Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022

 

URGENSI CINTA MENCINTAI DALAM PASAL 33 UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM KASUS PERCERAIAN

 

Ajeng Aodina, Zelfi Ghaffar Aufiya, Nadya Rachmah Sari

Universitas Airlanggga Surabaya, Indonesia

Email[email protected][email protected] [email protected]

 

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis salah satu faktor penyebab perceraian di Indonesia. Akibat dari hubungan perkawinan tidak didasari perasaan cinta mencintai, dimungkinkan terjadinya permasalahan sebagaimana adanya pihak ketiga maupun konflik rumah tangga yang sulit diselesaikan yang akan menimbulkan masalah putusnya perkawinan dengan cerai. Jika terdapat hal-hal tertentu dalam hubungan perkawinan yang tidak bisa didamaikan oleh kedua belah pihak dan menimbulkan suatu kemudharatan, maka perceraian merupakan solusi untuk menghindari hal tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yuridis, data diperoleh dari studi pustaka terdiri dari bahan primer dan sekunder sebagai bahan hukum utama. Hasil penelitian bahwa kewajiban cinta mencintai yang diatur didalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) merupakan aspek yang penting dalam perkawinan, cinta merupakan pondasi utama untuk membentuk rumah tangga yang abadi dan kekal sebagaimana tujuan dari UUP. Namun, cinta mencintai tidak dapat dijadikan salah satu syarat alasan utama pengajukan perceraian. Beberapa putusan pengadilan juga tidak menjadikan Pasal33 sebagai dasar pertimbangan putusan hakim dalam suatu gugatan perceraian, karena Pasal33 merupakan dasar tujuan perkawinan yang harus dijalankan suami isteri. Sedangkan, apabila suami isteri mengajukan gugatan ke Pengadilan, harus terdapat alasan kuat sebagai dasar dari akibat tidak saling mencintai yang mengakibatkan perselisihan dan tidak akan hidup rukun Kembali sebagaimana dijelaskan syaratnya dalam UUP.

 

Kata kunci: urgensi; cinta-mencintai; perceraian

 

Abstract

The purpose of this study is to analyze one of the factors that cause divorce in Indonesia. As a result of a marital relationship not based on feelings of love and affection, it is possible for problems to occur as there are third parties and household conflicts that are difficult to resolve which will lead to problems breaking up marriages with divorce. If there are certain things in a marital relationship that cannot be reconciled by both parties and cause harm, then divorce is a solution to avoid this. This research is a juridical normative research, data obtained from literature study consists of primary and secondary materials as the main legal material. The results of the study show that the obligation of loving love as regulated in the Marriage Law (UUP) is an important aspect of marriage, love is the main foundation for forming an eternal and eternal household as the purpose of the UUP. However, love cannot be used as one of the main reasons for filing a divorce. Some court decisions also do not use Article 33 as the basis for consideration of the judge's decision in a divorce suit, because Article 33 is the basis for the purpose of marriage that must be carried out by husband and wife. Meanwhile, if husband and wife file a lawsuit to the Court, there must be a strong reason as the basis for the result of not loving each other which results in a dispute and will not live in harmony again as described in the terms in the UUP..

 

Keywords: urgency; love-loving; divorce

 

 

Pendahuluan

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa unsur yang terkandung didalamnya, diantaranya: (Mufti Maulana Harahap, 2011)

1.   Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita yang kemudian menjadi suami dan isteri.

2.   Ikatan lahir bathin ini bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

3.   Ikatan lahir bathin dan tujuan nyang bahagia dan kekal ini berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ikatan lahir bathin yang dimaksud adalah ikatan perkawinan yang antara lahir dan bathin ini bersatu dan tidak dipisahkan. Ikatan lahirnya ini ikatan yang dapat dilihat, sedangkan ikatan bathin adalah ikatan yang tidak dapat dilihat. Arti penjelasan ini adalah yakni ikatan lahir yang memunculkan bahwa adaya hubungan hukum antara laki laki dan perempuan sebagai suami dan isteri untuk hidup bersama yang dapat disebut hubungan formil. Sedangkan ikatan bathin yakni tak dapat dilihat, tapi dapat dirasakan, ikatan bathin ini harus ada, karena ketika hanya ikatan lahir saja tanpa adanya ikatan bathin, makan ikatan lahir ini akan rapuh (Saleh, 1976). Untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal dalam perkawinan, maka terdapat hak-hak dan kewajiban masing-masing yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh keduanya. Urgensi dari hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh suami dan isteri merupakan prinsip utama untuk mencegah terjadinya perceraian demi mencapai tujuan perkawinan yakni membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana terdapat dalam Pasal1 UU Perkawinan No 1 tahun 1974.

Di dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan Hak dan Kewajiban suami isteri yang tertuang salah satunya terdapat didalam Pasal33 yang merupakan abstraksi dari tujuan perkawinan, bahwa antara suami dan isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan saling memberikan bantuan lahir bathin. Pada hakikatnya cinta merupakan perasaan yang hanya bisa dikendalikan oleh masing-masing individu. Dan wujud dari perasaan cinta yang timbul tanpa adanya paksaan akan menimbulkan suatu kebahagiaan tersendiri.

Teori Kebahagiaan Menurut pemikiran John Stuart Mill, bahwa: (Mill, 2005)

    Kebahagiaan merupakan kekuasaan batiniah kesadaran yang menuntut kebebasan suara hati dalam arti yang paling luas, kebebasan berfikir dan merasakan, kebebasan mutlak berpendapat dan citarasa untuk segala hal yang praktis atau spekluatif, yang ilmiah, moral ataupun logis;

    Kebahagiaan merupakan Kebebasan untuk melakukan apa yang kita sukai, menerima akibat-akibat yang akan terjadi tanpa halangan dari sesama, selama apa yang kita lakukan tidak merugikan mereka.

    Dari kebebasan setiap individu ini dalam batas-batas yang sama, muncullah kebebasan untuk bersekutu diantara individu; kebebasan untuk bersatu demi suatu tujuan yang tidak merugikan orang lain; orang-orang yang bersekutu itu diandaikan sudah melewati masa akil balig dan tidak dipaksa atau ditipu.

Menurut teori kebahagiaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa cinta mencintai dapat menjadi dasar sumber kebahagiaan antara suami dan isteri, kebahagiaan sebagai bentuk kebebasan untuk bersatu demi satu tujuan yang sama, mendapatkan cinta dan memberikan cinta merupakan satu hal yang memberikan energi positif kepada keduanya untuk mempertahankan hubungan perkawinan.

Dalam penelitian yang serupa terkait cinta mencintai terdapat integrasi yuridis normatif didalam Undang-Undang Perkawinan dengan Psikologis yang menjelaskan dalam perspektif psikologis kebahagiaan perkawinan dapat diraih oleh suami isteri jika terpenuhi lima kebutuhan dasar manusia (hierarchy of needs) dalam psikologi humanistic yaitu: kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Sedangkan cinta suami isteri termanifestasikan pada tiga aspek yaitu keterikatan (attachment), kepedulian (caring) dan keintiman (intimacy) (Nafisah, 2019).

Konsekwensi jika dalam hubungan perkawinan tidak didasari perasaan cinta mencintai, dapat dimungkinkan terjadinya permasalahan sebagaimana adanya pihak ketiga maupun konflik rumah tangga yang sulit diselesaikan yang akan menimbulkan masalah putusnya perkawinan dengan cerai. Tidak sedikit perkawinan yang sudah dipertahankan beberapa tahun dapat putus dengan perceraian. Jika terdapat hal-hal tertentu dalam hubungan perkawinan yang tidak bisa didamaikan oleh kedua belah pihak dan menimbulkan suatu kemudharatan, maka perceraian merupakan solusi untuk menghindari hal tersebut (Efendi, 2007).

Walaupun perceraian diperbolehkan dalam suatu keadaan tertentu, akan tetapi sebab alasan untuk melakukan perceraian harus tetap berdasarkan pada peraturan yang berlaku. Perceraian dan Perkawinan di Indonesia diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) khusus untuk yang beragama Islam. Tujuan dari terbentuknya UU Perkawinan yakni sebagai dasar untuk membentuk kekalnya perkawinan dan membatasi adanya perceraian.

Jika suami isteri tidak menjalankan kewajibannya maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34 ayat (3) �jika suami isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan�. Secara yuridis kewajiban yang dimaksud berlaku pula pada Pasal33 bahwa suami isteri wajib saling cinta mencintai, apabila suami isteri tidak saling cinta mencintai dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Oleh karena itu permasalahan yang kemudian timbul dari pemaparan diatas, yaitu urgensi cinta mencintai dalam Pasal33 Undang-Undang Perkawinan dalam kasus perceraian apakah hakim dapat mengabulkan gugatan dan menjadikan Pasal34 ayat (3) sebagai alasan untuk mengabulkan gugatan perceraian bahwa suami isteri lalai dalam menjalankan kewajibannya untuk saling cinta mencintai.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yuridis, artinya penelitian yang menggunakan peraturan perundang-undangan dan sumber bacaan lainnya yang didapatkan dari studi kepustakaa. Penelitian ini dibantu menggunakan metode Pendekatan Perundang-Undangan (statue) dimana penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi dengan isu hukum yang sedang dihadapi (Marzuki, 2005).

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang didapatkan dari studi pustaka, berupa jurnal pilihan, putusan pegadilan, teori hukum normatif dan pendapat para sarjana di bidang ilmu hukum. Kemudian semua data dikumpulkan dan dianalisis menggunakan analisis kualitatif yang dihubungkan dengan teori yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas yang kemudian disimpulkan sebagai hasil penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

A. Urgensi Cinta Mencintai Sebagai Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Perkawinan

Hak dan kewajiban merupakan hubungan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang memiliki konsekwensi logis dan realistis. Jika seseorang dipikuli suatu kewajiban maka haruslah melaksanakan kewajibannya dan berhak pula untuk mendapatkan hak-haknya. Tidak terdapatnya hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat menyebabkanrusaknya tatanan kehidupan sosial.

Begitu pula dalam membangun kehiduan rumah tangga dalam suatu perkawinan, antara suami dan isteri diberikan hak dan kewajiban yang masing-masing harus dipatuhi demi terwujudnya keluarga yang bahagia dan kekal. Dalam UU Perkawinan membahas asas keseimbangan hak dan kewajiban bagi suami dan isteri, yang tercantum dalam Pasal30-34 UU Perkawinan, dimana jika dijabarkan per Pasal nya, akan ada fokus tersendiri dalam lingkupnya sebagai berikut: (Syarifuddin, 2020)

1)  Pasal 30 menjelaskan tentang kewajiban suami dan isteri, dimana antara suami isteri mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi demi terwujudnya tujuan perkawinan;

2)  Pasal31 menjelaskan tentang hak dan kedudukan suami dan isteri, dalam Pasalini menjelaskan kedudukan suami isteri untuk dapat seimbang dalam hidup bermasyarakat dan dalam keluarga inti, kemudian antara suami dan isteri ini sama sama mempunyai hak untuk melakukan perbuatan hukum, dan yang terakhir adalah untuk suami yang mempunyai kewenangan dalam kekeluargaan mejadi pimpinan keluarga dan isteri mendadi ibu rumah tangga, namun tetap saja semua keputusan harus diputuskan dengan bermusyawarah antara suami dan isteri supaya mendapatkan hasil dan keputusan yang sesuai dan keharmonisan dalam berumah tangga. Kemudian juga supaya seorang isteri mempunyai kedudukan yang sama dengan suami supaya seorang isteri ini tidak dimarjinalkan oleh seorang suami dan tidak diinjak-injak haknya oleh suami.

3)  Pasal32 menjelaskan tentang tempat kediaman suami dan isteri, artinya rumah sebagai tempat kediaman yang layak untuk dihuni oleh anggota keluarga dan di tentukan oleh suami dan isteri;

4)  Pasal33 menjelaskan tentang kewajiban saling mencintai, Pasalini merupakan dasar dari terbentuknya keharmonisan dari sebuah hubungan, dimana harus ada rasa saling mencintai, saling-menghormati, saling setia, dan saling membantu dalam hal apapun. Apabila aspek-aspek diatas itu ada yang terlewatkan, maka tidak jarang terjadi konflik yang akan menyabbkan pertengkaran bahkan sampai adanya perceraian; dan.

5)  Pasal 34 menjelaskan tentang kewajiban suami untuk melindungi isteri dan keluarganya, artinya seorang suami wajib melindungi dan memberikan seluruh keperluan hidup dalam berkeluarga dengan kemampuan yang dimiliknya, jangan terlalu memaksakan jika itu dirasa terlalu berat. Seorang isteri juga wajib bisa mengatur segala urusan rumah tangga dengan sangat baik, supaya berjalan lebih lancar lagi. Dan yang terakhir adalah ketika suami dan siteri ini tidak menjalankan kewajibannya, maka pihak yang dirugikan dapan mengajukan gugatan kepada pengadilan setempat.

Dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat beberapa asas atau prinsip yang didalamnya telah diformulasikan mengikuti perkembangan zaman, diantaranya asas atau prinsipnya sebagai berikut:

1)  Asas persetujuan kedua belah pihak, sudah jelas bahwa pernikahan ini merupakan persetujuan antara calon suami dan calon isteri yang harus sudah sepakat akan melaksanakan perkawinan, dan tidak boleh ada unsur paksaan dari pihak manapun (Hasibuan, 2019).

2)  Asas perkawinan sukarela atau kebebasan berkontrak, asas ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) dimana untuk melangsungkan perkawinan harus adanya persetujuan diantara 2 pihak calon suami dan calon isteri. Dalam perkawinan ini terdapat Hak Asasi Manusia, artinya antara 2 pihak ini harus saling sukarela untuk menjadi suami dan isteri dan saling menerima baik kelebihan maupun kekurangannya, saling melengkapi.

3)  Asas perkawinan keseimbangan hak dan kewajiban suami dan isteri, antara hak suami dan hak isteri ini harus setara atau seimbang baik dalam urusan rumah tangga maupun dalam bermasyarakat.

4)  Asas mempersulit perceraian, tujuan perkawinan ini untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, oleh sebab itu antara suami dan isteri ini saling melengkapi dan membantu supaya dapat berkembang secara kepribadian dan dapat membantu mencapai kesejahteraan secara spiritual maupun material (M. Yahya Harahap, 1975).

Segala kewajiban suami dan isteri yang diatur didalam undang-undang perkawinan sebagaimana disebutkan diatas akan dapat dipenuhi oleh suami dan isteri tanpa paksaan apabila didasari rasa saling cinta mencintai. Cinta mencintai merupakan kunci utama untuk membentuk suatu perkawinan yang Bahagia dan kekal.

Inilah Urgensi suatu kewajiban dalam perkawinan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan didalam undang-undang Perkawinan yakni perkawinan yang Bahagia dan kekal, dan cinta-mencintai sebagai suatu kewajiban merupakan suatuaspek yang penting dalam suatu perkawinan, karena rasa cinta yang menggerakkan suami dan istri untuk membentuk rumah tangga yang abadi dan kekal sebagaimana tujuan undang-undang perkawinan dan demi mempertahankan perkawinan dalam menghadapi berbagai konflik dalam rumah tangga. Hal ini dapat dianalogikan dengan mencintai suatu pekerjaan, apabila kita menjalankannya dengan penuh rasa cinta pasti dilakukan tanpa adanya tekanan dan paksaan apabila dihadapi dengan berbagai macam ujian maupun kesulitan maka akan dihadapai dengan segenap jiwa dan raga.

B.  Eksistensi Pasal33 Sebagai Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Memberikan Putusan Dalam Kasus Perceraian

Dalam Pasal 34 ayat (3) menjelaskan bahwa apabila suami isteri melalaikan kewajibannya, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Mengajukan gugatan merupakan tahap menuju proses putusnya perkawinan karena perceraian. Putusnya perkawinan diatur di dalam Pasal38 UU Perkawinan salah satunya yakni disebabkan atas perceraian. Tidak semua orang dapat mewujudkan tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang harmonis dan kekal. Karena adakalanya rumah tangga terdapat perselisihan yang tidak bisa didamaikan oleh kedua belah pihak dan apabila perkawinan tetap dipertahankan menimbulkan suatu kemudharatan maka perceraian merupakan hal yang lebih dilakukan untuk menghindari hal-hal tersebut.

Perceraian antara suami isteri diatur didalam Pasal 39 UU Perkawinan, yang menjelaskan sebagai berikut:

1)  Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2)  Untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antar suami isteri tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

3)  Tata cara perceraian di depan siding Pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Alasan untuk melakukan perceraian sebagaimana disebutkan didalam Pasal39 ayat (2) diatur didalam Bagian Penjelasan Pasal39 ayat (2) UU perkawinan, Pasal19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal116 Kompilasi Hukum Islam, yang menjelaskan sebagai berikut:

a)  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainyayang sukar disembuhkan;

b)  Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;

c)  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d)  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain;

e)  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f)   Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Sebagaimana bunyi Pasal tersebut, cinta mencintai tidak disebutkan sabagai salah satu syarat alasan untuk mengajukan perceraian. Beberapa putusan pengadilan pun juga tidak menjadikan Pasal33 sebagai dasar pertimbangan putusan hakim salah satunya yakni dalam putusan Pengadilan Agama Baturaja Nomor 30/PDT.G/2019/PA.BTA. Di dalam putusan pengadilan Agama Baturaja Nomor 30/PDT.G/2019/PA.BT mengenai duduk perkara bahwa antara rumah tangga antara penggugat dan tergugat menjadi tidak harmonis dan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan faktor ekonomi yang tidak mencukupi, tergugat berselingkuh dengan perempuan lain, tergugat sering mabuk-mabukan dengan minuman keras selain itu tergugat sering bermain judi. Berdasarkan duduk perkara yang diajukan oleh penggugat dan telah dibenarkan oleh para saksi, maka pertimbangan hukum hakim hanya berdasarkan pada Pasal39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Pasal116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yaitu antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Didalam putusan tersebut, hakim tidak mempertimbangkan Pasal33 Undang-Undang Perkawinan sebagai tujuan perkawinan bahwa suami dan isteri memiliki kewajiban untuk cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir bathin. Yang apabila melalaikan kewajibannya dapat mengajukan gugatan di pengadilan sebagaimana bunyi Pasal34 ayat (3).

Jika ditelaah dalam putusan lain yakni dalam Putusan Pengadilan Agama kota Banjarbaru No.0011/Pdt.G/2018/PA.Bjb mengenai duduk perkara yang bahwa rumah tangga antara penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam bentuk saling diam dan acuh. Antara keduanya sudah tidak saling peduli antar satu sama lain dan telah berpisah tempat tinggal. Hakim telah mendengarkan kesaksian dari para saksi yang telah menerangkan dan melihat langsung sebagian peristiwa hukum dan akibat hukum yang terjadi dari keadaan rumah tangga penggugat dan tergugat bahkan keluarga besar dan kedua orang tua penggugat dan tergugat sudah berusaha merukunkan keduanya namun tidak berhasil. Demikian dari keterangan saksi tersebut telah cukup menunjukkan kepada Majelis Hakim bahwa keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat sangat tidak harmonis dan tidak diharapkan untuk rukun kembali.

Salah satu pertimbangan hukum hakim yang dijadikan dasar/alasan dalam mengabulkan gugatan perceraian yang sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal116 Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal116 Kompilasi Hukum Islam.

Mengabulkan gugatan penggugat untuk mengajukan perceraian yakni berdasarkan alasan yang diatur didalam Pasal19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal116 Kompilasi Hukum Islam, yang kemudian digabungkan dengan alasan penggugat yang terdapat dalam gugatannya menggunakan Pasal19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi �Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga�.

Dapat dicermati dalam putusan tersebut, tidak mencantumkan Pasal33 sebagai ratio decidendi (Pertimbangan Hakim) untuk mengabulkan perceraian, karena Pasal33 merupakan dasar dari tujuan suatu perkawinan yang harus dijalankan antara suami dan isteri. Sedangkan, apabila suami dan isteri mengajukan gugatan ke Pengadilan Harus terdapat alasan yang kuat dasar dari akibat tidak saling cinta mencintai yang mengakibatkan perselisihan dan tidak akan hidup rukun Kembali sebagai suami dan isteri yang apabila perkawinan tersebut tetap dijalankan akan menimbulkan suatu kemudharatan.

 

Kesimpulan

1.   Pasal 33 UU Perkawinan merupakan dasar dari tujuan suatu perkawinan yang harus dijalankan antara suami dan isteri. Sedangkan Pasal 30-34 UU Perkawinan menjelaskan bahwa, kewajiban cinta mencintai merupakan aspek yang penting dalam suatu perkawinan untuk membentuk suatu perkawinan yang bahagia dan kekal sebagaimana tujuan undang-undang perkawinan. Disamping itu, perlu memperhatikan asas-asas dalam suatu perkawinan untuk memperkuat hubungan rumah tangga dalam menghadapi konflik serta dapat mempersulit atau meminimalisir perselisihan yang berujung pada perceraian.

2.   Pasal 33 UU Perkwinan tidak dijadikan sebagai dasar hukum untuk membenarkan atau mengabulkan suatu kasus perceraian dalam pertimbangan hakim. Karena tujuandasar suatu perkawinan adalah saling mencintai yang harus dijalankan oleh suami isteri. Melalaikan kewajiban suami isteri dalam Pasal 34 ayat (2) menjadi dasar hukum yang kuat untuk perceraian. Tetapi apabila ingin mengajukan gugatan di pengadilan harus menyatakan alasan yang kuat jika sudah tidak saling mencintai, hal tersebut tercantum dalam Pasal 39 UU Perkawinan, pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tentang alasan-alasan diperbolehkan perceraian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Efendi, Satria. (2007). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Prenada Media, Jakarta. Google Scholar

 

Harahap, M. Yahya. (1975). Hukum perkawinan nasional berdasarkan undang-undang no. 1 tahun 1974 peraturan pemerintah no. 9 tahun 1975. CV Zahir Trading, Medan. Google Scholar

 

Harahap, Mufti Maulana. (2011). Pengaruh Perjanjian Perkawinan Terhadap Harta Bawaan Jika Terjadi Perceraian Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Pengadilan Agama Medan). Google Scholar

 

Hasibuan, Zulfan Ependi. (2019). Asas Persetujuan Dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam: Menelaah Penyebab Terjadinya Kawin Paksa. Jurnal El-Qanuniy: Jurnal Ilmu-Ilmu Kesyariahan Dan Pranata Sosial, 5(2), 198�211. Google Scholar

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian hukum. Google Scholar

 

Mill, John Stuart. (2005). On Liberty: Perihal Kebebasan. Yayasan Obor Indonesia. Google Scholar

 

Nafisah, Durotun. (2019). Integrasi Yuridis Normatif Dan Psikologis Untuk Meraih Cinta Dan Bahagia Dalam Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia. Adhki: Journal of Islamic Family Law, 1(1), 149�160. Google Scholar

 

Saleh, K. Wantjik. (1976). Hukum Perkawinan Indonesia. Ghalia Indonesia. Google Scholar

 

Syarifuddin, Amir. (2020). hukum perkawinan islam di Indonesia. Google Scholar

 

Copyright holder:

Ajeng Aodina, Zelfi Ghaffar Aufiya, Nadya Rachmah Sari (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: