Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7,
Special Issue No. 2, Februari 2022
PENGARUH UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK DIDIK DI SEKOLAH
Yoga Wirotama, Astuti
Darmiyanti
Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini mencoba mengkaji, aspek-aspek
yang terkait dengan fungsi guru sebagai pendidik dan sisi hukum pidana berdasar
undang-undang perlindungan anak, dalam kaitan kasus yang kerap kali terjadi di
masyarakat kita saat ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kepustakaan yang mengacu pada sumber-sumber yang tersedia baik online maupun
offline seperti: jurnal ilmiah, buku dan berita yang bersumber dari sumber
terpercaya. Sumber-sumber ini dikumpulkan berdasarkan diskusi dan dihubungkan
dari satu informasi ke informasi lainnya. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa segala tindak disiplin yang
dilakukan oleh pihak pengajar atau guru saat ini sangat terganggu dan di
bayang-bayangi oleh undang-undang perlindungan anak. Sikap sedikit keras dengan
maksud mendidik dan memberi efek jera sudah sulit dilakukan, ditambah lagi efek
media sosial yang seperti menjadi kamera pengawas akan tindak laku guru sebagai
pengajar.
Kata kunci: Undang-Undang; Perlindungan Anak; Karakter;
Pembentukan Karakter
Abstract
This
study tries to examine aspects related to the function of teachers as educators
and the criminal law side based on the child protection law, in relation to
cases that often occur in our society today. This study uses a library research
method that refers to sources available both online and offline such as:
scientific journals, books and news sourced from trusted sources. These sources
are collected based on discussion and linked from one information to another.
From the explanation above, it can be concluded that all disciplinary actions
carried out by the teacher or teacher are currently very disturbed and
overshadowed by the child protection law. A slightly harsh attitude with the
intention of educating and providing a deterrent effect is already difficult to
do, plus the effect of social media which is like being a surveillance camera
for the teacher's behavior as a teacher.
Keywords: Law;
Child Protection; Character; Character Building
Pendahuluan
Pembentukan karakter anak di sekolah
adalah salah satu jalan untuk menjadikannya sebagai pribadi yang tangguh dalam menghadapi
segala bentuk tantangan dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu peningkatan
kedisiplinan pun menjadi faktor utama dalam pembentukan karakter anak tersebut.
Namun pada kenyataannya tindakan hukuman dalam menegakkan kedisiplinan di
sekolah, yang dulu dianggap biasa-biasa saja, saat ini telah bergeser dan
dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Akibatnya guru mengalami dilematis
dalam menghadapi penegakan disiplin dan tata tertib yang berlaku di sekolah,
dimana disisi lain jerat hukum akan menunggu jika dikriminalisasi oleh pihak
orangtua ataupun LSM pembela anak atas tuduhan melakukan �tindak kekerasan
terhadap anak�.
Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan implementasi dan dampak pembentukan karakter melalui tindakan
disiplin yang dilakukan oleh tenaga didik terhadap anak didiknya. penelitian
ini tergolong penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode pendekatan
melalui pedagogis dan fenomenologis. Untuk mendapatkan data di lapangan
peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap narasumber/mentor dan orang tua
murid. Selain itu penelitian pengamatan secara langsung juga dilakukan pada
saat kegiatan belajar mengajar di lakukan. Data yang diperoleh dari hasil
penelitian dan pengamatan langsung tersebut dianalisa melalui tiga tahap yaitu
reduksi data, penyajian data, verifikasi data dan penarikan kesimpulan.
Untuk itu penelitian ini mencoba
mengkaji, aspek-aspek yang terkait dengan fungsi guru sebagai pendidik dan sisi
hukum pidana berdasar undang-undang perlindungan anak, dalam kaitan kasus yang
kerap kali terjadi di masyarakat kita saat ini. Hal ini pun tentunya perlu
melihat dari dua sisi secara seimbang, yaitu dari sisi guru itu sendiri sebagai
tenaga didik dan dari sisi siswa sebagai anak didik.
Kurangnya perlindungan dan kurangnya
pemahaman hukum menjadikan guru selalu ditunjuk menjadi pelaku tindak kriminal.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen secara tegas telah
melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam tataran implementasi kekuatan
undang-undang tersebut masih belum terlihat berkontribusi terhadap nasib guru
sebagai tenaga pendidik. Tindakan yang dilakukan guru untuk mendisiplikan
murid� dalam batasan-batasan tertentu
dan� dipandang mempunyai tujuan yang baik
oleh semua orang, dapat mengesampingkan sanksi pidana. Hal ini bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya.
Dengan ini diharapkan didapatkan solusi
bersama� agar masalah dilematis ini dapat
terselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus melalui hukum pidana jika memang
pelanggaran yang dilakukan dan masih dalam konteks kewajaran.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang
mengacu pada sumber-sumber yang tersedia baik online maupun offline seperti:
jurnal ilmiah, buku dan berita yang bersumber dari sumber terpercaya.
Sumber-sumber ini dikumpulkan berdasarkan diskusi dan dihubungkan dari satu
informasi ke informasi lainnya. Semua kegiatan dalam rangka pengumpulan dan
analisis data dilakukan secara online mengingat keterbatasan pergerakan terbuka
di ruang publik. Data ini diperoleh melalui teknik triangulasi, data dianalisis
dan kemudian ditarik kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
1.
Peran guru dalam dunia pendidikan
Guru memilki satu� kesatuan�
peran� dan� fungsi�
yang� tak� terpisahkan,�
antara kemampuan mendidik,�
membimbing,� mengajar,� dan�
melatih.� Keempat kemampuan
tersebut� merupakan� kemampuan�
yang terintegrasi,� yang� satu�
sama� lain� tak�
dapat dipisahkan dengan� yang� lain.
Sudah seharusnya guru memiliki keempat
kemampuan tersebut, walau yang lebih dominan adalah peran dalam mendidik. Dalam
beberapa referensi dijelaskan ada beberapa poin penting mengenai peran guru di
sekolah diantaranya :
a. Pendidik atau edukator,
merupakan peran utama dari seorang guru khususnya dalam jenjang sekolah dasar
dan menengah. Peran ini akan lebi terlihat sebagai seorang teladan bagi siswa.
Guru akan dijadikan sebagai role model dalam memberikan contoh teladan
sikap dan perilaku, dan nantinya akan berpengaruh dalam pembentukan kepribadian
anak didik.
b. Pengatur atau manager, guru
ditekankan untuk dapat memiliki peran dalam menetapkan ketentuan-ketentuan dan
tata tertib yang disepakati bersama di sekolah. Memberikan arahan-arahan dan
batasan agar tata tertib sekolah dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
c. Administrator, guru
memiliki peran untuk menjalankan segala bentuk administrasi sekolah, mulai dari
pengisian jadwal hadir, buku nilai, buku rapor, administrasi kurikulum dan
sebagainya.
d. Pengawas atau supervisor,
disini akan terkait dengan hal bimbingan dan pengawasan kepada anak didik,
pemahaman terhadap segala permasalahan anak didik, dan menemukan solusi dalam
masalah proses pembelajaran.
e. Pimpinan atau leader, peran
guru disini berbeda dengan peran sebagai manager yang terikat dengan aturan
baku. Disini dalam aspek kedisiplinan contohnya guru akan lebih menekankan dan
memberikan kebebasan secara bertanggungjawab kepada anak didik. Dengan demikian
peegakkan kedisiplinan disini�
dilakukan secara disiplin yang hidup atau dinamis.
f. Inovator, disini peran guru
harus memiliki kemauan belajar yang tinggi guna menambah ilmu pengetahuan dan
keterampilannya. Tanpa semangat dan tekad yang tinggi, tidak memungkinkan guru
untuk dapat ber-inovasi untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
g. Motivator, dalam poin ini
masih terkait dengan peran sebagai pendidik dan pengawasan. Guru dituntut harus
bisa meningkatkan semangat dan gairah belajar yang tinggi bagi anak didiknya.
Agar nantinya bisa timbul motivasi siswa dari dalam dirinya dan dari luar
dirinya didukung oleh guru.
Berdasar poin diatas, kita bisa
melihat betapa pentingnya peran guru dalam menentukan keberhasilan proses
pembelajaran. Sasaran lain yang ingin dicapai bukan hanya dari sisi edukasinya
saja, tapi juga dari pembentukan sikap dan akhlak yang baik. Dari sini kita
bisa melihat pentingnya peran guru dalam membimbing dan membentuk karakter anak
di sekolah.
2.
Jenis-jenis dan faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran
kedisiplinan
Seiring dengan proses pembelajaran
yang dilakukan guru di sekolah, sudah tentu banyak sekali hambatan dan
permasalah yang terjadi. Baik itu dari lingkungan umum sekolah ataupun dari
pribadi anak didik itu sendiri. Tata tertib sekolah dibuat untuk mengatur dan
membimbing seluruh warga sekolah agar tetap dalam koridor hukum moral yang
berlaku dalam masyarakat umumnya. Tata tertib ini dibuat juga guna meningkatkan
kualitas dan kedisiplinan para warga sekolah yang berlaku dalam lingkup
sekolah. Namun ada saja pelanggaran yang umumnya dilakukan oleh warga sekolah,
termasuk anak didik dalam proses pembelajaran di sekolah.
Bisa kita jabarkan beberapa jenis
pelanggaran yang umumnya terjadi pada anak didik di usia menjelang remaja. Usia
ini merupakan titik rawan dalam pembentukan karekter dan sikap anak didik,
dimana perkembangan pola pikir anak didik mulai berubah. Berikut beberapa jenis
pelanggaran yang umumnya terjadi di sekolah :
a. Disiplin waktu
Terlambat datang sekolah merupakan
peristiwa yang banyak terjadi hampir di setiap sekolah. Kebiasaan
datang terlambat ke sekolah adalah tingkah laku atau tindakan siswa yang tidak
tepat atau melebihi waktu yang telah ditentukan oleh pihak sekolah. Kebiasaan
datang terlambat ini jika tidak segera diatasi akan mempengaruhi proses
kegiatan belajar mengajar siswa dan lebih jauh lagi akan memiliki pengaruh
terhadap proses belajarnya. Adapun faktor penyebabnya antara lain tidur yang
larut malam.
b. Disiplin pakaian
Tata tertib dalam berpakaian sudah pasti
menjelaskan mengenai pakaian sekolah yang sesuai dengan standar ketentuan dari
dinas pendidikan. Namu dalam kaitan pelanggaran disini, terjadi karena siswa
terkadang memodifikasi bentuk dari pakaiannya menjadi tidak sesuai dengan
aturan yang berlaku. Faktor penyebab terjadinya pelanggaran ini adalah, ingin
menunjukan sesuatu yang berbeda dan bisa disebut juga mencari perhatian dari
orang lain.
c. Disiplin kebersihan
Dalam disiplin masalah kebersihan pada umumnya
pihak sekolah sudah menerapka anjuran membuang sampah pada tempatnya.
Kebersihan kelas pun biasanya menjadi tanggungjawab siswa dalam kelas. Namun pelanggaran
kerap kali terjadi dengan selalu menganggap remeh akan hal kebersihan. Faktor
penyebanya adalah rasa apatis dalam diri yang tidak mau peduli kepada orang
lain.
d. Disiplin ketertiban umum
Dalam poin ini pelanggaran yang terjadi adalah
seperti berbuat onar, perundungan, perkelahian siswa dan perusakkan sarana dan
prasarana sekolah. Dalam usia remaja memang kerap kali terjadi, dikarenakan
belum matangnya pola pikir anak didik. Sehingga tindakan yang diambil pun tanpa
pikir panjang dan cenderung tidak mempedulikan keadaan sekitar dan orang lain.
Kasus umum yang sering kali terjadi adalah
perundungan atau lebih terkenal dengan bahasa Bullying. Banyak sekali kasus
seperti ini yang akhirnya menjadi besar dan masuk ranah hukum dikarenakan
penganiayaan yang berlebihan antar siswa. Untuk mengurangi terjadinya hal
seperti ini maka sekolah pun harus bertindak tegas dalam menghadapi dan
menangani model pelanggaran yang seperti ini.
Dari beberapa penjabaran yang dijelaskan, bisa
kita melihat bahwa segala bentuk hal yang merugikan atau bersifat buruk harus
memiliki aturan hukum dan tata tertib yang ditetapkan. Dalam pelaksanaannya pun
harus dilakukan dengan adil dan sesuai aturan dan tidak berlebihan, karena tata
tertib dibuat untuk kemaslahatan bersama dan hukuman dibuat untuk memberikan
contoh dan efek jera agar pelanggaran yang terjadi dapat diminimalisir dan
tidak terulang kembali. Sudah menjadi keharusan bagi pihak sekolah untuk
memberikan sanksi ataupun hukuman yang sesuai dengan tata tertib sekolah yang
sudah disepakati bersama oleh seluruh warga sekolah.
3.
Bentuk-bentuk tindakan disiplin guru terhadap siswa
a. Pengertian disiplin
Istilah disiplin berasal dari bahasa latin
�displicina� yang menunjuk kepada kegiatan belajar dan mengajar. dalam KBBI
istilah disiplin kerapkali terkait dan menyatu dengan istilah tata tertib dan
ketertiban.� istilah ketertiban mempunyai
arti kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib Karena
didorong atau disebabkan oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya. sebaliknya,
istilah disiplin sebagai kepatuhan dan ketaatan yang muncul karena adanya
kesadaran dan dorongan dari dalam diri orang itu istilah tata tertib berarti
perangkat peraturan yang berlaku untuk menciptakan kondisi yang tertib dan
teratur. Disiplin berarti juga Suatu sikap untuk menghormati, menghargai, patuh
dan taat terhadap peraturan peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun
tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima
sanksi-sanksinya apabila melakukan pelanggaran tugas dan wewenang yang
diberikan.
Disiplin sekolah harus mulai dilaksanakan dan
dilakukan dari hal-hal kecil. Misalnya, datang kesekolah tepat waktu, siswa
yang terlambat datang harus melapor kepada guru piket, pada saat jam pelajaran
siswa tidak diperkenankan keluar masuk kelas, kecuali telah mendapat izin dari
guru, aturan tentang sepatu, seragam yang rapi, menghormati kepala sekolah,
semua guru, serta penjaga sekolah, kerapihan rambut dan modelnya.
Ada
empat hal yang dapat mempengaruhi dan membentuk disiplin. Keempat faktor ini
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi dan membentuk disiplin. Faktor
pertama adalah kesadaran diri yang dijadikan sebagai sebuah pemahaman akan
pentingnya kedisiplinan. Faktor kedua mengikuti dan mentaati sebagai angkah penerapan
dalam praktik disiplin terhadap aturan dan peraturan yang berlaku. Faktor
ketiga adalah� pendidik
sebagai alat untuk memacu dan memicu siswa agar terdampingi selalu dalam
kedisiplinan. Terakhir faktor hukuman sebagai upaya pemberian contoh dan efek
jera.
Kedisiplinan sangat penting dan dibutuhkan
oleh setiap siswa.� Disiplin menjadikan
syarat pembentukan sikap, perilaku, karakter dan tata kehidupan yang akan
mengantar seorang siswa ke arah yang lebih baik dalam belajar. Pembentukan
sikap disiplin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
kesadaran diri sebagai pemahaman diri yang menganggap disiplin itu penting bagi
kebaikan dan keberhasilan dirinya. Faktor kedua mengikuti dan taat sebagai
langkah penerapan dan praktik peraturan-peraturan yang mengatur perilaku
individu. Hal ini merupakan kelanjutan dari kesadaran diri yang dihasilkan oleh
kemampuan dan kemauan diri yang kuat. Faktor ketiga adalah Tenaga Pendidik
untuk mempengaruhi, mengubah, membina dan membentuk perilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai yang ditentukan atau diajarkan. Faktor terakhir berupa hukuman
sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan meluruskan yang salah sehingga siswa
dapat kembali pada perilaku yang sesuai dengan harapan. Disini tentunya dalam
konteks yang masih normal atau dalam batas nilai kewajaran hukum dan pandangan
sosial.
b.
Bentuk tindakan guru terhadap murid
Beberapa tindakan yang diambil dalam rangka menegakkan kedisiplinan di
sekolah oleh guru biasanya bergantung pada jenis pelanggara itu sendiri. Seperti
dalam contoh yang sering kali terjadi dan berdasar dari pengalaman dan
pengamatan adalah memotong rambut yang panjang bagi siswa laki-laki. Ini biasa
terjadi pada pelanggaran disiplin kerapihan siswa. Hal lain seperti memotong
pakaiana yang tidak sesuai dengan aturan sekolah, kerap kali siswa disini
memodifikasi baju seragamnya dengan model yang tidak sesuai, akhirnya guru
mengambil tindakan agar tidak diulangi kembali membuat baju seragam yang
melanggar aturan tersebut.
Tindak pelanggaran yang agak berat jelas berbeda dengan tindakan
disiplin ringan dalam hal hukuman yang diterapkan. Untuk kasus perkelahian,
perundungan atau perusakkan sarana yang merupakan tindak pelanggaran berat akan
diberi hukuman sanksi berupa skorsing.
Ada beberapa tindakan dari guru yang memang melewati batas, seperti
menampar siswa atau memukul siswa. Disini guru bukan tanpa alasan dalam
bertindak, terkadang usisa remaja ini kerapkali juga melakukan perlawanan dan
tidak menghormati guru sebagai pengganti orangtua di sekolah. Kasus seperti
inilah yang dulunya dianggap biasa bagi orangtua, namun saat ini menjadi hal
yang sangat dipermasalahkan, bahkan sampai mengkaitkan dengan hukum yang
berlaku.
4.
Studi kasus pelanggaran yang pernah terjadi
Dalam
pandangan studi kasus disini, kami melihat dari dua sisi permasalahan yang
terjadi. Pertama, pelanggaran oleh siswa dan diberlakukan hukuman namun
orangtua siswa tidak menerima keadaan tersebut. Kedua, sisi guru yang
berlebihan dalam memberikan hukuman diluar batas kewajaran.
Jika
kita menggunakan mesin pencari di internet, beberapa kasus guru dan murid itu
menunjukkan guru selalu menjadi pelaku dan korban dari sisi hukum. Berikut
beberapa kasus yang pernah terjadi dan viral di Indonesia.
a. Pelanggaran siswa
Kasus
pengeroyokan guru di Dompu,NTB, 2 Desember 2021.
Melibatkan orangtua dan siswa tersebut sebagai tersangka. Bermula dengan
terjadinya perkelahian antar siswa. Oknum guru berupaya melerai namun siswa
tidak terima dan pulang mengadukan kepada kakak dan orangtua nya. Lalu oknum
guru tersebut dikeroyok.
Kasus
yang lebih sepele lagi terjadi, seorang guru masuk penjara hanya karena
mencubit muridnya, memukul dengan penggaris dan mencukur rambut muridnya.
Bahkan dilihat dari komentar orang tua dan masyarakat yang terjadi ada pro dan
kontra. Dari sini kita bisa melihat dan menilai bahwa nilai moral disini sudah
turun tidak seperti di era 90-an.
b. Pelanggaran Guru
Kasus
guru tampar 13 murid, Pasuruan. Ini terjadi dalam beberapa hari dan beredar
video yang akhirnya viral di media sosial. Pihak sekolahpun telah
memberhentikan oknum guru tersebut. Kejadian bermula karena ada beberapa murid
yang merokok dilingkungan sekolah, sudah berkali-kali diperingati namun tetap
saja diulang kembali. Akhirnya, guru tersebut mengambil tindakan yang bisa
dibilang berlebihan terhadap para siswa tersebut dengan maksud memberikan efek
jera.
Namun
kembali lagi dilihat dari sisi hukum guru tersebut telah melakukan tindak
kekerasan terhadap anak didiknya. Hal ini jelas menjadi dilematika bagi oknum
guru dimanapun, dimana segala bentuk niat mendidiknya dibayang-bayangi oleh
jerat hukum.
5.
�Pandangan dari sisi hukum pidana
Dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, pasal 1
ayat 1 ditegaskan bahwa :
�Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik mengajar
membimbing mengarahkan melatih menilai dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal pendidikan dasar dan
pendidikan menengah�.
Seiring dengan ketentuan tersebut, peraturan pemerintah nomor 74 tahun
2008 tentang guru, pasal 52 ayat 1 menegaskan pula tentang tugas pokok
guru,� yaitu merencanakan pembelajaran
melaksanakan pembelajaran menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih
peserta didik dan melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan
kegiatan Pokok sesuai dengan beban kerja guru.
Dengan adanya peran membimbing dan mengarahkan dalam konteks ini artinya
guru harus bisa membentuk karakter anak agar mempunyai sikap dan sifat yang
baik.� Hal ini dilakukan dan secara
khusus di lingkungan sekolah, di mana tanggung jawab guru memang sepenuhnya
berada selama anak berada dalam jam belajar di sekolah.
Beberapa pelanggaran yang terjadi pada anak didik yang sekiranya memang
melanggar tata tertib dan aturan sekolah akan dikenakan sanksi yang berlaku
sesuai dengan aturan. Setelah kita melihat beberapa contoh tindak disiplin yang
dilakukan oleh guru terhadap anak didiknya, terkadang memang melampaui batas
kewajaran atau bisa dibilang berlebihan dalam menyikapi tindak pelanggaran anak
yang dianggap sepele.�
Pandangan masyarakat terutama orang tua siswa saat ini terhadap tindak
disiplin guru tersebut terkadang menganggapnya sebagai suatu tindak kekerasan
yang diatas norma-norma kewajaran. Ditambah lagi dengan adanya undang-undang
tentang perlindungan anak yang secara khusus memang melindungi peran anak di
sekolah menjadikan guru serba salah dalam memberikan sanksi-sanksi yang
dilakukan karena pelanggaran anak didik tersebut.� Hal lain yang menambah keraguan dan dilematika
ini adalah kemajuan teknologi yang membuat segala tindak guru seperti terawasi
dengan media video yang mudah sekali tersebar di jejaring sosial.
Jika kita melihat pada undang-undang nomor 35 tahun 2014 pasal 9 ayat
(1) berbunyi : �Setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat�. Dalam hal ini pengembangan
pembentukan pribadi anak yang berkaitan dengan karakter juga merupakan haknya
yang didapat dari lingkungan sekolah atau lingkup pendidikan.
Berlanjut pada poin (1a) yang berbunyi: �Setiap anak berhak mendapatkan
perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan sesama peserta didik dan/atau
pihak lain�. Dalam poin ini, telah jelas memang tanggung jawab sekolah terhadap
segala bentuk tindak kekerasan dan memberikan perlindungan dalam lingkungan
sekolah secara penuh.
Penafsiran dari kekerasan dan penelantaran anak adalah semua bentuk
perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, penyalahgunaan seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan
cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan
dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Ada beberapa penjabaran
beberapa jenis kekerasan pada anak, antara lain :
1. Kekerasan fisik adalah
tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau potensi yang menyebabkan sakit yang
dilakukan oleh orang lain, dapat terjadi sekali atau berulang kali. Kekerasan
fisik dapat berupa:
a. Dipukuli atau ditempeleng
b. Ditendang
c. Dijewer atau dicubit
d. Dilempar dengan benda-benda
keras
e. Dijemur di bawah terik
sinar matahari
2. Kekerasan seksual adalah
keterlibatan anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya. Kekerasan
seksual ini dapat juga berupa:
a. Perlakuan tidak senonoh
dari orang lain
b. Kegiatan yang menjurus pada
pornografi
c. Perkataan-perkataan porno
dan tindakan pelecehan organ seksual anak
d. Perbuatan cabul dan
persetubuhan pada anak-anak yang dilakukan oleh orang lain dengan tanpa
tanggung jawab
e. Tindakan mendorong atau
memaksa anak terlibat dalam kegiatan seksual yang melanggar hukum seperti
dilibatkannya anak pada kegiatan prostitusi.
3. Kekerasan emosional adalah
segala sesuatu yang dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan emosional anak.
Hal ini dapat berupa:
a. Kata-kata yang mengancam
b. Menakut-nakuti
c. Berkata-kata kasar
d. Mengolok-olok anak;
4. Perlakuan diskriminatif
dari orang tua, keluarga, pendidik dan masyarakat;
5. Membatasi kegiatan sosial
dan kreasi anak pada teman dan lingkungannya.
6. Tindakan pengabaian dan
penelantaran adalah ketidakpedulian orang tua atau orang yang bertanggung jawab
atas anak pada kebutuhan mereka, seperti:
a. Pengabaian pada kesehatan
anak
b. Pengabaian dan penelantaran
pada pendidikan anak
c. Pengabaian pada pengembagan
emosi (terlalu dikekang)
d. Penelantaran pada pemenuhan
gizi
e. Penelantaran dan pengabaian
pada penyediaan perumahan
f. Pengabaian pada kondisi
keamanan dan kenyamanan.
7. Kekerasan ekonomi
(eksploitasi komersial) adalah penggunaan tenaga anak untuk bekerja dan
kegiatan lainnya demi keuntungan orang tuanya atau orang lain, seperti:
a. Menyuruh anak berkerja
secara berlebihan
b. Menjerumuskan anak pada
dunia prostitusi untuk kepentingan ekonomi.
Dari pasal 9 dan 2 poin di atas,� banyak sekali pengaruh yang akhirnya
tenaga Didik pun melakukan pembiaran terhadap tindak-tindak pelanggaran yang
dilakukan oleh anak didik dikarenakan ketakutannya akan jerat hukum yang
berlaku. Sementara dalam Pasal 54 menegaskan bahwa, �Anak di dalam dan di
lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak
kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau
pihak lain�.
Pelanggaran memang tidak� selalu terjadi dari sisi si guru saja
yang secara hukum selalu kalah dan dijadikan tersangka. Terkadang memang tindak
kenakalan anak didik yang susah diatur dan� melakukan pelanggaran tersebut
melewati batas norma yang berlaku. Namun, tindak sanksi tidak pernah berhasil
dalam upaya memberikan efek jera, mereka selalu lolos dari jerat hukum yang
berlaku.
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesussilaan, dengan pidana
penjara paling lama 9 tahun.
6. Pengertian Karakter
Dalam pengertian harafiah, Poerwadarminta
mengungkapkan bahwa: �karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan,
akhlak dan budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. (Poerwadarminta, 1985).
dalam bahasa Inggris, character, memiliki arti: watak, karakter, sifat, peran;
(John M. Echols & Hasan Shadily, 109-110). Karakter juga dapat diartikan
mental or moral qualities that make thing diffrent from others, atau all those
qualities that make a thing what it is from others. (AS Hornby, 1987, 140).
Sedangkan secara terminologis, para ahli
memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai karakter. Endang Sumantri,
misalnya mengungkapkan bahwa �karakter adalah suatu kualitas positif yang
dimiliki seseorang sehingga membuatnya menarik dan atraktif; reputasi
seseorang; seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian yang eksentrik.
(Endang Sumantri, 2009). Selanjutnya, Doni Koesoema, menjelaskan bahwa kita
sering mengasiosiakan karakter dengan apa yang disebut temperamen yang
memberinya definisi yang menentukan unsur psikososial yang dikaitkan dengan
pendidikan dan konteks lingkungan. (Doni Koesoema A., 2007). Sementara, Ahmad
Tafsir menyatakan bahwa �karakter adalah lebih dekat atau sama dengan akhlak,
yaitu spontanitas manusia bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam
diri manusia, sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi�. (Ahmad
Tafsir, 2000).
Dari sini akhirnya timbul istilah
pendidikan karakter, dimana pendidikan karakter mengajarkan suatu kebiasaan
cara berpikir dan perilaku yang membentuk individu untuk hidup dan bekerjasama
dalam lingkup keluarga, masyarakat dan bangsa. Dengan kata lain, pendidikan
karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah
secara alami�.(D. Yahya Khan,, 2010).
Dalam pendidikan karakter di sekolah,
semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan
etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Adapun dasar hukum pembinaan karakter
sebagaimana disebutkan Kemendiknas sebagai berikut:
a. Undang-undang
Dasar 1945
b. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
c. Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
d. Permendiknas
No.39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan
e. Permendiknas
No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
f. Permendiknas
No.23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan
g. Rencana
Pemerintah Jangka Menengah Nasional 2010 � 2014
h. Renstra
Kemendiknas Tahun 2010 � 2014. (Kemendiknas, 2010 : 3).
Selanjutnya, Pilar pendidikan karakter
sebagaimana pendapat Suparlan yang dikutip oleh Jamal Ma�mur Asmani
menggambarkan bahwa Pendidikan Karakter meliputi Sembilan pilar saling kait
mengait, bahwa kesembilan pilar pendidikan karakter di antaranya: (1)
Responsibility (tanggungjawab), (2) Respect (rasa hormat), (3) Fairness
(keadilan). (4) Courage (keberanian), (5) Honesty (kejujuran), (6) Citizenship
(kewarganegaraan), (7) self disipline (disiplin diri), (8) Caring (peduli), dan
(9) Perseverance (ketekunan). �Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan
mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu, dan seimbang sesuai dengan kompetensi lulusan. Melalui pendidikan
karakter, diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan
menggunakan pengetahuannnya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi
nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku
sehari-hari. (Asmuni, 2012).
Kesembilan pilar tersebut di atas, yang
harus dikembangkan melalui jalur pendidikan. Pendidikan karakter ini seyogyanya
harus dimulai dibangun di rumah (home), dan dikembangkan di lembaga pendidikan
sekolah (school), bahkan diterapkan secara nyata dalam masyarakat (community).
Sesungguhnya, semua pilar karakter tersebut memang harus dikembangkan secara
holistik melalui sistem pendidikan nasional. Hal ini diharapkan agar anak-anak
bangsa akan memiliki daya saing yang tinggi untuk hidup damai dan sejahtera,
serta sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang semakin maju dan beradab.
�� Dapat
kita lihat betapa pentingnya pembentukan karakter anak didik, dimana
pembentukan karakter tersebut salah satunya dimulai dari lingkup sekolah tempat
mereka menimba ilmu. Seluruh warga sekolah wajib menentukan arah dan membimbing
agar siswa dapat terbentuk karakter yang baik sesuai dengan rencana
penyelenggaraan pendidikan dan target dari pembelajaran di sekolah.
7. Solusi Permasalahan
Jika kita melihat dari beberapa kasus
dan penjelasan diatas, agar tidak terjadi dan terulang kembali beberapa pihak
yang dirugikan, baik dari pihak siswa, orangtua, guru dan sekolah, maka perlu
dibentuk suatu badan yang bergerak menjembatani antara pihak sekolah dan
siswa/orangtua. Badan atau organisasi ini bisa bergerak bebas dalam mengungkap
segala pelanggaran yang terjadi dan tidak boleh berpihak ke satu sisi. Badan
inipun harus dalam lindungan pihak hukum berwajib agar bisa bergerak sesuai
aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Harus netral dan mengerti
hukum yang berlaku terkait dengan undang-undang perlindungan anak dan
undang-undang perlindungan guru dan dosen.
Badan ini bisa
dinamakan sebagai �Badan Hak Pendidik�. Dimana nantinya berfungsi menelaah
segala pelanggaran yang terjadi di sekolah, baik dari sisi siswa dan sisi guru
sebagai pendidik. Karena pelanggaran juga bisa dilakukan oleh guru terhadap
siswanya ataupun sebaliknya. Ini juga akan membatasi ruang lingkup dan
pergerakan guru sebagai pendidik dalam memberikan hukuman tindak disiplin dan
mengarahkan agar tidak melakukan segala bentuk pelecehan terhadap siswa. Badan
ini juga akan menjadi penengah dalam menghadapi kasus-kasus yang naik ke ranah
hukum pidana seperti yang saat ini sering kali terjadi.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa segala tindak disiplin yang dilakukan oleh pihak pengajar atau guru saat
ini sangat terganggu dan di bayang-bayangi oleh undang-undang perlindungan
anak. Sikap sedikit keras dengan maksud mendidik dan memberi efek jera sudah
sulit dilakukan, ditambah lagi efek media sosial yang seperti menjadi kamera
pengawas akan tindak laku guru sebagai pengajar.
Undang-undang perlindungan anak telah
merubah pola didik guru dan pola pikir orangtua terhadap proses pendidikan yang
terjadi di sekolah. Undang undang perlindungan anak membuat guru tidak bebas
lagi dalam mengambil tindakan dan memberikan sanksi kepada siswa di sekolah.
Oleh sebab itu guru akan menjadi pasif dalam menegakkan kedisiplinan di sekolah
karena takut akan dijerat oleh undang-undang perlindungan anak. Bagi orangtua,
undang-undang tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk mempidanakan guru
ketika melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Orangtua tidak
lagi memberikan kepercayaan secara utuh kepada guru untuk mendidik siswanya.
Dalam beberapa kasus pun belakangan ini
banyak sekali akhlak dan sikap siswa yang kurang baik dan tidak menghargai guru
saat mengajar. Beberapa kasus yang sempat viral seperti anak didik yang berani
melawan guru, mangangkat kaki saat pelajaran didepan guru bahkan ada yang
berani memukul guru pun pernah terjadi. Karakter seperti ini tentunya bukan
harapan dan tujuan dari pendidikan yang diberikan di sekolah. Dengan berlakunya
undang-undang perlindungan anak disini sangat membatasi guru dalam
mendisiplinkan muridnya. Akhirnya banyak guru yang hanya bisa diam saat anak
memang melakukan tindakan pelanggaran dan norma kesopanan.
Ini tidak sesuai dengan tujuan dari
penyelenggaraan pendidikan, karena disamping dengan tercapainya penyampaian
materi dalam mendidik, tetap diperlukan pembentukan karakter dan akhlak yang
baik setelah anak lulus sekolah nantinya. Karena pendidikan karakter adalah
suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Dalam didikan karakter di sekolah, bertujuan agar setiap manusia atau individu
memiliki nilai-nilai karakter keimanan, tanggungjawab, peduli dengan orang
lain, berani bertanggung jawab serta menjadi warga negara yang baik.
Dalam melihat kejadian dilematis ini,
dimana membuat para pendidik menjadi serba salah dalam menangani kedisipilnan
siswa, untuk itu diperlukan suatu badan yang dapat menengahi atau menjembatani segala
bentuk kesalahpahaman dalam melakukan tindak disiplin yang dilakukan di
sekolah. Harapan kedepannya agar pihak sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa
mendapatkan perlindungan dan hak yang sama dimata hukum yang berlaku, dan dapat
menghilangkan dilema yang kerapkali sering terjadi di masyarakat kita.
Asmuni, Jamal Ma�mur. (2012). Panduan Internalisasi
Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva press. �Google Scholar
Poerwadarminta, W. J.
S. (1985). Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka. Google
Scholar
������������������������������������������������
Copyright holder: Yoga
Wirotama, Astuti Darmiyanti (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |