model pemungutan pajak tersebut dianggap sederhana dan mengurangi beban
administrasi untuk wajib pajak maupun petugas pajak.
Pemberian insentif pajak memunculkan
kekhawatiran akan penurunan pendapatan pajak di negara-negara berkembang dan
maju. Oleh karena itu, penting bagi administrasi pajak untuk merancang dan
memilih insentif pajak yang efektif berdasarkan evaluasi yang berkelanjutan,
sambil memperhatikan keadilan dan kesederhanaan. Beberapa jenis insentif pajak
terbukti lebih sukses daripada yang lain, contohnya kredit pajak investasi,
yang lebih efektif daripada hanya mengecualikan laba dari pengenaan pajak (Carnahan, 2015).
Tulisan ini bertujuan menggambarkan pengaruh
penurunan tarif pajak dari 1 persen (berdasarkan PP 46/2013) menjadi 0,5 persen
(berdasarkan PP 23/2018) terhadap penerimaan negara dan kepatuhan pembayaran wajib
pajak UMKM. Sementara itu, untuk perubahan kebijakan terkini berdasarkan PP
55/2022 terkait perubahan batasan peredaran bruto bagi wajib pajak orang
pribadi yang termasuk UMKM belum dapat dievaluasi karena adanya keterbatasan
data.
UMKM merupakan entitas bisnis yang
karakteristik utamanya adalah memiliki jumlah tenaga kerja dan aset yang
relatif terbatas. Biasanya, UMKM dimiliki dan dikelola oleh individu atau
keluarga. Dalam konteks ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia, UMKM
memegang peranan yang sangat signifikan karena kontribusinya dalam menciptakan
pekerjaan, mendorong inovasi, dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi (World Bank, 2020). Meski demikian, UMKM kerap kali dihadapkan
pada sejumlah kendala seperti akses ke modal yang terbatas, defisit
keterampilan dan pengetahuan bisnis, serta penghalang regulasi. Untuk mendukung
perkembangan UMKM, pemerintah dan berbagai pihak terkait telah menginisiasi
sejumlah kebijakan dan program, antara lain menyediakan akses ke kredit,
pelatihan dan pendidikan, serta mempermudah persyaratan regulasi (Asian Development
Bank, 2019).
Pajak UMKM di Indonesia dihitung berdasarkan peredaran bruto dengan
tetap menggunakan prinsip presumptive tax. Thuronyi (1996) menjelaskan dalam bukunya yang
berjudul Tax Law Design bahwa presumptive taxation merupakan
metode tidak langsung dalam menentukan kewajiban pajak. Presumptive
merujuk pada anggapan bahwa jumlah penghasilan yang diperoleh wajib pajak tidak
lebih rendah daripada jumlah penghasilan yang ditetapkan secara tidak langsung.
Tidak semua negara menerapkan prinsip presumptive tax. Salah satu hasil
penelitian Kasim dan Purwanto (2014) menemukan bahwa dari 20 negara OECD yang
disurvei, terdapat beberapa negara yang juga menerapkan sistem presumptive.
Berdasarkan hasil survei, terdapat dua jenis motif dalam penggunaan metode presumptive,
yaitu: (1) pembukuan yang sederhana dan penyederhanaan pelaporan pajak, serta
(2) peningkatan kepatuhan pajak, pengurangan penghindaran pajak, dan pemajakan
yang adil.
Kepatuhan Pajak menurut Nurmantu (2005) adalah tindakan wajib pajak mematuhi seluruh
kewajiban dan menggunakan hak pajaknya dengan tepat, dan tidak memiliki
tunggakan atau keterlambatan dalam membayar pajak. Ada dua macam kepatuhan
perpajakan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal
mengacu pada pemenuhan kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan, sedangkan kepatuhan material berarti pemenuhan
ketentuan perpajakan secara substansial. Kepatuhan material dapat mencakup
kepatuhan formal. Dengan demikian, wajib pajak yang mengisi SPT Tahunan Pajak
Penghasilan dengan jujur, benar dan sesuai dengan ketentuan UU PPh serta
menyampaikannya sebelum batas waktu dianggap memenuhi kepatuhan material dalam
pengisian SPT.
Di samping itu, Zain (2008) menjelaskan bahwa kepatuhan
wajib pajak merupakan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin
dalam situasi dimana wajib pajak paham dan berusaha untuk memahami semua
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak
dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar
dan membayar pajak tepat pada waktunya. Tingkat kepatuhan wajib pajak tersebut nantinya akan menjadi dasar Direktorat
Jenderal Pajak untuk mengambil tindakan lebih lanjut, seperti upaya pembinaan,
pemantauan dan tindak lanjut wajib pajak.
Berdasarkan data yang diterima dan kemudian
diolah oleh penulis, maka jumlah partisipasi wajib pajak yang melakukan
pembayaran PPh dengan tarif 1 persen dan 0,5 persen sepanjang tahun 2015-2021
dapat dilihat pada Grafik 2 sebagai berikut.
Gambar 2. Perkembangan
Penerimaan PPh Final dan Rasio Kepatuhan Pajak
Sumber: DJP – Kemenkeu,
2023
Pada tahun 2015-2017, terlihat bahwa penerimaan
PPh tarif 1 persen meningkat dengan rata-rata 21,7 persen per tahun. Dengan
adanya perubahan tarif dari 1 persen menjadi 0,5 persen mulai bulan Juli 2018,
penerimaan PPh dari insentif tarif tersebut menurun, dari Rp5,84 triliun pada
tahun 2017 menjadi Rp5,69 triliun pada tahun 2018. Penurunan penerimaan PPh ini
berlanjut di tahun 2019 hingga 2021. Namun, sesuai dengan yang diharapkan dari
perubahan kebijakan tarif, hal ini mampu meningkatkan jumlah wajib pajak yang
melakukan pembayaran dengan tarif 0,5 persen pada tahun 2018-2019. Jika tidak
ada pandemi Covid, dimungkinkan kenaikan ini terus terjadi. Penurunan
penerimaan dan jumlah wajib pajak yang membayar dengan tarif 0,5 persen diduga
dipengaruhi oleh pandemi Covid 19 yang direspon dengan ketentuan Pemerintah
menerapkan pembatasan sosial skala besar.
Cahyani dan Noviari (2019) melakukan penelitian
tentang pengaruh tarif pajak, pemahaman perpajakan dan sanksi perpajakan terhadap
kepatuhan wajib pajak UMKM. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data
kuesioner kepada 100 wajib pajak orang pribadi UMKM di Singaraja, Provinsi Bali,
sedangkan data sekunder tingkat kepatuhan pajak per wajib pajak orang pribadi di
KPP Pratama Singaraja menggunakan data 2017. Metode penentuan sampel pada
penelitian ini adalah accidental sampling dan teknis analisis data
menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tarif pajak, pemahaman perpajakan dan sanksi perpajakan berpengaruh positif
terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM baik secara simultan maupun parsial.
Kemudian terdapat penelitian kualitatif yang
dilakukan oleh Kumaratih dan Ispriyarso (2020) dengan ruang lingkup wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Semarang Barat. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa penurunan tarif pajak
penghasilan bagi menjadi 0,5 persen berdasarkan PP 23/2018 memberikan pengaruh
terhadap tingkat kepatuhan UMKM sebagai wajib pajak.
Sementara itu, Hermawan dan Ramadhan (2020)
melakukan analisis statistik dengan menggunakan tes Mc Nemar dan
wawancara, ditemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara perubahan
tarif dengan kepatuhan wajib pajak untuk studi kasus di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Boyolali.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan komparatif untuk melihat
apakah terdapat perubahan antara sebelum dan sesudah pemberlakuan penurunan
tarif 0,5 persen berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018. Pengujian dilakukan dengan
2 hipotesis sebagai berikut:
Tabel 1. Pengujian Hipotesis
Hipotesis Pertama |
|
H0 |
Tidak terdapat perbedaan antara penerimaan
pajak sebelum dan sesudah penerapan tarif PPh 0,5% |
H1 |
Terdapat perbedaan antara penerimaan pajak
sebelum dan sesudah penerapan tarif PPh 0,5% |
Hipotesis Kedua |
|
H0 |
Tidak terdapat perbedaan antara kepatuhan
pajak sebelum dan sesudah penerapan tarif PPh 0,5% |
H1 |
Terdapat perbedaan antara kepatuhan pajak
sebelum dan sesudah penerapan tarif PPh 0,5% |
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder terkait penerimaan pajak atas wajib
pajak penghasilan bertarif 1 persen dan 0,5 persen serta kepatuhan pajak yang dilihat dari wajib pajak yang
memenuhi pembayaran pajaknya. Data
sekunder untuk periode bulanan sejak Januari 2015 sampai dengan Desember 2021
diperoleh dari Direktorat Jenderal Pajak dengan bentuk operasionalisasi
variabel sebagai berikut:
1) Variabel bebas (X1): Tarif 1%
Indikator: jumlah
penerimaan pajak atas wajib pajak penghasilan dengan tarif 1% dari omzet selama
42 bulan berdasarkan PP No. 46/2013.
2) Variabel bebas (X2): Tarif 0,5%
Indikator:
jumlah penerimaan pajak atas wajib pajak penghasilan dengan tarif 0,5% dari
omzet selama 42 bulan berdasarkan PP No. 23/2018.
3) Variabel terikat (Y): Kepatuhan Wajib Pajak
Indikator berupa jumlah
wajib pajak yang melakukan pembayaran PPh dengan tarif 1 persen dan 0,5 persen
sepanjang Januari 2015 sampai dengan Desember 2021.
Perbandingan pengaruh kebijakan perubahan tarif
tersebut dilakukan melalui analisis statistik non parametrik menggunakan alat
perangkat lunak SPSS. Perbedaan rerata dua sampel yang saling berhubungan
teridentifikasi dari hasil uji Wilcoxon signed ranks. Sebelum menguji
hipotesis, dilakukan pemeriksaan deskriptif dan normalitas. Pengujian hipotesis
dalam mengidentifikasi penerapan perubahan tarif 0,5% dilakukan pada hipotesis
pertama terhadap penerimaan pajak dan hipotesis kedua terhadap kepatuhan wajib pajak.
Hasil dan
Pembahasan
Perbandingan nilai minimun,
maksimum, rata-rata serta standar deviasi dari penerimaan pajak dan kepatuhan wajib
pajak saat sebelum dan setelah implementasi perubahan tarif 0,5 persen diilustrasikan pada Tabel 2. Hasil deskriptif
statistik menunjukkan penerimaan pajak sebelum perubahan tarif memiliki nilai
terendah sebesar Rp197,88 miliar dan nilai tertinggi sebesar Rp752,68 miliar,
sedangkan setelah penerapan perubahan tarif, nilai terendah penerimaan pajak
senilai Rp160,82 miliar dengan nilai tertinggi sejumlah Rp566,90 miliar. Nilai
penerimaan pajak sesudah penerapan perubahan tarif 0,5 persen lebih rendah
dibanding sebelum penerapan perubahan tarif menjadi 0,5 persen. Sedangkan untuk
nilai tengah penerimaan pajak sebelum dan setelah penerapan tarif 0,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan nilai standar deviasinya, artinya
penyimpangan terhadap nilai rata-rata penerimaan pajak tetap relatif rendah
saat sebelum ataupun setelah penerapan tarif 0,5 persen. Rata-rata
penerimaan pajak turun sekitar Rp84,7 miliar setelah adanya penurunan tarif
pajak.
Tabel 2. Hasil Uji Deskriptif (tabel
baru)
Sumber: Data diolah, SPSS 2023
Nilai terendah kepatuhan wajib
pajak dengan tarif 1 persen sebesar 318.101 wajib pajak
dan nilai tertingginya 686.265 wajib pajak. Setelah perubahan tarif 0,5 persen sudah diterapkan, masing-masing nilai terendah dan
tertinggi kepatuhan wajib pajak meningkat menjadi 339.530 dan 850.029 wajib
pajak, sedangkan untuk nilai tengah kepatuhan wajib pajak sebelum dan setelah
implementasi perubahan tarif 0,5 persen lebih besar dari standar
deviasinya, yang artinya penyimpangan terhadap nilai rata-rata kepatuhan wajib
pajak relatif rendah. Terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata jumlah
wajib pajak setelah diterapkan tarif 0,5 persen sebesar Rp86.564
wajib pajak.
Tabel 3. Tabel Uji Normalitas
Sumber: Data diolah, SPSS
2023.
Pengujian normalitas dengan Shapiro-Wilk pada Tabel 3
digunakan karena data yang digunakan kurang dari 50. Nilai signifikasi (2
tailed) penerimaan pajak 1 persen, penerimaan pajak 0,5 persen, kepatuhan wajib pajak 1 persen dan 5 persen lebih rendah dari 0,05. Hasil tersebut
mempresentasikan semua data tidak berdistribusi normal (0,000 < 0,05 dan
0,007 < 0,05) sebab masing-masing nilai sig. (2 tailed) di bawah 0,05. Oleh
karena itu, perlu dilakukan Uji Wilcoxon Signed Ranks.
Tabel 4. Hasil Uji Wilcoxon
Signed Ranks
Sumber: Data diolah, SPSS,
2023
Hasil ringkasan statistik
deskriptif dari empat sampel penerimaan pajak serta kepatuhan wajib pajak sebelum
dan setelah implementasi perubahan tarif 0,5 persen diilustrasikan
pada Tabel 4. Data penerimaan pajak antara sebelum dan sesudah penerapan tarif
0,5 persen negative rank atau selisih data
secara negatif senilai 23, yang berarti 23 kali (dalam satuan bulan) mengalami
penurunan penerimaan pajak dari penerimaan pajak sebelum ke penerimaan pajak
sesudah penerapan perubahan tarif 0,5 persen, dengan rata-rata penurunan
sebesar 27,3. Untuk data kepatuhan wajib pajak antara sebelum dan setelah
penerapan tarif 0,5 persen negative rank senilai 19, artinya hanya 19
kali (dalam satuan bulan) mengalami penurunan kepatuhan wajib pajak dari
sebelum penerapan ke sesudah penerapan perubahan tarif 0,5 persen dengan peringkat rata-rata penurunan senilai 13,32.
Selisih peringkat positif
antara penerimaan pajak sebelum dan sesudah adalah 19 data positif di mana
terjadi kenaikan penerimaan pajak selama 19 kali (dalam satuan bulan) bulan
dari penerimaan pajak sebelum ke penerimaan pajak setelah penerapan perubahan
tarif menjadi 0,5 persen. Untuk selisih peringkat
positif kepatuhan wajib pajak antara sebelum dan sesudah, yaitu senilai 23 data
positif, yang mana terjadi peningkatan kepatuhan wajib pajak selama 23 kali
(dalam satuan bulan) dari kepatuhan wajib pajak sebelum implementasi ke
kepatuhan wajib pajak sesudah implementasi tarif 0,5 persen. Mean rank peningkatan
untuk masing-masing data adalah 14,47 dan 28,26, sementara nilai ties 0
membuktikan bahwa tidak ada nilai yang sama antara penerimaan pajak dan
kepatuhan wajib pajak sebelum dan sesudah pengimplementasian penurunan tarif
menjadi 0,5 persen.
Tabel 5. Ringkasan Statistik
Deskriptif
Sumber: Data diolah, SPSS,
2023
Pengujian dengan Wilcoxon
Signed Ranks dipilih untuk mengidentifikasi perbedaan signifikan pada penerimaan
pajak serta kepatuhan wajib pajak terkait penerapan perubahan tarif PPh menjadi
0,5 persen. Nilai Z (pada penerimaan pajak) yang disajikan pada Tabel 5,
senilai -2,207 beserta p value (Asymp. Sig 2 tailed) adalah 0,027
(dengan 0,027 < 0,05). Hasil tersebut mengungkakan H0 ditolak.
Dengan demikian, dari hipotesis pertama sebagaimana tertuang dalam pada Tabel
1, maka diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan penerimaan pajak yang signifikan
antara sebelum dan setelah implementasi perubahan tarif PPh 0,5 persen sesuai
PP No. 23 Tahun 2018.
Selanjutnya, nilai Z pada
kepatuhan wajib pajak adalah -2,482 dengan p value (Asymp. Sig 2 tailed)
senilai 0,013 (dimana 0,013 < 0,05) sehingga H0 ditolak. Dengan
kata lain, dari hipotesis yang kedua sebagaimana tertuang dalam pada Tabel,
maka dapat diinterpretasikan terdapat perbedaan signifikanpada kepatuhan wajib
pajak sebelum dan sesudah penerapan perubahan tarif menjadi 0,5 persen.
Terkait dengan analisis
perubahan tarif berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak, hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cahyani
dan Noviari (2019), Kumaratih dan Ipriyarso (2020), dan Hermawan dan Ramadhan
(2020). Namun demikian, dari perbedaan metode dan lokasi data, maka diperoleh
arah perubahan yang berbeda pula. Cahyani dan Noviari menemukan bahwa perubahan
tarif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pajak di Singaraja
- Bali, dengan menggunakan pendekatan kepatuhan pajak dari rasio penerimaan
dibandingkan dengan target penerimaan PPh tarif 1 persen. Kemudian, Kumaratih
dan Ispriyarso (2020) menemukan bahwa
tingkat kepatuhan pajak UMKM di wilayah KPP Pratama Semarang menurun pasca
penurunan tarif menjadi 0,5 persen, diduga belum mengetahui perubahan kebijakan
tersebut. Pendekatan kepatuhan pajak yang digunakan perkiraan penerimaan PPh
dibandingkan dengan realisasi penerimaannya. Sementara itu, Hermawan dan
Ramadhan (2020) dengan fokus penelitian di wilayah KPP Pratama Boyolali, menemukan
bahwa jumlah wajib pajak yang melakukan pembayaran PPh final dengan tarif 0,5
persen (tarif PP No.23/2018) mengalami kenaikan dibandingkan saat masih
menggunakan tarif PP No. 46/2013.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa perubahan tarif, dalam hal
ini penurunan tarif PPh Final UMKM berdasarkan PP No.23 Tahun 2018 memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan negara dan kepatuhan pembayaran
wajib pajak ditinjau keseluruhan wajib pajak, baik dari wajib pajak orang
pribadi maupun badan. Hal ini diketahui dari uji Wilcoxon Signed Ranks yang
yaitu penolakan H0 dari hipotesis 1 (satu) dan hipotesis 2 (dua)
yang diinterpretasikan terdapat perbedaan signifikan pada penerimaan negara dan kepatuhan wajib
pajak saat sebelum dan setelah penerapan perubahan tarif
PPh menjadi 0,5 persen.
Asian
Development Bank. (2019). Micro, small, and medium-sized enterprises
development in Indonesia. Retrieved from
https://www.adb.org/sites/default/files/publication/503301/indonesia-msme-development.pdf
Cahyani, L. P., & Noviari, N. (2019). Pengaruh
Tarif Pajak, Pemahaman Perpajakan, dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak UMKM. E-Jurnal Akuntansi, 1885 - 1911.
Carnahan, M. (2015). Taxation Challenges in
Developing Countries. Asia & the Pacific Policy Studies, 169-182.
Hermawan, A. K., & Ramadhan, M. R. (2020).
Pengaruh Perubahan Tarif PPh UMKM Terhadap Kepatuhan Pembayaran Pajak di KPP
Pratama Boyolali. Prosiding Simposium Nasional Keuangan Negara, 43-58.
Kasim, E. S., & Purwanto, T. A. (2014).
Perbandingan Kebijakan Pajak Penghasilan atas UKM di Indonesia dengan
Negara-Negara Anggota OECD. Jurnal Vokasi Indonesia Vol. 2 No.2, 1-17.
Kementerian Koperasi dan UKM. (2023, June 27). Data
UMKM. Retrieved from Kementerian Koperasi dan UKM:
https://kemenkopukm.go.id/data-umkm/?9a4bp1pWDL62hmRNq3qVvYAHwC9xIC9zZ2ft2D3SY4KTdKOJce
Kumaratih, C., & Ispriyarso, B. (2020). Pengaruh
Kebijakan Perubahan Tarif PPH Final Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pelaku
UMKM. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 158-173.
Nurmantu, S. (2005). Pengantar Perpajakan.
Jakarta: Granit.
Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Tata Cara dan Ketentuan Umum Perpajakan. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2013). Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2018). Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Usaha Bruto
Tertentu. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2021). Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Republik Indonesia. (2022). Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 22 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Rosdiana, H. (2008). Rekonstruksi Konsepsi
Supply-side Tax Policy. BISNIS & BIROKRASI: Jurnal Ilmu Administrasi
dan Organisasi , 202-205.
Thuronyi, V. (1996). Tax Law Design and Drafting.
Washington DC: International Monetary Fund.
World Bank. (2020). Micro, small, and medium
enterprises (MSMEs). Retrieved from
https://www.worldbank.org/en/topic/msmes
Zain, M. (2008). Manajemen Perpajakan.
Jakarta: Salemba Empat.
Copyright holder: Guntur Herprabangkoro, Haula Rosdiana (2024)
|
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |