Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 11, November 2024

 

ANALISIS PERUBAHAN TARIF PPH FINAL ATAS UMKM TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK

 

Guntur Herprabangkoro1, Haula Rosdiana2

Universitas Indonesia, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2



Abstrak

Perkembangan jumlah UMKM di Indonesia terus meningkat dan memiliki kontribusi terhadap PDB mencapai 60,51 persen pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan peran penting dan strategis UMKM dalam perekonomian nasional. Mengingat potensi penerimaan pajak UMKM yang besar namun tingkat kepatuhan pajak yang belum optimal, Pemerintah mengambil langkah dengan mengimplementasikan presumptive tax pada tahun 2013. Lebih lanjut Pemerintah mengambil langkah penurunan tarif PPh Final UMKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen dengan tujuan mempermudah UMKM untuk mengembangkan usahanya serta meningkatkan partisipasi pembayaran pajak UMKM. Penurunan tarif pajak atau tax cut merupakan salah satu instrumen dari supply-side tax policy yang sering digunakan Pemerintah untuk mendorong produktivitas. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemerintah mendorong perkembangan UMKM dengan menurunkan tarif PPh final menjadi 0,5 persen. Tulisan ini bertujuan menggambarkan pengaruh penurunan tarif pajak dari 1 persen (berdasarkan PP 46/2013) menjadi 0,5 persen (berdasarkan PP 23/2018) terhadap penerimaan negara dan kepatuhan pembayaran wajib pajak UMKM. Menggunakan data nasional bulanan tahun 2015-2021, dilakukan analisis deskriptif statistik non parametrik dengan uji Wilcoxon Signed Ran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan tarif, dalam hal ini penurunan tarif PPh final UMKM menjadi 0,5 persen berdasarkan PP No.23 Tahun 2018 memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan negara dan kepatuhan pembayaran wajib pajak.

Kata kunci: PPh Final, UMKM, kepatuhan pajak, Indonesia

 

Abstarct

The development of Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) in Indonesia has been continually increasing, contributing to as much as 60.51 percent of the GDP in 2019. This underscores the vital and strategic role of MSMEs in the national economy. Given the substantial potential of MSME tax revenue and the suboptimal level of tax compliance, the Government implemented a presumptive tax in 2013. Moreover, the Government has taken measures to reduce the final income tax rate for MSMEs from 1 percent to 0.5 percent, with the aim of facilitating the growth of MSMEs and increasing their participation in tax payments. Tax cut is one of the instruments in the supply-side tax policy that frequently used by the Government to stimulate productivity. Hence, it is not surprising that the government encourages the development of MSMEs by reducing the final income tax rate to 0.5 percent. This article aims to describe the effect of reducing the tax rate from 1 percent (based on PP 46/2013) to 0.5 percent (based on PP 23/2018) on state revenues and MSME taxpayer payment compliance. Using national monthly data from 2015-2021, a non-parametric statistical descriptive analysis was conducted with the Wilcoxon Signed Rank test. The study found that the tax rate adjustment - in this case, the reduction of the final income tax rate for MSMEs to 0.5 percent as per Government Regulation No. 23 of 2018 - has had a significant impact on state revenue and tax compliance.

Keywords: Final income tax rate, MSMEs, tax compliance, Indonesia

Pendahuluan

Pasca diterbitkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tanggal 7 Oktober 2021, terjadi beberapa perubahan terkait dengan perlakuan atas Pajak Penghasilan (PPh). Kebijakan baru telah diterapkan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang masuk kategori UMKM dengan peredaran bruto di bawah Rp500 juta setahun tidak dikenai pajak, sementara UMKM dengan peredaran bruto di atas Rp500 juta setahun akan terkena pajak. Akibatnya, beban pajak UMKM menjadi lebih ringan. Tujuan kebijakan perpajakan saat ini adalah menjamin kepastian hukum, memastikan kesetaraan bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto khusus dalam periode waktu tertentu, memudahkan administrasi perpajakan, serta untuk mendorong Wajib Pajak agar meningkatkan kualitas pembukuan dan mengembangkan usaha mereka. Namun, kebijakan ini memiliki batas waktu, dan setelah batas waktu tersebut berakhir, tarif pajak akan kembali ke tarif umum yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 juncto UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh.

Adanya perubahan kebijakan ini, menjadi suatu fenomena yang sangat menarik untuk ditinjau dari sisi tingkat kepatuhan pajak mengingat jumlah UMKM yang mencapai 99 persen dari keseluruhan unit usaha yang ada di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM tahun 2019, kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 60,5 persen dan terhadap penyerapan tenaga kerja adalah 97 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional.

Ada beberapa kali pergeseran dalam penerapan kebijakan yang berkaitan dengan pajak atas pendapatan, terutama bagi UMKM. Menurut penjelasan pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) No. 6 Tahun 1983 yang terakhir kali direvisi oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, Indonesia mengadopsi sistem self-assessment dalam perpajakan. Dalam sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk melakukan registrasi dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sendiri, serta menghitung, membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang harus dibayarkan. Dengan kata lain, Wajib Pajak memegang tanggung jawab dalam menentukan jumlah pajak yang seharusnya mereka bayarkan. Proses pelaporan hasil perhitungan dan pembayaran pajak dilaksanakan secara periodik melalui Surat Pemberitahuan (SPT). Namun, seluruh proses ini harus dijalankan dengan kejujuran dan niat baik dalam membayar pajak secara tepat dan benar.

Pemerintah telah memberikan insentif pajak untuk UMKM sebagai upaya mendorong pertumbuhan usaha lebih cepat, lebih luas, dan lebih efisien. Dari segi perpajakan, terdapat insentif tarif bagi UMKM. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pada Pasal 31E. Perubahan yang menjadi insentif tersebut yaitu bahwa terhadap Wajib Pajak badan terdapat pengurangan tarif pajak penghasilan (PPh) senilai 50 persen dari tarif menurut Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto usaha sampai Rp50 miliar atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.

Ketentuan jumlah peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar terkait kategori UMKM sesuai dengan sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, tarif pajak yang berlaku bagi wajib pajak badan dalam negeri sesuai kategori UMKM diatur dalam Pasal 31E UU No.36 Tahun 2008.

Lebih lanjut, dengan perkembangan jumlah UMKM di Indonesia terus meningkat dan memiliki kontribusi terhadap PDB mencapai 60,51 persen pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan peran penting dan strategis UMKM dalam perekonomian nasional. Meskipun jumlah UMKM mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun hal ini belum sepenuhnya tercermin dalam sektor perpajakan. Mengingat potensi penerimaan pajak UMKM yang besar namun tingkat kepatuhan pajak yang belum optimal, Pemerintah mengambil langkah dengan mengimplementasikan presumptive tax pada tahun 2013. Presumptive tax merupakan metode menghitung jumlah pajak terhutang berdasarkan indikator selain penghasilan neto yang dapat mencerminkan pendapatan wajib pajak. Tujuan utamanya adalah menyederhanakan administrasi pajak bagi pelaku UMKM melalui penyederhanaan perhitungan pajak.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu diterbitkan untuk memberikan kemudahan kepada wajib pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu dan diterapkan efektif sejak 1 Juli 2013. Tujuannya adalah untuk mendorong UMKM untuk memenuhi kewajiban pajaknya secara sukarela. Berdasarkan PP tersebut, orang pribadi maupun badan (tidak termasuk dengan bentuk usaha tetap) dengan peredaran bruto sampai Rp4,8 miliar pada satu tahun pajak dikenakan pajak penghasilan bersifat Final dengan tarif sebesar 1 persen dari jumlah peredaran bruto.

Pemerintah telah mengevaluasi pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2013 dan menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang berlaku 1 Juli 2018. Pada PP Nomor 46 Tahun 2013 diterapkan PPh Final untuk UMKM atau dikenal dengan istilah PPh Final 1 persen. PP Nomor 23 Tahun 2018 mengatur tentang pengenaan Pajak Penghasilan Final, yang mana Pasal 4 Ayat (2) menetapkan bahwa wajib pajak dengan peredaran bruto atau omzet hingga Rp 4,8 miliar dalam satu Tahun Pajak akan dikenakan PPh Final. Terdapat beberapa perubahan pada peraturan tersebut, diantaranya adalah penurunan tarif PPh Final atas Penghasilan Bruto Tertentu dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari omzet. Pembayaran PPh Final harus dilakukan setiap bulan sebelum tanggal 15 bulan berikutnya, dan jumlahnya bergantung pada besarnya omzet wajib pajak setiap bulan. Penurunan tarif pajak atau tax cut merupakan salah satu instrumen dari supply-side tax policy yang sering digunakan Pemerintah untuk mendorong produktivitas (Rosdiana, 2008). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Pemerintah mendorong perkembangan UMKM dengan menurunkan tarif menjadi 0,5 persen.

PP Nomor 23 Tahun 2018 memiliki perbedaan dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 karena PP Nomor 23 Tahun 2018 mengatur batasan waktu penggunaan tarif PPh Final 0,5 persen bagi wajib pajak baik orang pribadi maupun badan. Dalam hal ini, wajib pajak orang pribadi diberikan waktu 7 tahun untuk memanfaatkan tarif tersebut, sedangkan wajib pajak badan berbentuk koperasi, CV, dan Firma diberikan waktu selama 4 tahun. Namun, wajib pajak badan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) memiliki batasan waktu paling singkat yaitu 3 tahun. Sementara itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak memiliki batasan waktu dalam memanfaatkan tarif PPh Final 1 persen.

Perubahan PP Nomor 46 Tahun 2013 didasari oleh desakan untuk lebih memberikan keadilan bagi wajib pajak sekaligus memperbaiki beberapa kelemahan yang ada pada peraturan sebelumnya. Bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu tetapi sudah mampu melakukan pembukuan, dapat memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU HPP Nomor 7 Tahun 2021. Sebuah pilihan yang sebelumnya tidak ada di PP Nomor 46 Tahun 2013. Perubahan ini juga dimaksudkan untuk mendorong pelaku UMKM agar lebih ikut berperan aktif dalam kegiatan ekonomi formal dengan cara memberikan kemudahan dan kesederhanaan kepada para pelaku UMKM dalam pembayaran pajak dan pengenaan pajak.

Dalam perkembangannya, pada periode tahun 2015-2019 sebagaimana terlihat pada Grafik 1 di bawah ini, jumlah pelaku UMKM, jumlah wajib pajak yang membayar tarif 1 persen (PP No.46/2013) dan tarif 0,5 persen (PP No.23 Tahun 2018), dan rasio kepatuhan pajak cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kepatuhan pajak, salah satunya adalah dengan rasio perbandingan antara wajib pajak yang terdaftar wajib SPT dengan wajib pajak yang menyampaikan SPT PPh Tahunan.

Dari Grafik 1 tersebut terlihat gap yang cukup tinggi antara jumlah UMKM dan jumlah wajib pajak yang membayar pajak dengan tarif tersebut. Terdapat dua kemungkinan penyebab dari fenomena ini, yaitu masih banyak kegiatan UMKM yang belum terekam dalam skema perpajakan atau pelaku UMKM membayar pajak penghasilannya menggunakan tarif normal sebagaimana diatur dalam Pasal 31E UU No.36 Tahun 2008.

 

Gambar 1. Perkembangan UMKM, Wajib Pajak, dan Rasio Kepatuhan Pajak 2015-2019

Sumber: diolah dari data Kemenkop UKM dan Kemenkeu, 2023

 

Dugaan penulis, hal ini lebih condong disebabkan masih banyaknya kegiatan UMKM yang belum terekam dalam skema perpajakan. Lebih lanjut, untuk meningkatkan tingkat kepatuhan pajak, diterbitkan PP No. 23 Tahun 2018 (perubahan atas PP No. 46 Tahun 2013) memberikan insentif dengan mengurangi tarif pajak UMKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Pajak UMKM tersebut dihitung berdasarkan peredaran bruto dengan tetap menggunakan prinsip presumptive tax, yaitu suatu metode perhitungan nilai pajak terutang berdasarkan indikator selain penghasilan neto. Dengan model pemungutan pajak tersebut dianggap sederhana dan mengurangi beban administrasi untuk wajib pajak maupun petugas pajak.

Pemberian insentif pajak memunculkan kekhawatiran akan penurunan pendapatan pajak di negara-negara berkembang dan maju. Oleh karena itu, penting bagi administrasi pajak untuk merancang dan memilih insentif pajak yang efektif berdasarkan evaluasi yang berkelanjutan, sambil memperhatikan keadilan dan kesederhanaan. Beberapa jenis insentif pajak terbukti lebih sukses daripada yang lain, contohnya kredit pajak investasi, yang lebih efektif daripada hanya mengecualikan laba dari pengenaan pajak (Carnahan, 2015).

Tulisan ini bertujuan menggambarkan pengaruh penurunan tarif pajak dari 1 persen (berdasarkan PP 46/2013) menjadi 0,5 persen (berdasarkan PP 23/2018) terhadap penerimaan negara dan kepatuhan pembayaran wajib pajak UMKM. Sementara itu, untuk perubahan kebijakan terkini berdasarkan PP 55/2022 terkait perubahan batasan peredaran bruto bagi wajib pajak orang pribadi yang termasuk UMKM belum dapat dievaluasi karena adanya keterbatasan data.

UMKM merupakan entitas bisnis yang karakteristik utamanya adalah memiliki jumlah tenaga kerja dan aset yang relatif terbatas. Biasanya, UMKM dimiliki dan dikelola oleh individu atau keluarga. Dalam konteks ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia, UMKM memegang peranan yang sangat signifikan karena kontribusinya dalam menciptakan pekerjaan, mendorong inovasi, dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi (World Bank, 2020). Meski demikian, UMKM kerap kali dihadapkan pada sejumlah kendala seperti akses ke modal yang terbatas, defisit keterampilan dan pengetahuan bisnis, serta penghalang regulasi. Untuk mendukung perkembangan UMKM, pemerintah dan berbagai pihak terkait telah menginisiasi sejumlah kebijakan dan program, antara lain menyediakan akses ke kredit, pelatihan dan pendidikan, serta mempermudah persyaratan regulasi (Asian Development Bank, 2019).

Pajak UMKM di Indonesia dihitung berdasarkan peredaran bruto dengan tetap menggunakan prinsip presumptive tax. Thuronyi (1996) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Tax Law Design bahwa presumptive taxation merupakan metode tidak langsung dalam menentukan kewajiban pajak. Presumptive merujuk pada anggapan bahwa jumlah penghasilan yang diperoleh wajib pajak tidak lebih rendah daripada jumlah penghasilan yang ditetapkan secara tidak langsung. Tidak semua negara menerapkan prinsip presumptive tax. Salah satu hasil penelitian Kasim dan Purwanto (2014) menemukan bahwa dari 20 negara OECD yang disurvei, terdapat beberapa negara yang juga menerapkan sistem presumptive. Berdasarkan hasil survei, terdapat dua jenis motif dalam penggunaan metode presumptive, yaitu: (1) pembukuan yang sederhana dan penyederhanaan pelaporan pajak, serta (2) peningkatan kepatuhan pajak, pengurangan penghindaran pajak, dan pemajakan yang adil.

Kepatuhan Pajak menurut Nurmantu (2005) adalah tindakan wajib pajak mematuhi seluruh kewajiban dan menggunakan hak pajaknya dengan tepat, dan tidak memiliki tunggakan atau keterlambatan dalam membayar pajak. Ada dua macam kepatuhan perpajakan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal mengacu pada pemenuhan kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, sedangkan kepatuhan material berarti pemenuhan ketentuan perpajakan secara substansial. Kepatuhan material dapat mencakup kepatuhan formal. Dengan demikian, wajib pajak yang mengisi SPT Tahunan Pajak Penghasilan dengan jujur, benar dan sesuai dengan ketentuan UU PPh serta menyampaikannya sebelum batas waktu dianggap memenuhi kepatuhan material dalam pengisian SPT.

Di samping itu, Zain (2008) menjelaskan bahwa kepatuhan wajib pajak merupakan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi dimana wajib pajak paham dan berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar dan membayar pajak tepat pada waktunya. Tingkat kepatuhan wajib pajak tersebut nantinya akan menjadi dasar Direktorat Jenderal Pajak untuk mengambil tindakan lebih lanjut, seperti upaya pembinaan, pemantauan dan tindak lanjut wajib pajak.

Berdasarkan data yang diterima dan kemudian diolah oleh penulis, maka jumlah partisipasi wajib pajak yang melakukan pembayaran PPh dengan tarif 1 persen dan 0,5 persen sepanjang tahun 2015-2021 dapat dilihat pada Grafik 2 sebagai berikut.

 

Gambar 2. Perkembangan Penerimaan PPh Final dan Rasio Kepatuhan Pajak

Sumber: DJP – Kemenkeu, 2023

 

Pada tahun 2015-2017, terlihat bahwa penerimaan PPh tarif 1 persen meningkat dengan rata-rata 21,7 persen per tahun. Dengan adanya perubahan tarif dari 1 persen menjadi 0,5 persen mulai bulan Juli 2018, penerimaan PPh dari insentif tarif tersebut menurun, dari Rp5,84 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp5,69 triliun pada tahun 2018. Penurunan penerimaan PPh ini berlanjut di tahun 2019 hingga 2021. Namun, sesuai dengan yang diharapkan dari perubahan kebijakan tarif, hal ini mampu meningkatkan jumlah wajib pajak yang melakukan pembayaran dengan tarif 0,5 persen pada tahun 2018-2019. Jika tidak ada pandemi Covid, dimungkinkan kenaikan ini terus terjadi. Penurunan penerimaan dan jumlah wajib pajak yang membayar dengan tarif 0,5 persen diduga dipengaruhi oleh pandemi Covid 19 yang direspon dengan ketentuan Pemerintah menerapkan pembatasan sosial skala besar.

Cahyani dan Noviari (2019) melakukan penelitian tentang pengaruh tarif pajak, pemahaman perpajakan dan sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data kuesioner kepada 100 wajib pajak orang pribadi UMKM di Singaraja, Provinsi Bali, sedangkan data sekunder tingkat kepatuhan pajak per wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Singaraja menggunakan data 2017. Metode penentuan sampel pada penelitian ini adalah accidental sampling dan teknis analisis data menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tarif pajak, pemahaman perpajakan dan sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM baik secara simultan maupun parsial.

Kemudian terdapat penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Kumaratih dan Ispriyarso (2020) dengan ruang lingkup wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa penurunan tarif pajak penghasilan bagi menjadi 0,5 persen berdasarkan PP 23/2018 memberikan pengaruh terhadap tingkat kepatuhan UMKM sebagai wajib pajak.

Sementara itu, Hermawan dan Ramadhan (2020) melakukan analisis statistik dengan menggunakan tes Mc Nemar dan wawancara, ditemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara perubahan tarif dengan kepatuhan wajib pajak untuk studi kasus di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Boyolali.

 

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan komparatif untuk melihat apakah terdapat perubahan antara sebelum dan sesudah pemberlakuan penurunan tarif 0,5 persen berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018. Pengujian dilakukan dengan 2 hipotesis sebagai berikut:

 

Tabel 1. Pengujian Hipotesis

Hipotesis Pertama

H0

Tidak terdapat perbedaan antara penerimaan pajak sebelum dan sesudah penerapan tarif PPh 0,5%

H1

Terdapat perbedaan antara penerimaan pajak sebelum dan sesudah penerapan tarif PPh 0,5%

Hipotesis Kedua

H0

Tidak terdapat perbedaan antara kepatuhan pajak sebelum dan sesudah penerapan tarif PPh 0,5%

H1

Terdapat perbedaan antara kepatuhan pajak sebelum dan sesudah penerapan tarif PPh 0,5%

 

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder terkait penerimaan pajak atas wajib pajak penghasilan bertarif 1 persen dan 0,5 persen serta kepatuhan pajak yang dilihat dari wajib pajak yang memenuhi pembayaran pajaknya. Data sekunder untuk periode bulanan sejak Januari 2015 sampai dengan Desember 2021 diperoleh dari Direktorat Jenderal Pajak dengan bentuk operasionalisasi variabel sebagai berikut:

1)    Variabel bebas (X1): Tarif 1%

Indikator: jumlah penerimaan pajak atas wajib pajak penghasilan dengan tarif 1% dari omzet selama 42 bulan berdasarkan PP No. 46/2013.

2)    Variabel bebas (X2): Tarif 0,5%

Indikator: jumlah penerimaan pajak atas wajib pajak penghasilan dengan tarif 0,5% dari omzet selama 42 bulan berdasarkan PP No. 23/2018.

3)    Variabel terikat (Y): Kepatuhan Wajib Pajak

Indikator berupa jumlah wajib pajak yang melakukan pembayaran PPh dengan tarif 1 persen dan 0,5 persen sepanjang Januari 2015 sampai dengan Desember 2021.

Perbandingan pengaruh kebijakan perubahan tarif tersebut dilakukan melalui analisis statistik non parametrik menggunakan alat perangkat lunak SPSS. Perbedaan rerata dua sampel yang saling berhubungan teridentifikasi dari hasil uji Wilcoxon signed ranks. Sebelum menguji hipotesis, dilakukan pemeriksaan deskriptif dan normalitas. Pengujian hipotesis dalam mengidentifikasi penerapan perubahan tarif 0,5% dilakukan pada hipotesis pertama terhadap penerimaan pajak dan hipotesis kedua terhadap kepatuhan wajib pajak.

 

Hasil dan Pembahasan

Perbandingan nilai minimun, maksimum, rata-rata serta standar deviasi dari penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak saat sebelum dan setelah implementasi perubahan tarif 0,5 persen diilustrasikan pada Tabel 2. Hasil deskriptif statistik menunjukkan penerimaan pajak sebelum perubahan tarif memiliki nilai terendah sebesar Rp197,88 miliar dan nilai tertinggi sebesar Rp752,68 miliar, sedangkan setelah penerapan perubahan tarif, nilai terendah penerimaan pajak senilai Rp160,82 miliar dengan nilai tertinggi sejumlah Rp566,90 miliar. Nilai penerimaan pajak sesudah penerapan perubahan tarif 0,5 persen lebih rendah dibanding sebelum penerapan perubahan tarif menjadi 0,5 persen. Sedangkan untuk nilai tengah penerimaan pajak sebelum dan setelah penerapan tarif 0,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan nilai standar deviasinya, artinya penyimpangan terhadap nilai rata-rata penerimaan pajak tetap relatif rendah saat sebelum ataupun setelah penerapan tarif 0,5 persen. Rata-rata penerimaan pajak turun sekitar Rp84,7 miliar setelah adanya penurunan tarif pajak.

 

Tabel 2. Hasil Uji Deskriptif (tabel baru)

Sumber: Data diolah, SPSS 2023

 

Nilai terendah kepatuhan wajib pajak dengan tarif 1 persen sebesar 318.101 wajib pajak dan nilai tertingginya 686.265 wajib pajak. Setelah perubahan tarif 0,5 persen sudah diterapkan, masing-masing nilai terendah dan tertinggi kepatuhan wajib pajak meningkat menjadi 339.530 dan 850.029 wajib pajak, sedangkan untuk nilai tengah kepatuhan wajib pajak sebelum dan setelah implementasi perubahan tarif 0,5 persen lebih besar dari standar deviasinya, yang artinya penyimpangan terhadap nilai rata-rata kepatuhan wajib pajak relatif rendah. Terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata jumlah wajib pajak setelah diterapkan tarif 0,5 persen sebesar Rp86.564 wajib pajak.

 

Tabel 3. Tabel Uji Normalitas

Sumber: Data diolah, SPSS 2023.

 

Pengujian normalitas dengan Shapiro-Wilk pada Tabel 3 digunakan karena data yang digunakan kurang dari 50. Nilai signifikasi (2 tailed) penerimaan pajak 1 persen, penerimaan pajak 0,5 persen, kepatuhan wajib pajak 1 persen dan 5 persen lebih rendah dari 0,05. Hasil tersebut mempresentasikan semua data tidak berdistribusi normal (0,000 < 0,05 dan 0,007 < 0,05) sebab masing-masing nilai sig. (2 tailed) di bawah 0,05. Oleh karena itu, perlu dilakukan Uji Wilcoxon Signed Ranks.

 

 

 

Tabel 4. Hasil Uji Wilcoxon Signed Ranks

Sumber: Data diolah, SPSS, 2023

 

Hasil ringkasan statistik deskriptif dari empat sampel penerimaan pajak serta kepatuhan wajib pajak sebelum dan setelah implementasi perubahan tarif 0,5 persen diilustrasikan pada Tabel 4. Data penerimaan pajak antara sebelum dan sesudah penerapan tarif 0,5 persen negative rank atau selisih data secara negatif senilai 23, yang berarti 23 kali (dalam satuan bulan) mengalami penurunan penerimaan pajak dari penerimaan pajak sebelum ke penerimaan pajak sesudah penerapan perubahan tarif 0,5 persen, dengan rata-rata penurunan sebesar 27,3. Untuk data kepatuhan wajib pajak antara sebelum dan setelah penerapan tarif 0,5 persen negative rank senilai 19, artinya hanya 19 kali (dalam satuan bulan) mengalami penurunan kepatuhan wajib pajak dari sebelum penerapan ke sesudah penerapan perubahan tarif 0,5 persen dengan peringkat rata-rata penurunan senilai 13,32.

Selisih peringkat positif antara penerimaan pajak sebelum dan sesudah adalah 19 data positif di mana terjadi kenaikan penerimaan pajak selama 19 kali (dalam satuan bulan) bulan dari penerimaan pajak sebelum ke penerimaan pajak setelah penerapan perubahan tarif menjadi 0,5 persen. Untuk selisih peringkat positif kepatuhan wajib pajak antara sebelum dan sesudah, yaitu senilai 23 data positif, yang mana terjadi peningkatan kepatuhan wajib pajak selama 23 kali (dalam satuan bulan) dari kepatuhan wajib pajak sebelum implementasi ke kepatuhan wajib pajak sesudah implementasi tarif 0,5 persen. Mean rank peningkatan untuk masing-masing data adalah 14,47 dan 28,26, sementara nilai ties 0 membuktikan bahwa tidak ada nilai yang sama antara penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak sebelum dan sesudah pengimplementasian penurunan tarif menjadi 0,5 persen.

 

 

 

 

 

Tabel 5. Ringkasan Statistik Deskriptif

Sumber: Data diolah, SPSS, 2023

 

Pengujian dengan Wilcoxon Signed Ranks dipilih untuk mengidentifikasi perbedaan signifikan pada penerimaan pajak serta kepatuhan wajib pajak terkait penerapan perubahan tarif PPh menjadi 0,5 persen. Nilai Z (pada penerimaan pajak) yang disajikan pada Tabel 5, senilai -2,207 beserta p value (Asymp. Sig 2 tailed) adalah 0,027 (dengan 0,027 < 0,05). Hasil tersebut mengungkakan H0 ditolak. Dengan demikian, dari hipotesis pertama sebagaimana tertuang dalam pada Tabel 1, maka diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan penerimaan pajak yang signifikan antara sebelum dan setelah implementasi perubahan tarif PPh 0,5 persen sesuai PP No. 23 Tahun 2018.

Selanjutnya, nilai Z pada kepatuhan wajib pajak adalah -2,482 dengan p value (Asymp. Sig 2 tailed) senilai 0,013 (dimana 0,013 < 0,05) sehingga H0 ditolak. Dengan kata lain, dari hipotesis yang kedua sebagaimana tertuang dalam pada Tabel, maka dapat diinterpretasikan terdapat perbedaan signifikanpada kepatuhan wajib pajak sebelum dan sesudah penerapan perubahan tarif menjadi 0,5 persen.

Terkait dengan analisis perubahan tarif berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cahyani dan Noviari (2019), Kumaratih dan Ipriyarso (2020), dan Hermawan dan Ramadhan (2020). Namun demikian, dari perbedaan metode dan lokasi data, maka diperoleh arah perubahan yang berbeda pula. Cahyani dan Noviari menemukan bahwa perubahan tarif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pajak di Singaraja - Bali, dengan menggunakan pendekatan kepatuhan pajak dari rasio penerimaan dibandingkan dengan target penerimaan PPh tarif 1 persen. Kemudian, Kumaratih dan Ispriyarso (2020) menemukan bahwa tingkat kepatuhan pajak UMKM di wilayah KPP Pratama Semarang menurun pasca penurunan tarif menjadi 0,5 persen, diduga belum mengetahui perubahan kebijakan tersebut. Pendekatan kepatuhan pajak yang digunakan perkiraan penerimaan PPh dibandingkan dengan realisasi penerimaannya. Sementara itu, Hermawan dan Ramadhan (2020) dengan fokus penelitian di wilayah KPP Pratama Boyolali, menemukan bahwa jumlah wajib pajak yang melakukan pembayaran PPh final dengan tarif 0,5 persen (tarif PP No.23/2018) mengalami kenaikan dibandingkan saat masih menggunakan tarif PP No. 46/2013.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa perubahan tarif, dalam hal ini penurunan tarif PPh Final UMKM berdasarkan PP No.23 Tahun 2018 memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan negara dan kepatuhan pembayaran wajib pajak ditinjau keseluruhan wajib pajak, baik dari wajib pajak orang pribadi maupun badan. Hal ini diketahui dari uji Wilcoxon Signed Ranks yang yaitu penolakan H0 dari hipotesis 1 (satu) dan hipotesis 2 (dua) yang diinterpretasikan terdapat perbedaan signifikan pada penerimaan negara dan kepatuhan wajib pajak saat sebelum dan setelah penerapan perubahan tarif PPh menjadi 0,5 persen.

 

 

BIBLIOGRAPHY

 

Asian Development Bank. (2019). Micro, small, and medium-sized enterprises development in Indonesia. Retrieved from https://www.adb.org/sites/default/files/publication/503301/indonesia-msme-development.pdf

Cahyani, L. P., & Noviari, N. (2019). Pengaruh Tarif Pajak, Pemahaman Perpajakan, dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM. E-Jurnal Akuntansi, 1885 - 1911.

Carnahan, M. (2015). Taxation Challenges in Developing Countries. Asia & the Pacific Policy Studies, 169-182.

Hermawan, A. K., & Ramadhan, M. R. (2020). Pengaruh Perubahan Tarif PPh UMKM Terhadap Kepatuhan Pembayaran Pajak di KPP Pratama Boyolali. Prosiding Simposium Nasional Keuangan Negara, 43-58.

Kasim, E. S., & Purwanto, T. A. (2014). Perbandingan Kebijakan Pajak Penghasilan atas UKM di Indonesia dengan Negara-Negara Anggota OECD. Jurnal Vokasi Indonesia Vol. 2 No.2, 1-17.

Kementerian Koperasi dan UKM. (2023, June 27). Data UMKM. Retrieved from Kementerian Koperasi dan UKM: https://kemenkopukm.go.id/data-umkm/?9a4bp1pWDL62hmRNq3qVvYAHwC9xIC9zZ2ft2D3SY4KTdKOJce

Kumaratih, C., & Ispriyarso, B. (2020). Pengaruh Kebijakan Perubahan Tarif PPH Final Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pelaku UMKM. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 158-173.

Nurmantu, S. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit.

Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Tata Cara dan Ketentuan Umum Perpajakan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2013). Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2018). Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Usaha Bruto Tertentu. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2021). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2022). Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 22 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Rosdiana, H. (2008). Rekonstruksi Konsepsi Supply-side Tax Policy. BISNIS & BIROKRASI: Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi , 202-205.

Thuronyi, V. (1996). Tax Law Design and Drafting. Washington DC: International Monetary Fund.

World Bank. (2020). Micro, small, and medium enterprises (MSMEs). Retrieved from https://www.worldbank.org/en/topic/msmes

Zain, M. (2008). Manajemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.

 

 

Copyright holder:

Guntur Herprabangkoro, Haula Rosdiana (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: