Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 11, November 2024

 

EKSISTENSI KEKERASAN TERHADAP LAKI-LAKI DALAM PERSPEKTIF KAJIAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

 

Dyah Ayu Hidayatul Maula

Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Kasus kekerasan selama ini identik dengan laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban, padahal realita di lapangan mengatakan terdapat laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Penelitian ini tentang sosiologi gender, khususnya tentang kekerasan dalam perspektif Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Artikel ini berusaha untuk membahas fenomena kekerasan yang dialami oleh laki-laki. Adapun tujuan penulisan artikel ini, yaitu berusaha untuk menunjukkan eksistensi kekerasan berbasis gender yang dialami oleh laki-laki. Penulis memilih pendekatan kualitatif dengan metode literatur review dalam menuliskan artikel ini. Studi sebelumnya menemukan bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menyikapi kasus kekerasan, yang disebabkan karena perbedaan pemaknaan atas gender. Proses pemahaman tentang normal sosial-gender berkontribusi pada terjadinya kekerasan. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa eksistensi kekerasan terhadap laki-laki masih terasa, terbukti dengan jumlah kasus kekerasan terhadap laki-laki yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Persentase laki-laki korban kekerasan seksual umur 13-24 tahun mencapai 40-50%. Jenis kasus kekerasan paling banyak terjadi yaitu kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan emosional (psikis). Eksistensi kekerasan terhadap laki-laki merupakan implikasi dari nilai maskulinitas yang terinternalisasi dalam kehidupan sosial masyarakat.

Kata Kunci: gender, kekerasan, laki-laki, maskulinitas

 

Abstract

Violence is identically putting men as a subject and putting women as an object, whereas the reality says there are so many men who become victims of violence. This research is about gender sociology, especially about violence from the perspective of Gender-Based Violence (GBV). This article aims to attempt and discuss the phenomenon of violence experienced by men. The author chose a qualitative approach with a literature review method in writing this article. Previous studies found that, there were differences respond between men and women to face the violence, which caused by differences in the meaning of gender. The process of understanding the normal socio-gender contributes to the occurrence of violence. The result of this research found out that the violence against men is still exist. It’s proved by the trend of the amount about the violence of men’s cases that increase every year. The percentage of men as a sexual abuse sufferer reached 40-50% in the age of 13-24 years old. The most popular type of  violence is sexual abuse, the second place is physical abuse, and the third is emotional (psychological) abuses. The existence of violence against men indicates the implications of the masculinity’s traditional value, that internalized in everyday social life of the society.

Keywords: violence, gender, violence, male, masculinity

Pendahuluan

Pernahkah kita bertanya-tanya, apakah laki-laki bisa menjadi korban kekerasan? Apakah sifat tangguh dan maskulin yang mereka punyai, membuat mereka kebal akan kekerasan? Akhir tahun 2021 media di Indonesia sempat dihebohkan dengan peristiwa kekerasan yang menimpa salah satu pegawai laki-laki di KPI. Fenomena tersebut mencerminkan bahwa kasus kekerasan masih menjadi topik penting yang perlu dikaji secara mendalam. Kekerasan merupakan kegiatan yang bertentangan dengan Undang- Undang. Berdasarkan UU No.5 tahun 2018 pasal 1 ayat 3, kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang menjadi tidak berdaya. Kekerasan terjadi karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, contohnya hubungan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Ketimpangan ini berkaitan dengan peran yang dilakukan oleh pelaku maupun korban, dalam hal ini pelaku akan berperan sebagai penindas.

Kasus kekerasan selama ini identik dengan laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban, padahal realita di lapangan mengatakan terdapat laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Pemahaman tersebut muncul akibat perbedaan jenis kelamin yang secara tidak langsung menjadi sarana framing dalam berbagai macam relasi sosial di masyarakat sehingga berimplikasi pada ketidaksetaraan gender (Ridgeway, 2011). Faktor mendasar yang membuat ketidakadilan gender bertahan hingga saat ini adalah sulitnya mengubah pandangan tentang kepercayaan dan kebudayaan tentang perkembangan gender (Ridgeway, 2011). Kepercayaan dan kebudayaan yang tidak ramah gender berkaitan erat dengan perspektif masyarakat yang menormalisasikan kekerasan terhadap perempuan dan bukan terhadap laki-laki. Kenyataannya seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kasus kekerasan dapat menimpa siapapun termasuk laki-laki.

Salah satu manifestasi ketidakadilan gender adalah kekerasan berbasis gender (KBG). Kekerasan berbasis gender merupakan kekerasan yang ditujukan kepada seseorang, laki-laki maupun perempuan, yang berakar pada penentuan tingkah laku, norma dan sikap, yang berpengaruh terhadap peran gender dan tanggungjawab sosialnya (Staff, 2002). KBG meliputi berbagai tindakan yang menyebabkan percideraan fisik, seksual dan mental, berbagai ancaman, pemaksaan dan berbagai bentuk pembatasan kebebasan, tindakan-tindakan ini dapat terjadi di ranah publik atau privat (IASC, 2005); (ILO dan DEPLU Indonesia, 2006). Kekerasan berbasis gender, merupakan kekerasan yang tertuju pada individu atau kelompok berdasarkan gendernya (Terry, 2007).


 

 

Gambar 1. Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia Tahun 2015-2019

(Sumber: Infografis Lembar Fakta Catahu (Perempuan, 2020)

 

Pada Gambar 1. terlihat kecenderungan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan selama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan dalam laporan CATAHU tahun 2020 beragam spektrum dan kekerasan dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (Perempuan, 2020). Data kekerasan sepanjang lima tahun terakhir, tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan diantaranya 1.277 merupakan kasus berbasis gender dan tidak berbasis gender 142 kasus (Perempuan, 2020).

Kajian mengenai kekerasan berbasis gender umumnya dilakukan berdasarkan pengalaman-pengalaman perempuan. Hal ini tentu sejalan dengan realitas yang menyatakan bahwa perempuan merupakan kelompok rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Pada penelitian (Felmlee, Rodis, & Zhang, 2020); (Ghaissani, 2017) dalam hal ini perempuan cenderung lebih banyak diberitakan sebagai objek dari kekerasan karena konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi lemah. Sebaliknya, laki-laki dikonstruksikan sebagai makhluk yang kuat, dan memiliki peran lebih dominan dibanding perempuan. Hal ini menjadikan laki-laki dianggap tidak pantas menjadi korban kekerasan.

Tingginya data maupun angka kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan seolah mengaburkan fakta bahwa terdapat laki-laki yang menjadi korban kekerasan berbasis gender. Sebuah temuan menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender juga ditemukan pada sektor rumah tangga, sejumlah 52,4% laki-laki yang sudah menikah mengalami kekerasan berbasis gender dalam rumah tangga, dengan bentuk kekerasan pasangan yang paling banyak ditemui adalah kekerasan emosional (51,6%) kemudian diikuti oleh kekerasan fisik (Malik & Nadda, 2019).


Data kekerasan terhadap laki-laki di Indonesia juga cenderung mengalami peningkatan. Gambar 2. menunjukkan data laki-laki korban kekerasan yang melapor kepada polisi selama lima tahun terakhir

 

60

50

40

Laki-laki

 
30

20

10

0

 

 

 

 

2015               2016                2017               2018                2019

 

Gambar 2. Persentase Proporsi Laki-laki Korban Kekerasan dalam Melaporkan Kepada Polisi Tahun 2015-2019.

(Sumber: reduksi penulis berdasarkan pada laporan (BPS, 2019)

 

Jumlah tersebut cenderung meningkat, meski demikian masih banyak laki-laki korban kekerasan yang enggan untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami karena dianggap sebagai tindakan yang memalukan. Perlu dipahami bahwa siapapun yang menjadi korban kekerasan penting mendapat perlindungan yang layak, termasuk laki- laki.

Sebagaimana temuan-temuan diatas, kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh (Felmlee et al., 2020); (Ghaissani, 2017) mengenai konstruksi sosial perempuan, penelitian ini memfokuskan pada laki-laki sebagai korban kekerasan merupakan akibat dari konstruksi sosial yang tidak ramah gender. Kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender terhadap laki-laki sama halnya seperti yang dialami perempuan, yaitu bersifat multidimensi dan memiliki konsekuensi negatif (Christian, Safari, Ramazani, Burnham, & Glass, 2011). Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan eksistensi kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki dalam perspektif kajian kekerasan berbasis gender online.

 

Metode Penelitian

Penulisan artikel ini dilakukan dengan metode literatur review atau tinjauan pustaka. Alasan penulis menggunakan metode ini karena dalam prosesnya metode literatur review metode ini membantu penulis dalam proses penelitian khususnya dalam proses pencarian masalah dan pengumpulan data. Secara umum kegiatan yang dilakukan saat literatur review adalah mengumpulkan data atau informasi mengenai topik yang digunakan, melakukan identifikasi dan evaluasi data, teori, dan hasil penelitian, menganalisa hasil dari literatur yang telah terpilih untuk disusun menjadi sebuah laporan ilmiah atau artikel ilmiah (Cahyono, Sutomo, & Hartono, 2019).

Adapun jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Proses pengumpulan data penulis menganalisis kajian dari beberapa literatur yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender terhadap laki-laki. Literatur tersebut merupakan paper atau artikel dari jurnal ilmiah. Laporan dari beberapa instansi dan organisasi yang berkaitan juga digunakan untuk melengkapi serta memperkuat kajian dari jurnal ilmiah.

 

Hasil dan Pembahasan

a)    Laki-laki Korban Kekerasan Berbasis Gender

Jika merujuk pada definisi keadilan gender dari UNFPA Indonesia menyebutkan bahwa keadilan gender adalah sebuah proses untuk menjadi adil antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan gender menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah diterangkan, kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik laki-laki maupun perempuan) pada posisi yang tidak menguntungkan sehingga menyebabkan munculnya struktur ketidakadilan (Fakih, 2008). Ketidakadilan gender dalam budaya masyarakat sudah terinternalisasi bahwa salah satu jenis kelamin berada pada posisi lemah dan sangat bias, sehingga membatasi segala ruang gerak dalam berbagai macam sektor publik. Bentuk-bentuk ketidak adilan gender yang ditemui adalah (i) Gender dan marginalisasi; (ii) Gender dan subordinasi; (iii) Gender dan stereotype,

(iv) Gender dan kekerasan; (v) Gender dan beban ganda (Fakih, 2008).

Salah satu manifestasi ketidakadilan gender yaitu Kekerasan Berbasis Gender (KBG atau Gender-based violence -GBV). Kekerasan berbasis gender adalah istilah untuk setiap tindakan berbahaya yang dilakukan di luar kehendak seseorang dan yang didasari oleh perbedaan nilai sosial (gender) antara laki-laki dan perempuan. Dunia telah melihat kekerasan berbasis gender sebagai agenda penting, sebagaimana Resolusi PBB no 48/104 tahun 1993 menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender adalah segala bentuk tindakan yang dapat terjadi pada ruang privat maupun ruang publik, dengan berbagai macam bentuk, baik fisik, psikis maupun kekerasan seksual (IASC, 2005); (ILO dan DEPLU Indonesia, 2006).

Secara luas, bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender dapat dikategorikan sebagai berikut : (i) Pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan; (ii) Pelecehan seksual; (iii) Kekerasan dalam rumah tangga; (iv) Perkawinan anak dan perkawinan paksa; (v) Pemotongan dan pelukaan genital perempuan; (vi) Eksploitasi seksual (UNFPA Indonesia, 2019). Keadaan semakin tidak terkendali dengan semakin luasnya jangkauan internet, canggihnya perkembangan dan penyebaran teknologi informasi, serta populernya penggunaan media sosial, sehingga telah menghadirkan bentuk-bentuk baru kekerasan berbasis gender (SAFEnet, 2019). Oleh karena itu kekerasan berbasis gender adalah pelanggaran hak asasi serius, yang dilanggengkan oleh kemiskinan dan berbagai norma dan nilai sosial-budaya-kepercayaan yang bias gender (UNFPA Indonesia, 2019). Adapun korban kekerasan sebenarnya tidak terbatas pada salah satu jenis kelamin, laki-laki maupun perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender juga disebut korban. Kenyatannya laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung untuk bungkam, dan tidak melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Tentu saja hal ini berkaitan dengan stigma gender yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan.

Sejak kecil kita telah dibebankan dengan ekspektasi sosial terutama mengenai gender. Jenis kelamin seolah menjadi acuan utama seseorang harus bersikap seperti norma gender yang telah disepakati di masyarakat. Ekspektasi dan norma gender yang tertanam menciptakan segregasi mengenai peran sosial yang hanya berpaku pada jenis kelamin. Praktik tersebut sudah berlangsung turun temurun, sehingga budaya dan ekspektasi gender telah berubah menjadi hal yang dinormalisasi. Akibatnya adalah kekerasan berbasis gender telah meresap ke dalam seluruh lapisan masyarakat (Shokooh Valle, 2021). Masih sedikit yang memahami bahwa budaya bias gender berpotensi menimbulkan kekerasan berbasis gender terhadap kelompok rentan. laki-laki maupun perempuan, yang berakar pada penentuan tingkah laku, norma dan sikap, yang berpengaruh terhadap peran gender dan tanggungjawab sosialnya (Lang, 2002); (Staff, 2002).

 

b)   Eksistensi Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Laki-laki

Secara historis, melihat dari perang dunia ke pertama, kekerasan berbasis gender yang paling sering dialami laki-laki adalah pembunuhan dan pemaksaan pada perang. Hal tersebut masih terus berlanjut hingga menjadi sebuah stigma yang mengharuskan laki-laki bersifat kuat, serta bersifat dominan dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan berbasis gender terhadap laki-laki paling mudah ditemui pada negara-negara dunia ketiga, negara berkonflik, maupun negara yang sedang melakukan perang, bentuk kejahatannya dapat berupa kekerasan fisik maupun psikis. (Carpenter, 2006) menemukan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender yang dialami oleh laki-laki dan anak laki-laki yaitu: pembantaian, pengikutsertaan paksa pada konflik, dan kekerasan seksual. Lebih jelas lagi, (Ferrales, Nyseth Brehm, & McElrath, 2016) menemukan bentuk-bentuk KGB secara fisik yang terjadi pada laki-laki umumnya yaitu, homoseksualisasi, feminisasi penentang laki-laki, kerusakan genital, dan pembunuhan selektif jenis kelamin (laki-laki).

Eksistensi kekerasan terhadap laki-laki sejatinya masih terus ada, bahkan setelah perang dunia berlalu dan dunia mengalami kemajuan teknologi yang pesat. Fakta ini tidak bisa diabaikan, bahkan laki-laki korban kekerasan berbasis gender juga ditemukan pada sektor rumah tangga, dengan bentuk kekerasan pasangan yang paling banyak ditemui adalah kekerasan emosional (psikis) dan kekerasan fisik (Malik & Nadda, 2019). Berdasarkan tempat kejadian kasus kekerasan, ditemukan sejumlah 57,4% korban laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan di ranah rumah tangga sepanjang tahun 2021 (Kemenpppa.go.id, 2021).

Penting bagi kita untuk memahami bahwa tidak ada yang menginginkan menjadi korban kekerasan termasuk laki-laki, sayangnya kasus-kasus kekerasan terhadap laki- laki sering tidak disadari. Sebagai contoh pada kasus pemaksaan perang maupun pemaksaan kerja. Jika laki-laki yang tidak mampu mengikuti hal tersebut, maka akan dicap negatif oleh masyarakat, karena dianggap tidak mampu memenuhi stigma gender yang telah menjadi norma dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


12000

10000

8000

6000

4000

2000


9076


 

7908


10334


 

 

 

 

 

338         683


 

 

 

2514      3047


0                                                                                                          


Gambar 3. Jenis-jenis Kekerasan yang Dialami Korban pada Tahun 2021

 (sumber: Kemenppa.go.id 2021)

 

Diantara jenis kasus kekerasan berbasis gender sepanjang tahun 2021 (Gambar 3) yang paling banyak terjadi yaitu kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual, disusul dengan kekerasan fisik dan kekerasan psikis pada urutan ketiga. Sama halnya dengan perempuan, kekerasan seksual terhadap laki-laki bukan fenomena yang baru. Penelitian (Dube et al., 2005); (Briere & Elliott, 2003), menemukan bahwa rata-rata laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual saat berusia kurang dari 18 tahun, berarti laki-laki telah mengalami kekerasan sejak masih diusia anak. Kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami oleh laki-laki terbagi menjadi dua jenis yaitu child sexual abuse (CSA) dan adult sexual abuse (ASA) (Prasetya, 2020). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), sejumlah 11% atau 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual berupa pelecehan di ruang publik (Prasetya, 2020). Data pada Departemen Justice of Canada menyatakan 57 dan 59 responden laki-laki mengalami pelecehan seksual (McDonald & Tijerino, 2013). Setidaknya satu dari enam laki-laki pernah mengalami kekerasan atau pelecehan seksual (1in6.org, 2021).


 

       

 

Ket:

-KS: Kekerasan Seksual | -KF: Kekerasan Fisik | -KE: Kekerasan Emosional (Psikis)

Gambar 4. Persentase Pengalaman Kekerasan pada anak laki-laki usia 13-17 tahun dan 18-24 tahun

(Sumber: SNPHAR 2018 oleh (Kemenpppa.go.id, 2020)

 

Berdasarkan laporan Kemenpppa dalam Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 ditemukan persentase pengalaman kekerasan pada laki-laki usia 13-17 tahun yaitu 61,7%, sedangkan pada laki-laki usia 18-24 tahun yaitu 56,2%. Artinya laki-laki pernah mengalami kekerasan selama hidupnya setidaknya sekali dalam seumur hidup. Adapun bentuk kekerasan yang dialami umumnya yaitu kekerasan seksual, kekerasan fisik dan kekerasan emosional (psikis). Hal ini sejalan dengan data yang disajikan pada Gambar 3. Korban kekerasan mempunyai kecenderungan mengalami lebih dari satu kekerasan, karena kekerasan tidak berdiri sendiri namun diikuti dengan kekerasan yang lain.

Sebagaimana temuan-temuan diatas, secara khusus kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender terhadap laki-laki sama halnya seperti yang dialami perempuan, yaitu bersifat multidimensi dan memiliki konsekuensi negatif yang cukup signifikan pada fisik, mental, sosial dan ekonomi (Christian et al., 2011). Sayangnya meskipun laki-laki atau anak laki-laki yang diketahui sebagai korban kekerasan seksual maupun korban kekerasan berbasis gender pada bentuk lainnya, hal semacam ini umumnya belum terlalu banyak dilaporkan dan dibahas secara mendetail (Carpenter, 2006); (Christian et al., 2011). Pemikatan tersebut dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa segala tindak seksualitas yang tidak diinginkan khususnya kepada laki-laki, bukan merupakan tindak kekerasan seksual.

Hal tersebut tidak terlepas dari konstruksi gender yang terinternalisasi di masyarakat. Secara umum laki-laki dan perempuan mempunyai interpretasi yang berbeda mengenai seksualitas, hal ini tentu berhubungan dengan peran keluarga dalam membangun nilai gender dan seksualitas. Dinamika gender membentuk perbedaan seksualitas antara laki-laki dan perempuan, sehingga kita dipaksakan untuk berpikir dan mengadopsi identitas gender yang konvensional (Seidman, Fischer, & Meeks, 2006). Kesetaraan gender merupakan agenda penting negara dan menjadi hal yang tidak terpisahkan pada ranah politis. Budaya gender konvensional dapat dilihat dari budaya di kehidupan masyarakat Indonesia yang lekat akan budaya patriarkis. Fakta bahwa nilai maskulinitas telah lama terlekat dalam budaya Indonesia merupakan implikasi dari nilai patriarki yang dijadikan norma serta ekspektasi sosial. Temuan menarik yang dialami laki-laki yaitu, nilai maskulinitas yang terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia mempunyai hubungan transaksional dengan ekspektasi sosial. Hubungan ini cenderung akan selalu menempatkan laki-laki pada sistem sosial tertinggi karena dianggap kuat dan memiliki kuasa. Maskulinitas sebagai ekspektasi sosial tidak selalu membuat laki- laki merasa diuntungkan. Kontradiksi yang timbul dalam diri laki-laki menempatkan laki-laki dalam kondisi citra ideal dan citra aktual. Norma maskulinitas yang terkesan dipaksakan membatasi laki-laki untuk bersifat lemah, gagal dan kalah di depan masyarakat (Hasyim, 2017). Berkaitan dengan kasus kekerasan seksual, laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual dianggap gagal memenuhi nilai maskulinitas yang ada di masyarakat. masyarakat pun pada umumnya akan beranggapan bahwa laki-laki yang menjadi korban sebenarnya menikmati kekerasan yang dilakukan oleh pelaku perempuan, sehingga siapapun pelaku tindak kekerasannya posisi laki-laki sebagai korban tidak akan diuntungkan. maskulinitas dapat dikatakan sebagai bentuk ketimpangan relasi kuasa baik yang terjadi antara laki-laki dengan laki-laki, maupun laki-laki dengan perempuan (Tamara & Budyatmojo, 2019). Dapat dirasakan bahwa maskulinitas yang terkonstruksi sebenarnya tidak sesuai dengan realitas karena tidak semua laki-laki dapat memenuhi kualifikasi maskulinitas tersebut (Connell & Messerschmidt 2005 dalam (Hasyim, 2017). Maskulinitas yang telah disebutkan diatas, merupakan maskulinitas umum yang masih dibahas secara konvensional dan belum berkembang (Hasyim, 2017).

 

Kesimpulan

Kasus kekerasan berbasis gender merupakan salah satu bentuk manifestasi praktik ketidakadilan gender. Kekerasan berbasis gender adalah segala bentuk tindakan yang dapat terjadi pada ruang privat maupun ruang publik, dengan berbagai macam bentuk, baik fisik, psikis maupun kekerasan seksual. Adapun korban kekerasan sebenarnya tidak terbatas pada salah satu jenis kelamin, laki-laki maupun perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender juga disebut korban. Realitanya eksistensi kekerasan seksual terhadap laki-laki masih terasa hingga saat ini, hal ini dibuktikan dengan kecenderungan peningkatan jumlah laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual setiap tahunnya. Ditemukan persentase data kasus kekerasan sebanyak 61,7% pada laki-laki usia 13-17 tahun, dan 56,2% pada laki-laki usia 18-24 tahun. Data tersebut menunjukkan setidaknya 2 dari 3 anak laki-laki maupun laki-laki pernah mengalami kekerasan selama hidupnya. Kenyatannya laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung untuk bungkam, dan tidak melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya.

Tentu saja hal ini berkaitan dengan stigma gender yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan. Nilai patriarki tersebut turun temurun menjadi norma dan ekspektasi gender yang mengharuskan laki-laki bersikap maskulin dalam kehidupan sosialnya. Nilai-nilai masukilintas konvensional sebagai representasi dari pemahaman bias gender, merupakan salah satu produk dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Kekerasan berbasis gender merupakan pelanggaran HAM yang serius, sehingga persoalan korban kekerasan tidak terlepas dari agenda politik suatu negara. Laki-laki maupun perempuan yang mengalami korban kekerasan berhak mendapatkan perlakuan yang setara di masyarakat, serta penyelenggaran pelayanan dan perlindungan yang layak. Penting untuk dipahami bahwa keadilan dan kesetaraan gender perlu ditegakkan bersama guna menekan angka kasus kekerasan berbasis gender, sehingga tidak ada lagi segregasi yang hanya berdasarkan pada jenis kelamin.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

1in6.org. (2021). At least 1 in 6 men have been sexually abused or assaulted. Retrieved from https://1in6.org/get-information/the-1-in-6-statistic/. Google Scholar

Badan Pusat Statistik. (2019). Proporsi korban kekerasan dalam 12 bulan terakhir yang melaporkan kepada polisi (persen). Retrieved from https://www.bps.go.id/indicator/34/1187/1/proporsi-korban-kekerasan-dalam-12-bulan-terakhir-yang-melaporkan-kepada-polisi.html. Google Scholar

Briere, J., & Elliott, D. M. (2003). Prevalence and psychological sequelae of self-reported childhood physical and sexual abuse in a general population sample of men and women. Child Abuse & Neglect, 27(10), 1205–1222. https://doi.org/10.1016/S0145-2134(03)00239-3. Google Scholar

Cahyono, E. A., Sutomo, N., & Hartono, A. (2019). Literatur review: Panduan penulisan dan penyusunan. Jurnal Keperawatan, 12(2), 12–22. Google Scholar

Carpenter, R. C. (2006). Recognizing gender-based violence against civilian men and boys in conflict situations. Security Dialogue, 37(1), 83–103. https://doi.org/10.1177/0967010606064139. Google Scholar

Christian, M., Safari, O., Ramazani, P., Burnham, G., & Glass, N. (2011). Sexual and gender-based violence against men in the Democratic Republic of Congo: Effects on survivors, their families and the community. Medicine, Conflict and Survival, 27(4), 227–246. https://doi.org/10.1080/13623699.2011.645144. Google Scholar

Dube, S. R., Anda, R. F., Whitfield, C. L., Brown, D. W., Felitti, V. J., Dong, M., & Giles, W. H. (2005). Long-term consequences of childhood sexual abuse by gender of victim. American Journal of Preventive Medicine, 28(5), 430–438. https://doi.org/10.1016/j.amepre.2005.01.015. Google Scholar

Fakih, M. (2008). Analisis gender dan transformasi sosial. Insist Press. Google Scholar

Felmlee, D., Rodis, P. I., & Zhang, A. (2020). Sexist slurs: Reinforcing feminine stereotypes online. Sex Roles, 83(1), 16–28. https://doi.org/10.1007/s11199-019-01096-1. Google Scholar

Ferrales, G., Nyseth Brehm, H., & McElrath, S. (2016). Gender-based violence against men and boys in Darfur: The gender-genocide nexus. Gender & Society, 30(4), 565–589. https://doi.org/10.1177/0891243215620553. Google Scholar

Ghaissani, N. (2017). Konstruksi identitas gender pada komunitas virtual roleplay (Analisis etnografi virtual fenomena gender swap pada jejaring sosial Twitter) [Undergraduate thesis, Universitas Brawijaya]. Retrieved from http://repository.ub.ac.id/. Google Scholar

Hasyim, N. (2017). Kajian maskulinitas dan masa depan kajian gender dan pembangunan di Indonesia. JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo, 1(1), 65–78. https://doi.org/10.21580/jsw.2017.1.1.1717. Google Scholar

IASC. (2005). Panduan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender (GBV); Masa Kondisi Darurat Kemanusiaan. Retrieved from www.unscn.org website: http://www.unscn.org/layout/modules/resources/files/Guidelines_on_Gender- Based_Violence_Interventions_Bahsa.pdf. Google Scholar

Indonesia, ILO dan DEPLU. (2006). Training on the protection of Migrant workers abroad: protecting Human Right. Participant Manual. Retrieved from www.ilo.org website: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo- jakarta/documents/publication/wcms_122314.pdf. Google Scholar

Indonesia, UNFPA. (2019). Pencegahan & Penanganan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Masa Darurat. Retrieved from indonesia.unfpa.org website: https://indonesia.unfpa.org/sites/default/files/pubpdf/GBV asssessment in Central Sulawesi-BHS FIN %281%29rev %282%29.pdf. Google Scholar

Kemenpppa.go.id. (2020). Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2018.Retrieved from Kemenpppa.go.id website: https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/slider/49b98-infografis-snphar- 2018.pdf. Google Scholar

Kemenpppa.go.id. (2021). SIMFONI-PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak). Retrieved from Kemenpppa.go.id website: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan. Google Scholar

Lang, J. (2002). Gender is everyone’s business: Programming with men to achieve gender equality. Workshop Report, 10–12. Google Scholar

Malik, J. S., & Nadda, A. (2019). A cross-sectional study of gender-based violence against men in the rural area of Haryana, India. Indian Journal of Community Medicine, 44(1), 35. https://doi.org/10.4103/ijcm.IJCM_221_19. Google Scholar

McDonald, S., & Tijerino, A. (2013). Male survivors of sexual abuse and assault: Their experiences. Department of Justice, Canada. Retrieved from https://www.justice.gc.ca/. Google Scholar

Perempuan, Komnas. (2020). Catahu: Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2019. Retrieved from Komnas Perempuan website: https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/CatatanTahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2020.pdf. Google Scholar

Prasetya, E. (2020). Laki-laki di balik kekerasan dan pelecehan seksual: “Kami juga seorang korban.” Retrieved from https://ksm.ui.ac.id/laki-laki-di-balik-kekerasan-dan-pelecehan-seksual-kami-juga-seorang-korban/. Google Scholar

Ridgeway, C. L. (2011). Framed by gender: How gender inequality persists in the modern world. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199755776.001.0001. Google Scholar

SAFEnet. (2019). Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online. Retrieved from South East Asia Freedom of Expression Network website: https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf. Google Scholar

Seidman, S., Fischer, N., & Meeks, C. (2006). Introducing the new sexuality studies: Original essays and interviews. Routledge. Google Scholar

Shokooh, V. F. (2021). Turning fear into pleasure: Feminist resistance against online violence in the Global South. Feminist Media Studies, 21(4), 621–638. https://doi.org/10.1080/14680777.2021.1907624. Google Scholar

Staff, Human Rights Watch. (2002). World Report 2002: Events of 2001, November 2000-November 2001. Human Rights Watch. Google Scholar

Tamara, A. L., & Budyatmojo, W. (2019). Kajian kriminologi terhadap pelaku pelecehan seksual yang dilakukan oleh wanita terhadap pria. Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan, 5(3), 311–330. Google Scholar

Terry, G. (2007). Gender-based violence. Oxfam GB. Google Scholar

 

Copyright holder:

Dyah Ayu Hidayatul Maula (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: