Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, Special Issue No. 2, Februari 2022
PENGARUH ULTRASOUND DIATHERMY DAN TERAPI LATIHAN
PADA TENDINITIS BICIPITALIS SINISTRA
Budi Susanto
Akademi Fisioterapi Rs. Dustira Cimahi, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Ultrasound Diathermy
merupakan suatu terapi menggunakan getaran mekanik gelombang suara yang
bertujuan dengan pemberian Ultrasound Diarthermy ini dapat mengurangi nyeri
(Hayes, 2016). Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan
kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan
menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis
dan mekanis) pelatihan fungsi dan komunikasi (Permenkes No.65 Tahun 2015). Penelitian ini
dilakukan untuk memahami dan mengetahui sejauh mana penggunaan modalitas
Ultrasound Dhiathermy dalam mengurangi nyeri, terapi latihan Free Active Exercise
dalam meningkatkan Lingkup gerak sendi dan Active Resisted Exercise dalam
meningkatkan kekuatan otot pada kasus Tendinitis Bicipitalis Sinistra. Teknik
yang digunakan dalam penelitian ini berupa purposive sampling. Dari sejumlah
populasi yang akan menjadi sample dan memenuhi kriteria inklusi yang sebelumnya
telah ditetapkan. Setelah dilakukan terapi sebanyak 4 kali yang dilakukan pada
tanggal 12 Februari 2020 sampai dengan 22 Februari 2020 didapatkan
hasil adanya penurunan nyeri yang dilakukan dengan pemeriksaan nyeri
menggunakan Visual Analogue Scale atau VAS pada T1 (12 Februari 2020) yaitu
untuk nyeri diam: 1,2 cm, nyeri tekan area sulcus bicipitalis sinistra: 7,2 cm
dan nyeri gerak: 6,9 cm, pada akhir terapi atau T4 (22 Februari 2020) didapatkan
hasil nyeri diam: 0 cm, nyeri tekan area sulcus bicipitalis sinistra: 5,2 cm
dan nyeri geraki: 4,3 cm. Disarankan pula bagi penderita yang memiliki akivitas
rutin dalam kasus ini contohnya yaitu senam dengan melihat usia penderita yang
tidak lagi muda aktivitas rutinitas tersebut mungkin dapat diseimbangkan dengan
kondisi dan kemampuan penderita dalam mengikuti runtutan gerakan pada senam
tersebut atau hanya mengikuti gerakan yang dapat ditoleransi oleh pederita
sendiri.
Kata Kunci: ultrasound diathermy; terapi latihan; tendinitis bicipitalis
sinistra
Abstract
Ultrasound Diathermy is a therapy using sound wave mechanical vibrations
with the aim of giving Ultrasound Diathermy to reduce pain (Hayes, 2016).
Physiotherapy is a form of health service aimed at individuals and / or groups
to develop, maintain and restore movement and body functions throughout the
life span by using manual handling, increased movement, equipment (physical,
electrotherapeutic and mechanical) function and communication training (Permenkes No. 65 of 2015). This study was conducted to
understand and determine the extent to which the use of the Dhiathermy
Ultrasound modality in reducing pain, Free Active Exercise therapy to increase
joint range of motion and Active Resisted Exercise in increasing muscle
strength in cases of Sinistra Bicipitalis tendinitis.
The technique used in this research is purposive sampling. From a number of
populations who will be sampled and meet the inclusion criteria previously set.
After 4 treatments were carried out on February 12, 2020 to February 22, 2020,
the results of the reduction in pain were obtained by examining pain using the
Visual Analogue Scale or VAS on T1 (12 February 2020), namely for silent pain:
1.2 cm , tenderness in the left sulcus bicipitalis area: 7.2 cm and motion pain: 6.9 cm, at the
end of therapy or T4 (22 February 2020) the results were silent pain: 0 cm,
tenderness in the left sulcus bicipitalis area: 5.2
cm and movement pain: 4.3 cm. It is also recommended for patients who have
routine activities in this case, for example, namely exercise by looking at the
age of the patient who is no longer young, the routine activity may be balanced
with the patient's condition and ability to follow the sequence of movements in
the exercise or only follow movements that the sufferer can tolerate himself.
Keywords: ultrasound diathermy;
exercise therapy; bicipitalis sinistra
tendinitis
Pendahuluan
Kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UU RI No. 36 Tahun, 2009).
Pembangunan
kesehatan diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran,kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Program prioritas Pembangunan Kesehatan pada periode tahun
2015-2019 dilaksanakan melalui Program Indonesia Sehat dengan mewujudkan
paradigma sehat,penguatan pelayanan kesehatan, dan jaminan kesehatan nasional.
Upaya mewujudkan paradigma sehat ini dilakukan melalui pendekatan keluarga dan
gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) (Profil Kesehatan, 2017).
Adapun salah
satu ciri sehat yaitu adalah bergerak mandiri tanpa adanya keluhan. Aktivitas
gerak yang berlangsung dipengaruhi oleh beberapa faktor juga dan salah satunya
adalah dipengaruhi oleh anggota gerak. Anggota gerak itu sendiri terbagi
menjadi 2 yaitu anggota gerak atas dan anggota gerak bawah. Anggota gerak yang
berhubungan dengan latar belakang masalah ini adalah anggota gerak atas.
Anggota gerak
atas merupakan anggota gerak tubuh yang paling luas gerakannya, dalam kehidupan
sehari�hari untuk melakukan aktifitas.
Anggota gerak
atas meliputi bahu,lengan dan tangan dan yang dominan dan kerap kali bergerak
salah satunya adalah sendi bahu. Berhubungan dengan seringnya gerakan yang
terjadi pada bahu dapat memicu timbulnya penyakit- penyakit yang terjadi dan
bergejala nyeri di sekitar bahu salah satunya adalah Tendinitis Bicipitalis.
Tendinitis
adalah gangguan berupa peradangan atau iritasi pada tendon, yaitu suatu
kumpulan jaringan ikat berserat yang merekatkan otot dengan tulang. Tendinitis
paling sering di area bahu, pergelangan, lutut, tumit dan siku. (Wulandari,
2017).
Menurut
(Lawry, 2016) Tendinitis Bicipitalis karena lokasinya yang intraartikular maka
tendon m.biceps brachii menjadi sasaran dari himpitan (impingement)
subacromialis. Nyeri yang timbul selama fleksi shoulder biasanya dirasakan di
anterior pada regio sulcus intertubercularis. Tendinitis Bicipitalis juga
biasanya di akibatkan oleh mikrotrauma berulang yang sering terjadi karena
aktivitas olahraga yang melibatkan lengan, suatu sulcus intertubercularis
ketat, sempit, kasar dapat menimbulkan peradangan pada tendon yang menyebabkan
nyeri tekan (Moore dan Dalley, 2013).
Prevalensi
penyakit Tendinitis Shoulder Anterior di Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat pada
tahun 2018 sebanyak 198 orang dan prevalensi untuk Tendinitis Bicipitalis hanya
19% atau sekitar 37 orang.
Penanganan
medis yang dapat diberikan pada kasus Tendinitis Bicipitalis berpariatif
biasanya dilakukan pemberian obat-obatan penurun rasa sakit selain itu diberikan
latihan fisik yang benar untuk mengurangi keluhan dan salah satunya Tendinitis
Bicipitalis ini bisa ditangani oleh tindakan fisioterapi.
Fisioterapi
adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau
kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh
sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual,
peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan
fungsi dan komunikasi (Permenkes No.65 Tahun 2015).
Menurut
problematika fisioterapi Tendinitis Bicipitalis digolongkan dalam berbagai tingkat,
yaitu dari Impairment yaitu nyeri dirasakan pada bagian tendon bicipitalis
sinistra, keterbatasan lingkup gerak dasar sendi bahu, Penurunan nilai otot
penggerak kekuatan otot sendi bahu, kemudian dari Functional Limitation yaitu
kesulitan berpakaian, menggosok punggung pada saat mandi dan mengambil benda di
tempat tinggi yang mengharuskan lengan kiri menggangkat keatas dan Disability
yaitu ketidakmampuan pasien dalam menggerakan lengan kirinya sehingga
menghambat aktivitas fungsionalnya seperti melaksanakan hobinya yaitu senam.
Dalam kasus
ini fisioterapi mempunyai peran untuk mengurangi nyeri, meningkatkan lingkup
gerak sendi dan meningkatkan kekuatan otot yang lebih lanjut dan dapat membantu
mengembalikan aktivitas fungsional pasien. Modalitas yang di gunakan yaitu
elektroterapi berupa Ultrasound Diathermy serta Terapi Latihan berupa Free
Active Exercise dan Active Resisted Exercise.
Ultrasound
Diathermy merupakan suatu terapi menggunakan getaran mekanik� gelombang�
suara� yang� bertujuan�
dengan� pemberian Ultrasound Diarthermy
ini dapat mengurangi nyeri (Hayes, 2016). Terapi latihan berupa Free Active
Exercise merupakan suatu gerakan aktif yang digerakan secara mandiri oleh
pasien, tujuan Free Active Exercise ini diberikan untuk meningkatkan Lingkup
Gerak Sendi dan Active Resisted Exercise merupakan suatu gerakan aktif dengan
melawan kekuatan dari luar terhadap otot-otot yang sedang berkontraksi dalam
membentuk suatu gerakan diberikan dengan tujuan meningkatkan kekuatan otot
(Kisner, 2017).
Berdasarkan
pembahasan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkat kasus
Tendinitis Bicipitalis sebagai sebuah Penelitian dengan judul �Penatalaksanaan
Fisioterapi pada Tendinitis Bicipitalis Sinistra dengan Modalitas Ultrasound
Diathermy dan Terapi Latihan�.
Metode Penelitian
1.
Rancangan
Penelitian
Rancangan
penelitian ini adalah eksperimental dengan desain penelitian pre test and post
test two group. Bertujuan untuk mengetahui pengaruh ultrasound diathermy dan
terapi latihan pada tendinitis bicipitalis sinistra.
Teknik
yang digunakan dalam penelitian ini berupa purposive sampling. Dari sejumlah
populasi yang akan menjadi sample dan memenuhi kriteria inklusi yang sebelumnya
telah ditetapkan.
Pada
penelitian ini menggunakan pemberian intervensi, yaitu: memberikan gelombang
ultrasound diathermy yang dipasang pada aplikator atau tranduser yang
menghantarkan gelombang tersebut ke pasien dan memberikan terapi latihan yang
dilakukan secara sistematis dan terencana guna manfaat bagi pasien atau klien
yang bertujuan untuk memperbaiki atau mencegah gangguan, meningkatkan atau
mengembalikan fungsi fisik, mencegah atau mengurangi faktor resiko dan
mengoptimalkan kondisi kesehatan, kebugaran, atau rasa sejahtera secara
keseluruhan. Sehingga rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1
Rancangan Penelitian
Keterangan :
P : Populasi 01 : Sebelum Perlakuan pada Kelompok 1
S : Sample� X1 : Pemberian Intervensi pada Kelompok 1
R : Random
Sample 02 : Hasil Pengukuran setelah intervensi
04 : Kelompok
2 Hasil Pengukuran setelah intervensi
2.
Populasi
dan Sample
a.
Populasi
Populasi
adalah keseluruhan dari subyek penelitian. Populasi penelitian ini adalah Klien
atau Pasien dengan kasus Tendinitis Bicipitalis.
b. Sample
Sample
merupakan sebagian dari populasi yang akan diteliti. Pengambilan sample
menggunakan teknik purposive sampling yaitu sample dipilih oleh peneliti dengan
mengikuti serangkaian assessment. Sehingga subjek yang diteliti benar- benar
mewakili populasi yang sesuai dengan kriteria inklusi. Sample dalam penelitian
ini adala yang mengalami Tendinitis Bicipitalis.
Besar
sample yang ditentukan dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus pocock:
2 |
(�2-�1)2
Keterangan:
n :
Jumlah sample����������� ∫
(a,β) : Interval kepercayaan (7,9)
𝜎 :
Simpang baku/standar deviasi �2 : Rerata nilai nyeri sebelum
penerapan
a :
Tingkat kesalahan 1�� �1 :
Rerata nilai nyeri setelah penerapan
β
: Tingkat kesalahan 2
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan
oleh Budi Susanto, S.St.Ft.,Ftr.,
M.Fis didapatkan hasil dengan rerata
NDI = 18,13 dan standar deviasi
= 3,96. Hasil peningkatan setelah
diberikan intervensi 30% yaitu rerata = 5,439.
Dengan
demikian dapat dihitung menggunakan rumus pocock:
n = 2
(3,96)2 x 7,9
(23,596-18,13)2
= 2
(15,68) x 7,9
(5,439)2
= 31,36
x 7,9
29,58
=
8,37
Ditambah
40% dari 8,37 totalnya 11,725, maka jumlah sample dalam penelitian ini 12 orang
pada setiap kelompok.
Subyek
penelitian ini adalah Tendinitis Bicipitalis Sinistra yang memenuhi :
a. �Kriteria inklusi
b. Kriteria
ekslusi
c. �Angka kejadian Drop out
3.
Alat
dan Metode Pengumpulan Data
1) Alat yang digunakan:
a. �Neck Disability Indeks (NDI) berupa
kuisioner
b. Informed
consent
c. �Alat tulis
d. Laptop
e. �Stopwatch
4.
Metode
Pengumpulan Data
a. Melakukan
observasi dan study pendahuluan dengan membagikan lembar kuisioner untuk
mengumpulkan data.
b. Menentukan
jumlah sample yang memenuhi kriteria inklusi dan assessment kemudian dibagi
menjadi 2 kelompok.
c. Sebelum
dilakukan intervensi kepada ketua kelompok responden maka diberikan lembar
persetujuan
d. Responden
diminta untuk mengisi kuisioner apabila dari hasil form dan assessment
ditemukan adanya nyeri dan keterbatasan fungsional pada neck dan masuk dalam
kriteria inklusi maka akan diberikan intervensi
e. Setelah
itu responden diminta kembali untuk mengisi kuisioner
f. Apabila
data telah lengkap maka peneliti melakukan pengolahan data dengan menggunakan
SPSS V.16
5.
Metode
Pengolahan dan Analisis Data
1) �Metode Pengolahan Data
Data
yang terkumpul seperti nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan dan faktor yang
memperberat dari kemampuan fungsional pada neck diolah terlebih dahulu,
kemudian disajikan dalam bentuk dan susunan yang rapi agar terlihat lebih jelas
dan mempermudah untuk dianalisa. Terdapat beberapa proses untuk pengolahan
data, antara lain:
a. �Penyunting Data
b. Pengkodean
c. Data
Entry
d. Tabulasi
2) �Analisa Data
Hasil
dari penelitian diolah dengan menggunakan SPSS V.16. Peneliti menggunakan
beberapa uji statistik dalam menganalisa data, antara lain:
a. �Uji Analisa Deskriptif
b. Uji
Normalitas
c. Uji
Homogenitas
d. Uji
Hipotesis
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
Pengambilan
data penelitian Subjek penelitian berjumlah 16 orang, yang dibagi menjadi dua
kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 8 orang. Pada kelompok perlakuan
I diberikan latihan proprioseptif dan theraband
exercise, sedangkan kelompok perlakuan II diberikan latihan proprioseptif
dan antero posterior glide sebanyak
18 kali intervensi. Setiap kelompok mendapatkan terapi dengan frekuensi 3 kali
perminggu selama 6 minggu dan pengambilan sampel dilakukan dari bulan Maret 2020
sampai April 2020. Sebelum dilakukan intervensi,
terlebih dahulu pasien dilakukan pengukuran stabilitas menggunakan BESS baik
pada kelompok perlakuan I maupun pada kelompok perlakuan II, sehingga diperoleh
hasil pengukuran stabilitas pada ankle
sprain kronis.
1.
Karakteristik
Subjek
Berdasarkan Tabel
1 karakterisitik subjek berdasarkan kedua pengelompokan jenis kelamin menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan I jumlah laki-laki sama banyak dengan jumlah
perempuan, sedangkan pada kelompok II jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Distribusi usia pada kelompok I menunjukkan usia 12-13 tahun dan 14-15 tahun sama banyak, sedangkan
pada kelompok II usia 14-15
tahun lebih mendominasi dibanding dengan usia 12-13 dan 16-17 tahun. Distribusi IMT pada kelompok I dan II didapatkan lebih dominan pada IMT kategori kurus yaitu <18,5.
Tabel 1
Data Karakteristik Subjek
Frekuensi |
||||
Karakteristik |
Kategori |
|
|
p-valuea |
|
|
Kelompok I |
Kelompok II |
|
Jenis Kelamin |
Laki-laki |
4 (50%) |
5 (62,5%) |
|
|
Perempuan |
4 (50%) |
3 (37,5%) |
0,614 |
|
Total |
8 (100%) |
8 (100%) |
|
Usia (tahun) |
12-13 tahun |
3 (37,5%) |
1 (12,5%) |
|
14-15 tahun |
3 (37,5%) |
5 (62,5%) |
|
|
|
16-17 tahun |
2 (25,0%) |
2 (25,0%) |
0,475 |
|
Total |
8 (100%) |
8 (100%) |
|
IMT (kg/m2) |
Kurus <18,5 |
4 (50%) |
6 (75,0%) |
|
|
Normal 18,5-22,9 |
3 (37,5%) |
2 (25,0%) |
0,313 |
|
Gemuk >23,0 |
1 (12,5%) |
0 (0%) |
|
|
Total |
8 (100%) |
8 (100%) |
|
a = chi-square
2.
Uji
Normalitas
Pada
Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas pada data nilai BESS sebelum
perlakuan kelompok I menggunakan Shapiro-Wilk
test diperoleh nilai p = 0,605 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
distribusi data sebelum perlakuan kelompok I normal. Uji normalitas pada data
nilai BESS sebelum perlakuan kelompok II diperoleh p = 0,242 (p>0,05). Hal
ini menunjukkan bahwa distribusi data sebelum perlakuan kelompok II normal. Uji
normalitas pada data nilai BESS setelah perlakuan kelompok I diperoleh nilai p
= 0,067 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa distribusi data setelah
perlakuan kelompok I normal. Sedangkan uji normalitas pada data nilai BESS
setelah perlakuan kelompok II diperoleh nilai p = 0,128 (p>0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa distribusi data setelah perlakuan kelompok II normal.
Tabel 2
Uji Normalitas Saphiro-wilk test
Kelompok |
Sebelum (p-valuea) |
Setelah (p-valuea) |
I |
0,605 |
0,067 |
II |
0,242 |
0,128 |
a = shapiro-wilk test
3.
Uji
Homogenitas
Pada
hasil uji homogenitas data menggunakan Levene�s
test pada data nilai BESS sebelum perlakuan masing-masing kelompok,
disapatkan hasil p = 0,710 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa data bersifat
homogen. Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas tersebut, uji
hipotesis dilakukan dengan analisis menggunakan uji statistik parametrik.
4.
Uji
Beda Nilai BESS Sebelum dan Setelah Perlakuan Kelompok I dan Kelompok II
Dari Tabel
3 pada kelompok I diketahui bahwa sebelum diberikan program latihan nilai
rerata sebesar 31,25�5,20 dan sesudah diberikan program latihan nilai rerata
sebesar 3,25�1,66. Pada kelompok II diketahui bahwa sebelum diberikan program
latihan nilai rerata sebesar 29,75�4,26 dan sesudah diberikan program latihan
nilai rerata sebesar 11,87�2,10. Penurunan nilai rerata sebelum dan setelah
perlakuan ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan stabilitas sebelum dan setelah
perlakuan pada masing-masing kelompok. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai
p = 0,001 yang berarti nilai p < 0,05. Hal ini berarti Ho ditolak. Sehingga
dapat disimpulkan ada peningkatan stabilitas pada kelompok perlakuan I dan II
setelah diberikan latihan.
Tabel 3
Hasil Uji Beda Nilai BESS
Sebelum dan Setelah
Perlakuan Kelompok I dan II
|
Sebelum |
Setelah |
|
Kelompok |
Rerata�SD |
Rerata�SD |
p-valuea |
I |
31,25�5,20 |
3,25�1,66 |
0,001 |
II |
29,75�4,26 |
11,87�2,10 |
0,001 |
p-valueb |
0,539 |
0,001 |
|
a= dependen sampel t-test
b= independent sampel t-test
5.
Uji
Beda Nilai Rerata Selisih Kelompok I dan Kelompok II
Dari
Tabel 4 menunjukkan nilai rerata selisih perlakuan pada kelompok I yaitu 28,00
� 4,34. Sedangkan pada kelompok II didapatkan nilai selisih yaitu 17,87 � 2,90.
Berdasarkan hasil tersebut, rerata selisih pada kelompok I lebih besar dari
rerata setelah di kelompok II, dapat disimpulkan bahwa perlakuan di kelompok I
mengalami peningkatan stabilitas yang lebih baik secara klinis (nilai
signifikansi perubahan > 7 poin) (Mulligan et al., 2013). Perhitungan
didapatkan nilai p = 0,001 yang berarti nilai p < 0,05. Hal ini berarti Ho
ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian latihan proprioseptif dan
theraband exercise lebih meningkatkan stabilitas atau ada perbedaan yang
signifikan daripada intervensi latihan proprioseptif dan antero posterior glide dalam meningkatkan stabilitas.
Tabel 4
Nilai Rerata Selisih
Kelompok Perlakuan 1 dan II
Kelompok |
Mean � SD |
p-valuea |
Perlakuan 1 |
28,00 � 4,34 |
|
Perlakuan II |
17,87 � 2,90 |
0,001 |
a= independent sampel t-test
B. Pembahasan
1.
Pembahasan
Hasil
Pasien
seorang wanita yang bernama Ny.S usia 69 tahun dengan diagnosa medis Tendinitis
Bicipitalis Sinistra yang memiliki problematika fisioterapi berupa adanya nyeri
pada tendon bicipitalis sinistra, adanya keterbatasan gerak pada gerakaan
fleksi, abduksi dan endorotasi shoulder sinistra dan adanya penurunan kekuatan
otot fleksor, abduktor, endorotator shoulder sinistra. Setelah mendapatkan
terapi sebanyak 4 (empat) kali diperoleh hasil adanya penurunan nyeri,
peningkatan lingkup gerak sendi dan peningkatan kekuatan otot.
2.
Hasil
Evaluasi Pengukuran Nyeri dengan Visual Analogue Scale
Pengukuran
nyeri dilakukan dengan menggunakan skala Visual Analogue Scale atau VAS
terjadinya penurunan nyeri yang dicapai selama terapi di peroleh dari efek
mekanik dan efek thermal dari modalitas Ultrasound Diathermy. Dari hasil
pemeriksaan nyeri dengan VAS diperoleh hasil penurunan nyeri, yang dapat kita
lihat pada tabel dan grafik berikut:
Tabel 5
Hasil Evaluasi Skala Nyeri
dengan VAS
Pemeriksaan |
T1 |
T2 |
T3 |
T4 |
Nyeri Diam Shoulder Sinistra |
1,2 cm |
1,2 cm |
1,2 cm |
0 cm |
Nyeri Tekan Area Sulcus Bicapitalis |
7,2 cm |
6,7 cm |
5,8 cm |
5,2 cm |
Nyeri Gerak Soulder Sinistra |
6,9 cm |
6,4 cm |
5,6 cm |
4,3 cm |
Grafik 2
Hasil Evaluasi Pemeriksaan Skala Nyeri dengan
VAS
Setelah dilakukan terapi
sebanyak 4 kali pada pasien Ny.S usia 69 tahun didapatkan hasil terjadi
penurunan nyeri diam dari 1,2 cm menjadi 0 cm. Untuk nyeri tekan area sulcus
bicipitalis sinistra dari 7,2 cm menjadi 5,2 cm. Untuk nyeri gerak pada gerak
dari 6,9 cm menjadi 4,3 cm. Berasarkan hasil evaluasi diatas menunjukan adanya
penurunan skala nyeri setelah diberikannya modalitas Ultrasound Diathermy.
3.
Hasil
Evaluasi Pengukuran Lingkup Gerak Sendi dengan Goniometer
Pemeriksaan
Lingkup Gerak Sendi dilakukan dengan menggunakan goniometer dan dilakukan pada
shoulder joint sinistra secara aktif maupun pasif. Pengukuran Luas Gerak Sendi
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa luas pergerakan sendi tersebut. Setelah
dilakukan pemeriksaan, pasien mengalami keterbatasan gerak pada gerakan
fleksi,abduksi dan endorotasi shoulder sinistra setelah dilakukan terapi
sebanyak empat kali lingkup gerak sendi fleksi, abduksi dan endorotasi shoulder
sinistra pasien mengalami peningkatan. Dari hasil pemeriksaan Lingkup Gerak
Sendi dengan Goniometer diperoleh hasil peningkatan Lingkup Gerak Sendi pada
gerakan fleksi, abduksi dan endorotasi shoulder sinistra, yang dapat kita lihat
pada tabel dan grafik berikut:
Tabel 6
Hasil Evaluasi Pemeriksaan
LGS pada Shoulder Joint Sinistra (Aktif)
Gerakan
Shoulder Sinistra |
T1
12/02/19 |
T2
15/02/19 |
T3
19/02/19 |
T4
22/02/19 |
Ekstensi-Fleksi |
S 50-0-150 |
S 50-0-150 |
S 50-0-155 |
S 50-0-160 |
Abduksi-
Adduksi |
F 145-0-50 |
F 145-0-50 |
F 150-0-50 |
F 150-0-50 |
Ext.Rotasi-
Int.Rotasi |
R(F90)80- |
R(F90)80- |
R(F90)80- |
R(F90)80- |
0-70 |
0-70 |
0-75 |
0-80 |
Grafik 3
Hasil Evaluasi Pemeriksaan Lingkup Gerak Sendi Aktif
Setelah dilakukan terapi
sebanyak 4 kali pada pasien Ny.S usia 69 tahun didapatkan hasil terjadi
peningkatan lingkup gerak sendi, dari pemeriksaan untuk gerakan aktif
didapatkan hasil S 50 -0 -150, F 145 -0 -50, R (F90) 80 0� -70 menjadi S 50 -0 -160 F 150-0-50 R (F90)
80 -0 -80. Berasarkan hasil evaluasi diatas menunjukan adanya peningkatan
lingkup gerak sendi setelah diberikannya terapi latihan Free Active Exercise.
Tabel 7
Hasil Evaluasi Pemeriksaan LGS pada
Shoulder Joint Sinistra (Pasif)
Pemeriksaan |
|
|
|
|
Gerak Pasif |
T1 |
T2 |
T3 |
T4 |
Shoulder |
12/02/19 |
15/02/19 |
19/02/19 |
22/02/19 |
Sinistra |
|
|
|
|
Ekstensi- Fleksi |
S 50-0-180 |
S 50-0-180 |
S 50-0-180 |
S 50-0-180 |
Abduksi- Adduksi |
F 180-0-50 |
F 180-0-50 |
F 180-0-50 |
F 180-0-50 |
Ext.Rotasi- Int.Rotasi |
R(F90)80- |
R(F90)80- |
R(F90)80- |
R(F90)80- |
0-90 |
0-90 |
0-90 |
0-90 |
Grafik 4
Hasil Evaluasi Pemeriksaan
Lingkup Gerak Sendi Pasif
Namun
pada pemeriksaan lingkup gerak sendi secara pasif didapatkan hasil tidak ada
perubahan yang signifikan dikarenakan nilai lingkup gerak sendi dari T1 sampai
T4 tetap sama yaitu S 50 -0 -180, F 180 -0 -50, R (F 90) 80 90 (Full ROM).
4.
Hasil
Evaluasi Pengukuran Kekuatan Otot dengan Manual Muscle Testing
Pemeriksaan
kekuatan otot yang dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan Manual Muscle
Testing dengan metode Nancy Berryman Reese pada group otot fleksor, abductor,
dan endorotator mendapatkan hasil penamabahan nilai otot yang terjadi karena
efek dari pemberian latihan Active Resisted Exercise yang diberikan selama
terapi, selain itu pasien rajin melakukan edukasi yang telah diberikan terapis
untuk di lakukan di rumah secara rutin. Dari hasil pemeriksaan Kekuatan Otot
dengan Manual Muscle Testing diperoleh hasil hasil peningkatan Kekuatan Otot
fleksor, abduktor, dan endorotator shoulder sinistra, yang dapat kita lihat
pada tabel dan grafik berikut:
Tabel 8
Hasil Evaluasi
Pemeriksaan Kekuatan Otot Shoulder
Sinistra dengan
Manual Muscle Testing
Gerakan
Shoulder Sinistra |
T1
12/02/19 |
T2
15/02/19 |
T3
19/02/19 |
T4
22/02/19 |
Fleksor |
3- |
3- |
3- |
3 |
Ekstensor |
5 |
5 |
5 |
5 |
Abduktor |
3- |
3- |
3- |
3 |
Adduktor |
5 |
5 |
5 |
5 |
Endorotasi |
3- |
3- |
3- |
3 |
Eksorotasi |
5 |
5 |
5 |
5 |
Grafik 5
Hasil Evaluasi Pemeriksaan Kekuatan Otot dengan
Manual Muscle
Testing
Setelah dilakukan terapi sebanyak 4 kali pada pasien Ny.S usia
69 tahun didapatkan hasil terjadi peningkatan
kekuatan otot dari kekuatan otot
fleksor 3-, abduktor 3-, endorotator 3-, menjadi kekuatan otot fleksor
3, abduktor 3, endorotator
3. Berasarkan hasil evaluasi diatas menunjukan adanya peningkatan kekuatan otot setelah diberikannya
modalitas terapi latihan Active Resisted Exercise. Namun
pada pemeriksaan kekuatan otot pada otot ekstensor, adduktor dan eksorotator didapatkan hasil tidak ada
perubahan yang signifikan dikarenakan nilai kekuatan otot dari
T1 sampai T4 tetap sama yaitu 5 (Gerakan full ROM
pada posisi melawan gravitasi, dan mampu melawan tahanan maksimal).
Kesimpulan
Pasien atas
nama Ny.S usia 69 tahun dengan diagnosa Tendinitis Bicipitalis Sinistra yang
memiliki problematika adanya nyeri, keterbatsan lingkup gerak sendi dan
penurunan kekuatan otot diberikan terapi sebanyak 4 kali dengan pemberian
modalitas Ultrasound Diathermy untuk mengurangi nyeri dan terapi latihan Free
Active Exercise untuk meningkatkan lingkup gerak sendi dan Active Resisted
Exercise untuk meningkatkan kekuatan otot.
Setelah
dilakukan terapi sebanyak 4 kali yang dilakukan pada tanggal 12 Februari 2017
sampai dengan 22 Februari 2017 didapatkan hasil adanya penurunan nyeri yang
dilakukan dengan pemeriksaan nyeri menggunakan Visual Analogue Scale atau VAS
pada T1 (12 Februari 2019) yaitu untuk nyeri diam: 1,2 cm, nyeri tekan area
sulcus bicipitalis sinistra: 7,2 cm dan nyeri gerak: 6,9 cm, pada akhir terapi
atau T4 (22 Februari 2019) didapatkan hasil nyeri diam: 0 cm, nyeri tekan area
sulcus bicipitalis sinistra: 5,2 cm dan nyeri geraki: 4,3 cm.
Adanya
peningkatan lingkup gerak sendi dengan pemeriksaan lingkup gerak sendi
menggunakan goniometer pada awal terapi T1 (12 Februari 2019) untuk gerakan
aktif didapatkan hasil S 50 -0 -150, F 145 -0 -50, R(F90)80-0-160,F150-0-50, R(F90)80-0-80 dan untuk pemeriksaan lingkup
gerak sendi secara pasif didapatkan hasil tidak ada perubahan yang signifikan
dikarenakan nilai lingkup gerak sendi dari T1 sampai T4 tetap sama yaitu S 50
-0 -180 , F 180 -0 -50 , R(F90 )80 -0 -90�
(Full ROM).
Adapun
peningkatan kekuatan otot pada otot fleksor, abductor dan endorotator dengan
pemeriksaan kekuatan otot menggunakan Manual Muscle Testing metode Nancy
Berryman Reese atau MMT pada awal terapi T1 (12 Februari 2019) didapatkan hasil
untuk otot fleksor 3-, abduktor 3-, endorotator 3- dan pada akhir terapi atau
T4 (22 Februari 2019) didapatkan hasil untuk otot fleksor 3, abduktor 3,
endorotator 3. Namun pada pemeriksaan kekuatan otot pada otot ekstensor,
adduktor dan eksorotator didapatkan hasil tidak ada perubahan yang signifikan
dikarenakan nilai kekuatan otot dari T1 sampai T4 tetap sama yaitu 5 (Gerakan
full ROM pada posisi melawan gravitasi, dan mampu melawan tahanan maksimal).
Bottomley, Jennifer M. (2017). Fisioterapi Rujukan Cepat. Edisi 3. Jakarta: Buku ��Kedokteran EGC.
Cameron, A. G dan Solomon. L. (2003). Physical
Agent Rehabilitation from Research to Practice. Edisi 2. Philadephia: Elsevier.
Hayes, Karen W dan Kathy D. Hall. (2016).
Agens Modalitas untuk Praktik Fisioterapi Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Kisner, Carolyn dan Colby, Lynn Allen. (2017). Terapi Latihan Dasar dan Teknik Vol 1. Edisi
6. Jakarta: EGC.
Khatri, Subhash M. (2018).
Elektroterapi. Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Lawry, George V. (2016).
Pemeriksaan
Musculoskeletal Yang Sistematis. Jakarta: Erlangga.
Mujianto. (2013). Cara Cepat mengatasi 10 besar kasus Muskuloskletal Dalam Praktik Klinik Fisioterapi. Jakarta: CV TRANS INFO MEDIA
Moore, Keith L.& Dalley, Arthur F. (2013). Anatomi Berorientasi Klinis 2. Edisi 5. Jakarta:
Erlangga
Reese, Nancy Berryman. (2011). Muscle and
Sensory Testing. Edisi 3. W. B Saunders Company.
Paulsen F dan Waschke
J. (2013). Atlas Anatomi Manusia
Anatomi Umum dan Sistem Musculoskeletal Sobotta Jilid 1. Edisi 23. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Pearce, CP. (2010). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Trisnowiyato, B. (2012).
Instrumen Pemeriksaan Fisioterapi dan Penelitian Kesehatan.Yogyakarta: Nuha Medika.
Vizniak, N. H. (2010). Quick
Reference Evidence-Based Physical
Assesment. Edisi 3. Jakarta: Professional Health System.
Wesker, Michael, et al. (2017).
Prometheus Atlas Anatomi Manusia Anatomi Umum dan Sistem Gerak. Edisi3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Bahrudin, Moch. (2017). Patofisiologi Nyeri.
Vol 13 No 1 :
8-13. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. 24 Juni 2020. http://ejournal.umm.ac.id/imdex.php/sainmed/article/viewFile/5449/5246 Benjamin,Ben.��� (2004). Shoulder�������� Series� 3��������� Subscapularis� Tendinitis. Essentialprinciles. 18 Juni 2020. www.benbenjamin.com/pdfs/04ON.pdf
Menkes RI. (25 september 2015). Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 65 Th. 2015 Tentang
Standar Pelayanan Fisioterapi. Jakarta.
20 Maret 2020.http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._65_ttg_Standar_Pel ayanan_Fisioterapi_.pdf
Moloek, Nila. (2017). Profil Kesehatan Tahun 2017.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 20 Maret 2020. www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan- indonesia/profil-kesehatan-indonesia-tahun-2017.pdf
Saptahady, August ZP. (2014). Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Kasus Tendinitis Bicipitalis
Sinistra di RS PKU Muhammadiyah. Yogyakarta. 25 Juni
2020. http://eprints.ums.ac.id/32473/20/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf�������� Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan. (n.d)
20 Maret 2020. http://www.kemkes.go.id/index.php?pg=brokenlink
Wulandari, Kartika. (2017). Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Nyeri Bahu Akibat
Tendinitis Supraspinatus Dengan Metode
PNF. Surabaya. 19 Mei 2020. http://repository.unair.ac.id/60261/
Copyright holder: Budi Susanto (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |