Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 12, Desember 2024

 

PENGATURAN PENUNDAAN PEMILIHAN UMUM: STUDI PERBANDINGAN KONSTITUSI INDONESIA DENGAN TURKI

 

Rahadian Bino Wardanu1, Taufany Ikmal Billah2, Fernanda Nadhif3, Muhammad Daffa Dzakiyya4, Anggito Bagas Abimanyu5

Universitas Airlangga, Indonesia1,2,3,4,5

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, [email protected]4, [email protected]5

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis urgensi pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia serta membandingkannya dengan pengaturan serupa dalam Konstitusi Turki. Permasalahan yang diangkat meliputi pentingnya pengaturan penundaan pemilu, analisis perbandingan antara Indonesia dan Turki, serta mekanisme dan persyaratan yang diperlukan untuk diimplementasikan dalam Konstitusi Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan perbandingan hukum (comparative law) yang mengkaji persamaan dan perbedaan unsur dari kedua sistem hukum untuk memberikan preskripsi normatif. Data diperoleh dari bahan hukum primer, seperti undang-undang terkait pemilu, dan bahan hukum sekunder berupa literatur akademik dan penelitian hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konstitusi Indonesia belum mengatur secara eksplisit mekanisme penundaan pemilu dalam situasi darurat, seperti bencana alam besar, perang, atau pandemi, yang dapat mengakibatkan kekosongan jabatan negara. Sebaliknya, Turki telah memiliki pengaturan yang memberikan kepastian hukum dalam kondisi serupa. Studi ini menyimpulkan bahwa pengaturan penundaan pemilu dalam Konstitusi Indonesia sangat penting untuk memastikan kelangsungan pemerintahan dan menghindari potensi kesewenang-wenangan. Mekanisme ini harus disertai persyaratan ketat, seperti adanya keputusan bersama antara lembaga legislatif dan eksekutif serta pengawasan yudisial, guna menjamin akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Implikasi penelitian ini adalah memberikan rekomendasi bagi pembuat kebijakan untuk memperbaiki Konstitusi Indonesia, memastikan adanya landasan hukum yang kuat dalam menghadapi situasi darurat, sekaligus menjaga prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Kata Kunci: Konstitusi, Pemilihan Umum, Penundaan, Indonesia, Turki, Perbandingan Hukum, Situasi Darurat, Kerangka Hukum

 

Abstract

This study aims to analyze the urgency of regulating the postponement of general elections in the Indonesian Constitution and compare it with similar provisions in the Turkish Constitution. The issues addressed include the importance of election postponement regulations, a comparative analysis between Indonesia and Turkey, and the mechanisms and requirements needed for implementation in the Indonesian Constitution. This research employs a normative legal method with a comparative law approach, examining the similarities and differences in the elements of both legal systems to provide normative prescriptions. Data were obtained from primary legal materials, such as election-related laws, and secondary legal materials, including academic literature and legal studies. The findings indicate that the Indonesian Constitution does not explicitly regulate mechanisms for postponing elections in emergency situations such as major natural disasters, war, or pandemics, which could lead to a vacancy in state offices. Conversely, Turkey has established provisions that provide legal certainty in similar circumstances. This study concludes that regulating election postponement in the Indonesian Constitution is crucial to ensuring government continuity and avoiding potential abuses of power. Such mechanisms must be accompanied by strict requirements, such as joint decisions between legislative and executive bodies and judicial oversight, to guarantee accountability and prevent misuse of authority. The implications of this study provide recommendations for policymakers to amend the Indonesian Constitution, ensuring a strong legal framework for addressing emergency situations while upholding democratic principles and the rule of law.

Keywords: Constitution, General Election, Postponement, Indonesia, Turkey, Comparative Law, Emergency Situations, Legal Framework

 

Pendahuluan

Setiap negara di dunia pasti memiliki konstitusinya masing-masing. Diaturnya konstitusi suatu negara menjadi keniscayaan terlepas bagaimanapun jenis pemerintahan, bentuk negara,  hingga besar-kecilnya negara tersebut. Pengertian konstitusi yakni peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegaraan yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ negara dan aturan tentang hubungan organ negara dengan warga negara (Asshiddiqie, 2021). Konstitusi tidak hanya memuat norma tertinggi (een hoogste normen) tetapi merupakan pula pedoman konstitusional (een constitutionale richtsnoer) bagi para warga (rakyat banyak) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (H. M. L. Marzuki, 2009).

Dalam suatu negara, konstitusi memiliki fungsi untuk membatasi kekuasaan negara serta menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena sejatinya sejak bangsa Indonesia merdeka, salah satu prinsip dasar bernegara yang dianut adalah paham kedaulatan rakyat. Hal ini ditandai sebagaimana amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat (Arrsa, 2014). Oleh sebab itu suatu kekuasaan negara yang terbentuk harus memiliki batasan yang tegas antara penguasa dengan warga negara agar penguasa tidak memanfaatkan kekuasannya untuk kepentingan pribadi, sehingga hak-hak warga negara dapat terlindungi.4 Dengan demikian kedaulatan rakyat akan terimolementasikan dengan baik karena pemerintahan berjalan sesuai kehendak rakyat.

Dalam membagi kekuasaan negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) selaku konstitusi Indonesia menganut konsep Trias politica karena membagi kekuasaan dalam 3 ranah. Konsep Trias politica yakni menganut pengertian pemerintah dalam arti luas yang mempunyai kekuasaan perundang-undangan (Legislative Power), kekuasaan pelaksanaan (Executive Power) dan kekuasaan peradilan (Yudicial Power) yang disebut sebagai tiga bagian pemerintah dan menjelma kedaulatan dalam bernegara (Thaib, 2006). Di Indonesia, asas pemisahan kekuasaan dilakukan dengan sistem checks and balances yang berarti bahwa kekuasaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga negara oleh pembuat UUD NRI 1945 dipandang sebagai balances (keseimbangan), dan sebaliknya kewajiban penerima kekuasaan untuk mempertanggungjawabkan kepada pemberi kekuasaan dipandang sebagai checks (pengawasan) (Yusa, 2016). Adanya pemisahan kekuasaan tersebut diharapkan dapat dijadikan dasar bahwa posisi setiap lembaga negara adalah sederajat, sehingga dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi satu sama lain (check and balances), selain itu pemisahan kekuasaan diharapkan dapat membatasi kekuasaan agar tidak terjadi suatu pemusatan kekuasaan pada satu lembaga yang nantinya dikhawatirkan akan melahirkan kesewenang-wenangan.

Di Indonesia, pengaturan terkait proses pengisian jabatan lembaga negara diatur dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilakukan dengan menyelenggarakan pemilihan umum yang dihelat 5 tahun sekali. Artinya pemilihan umum diselenggarakan untuk mengisi jabatan dalam kekuasaan legislatif yang terdiri dari Majelis Permusyawarakatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah serta kekuasaan eksekutif yakni Presiden dan

Wakil Presiden. Sedangkan dalam ranah yudisiil terdapat lembaga Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Adapun pengisian jabatan pada lembaga yudisiil tidak dilakukan dengan pemilihan umum, melainkan dengan mekanisme lain.

 Pengaturan terkait pembatasan kekuasaan yang dimiliki penguasa tercermin dalam butirbutir isi UUD NRI 1945, salah satunya yakni pengaturan terkait masa jabatan Presiden Republik Indonesia. Pasal 7 UUD NRI 1945 mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya Warga Negara Indonesia (WNI) yang terpilih menjadi Presiden atau Wakil Presiden hanya dapat menjabat paling lama selama 10 tahun. Pengaturan tersebut baru diatur dalam UUD NRI 1945 pasca terjadinya reformasi di Indonesia. Sebelumnya, WNI yang terpilih menjadi Presiden atau Wakil Presiden dapat menjabat selamanya tanpa adanya batasan waktu.

 Dalam hal masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), UUD NRI 1945 hanya mengatur bahwa masa jabatan anggota DPR dan DPD adalah 5 tahun dan tidak ada batas maksimal seorang WNI dapat menjadi anggota DPR dan DPD berapa periode. Hal tersebut dikarenakan anggota DPR maupun DPD hanya dapat menjalankan fungsinya secara kelembagaan saja, artinya tidak dimungkinkan anggota DPR dan DPD untuk melakukan penyelewengan fungsi lembaga negara tersebut karena harus dilakukan secara kolektif. Hal tersebut berbeda dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden yang dijalankan oleh perseorangan. Terkait dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masa jabatan dan periodisasi anggota terpilih sama dengan masa jabatan dan periodisasi anggota DPR, yakni masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali setelahnya tanpa ada maksimal periode yang dapat dijabat.

Tujuan dari adanya pengaturan pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tersebut tentu hendak mengatur batasan seseorang ketika menjadi penguasa, dalam hal ini menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut didasarkan pada kondisi Negara Indonesia sebelum perubahan UUD NRI 1945. Sebelum munculnya UUD NRI 1945 pasca amandemen, Konstitusi Indonesia tidak mengatur terkait baats maksimal Presiden dan Wakil Presiden dalam menjabat. Konstitusi hanya mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali setelahnya. Hal tersebut memunculkan praktik kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Presiden sebagai penguasa negara. Namun demikian, meskipun lembaga legislatif telah mengupayakan untuk membuat peraturan terkait masa jabatan lembaga negara sebaik-baiknya, tetapi terdapat permasalahan hukum yang masih belum terakomodir, yakni terkait adanya situasi darurat yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pemilihan umum. Situasi darurat yang dimaksud yakni seperti bencana alam skala besar, perang, pemberontakan, atau pandemi yang tak bisa ditangani secara cepat atau terjadi keadaan darurat negara yang menyebabkan pemilihan umum tidak dapat digelar sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi. Hal tersebut tentu dapat mengakibatkan kekosongan jabatan pada lembaga negara. Sayangnya UUD NRI 1945 tidak mengatur bilamana kondisi tersebut terjadi. Untuk itu dalam jurnal ini kami merumuskannya dalam tiga rumusan masalah, yaitu: 1) Urgensi pengaturan penundaan pemilihan umum pada Konstitusi di Indonesia, 2) Pengaturan terkait penundaan pemilihan umum yang diatur dalam Konstitusi Turki dan Indonesia, 3) Mekanisme dan persyaratan pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses, prinsip-prinsip, dan tata cara untuk memecahkan masalah yang akan dihadapi saat melakukan penelitian (Efendi & Ibrahim, 2018). Tulisan ini bersumber dari penelitian hukum normatif. Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Marzuki, 2005). Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah sumber bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan terkait dengan Pemilihan Umum (PEMILU). Sumber bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi buku-buku teks, penelitian ilmiah, dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan artikel ini (Harefa & Sitompul, 2021).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis perbandingan hukum. Perbandingan hukum dilakukan untuk mengkaji bagaimana sistem hukum yang berbeda menghadapi permasalahan hukum tertentu. Perbandingan hukum dilakukan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan unsur dari setiap sistem hukum (functional method), sehingga dapat menjadi alternatif dalam menyikapi persoalan-persoalan tertentu. Proses perbandingan dengan demikian, dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan mengenai perbedaan karakteristik pada masing-masing sistem hukum dan/atau penggunaan komponen yang sama untuk menghadapi pokok persoalan tertentu. Perbandingan hukum juga dilakukan untuk mencari hal-hal yang belum pernah diungkapkan sebelumnya sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan hukum dalam membentuk atau memperbaharui peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang (futuristic) (Anisah, 2009).

 Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia berkaitan dengan penundaan pemilu merupakan hal yang banyak dihadapi oleh negara di dunia. Turki sudah lebih dulu mengatasinya dengan peraturan yang sudah dimiliki oleh Turki. Dengan demikian, konteks perbandingan hukum menjadi relevan untuk diterapkan dalam tulisan ini sebagai upaya untuk melakukan penelaahan lebih jauh terkaitpenundaan pemilu di Indonesia dan Turki.

 

Hasil dan Pembahasan

Urgensi pengaturan penundaan pemilihan umum pada Konstitusi Indonesia

Pengaturan terkait penundaan pemilihan umum di Indonesia selaku negara hukum pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua mekanisme, yakni mekanisme konstitusional dan mekanisme inkonstitusional. Mekanisme pengaturan penundaan pemilu secara konstitusional dilakukan dengan melakukan perubahan (amandemen) UUD NRI 1945. Hal tersebut tentu merupakan hal yang sah secara hukum karena prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD NRI 1945 dan Pasal 24 sampai Pasal 32 Undang-Undang nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2019. Cara konstitusional tersebut merupakan cara yang terbaik karena melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam UUD NRI 1945 sehingga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan mekanisme pengaturan dengan cara inkonstitusional setidaknya dapat dilakukan melalui dua hal, yakni melalui Dekrit Presiden atau Konvensi Ketatanegaraan (Diniyanto, 2022)

Kedua mekanisme pengaturan penundaan pemilihan umum tersebut, baik lonstitusional maupun inkonstitusional memang memungkinkan terjadi di Indonesia, mengingat kedua cara tersebut pernah terjadi di Indonesia. Cara konstitusional melalui amandemen konstitusi pernah terjadi setidaknya pasca terjadinya reformasi, dimana terjadi empat kali amandemen UUD Tahun 1945 sehingga menjadi UUD NRI 1945. Dalam aturan perubahan konstitusi,  terdapat  batasanbatasan  yang  telah  ditetapkan  oleh  konstitusi  yang  bersangkutan.  Batasan-batasan  tersebut  ada  yang  bersifat  prosedural  maupun  substansial.  Pembatasan  yang  bersifat  prosedural  dapat  berbentuk  mekanisme atau prosedur tertentu yang harus dilaksanakan dalam perubahan konstitusi, sedangkan substansial misalnya  terkait ketentuan  yang  mengecualikan  perubahan  atas  bentuk  negara  kesatuan  atau  federal,  bentuk  pemerintahan  monarki  atau  republik  dan  sebagainya.

Dilain sisi, cara inkonstitusional melalui Dekrit Presiden dan Konvensi Ketatanegaraan juga pernah terjadi. Dekrit Presiden Indonesia terjadi dua kali, yakni Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dan Maklumat Presiden 23 Juli 2001 yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Kedua Dekrit tersebut memiliki ujung yang berbeda, Dekrit Presiden Soekarno dianggap berlaku karena mendapat dukungan dari masyarakat, sedangkan Maklumat Presiden Abdurrahman Wahid berujung sebaliknya hingga menjadi salah satu alasan diberhentikannya Presiden Abdurrahman Wahid selaku Presiden RI. Pada dasarnya Dekrit diterbitkan oleh Presiden dengan tafsir adanya keadaan darurat negara. Pembuktian terhadap berhasil atau tidaknya sebuah Dekrit diuji dan dibuktikan dalam penerapan Dekrit yang berdasarkan pada dukungan serta kekuatan politik kepada Presiden yang sedang berkuasa (Hermawan & Rizal, 2022).

Selain itu, penerapan Konvensi Ketatanegaraan juga pernah terjadi di Indonesia yakni ketika pergantian sistem pemerintahan di Indonesia pada akhir tahun 1945. Pergantian sistem pemerintahan tersebut terjadi dari sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Pada saat itu, UUD Tahun 1945 sebagai konstitusi pada dasarnya tidak mengatur atau menentukan terkait dengan sistem parlementer. Meskipun bentuk pemerintahan tidak mengalami perubahan dalam Konstitusi, namun melalui Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, dalam proses dan praktik ketatanegaraan kemudian muncul adanya Perdana Menteri. Perdana Menteri dan menteri tidak bertanggung jawab kepada Presiden melainkan kepada parlemen (Diniyanto, 2022).

Konvensi   ketatanegaraan   walaupun   bukan   sebagai   aturan   hukum   yang   tertulis,   keberadaannya diakui dan dijalankan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Bahkan ketika hukum  yang  tertulis  tidak  mampu  menyelesaikan  permasalahan,  maka  konsep  hukum  yang  digunakan adalah  asas hukum yang berisikan moral dan norma-norma kebiasaan untuk dapat memberikan rujukan untuk menyelesaikan masalah ketatanegaraan (Agiwinata, 2014). Praktik tersebut dalam berjalannya waktu diterima dan ditaati oleh masyarakat, sehingga memenuhi rumusan untuk disebut sebagai konvensi ketatanegaraan (Asshiddiqie, 2011). Dengan demikian terdapat kesamaan antara kedua cara inkonstitusional tersebut, yakni diterima dan ditaatinya Dekrit Presiden dan Konvensi Ketatanegaraan tersebut. Hal tersebut tentu tidak memberikan kepastian hukum bagi masyarakat karena tidak adanya mekanisme dan prosedur yang jelas terkait perlindungan hukum bagi masyarakat.

Pemilihan umum yang diatur dalam konstitusi merupakan pondasi dari sistem demokrasi yang sehat. Pengaturan ini memastikan bahwa proses pemilihan dilakukan secara adil dan transparan serta memberikan legitimasi kepada pemerintahan yang terpilih dan menjaga kestabilan politik negara (Asshiddiqie, 2011). Dengan mengatur pemilihan umum dalam konstitusi, negara menjamin bahwa hak-hak politik warga negara, terutama hak untuk memilih dan dipilih, terlindungi. Ini adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasar (Mahfud, 2010). Dengan mengatur pemilihan umum dalam konstitusi, negara bertujuan untuk menjamin legitimasi pemerintahan, perlindungan HAM, menjaga keteraturan dan kepastian hukum, mendorong keadilan dan kesetaraan WNI, menjalankan mekanisme kontrol dan akuntabilitas oleh publik, menjamin stabilitas politik, sarana transparansi untuk memperoleh kepercayaan publik, serta pengimplementasian prinsip demokrasi. Hal tersebut yang melatar belakangi diaturnya pemilihan umum dalam pasal 22E UUD NRI 1945. Namun bila diceramati lebih jauh, terdapat kekosongan hukum dalam pengaturan pemilihan umum dalam konstitusi, yakni terkait pengaturan penundaan pemilihan umum. 

 

Pengaturan terkait penundaan pemilihan umum yang diatur dalam Konstitusi Turki dan Indonesia

1)  Pengaturan Penundaan Pemilihan Umum di Turki

Pengaturan penundaan pemilihan umum merupakan muatan yang diatur dalam Konstitusi Turki. Pasal 78 Konstitusi Turki menyatakan bahwa pemilihan umum dapat ditunda oleh parlemen (Majelis Agung Nasional Turki) jika terjadi perang. Dalam pasal 78 Konstitusi Turki disebutkan bahwa pemilihan umum tidak dapat diadakan jika negara sedang dalam keadaan perang. Bila negara sudah ditetapkan dalam keadaan perang, Majelis Agung Nasional Turki dapat memutuskan untuk menunda pemilihan umum selama satu tahun. Jika alasan penundaan masih ada pada akhir periode tersebut, penundaan pemilihan umum dapat diulang sesuai dengan prosedur yang sama.

Selain itu, terdapat mekanisme pemilihan sela yang akan diadakan jika terjadi kekosongan dalam keanggotaan Majelis Agung Nasional Turki. Pemilihan sela diadakan sekali dalam setiap masa jabatan pemilihan dan tidak dapat diadakan kecuali tiga puluh bulan setelah pemilihan umum. Namun, jika jumlah kursi kosong mencapai lima persen dari total jumlah kursi, pemilihan sela diputuskan untuk diadakan dalam waktu tiga bulan. Pemilihan sela tersebut tidak boleh diadakan dalam waktu satu tahun sebelum pemilihan umum. Terlepas dari situasi yang disebutkan di atas, jika semua kursi di suatu provinsi atau daerah pemilihan kosong di Majelis, pemilihan sela akan diadakan pada hari Minggu pertama setelah sembilan puluh hari setelah kekosongan tersebut. 

Adapun pengaturan terkait penundaan pemilihan umum di beberapa daerah, pemilihan umum dapat ditunda jika terjadi keadaan luar biasa yang menghalangi pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil, seperti bencana alam, konflik bersenjata, atau situasi krisis lainnya yang signifikan.

Penundaan ini harus disetujui oleh Yüksek Seçim Kurulu (YSK) selaku Dewan Pemilihan Tertinggi untuk memastikan bahwa penundaan tersebut sah dan sesuai dengan prinsip demokrasi.

Pengaturan terkait pemilihan umum Turki juga diatur dalam Undang-Undang No. 298 tahun 1961 tentang Ketentuan Dasar Pemilu dan Daftar Pemilih, Undang-Undang No. 2839 tentang Pemilu Anggota Parlemen tahun 1983 yang mengatur terkait pemilihan anggota parlemen (Majelis Agung Nasional Turki), Undang-Undang No. 2972 tentang Pemilu Lokal tahun 1984 yang mengatur terkait pemilihan wali kota, anggota dewan kota, dan pejabat lokal lainnya, dan Undang-Undang No. 6271 tentang Pemilihan Presiden tahun 2012 yang mengatur terkait prosedur dan mekanisme pemilihan Presiden Turki.

 Pengaturan terkait penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Turki tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak terjadi adanya kekosongan kekuasaan bilamana negara tersebut sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya pemilihan umum. Selain itu pengaturan tersebut merupakan peraturan yang fundamental sehingga dimasukkan dalam muatan Konstitusi Turki agar tidak mudah untuk diubah seperti UndangUndang.

 

2)  Pengaturan Penundaan Pemilihan Umum di Indonesia

Di Indonesia, pengaturan terkait penundaan pemilihan umum diatur dalam pasal 431, 432, dan 433 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Penundaan pemilihan umum di Indonesia ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota/Kabupaten bila terdapat penundaan pemilihan umum yang meliputi beberapa desa dan kecamatan, KPU Provinsi bila terdapat penundaan pemilihan umum yang meliputi beberapa kabupaten/kota, KPU RI bila terdapat penundaan pemilihan umum yang meliputi beberapa provinsi, dan Presiden RI bila pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan di 40% jumlah provinsi dan 50% dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Adapun persyaratan penetapan penundaan pemilihan umum yakni bila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan.

 Dengan demikian lembaga negara yang diberi wewenang oleh UU Pemilu untuk menetapkan penundaan pemilihan umum secara nasional yakni Presiden RI. Bilamana penetapan penundaan pemilihan umum telah dilakukan, maka mekanisme selanjutnya yakni penyelenggaran pemilihan umum akan melakukan pemilihan umum lanjutan dan/atau pemilihan umum susulan yang pengaturannya diatur dalam Keputusan KPU No. 66 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Pelaksanaan pemilihan umum lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilihan umum terhenti, sedangkan pelaksanaan pemilihan umum susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan umum.

Pengaturan terkait persyaratan dan mekanisme penundaan pemilihan umum di Indonesia hanya diatur dengan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum saja, sedangkan UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi Indonesia tidak mengatur terkait dengan persyaratan maupun mekanisme dilakukannya penundaan pemilihan umum. Hal tersebut dikhawatirkan dapat diselewengkan mengingat mudahnya mekanisme perubahan Undang-Undang di Indonesia, atau dalam hal lain pengaturan tersebut dapat diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) yang dikeluarkan oleh Presiden RI. Kekhawatiran terhadap kesewenangwenangan yang dilakukan oleh penguasa tersebut harus diatasi dengan memasukkan muatan pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia.

Pengaturan penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 juga tidak terlepas dari sifat UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi Indonesia yang bersifat Rigid. Menurut James Bryce, bersifat Rigid yakni mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain serta hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa (Bryce, 1902). Selain itu, C.F. Strong juga memiliki pendapat serupa, yakni konstitusi bersifat rigid apabila perubahan konstitusi hanya dilakukan dengan cara yang khusus (Rose, 1950).

Dari perbandingan pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Turki dan Konstitusi Indonesia diatas, setidaknya terdapat dua urgensi terkait pengaturan penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 yakni :

Pertama, Pengaturan terkait penundaan pemilihan umum merupakan salah satu pengaturan yang berkaitan dengan pengisian jabatan Lembaga Negara, khususnya Presiden dan Wakil Presiden RI sebagai pelaksana undang-undang dalam ranah eksekutif, serta DPD, DPR, dan MPR yang merupakan parlemen RI yang juga diatur dalam Konstitusi Indonesia. Sehingga pengaturan penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena menyangkut pengisian jabatan Lembaga Negara Presiden dan Wakil Presiden RI, DPD, DPR, dan MPR.

Kedua, Pengaturan penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 merupakan salah satu bentuk pemberian kepastian hukum bagi terselenggaranya fungsi legislasi dan ketata pemerintahan NKRI. Hal tersebut dikarenakan dengan diaturnya penundaan pemilihan umum di Indonesia merupakan sarana untuk memberikan legitimasi pada pengisi jabatan Lembaga Negara yang kosong akibat tidak dapat dilaksanakannya pemilihan umum.

 

Mekanisme dan persyaratan pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia

Pengaturan terkait penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia tentu tidak dapat dilakukan sembarangan karena dikhawatirkan dapat dijadikan sebagai alat pelanggeng kekuasaan oleh penguasa. Oleh sebab itu diperlukan mekanisme terkait persyaratan penundaan pemilihan umum untuk meminimalisir terjadinya kesewenang-wenangan penguasa tersebut karena tidak menutup kemungkinan bahwa suatu pemerintahan dapat didukung oleh mayoritas kursi parlemen, hingga yang lebih ekstrem suatu pemerintahan didukung oleh seluruh partai politik yang kadernya duduk di parlemen. Hal tersebut tentunya akan menjadikan iklim demokrasi yang tidak stabil karena pemerintah dan parlemen dapat sewaktu-waktu melakukan penundaan pemilihan umum, sehingga atas dasar tersebut mekanisme persyaratan penundaan pemilihan umum menjadi relevan.

Adanya mekanisme dan persyaratan penundaan pemilihan umum yang jelas juga bertujuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi merupakanemergency exitketika kondisi negara dalam keadaan darurat saja. Sehingga komitmen yang dibangun antara parlemen (sebagai pelaksana hak untuk melakukan amandemen) dengan masyarakat dapat terjalin baik sehingga mengurangi resistensi atau respon negatif yang kuat dari masyarakat. Karena yang menjadi poin penting diaturnya penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia adalah sebagai jalan keluar terakhir ketika kondisi negara sedang dalam keadaan darurat agar tidak terjadi chaos bilamana terjadi kekosongan dalam parlemen dan kekosongan dalam pemerintahan. 

Setidaknya terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan mekanisme penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945. Yakni terkait alasan diaturnya penundaan pemilihan umum, jangka waktu penundaan, lembaga yang diberi kewenangan menetapkan penundaan pemilihan umum, dan pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa jabatan lembaga negara yang dihasilkan oleh pemilihan umum telah berakhir.

Pertama, terkait alasan penundaan pemilihan umum, bila menerapkan metode perbandingan konstitusi dengan Konstitusi Turki, Konstitusi Indonesia dapat menerapkan persyaratan penundaan pemilihan umum Turki secara nasional sebagaimana diatur pada pasal 78 Konstitusi Turki yang menyebutkan bahwa jika negara dalam keadaan perang, maka parlemen dapat memutuskan untuk melakukan penundaan pemilihan umum secara nasional selama satu tahuh dan dapat diulangi bila negara masih pada kondisi yang sama. Persyaratan adanya kondisi yang mengancam negara karena dalam keadaan perang tersebut relevan untuk dijadikan persyaratan penundaan pemilihan umum karena jika negara sedang dalam keadaan perang maka negara harus fokus kepada keselamatan warga negara dan aspek lain penunjang kehidupan masyarakat selama perang terjadi. 

Konstitusi harus secara limitatif memberi batasan bahwa pemilihan umum boleh ditunda hanya bilamana terdapat kondisi yang mengancam keselamatan seluruh bangsa. Di luar alasan tersebut seharusnya dilarang melakukan penundaan pemilihan umum. Namun demikian, alasan tersebut sejatinya tidak dapat dijadikan satu-satunya rujukan. Parlemen dapat memasukan alasan lain sebagai persyaratan penundaan pemilihan umum selama alasan tersebut berkaitan dengan keselamatan negara dan warga negara seperti terjadinya pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, serta bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi.

Menurut Mahendra (2022), mekanisme pengaturan penundaan pemilihan umum dalam konstitusi sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal UUD NRI 1945 yang ada sekarang secara harfiah, melainkan hanya menambahkan pasal baru dalam UUD NRI 1945 yang terkait dengan pemilihan umum. Penambahan pasal yang dimaksud yakni penambahan pasal 22 E ayat (7) dan ayat (8) yang masing-masing berbunyi, 

(7)    Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu.”

(8)    semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum.”

Terkait alasan penundaan pemilihan umum yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra tersebut, pada dasarnya sudah mencakup keadaan darurat yang mengakibatkan tidak dapat dilangsungkannya suatu pemilihan umum di Indonesia. Hal ini dikarenakan alasan penundaan pemilihan umum tersebut berkaitan dengan keselamatan negara, bilamana terjadi perang, pemberontakan, serta gangguan keamanan yang berdampak luas. Selain itu juga berkaitan dengan keselamatan WNI dalam hal terdapat bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi.

 Kedua, terkait jangka waktu penundaan pemilihan umum juga menjadi hal yang harus diperhatikan dan perlu untuk diatur dalam Konstitusi Indonesia karena berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan rakyat yang tertuang dalam pemilihan umum. Terkait jangka waktu penundaan pada dasarnya dapat ditetapkan selama 1 (satu) tahun saja dengan opsi dapat dievaluasi dan diperpanjang kembali, mengingat pentingnya pemilihan umum sebagai sarana pemberian legitimasi bagi pemerintah dan parlemen. Namun kepastiannya tentu harus tetap mempertimbangankan kepentingan negara dan warga negara.

 Ketiga, yakni perihal lembaga mana yang berhak untuk menetapkan dilakukannya penundaan pemilihan umum. Berbeda dengan bunyi tambahan pasal yang ditambahkan dalam UUD NRI 1945 oleh Yusril Ihza Mahendra, lembaga yang paling relevan dalam menetapkan penundaan pemilihan umum yakni Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang berfungsi sebagai penafsir Konstitusi Indonesia. Namun dengan persyaratan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya dapat menetapkan penundaan pemilihan umum setelah adanya rekomendasi dari MPR bersama Presiden setelah adanya penetapan bahwa negara berada dalam keadaan bahaya sesuai pasal 12 UUD NRI 1945. Rekomendasi tersebut harus dianalisis lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi apakah telah sesuai dengan UUD NRI 1945. Dengan demikian check and balances antara tiga kekuasaan di Indonesia dapat berjalan sehingga mampu meminimalisir adanya kesewenang-wenangan oleh salah satu lembaga negara. Terkait penetapan penundaan pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi tersebut tidak terdapat upaya hukum lain karena sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat. Selain itu prosedur penetapan tersebut telah dilakukan melalui proses panjang yang melibatkan tiga cabang kekuasaan di Indonesia.

 Keempat, terkait pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa jabatan lembaga negara yang dihasilkan oleh pemilihan umum sebelumnya telah berakhir, yakni tetap diduduki oleh pejabat yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebelumnya sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 sampai dilaksanakan pemilihan umum selanjutnya. Namun statusnya berubah menjadi pejabat sementara. Status tersebut sama dengan anggota Komite nasional Indonesia Pusat (KNIP) di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa orde lama dan awal orde baru. Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal orde baru (Mahendra, 2022).

 

Kesimpulan

Berdasarkan studi perbandingan konstitusi Indonesia dengan Turki, maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan penundaan pemilihan umum harus diatur dalam Konstitusi indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah RI serta lembaga legislatif untuk menjalankan fungsinya ketika negara dalam keadaan darurat. Pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia tentunya harus memuat mekanisme dan persyaratan yang ketat guna meminimalisir adanya kesewenang-wenangan bagi penguasa.

Adanya kekosongan hukum dalam Konstitusi Indonesia terkait pemilihan umum harus diselesaikan melalui diaturnya pengaturan penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 melalui penambahan pasal yang dilakukan dengan amandemen konstitusi. Penambahan pasal tersebut harus melalui prosedur dan mekanisme yang jelas, yakni memuat alasan diaturnya penundaan pemilihan umum, jangka waktu penundaan, lembaga yang diberi kewenangan menetapkan penundaan pemilihan umum, dan pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa jabatan lembaga negara yang dihasilkan oleh pemilihan umum telah berakhir.

 

BIBLIOGRAFI

 

Agiwinata, W. (2014). Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Batu Uji Dalam Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi. Yuridika, 29(2). https://doi.org/10.20473/ydk.v29i2.364

Anisah, S. (2009). Studi Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan. Jurnal Hukum, 16.

Arrsa, R. C. (2014). Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi. Jurnal Konstitusi, 11(3), 515–537.

Asshiddiqie, J. (2011). Pengantar ilmu hukum tata negara.

Asshiddiqie, J. (2021). Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika.

Bryce, J. (1902). Studies in History and Jurisprudence. Harvard Law Review, 15(7). https://doi.org/10.2307/1322944

Diniyanto, A. (2022). Penundaan Pemilihan Umum di Negara Hukum: Kajian Demokrasi Konstitusional. Negara Hukum, 13(2).

Efendi, J., & Ibrahim, J. (2018). Metode penelitian hukum: normatif dan empiris. Prenada Media.

Harefa, B., & Sitompul, L. E. B. (2021). Peran Lembaga Perlindungan Anak Mengadvokasi Anak Pelaku Tindak Pidana. Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, 2(2). https://doi.org/10.51370/jhpk.v2i2.54

Hermawan, S., & Rizal, M. (2022). Pengaruh Dekrit Presiden Terhadap Demokratisasi Di Indonesia. Veritas et Justitia, 8(2). https://doi.org/10.25123/vej.v8i2.5268

Mahendra, Y. I. (2022). Yusril: Hanya Ada 3 Cara Untuk Menunda Pemilu 2024. Kompas.Tv.

Mahfud, M. (2010). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES.

Marzuki, H. M. L. (2009). Kesadaran Berkonstitusi dalam Kaitan Konstitusionalisme. Jurnal Konstitusi, 6(3).

Marzuki, P. M. (2005). Penelitian hukum.

Rose, S. (1950). Modern Political Constitutions: an Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form. International Affairs, 26(2). https://doi.org/10.2307/2605733

Thaib, D. (2006). Teori dan hukum konstitusi.

Yusa, I. G. (2016). Hukum tata negara: pasca perubahan UUD NRI 1945. Setara Press.

 

Copyright holder:

Rahadian Bino Wardanu, Taufany Ikmal Billah, Fernanda Nadhif, Muhammad Daffa Dzakiyya, Anggito Bagas Abimanyu (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: