Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, Special Issue No. 2, Februari 2022
PENYALIBAN DAN KEMATIAN
YESUS DALAM PERSPEKTIF HISTORIS MEDIS
Samuel Zacharias, Muner Daliman, David Ming
STT Kadesi Yogyakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
����������
[email protected]
Abstrak
Keutamaan Yesus
sebagai tokoh sejarah dan penderitaan, serta kontroversi yang terkait dengan kematianNya
telah mendorong kita untuk menyelidiki, secara interdisipliner, keadaan seputar
penyalibanNya. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas penyaliban dan
kematian Yesus dalam perspektif historis medis. Penelitian ini menggunakan
metode pustaka dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Penekanannya adalah
pada kajian terhadap sumber-sumber pustaka dan mengurainya serta memberi
penjelasan dalam sebuah kerangka uraian. Analisis sumber utama adalah literasi
pustaka yang mengkaji secara luas tentang hukuman salib dan kematian Yesus
dalam perspektif historis medis yang dilengkapi oleh berbagai artikel jurnal
dan sumber akademik lainnya yang relevan dengan topik yang dibahas.
Kata Kunci: salib;
kematian yesus; perspektif historis medis
Abstract
The primacy of Jesus as a historical figure and suffering, and the
controversies associated with His death have prompted us to investigate, interdisciplinaryly, the circumstances surrounding His
crucifixion. Therefore, this paper will discuss the crucifixion and death of
Jesus from a medical historical perspective. This study uses a literature
method with a descriptive qualitative approach. The emphasis is on the study of
library sources and parsing them and providing explanations in a descriptive
framework. The main source analysis is literature literature
which examines extensively about the punishment of the cross and the death of
Jesus in a medical historical perspective complemented by various journal
articles and other academic sources relevant to the topic discussed.
Keywords: cross; the death of
Jesus; medical historical perspective
Pendahuluan
Kehidupan dan
ajaran Yesus dari Nazaret telah menjadi dasar bagi sebuah agama besar dunia,
Kekristenan telah sangat mempengaruhi jalannya sejarah manusia, dan berdasarkan
sikap welas asih terhadap orang sakit, juga telah berkontribusi pada
perkembangan dunia modern dalam bidang terapi dan pengobatan. Keutamaan Yesus
sebagai tokoh sejarah dan penderitaan, serta kontroversi yang terkait dengan
kematianNya telah mendorong kita untuk menyelidiki, secara interdisipliner,
keadaan seputar penyalibanNya. Oleh karena itu, kami bermaksud untuk menyajikan
bukan risalah teologis tetapi lebih akurat secara medis, dan secara historis
catatan tentang kematian fisik dari seseorang yang disebut Yesus Kristus.1
�Mereka
menyalibkan Dia." (Matius 27:35, Markus 15:24, Lukas 23:33, Yohanes
19:18). Berapa kali kita mendengar atau membaca kata-kata ini? Apakah kita
benar-benar mengerti maksudnya? Tulisan ini adalah upaya untuk menggambarkan
aspek medis dari kematian melalui penyaliban dan untuk menjelaskan, sebaik
mungkin, penderitaan Tuhan kita Yesus Kristus di Kalvari.2
Metode Penelitian
Untuk
menjawab pertanyaan topik tersebut penelitian ini menggunakan metode pustaka
dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Penekanannya adalah pada kajian
sejarah terhadap sumber-sumber pustaka dan mengurainya serta memberi penjelasan
dalam sebuah kerangka uraian. Analisis sumber utama adalah literasi pustaka
yang mengkaji secara luas tentang hukuman salib dan kematian Yesus dalam
perspektif historis medis yang dilengkapi oleh berbagai artikel jurnal dan
sumber akademik lainnya yang relevan dengan topik yang dibahas. Hasil
penelitian disajikan oleh penulis secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
Tujuan artikel ini didasarkan pada Filipi 3: 10-11 yang
berbunyi �Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan
persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam
kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.�
Orang Kristen perlu memahami apa yang dialami Yesus untuk membayar lunas
keselamatan kita. Kematian Yesus sangat penting bagi Kebenaran Injil, sementara
itu penulis Injil hanya memberikan sedikit penjelasan tentang penyaliban.
Topik penderitaan Kristus adalah kajian berbad-abad yang tidak pernah
selesai. Masing-masing teologi menyusun argumen dengan pendekatan yang
berbeda-beda. Ada yang menolak konsep ini karena memegang prinsip impunitas
Kristus dan terdapat juga pandangan bahwa impasibiliti adalah satu sisi lain
dari wajah Allah yang menderita. Impasibiliti adalah pandangan yang mengatakan
Alalh adalah pribadi yang independen yang tidak bergantung kepada manusia atau
mahkluk lain. Pandangan ini juga menekankan bahwa Allah tidaklah menderita dan
atau merasakan kesakitan karena keberadaan-Nya berada di luar realitas manusia
dan penderitaan. Dengan menerima paham impasibiliti maka itu ibarat menolak
penderitaan salib sebagai perwujudan kasih Allah kepada manusia. Padahal jika
penderitaan Tuhan ditolak, maka artinya salib dievakuasi dari keilahian
Kristus.3
Sumber materi tentang kematian Kristus terdiri dari sekumpulan literatur
dan bukan tubuh fisik atau sisa-sisa kerangkanya. Kredibilitas diskusi apapun
tentang kematian Yesus akan ditentukan terutama oleh kredibilitas sumber
seseorang. Untuk ulasan ini, bahan sumbernya meliputi tulisan-tulisan penulis
Kristen dan non-Kristen kuno, tulisan penulis modern, dan Kain Kafan Turin.
Menggunakan metode hukum-sejarah penyelidikan ilmiah, banyak sarjana
telah mempelajari keandalan dan keakuratan naskah kuno. Deskripsi yang paling
luas dan rinci tentang kehidupan dan kematian Yesus dapat ditemukan dalam Injil
Perjanjian Baru yaitu dari Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Dua puluh tiga
kitab lainnya merupakan dukungan Perjanjian Baru tetapi tidak memperluas
rincian yang dicatat dalam Injil. Penulis Kristen, Yahudi, dan Romawi
kontemporer memberikan wawasan tambahan tentang sistem hukum Yahudi dan Romawi
abad pertama serta detail pencambukan dan penyaliban.
Secara khusus Yesus dan penyalibanNya disebutkan oleh sejarawan Romawi
Cornelius Tacitus, Pliny the Younger, dan Suetonius, ahli sejarah non-Romawi
Thallus dan Phlegon, satir Lucian dari Samosata, Talmud Yahudi, dan sejarawan
Yahudi Flavius Josephus. Para penulis sebelumnya, berdasarkan pada pengetahuan
sains dan kedokteran yang tidak tersedia pada abad pertama, mungkin menawarkan
wawasan tambahan mengenai kemungkinan mekanisme kematian Yesus. Ketika diambil
bersama fakta-fakta tertentu � kesaksian yang ekstensif dan awal baik pendukung
maupun penentang Kristen, dan penerimaan universal mereka atas Yesus sebagai tokoh
sejarah sejati; etika penulis Injil, dan pendeknya interval waktu antara
peristiwa dan manuskrip yang masih ada; dan konfirmasi catatan Injil oleh
sejarawan dan temuan arkeologi, memastikan kesaksian yang dapat diandalkan dari
mana interpretasi medis modern tentang kematian Yesus dapat dibuat.4
Studi modern tentang aspek medis penyaliban dimulai oleh Barbet ketika,
pada tahun 1931 dia diminta untuk mempelajari beberapa foto dan kemudian Kain
Kafan Turin yang sebenarnya ketika dipamerkan untuk umum. Ia mengamati lokasi
luka di tangan dan dada yang tidak sesuai dengan interpretasi umum seniman dan
pematung saat itu. Ini mendorong penelitiannya dan ini menyebabkan lebih banyak
lagi penelitian-penelitian berikutnya. Sebelum ini masih jarang dilakukan penelitian
perspektif historis medis mengenai penyaliban dan kematian Yesus.5
Yesus dari Nazaret menjalani pengadilan Yahudi dan Romawi, dicambuk, dan
dijatuhi hukuman mati dengan penyaliban. Pencambukan tersebut menghasilkan luka
laserasi yang dalam dan kehilangan darah yang cukup besar, dan mungkin memicu
syok hipovolemik, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa Yesus terlalu lemah
untuk membawa palang (patibulum) ke Golgota. Di tempat penyaliban, pergelangan
tangannya dipaku ke patibulum dan setelah patibulum diangkat ke stipes, kakinya
dipaku ke stipes tersebut. Efek patofisiologis utama penyaliban adalah gangguan
pernapasan normal. Oleh karena itu, kematian terutama diduga disebabkan oleh
syok hipovolemik dan asfiksia karena kelelahan. Kematian Yesus dipastikan
dengan menusukkan tombak seorang prajurit melalui perut bagian atas. Penafsiran
medis modern dari bukti sejarah menunjukkan bahwa Yesus telah mati ketika
diturunkan dari salib.6
Yesus tidak dapat memikul salibNya karena perlakuan kejam dan
pencambukannya. Dia kemudian jatuh dengan potongan kayu 50 kg di punggungNya
dan tidak dapat menahan jatuhnya karena tanganNya yang terulur diikat ke
patibulum. Hal ini mengakibatkan trauma tumpul dada dan memar pada jantungNya.
Di kayu salib, beban kerja jantung meningkat pesat karena berbagai faktor,
tetapi terutama peningkatan upaya yang diperlukan untuk bernapas. Hal ini
mengakibatkan pecahnya dinding jantung, yang menyebabkan Yesus berseru dengan
suara nyaring dan tiba-tiba mati. Penyebab kematian ini dipastikan bagi kita
dengan tusukan tombak ke sisi dada yang mengakibatkan aliran darah dan air. Itu
adalah tes postmortem yang singkat dan sah.7�
Penyaliban
Yesus bisa dibilang eksekusi paling terkenal dan kontroversial dalam sejarah.
Umat Kristen, sejak zaman Yesus, percaya bahwa Yesus dieksekusi dengan
penyaliban dan kemudian hidup kembali secara fisik. Yang lain mempertanyakan
apakah Yesus benar- benar mati dengan penyaliban. Dari tinjauan literatur
medis, dokter telah gagal untuk menyepakati mekanisme tertentu dari kematian
Yesus. Beberapa hipotesis tentang mekanisme kematian Yesus telah disajikan
dalam literatur medis selama ini adalah emboli paru, ruptur jantung, Asfiksia,
Luka tusuk yang fatal, atau Syok. Peristiwa eksekusi Yesus dijelaskan, karena
berkaitan dengan perkembangan syok. Syok traumatis yang dipersulit oleh
koagulopati yang diinduksi oleh trauma diusulkan sebagai faktor penyebab, dan
mungkin mekanisme utama pada kematian Yesus melalui penyaliban.8
1.
Hematidrosis
Di Getsemane
Setelah
Yesus dan murid-muridnya merayakan perjamuan Paskah di ruang atas di sebuah
rumah di barat daya Yerusalem, mereka melakukan perjalanan ke Bukit Zaitun,
timur laut kota (Gambar 1). Yesus, tampaknya mengetahui bahwa waktu kematiannya
sudah dekat, menderita penderitaan mental yang hebat, dan, seperti yang
dijelaskan oleh tabib Lukas, keringatnya menjadi seperti darah (Lukas 22:
41-44). Istilah medis untuk ini, "hemohidrosis" atau
"hematidrosis" telah terlihat pada pasien yang mengalami stres atau
syok yang ekstrim pada sistem mereka. Kapiler di sekitar pori-pori keringat
menjadi rapuh dan mengeluarkan darah ke dalam keringat. Sebagai peringatan
cobaan Yesus, sebuah gereja yang sekarang berdiri di Getsemani dikenal sebagai
Gereja Penderitaan.9
Gambar 1
Peta Yerusalem Pada Masa Kristus
Yesus
meninggalkan Kamar Atas dan berjalan bersama para murid ke Bukit Zaitun dan
Taman Getsemani (1), di mana dia ditangkap dan dibawa pertama ke Hanas dan
kemudian ke Kayafas (2). Setelah pengadilan pertama di hadapan Sanhedrin
politik di kediaman Kayafas, Yesus diadili lagi di hadapan Sanhedrin yang
religius, kemungkinan di Bait Suci (3) Selanjutnya, ia dibawa ke Pontius Pilatus
(4), yang mengirimnya ke Herodes Antipas (5). Herodes mengembalikan Yesus
kepada Pilatus (6), dan Pilatus akhirnya menyerahkan Yesus karena dicambuk di
Benteng Antonia dan untuk disalibkan di Golgota.
2.
Pencambukan
(Matius 27: 26-30, Yohanes 19: 1-5)
Pencambukan
merupakan hukuman pendahuluan standar untuk korban penyaliban; yang
dikecualikan adalah wanita, Senator Romawi, dan prajurit Romawi dihukum karena
kejahatan selain desersi. Dalam peristiwa ini Pilatus berusaha memuaskan orang
banyak dengan menghukum cambuk atau mendera Yesus dan ingin membebaskan-Nya
setelah dirasa cukup.
Ada
dua jenis pencambukan. Pertama, Sesah Yahudi, yang disebut �Empat puluh
cambukan kurang satu�, yaitu tiga belas cambukan dengan tongkat atau cambuk
pada masing- masing bahu dan pinggang dengan total 39 cambukan. Ada kepercayaan
bahwa 40 cambukan akan membunuh seorang manusia, atau hukuman yang berlebihan,
oleh karena itu orang yang memberikan hukuman akan melakukannya berdosa dengan
memberikan hukuman yang berlebihan. Ini bukanlah pencambukan yang dialami
Yesus.
Gambar 2
Pencambukan
Pencambukan.
Kiri, Cambuk pendek (flagrum) dengan bola timah dan tulang domba diikat ke tali
kulit. Kiri tengah, korban telanjang diikat ke tiang cambuk. Laserasi seperti
garis dalam biasanya berkaitan dengan kehilangan banyak darah. Kanan tengah,
Pemandangan dari atas, menunjukkan posisi lictors. Kanan, arah luka inferomedial.
Pencambukan
Romawi adalah jenis kedua yang dilakukan oleh dua liktor atau pegawai di
kerajaan Romawi dengan flagrum yaitu cambuk dengan gagang kayu pendek yg diberi
beberapa tali kulit, yang di ujungnya ada bola-bola yang dilengkapi dengan potongan-potongan
timah atau tulang-tulang domba yang diruncingkan, yang akan merobek kulit (1
Petrus 2:24). Ada catatan sejarah dari kulit yang dikuliti hingga ke dalam
masuk lapisan otot, tulang terbuka, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan
yang luas, perdarahan internal di dada dan rongga perut. Korban ditelanjangi,
tangan diikat dan kadang-kadang kaki diikat ke tiang lalu dicambuk oleh dua
Romawi (liktor). Tidak ada bagian tubuh yang terhindar dari hukuman. Korban
biasanya tidak sadar ketika hukuman itu selesai. Yesus mengalami penyiksaan
yang hebat dengan jubah dan mahkota duri. KulitNya sudah menjadi sensitif dan
rapuh dari hematidrosis yang sudah dialami. Mahkota duri akan menyebabkan luka
tusukan dan laserasi pada kulit kepala. Jubah itu akan bertindak sebagai perban
dan meningkatkan pembekuan dan ketika dilepaskan secara paksa, pendarahan baru
akan terjadi.
Kain Kafan dari Turin sekalipun
masih terdapat kontroversi di antara para ahli merupakan bukti pencambukan dan
penyaliban yang dialami oleh Yesus. Kain linen dengan panjang 14 ft 3 in dan
lebar 3 ft 7 in dengan bagian depan dan belakang menggambarkan seorang pria
yang disiksa dan disalibkan.
Gambar 3
Kain Kafan dari Turin
Gambar
sosok manusia hendaknya dilihat seperti pantulan cermin : bagian yang terlihat
sebelah kiri pada gambar, sebenarnya bagian kanan pada manusia sesungguhnya,
dan sebaliknya. Jejak tubuh manusia adalah gambar negatif, pembekuan dan
luka-luka berdarah adalah gambar positif.10
Kain
Kafan Turin ini sangat rinci secara anatomis dan akurat secara fisiologis dan
forensik. Luka pada wajah yang terlihat di Kain Kafan dari Turin terdapat
pembengkakan yang menunjukkan kerusakan jaringan dan kemungkinan sebagai akibat
dari keretakan tulang, yang terdiri dari pembengkakan di atas kedua alis, robek
kelopak mata kanan, fraktur hidung, beberapa laserasi wajah dan kulit kepala,
pembengkakan pipi kiri dan dagu kiri.
Lukas
23:26 menunjukkan bahwa ada orang lain yang diminta untuk memikul salib Yesus.
Mengapa? Keadaan fisik Yesus dapat digambarkan sebagai berikut : Yesus tidak
makan dan minum selama kurang lebih 13 jam, tidak tidur kurang lebih 29 jam,
telah berjalan sekitar 2,5 mil (4 km) sejak dia meninggalkan Getsemani. Pada masa
kini dapat dipandang status medis Yesus menjadi kritis yang membutuhkan
resusitasi cairan melalui infus, transfusi darah, terapi antibiotik dan
intervensi bedah. Sehingga prajurit yang bertugas untuk menyalibkan Yesus
kuatir bahwa Yesus akan mati sebelum disalibkan dan oleh karena itu
memerintahkan Simon dari Kirene untuk memanggul salib Yesus.
3.
Penyaliban
(Matius 27: 33-37, Yohanes 19: 16-20)
Dalam
sejarah terdapat banyak bentuk penyaliban. Pertama kali dipraktekkan oleh orang
Fenisia (zaman modern ini menjadi Persia/Iran, Irak) sebagai bentuk hukuman
mati di mana kaki korban tidak akan menyentuh tanah suci dan dengan demikian
mereka akan menjadi terkutuk selamanya. Penyaliban kemudian digunakan pada masa
pemerintahan Alexander Agung dan ditingkatkan oleh pemerintah Romawi menjadi
lebih kejam dengan kematian yang berlahan-lahan. Pada pemerintahan Romawi ini,
penyaliban ditujukan untuk para budak, orang asing, pemberontak, penjahat, dan
prajurit yang membangkang. Warga negara Romawi biasanya dibebaskan dari hukum
ini.
Jenis
salib kebanyakan dari batang pohon dalam bentuk tiang sederhana yang berbentuk
T atau salib Latin. Dalam pandangan Romawi, Yesus bukan dari posisi yang tinggi
dan orang- orang Romawi benar-benar tidak melihatnya sebagai ancaman besar. Bukti
arkeologis dan historis menunjukkan bahwa Crux Humulis atau salib Tau merupakan
jenis salib yang digunakan di Israel pada zaman Yesus. Salib Tau ini terdiri
dari balok vertikal (Stipes Crucis) ditaruh di tanah, tingginya sekitar 6 feet,
dengan berat 225-275 pon dan balok silang (Patibulum) yang dibawa oleh korban
ke lokasi penyaliban, sekitar 4-5 ft panjangnya, beratnya 75-125 lbs.
Sesuai
hukum, korban dipaksa untuk membawa Patibulum (balok salib) ke lokasi
penyaliban. Sesuai hukumnya si korban ditawari anggur dicampur dengan mur
(Gall). Minuman pahit ini berfungsi sebagai analgesik ringan (penghilang rasa
sakit). Mengetahui hal itu, Yesus menolak untuk meminumnya. Kemudian Patibulum
diletakkan di tanah. Dan korban dipaksa jatuh ke tanah dengan tangan diletakkan
di Patibulum. Tindakan ini akan membuka kembali luka cambukan dan menginfeksi
lukanya dengan kotoran. Korban dipaku ke Patibulum melalui pergelangan tangan
dengan paku atau paku tenda. Paku Roma sebesar kira- kira 3/8 in atau diameter
1 cm di bagian atas dan 5-7 in atau 13-18 cm panjangnya. Algojo kemudian
mengambil Patibulum dengan korban terpaku diatasnya dan memposisikannya di atas
Stipes untuk kemudian didirikan. Kaki-kaki korban ditekuk di lutut, dan kaki
dipakukan ke Stipes. Akhirnya, Titulus, atau plakat yang menyatakan kejahatan
dipakukan ke Stipe atas.
Gambar 5
Salib Tau dan titulus
Kiri,
korban membawa palang (patibulum) menuju lokasi tiang tegak (stipes). Center
Low Tau cross (crux commissa), biasa digunakan oleh orang Romawi pada zaman
Kristus. Kanan atas, Titulus Yesus dengan nama dan kejahatan � Yesus dari
Nazaret, Raja orang Yahudi � ditulis dalam bahasa Ibrani, Latin, dan Yunani.
Kanan bawah Metode yang memungkinkan untuk memasang tittles pada salib Tau
(kiri) dan salib Latin (kanan).
Dari
penemuan arkeologis didapatkan kerangka Yahudi yang disalibkan bernama Yohanan
yang ditemukan dengan bukti tanda paku pada tulang lengan distal dan paku
melalui kalkaneus atau tumit tulang yang menyambung kedua tulang tumit bersama.
Gambar 6
Tulang Yohanan yg Ditemukan
Ahli
bedah Prancis, Pierre Barbet, MD, melakukan percobaan pada mayat dan anggota
badannya diamputasi. Dia menemukan bahwa paku ditempatkan melalui telapak
tangan, seperti yang digambarkan secara klasik, akan merobek melalui jaringan
tangan dan tidak mendukung tubuh. Dia menemukan sebuah ruang anatomi di
pergelangan tangan, Space of Destot (Ruang Destot), yang memungkinkan paku
untuk lewat langsung tanpa halangan berarti melalui pergelangan tangan dan
mampu mendukung berat tubuhnya. Paku yang melewati Space of (Ruang) Destot akan
menghancurkan saraf median. Jenis cedera ini akan menyebabkan hilangnya fungsi
sensorik dan motorik dalam distribusi saraf median. Fungsi motorik meliputi
hilangnya abduksi ibu jari dan kehilangan ekstensi jari manis dan kelingking.
Sensasi melibatkan ibu jari, jari telunjuk, jari tengah yg panjang dan sebagian
jari manis. Ini membentuk �tangan cakar�. Penghancuran saraf median akan
menyebabkan nyeri hebat, terasa naik ke atas kedua lengannya. Tidak ada struktur
vaskular utama di daerah ini, oleh karena itu, perdarahan akan minimal. Bagian
luar lapisan tulang yang disebut periosteum, memiliki banyak serabut saraf,
inilah sebabnya patah tulang terluka, sehingga kerusakan pada struktur ini oleh
paku juga akan menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.
Gambar 7
Memaku pergelangan tangan
Kiri,
Ukuran paku besi. Pusat, Lokasi paku di pergelangan tangan, antara karpal dan jari-jari.
Kanan, Penampang pergelangan tangan, setinggi bidang yang ditunjukkan di kiri,
menunjukkan jalur kuku, dengan kemungkinan transeksi saraf median dan penusukan
fleksor polisis longus, tetapi tanpa cedera pada pembuluh darah arteri mayor
dan tanpa patah tulang.
Situasi
serupa ditemukan dengan paku di dalam kakinya. Paku akan melewati antara tulang
metatarsal tanpa memecahnya atau melukai struktur vaskular utama apapun. Namun,
saraf plantar medial akan dihancurkan menimbulkan rasa nyeri yang sangat besar
di seluruh kedua kakinya.
Gambar 8
Memaku kaki
Kiri,
Posisi kaki di atas satu sama lain dan berlawanan dengan posisi kaki. Kanan
atas, Lokasi paku di ruang intermetatarsal kedua. Kanan bawah, Penampang kaki,
pada bidang ditunjukkan di kiri, menunjukkan jalur paku.
Hermann
Moedder, MD, ahli radiologi Jerman, melakukan percobaan fisiologis pada
sukarelawan. Dia mengikat dan menahan mereka dalam posisi penyaliban. Dia
menemukan bahwa mekanisme pernapasan normal menjadi terbalik dalam penyaliban.
Dalam mekanisme normal respirasi (pernafasan), inpirasi (menarik nafas) adalah
proses aktif yang melibatkan kontraksi diafgrama sedangkan eksipirasi
(mengeluarkan nafas) adalah pernafasan pasif karena gerakan elastis tulang
rusuk. Namun dalam penyaliban, inpirasi bersifat pasif dalam posisi tertahan
oleh lengan, dan ekspirasi aktif di mana korban harus memaksa udara keluar dari
paru- paru. Dia menemukan bahwa tubuh yang disalib akan mengambil dua posisi.
Posisi pertama atau �naik� terdiri dari seluruh berat badan ditempatkan di paku
yang ada di dalam kakinya. Dalam posisi ini korban masih bisa bernafas cukup
lega dan masih mampu berbicara. Namun di sisi lain, tekanan yang ditempatkan
pada kaki yang luar biasa nyeri akan menyebabkan kejang otot, kelelahan otot
dan akhirnya kelumpuhan otot. Korban akan merosot ke dalam posisi �turun� untuk
meringankan penyiksaan kaki. Posisi �turun� menempatkan posisi penuh tekanan
berat di lengan. Ini akan menyebabkan rasa sakit yang sangat besar di kedua
lengan, mungkin dapat terjadi dislokasi bahu dan gangguan pernafasan rongga
dada. Dalam posisi �turun� korban tidak akan bisa bernapas maupun berbicara dan
akan kehilangan kesadaran dalam waktu sekitar 12-20 menit yang mengarah ke
sesak napas dan kematian. Dengan demikian, terjadi asfiksia yang ikut
menyebabkan kematian pada saat penyaliban. Dengan demikian kita akan terjadi
gerakan konstan antara posisi �naik� dan �turun� setiap 10-15 menit dalam
perjuangan untuk bernapas, mencoba meringankan rasa sakit yang menyiksa di
lengan dan kaki, dan akhirnya menjadi kelelahan.
Gambar 10
Respirasi selama penyaliban
Kiri,
posisi �turun� . Dengan siku terulur dan bahu teregang, pada saat inspirasi
otot pernapasan secara pasif diregangkan dan dada melebar. Kanan, posisi
�naik�. Dengan siku tertekuk dan bahu menarik dan dengan beban tubuh tertumpu
pada kaki yang dipaku, pernafasan dilakukan sebagai proses aktif, bukan pasif.
Paku pada kaki akan menyebabkan beban pernafasan hanya pada otot bahu dan
lengan dan segera akan menyebabkan asfiksia kelelahan.
Kondisi
medis lain yang mungkin disebabkan oleh penyaliban adalah dehidrasi, syok,
edema paru, gagal jantung kongestif dan efusi perikardial. Yesus mengalami
semua ini dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore dengan total 6 jam.
4.
Kematian
(Lukas 23: 44-46, Yohanes 19: 30-34)
Yohanes
19:30 menyatakan : �Lalu Ia menundukkan kepalaNya�; ini menyiratkan posisi
�turun� dan tidak �naik� lagi. Pada saat ini sudah tidak ada aliran darah
secara aktif karena sudah tidak ada aksi jantung yang memompa. Tentara Romawi
adalah pembunuh terlatih dan algojo ahli. Penempatan tombak di dalam rongga
dada akan menyebabkan tertusuknya organ-organ rongga dada. Sumber yang mungkin
untuk �darah dan air� (Yohanes 19:34) adalah cairan perikardial, efusi pleura
atau edema paru, atau perdarahan dada internal, di mana darah terpisah menjadi
komponen seluler dan serum post-mortem.
Gambar 11
Luka tombak di dada
Kiri, jalur
tombak yang mungkin. Kanan, Penampang dada, pada ketinggian bidang ditunjukkan di kiri, menunjukkan struktur yang dilubangi oleh tombak. LA, left
atrium; LV, left ventricle; RA, right atrium; RV, right ventricle.
Yesus
�berseru dengan suara nyaring� (Lukas 23:46a) � sesuatu sangat sulit sampai
tidak mungkin bagi korban penyaliban. Dengan demikian Ia tidak mati seperti
biasa, walaupun dalam keadaan kehabisan nafas akibat penyaliban. Yesus Kristus
�menyerahkan nyawaNya� (Lukas 23:46b) yaitu Dia menghendaki kematianNya.
Berarti Yesus tetap berkuasa dalam semua peristiwa penyaliban. Yesus adalah
seratus persen Allah dan seratus persen manusia. Manusia tidak dapat membunuh
Tuhan, oleh karena itu Yesus harus menghendaki kematianNya sendiri.
Kesimpulan
Yohanes 19:30 menyatakan:
�Lalu ia menundukkan kepalanya�; ini menyiratkan posisi "turun" dan bukan
"naik" lagi. Pada saat
ini tidak ada aliran darah
aktif karena tidak ada aksi
pemompaan jantung. Tentara Romawi adalah pembunuh terlatih dan algojo ahli. Penempatan tombak di rongga dada akan menyebabkan organ rongga dada tertusuk. Kemungkinan sumber untuk "darah dan air" (Yohanes 19:34) adalah cairan perikardial, efusi pleura atau edema paru, atau perdarahan
dada internal, di mana darah terpisah
menjadi komponen seluler dan serum post-mortem. Yesus
"berteriak dengan keras suara� (Lukas 23:46a) � sesuatu yang begitu sulit sehingga tidak mungkin bagi
korban penyaliban. Dengan demikian Dia tidak
mati seperti biasanya, meskipun dalam keadaan mati
lemas akibat penyaliban. Yesus Kristus �menyerahkan roh-Nya� (Lukas 23:46b) yaitu Dia menghendaki kematian-Nya. Ini berarti bahwa Yesus
tetap berkuasa dalam semua peristiwa
penyaliban. Yesus adalah seratus persen Tuhan dan seratus persen manusia. Manusia tidak dapat membunuh
Tuhan, oleh karena itu Yesus harus
menghendaki kematian-Nya sendiri.
Ball,
D A, �The Crucifixion and Death of a Man Called Jesus,� Journal of the
Mississippi State Medical Association, 30.3 (1989), 77�83
http://europepmc.org/abstract/MED/2651675
Bergeron,
Joseph W, �The crucifixion of Jesus: review of hypothesized mechanisms of death
and implications of shock and trauma-induced coagulopathy,� Journal of forensic
and legal medicine, 19.3 (2012), 113�16
Edwards,
William D., Wesley J. Gabel, dan Floyd E. Hosmer, �On the Physical Death of
Jesus Christ,� JAMA: The Journal of the American Medical Association, 255.11
(1986), 1455�63 https://doi.org/10.1001/jama.1986.03370110077025
Holoubek, Joe E., dan Alice Baker Holoubek, �A Study
of Death by Crucifixion with Attempted Explanation of the Death of Jesus
Christ,� The Linacre Quarterly, 61.1 (1994), 10�19 https://doi.org/10.1080/20508549.1999.11878236
Moretto,
Gino, Tuntunan Memahami
Kain Kafan (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2001) Terasaka,
David, �Medical Aspects of the Crucifixion of Jesus Christ,� The Blue Letter
Bible, 2008, 1�13
Zaluchu, Sonny, �Penderitaan Kristus
Sebagai Wujud Solidaritas Allah Kepada Manusia,�
DUNAMIS:
Jurnal Penelitian Teologi dan Pendidikan Kristiani,
2.1 (2017), 61
<https://doi.org/10.30648/dun.v2i1.129>
Copyright holder: Samuel Zacharias, Muner Daliman, David Ming (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |