Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 12, Desember
2024
TAHAPAN IMPLEMENTASI AGILE SOFTWARE DEVELOPMENT AREA QUALITY DI BIO FARMA
Universitas Tanri Abeng, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan
merancang tahapan implementasi metode Agile Software Development (ASD) di area
kualitas Bio Farma yang memiliki tingkat regulasi tinggi dalam sektor farmasi. Dalam
satu dekade terakhir, transformasi digital menjadi topik yang selalu menarik
untuk dibahas dan banyak perusahaan yang mulai melakukan hal tersebut. Dalam prakteknya, untuk melakukan transformasi digital
di perusahaan masing-masing, perusahaan di Indonesia mulai menggunakan konsep
pengembangan sistem digital berbasis Agile
Software Development / Pengembangan Perangkat Lunak dengan cara yang tangkas. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif. Hasil penelitian ini adlaah kondisi Bio Farma saat ini
menunjukkan bahwa tim IT secara umum cukup siap dalam budaya dan kebiasaannya
saat ini untuk mengimplementasikan metode agile,
meskipun masih banyak ruang untuk improvement. Tahapan yang perlu dilakukan oleh Bio Farma untuk implementasi metode
agile dalam proses pengembangan perangkat lunak di area quality terdiri dari
lima tahapan yang perlu dilakukan oleh Bio Farma untuk menerapkan ASD di area
quality, yaitu:1) menyusun tim change management, 2) merekrut Subject Matter
Expert (SME), 3) menyelenggarakan training metode agile, 4) menganalisis metode
agile yang tepat di Bio Farma, dan 5) menyesuaikan SOP pengembangan
dan validasi aplikasi sesuai dengan motode agile
yang sesuai.
Kata
kunci:
Agile Software Development, Area Quality, Bio Farma
Abstract
This study aims to
explore and design the stages of the implementation of the Agile Software
Development (ASD) method in the quality area of Bio Farma which has a high
level of regulation in the pharmaceutical sector. In the last decade, digital
transformation has always been an interesting topic to discuss and many
companies have started to do so. In practice, to carry out digital
transformation in their respective companies, companies in Indonesia have begun
to use the concept of digital system development based on Agile Software
Development in an agile way. The approach used in this study is qualitative.
The results of this study show that the current condition of Bio Farma shows
that the IT team in general is quite ready in its current culture and habits to
implement agile methods, although there is still a lot of room for improvement.
The stages that need to be carried out by Bio Farma for the implementation of
agile methods in the software development process in the quality area consist
of five stages that need to be carried out by Bio Farma to implement ASD in the
quality area, namely: 1) compiling a change management team, 2) recruiting
Subject Matter Experts (SME), 3) organizing agile method training, 4) analyzing
the right agile method in Bio Farma, and
5) adjust the SOP for application development and validation in accordance with
the appropriate agile motto.
Keywords: Agile Software Development, Quality Area, Bio Farma
Pendahuluan
Dalam satu dekade terakhir, transformasi digital menjadi
topik yang selalu menarik untuk dibahas dan banyak perusahaan yang mulai
melakukan hal tersebut. Terutama sejak pandemi Covid-19, khususnya di Indonesia
tahun 2020, mengubah kebiasaan dalam menggunakan teknologi digital menjadi
suatu keharusan. Masyarakat tidak lagi dapat bekerja di kantor dengan bertatap
muka melainkan harus melakukan pekerjaannya di rumah, terutama bagi mereka yang
mengerjakan pekerjaan administratif, bukan pekerjaan seperti operator pabrik,
teknisi perbaikan alat, layanan kebersihan, dsb yang harus bersentuhan langsung
dengan alat/objek fisik yang dikerjakan (Bambazek et al., 2024). Hal ini menyebabkan pengunaan teknologi digital
untuk bekerja, seperti aplikasi rapat online
(Zoom, Google meet, Ms. Teams, dll), platform sharing folder (Google drive, One drive, on-premise sharing
folder, dll), dan aplikasi chatting
(WhatsApp, Telegram, Slack, Discord, dll)
yang digunakan secara resmi untuk berkomunikasi dalam pekerjaan menjadi hal
yang sangat umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari (Perdiyanti & Faeni,
2021).
Selain itu, dewasa ini perusahaan mulai paham pentingnya
data yang mereka miliki untuk mereka olah sendiri untuk membantu manajemen
dalam pengambilan keputusan yang cepat. Seperti yang dikatakan Matematikawan
Inggris, Humby, (2006) “Data is the
new oil” yang berarti nilai suatu data yang kita miliki atau yang dapat
kita kumpulkan sangatlah tinggi (Henriette et al., 2016). Laju transformasi digital di Indonesia saat ini
dapat dilihat dari perubahan perilaku maupun budaya kerja, keterhubungan antar
orang per orang, orang ke entitas, dan entitas ke entitas saat ini pun menjadi
mudah. Sistem komputasi awan (cloud
computing) mengalami peningkatan penggunaan, terlihat pula dari 2 raksasa
penyedia komputasi awan GCP (Google Cloud
Platform) pada tahun 2020 dan AWS (Amazon
Web Services) pada tahun 2021 telah membangun Data Center mereka di Indonesia sebagai sinyal kuat akan kebutuhan
pasar pengguna Cloud di Indonesia
saat ini. Hal ini sejalan dengan pemerintah yang telah menyusun arah
transformasi digital 2024 dimana
pertumbuhan ekonomi digital harus mencapai 3,17% sampai 4,66%, berdasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) bahwa setelah gerakan Making Indonesia 4.0 pemerintah akan
memanfaatkan ekonomi digital untuk meningkatkan efisiensi hulu-hilir serta
memberi kontribusi nilai tambah industri
pengolahan secara agresif pada perekonomian .(Khairunnisa, 2019)
Dalam prakteknya, untuk melakukan transformasi digital di perusahaan masing-masing, perusahaan di
Indonesia mulai menggunakan konsep pengembangan sistem digital berbasis Agile Software Development /
Pengembangan Perangkat Lunak dengan cara yang tangkas (Benito-Pacheco et al.,
2023). Metode ini dianggap menjadi cara yang tepat dan sesuai
dengan kondisi masyarakat saat ini untuk melakukan suatu pengembangan sistem
digital. Berdasarkan data yang dikutip dari beberapa artikel daring dapat
dilihat dari beberapa perusahaan BUMN seperti BRI, Nindya Karya, Telkom,
Peruri, Semen Indonesia, Mandiri, BNI,
Pegadaian, dan termasuk Bio Farma (Berbagai sumber, artikel, berita, website, seminar, dll) telah mencoba
menerapkan konsep Agile Software
Development dalam proses pengembangan produk/proyek digitalnya.
Namun, berdasarkan hasil penelitian beberapa perusahaan
yang telah belajar dan mendapatkan training
mengenai Agile Software Development
tetapi gagal pada saat implementasinya (Abrahamsson et al., 2017;
Kozak-Holland & Procter, 2019). Berdasarkan VersionOne, 3 alasan utama proyek
yang menggunakan metode agile adalah
pengalaman yang tidak cukup terhadap metode agile,
pemahaman yang kurang terhadap kebutuhan perubahan secara organisasional agar dapat menerapkan metode agile, dan filosofi atau budaya
perusahaan yang bertentangan dengan nilai-nilai agile (Miller, 2013).
Saat ini, PT Bio Farma (Persero) (selanjutnya disebut Bio
Farma) sedang dalam proses bertransformasi digital seluruh proses bisnisnya,
termasuk area quality. Area quality disini adalah seluruh area atau
unit di Bio Farma yang bertugas untuk memproduksi, menguji, dan menjamin bahwa
seluruh unsur dan proses dalam pembuatan produk farmasi berada dalam kualitas
yang baik dan memenuhi standar regulasi tempat produk farmasi itu diedarkan,
seperti BPOM untuk area Indonesia dan WHO untuk pembelian dan pendistribusian
produk farmasi melalui UNICEF.
Pada 1 Februari 2021, berdasarkan hasil rapat direksi
diputuskan bahwa Bio Farma mengadakan proyek pengembangan sistem perangkat
lunak di area quality sebagai bagian
dari proses transformasi digital di perusahaan. Bulan November 2021 menjadi
langkah pertama proyek pengembangan perangkat lunak tersebut, dimulai dengan
pengembangan aplikasi untuk melakukan Environment
Monitoring untuk Mikrobiologi dan Partikel. Dalam perjalanannya, proyek ini
berjalan dengan cukup lama, yang direncanakan selesai di bulan April 2022,
hingga saat ini (Juli 2023) masih belum selesai, sudah memasuki tahap akhir,
yaitu proses training ke user. Kemunduran timeline terhadap target ini disebabkan User Requirement yang kerap berubah di setiap tahapan pengembangan
sistem yang dilakukan. Hal ini membuat komitmen penyelesaian proyek yang
disepakati bersama jajaran direksi menjadi tidak tercapai.
User
Requirement yang kerap berubah
ditengah jalan mengindikasikan kebutuhan Bio Farma terhadap proses pengembangan
sistem berbasis agile. Namun, Bio
Farma dituntut juga untuk selalu comply terhadap
regulasi termasuk dengan bagaimana cara melakukan validasi pengembangan
perangkat lunaknya. Karena bukan hanya produk farmasi yang harus mengikuti
ketentuan regulasi, tetapi juga perangkat lunak/sistem komputerisasi yang
digunakan pada proses quality.
Oleh karena itu, diperlukan observasi yang tepat terhadap
kondisi perusahaan, analisis terhadap hasil observasi tersebut, merancang
metode agile yang tepat, dan membuat
langkah kerja yang konkrit untuk mempersiapkan dan melakukan penerapan metode Agile Software Development yang tepat di
perusahaan. Penelitian ini akan berfokus mengenai penerapan metode Agile Software Development dengan studi
kasus pengembangan sistem di area quality
Bio Farma yang memiliki tingkat regulasi yang tinggi di dalam sektor perusahaan
farmasi. Kerangka kerja ini akan disesuaikan dengan kebutuhan tata kelola suatu
perusahaan farmasi sekaligus bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi dan merancang tahapan implementasi metode Agile Software
Development (ASD) di area kualitas Bio Farma yang memiliki tingkat regulasi
tinggi dalam sektor farmasi. Dengan pendekatan studi kasus, penelitian ini berusaha
menganalisis kesiapan tim IT, pemilik proses, dan unit kualitas dalam mendukung
penerapan metode ASD. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam mengadopsi metode Agile, serta
menyediakan rekomendasi strategis untuk menyelaraskan kebutuhan pengembangan
perangkat lunak dengan kepatuhan regulasi di sektor farmasi.
Hasil penelitian ini memiliki
beberapa implikasi penting, baik secara teoretis maupun praktis. Secara
teoretis, penelitian ini memperkaya literatur terkait implementasi Agile
Software Development dalam sektor yang diatur ketat seperti farmasi, dengan mempertimbangkan
integrasi regulasi dan fleksibilitas metode Agile. Secara praktis, penelitian
ini memberikan panduan konkret bagi perusahaan farmasi dalam mempersiapkan
transformasi digital melalui penerapan metode Agile yang efektif. Rekomendasi
seperti pembentukan tim Change Management, pelatihan khusus metode Agile, dan
penyesuaian SOP dapat membantu organisasi lain dalam menghadapi tantangan
serupa. Penelitian ini juga membuka peluang kolaborasi antara pengembang
perangkat lunak dan industri farmasi untuk mengoptimalkan pengembangan sistem
berbasis Agile.
Metode Penelitian
Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Hal ini dilakukan untuk
menjawab bagaimana implementasi metode Agile
Software Development (ASD) yang tepat untuk diterapkan dalam proses
pengembangan perangkat lunak di Bio Farma. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus. Data penelitian dikumpulkan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada stakeholder (IT team, process owner, dan quality unit) pengembangan perangkat
lunak dan FGD kepada ahli pengembangan perangkat lunak di Bio Farma.
Dalam
penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan merupakan data primer. Sumber data
primer yang pertama dikumpulkan berupa hasil survei dengan kuesioner yang diisi
oleh stakeholder pengembangan
perangkat lunak area quaity Bio
Farma. Sumber data primer yang kedua dikumpulkan dari hasil FGD dengan
narasumber ahli pengembangan perangkat lunak Bio Farma.
Kondisi Kesiapan Bio Farma dalam Penerapan Agile Software
Development (ASD) di Area Quality
Kesiapan IT Team
Kuesioner yang diambil dari (Info-Tech Research Group , 2024) ini dikonsolidasi ke dalam empat kelompok penilaian, yaitu seluruh responden, level jabatan Assistant Vice President (AVP), level jabatan Senior Officer (SO), dan Officer. Berdasarkan referensi tersebut skor total dari hasil rata-rata setiap responden dijumlahkan untuk seluruh pernyataannya, rekomendasi tindak lanjut, dan detail deskripsi yang didapatkan dari setiap kelompok di atas adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Rekapitulasi hasil survei IT Team
Responden |
Skor |
Rekomendasi
Tindak Lanjut |
Detail
Deskripsi |
Seluruh IT |
215,25 |
Scale |
Guide
Business Units and IT on how to Partner to become Agile as practices scale
across the organization. |
AVP IT |
201,00 |
Scale |
|
SO IT |
193,60 |
Scale |
|
Officer IT |
222,80 |
Satisfy |
Enable Champions as they
introduce Product-centric delivery practices to drive greater benefits and
delivery outcomes. |
Berdasarkan hasil rekapitulasi tersebut, secara umum tim IT memiliki kesiapan di level 3, yaitu “Scale”. Berdasarkan (Brick, 2017), artinya Bio Farma perlu memberikan panduan kepada unit bisnis (dalam penelitian ini disebut process owner dan quality unit) dan departemen IT dalam bekerja sama untuk menjadi lebih agile ketika praktik-praktik agile semakin meluas di dalam organisasi.
Kondisi tersebut dikonfirmasi oleh beberapa narasumber pada saat FGD sebagai berikut:
1. “Waktu itu kita sudah pernah menerapkan juga,
disaat Q100+ terbentuk. Melakukan scrum dan
lain-lain dengan cukup baik menurut saya saat itu. ... Tim IT ready lah kalau menurut saya, namun kita
harus benahi lingkungan.”, AVP1.
2. “Jadi tim itu punya skill mereka, skill agile,
dan availability untuk melakukan agile terhadap existing method-nya.”, AVP2.
3. “Sudah tahu lah sebetulnya dengan agile ini, mereka dapat benefit apa saja
sudah tahu. Dan yang kita jalani sekarang itu udah semi sih sebetulnya. Dengan
adanya squad, teman-teman bisa bisa autonom gitu kan.”, AVP3.
Namun, terdapat beberapa hal yang masih menjadi catatan untuk di improve oleh tim IT saat ini seperti belum adanya Subject Matter Expert (SME) di bidang farmasi sehingga dalam proses pengambilan keputusan pada saat pengembangan aplikasi, tim IT harus selalu menunggu untuk berdiskusi dengan user, tidak dapat memutuskan sendiri. Sehingga tim belum bisa bergerak secara agile.
Opsi solusi untuk mengatasi masalah tersebut ada 3 hal. Pertama, merekrut SME, baik dari dalam atau dari luar Bio Farma. Kedua, melatih atau merekrut sistem analis yang memahami industri farmasi, khususnya Bio Farma yang notabene adalah perusahaan life science yang sangat jarang di Indonesia. Ketiga, melatih atau merekrut Project Manager (PM) yang mengetahui proses bisnis perusahaan life science. Tiga opsi tersebut disampaikan oleh para narasumber pada saat FGD sebagai berikut:
“Karena kita memang bisnisnya
farmasi, berarti harus ada SME farmasi, yang paling penting itu. ... . Supaya
pas kita ke mereka (user), begitu ke mereka argo kita bisa babak belur kalau
tidak ada SME-nya.”, AVP1.
“Sistem analis itu yang benar-benar
tahu proses bisnis kebutuhan user sampe tektek-bengeknya. Karena dia itu bisa
paham proses bisnis dan paham juga di IT-nya.”, SO1.
“Jadi, kalau disana (di perusahaan
narasumber sebelumnya), PM iya, SA (Sistem Analis) juga iya. Jadi, bukti
nyatanya, dia itu sekarang sampai bisa di-hire oleh konsumen kita, Kementerian
Keuangan Singapura.”, SO2.
Selain perlunya SME dalam tim IT, masih banyak ruang improvement baik secara skill dari masing-masing tim IT ataupun juga ruang pengembangan di sisi user dan kesisteman di Bio Farma. Karena agile ini bukan hanya tentang tim IT, tetapi lebih besar daripada itu. Pendapat ini dikemukakan oleh narasumber sebagai berikut:
“Saya pernah bekerja di perusahaan
multinasional dan saya punya referensi execution agile yang proper. Jadi saya
melihat masih banyak room for improvement, walaupun sebenarnya basic skill-nya
sudah bisa, tapi harus di-execute dan butuh waktu sebenarnya. Termasuk
orang-orangnya yang dicari juga yang memang punya mentality agile itu, tetapi
memang problemnya adalah di sisi surrounding-nya. Dari kondisi SOP, kondisi HC,
kondisi apapun surrounding yang support IT tim ini berjalan.”, AVP2.
“Kalau yang officer-officer
kenapa mostly jauh, itu bukan karena project-nya belum banyak, tapi mereka
itu lompat ke company lainnya itu
belum banyak. Nomor satu itu permasalahannya adalah masing-masing squad menurut saya sih, secara skill itu belum merata.”, SO2.
Kesiapan Process Owner
Tabel 2. Rekapitulasi hasil survei semua User dan Process Owner
Kelompok
GAMP 5 |
Unit
Kerja |
Dimensi |
Rata-Rata |
Rata-Rata
Total |
Semua |
Semua |
Agile
Manifesto |
3.07 |
3.87 |
User
Engagement |
3.91 |
|||
SDLC |
4.09 |
|||
Dedicated
Team |
4.40 |
|||
Digital
Transformation |
3.70 |
|||
Process
Owner |
Produksi, QC, Teknik, Gudang |
Agile
Manifesto |
3.18 |
3.95 |
User
Engagement |
3.96 |
|||
SDLC |
4.16 |
|||
Dedicated
Team |
4.53 |
|||
Digital
Transformation |
3.77 |
|||
Process
Owner |
Produksi |
Agile
Manifesto |
3.40 |
3.88 |
User
Engagement |
3.87 |
|||
SDLC |
4.04 |
|||
Dedicated
Team |
4.31 |
|||
Digital
Transformation |
3.73 |
|||
Quality
Control |
Agile
Manifesto |
3.03 |
3.89 |
|
User
Engagement |
3.91 |
|||
SDLC |
4.18 |
|||
Dedicated
Team |
4.70 |
|||
Digital
Transformation |
3.43 |
|||
Teknik |
Agile
Manifesto |
3.08 |
4.25 |
|
User
Engagement |
4.33 |
|||
SDLC |
4.42 |
|||
Dedicated
Team |
5.00 |
|||
Digital
Transformation |
4.33 |
|||
Gudang |
Agile
Manifesto |
2.69 |
4.12 |
|
User
Engagement |
4.18 |
|||
SDLC |
4.44 |
|||
Dedicated
Team |
4.67 |
|||
Digital
Transformation |
4.42 |
Berdasarkan hasil kuesioner di atas, yaitu User yang masuk ke dalam kelompok Process Owner, yaitu Produksi, Quality Control, Teknik, dan Gudang,
secara umum seluruh user memahami dan
setuju mengenai hal-hal yang menjadi indikator kesiapan penerapan agile software development (ASD) dengan
nilai rata-rata 3,95 yang artinya netral kurang 0,05 poin menuju setuju dengan
setiap pernyataan yang diberikan. Namun, ada beberapa hal yang kurang disetujui
oleh rata-rata responden yang akan dibahas dalam beberapa bagian di bawah ini.
Dimensi yang paling mencolok adalah nilai untuk
pemahaman terkait agile manifesto,
yaitu 3,18. Hal ini disebabkan karena konsep agile manifesto yang memang berlawanan dengan konsep GMP (Good Manufacturing Pratices). Salah satu
kaidah agile manifesto adalah
aplikasi yang berjalan dibandingkan dokumentasi (Al-Saqqa et al., 2020). Sedangkan dalam konsep GMP menurut WHO Organization, (2024) adalah mendefinisikan langkah-langkah kualitas
untuk produksi dan kontrol kualitas serta menetapkan langkah-langkah umum untuk
memastikan bahwa proses yang diperlukan untuk produksi dan pengujian
didefinisikan dengan jelas, divalidasi, ditinjau, dan didokumentasikan.
Dokumentasi menjadi hal yang penting dalam GMP karena setiap langkah kerja yang
dilakukan harus terdokumentasi dengan baik dan menjadi dasar perilisan suatu
produk. Di bawah ini konfirmasi dari narasumber terkait pemahaman agile manifesto oleh user.
“Tapi sebenarnya memang kayaknya sih
perlu dijelaskan maksudnya agile manifesto terutama terkait dalam dokumen itu
kan bukan berarti dia tidak ada dokumentasi. Cuma ya, sebenarnya yang CSA
(Computer System Assurance) itu mengarah ke sini nih, sebenarnya. Yang CSA itu,
makanya apa transisi antara CSV ke CSA itu karena mau menerapkan agile
manifesto yang dokumentasi itu sebenarnya.”, AVP1.
Fakta berikutnya yang didapatkan dari hasil
kuesioner ini adalah ketersediaan waktu user
dalam mengikuti/mendampingi proses pengembangan aplikasi yang dirasa
kurang, karena kesibukan pekerjaan operasional mereka sehari-hari. Poin
pernyataan ini mendapatkan nilai 4,06 dari responden process owner, khususnya di area produksi (4,00) dan quality control (4,50). Hal ini berpotensi menghambat proses
pengembangan aplikasi secara umum, terutama dengan konsep agile yang mendorong pengembangan yang berkelanjutan, yang didukung
penuh oleh sponsor, pengembang, dan pengguna (Wallström, 2021). Berikut pendapat tambahan dari narasumber terkait
pernyataan ini.
“Jadi sangat
dipengaruhi juga oleh tingkat kesibukan mereka. Sebenarnya untuk support digitalisasi, keinginan ada.
Mereka availability-nya yang mungkin
sebagian agak kurangnya karena mungkin fokus ke pekerjaan yang mereka kerjakan
sehari-hari.”, AVP1.
“Tapi kalau dari saya
sih memang kayaknya ini terpecah juga. Ada yang kayaknya siap nih, kayak
teknik, makanya bisa gitu. Tapi akan terbentur lagi ke teman-teman QA. Mungkin
kalau tadi hasilnya di gudang pun, kayaknya juga siap terhadap waktu, tapi akan
jadi bottle-neck lagi di QA. Kayak
gitu sih. Lihat juga dari segmentasi si user-nya
juga sih.”, SO1.
Kesiapan Quality Unit
Tabel 3. Rekapitulasi hasil survei
semua User dan Quality Unit
Kelompok
GAMP
5 |
Unit
Kerja |
Dimensi |
Rata-Rata |
Rata-Rata
Total |
Semua |
Semua |
Agile
Manifesto |
3.07 |
3.87 |
User
Engagement |
3.91 |
|||
SDLC |
4.09 |
|||
Dedicated
Team |
4.40 |
|||
Digital
Transformation |
3.70 |
|||
Quality
Unit |
Quality
Assurance |
Agile
Manifesto |
2.91 |
3.75 |
User
Engagement |
3.83 |
|||
SDLC |
3.98 |
|||
Dedicated
Team |
4.22 |
|||
Digital
Transformation |
3.58 |
Berdasarkan hasil kuesioner di atas, yaitu User yang masuk ke dalam kelompok Quality Assurance yang dalam penelitian
ini disebut sebagai Quality Unit,
secara umum seluruh user memahami dan
setuju mengenai hal-hal yang menjadi indikator kesiapan penerapan agile software development (ASD) dengan
nilai rata-rata 3,75 yang artinya netral kurang 0,25 poin menuju setuju dengan
setiap pernyataan yang diberikan. Namun, ada beberapa hal yang kurang disetujui
oleh rata-rata responden yang akan dibahas dalam beberapa bagian di bawah ini.
Tingkat persetujuan terhadap konsep agile manifesto oleh tim QA mendapatkan
nilai 2,91. Seperti yang telah dibahas di atas, bahwa konsep GMP berlawanan
dengan konsep agile, meskipun saat
ini telah digaungkan konsep Computer
System Assurance (CSA), validasi dan dokumentasi berbasis risiko mutu, di
dalam GAMP 5 edisi kedua untuk mengurangi kompleksitas proses dokumentasi (Pedro et al., 2023).
Terdapat kendala lain yang disampaikan tim QA,
yaitu ragu-ragu dan kurangnya waktu yang tersedia untuk mendukung dan
mendampingi proses pengembangan aplikasi yang disampaikan oleh 12 dari 23 orang
QA dengan poin rata-rata 3,30.
Hal lain yang menjadi kendala selanjutnya adalah
ragu-ragu dan kurangnya pengetahuan tim QA dalam tahap proses pengembangan
aplikasi dengan poin rata-rata 3,22. Hal ini diperkuat dengan konfirmasi dari
narasumber bahwa perlunya pelatihan yang diberikan kepada user untuk memberikan pemahaman pengembangan aplikasi termasuk
konsep agile di dalamnya.
“Menurut saya jadi training dulu, biar sama. Abis itu,
begitu semua punya pengetahuan yang sama, kita diskusi mau pilih metode yang
mana. Saran saya, bagian validasinya dikurangi sedikit.”, AVP2.
Hal lain yang menjadi kendala selanjutnya adalah
ragu-ragu dan kurangnya fokus dan dukungan dari top management terkait proses transformasi digital dengan poin
rata-rata 3,35. Terdapat 5 orang yang menjawab tidak setuju terhadap pernyataan
dukungan top management ini. Hal ini
berpotensi menghambat proses agile dan
proses pengembangan aplikasi secara umum sesuai dengan hasil penelitian
Wallström (Wallström, 2021).
Terdapat pula 5 orang yang menjawab setuju dan
sangat setuju pada pernyataan tentang masih adanya rekan kerja yang resisten
terhadap perubahan (dalam konteks digital
transformation) dan meyakini bahwa perubahan tidak diperlukan.
Menyusun tim Change Management (CM)
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
berdiskusi dengan top management atau
jajaran direktur yang membawahi direktorat yang membidangi IT dan quality (produksi, quality control, teknik, gudang, dan quality assurance). Diskusi ini bertujuan untuk menyampaikan
pentingnya penerapan agile software
development (ASD) di area quality Bio
Farma untuk menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan rasio keberhasilan
proyek pengembangan aplikasi baik dari sisi waktu, biaya, dan kualitas. Seperti
yang dikatakan Wallström, (2021) salah satu untuk keberhasilan agile adalah komitmen dari project
sponsor. Hal ini sejalan dengan roadmap
Bio Farma guna mendukung suksesnya transformasi
digital di seluruh lini bisnisnya, khususnya di area manufaktur yang juga
“dipaksa” untuk berubah lebih mature dari
sisi data integrity karena regulasi.
Setelah mendapatkan persetujuan untuk menerapkan agile, selanjutny adalah menyusun task force yang berfungsi untuk mengawal
proses perubahan budaya yang disebut dengan tim Change Management (CM). Tim ini akan berfungsi dari mulai
menyesuaikan struktur organisasi, merekrut Subject
Mattter Expert (SME), pelaksanaan training,
memilih metode agile yang tepat, menyesuaikan (membuat baru, mengubah,
atau menonaktifkan) SOP terkait pengembangan aplikasi, dan mengevaluasi proses
perubahan ini setelah implementasi.
Berikut kutipan diskusi terkait kebutuhan tim change management yang disampaikan oleh
narasumber.
“Bagaimana kita
meyakinkan para pemegang kebijakan (top
management) yang lebih dalam. Bisa jadi kalau itu memang berdasarkan
keputusan bisnis, beberapa hal itu yang pernah dilakukan di kita, manajemen
membuat task force, itu kan biasanya
tim khusus yang mengamankan entah itu dari sisi SOP-nya, entah dari user-nya
dan lain sebagainya. change management
juga sih strateginya.”, AVP3.
“Kita butuh change
management, butuh transfer knowledge
ke mereka (user), atau memberi tahu
ke mereka bahwa pengembangan sistem seperti ini, agile-nya seperti ini, maksud dari agile-nya seperti ini.”,
Hal lain yang dapat membantu proses implementasi agile adalah menunjuk perwakilan karyawan yang berada di masing-masing unit, yang dekat dengan user, untuk menyampaikan dan menularkan semangat perubahan sebagai perpanjangan tangan dari tim CM. Sesuai dengan pendapat dari narasumber dalam diskusi di bawah ini.
“Satu lagi yang paling
penting, champion. Orang yang berada
dekat dengan user yang bisa
menyampaikan dan menularkan semangat perubahan.”, SO2.
Merekrut Subject Matter Expert (SME)
Langkah yang kedua adalah menyesuaikan struktur organisasi IT dan merekrut Subject Matter Expert (SME) yang memahami proses bisnis farmasi, khususnya farmasi life science sesuai dengan core produk Bio Farma. Hal ini bertujuan untuk menjembatani pengetahuan yang dimiliki user terkait proses bisnis agar dapat disampaikan kepada IT dan menjadi User Requirement Specification (URS) yang disepakati bersama.
Selain memahami seluk beluk proses bisnis life science, SME ini juga harus paham mengenai regulasi terbaru yang berkaitan dengan bisnis Bio Farma, seperti GxP (Good X Practices, seperti GMP = Good Manufacturing Practices, GLP = Good Laboratory Practices, GDP = Good Distribution Pratices), WHO TRS (Technical Report Series), dan CPOB (Cara Produksi Obat yang Baik) dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).
Tujuan lain dari perekrutan SME ini adalah untuk mengurangi waktu testing atau validasi berulang yang perlu dilakukan user selama proses pengembangan aplikasi secara agile, karena proses agile ini akan memiliki iterasi yang sering dan banyak.
Berikut kutipan pendapat dari para narasumber terkait perubahan struktur organisasi dan tujuan kebutuhan SME.
“Yang tadi disampaikan
sebelumnya juga bahwa SME-nya dimana ini? AVP2 sedang menyusun struktur
organisasi. Mestinya kita harus cari orang, karena kita akan fokus kepada
pengembangan internal. Internal kita farmasi ya. Berarti kita memang harus ada
orang SME. Salah satu posisi atau beberapa posisi yang cukup meyakinkan. Trust ke user dan user juga trust.”, AVP1.
“SME-nya yang life science (jenis produk Bio Farma
seperti vaksin, serum, diagnostik kit, dll) ya.”, SO3.
“Untuk mengurangi
memakan waktu yang terlalu sering dari user,
syarat SME menjadi mutlak.”, AVP1.
Dalam diskusi dibahas pula mengenai 2 kriteria SME yang diperlukan oleh Bio Farma. Pertama, adalah SME yang bertugas untuk menjadi bisnis/sistem analis yang menjadi jembatan komunikasi antara user dan IT. Peran SME jenis pertama ini diperlukan secara rutin selama proses pengembangan aplikasi dari awal hingga akhir di area quality Bio Farma, bahkan hingga aplikasi ini digunakan, SME perlu mengevaluasi proses penggunaannya agar selalu memiliki kualitas yang baik dan sesuai dengan perkembangan proses bisnis. Kedua, adalah SME Tata Kelola yang bertugas untuk menyusun SOP pengembangan dan validasi aplikasi baru untuk menerapkan metode agile dan menyesuaikan dengan regulasi terbaru.
Terdapat dua pola rekrutmen SME pertama. Pertama, dengan mengembangkan struktur organisasi agar memiliki posisi SME di dalam posisi organik, kemudian mencari kandidat yang tepat baik dari intenral Bio Farma ataupun dari luar. Kedua, merekrut SME dari jalur vendor yang bersifat sementara dan project based. Namun, opsi kedua ini memiliki tantangan yang cukup tinggi, karena saat ini di Indonesia masih sangat jarang orang yang memiliki pengetahuan life science yang baik sekaligus memahami cara pengembangan aplikasi GMP. Sehingga Bio Farma perlu berkolaborasi bersama vendor untuk bersama mencari kandidat yang tepat untuk direkrut oleh vendor.
Pola rekrutmen SME kedua dapat dilakukan dalam dua pola juga. Pertama, melalui proses pengadaan untuk mencari perusahaan atau perorangan yang memahami proses pengembangan dan validasi sistem regulasi terbaru untuk diterapkan sebagai SOP di Bio Farma. Kedua, melalui proses rekrutmen tenaga proyek / tenaga profesional sementara yang memiliki tugas khusus untuk menyusun SOP tersebut.
Berikut kutipan diskusi dari para narasumber terkait SME yang diperlukan Bio Farma.
“Tapi sebenarnya dua hal yang berbeda sih. Yang
satu memang sistem analisis itu, yang paham SME adalah untuk apa yang kita buat
itu tidak me-digitize proses yang
ada, tapi dia akan memberikan saran, bahwa dengan digital prosesnya bisa diubah
gini loh. Kalau SME yang paham soal proses bisnis ya, tidak harus benar-benar
diikuti, di-digitize. Semuanya di-digitize, walaupun kita mengerjainya sama
saja, cuma sekarang pakai komputer. Itu yang pertama. Yang kedua tadi, untuk
menyimplifikasi mengenai dokumen validasi, dan lain-lain kan harus, untuk
meyakinkan teman-teman di user, misalkan tidak perlu seperti ini loh, yang
warisan dulu itu kan interpretasi orang-orang dulu, atas regulasi yang itu.”,
AVP1.
“Kedua, untuk solusi sementara, mungkin kalau nanti
ada kontrak induk pun mungkin salah satu posisi yang kita butuhkan adalah
SME.”, AVP1.
“Sebenarnya kita yang harus bantu
perusahaan-perusahaan (vendor/rekanan Bio Farma) karena kita sedang mencari
orang-orang dari perusahaan, tapi tiba-tiba ada SME yang Bio Farma percaya,
kita sebenarnya bisa bantu sebagai opsi yang ditawarkan ke perusahaan
tersebut.”, AVP2.
Menyelenggarakan training metodologi agile
Langkah yang ketiga adalah menyelenggarakan training kepada IT dan user terkait Software Development Life Cycle (SDLC) yang di dalamnya terdapat berbagai metode agile yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan Bio Farma. Tujuan utama training ini adalah untuk menyebarluaskan pengetahuan mengenai SDLC dan agile kepada seluruh user di Bio Farma supaya satu frekuensi dengan tim IT. Kebutuhan ini juga didukung dengan hasil kuesioner mengenai pengetahuan user terkait SDLC dan agile serta kebutuhan training terhadap hal tersebut. Setelah user terpapar seluruh informasi SDLC dan agile, baru IT dan user dapat berdiskusi mengenai metode agile yang tepat untuk diterapkan di Bio Farma.
Berikut kutipan poin-poin diskusi yang berkembang dalam FGD.
“Artinya kalau di sisi
kesiapan user, sebenarnya siap. Tapi
kita harus ready untuk mengedukasi mindset-nya mereka untuk merasa bahwa
perubahan itu menyenangkan. Tidak pasti setiap pergerakannya itu enak. Dan yang
kedua membuatkan mereka bahwa pada akhirnya kerjaan mereka dan kerjaan kita
tujuannya sama.”, SO4.
“Berarti harus ada training dulu ke user. Mengapa? Setidaknya, keputusannya, karena tadi kita mau
analisis, kan hasilnya dari dua pihak yang ambil keputusan, IT dan user. Tetapi, user tidak akan bisa mengambil keputusan jika tidak tahu terkait agile.”, AVP2.
“Perlu dikasih tahu
juga soal agile, perlu di training juga.”, AVP1.
Teknis pelaksanaan training dilakukan dalam dua tahap, untuk IT dan untuk user. Training untuk IT bertujuan untuk
membahas secara detail seluruh menyamakan standar prosedur pengembangan
aplikasi hingga ke level teknis detail alur informasi antar peran di dalam tim
IT, selain juga memberikan pemahaman dan mindset
agile secara menyeluruh. Training
untuk user bertujuan untuk memberikan
pengetahuan dan pemahaman mengenai tahapan pengembangan aplikasi atau SDLC
serta metodologi agile yang dapat
menjadi opsi untuk digunakan di Bio Farma. Tugas berat pula untuk berlatih cara
membagi proses bisnis existing yang
sangat kompleks ke dalam bagian-bagian kecil untuk menjadi MVP (Minimum Viable Product), sehingga
aplikasi dapat digunakan segera oleh user
tanpa menunggu seluruh fitur lengkap sesuai kebutuhan lengkap proses
bisnis.
Berikut kutipan diskusi mengenai training yang disampaikan oleh
narasumber.
“Kalau mau bertahap,
mending agile training dilakukan di
kita dulu, supaya tidak ter-distract
dengan user. Karena tingkat
kedetailannya kita mungkin akan lebih detail ya. Tapi nanti ada training dengan user.”, AVP1.
“Sebenarnya yang
paling pertama itu high level dulu
untuk PM (Project Manager) training.
Sampai PM dulu bener-bener disamaratakan dulu lah (pengetahuannya).”, SO3.
“Tugas berat (untuk
tim IT dan user) untuk membagi
kebutuhan user menjadi
potongan-potongan (pekerjaan yang bisa di-deliver
segera).”, AVP1.
Tantangan lain dalam proses training ini adalah bagaimana cara membuat proses belajar dan
memahami metode agile yang tepat
untuk Bio Farma berlangsung secara konsisten dan dievaluasi dari waktu ke
waktu. Hal ini diperlukan untuk membuat proses ini dapat ditularkan satu sama
lain di internal Bio Farma dan didapatkan metode paling baik setiap waktunya
sehingga menghasilkan nilai tambah yang optimal.
“Harus training yang berkesinambungan, karena
kalau sekali-sekali akan hilang dan lupa. Dan konsisten sih, itu yang paling
susah.”, AVP1 & SO3.
Analisis implementasi metode agile yang sesuai di Bio Farma
Langkah yang ke empat adalah menganalisis metode agile yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan user. Setelah kita mengetahui kondisi user dari hasil kuesioner, kemudian user diberikan training mengenai SDLC dan agile, selanjutnya adalah melakukan FGD bersama user untuk menganalisis seluruh kondisi yang ada dan menentukan metode SDLC yang paling tepat di Bio Farma.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan dari hasil diskusi bersama narasumber. Seperti memisahkan metode yang dilakukan di IT dan user. IT menggunakan metodologi agile dalam proses pengembangan aplikasinya (setelah perencanaan dan menyepakati requirement) dan pada saat proses validasi dilakukan degan metode waterfall. Hal ini akan sangat bergantung fleksibilitas regulasi dan pemahaman Bio Farma terhadap regulasi tersebut untuk memasukkan agile ke dalam proses pengembangan aplikasinya.
Selain
itu perlu dipastikan juga tahapan-tahapan yang ada dalam SOP IT saat ini
disesuaikan agar sesuai dengan metodologi agile,
seperti tahapan automated test, security
test, dan proses deployment dari environment development to production.
Berikut
hasil diskusi terkait analisis implementasi metode agile bersama user.
“Kayaknya kalau
implementasinya untuk agile-nya,
kayaknya lebih enak di kita yang lebih intens. Tapi memang kita harus punya
orang yang benar-benar menjamin itu. Sehingga waktu di lempar ke user, user tidak terlalu sesering melakukan validasi terhadap
modul-modulnya.”, AVP1.
“Kesimpulan ini saya
melihat dua sih. Satu kita training agile
atau agile tidak cocok buat kita (Bio
Farma). Apakah effort kita untuk
ganti mereka harus ke agile atau
kitanya saja yang agile.”, AVP2.
“Begitu well-informed, mungkin malah bisa dicari
jalan tengah, misalnya IT agile saja
tetapi diujung (dibelakangnya) tidak agile.”,
AVP2.
“Di kita (tim IT) juga
ada yang perlu disepakati. Misalkan sebelum DTP (Development to Production) kan ada proses security, pentest, dll. Mau seberapa kita ikuti. Kemudian di
produksi atau di quality itu bisa
mengikuti kebutuhan atau tidak ya terkait seremonial, jadi kita akan tetap hybrid atau seperti apa.”, AVP3.
Hal lain yang perlu diperhatikan pada saat diskusi
dan memilih metode agile yang paling
tepat untuk Bio Farma adalah bagaimana cara menerapkan mindset agile dan ketangguhan dalam menghadapi perubahan dapat
disampaikan dalam kesepakatan bersama. Karena setiap implementasi aplikasi baru
akan diikuti dengan perubahan kebiasaan, seperti pindah kebiasaan dari
pencatatan di kertas menjadi digital, alur proses bisnis yang asalnya x level
menjadi y level, dsb.
Parallel
running menjadi proses yang
diperlukan sebelum sebuah aplikasi di rilis, yaitu menjalankan 2 proses secara
bersamaan, seperti proses manual dan digital. Hal tersebut membutuhkan effort dan komitmen tinggi dari user dan seluruh stakeholder.
Selain itu, ekspektasi pengembangan sistem yang
bisa langsung sempurna pun perlu disesuaikan ketika kita bicara agile. IT dan user bersama-sama perlu menetapkan kebutuhan minimal yang
diperlukan, untuk bisa memulai proses digitalnya. Proses pengembangan akan
dilakukan setahap demi setahap, baru kemudian mencapai satu titik di mana
perubahan dan penyempurnaan tidak terlalu banyak dilakukan.
Berikut diskusi yang disampaikan para narasumber
terkait proses yang perlu dijalani dan menjadi komitmen oleh setiap pihak dalam
implementasi agile software development
(ASD).
“Karena memang tadi
kalau terlalu sering berubah, mereka juga akan keberatan dengan sering
melakukan validasi. Mereka juga akan sering melakukan parallel running dua sistem yang lama yang baru. Hal tersebut akan
memakan waktu mereka terlalu sering.”, AVP1.
“Tetapi harus include semua fitur, karena kalau
setengah-setengah tidak akan digunakan.”, SO3.
“Agile itu tidak mempercepat proses development tetapi justru memperlambat. Namun, pada dasarnya
arahnya benar (aplikasi yang dibuat sesuai dengan kebutuhan user).”, SO2.
Penyesuaian/pembuatan SOP (Standar Operasional Prosedur)
pengembangan dan validasi aplikasi/software
Langkah kelima, langkah terakhir setelah seluruh
tahapan dilakukan adalah penyesuaian atau pembuatan SOP pengembangan dan
validasi aplikasi yang baru. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses
pembuatan SOP ini adalah mengosongkan gelas dengan makna tidak terkurung
warisan pengetahuan turun temurun dan mempelajari kebutuhan regulasi dan proses
bisnis saat ini. Bio Farma perlu mempertimbangkan untuk memasukkan konsep CSA
dan GAMP 5 dalam SOP barunya serta merujuk kepada regulasi terbaru yang ada
pada GxP, WHO TRS, dan CPOB BPOM.
“User kita itu sudut pandang dan pengetahuannya adalah (warisan)
turun temurun. Maksudnya, oh yang dulu kayak gini. Dan itu bertahun-tahun,
dalam ketakutan audit, dan akhirnya jadi nggak terwarnai sudut pandang lain.”,
AVP3.
“Mungkin kita harus
sandingkan dengan CSA dan lain-lain yang memang orang di sana pun yang membuat
regulasinya terkait dengan ini, farmasi, dan lain-lain, sudah menyadari itu.
Bahwa agile manifesto-nya diambil.
Tapi kan sebenarnya kenapa orang berubah dari CSV ke CSA itu sebenarnya agile manifesto dokumentasi itu
sebetulnya.”, AVP1.
“Karena bagi saya itu
sebenarnya CSA itu ya agile manifesto
untuk dokumentasi sebenarnya. Bahwa over
itu kan bukan berarti dihilangkan ya, tapi dibuat seperlunya gitu maksudnya.
Jadi memang kita harus terapkan itu. Namanya ya tetap (seperti nama yang lama)
kalau mereka namanya masih concern dan
agak susah berubah ya. Tidak apa-apa kita pakai istilahnya CSV (Computer System Validation) saja tetapi
di dalamnya konten yang kita perbaiki.”, AVP1.
Selain konsep umum terkait pengembangan dan
validasi aplikasi, diperlukan beberapa hal detail untuk disepakati bersama
hingga ke standar ticketing atau task management yang dilakukan oleh Project Manager (PM) dan dikomunikasikan
kepada seluruh tim proyek, khususnya tim developer
(Korten, 2018).
“Standar ticket (kedetailan konten task management) di kita beda-beda
(antara satu PM dengan PM yang lain). Belum mature
dan tidak seragam antara satu squad dengan
squad yang lain.”, SO1 & SO3.
Diskusi lain pada FGD untuk mendukung implementasi ASD
Untuk mendukung percepatan proses pengembangan aplikasi, Bio Farma dapat membuat atau membeli aplikasi digitalisasi proses validasi. Aplikasi ini dapat membantu menghilangkan penggunaan kertas selama proses dokumentasi pengembangan aplikasi, mulai dari Validation Plan, User Requirement Specification, Performance Qualitification, hingga Validation Report. Diharapkan dengan adanya aplikasi ini, proses validasi dan dokumentasi bisa lebih cepat, persetujuan dapat dilakukan secara online, serta setiap fitur dapat diuji coba dan dipertanggung jawabkan ketertelusuran prosesnya dari mulai diminta oleh user hingga diselesaikan oleh tim IT.
“Sekarang yang justru
sudah mulai ada digitalisasi proses validasinya justru. Mengikuti CSA-nya.
Jadi, semuanya dicatat tidak dalam bentuk dokumen lagi, dokumen dulu ya. Tidak
harus sedikit-sedikit protokol. Itu kayak protokol dari lain-lain sudah buat digital.
Dia menyediakan fitur generate report.”,
AVP1.
Hal lain yang dapat dilakukan untuk percepatan pengembangan aplikasi, tim IT dapat mengimplementasikan automated testing. Implementasi teknik tersebut memerlukan kesepakatan dan komitmen seluruh pihak untuk disiplin dalam membuat skrip otomatis di setiap iterasi proses bisnis. Automated testing ini diharapkan dapat menjaga konsistensi aplikasi dari awal pengembangan hingga akhir dikala perubahan rutin dilakukan di tengah resource tester Bio Farma yang tidak terlalu banyak .
“Kalau kita mau agile
kayaknya automated testing yang
penting. Sebenarnya itu akan mempercepat testing.
Karena tesnya juga sering dilakukan, kalau dengan resource yang terbatas sebenarnya agak sedikit kalau kita tidak
melakukan automated testing. Automated testing itu jadi salah satu
yang harus kita lakukan.”, AVP1.
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan di bab 4, maka dapat disimpulkan bahwa Kondisi Bio Farma saat ini menunjukkan bahwa tim IT secara umum cukup siap dalam budaya dan kebiasaannya saat ini untuk mengimplementasikan metode agile, meskipun masih banyak ruang untuk improvement. Di sisi lain, secara umum user belum memahami konsep agile karena memang berlawanan jika dilihat secara tekstual dengan konsep GMP. Namun, keinginan dalam bertransformasi digital dan pemahaman secara umum mengenai pengembangan aplikasi telah dimiliki oleh user. Tahapan yang perlu dilakukan oleh Bio Farma untuk implementasi metode agile dalam proses pengembangan perangkat lunak di area quality terdiri dari lima tahapan yang perlu dilakukan oleh Bio Farma untuk menerapkan ASD di area quality, yaitu (1) menyusun tim change management, (2) merekrut Subject Matter Expert (SME), (3) menyelenggarakan training metode agile, (4) menganalisis metode agile yang tepat di Bio Farma, dan (5) menyesuaikan SOP pengembangan dan validasi aplikasi sesuai dengan motode agile yang sesuai. Dalam menjalankan kelima tahapan tersebut di atas diperlukan komitmen dari seluruh stakeholder terutama top management agar menghasilkan added value yang optimal untuk Bio Farma.
Abrahamsson, P., Salo, O., Ronkainen, J.,
& Warsta, J. (2017). Agile software development methods: Review and
analysis. ArXiv Preprint ArXiv:1709.08439.
Al-Saqqa, S.,
Sawalha, S., & AbdelNabi, H. (2020). Agile software development:
Methodologies and trends. International Journal of Interactive Mobile
Technologies, 14(11).
Bambazek, P.,
Hofer, T., & Groher, I. (2024). Scrum Sustainability Poker: Assessing the
Sustainability Effects of User Stories in Agile Software Development. REFSQ
Workshops.
Benito-Pacheco, O.,
Vega-Huerta, H., De-La-Cruz-VdV, P., Cancho-Rodriguez, E., Melgarejo-Solis, R.,
Pantoja-Collantes, J., & Cabrera-Díaz, J. (2023). Challenges of
Requirements Engineering in Agile Projects: A Systematic Review.
Brick, H. (2017).
Info-Tech Is Not the New Utopia. New Labor Forum, 26(3), 11–15.
Henriette, E.,
Feki, M., & Boughzala, I. (2016). Digital transformation challenges.
Humby, C. (2006).
Data is the new oil. Proc. ANA Sr. Marketer’s Summit. Evanston, IL, USA,
1.
Khairunnisa, E. W.
(2019). Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini di Taman Kanak-Kanak
Harapan Ibu Sukarame Bandar Lampung. UIN Raden Intan Lampung.
Korten, D. C.
(2018). The management of social transformation. In Democracy, bureaucracy,
and the study of administration (pp. 476–497). Routledge.
Kozak-Holland, M.,
& Procter, C. (2019). Managing transformation projects: tracing lessons
from the industrial to the digital revolution. Springer.
Miller, G. J.
(2013). Agile problems, challenges, & failures.
Organization, W. H.
(2024). Quality assurance of pharmaceuticals: a compendium of guidelines and
related materials. Volume 2. Good manufacturing practices and inspection.
World Health Organization.
Pedro, F., Veiga,
F., & Mascarenhas-Melo, F. (2023). Impact of GAMP 5, data integrity and QbD
on quality assurance in the pharmaceutical industry: How obvious is it? Drug
Discovery Today, 103759.
Perdiyanti, D. H.,
& Faeni, D. P. (2021). Analisis Pengaruh Work from Home, Digital Platform
dan Aplikasi Rapat Online terhadap Produktivitas Kerja pada PT. Telkom Akses di
Jakarta Barat. Studi Akuntansi, Keuangan, Dan Manajemen, 1(1),
9–16.
Wallström, A.
(2021). Guidance on Implementing Agile Software Development Methods within a
Traditional Environment.
Copyright holder: Adeva Oktoveri (2024) |
First publication right: Syntax
Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |