Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, Special Issue No. 1, Januari 2022
URGENSI CINTA
MENCINTAI DALAM PASAL 33 UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM KASUS PERCERAIAN
Ajeng Aodina, Zelfi Ghaffar Aufiya, Nadya Rachmah Sari
Universitas Airlanggga Surabaya, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
[email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini
untuk menganalisis salah satu faktor penyebab perceraian di Indonesia. Akibat
dari hubungan perkawinan tidak didasari perasaan cinta mencintai, dimungkinkan
terjadinya permasalahan sebagaimana adanya pihak ketiga maupun konflik rumah
tangga yang sulit diselesaikan yang akan menimbulkan masalah putusnya perkawinan
dengan cerai. Jika terdapat hal-hal tertentu dalam hubungan perkawinan yang tidak bisa didamaikan
oleh kedua belah pihak dan menimbulkan suatu kemudharatan, maka perceraian merupakan solusi untuk menghindari
hal tersebut. Penelitian ini
merupakan penelitian normatif yuridis, data diperoleh dari studi pustaka
terdiri dari bahan primer dan sekunder sebagai bahan hukum utama. Hasil penelitian
bahwa kewajiban cinta mencintai yang diatur didalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) merupakan
aspek yang penting dalam perkawinan, cinta merupakan pondasi utama untuk
membentuk rumah tangga yang abadi dan kekal sebagaimana tujuan dari UUP. Namun, cinta mencintai tidak dapat dijadikan salah satu syarat alasan utama pengajukan
perceraian. Beberapa putusan pengadilan juga tidak menjadikan Pasal� 33 sebagai dasar pertimbangan putusan hakim
dalam suatu gugatan perceraian, karena Pasal�
33 merupakan dasar tujuan perkawinan yang harus dijalankan suami isteri.
Sedangkan, apabila suami isteri mengajukan gugatan ke Pengadilan, harus
terdapat alasan kuat sebagai dasar dari akibat tidak saling mencintai yang
mengakibatkan perselisihan dan tidak akan hidup rukun Kembali sebagaimana
dijelaskan syaratnya dalam UUP.
Kata kunci: urgensi; cinta-mencintai;
perceraian
Abstract
The purpose of this study is to analyze one of the
factors that cause divorce in Indonesia. As a result of a marital relationship
not based on feelings of love and affection, it is possible for problems to
occur as there are third parties and household conflicts that are difficult to
resolve which will lead to problems breaking up marriages with divorce. If
there are certain things in a marital relationship that cannot be reconciled by
both parties and cause harm, then divorce is a solution to avoid this. This research
is a juridical normative research, data obtained from literature study consists
of primary and secondary materials as the main legal material. The results of
the study show that the obligation of loving love as regulated in the Marriage
Law (UUP) is an important aspect of marriage, love is the main foundation for
forming an eternal and eternal household as the purpose of the UUP. However,
love cannot be used as one of the main reasons for filing a divorce. Some court
decisions also do not use Article 33 as the basis for consideration of the
judge's decision in a divorce suit, because Article 33 is the basis for the
purpose of marriage that must be carried out by husband and wife. Meanwhile, if
husband and wife file a lawsuit to the Court, there must be a strong reason as
the basis for the result of not loving each other which results in a dispute
and will not live in harmony again as described in the terms in the UUP..
Keywords: urgency; love-loving;
divorce
Pendahuluan
Pasal 1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan
bahwa ada beberapa unsur yang terkandung didalamnya, diantaranya: (Mufti Maulana Harahap, 2011)
1. Perkawinan
merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita yang kemudian
menjadi suami dan isteri.
2. Ikatan
lahir bathin ini bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
3. Ikatan
lahir bathin dan tujuan nyang bahagia dan kekal ini berdasarkan pada Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Ikatan lahir
bathin yang dimaksud adalah ikatan perkawinan yang antara lahir dan bathin ini
bersatu dan tidak dipisahkan. Ikatan lahirnya ini ikatan yang dapat dilihat,
sedangkan ikatan bathin adalah ikatan yang tidak dapat dilihat. Arti penjelasan
ini adalah yakni ikatan lahir yang memunculkan bahwa adaya hubungan hukum
antara laki laki dan perempuan sebagai suami dan isteri untuk hidup bersama
yang dapat disebut hubungan formil. Sedangkan ikatan bathin yakni tak dapat
dilihat, tapi dapat dirasakan, ikatan bathin ini harus ada, karena ketika hanya
ikatan lahir saja tanpa adanya ikatan bathin, makan ikatan lahir ini akan rapuh (Saleh, 1976). Untuk mewujudkan
keluarga yang bahagia dan kekal dalam perkawinan,
maka terdapat hak-hak dan kewajiban
masing-masing yang harus dihormati
dan dilaksanakan oleh keduanya.
Urgensi dari hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh suami dan isteri merupakan prinsip
utama untuk mencegah terjadinya perceraian demi mencapai tujuan
perkawinan yakni membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa sebagaimana terdapat dalam Pasal�
1 UU Perkawinan No 1 tahun 1974.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan Hak dan Kewajiban suami isteri yang tertuang salah satunya terdapat didalam Pasal� 33 yang merupakan
abstraksi dari tujuan perkawinan, bahwa antara suami
dan isteri wajib saling cinta mencintai,
hormat menghormati, setia, dan saling memberikan bantuan lahir bathin. Pada hakikatnya
cinta merupakan perasaan yang hanya bisa dikendalikan oleh
masing-masing individu. Dan wujud dari
perasaan cinta yang timbul tanpa adanya
paksaan akan menimbulkan suatu kebahagiaan tersendiri.
Teori Kebahagiaan
Menurut pemikiran John
Stuart Mill, bahwa: (Mill, 2005)
� Kebahagiaan merupakan kekuasaan batiniah kesadaran yang menuntut kebebasan suara hati dalam
arti yang paling luas, kebebasan
berfikir dan merasakan, kebebasan mutlak berpendapat dan citarasa untuk segala hal
yang praktis atau spekluatif, yang ilmiah, moral ataupun logis;
� Kebahagiaan
merupakan Kebebasan untuk
melakukan apa yang kita sukai, menerima
akibat-akibat yang akan terjadi tanpa halangan
dari sesama,
selama apa yang kita lakukan tidak merugikan mereka.
� Dari kebebasan setiap individu ini dalam
batas-batas yang sama, muncullah kebebasan untuk bersekutu diantara individu;
kebebasan untuk bersatu demi suatu tujuan yang tidak merugikan orang lain;
orang-orang yang bersekutu itu diandaikan sudah melewati masa akil balig dan
tidak dipaksa atau ditipu.
Menurut teori
kebahagiaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa cinta mencintai dapat menjadi
dasar sumber kebahagiaan antara suami dan isteri, kebahagiaan sebagai bentuk
kebebasan untuk bersatu demi satu tujuan yang sama, mendapatkan cinta dan
memberikan cinta merupakan satu hal yang memberikan energi positif kepada
keduanya untuk mempertahankan hubungan perkawinan.
Dalam penelitian
yang serupa terkait cinta mencintai terdapat integrasi yuridis normatif didalam
Undang-Undang Perkawinan dengan Psikologis yang menjelaskan dalam perspektif psikologis
kebahagiaan perkawinan dapat diraih oleh suami isteri jika
terpenuhi lima kebutuhan dasar manusia (hierarchy of needs) dalam
psikologi humanistic yaitu:
kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Sedangkan cinta suami isteri
termanifestasikan pada tiga
aspek yaitu keterikatan (attachment),
kepedulian (caring)
dan keintiman (intimacy)
(Nafisah, 2019).
Konsekwensi jika
dalam hubungan perkawinan tidak didasari perasaan cinta mencintai, dapat
dimungkinkan terjadinya permasalahan sebagaimana adanya pihak ketiga maupun
konflik rumah tangga yang sulit diselesaikan yang akan menimbulkan masalah
putusnya perkawinan dengan cerai. Tidak sedikit perkawinan yang sudah
dipertahankan beberapa tahun dapat putus dengan perceraian. Jika terdapat
hal-hal tertentu dalam hubungan perkawinan yang tidak bisa didamaikan oleh kedua belah pihak
dan menimbulkan suatu kemudharatan, maka
perceraian merupakan solusi untuk menghindari
hal tersebut (Efendi, 2007).
Walaupun perceraian
diperbolehkan dalam suatu keadaan tertentu,
akan tetapi sebab alasan untuk
melakukan perceraian harus tetap berdasarkan
pada peraturan yang berlaku.
Perceraian dan Perkawinan di Indonesia diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) khusus untuk
yang beragama Islam. Tujuan
dari terbentuknya UU Perkawinan yakni sebagai dasar untuk
membentuk kekalnya perkawinan dan membatasi adanya perceraian.
Jika suami isteri tidak menjalankan
kewajibannya maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34 ayat (3) �jika suami isteri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan�. Secara yuridis kewajiban yang dimaksud berlaku pula pada Pasal� 33 bahwa suami isteri
wajib saling cinta mencintai, apabila suami isteri
tidak saling cinta mencintai dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
Oleh karena
itu permasalahan yang kemudian timbul dari
pemaparan diatas, yaitu urgensi cinta mencintai dalam Pasal� 33 Undang-Undang Perkawinan dalam
kasus perceraian apakah hakim dapat mengabulkan gugatan dan menjadikan Pasal� 34 ayat (3) sebagai alasan untuk mengabulkan gugatan perceraian bahwa suami isteri
lalai dalam menjalankan kewajibannya untuk saling cinta
mencintai.
Metode Penelitian
Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yuridis,
artinya penelitian yang menggunakan peraturan perundang-undangan dan sumber
bacaan lainnya yang didapatkan dari studi kepustakaa. Penelitian ini dibantu
menggunakan metode Pendekatan Perundang-Undangan (statue) dimana
penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah peraturan perundang-undangan dan
regulasi dengan isu hukum yang sedang dihadapi (Marzuki, 2005).
Penelitian ini
menggunakan data primer dan sekunder yang didapatkan dari studi pustaka, berupa
jurnal pilihan, putusan pegadilan, teori hukum normatif dan pendapat para
sarjana di bidang ilmu hukum. Kemudian semua data dikumpulkan dan dianalisis
menggunakan analisis kualitatif yang dihubungkan dengan teori yang berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas yang kemudian disimpulkan sebagai hasil
penelitian.
Hasil dan Pembahasan
A. Urgensi Cinta
Mencintai Sebagai Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam
Perkawinan
Hak dan kewajiban
merupakan hubungan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
yang memiliki konsekwensi logis dan realistis. Jika seseorang dipikuli suatu kewajiban maka haruslah melaksanakan
kewajibannya dan berhak
pula untuk mendapatkan hak-haknya. Tidak terdapatnya hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat menyebabkan� rusaknya tatanan kehidupan sosial.
Begitu pula dalam
membangun kehiduan rumah tangga dalam
suatu perkawinan, antara suami dan isteri diberikan hak dan kewajiban yang
masing-masing harus dipatuhi
demi terwujudnya keluarga
yang bahagia dan kekal. Dalam UU Perkawinan membahas
asas keseimbangan hak dan kewajiban bagi suami dan isteri, yang tercantum dalam
Pasal� 30-34 UU Perkawinan, dimana jika
dijabarkan per Pasal nya, akan ada fokus tersendiri dalam lingkupnya sebagai
berikut: (Syarifuddin, 2020)
1) Pasal 30 menjelaskan
tentang kewajiban suami dan isteri, dimana antara suami isteri mempunyai
kewajiban yang harus dipenuhi demi terwujudnya tujuan perkawinan;
2) Pasal� 31 menjelaskan tentang hak dan kedudukan
suami dan isteri, dalam Pasal� ini
menjelaskan kedudukan suami isteri untuk dapat seimbang dalam hidup
bermasyarakat dan dalam keluarga inti, kemudian antara suami dan isteri ini sama
sama mempunyai hak untuk melakukan perbuatan hukum, dan yang terakhir adalah
untuk suami yang mempunyai kewenangan dalam kekeluargaan mejadi pimpinan
keluarga dan isteri mendadi ibu rumah tangga, namun tetap saja semua
keputusan harus diputuskan dengan bermusyawarah antara suami dan isteri supaya
mendapatkan hasil dan keputusan yang sesuai dan keharmonisan dalam berumah
tangga. Kemudian juga supaya seorang isteri mempunyai kedudukan yang sama
dengan suami supaya seorang isteri ini tidak dimarjinalkan oleh seorang suami
dan tidak diinjak-injak haknya oleh suami.
3) Pasal� 32 menjelaskan tentang tempat kediaman suami
dan isteri, artinya rumah sebagai tempat kediaman yang layak untuk dihuni oleh
anggota keluarga dan di tentukan oleh suami dan isteri;
4) Pasal� 33 menjelaskan tentang kewajiban saling mencintai,
Pasal� ini merupakan dasar dari
terbentuknya keharmonisan dari sebuah hubungan, dimana harus ada rasa saling
mencintai, saling-menghormati, saling setia, dan saling membantu dalam hal
apapun. Apabila aspek-aspek diatas itu ada yang terlewatkan, maka tidak jarang
terjadi konflik yang akan menyabbkan pertengkaran bahkan sampai adanya
perceraian; dan.
5) Pasal 34
menjelaskan tentang kewajiban suami untuk melindungi isteri dan keluarganya,
artinya seorang suami wajib melindungi dan memberikan seluruh keperluan hidup
dalam berkeluarga dengan kemampuan yang dimiliknya, jangan terlalu memaksakan
jika itu dirasa terlalu berat. Seorang isteri juga wajib bisa mengatur segala
urusan rumah tangga dengan sangat baik, supaya berjalan lebih lancar lagi. Dan
yang terakhir adalah ketika suami dan siteri ini tidak menjalankan
kewajibannya, maka pihak yang dirugikan dapan mengajukan gugatan kepada
pengadilan setempat.
Dalam
Undang-Undang Perkawinan terdapat beberapa asas atau prinsip yang didalamnya
telah diformulasikan mengikuti perkembangan zaman, diantaranya asas atau
prinsipnya sebagai berikut:
1) Asas
persetujuan kedua belah pihak, sudah jelas bahwa pernikahan ini merupakan
persetujuan antara calon suami dan calon isteri yang harus sudah sepakat akan
melaksanakan perkawinan, dan tidak boleh ada unsur paksaan dari pihak manapun (Hasibuan, 2019).
2) Asas
perkawinan sukarela atau kebebasan berkontrak, asas ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (1)
dimana untuk melangsungkan perkawinan harus adanya persetujuan diantara 2 pihak
calon suami dan calon isteri. Dalam perkawinan ini terdapat Hak
Asasi Manusia, artinya antara 2 pihak ini harus saling sukarela untuk menjadi
suami dan isteri dan saling menerima baik kelebihan maupun kekurangannya,
saling melengkapi.
3) Asas
perkawinan keseimbangan hak dan kewajiban suami dan isteri, antara hak suami
dan hak isteri ini harus setara atau seimbang baik dalam urusan rumah tangga
maupun dalam bermasyarakat.
4) Asas
mempersulit perceraian, tujuan perkawinan ini untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal, oleh sebab itu antara suami dan isteri ini saling melengkapi
dan membantu supaya dapat berkembang secara kepribadian dan dapat membantu
mencapai kesejahteraan secara spiritual maupun material (M. Yahya Harahap, 1975).
Segala kewajiban
suami dan isteri yang diatur didalam undang-undang perkawinan sebagaimana disebutkan diatas akan dapat
dipenuhi oleh suami dan isteri tanpa paksaan
apabila didasari rasa saling cinta mencintai.
Cinta mencintai merupakan kunci utama untuk membentuk
suatu perkawinan yang
Bahagia dan kekal.
Inilah Urgensi
suatu kewajiban dalam perkawinan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan didalam undang-undang Perkawinan yakni perkawinan yang Bahagia dan
kekal, dan cinta-mencintai sebagai suatu kewajiban
merupakan suatu� aspek yang penting dalam suatu
perkawinan, karena rasa cinta yang menggerakkan suami dan istri untuk membentuk rumah tangga yang abadi dan kekal sebagaimana tujuan undang-undang perkawinan dan demi
mempertahankan perkawinan dalam menghadapi berbagai konflik dalam rumah tangga.
Hal ini dapat dianalogikan dengan mencintai suatu pekerjaan, apabila kita menjalankannya dengan penuh rasa cinta pasti dilakukan
tanpa adanya tekanan dan paksaan apabila dihadapi dengan berbagai macam ujian maupun
kesulitan maka akan dihadapai dengan segenap jiwa dan raga.
B. Eksistensi
Pasal� 33 Sebagai Dasar Pertimbangan
Hukum Hakim Memberikan Putusan Dalam Kasus Perceraian
Dalam Pasal 34 ayat (3) menjelaskan bahwa apabila suami isteri
melalaikan kewajibannya, maka dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan. Mengajukan gugatan merupakan tahap menuju proses putusnya perkawinan karena perceraian. Putusnya perkawinan diatur di dalam Pasal� 38 UU Perkawinan
salah satunya yakni disebabkan atas perceraian. Tidak semua orang dapat mewujudkan tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang harmonis dan kekal. Karena adakalanya rumah tangga terdapat
perselisihan yang tidak bisa didamaikan oleh kedua belah pihak
dan apabila perkawinan tetap dipertahankan menimbulkan suatu kemudharatan maka perceraian merupakan hal yang lebih dilakukan untuk menghindari hal-hal tersebut.
Perceraian antara suami isteri
diatur didalam Pasal 39 UU Perkawinan, yang menjelaskan sebagai berikut:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan
didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada alasan,
bahwa antar suami isteri tidak
dapat hidup rukun sebagai suami
isteri.
3) Tata
cara perceraian di depan siding Pengadilan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.
Alasan untuk melakukan perceraian sebagaimana disebutkan didalam Pasal� 39 ayat (2) diatur
didalam Bagian Penjelasan Pasal� 39 ayat (2) UU perkawinan, Pasal� 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal� 116 Kompilasi Hukum Islam, yang menjelaskan
sebagai berikut:
a) Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainyayang sukar disembuhkan;
b) Salah
satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak
yang lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
c) Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung;
d) Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain;
e) Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f)
Antara suami
dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah-tangga.
Sebagaimana bunyi Pasal tersebut, cinta mencintai tidak
disebutkan sabagai salah satu syarat alasan untuk mengajukan perceraian.
Beberapa putusan pengadilan pun juga tidak menjadikan Pasal� 33 sebagai dasar pertimbangan putusan hakim
salah satunya yakni dalam putusan Pengadilan Agama Baturaja Nomor
30/PDT.G/2019/PA.BTA. Di dalam putusan pengadilan
Agama Baturaja Nomor
30/PDT.G/2019/PA.BT mengenai duduk perkara bahwa antara
rumah tangga antara penggugat dan tergugat menjadi tidak harmonis dan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan faktor ekonomi yang tidak
mencukupi, tergugat berselingkuh dengan perempuan lain, tergugat sering mabuk-mabukan dengan minuman keras selain itu
tergugat sering bermain judi. Berdasarkan duduk perkara yang
diajukan oleh penggugat dan telah dibenarkan oleh para saksi, maka pertimbangan
hukum hakim hanya berdasarkan pada Pasal�
39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal� 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 dan Pasal� 116 huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam yaitu antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Didalam putusan tersebut, hakim tidak mempertimbangkan Pasal� 33 Undang-Undang Perkawinan sebagai tujuan
perkawinan bahwa suami dan isteri memiliki kewajiban untuk cinta mencintai,
hormat-menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir bathin. Yang apabila
melalaikan kewajibannya dapat mengajukan gugatan di pengadilan sebagaimana bunyi
Pasal� 34 ayat (3).
Jika ditelaah dalam putusan lain yakni dalam Putusan Pengadilan
Agama kota Banjarbaru
No.0011/Pdt.G/2018/PA.Bjb mengenai duduk perkara yang bahwa rumah tangga antara
penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam bentuk saling
diam dan acuh. Antara keduanya
sudah tidak saling peduli antar
satu sama lain dan telah berpisah tempat tinggal. Hakim telah mendengarkan kesaksian dari para saksi yang telah menerangkan dan melihat langsung sebagian peristiwa hukum dan akibat hukum yang terjadi dari keadaan
rumah tangga penggugat dan tergugat bahkan keluarga besar dan kedua orang tua penggugat dan tergugat sudah berusaha merukunkan keduanya namun tidak berhasil. Demikian dari keterangan
saksi tersebut telah cukup menunjukkan
kepada Majelis Hakim bahwa keadaan rumah
tangga Penggugat dan Tergugat sangat tidak harmonis dan tidak diharapkan untuk rukun kembali.
Salah satu pertimbangan hukum hakim yang dijadikan dasar/alasan dalam
mengabulkan gugatan perceraian yang sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang� Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal� 116 Kompilasi Hukum
Islam. Berdasarkan Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang� Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal� 116 Kompilasi Hukum
Islam.
Mengabulkan gugatan penggugat untuk mengajukan perceraian yakni berdasarkan alasan yang diatur didalam Pasal� 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal� 116 Kompilasi Hukum Islam, yang kemudian
digabungkan dengan alasan penggugat yang terdapat dalam gugatannya menggunakan Pasal� 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal� 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
�Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga�.
Dapat dicermati
dalam putusan tersebut, tidak mencantumkan Pasal� 33 sebagai ratio decidendi (Pertimbangan
Hakim) untuk mengabulkan perceraian, karena Pasal� 33 merupakan dasar dari tujuan suatu
perkawinan yang harus dijalankan antara suami dan isteri. Sedangkan, apabila suami dan isteri mengajukan gugatan ke Pengadilan Harus terdapat alasan yang kuat dasar dari
akibat tidak saling cinta mencintai
yang mengakibatkan perselisihan
dan tidak akan hidup rukun Kembali sebagai suami dan isteri yang apabila perkawinan tersebut tetap dijalankan akan menimbulkan suatu kemudharatan.
Kesimpulan
1. Pasal 33 UU Perkawinan
merupakan dasar dari tujuan suatu perkawinan yang
harus dijalankan antara suami dan isteri. Sedangkan
Pasal 30-34 UU Perkawinan menjelaskan bahwa, kewajiban cinta mencintai merupakan aspek yang penting dalam suatu perkawinan
untuk membentuk suatu perkawinan yang bahagia dan kekal sebagaimana tujuan undang-undang perkawinan. Disamping itu, perlu memperhatikan asas-asas dalam suatu perkawinan untuk memperkuat hubungan rumah tangga dalam menghadapi
konflik serta dapat mempersulit atau meminimalisir perselisihan yang berujung pada perceraian.
2. Pasal 33 UU Perkwinan
tidak dijadikan sebagai dasar hukum
untuk membenarkan atau mengabulkan suatu kasus perceraian
dalam pertimbangan hakim.
Karena tujuan� dasar
suatu perkawinan adalah saling mencintai
yang harus dijalankan oleh suami isteri. Melalaikan
kewajiban suami isteri dalam Pasal
34 ayat (2) menjadi dasar hukum yang kuat untuk perceraian.
Tetapi apabila ingin mengajukan gugatan di pengadilan harus menyatakan alasan yang kuat jika sudah tidak
saling mencintai, hal tersebut tercantum
dalam Pasal 39 UU Perkawinan, pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tentang alasan-alasan diperbolehkan perceraian.
Efendi, Satria. (2007). Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia. Prenada Media, Jakarta. Google Scholar
Harahap, M. Yahya. (1975). Hukum
perkawinan nasional berdasarkan undang-undang no. 1 tahun 1974 peraturan
pemerintah no. 9 tahun 1975. CV Zahir Trading, Medan. Google Scholar
Harahap, Mufti Maulana. (2011). Pengaruh
Perjanjian Perkawinan Terhadap Harta Bawaan Jika Terjadi Perceraian Menurut
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Pengadilan Agama Medan). Google Scholar
Hasibuan, Zulfan Ependi. (2019). Asas
Persetujuan Dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam: Menelaah Penyebab Terjadinya
Kawin Paksa. Jurnal El-Qanuniy: Jurnal Ilmu-Ilmu Kesyariahan Dan Pranata
Sosial, 5(2), 198�211. Google Scholar
Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian
hukum. Google Scholar
Mill, John Stuart. (2005). On Liberty:
Perihal Kebebasan. Yayasan Obor Indonesia. Google Scholar
Nafisah, Durotun. (2019). Integrasi Yuridis
Normatif Dan Psikologis Untuk Meraih Cinta Dan Bahagia Dalam Undang-Undang
Perkawinan Di Indonesia. Adhki: Journal of Islamic Family Law, 1(1),
149�160. Google Scholar
Saleh, K. Wantjik. (1976). Hukum
Perkawinan Indonesia. Ghalia Indonesia. Google Scholar
Syarifuddin, Amir. (2020). hukum
perkawinan islam di Indonesia. Google Scholar
Copyright holder: Ajeng Aodina, Zelfi Ghaffar Aufiya, Nadya Rachmah Sari (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |