Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 12, Desember
2024
PENGATURAN PENUNDAAN PEMILIHAN UMUM: STUDI PERBANDINGAN
KONSTITUSI INDONESIA DENGAN TURKI
Rahadian Bino Wardanu1, Taufany Ikmal Billah2,
Fernanda Nadhif3, Muhammad Daffa Dzakiyya4,
Anggito Bagas Abimanyu5
Universitas Airlangga, Indonesia1,2,3,4,5
Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, [email protected]4, [email protected]5
Abstrak
Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis urgensi pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia serta membandingkannya dengan pengaturan serupa dalam Konstitusi
Turki. Permasalahan yang diangkat
meliputi pentingnya pengaturan penundaan pemilu, analisis perbandingan antara Indonesia dan
Turki, serta mekanisme dan persyaratan yang diperlukan untuk diimplementasikan dalam Konstitusi Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan perbandingan hukum (comparative
law) yang mengkaji persamaan
dan perbedaan unsur dari kedua sistem
hukum untuk memberikan preskripsi normatif. Data diperoleh dari bahan hukum
primer, seperti undang-undang
terkait pemilu, dan bahan hukum sekunder
berupa literatur akademik dan penelitian hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konstitusi Indonesia belum mengatur secara eksplisit mekanisme penundaan pemilu dalam situasi darurat,
seperti bencana alam besar, perang,
atau pandemi, yang dapat mengakibatkan kekosongan jabatan negara. Sebaliknya, Turki telah memiliki pengaturan yang memberikan kepastian hukum dalam kondisi
serupa. Studi ini menyimpulkan bahwa pengaturan penundaan pemilu dalam Konstitusi Indonesia sangat
penting untuk memastikan kelangsungan pemerintahan dan menghindari potensi kesewenang-wenangan. Mekanisme ini harus
disertai persyaratan ketat, seperti adanya keputusan bersama antara lembaga legislatif dan eksekutif serta pengawasan yudisial, guna menjamin akuntabilitas
dan mencegah penyalahgunaan
kekuasaan. Implikasi penelitian ini adalah memberikan rekomendasi bagi pembuat kebijakan untuk memperbaiki Konstitusi Indonesia, memastikan adanya landasan hukum yang kuat dalam menghadapi situasi darurat, sekaligus menjaga prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Kata Kunci: Konstitusi, Pemilihan
Umum, Penundaan, Indonesia,
Turki, Perbandingan Hukum, Situasi
Darurat, Kerangka Hukum
Abstract
This study aims to analyze the urgency of regulating the postponement of
general elections in the Indonesian Constitution and compare it with similar
provisions in the Turkish Constitution. The issues addressed include the
importance of election postponement regulations, a comparative analysis between
Indonesia and Turkey, and the mechanisms and requirements needed for
implementation in the Indonesian Constitution. This research employs a
normative legal method with a comparative law approach, examining the
similarities and differences in the elements of both legal systems to provide
normative prescriptions. Data were obtained from primary legal materials, such
as election-related laws, and secondary legal materials, including academic
literature and legal studies. The findings indicate that the Indonesian
Constitution does not explicitly regulate mechanisms for postponing elections
in emergency situations such as major natural disasters, war, or pandemics,
which could lead to a vacancy in state offices. Conversely, Turkey has
established provisions that provide legal certainty in similar circumstances.
This study concludes that regulating election postponement in the Indonesian
Constitution is crucial to ensuring government continuity and avoiding
potential abuses of power. Such mechanisms must be accompanied by strict
requirements, such as joint decisions between legislative and executive bodies
and judicial oversight, to guarantee accountability and prevent misuse of
authority. The implications of this study provide recommendations for
policymakers to amend the Indonesian Constitution, ensuring a strong legal
framework for addressing emergency situations while upholding democratic
principles and the rule of law.
Keywords: Constitution, General Election, Postponement,
Indonesia, Turkey, Comparative Law, Emergency Situations, Legal Framework
Setiap negara di dunia pasti memiliki konstitusinya masing-masing. Diaturnya
konstitusi suatu negara menjadi keniscayaan terlepas bagaimanapun jenis pemerintahan, bentuk negara, hingga besar-kecilnya negara tersebut. Pengertian konstitusi yakni peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegaraan yang
menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur
hubungan antar organ negara
dan aturan tentang hubungan organ negara dengan warga negara
Dalam suatu
negara, konstitusi memiliki
fungsi untuk membatasi kekuasaan negara serta menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena sejatinya sejak bangsa Indonesia merdeka, salah satu prinsip dasar bernegara
yang dianut adalah paham kedaulatan rakyat. Hal ini ditandai sebagaimana
amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
Dalam membagi
kekuasaan negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) selaku konstitusi
Indonesia menganut konsep Trias politica
karena membagi kekuasaan dalam 3 ranah. Konsep Trias politica
yakni menganut pengertian pemerintah dalam arti luas yang mempunyai kekuasaan perundang-undangan (Legislative
Power), kekuasaan pelaksanaan
(Executive Power) dan kekuasaan peradilan (Yudicial Power) yang disebut
sebagai tiga bagian pemerintah dan menjelma kedaulatan dalam bernegara
Di Indonesia, pengaturan
terkait proses pengisian jabatan lembaga negara diatur dalam Pasal 22E UUD NRI
1945 yang mengatur bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilakukan dengan menyelenggarakan pemilihan umum yang dihelat 5 tahun sekali. Artinya
pemilihan umum diselenggarakan untuk mengisi jabatan dalam kekuasaan legislatif yang terdiri dari Majelis Permusyawarakatan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah serta kekuasaan eksekutif yakni Presiden dan
Wakil Presiden.
Sedangkan dalam ranah yudisiil terdapat lembaga Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Adapun pengisian jabatan pada lembaga yudisiil tidak dilakukan dengan pemilihan umum, melainkan dengan mekanisme lain.
Pengaturan terkait
pembatasan kekuasaan yang dimiliki penguasa tercermin dalam butirbutir isi UUD NRI 1945,
salah satunya yakni pengaturan terkait masa jabatan Presiden Republik
Indonesia. Pasal 7 UUD NRI 1945 mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hanya untuk
satu kali masa jabatan. Artinya Warga Negara Indonesia
(WNI) yang terpilih menjadi
Presiden atau Wakil Presiden hanya dapat menjabat paling lama selama 10 tahun. Pengaturan tersebut baru diatur dalam
UUD NRI 1945 pasca terjadinya
reformasi di Indonesia. Sebelumnya, WNI yang terpilih menjadi Presiden atau Wakil Presiden dapat menjabat selamanya tanpa adanya batasan
waktu.
Dalam hal masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), UUD NRI 1945
hanya mengatur bahwa masa jabatan anggota DPR dan DPD adalah 5 tahun dan tidak ada batas maksimal seorang WNI dapat menjadi anggota DPR dan DPD berapa periode. Hal tersebut dikarenakan anggota DPR maupun DPD hanya dapat menjalankan
fungsinya secara kelembagaan saja, artinya tidak dimungkinkan
anggota DPR dan DPD untuk melakukan penyelewengan fungsi lembaga negara tersebut karena harus dilakukan secara kolektif. Hal tersebut berbeda dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden yang dijalankan oleh perseorangan. Terkait dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masa jabatan
dan periodisasi anggota terpilih sama dengan
masa jabatan dan periodisasi
anggota DPR, yakni masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali
setelahnya tanpa ada maksimal periode
yang dapat dijabat.
Tujuan dari adanya pengaturan pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tersebut tentu hendak mengatur batasan seseorang ketika menjadi penguasa, dalam hal ini menjadi
Presiden dan Wakil Presiden.
Hal tersebut didasarkan
pada kondisi Negara Indonesia sebelum
perubahan UUD NRI 1945. Sebelum
munculnya UUD NRI 1945 pasca
amandemen, Konstitusi
Indonesia tidak mengatur terkait baats maksimal
Presiden dan Wakil Presiden
dalam menjabat. Konstitusi hanya mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali setelahnya. Hal tersebut memunculkan praktik kesewenang-wenangan yang dilakukan
oleh Presiden sebagai penguasa negara. Namun demikian, meskipun lembaga legislatif telah mengupayakan untuk membuat peraturan
terkait masa jabatan lembaga negara sebaik-baiknya, tetapi terdapat permasalahan hukum yang masih belum terakomodir,
yakni terkait adanya situasi darurat yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pemilihan umum. Situasi darurat
yang dimaksud yakni seperti bencana alam skala besar,
perang, pemberontakan, atau pandemi yang tak bisa ditangani
secara cepat atau terjadi keadaan
darurat negara yang menyebabkan
pemilihan umum tidak dapat digelar
sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi.
Hal tersebut tentu dapat mengakibatkan kekosongan jabatan pada lembaga negara. Sayangnya UUD NRI
1945 tidak mengatur bilamana kondisi tersebut terjadi. Untuk itu dalam
jurnal ini kami merumuskannya dalam tiga rumusan masalah,
yaitu: 1) Urgensi pengaturan penundaan pemilihan umum pada Konstitusi di Indonesia, 2) Pengaturan
terkait penundaan pemilihan umum yang diatur dalam Konstitusi
Turki dan Indonesia, 3) Mekanisme dan persyaratan pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi
Indonesia.
Metode Penelitian
Metode penelitian
dapat diartikan sebagai proses, prinsip-prinsip,
dan tata cara untuk memecahkan masalah yang akan dihadapi saat
melakukan penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis perbandingan hukum. Perbandingan hukum dilakukan untuk mengkaji bagaimana sistem hukum yang berbeda menghadapi permasalahan hukum tertentu. Perbandingan hukum dilakukan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan unsur dari setiap
sistem hukum (functional
method), sehingga dapat
menjadi alternatif dalam menyikapi persoalan-persoalan tertentu.
Proses perbandingan dengan demikian, dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan mengenai perbedaan karakteristik pada
masing-masing sistem hukum
dan/atau penggunaan komponen yang sama untuk menghadapi pokok persoalan tertentu. Perbandingan hukum juga dilakukan untuk mencari hal-hal
yang belum pernah diungkapkan sebelumnya sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan hukum
dalam membentuk atau memperbaharui peraturan perundang-undangan di
masa yang akan datang (futuristic)
Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia
berkaitan dengan penundaan pemilu merupakan hal yang banyak dihadapi oleh negara di
dunia. Turki sudah lebih dulu mengatasinya dengan peraturan yang sudah dimiliki oleh Turki. Dengan demikian, konteks perbandingan hukum menjadi relevan
untuk diterapkan dalam tulisan ini sebagai upaya untuk
melakukan penelaahan lebih jauh terkaitpenundaan
pemilu di Indonesia dan Turki.
Hasil dan Pembahasan
Pengaturan terkait
penundaan pemilihan umum di Indonesia selaku negara hukum pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua mekanisme, yakni mekanisme konstitusional dan mekanisme inkonstitusional. Mekanisme pengaturan penundaan pemilu secara konstitusional
dilakukan dengan melakukan perubahan (amandemen) UUD NRI 1945. Hal tersebut
tentu merupakan hal yang sah secara
hukum karena prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD NRI
1945 dan Pasal 24 sampai Pasal 32 Undang-Undang
nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2019. Cara konstitusional tersebut merupakan cara yang terbaik karena melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam UUD NRI 1945 sehingga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan mekanisme pengaturan dengan cara inkonstitusional setidaknya dapat dilakukan melalui dua hal, yakni melalui
Dekrit Presiden atau Konvensi Ketatanegaraan
Kedua mekanisme
pengaturan penundaan pemilihan umum tersebut, baik lonstitusional maupun inkonstitusional memang memungkinkan terjadi di
Indonesia, mengingat kedua cara tersebut pernah
terjadi di Indonesia. Cara konstitusional
melalui amandemen konstitusi pernah terjadi setidaknya pasca terjadinya reformasi, dimana terjadi empat kali amandemen UUD Tahun 1945 sehingga menjadi UUD NRI 1945. Dalam aturan perubahan konstitusi, terdapat batasanbatasan yang telah ditetapkan oleh konstitusi yang bersangkutan.
Batasan-batasan tersebut ada yang bersifat prosedural maupun substansial. Pembatasan yang
bersifat
prosedural
dapat berbentuk mekanisme atau prosedur tertentu yang harus dilaksanakan dalam perubahan konstitusi, sedangkan substansial misalnya terkait ketentuan yang mengecualikan perubahan atas bentuk negara
kesatuan
atau
federal, bentuk pemerintahan monarki atau republik dan sebagainya.
Dilain sisi,
cara inkonstitusional melalui Dekrit Presiden dan Konvensi Ketatanegaraan juga pernah terjadi. Dekrit Presiden Indonesia terjadi dua
kali, yakni Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan
oleh Presiden Soekarno dan Maklumat Presiden 23 Juli 2001 yang dikeluarkan
oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Kedua
Dekrit tersebut memiliki ujung yang berbeda, Dekrit Presiden Soekarno dianggap berlaku karena mendapat dukungan dari masyarakat, sedangkan Maklumat Presiden
Abdurrahman Wahid berujung sebaliknya
hingga menjadi salah satu alasan diberhentikannya
Presiden Abdurrahman Wahid selaku
Presiden RI. Pada dasarnya Dekrit diterbitkan oleh Presiden dengan tafsir adanya keadaan darurat negara. Pembuktian terhadap berhasil atau tidaknya sebuah
Dekrit diuji dan dibuktikan dalam penerapan Dekrit yang berdasarkan pada dukungan serta kekuatan politik kepada Presiden yang sedang berkuasa
Selain itu,
penerapan Konvensi Ketatanegaraan juga pernah terjadi di Indonesia yakni ketika pergantian sistem pemerintahan di Indonesia
pada akhir tahun 1945. Pergantian sistem pemerintahan tersebut terjadi dari sistem
pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Pada saat itu, UUD Tahun
1945 sebagai konstitusi
pada dasarnya tidak mengatur atau menentukan
terkait dengan sistem parlementer. Meskipun bentuk pemerintahan tidak mengalami perubahan dalam Konstitusi, namun melalui Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober
1945, dalam proses dan praktik
ketatanegaraan kemudian muncul adanya Perdana Menteri.
Perdana Menteri dan menteri tidak
bertanggung jawab kepada Presiden melainkan kepada parlemen
Konvensi ketatanegaraan walaupun bukan sebagai aturan hukum yang
tertulis, keberadaannya diakui dan dijalankan dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia. Bahkan ketika hukum yang
tertulis
tidak mampu menyelesaikan permasalahan, maka konsep hukum yang digunakan adalah asas hukum yang berisikan moral dan norma-norma kebiasaan
untuk dapat memberikan rujukan untuk menyelesaikan masalah ketatanegaraan
Pemilihan umum
yang diatur dalam konstitusi merupakan pondasi dari sistem
demokrasi yang sehat. Pengaturan ini memastikan bahwa proses pemilihan dilakukan secara adil dan transparan serta memberikan legitimasi kepada pemerintahan yang terpilih dan menjaga kestabilan politik negara
1) Pengaturan Penundaan
Pemilihan Umum di Turki
Pengaturan penundaan
pemilihan umum merupakan muatan yang diatur dalam Konstitusi
Turki. Pasal 78 Konstitusi Turki menyatakan
bahwa pemilihan umum dapat ditunda
oleh parlemen (Majelis
Agung Nasional Turki) jika terjadi
perang. Dalam pasal 78 Konstitusi Turki disebutkan bahwa pemilihan umum tidak dapat diadakan
jika negara sedang dalam keadaan perang.
Bila negara sudah ditetapkan
dalam keadaan perang, Majelis Agung Nasional
Turki dapat memutuskan untuk menunda pemilihan
umum selama satu tahun. Jika alasan penundaan masih ada pada akhir periode tersebut,
penundaan pemilihan umum dapat diulang
sesuai dengan prosedur yang sama.
Selain itu, terdapat mekanisme pemilihan sela yang akan diadakan jika terjadi
kekosongan dalam keanggotaan Majelis Agung
Nasional Turki. Pemilihan sela diadakan
sekali dalam setiap masa jabatan pemilihan dan tidak dapat diadakan kecuali tiga puluh
bulan setelah pemilihan umum. Namun, jika jumlah
kursi kosong mencapai lima persen dari total jumlah kursi, pemilihan sela diputuskan untuk diadakan dalam waktu tiga bulan.
Pemilihan sela tersebut tidak boleh diadakan
dalam waktu satu tahun sebelum
pemilihan umum. Terlepas dari situasi
yang disebutkan di atas, jika semua kursi
di suatu provinsi atau daerah pemilihan
kosong di Majelis, pemilihan sela akan diadakan pada hari Minggu pertama setelah sembilan puluh hari setelah
kekosongan tersebut.
Adapun pengaturan
terkait penundaan pemilihan umum di beberapa daerah, pemilihan umum dapat ditunda jika
terjadi keadaan luar biasa yang menghalangi pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil, seperti bencana
alam, konflik bersenjata, atau situasi krisis lainnya yang signifikan.
Penundaan ini harus disetujui oleh Yüksek Seçim Kurulu (YSK) selaku Dewan Pemilihan Tertinggi untuk memastikan bahwa penundaan tersebut sah dan sesuai dengan prinsip
demokrasi.
Pengaturan terkait
pemilihan umum Turki juga diatur dalam Undang-Undang
No. 298 tahun 1961 tentang Ketentuan Dasar Pemilu dan Daftar
Pemilih, Undang-Undang No.
2839 tentang Pemilu Anggota Parlemen tahun 1983 yang mengatur terkait pemilihan anggota parlemen (Majelis Agung Nasional Turki), Undang-Undang
No. 2972 tentang Pemilu Lokal tahun 1984 yang mengatur terkait pemilihan wali kota, anggota dewan kota, dan pejabat lokal lainnya, dan Undang-Undang No. 6271 tentang Pemilihan Presiden tahun 2012 yang mengatur terkait prosedur dan mekanisme pemilihan Presiden Turki.
Pengaturan terkait
penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi
Turki tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak terjadi adanya
kekosongan kekuasaan bilamana negara tersebut sedang dalam kondisi
yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya pemilihan umum. Selain itu pengaturan
tersebut merupakan peraturan yang fundamental sehingga
dimasukkan dalam muatan Konstitusi Turki agar tidak mudah untuk
diubah seperti UndangUndang.
2) Pengaturan Penundaan Pemilihan Umum di Indonesia
Di Indonesia, pengaturan
terkait penundaan pemilihan umum diatur dalam pasal
431, 432, dan 433 Undang-Undang nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Penundaan pemilihan umum di Indonesia ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota/Kabupaten bila terdapat penundaan pemilihan umum yang meliputi beberapa desa dan kecamatan, KPU Provinsi bila terdapat
penundaan pemilihan umum yang meliputi beberapa kabupaten/kota, KPU RI bila terdapat penundaan pemilihan umum yang meliputi beberapa provinsi, dan Presiden RI bila pemilihan umum tidak dapat
dilaksanakan di 40% jumlah provinsi dan 50% dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Adapun persyaratan penetapan penundaan pemilihan umum yakni bila
terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau
gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan.
Dengan demikian lembaga negara yang diberi wewenang oleh UU Pemilu untuk menetapkan
penundaan pemilihan umum secara nasional
yakni Presiden RI. Bilamana penetapan penundaan pemilihan umum telah dilakukan,
maka mekanisme selanjutnya yakni penyelenggaran pemilihan umum akan melakukan
pemilihan umum lanjutan dan/atau pemilihan umum susulan yang pengaturannya diatur dalam Keputusan KPU No. 66
Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara
dalam Pemilihan Umum. Pelaksanaan pemilihan umum lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan
pemilihan umum terhenti, sedangkan pelaksanaan pemilihan umum susulan dilakukan
untuk seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan umum.
Pengaturan terkait
persyaratan dan mekanisme penundaan pemilihan umum di Indonesia hanya diatur dengan Undang-Undang
nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum saja, sedangkan
UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi
Indonesia tidak mengatur terkait dengan persyaratan maupun mekanisme dilakukannya penundaan pemilihan umum. Hal tersebut dikhawatirkan dapat diselewengkan mengingat mudahnya mekanisme perubahan Undang-Undang di
Indonesia, atau dalam hal lain pengaturan tersebut dapat diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) yang dikeluarkan oleh Presiden RI. Kekhawatiran terhadap kesewenangwenangan yang dilakukan oleh penguasa tersebut harus diatasi dengan memasukkan muatan pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia.
Pengaturan penundaan
pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 juga tidak terlepas dari sifat
UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi
Indonesia yang bersifat Rigid. Menurut
James Bryce, bersifat Rigid yakni
mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan
perundang-undangan yang lain serta
hanya dapat diubah dengan cara
yang khusus atau istimewa
Dari perbandingan
pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Turki dan Konstitusi Indonesia diatas, setidaknya terdapat dua urgensi terkait pengaturan penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 yakni :
Pertama, Pengaturan
terkait penundaan pemilihan umum merupakan salah satu pengaturan yang berkaitan dengan pengisian jabatan Lembaga Negara, khususnya
Presiden dan Wakil Presiden
RI sebagai pelaksana undang-undang dalam ranah eksekutif, serta DPD, DPR, dan MPR yang merupakan
parlemen RI yang juga diatur
dalam Konstitusi Indonesia.
Sehingga pengaturan penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena menyangkut pengisian jabatan Lembaga Negara Presiden dan Wakil Presiden RI,
DPD, DPR, dan MPR.
Kedua, Pengaturan
penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 merupakan salah satu bentuk pemberian kepastian hukum bagi terselenggaranya fungsi legislasi dan ketata pemerintahan NKRI. Hal tersebut dikarenakan dengan diaturnya penundaan pemilihan umum di Indonesia merupakan sarana untuk memberikan
legitimasi pada pengisi jabatan Lembaga Negara yang kosong
akibat tidak dapat dilaksanakannya pemilihan umum.
Mekanisme dan persyaratan pengaturan
penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi
Indonesia
Pengaturan terkait penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia tentu tidak dapat
dilakukan sembarangan karena dikhawatirkan dapat dijadikan sebagai alat pelanggeng
kekuasaan oleh penguasa.
Oleh sebab itu diperlukan mekanisme terkait persyaratan penundaan pemilihan umum untuk meminimalisir
terjadinya kesewenang-wenangan
penguasa tersebut karena tidak menutup
kemungkinan bahwa suatu pemerintahan dapat didukung oleh mayoritas kursi parlemen, hingga yang lebih ekstrem suatu
pemerintahan didukung oleh seluruh partai politik yang kadernya duduk di parlemen. Hal tersebut tentunya akan menjadikan
iklim demokrasi yang tidak stabil karena
pemerintah dan parlemen dapat sewaktu-waktu melakukan penundaan pemilihan umum, sehingga atas dasar
tersebut mekanisme persyaratan penundaan pemilihan umum menjadi relevan.
Adanya
mekanisme dan persyaratan penundaan pemilihan umum yang jelas juga bertujuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi
merupakan “emergency
exit” ketika kondisi
negara dalam keadaan darurat saja. Sehingga
komitmen yang dibangun antara parlemen (sebagai pelaksana hak untuk melakukan
amandemen) dengan masyarakat dapat terjalin baik sehingga
mengurangi resistensi atau respon negatif
yang kuat dari masyarakat. Karena yang menjadi poin penting diaturnya
penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi
Indonesia adalah sebagai jalan keluar terakhir
ketika kondisi negara sedang dalam keadaan
darurat agar tidak terjadi chaos bilamana terjadi kekosongan dalam parlemen dan kekosongan dalam pemerintahan.
Setidaknya terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan mekanisme penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945. Yakni terkait alasan
diaturnya penundaan pemilihan umum, jangka waktu penundaan,
lembaga yang diberi kewenangan menetapkan penundaan pemilihan umum, dan pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa jabatan lembaga negara yang dihasilkan oleh pemilihan umum telah berakhir.
Pertama,
terkait alasan penundaan pemilihan umum, bila menerapkan
metode perbandingan konstitusi dengan Konstitusi Turki, Konstitusi
Indonesia dapat menerapkan persyaratan penundaan pemilihan umum Turki secara nasional sebagaimana diatur pada pasal 78 Konstitusi Turki yang menyebutkan bahwa jika negara dalam keadaan perang, maka parlemen dapat
memutuskan untuk melakukan penundaan pemilihan umum secara nasional selama satu tahuh
dan dapat diulangi bila negara masih pada kondisi yang sama. Persyaratan adanya kondisi yang mengancam negara karena dalam keadaan
perang tersebut relevan untuk dijadikan
persyaratan penundaan pemilihan umum karena jika negara sedang dalam keadaan
perang maka negara harus fokus kepada
keselamatan warga negara
dan aspek lain penunjang kehidupan masyarakat selama perang terjadi.
Konstitusi harus secara limitatif memberi batasan bahwa pemilihan
umum boleh ditunda hanya bilamana
terdapat kondisi yang mengancam keselamatan seluruh bangsa. Di luar alasan tersebut
seharusnya dilarang melakukan penundaan pemilihan umum. Namun demikian, alasan tersebut sejatinya tidak dapat dijadikan satu-satunya rujukan. Parlemen dapat memasukan alasan lain sebagai persyaratan penundaan pemilihan umum selama alasan
tersebut berkaitan dengan keselamatan negara dan warga negara seperti terjadinya pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, serta bencana alam
dan wabah penyakit yang sulit diatasi.
Menurut
Mahendra
(7) “Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan
karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan
Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu.”
(8) “semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk
sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya
pemilihan umum.”
Terkait
alasan penundaan pemilihan umum yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra tersebut, pada dasarnya sudah mencakup keadaan darurat yang mengakibatkan tidak dapat dilangsungkannya
suatu pemilihan umum di Indonesia. Hal ini dikarenakan alasan penundaan pemilihan umum tersebut berkaitan
dengan keselamatan negara, bilamana terjadi perang, pemberontakan, serta gangguan keamanan yang berdampak luas. Selain itu
juga berkaitan dengan keselamatan WNI dalam hal terdapat bencana
alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi.
Kedua, terkait jangka waktu penundaan pemilihan umum juga menjadi hal yang harus diperhatikan dan perlu untuk diatur
dalam Konstitusi Indonesia karena berkaitan erat dengan prinsip
kedaulatan rakyat yang tertuang
dalam pemilihan umum. Terkait jangka
waktu penundaan pada dasarnya dapat ditetapkan selama 1 (satu) tahun saja
dengan opsi dapat dievaluasi dan diperpanjang kembali, mengingat pentingnya pemilihan umum sebagai sarana pemberian legitimasi bagi pemerintah dan parlemen. Namun kepastiannya tentu harus tetap mempertimbangankan
kepentingan negara dan warga
negara.
Ketiga, yakni perihal lembaga
mana yang berhak untuk menetapkan dilakukannya penundaan pemilihan umum. Berbeda dengan
bunyi tambahan pasal yang ditambahkan dalam UUD NRI 1945 oleh Yusril Ihza Mahendra, lembaga yang
paling relevan dalam menetapkan penundaan pemilihan umum yakni Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang berfungsi sebagai penafsir Konstitusi Indonesia. Namun dengan persyaratan
bahwa Mahkamah Konstitusi hanya dapat menetapkan penundaan pemilihan umum setelah adanya
rekomendasi dari MPR bersama Presiden setelah adanya penetapan bahwa negara berada dalam keadaan
bahaya sesuai pasal 12 UUD NRI 1945. Rekomendasi
tersebut harus dianalisis lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi apakah telah sesuai dengan
UUD NRI 1945. Dengan demikian
check and balances antara tiga kekuasaan
di Indonesia dapat berjalan
sehingga mampu meminimalisir adanya kesewenang-wenangan oleh salah satu
lembaga negara. Terkait penetapan penundaan pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi tersebut tidak terdapat upaya hukum lain karena sifat dari putusan
Mahkamah Konstitusi yang
final dan mengikat. Selain itu prosedur penetapan
tersebut telah dilakukan melalui proses panjang yang melibatkan tiga cabang kekuasaan
di Indonesia.
Keempat, terkait pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa jabatan lembaga negara yang dihasilkan oleh pemilihan umum sebelumnya telah berakhir, yakni tetap diduduki
oleh pejabat yang pengisiannya
dilakukan melalui pemilihan umum sebelumnya sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 sampai dilaksanakan pemilihan umum selanjutnya. Namun statusnya berubah menjadi pejabat sementara. Status tersebut sama dengan anggota
Komite nasional Indonesia
Pusat (KNIP) di masa awal kemerdekaan,
anggota DPRS di masa Demokrasi
Liberal dan anggota MPRS di masa orde
lama dan awal orde baru. Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal orde baru
Berdasarkan studi perbandingan konstitusi Indonesia
dengan Turki, maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan penundaan pemilihan umum harus diatur
dalam Konstitusi indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah
RI serta lembaga legislatif untuk menjalankan fungsinya ketika negara dalam keadaan darurat. Pengaturan penundaan pemilihan umum dalam Konstitusi Indonesia tentunya harus memuat mekanisme dan persyaratan yang ketat guna meminimalisir adanya kesewenang-wenangan bagi penguasa.
Adanya kekosongan
hukum dalam Konstitusi Indonesia terkait pemilihan umum harus diselesaikan melalui diaturnya pengaturan penundaan pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 melalui penambahan pasal yang dilakukan dengan amandemen konstitusi. Penambahan pasal tersebut harus melalui prosedur
dan mekanisme yang jelas, yakni memuat alasan
diaturnya penundaan pemilihan umum, jangka waktu penundaan,
lembaga yang diberi kewenangan menetapkan penundaan pemilihan umum, dan pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa jabatan lembaga negara yang dihasilkan oleh pemilihan umum telah berakhir.
BIBLIOGRAFI
Agiwinata, W. (2014). Konvensi
Ketatanegaraan Sebagai
Batu Uji Dalam Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi. Yuridika, 29(2).
https://doi.org/10.20473/ydk.v29i2.364
Anisah, S. (2009). Studi
Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan. Jurnal Hukum, 16.
Arrsa, R. C. (2014). Pemilu
Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi. Jurnal Konstitusi,
11(3), 515–537.
Asshiddiqie, J. (2011). Pengantar
ilmu hukum tata negara.
Asshiddiqie, J. (2021). Konstitusi
dan konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika.
Bryce, J. (1902). Studies in History and
Jurisprudence. Harvard Law Review, 15(7).
https://doi.org/10.2307/1322944
Diniyanto, A. (2022). Penundaan
Pemilihan Umum di Negara
Hukum: Kajian Demokrasi Konstitusional.
Negara Hukum, 13(2).
Efendi, J., & Ibrahim, J. (2018). Metode penelitian hukum: normatif dan empiris. Prenada Media.
Harefa, B., & Sitompul,
L. E. B. (2021). Peran Lembaga Perlindungan Anak Mengadvokasi Anak Pelaku Tindak Pidana. Jurnal Hukum Pidana
Dan Kriminologi, 2(2).
https://doi.org/10.51370/jhpk.v2i2.54
Hermawan, S., & Rizal, M. (2022). Pengaruh Dekrit Presiden Terhadap Demokratisasi Di Indonesia. Veritas et Justitia, 8(2).
https://doi.org/10.25123/vej.v8i2.5268
Mahendra, Y. I. (2022). Yusril:
Hanya Ada 3 Cara Untuk Menunda
Pemilu 2024. Kompas.Tv.
Mahfud, M. (2010). Membangun
Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES.
Marzuki, H. M. L. (2009). Kesadaran
Berkonstitusi dalam Kaitan Konstitusionalisme. Jurnal Konstitusi,
6(3).
Marzuki, P. M. (2005). Penelitian
hukum.
Rose, S. (1950). Modern Political Constitutions: an Introduction to the Comparative Study of their History
and Existing Form. International Affairs, 26(2).
https://doi.org/10.2307/2605733
Thaib, D. (2006). Teori
dan hukum konstitusi.
Yusa, I. G. (2016). Hukum tata negara: pasca perubahan UUD NRI 1945.
Setara Press.
Copyright
holder: Rahadian Bino Wardanu, Taufany Ikmal Billah, Fernanda Nadhif,
Muhammad Daffa Dzakiyya, Anggito Bagas Abimanyu (2024) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |