Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 12, Desember 2024

 

LAPORAN KASUS PASIEN HIV, TUBERKULOSIS PARU, ASITES, INSUFISIENSI HEPAR, HIPOALBUMINEMIA

 

Febbryna Wahyu Utamy1, Dessy Andriani2

Universitas Tarumanagara, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Kombinasi infeksi HIV, tuberkulosis paru, penyakit hati kronis, dan malnutrisi merupakan tantangan klinis yang kompleks. Pasien dengan HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan infeksi oportunistik seperti tuberkulosis. Selain itu, HIV juga dapat menyebabkan kerusakan hati yang progresif, manifestasinya berupa asites, insufisiensi hepar, dan hipoalbuminemia. Pada laporan ini, disajikan kasus seorang pasien perempuan berusia 27 tahun yang datang dengan keluhan nyeri perut. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didiagnosis menderita HIV dengan komplikasi tuberkulosis paru, asites, insufisiensi hepar, dan hipoalbuminemia. Metode dalam laporan kasus ini, dianalisis secara retrospektif berdasarkan data klinis, termasuk hasil pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. Tata laksana yang diberikan meliputi terapi kombinasi menggunakan obat antiretroviral, obat anti-tuberkulosis, diuretik, antibiotik, albumin, dan suplemen nutrisi. Terapi bertujuan untuk mengendalikan infeksi, mengurangi asites, memperbaiki fungsi hati, dan meningkatkan status nutrisi pasien. Setelah menjalani terapi, pasien menunjukkan perbaikan klinis secara bertahap. Namun, pemantauan lanjutan terhadap tanda vital, parameter laboratorium, dan risiko komplikasi lebih lanjut tetap diperlukan. Kasus ini menyoroti kompleksitas dalam penanganan pasien dengan koinfeksi HIV-tuberkulosis dan penyakit hati kronis. Sehingga, pendekatan multidisiplin yang terintegrasi sangat penting untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal.  

Kata kunci: HIV, tuberkulosis paru, asites, insufisiensi hepar, hipoalbuminemia.   

 

Abstract

The combination of HIV infection, pulmonary tuberculosis, chronic liver disease, and malnutrition is a complex clinical challenge. Patients with HIV have a higher risk of developing opportunistic infections such as tuberculosis. In addition, HIV can also cause progressive liver damage, manifested by ascites, hepatic insufficiency, and hypoalbuminemia. This report presents the case of a 27-year-old female patient who presented with complaints of abdominal pain. After physical and supporting examinations, the patient was diagnosed with HIV with complications of pulmonary tuberculosis, ascites, hepatic insufficiency, and hypoalbuminemia. The method in this case report is retrospectively analyzed based on clinical data, including the results of laboratory and other supporting examinations. The management given included combination therapy using antiretroviral drugs, anti-tuberculosis drugs, diuretics, antibiotics, albumin, and nutritional supplements. Management includes combination therapy using antiretroviral drugs, anti-tuberculosis drugs, diuretics, antibiotics, albumin, and nutritional supplements. The therapy aimed to control infection, reduce ascites, improve liver function, and improve the patient's nutritional status. After undergoing therapy, the patient showed gradual clinical improvement. However, continued monitoring of vital signs, laboratory parameters, and the risk of further complications was required. This case highlights the complexity of managing patients with HIV-tuberculosis co-infection and chronic liver disease. Thus, an integrated multidisciplinary approach is essential to achieve optimal treatment outcomes.   

Keywords: HIV, pulmonary tuberculosis, ascites, hepatic insufficiency, hypoalbuminemia.     

 

Pendahuluan

Infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan global yang signifikan. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang menyerang sel darah putih dan menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh manusia. Penurunan kekebalan tubuh akibat infeksi HIV dapat berkembang menjadi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala yang muncul sebagai dampak melemahnya sistem imun tubuh (Wahyuni et al., 2023). Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 36.902 kasus HIV pada tahun 2021. Mayoritas pengidap HIV berada pada kelompok usia produktif, dengan kelompok usia 25-49 tahun menjadi yang paling banyak, yakni sebesar 69,7%. Disusul oleh kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 16,9%, serta kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 3,1% (Hasibuan et al., 2024). 

Infeksi HIV termasuk dalam kelompok penyakit menular yang dapat berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu dan anak. Selain itu, infeksi HIV seringkali disertai dengan infeksi oportunistik seperti tuberkulosis (TB). HIV melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi seperti TB. Kondisi ini menciptakan hubungan timbal balik yang memperburuk kesehatan pasien. Pada pasien dengan koinfeksi HIV dan TB, penurunan sistem imun lebih signifikan sehingga pasien lebih mudah mengalami kondisi yang berat. Di Indonesia, sekitar 5-10% kasus TB terjadi pada populasi dengan HIV, dan individu dengan HIV memiliki risiko hingga 30% untuk terinfeksi TB sepanjang hidup mereka (Purnamasari et al., 2022). 

Di negara berkembang, tuberkulosis (TB) menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien yang terinfeksi HIV. Koinfeksi antara HIV dan TB memperburuk perjalanan penyakit, meningkatkan risiko komplikasi, dan menambah angka kematian (Hapsah, 2024). TB paru, sebagai bentuk TB yang paling umum, menyumbang sekitar 80% dari seluruh kasus dibandingkan TB pada organ lain (Dwipayana, 2022). Kemudian, selain tuberkulosis infeksi HIV juga dapat menyebabkan kerusakan progresif pada hati. Kerusakan ini dapat memanifestasikan dirinya dalam bentuk asites, insufisiensi hepar, dan hipoalbuminemia 

Asites merupakan kondisi di mana cairan, baik berupa transudat maupun eksudat, bocor ke dalam rongga abdomen antara peritoneum parietal dan viseral. Kondisi ini sering disebut juga sebagai efusi abdominal atau hydroperitoneum (Palestin, 2022). Meskipun bukan penyakit utama, asites adalah manifestasi klinis dari penyakit tertentu dan dapat disembuhkan apabila penyebabnya terdiagnosis dengan baik. Selanjutnya insufisiensi hepar, atau gagal hati, adalah kondisi serius di mana sebagian besar jaringan hati rusak sehingga organ ini tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Gagal hati dapat berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun atau terjadi secara tiba-tiba dalam hitungan hari, yang dikenal sebagai gagal hati akut (Berasain et al., 2023). Sementara, hipoalbuminemia adalah kondisi ketika kadar albumin dalam darah lebih rendah dari batas normal, yaitu kurang dari 3,5 g/dL. Albumin merupakan protein utama yang dihasilkan oleh hati, yang memiliki fungsi penting untuk menjaga cairan tubuh tetap berada di dalam pembuluh darah. Penurunan kadar albumin dapat menyebabkan berbagai komplikasi kesehatan dan cenderung menjadi indikator kerusakan hati yang signifikan (Erdani et al., 2021). 

Dari adanya kombinasi penyakit-penyakit ini menciptakan tantangan kompleks dalam proses diagnosis dan manajemen klinis. Kondisi ini dapat memperburuk kesehatan pasien, sehingga memerlukan pendekatan pengobatan yang komprehensif dan terintegrasi. Laporan kasus ini bertujuan untuk menggambarkan perjalanan penyakit dan respons pengobatan pada seorang pasien yang mengalami kondisi tersebut. Penelitian sebelumnya telah melaporkan hanya pada kasus koinfeksi tuberkulosis paru pada pasien dengan HIV/AIDS. Dafitri et al. (2020) menunjukkan bahwa infeksi HIV/AIDS dapat memperburuk kondisi klinis pasien TB paru, meskipun prinsip diagnosis untuk TB paru pada pasien dengan atau tanpa koinfeksi HIV/AIDS tidak berbeda secara mendasar. Penelitian tersebut menyoroti bahwa HIV memperlemah sistem imun tubuh, sehingga mempercepat perkembangan penyakit dan meningkatkan risiko komplikasi. 

Penelitian ini memiliki kebaruan dengan tujuan untuk menggali lebih dalam keterkaitan antara HIV, TB, asites, insufisiensi hepar, dan hipoalbuminemia. Penelitian ini juga berupaya mengidentifikasi faktor-faktor penyebab serta prognosis pasien dengan kondisi yang kompleks ini. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi klinis guna mendukung tata laksana yang lebih efektif dalam mengelola pasien dengan diagnosis yang rumit. Melalui analisis kasus ini, penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai interaksi antara berbagai penyakit tersebut dan dampaknya terhadap pengelolaan klinis pasien. Hasil penelitian bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta diharapkan dapat berkontribusi pada pengembangan protokol pengobatan yang lebih efektif bagi pasien dengan kondisi serupa di masa mendatang. 

 

Laporan Kasus

Seorang pasien perempuan berusia 27 tahun datang ke IGD RSD K.R.M.T Wongsonegoro pada tanggal 31 Agustus 2023 pukul 14.24 WIB dengan keluhan nyeri perut. Nyeri dirasakan diseluruh lapang perut dengan kuantitas hilang timbul dengan waktu tak menentu. Skala nyeri dirasakan 8 dari 10. Keluhan disertai nafsu makan menurun, badan lemas, perut mudah kenyang dan perut perlahan menjadi membesar. Keluhan dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Perut membesar disertai dengan nyeri apabila ditekan. Keluhan lainnya, seperti mual sepanjang hari dan diare selama 3 hari. Tidak ada demam, sesak, pusing dan tidak ada keluhan BAK. 

Pasien sebelumnya belum berobat terkait keluhan. Tidak ada diabetes mellitus, dan tidak ada hipertensi. Pasien tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal serupa. Pasien mengaku bekerja menjadi sales di Erafone. Pasien berobat menggunakan BPJS. Pasien makan 3x sehari dengan nasi dan lauk pauk seperti telur, ayam goreng, dan kangkung. Semenjak sakit pasien tidak nafsu makan dan berat badan turun 3 kg dalam 7 hari.  Tidak ada riwayat alergi makanan atau alergi obat. 

Pada pemeriksaan fisik tanggal 2 September 2023, pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran baik (GCS 15). Tanda vital menunjukkan tekanan darah 120/75 mmHg, nadi 102x/menit, suhu tubuh 36,6°C, pernapasan 20x/menit, dan SpO2 99%. Berat badan pasien 43 kg, tinggi badan 158 cm, dengan IMT 16,0 yang mengindikasikan underweight. Pemeriksaan umum menunjukkan kepala tanpa deformitas, mata normal tanpa anemia atau ikterus, hidung dan telinga tanpa kelainan, serta mulut dan faring dalam kondisi normal. Leher tidak menunjukkan pembesaran kelenjar getah bening, tetapi terdapat peningkatan Jugular Venous Pressure. Pada thorax, pergerakan dada simetris dengan suara napas vesikuler, meskipun ditemukan rhonki basah kasar. Pemeriksaan jantung menunjukkan bunyi jantung reguler tanpa murmur atau gallop. Abdomen tampak membuncit dengan nyeri tekan di perut kanan tanpa tanda peritonitis. Kulit tampak hangat, tanpa sianosis atau petechie, dengan turgor baik, dan ekstremitas hangat dengan CRT <2 detik. Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening, sementara pemeriksaan anus dan genitalia tidak dilakukan 

Hasil laboratorium darah menunjukkan adanya gangguan fungsi hati (SGOT meningkat), anemia (eritrosit, Hb, dan hematokrit menurun), gangguan ginjal ringan (kreatinin menurun), gangguan elektrolit (hiponatremia, hipokalemia), dislipidemia (hipertrigliseridemia), dan hipoalbuminemia. Hasil foto thorax AP mengindikasikan efusi pleura kanan dengan penebalan hilus yang dicurigai sebagai limfadenopati atau vaskuler. Foto polos abdomen AP-LLD menunjukkan gambaran meteorismus, sementara USG abdomen mengungkap fatty liver grade I, hepatomegali ringan dengan parenkim masih baik, ascites, dan efusi pleura kanan. Temuan ini mendukung diagnosis HIV stadium III dengan komplikasi tuberkulosis paru, insufisiensi hepar, asites, dan hipoalbuminemia. 

Setelah dilakukan autoanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan HIV stadium III disertai beberapa komorbiditas, yaitu tuberkulosis paru, insufisiensi hepar, asites grade II, dan hipoalbuminemia. Pemeriksaan diagnostik meliputi evaluasi jumlah CD4, viral load HIV, profil lipid, fungsi hati dan ginjal, serta tes terkait infeksi oportunistik (HPV, PAP smear, TCM TB). Penanganan HIV dilakukan dengan terapi antiretroviral (ARV) kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI, disesuaikan dengan regimen TB yang dimulai lebih dahulu. Insufisiensi hepar ditangani dengan IV aminofusin hepar dan suplementasi curcuma, sedangkan asites diatasi dengan diuretik spironolakton dan furosemide dengan pengawasan berat badan dan lingkar perut. Hypoalbuminemia diperbaiki melalui pemberian plasbumin sesuai kebutuhan albumin pasien. Edukasi diberikan mengenai pencegahan komplikasi, pengobatan teratur, dan pola hidup sehat. Monitoring rutin mencakup berat badan, tanda vital, pemeriksaan laboratorium (CD4, viral load, SGOT, albumin), serta respons klinis terhadap terapi

 

Hasil dan Pembahasan

Pada laporan kasus ini, pasien didiagnosis dengan HIV Stadium III sebagai diagnosis utama, disertai beberapa kondisi tambahan, yaitu tuberkulosis paru, insufisiensi hepar, asites grade II, dan hipoalbuminemia. Temuan klinis dan penunjang mendukung adanya komplikasi infeksi oportunistik, gangguan fungsi hati, akumulasi cairan di rongga abdomen dan pleura, serta defisiensi albumin, yang memerlukan penanganan komprehensif melalui terapi antiretroviral, pengobatan tuberkulosis, koreksi fungsi hati, penatalaksanaan asites, dan suplementasi albumin, dengan pemantauan ketat kondisi klinis dan laboratorium. Berikut hasil laboratorium yang dilakukan. 

 

Tabel 1. Hasil Laboratorium 1 

 

31/08 

02/09 

Nilai Normal 

Gula Darah Sewaktu 

82 

97 

70-110 mg/dL 

SGPT 

- 

21 

0 – 35 U/L 

SGOT 

- 

92 

0 - 35 U/L 

Jumlah Leukosit 

6.3 

- 

3.6-11.0 /uL 

Jumlah Eritrosit 

4.14 

- 

4.2-5.4 /uL 

Jumlah Trombosit 

154 

- 

150-400 /uL 

Hematokrit 

31.20 

- 

35-47 % 

Hemoglobin 

10.0 

- 

11.7-15.5 g/dL 

Ureum 

- 

22.6 

17.0-43.0 mg/dL 

Creatinin 

- 

0.2 

0.5-0.8 mg/dL 

Natrium 

131 

- 

135.0-147 mmol/L 

Kalium 

3.20 

- 

3.50-5.0mmol/L 

Kalsium 

1.1 

- 

1.00-1.15mmol/L 

LED 1 jam 

- 

112 

  

HbsAg Kualitatif 

  

Negatif 

  

REAGEN HIV I 

REAGEN HIV II 

REAGEN HIV III 

- 

Reaktif 

Reaktif 

Reaktif 

 

 

Tabel 2. Hasil Laboratorium 2 

 

04/09 

05/09 

07/09 

Nilai Normal 

Gula Darah Sewaktu  

62 

- 

- 

70-110 mg/dL 

Trigliserida 

267 

- 

- 

<150 mg/dL 

Asam Urat  

2.0 

- 

- 

1.4-5.8 mg/dL 

Kolesterol Total 

151 

- 

- 

<200 mg/dL 

SGPT 

- 

- 

14 

0 – 35 U/L 

SGOT 

- 

- 

46 

0 – 35 U/L 

Ureum 

22.0 

- 

- 

17.0-43.0 mg/dL 

Creatinin 

0.7 

- 

- 

0.5-0.8 mg/dL 

Albumin 

2.3 

2.6 

- 

3.4-4.8g/dL 

MTB 

TRACE DETECTED 

  

Rifampicin 

Indeterminate 

 

 

HIV Stadium III   

Hasil laboratorium menunjukkan beberapa parameter yang berkaitan dengan infeksi HIV yang telah dikonfirmasi melalui hasil Reagen HIV I, II, III (reaktif). Peningkatan SGOT (92 U/L) menunjukkan adanya kerusakan hati, yang dapat disebabkan oleh infeksi oportunistik, efek samping obat, atau proses inflamasi yang terkait dengan HIV. Anemia juga terdeteksi melalui penurunan hemoglobin (10.0 g/dL), hematokrit (31.20%), dan eritrosit (4.14 /uL), yang sering ditemukan pada pasien HIV karena peradangan kronis, kehilangan darah, atau pengaruh obat antiretroviral. Selain itu, nilai LED (112 mm/jam) yang sangat tinggi mengindikasikan peradangan sistemik yang signifikan, yang umumnya disebabkan oleh infeksi oportunistik atau progresi HIV. Hiponatremia (Natrium 131 mmol/L) dan hipokalemia (Kalium 3.20 mmol/L) juga ditemukan, yang dapat berhubungan dengan gangguan elektrolit akibat diare kronis atau gangguan adrenal yang sering terjadi pada pasien HIV.   

Namun, beberapa parameter lain, seperti gula darah sewaktu (82-97 mg/dL) dan SGPT (21 U/L), berada dalam batas normal, menunjukkan bahwa tidak ada indikasi gangguan metabolisme glukosa atau kerusakan hati yang lebih parah pada saat ini. Meski demikian, creatinine (0.2 mg/dL) yang rendah bisa mengindikasikan kemungkinan gangguan metabolisme atau malnutrisi yang sering terlihat pada pasien HIV lanjut. Jumlah leukosit (6.3 /uL) masih dalam batas normal, tetapi gangguan pada fungsi imun tetap terjadi karena penurunan sel CD4. Trombosit (154 /uL) berada pada nilai normal namun di batas bawah, yang menunjukkan kemungkinan trombositopenia ringan yang dapat terkait dengan HIV atau faktor lain. 

HIV Stadium III adalah tahap infeksi HIV yang lebih lanjut, di mana sistem kekebalan tubuh mengalami kerusakan signifikan akibat serangan virus. Pada tahap ini, pasien mulai menunjukkan gejala klinis yang lebih serius, seperti penurunan berat badan lebih dari 10% tanpa sebab jelas, diare kronis selama lebih dari satu bulan, serta demam berkepanjangan yang bisa berselang atau terus-menerus. Selain itu, infeksi sekunder seperti kandidiasis oral (infeksi jamur di mulut), tuberkulosis paru aktif, dan herpes zoster yang meluas atau berulang sering ditemukan pada pasien di tahap ini (Sameen et al., 2023).  

Secara laboratorium, HIV Stadium III biasanya ditandai dengan jumlah sel CD4 yang turun drastis, sering kali di bawah 350 sel/mm³, menandakan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Akibatnya, tubuh menjadi semakin rentan terhadap infeksi oportunistik, yaitu infeksi yang jarang menyerang individu dengan sistem imun yang sehat. Gejala-gejala seperti leukoplakia berbulu pada lidah dan infeksi bakteri berat yang berulang juga menjadi indikator klinis penting pada tahap ini (Saunders et al., 2024). 

 

Tuberkulosis Paru 

Gambaran meteorismus pada gambar pemeriksaan radiologi abdomen di bawah, yang ditandai dengan peningkatan distribusi udara usus tanpa tanda obstruksi atau perforasi, dapat dikaitkan dengan Tuberkulosis Paru (TB) melalui beberapa mekanisme. TB paru sering disertai manifestasi sistemik, termasuk infeksi atau inflamasi kronis yang dapat memengaruhi saluran cerna. Salah satu kemungkinan adalah tuberkulosis abdominal, yang bisa menyebabkan iritasi atau gangguan motilitas usus, sehingga memicu penumpukan gas (meteorismus). Selain itu, limfadenopati hilus kanan yang terdeteksi pada pemeriksaan thoraks juga dapat mencerminkan penyebaran hematogen atau limfatik dari TB ke rongga abdomen. Dengan adanya efusi pleura kanan pada gambaran thoraks, temuan ini memperkuat kemungkinan keterkaitan dengan proses tuberkulosis aktif. 

 

A x-ray of a person's body

Description automatically generatedA x-ray of a person's body

Description automatically generated 

Gambar 1. X Foto Polos Abdomen AP-LLD 

 

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini utamanya menyerang paru-paru, namun dapat menyebar ke organ lain melalui darah atau sistem limfatik. Penularan terjadi melalui droplet udara ketika penderita TB aktif batuk, bersin, atau berbicara. Setelah terhirup, bakteri dapat menginfeksi paru-paru dan membentuk lesi primer (fokus Ghon) di jaringan paru. Pada sebagian orang, infeksi tetap laten tanpa gejala, tetapi jika sistem kekebalan tubuh melemah, TB dapat berkembang menjadi aktif dengan gejala klinis (Natarajan et al., 2020; Sossen et al., 2023). 

Gejala utama TB paru meliputi batuk yang berlangsung lebih dari dua minggu, sering disertai dahak, hemoptisis (batuk darah), demam, keringat malam, dan penurunan berat badan yang signifikan. Pada pemeriksaan radiologi thoraks, TB paru dapat menunjukkan gambaran infiltrat, kavitas, atau limfadenopati hilus, tergantung pada tingkat keparahan dan durasi penyakit. Efusi pleura, yang merupakan penumpukan cairan di rongga pleura, juga dapat terjadi pada beberapa kasus. Diagnosis TB memerlukan pemeriksaan sputum untuk mendeteksi keberadaan Mycobacterium tuberculosis melalui mikroskop, kultur, atau tes molekuler seperti GeneXpert, serta tes tuberkulin atau IGRA untuk mendeteksi infeksi laten.

 

Insufisiensi Hepar 

Hasil USG abdomen menunjukkan gambaran hepatomegali ringan dengan parenkim hati yang homogen namun memiliki peningkatan echogenicity, yang mengindikasikan fatty liver grade I. Kondisi ini sering dikaitkan dengan penumpukan lemak di hati akibat berbagai faktor, seperti penyakit metabolik, konsumsi alkohol, atau malnutrisi. Walaupun masih dalam tahap ringan, jika tidak dikelola dengan baik, fatty liver dapat berkembang menjadi inflamasi hati (steatohepatitis) dan akhirnya menyebabkan insufisiensi hepar atau gagal hati. 

Insufisiensi hepar, atau dikenal sebagai gagal hati, adalah kondisi medis serius di mana hati kehilangan sebagian besar atau seluruh fungsi vitalnya. Hati memainkan peran penting dalam metabolisme, detoksifikasi, produksi protein, dan pengaturan koagulasi darah. Ketika hati tidak dapat menjalankan fungsi-fungsi ini, tubuh mengalami gangguan serius yang dapat mengancam nyawa. Insufisiensi hepar dapat terjadi secara akut (gagal hati akut) atau kronis (gagal hati kronis), tergantung pada penyebab dan perjalanan penyakitnya (Rose et al., 2020).  

Penyebab insufisiensi hepar meliputi berbagai kondisi, seperti infeksi virus hepatitis (misalnya, hepatitis B dan C), keracunan obat atau toksin (seperti overdosis parasetamol), konsumsi alkohol kronis, dan penyakit autoimun. Dalam kasus gagal hati akut, gejala muncul dengan cepat, termasuk jaundice (kulit dan mata menguning), pembengkakan di perut, gangguan kesadaran, dan perdarahan. Pada insufisiensi kronis, gejalanya mungkin berkembang lebih lambat, sering disertai dengan sirosis, yang ditandai dengan fibrosis hati yang menyebabkan kerusakan permanen (Karim et al., 2020). 

 

Asites Grade II 

Hasil pemeriksaan USG menunjukkan cairan bebas yang terlihat di perihepatik, perilienalis, dan paravesika mengindikasikan adanya ascites, yaitu penumpukan cairan di rongga peritoneum. Asites Grade II ditandai dengan jumlah cairan yang cukup besar hingga dapat terdeteksi dengan pemeriksaan klinis dan radiologi, namun tidak menyebabkan distensi abdomen yang ekstrem. 

Asites Grade II adalah salah satu tingkat keparahan asites yang ditandai dengan adanya cairan yang cukup banyak di rongga peritoneum, tetapi masih dapat terdeteksi dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ultrasonografi. Asites sendiri merupakan akumulasi cairan abnormal di dalam rongga perut, yang sering dikaitkan dengan penyakit hati seperti sirosis, tetapi juga dapat disebabkan oleh kondisi lain seperti gagal jantung, kanker, atau tuberkulosis peritoneal (Rudler et al., 2020). 

 Pada Grade II, cairan yang terkumpul menyebabkan distensi perut yang terlihat dengan jelas. Pasien mungkin mengeluhkan rasa kembung, berat, atau sesak di perut, dan dapat mengalami penurunan nafsu makan akibat tekanan dari cairan pada organ pencernaan. Pemeriksaan fisik sering menunjukkan tanda-tanda seperti fluktuasi cairan (shifting dullness) atau pukulan gelombang cairan (fluid wave). Selain itu, pemeriksaan ultrasonografi akan mengonfirmasi keberadaan cairan dalam jumlah sedang, yang sering kali berada di antara usus atau di rongga perut bawah (Natasya et al., 2022). 

 

Hipoalbuminemia 

Pada hasil laboratorium menunjukkan adanya hipoalbuminemia (kadar albumin rendah) dengan nilai 2.3 g/dL pada 4 September dan 2.6 g/dL pada 5 September, yang berada di bawah rentang normal (3.4–4.8 g/dL). Hipoalbuminemia dapat menjelaskan terjadinya asites dan efusi pleura kanan, karena albumin memiliki peran penting dalam menjaga tekanan onkotik plasma yang mencegah cairan keluar dari pembuluh darah ke rongga interstisial atau tubuh, seperti rongga peritoneum (asites) dan pleura (efusi pleura). 

Hipoalbuminemia adalah kondisi di mana kadar albumin dalam darah berada di bawah nilai normal, biasanya kurang dari 3,5 g/dL. Albumin adalah protein utama yang diproduksi oleh hati, memiliki peran penting dalam menjaga tekanan onkotik plasma (menjaga cairan tetap berada di pembuluh darah), mengangkut berbagai molekul dalam darah (seperti hormon, obat, dan asam lemak), serta berfungsi sebagai cadangan protein tubuh. Penurunan kadar albumin dapat menjadi tanda adanya gangguan sistemik atau lokal yang memengaruhi hati, ginjal, atau metabolisme protein (Syahrizal et al., 2023). 

Penyebab hipoalbuminemia beragam, termasuk penurunan produksi albumin akibat penyakit hati kronis seperti sirosis atau malnutrisi protein, peningkatan kehilangan albumin melalui ginjal pada sindrom nefrotik atau melalui usus pada enteropati protein-losing, serta redistribusi albumin pada kondisi inflamasi sistemik seperti sepsis. Selain itu, luka bakar yang luas dan perdarahan hebat juga dapat menyebabkan kehilangan albumin dalam jumlah besar (Charissa et al., 2022). 

Tatalaksana pasien dengan diagnosis HIV Stadium III dan komplikasi tambahan seperti Tuberkulosis Paru, Insufisiensi Hepar, Asites, dan Hipoalbuminemia membutuhkan pendekatan yang holistik dengan melibatkan terapi non-farmakologis dan farmakologis. Berikut adalah penjelasan tentang tatalaksana yang diberikan 

1.   Terapi Non-Farmakologis 

Pendekatan non-farmakologis dalam tatalaksana pasien ini sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit menular. Edukasi mengenai pencegahan penularan HIV dan Tuberkulosis Paru harus diberikan kepada pasien dan keluarga mereka. Hal ini meliputi penggunaan masker, kebersihan pribadi, dan penghindaran kontak dengan orang lain saat pasien mengalami gejala infeksi aktif. Selain itu, penting untuk memberi tahu pasien mengenai tanda-tanda perburukan gejala yang membutuhkan perawatan lebih lanjut, seperti peningkatan sesak napas, penurunan kesadaran, atau peningkatan edema (pembengkakan tubuh). 

2.   Terapi Farmakologis 

Untuk mengelola kondisi pasien, berbagai obat diberikan, termasuk obat diuretik seperti Furosemide untuk mengurangi penumpukan cairan yang berhubungan dengan Asites, dan Ceftriaxone, antibiotik spektrum luas untuk pengobatan infeksi yang dapat terjadi pada pasien dengan HIV dan TB. Plasbumin digunakan untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah guna mengatasi hipoalbuminemia, yang dapat memengaruhi fungsi organ dan jaringan tubuhAminofusin Hepar diberikan untuk mendukung fungsi hati pada pasien dengan insufisiensi hepar 

 

Kesimpulan

Berdasarkan laporan kasus memberikan kesimpulan dalam penanganan pasien dengan HIV yang disertai komplikasi tuberkulosis paru, asites, insufisiensi hepar, dan hipoalbuminemia. Tata laksana yang diberikan mencakup pendekatan nonfarmakologis dan farmakologis yang saling melengkapi. Pada aspek nonfarmakologis, pasien diberikan edukasi tentang langkah-langkah pencegahan penularan HIV dan tuberkulosis paru, serta penjelasan mengenai risiko komplikasi yang dapat timbul. Pasien juga diarahkan untuk segera melaporkan jika terjadi perburukan gejala agar tindakan medis dapat segera diambil. Sedangkan terapi farmakologis dirancang untuk menangani berbagai aspek kondisi pasien. Obat-obatan injeksi, seperti Furosemide, digunakan untuk mengurangi retensi cairan akibat asites, sementara Ceftriaxone diberikan untuk mengatasi infeksi bakteri. Plasbumin digunakan untuk meningkatkan kadar albumin, dan infus kombinasi Asering, Valamin, serta Aminofusin Hepar diberikan untuk mendukung kebutuhan nutrisi intravena. Selain itu, pasien juga menerima terapi oral berupa obat antituberkulosis FDC yang disesuaikan dengan berat badan untuk mengendalikan infeksi tuberkulosis, serta terapi antiretroviral yang terdiri dari Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz untuk mengontrol HIV. Obat tambahan meliputi Spironolactone, Fenofibrate, Paracetamol dan suplemen Curcuma. Selain itu, dilakukan pemantauan terhadap kondisi umum pasien, tanda-tanda vital, hasil laboratorium setelah perbaikan, dan risiko komplikasi yang dapat muncul. Meskipun pasien menunjukkan respons klinis yang positif terhadap terapi, prognosisnya masih dinilaidubia ad bonam”. Temuan ini menegaskan pentingnya pendekatan holistik dan pemantauan berkelanjutan dalam penanganan kasus serupa. 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Berasain, C., Arechederra, M., Argemí, J., Fernández-Barrena, M. G., & Avila, M. A. (2023). Loss of liver function in chronic liver disease: An identity crisis. Journal of hepatology, 78(2), 401-414.

Charissa, O., Santoso, A. H., Kurniawan, J., Wijaya, D. A., Setiawan, F. V., Wijaya, B. A., Soebrata, L., & Suros, A. S. (2023). Upaya Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Terhadap Pentingnya Albumin Dalam Penyembuhan Luka Pada Lansia. Community Development Journal: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 4(6), 12070–12076. https://doi.org/10.31004/cdj.v4i6.20843 

Dafitri, I. A., Medison, I., & Mizarti, D. (2020). Laporan Kasus TB Paru Koinfeksi HIV/AIDS. Jurnal Kedokteran YARSI, 28(2), 021-031. 

Dwipayana, I. M. G. (2022). Mengenali Gambaran Penyakit Tuberkulosis Paru Dan Cara Penanganannya. Widya Kesehatan, 4(1). https://doi.org/10.32795/widyakesehatan.v4i1.2806

Erdani, F., Novika, R., & Ramadhana, I. F. (2021). Perbandingan Efektivitas Terapi Ekstrak Ikan Gabus Dengan Putih Telur Dan Human Albumin 20% Terhadap Peningkatan Kadar Albumin Pasien Hipoalbuminemia Di RSUD dr. Zainoel Abidin. Journal of Medical Science, 2(2), 123-129. 

Hapsah, H. (2024). Tuberkulosis Paru pada Human Immunodeficiency Virus (HIV). Jurnal Pandu Husada, 5(1), 19–26.

Hasibuan, A., Maulana, M. F. Z., & Mauliah, S. (2024). Melonjaknya Kasus HIV Dikalangan Remaja Indonesia. Amsir Community Service Journal, 2(1), 1-8. 

Karim, A., Kahermasari, Mutia , C., & Putri T, A. (2024). Waspada Penyakit Liver Dan Kanker Hati Maka Perlu Pemberian Vaksin Hepatitis B. Scientica: Jurnal Ilmiah Sains Dan Teknologi, 2(4), 116–123. https://doi.org/10.572349/scientica.v2i4.1189 

Natarajan, A., Beena, P. M., Devnikar, A. V., & Mali, S. (2020). A systemic review on tuberculosis. Indian Journal of Tuberculosis, 67(3), 295–311. https://doi.org/10.1016/j.ijtb.2020.02.005 

Natasya, N., Bahri, T. S., & Kasih, L. C. (2022). Asuhan keperawatan pada PSMBA dengan sirosis hepatis: Suatu studi kasus. JIM FKep, 1(2), 52–60.   

Palestin, P. (2022). Asites dan Hypoalbuinemia Pada Kucing Mix Domestic Long Hair (Ascites and Hypoalbumenia in Mix Domestic Long Hair Cat). 

Purnamasari, D., Budi, D. T. S., & Palebangan, C. N. (2022). Aspek diagnosis dan tatalaksana pasien koinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) dengan tuberkulosis (TB): Tantangan bagi klinisi di daerah perifer. Jurnal Penyakit Dalam Udayana, 6(2). https://doi.org/10.36216/jpd.v6i2.184

Rose, C. F., Amodio, P., Bajaj, J. S., Dhiman, R. K., Montagnese, S., Taylor-Robinson, S. D., Vilstrup, H., & Jalan, R. (2020). Hepatic encephalopathy: Novel insights into classification, pathophysiology and therapy. Journal of Hepatology, 73(6), 1526–1547. https://doi.org/10.1016/j.jhep.2020.07.013 

Rudler, M., Mallet, M., Sultanik, P., Bouzbib, C., & Thabut, D. (2020). Optimal management of ascites. Liver International, 40(Suppl 1), 128-135. https://doi.org/10.1111/liv.14361 

Sameen, S., Lakhdir, M. P. A., Azam, S. I., & Asad, N. (2023). Evaluating knowledge about HIV and discriminatory attitudes among Pakistani women of reproductive age using 2017-18 Demographic Health Survey data. Scientific Reports, 13(1), Article 17849. https://doi.org/10.1038/s41598-023-45117-z 

Saunders, K. O., Counts, J., Thakur, B., Stalls, V., Edwards, R., Manne, K., Lu, X., Mansouri, K., Chen, Y., Parks, R., Barr, M., Sutherland, L., Bal, J., Havill, N., Chen, H., Machiele, E., Jamieson, N., Hora, B., Kopp, M., ... Haynes, B. F. (2024). Vaccine induction of CD4-mimicking HIV-1 broadly neutralizing antibody precursors in Hasibuan macaques. Cell, 187(1), 79–94.e24. https://doi.org/10.1016/j.cell.2023.12.002 

Sossen, B., Richards, A. S., Heinsohn, T., Frascella, B., Balzarini, F., Oradini-Alacreu, A., Odone, A., Rogozinska, E., Häcker, B., Cobelens, F., Kranzer, K., Houben, R. M. G. J., & Esmail, H. (2023). The natural history of untreated pulmonary tuberculosis in adults: A systematic review and meta-analysis. The Lancet Respiratory Medicine, 11(4), 367–379. https://doi.org/10.1016/S2213-2600(23)00097-8 

Syahrizal, S., Salsabila, A., & Sabrina, A. (2023). Pengaruh ekstrak ikan gabus dengan peningkatan kadar albumin pada pasien sindrom nefrotik. Jurnal Anestesi, 1(3), 140–148. https://doi.org/10.59680/anestesi.v1i3.345 

Wahyuni, N. W. S., Negara, I. M. K., & Putra, I. B. A. (2023). Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang HIV/AIDS Dengan Minat Ibu Hamil Melakukan Voluntary Counselling And Testing (VCT) Di Puskesmas Ubud II. Jurnal Riset Kesehatan Nasional, 7(1). https://doi.org/10.37294/jrkn.v7i1.441

 

Copyright holder:

Febbryna Wahyu Utamy, Dessy Andriani (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: