Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, Special Issue No. 2, Februari 2022
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
PASIEN ANAK KRITIS DARI KESEPAKATAN DO NOT RESUSCITATE (DNR) (LEGAL PROTECTION
OF CRITICAL CHILDREN PATIENTS FROM DO NOT RESUSCITATE (DNR)
Maggie
Stella Hung, Ardiansah Ardiansah,
Yeni Triana
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Lancang Kuning, Riau, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Perlindungan hukum melalui peraturan perundang-undangan yang ada mengenai pengambilan keputusan dalam hal penatalaksanaan medis, khususnya do not
resuscitate (DNR) oleh mature minors, belum mencapai kesepakatan universal. Perundang-undangan Indonesia yang ada
saat ini mencegah anak di bawah umur yang kompeten untuk diberikan kapasitas terkait pengambilan keputusan tindakan medis atas dirinya.
Hal ini tidak sesuai dengan Konvensi
Hak Asasi Manusia dan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Terlebih lagi masalah
ini tampak terabaikan di Indonesia. Penelitian
ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, dan analitik, serta dianalisis secara deskriptif-kualitatif.
Kesimpulan studi ini didapatkan melalui analisis mendalam terhadap perundang-undangan, tinjauan literatur dan artikel. DNR pada anak kritis dapat dilakukan,
namun harus mempertimbangkan faktor otonomi dan paternalistik, serta kapasitas seorang anak. Disamping
itu, praktik DNR di
Indonesia masih memiliki aspek kekosongan hukum sehingga diperlukan penegakan hukum.
Kata Kunci: perlindungan
hukum; anak kritis; do not
resuscitate
Abstract
Legal protection through the current law governing decision-making
regarding of medical treatment, particularly do not resuscitate (DNR) by mature
minors, has not reached universal agreement. Indonesia�s law regulations, currently
appearing to prevent competent minors being granted capacity, is incompatible
with the regulations under the Convention on Human Rights and the UN Convention
on the Rights of the Child. Moreover, this issue seems to be neglected in
Indonesia. This study is a normative legal research
with statute, case and analytical-approach, then analyzed using
descriptive-qualitative analysis. Regulations, literature reviews and articles
are gathered through in-depth analysis to conclude the study. DNR on child
could be done by considering autonomy and paternalistic factors, as well as the
capacity of a child. Besides, DNR practices in Indonesia need a law enforcement
to fill the legal vacuum.
Keywords: legal protection; critical
children; do not resuscitate
Pendahuluan
Hak anak
dalam memutuskan segala hal terkait
bidang kesehatan seluruhnya ditentukan oleh surrogate atau
walinya. Apakah benar anak tidak
memiliki kuasa terutama terhadap hidupnya dalam penentuan keputusan medis? Pengambilan keputusan dalam pelayanan
kesehatan meliputi perintah do not
resuscitate (DNR), yaitu keputusan yang bersifat terapeutik yang dibuat
pasien atau wakil (surrogate) pada pasien
kritis sebelum pasien henti nafas atau jantung
terjadi, cardiopulmonary arrest, agar
tenaga kesehatan tidak melakukan pijat jantung (Cardio-Pulmonary Resuscitation) tanpa menghentikan terapi yang
telah diberikan kepada pasien (Grinyer, 2011).Perintah
DNR tidak termasuk menghentikan pemberian suplementasi oksigen, terapi
intravena ataupun oral, nutrisi parenteral atau intravena atau penghentian
bantuan hidup seperti ventilator ataupun obat inotropik (Piryani, 2018).
Pengambilan
keputusan DNR oleh pasien anak sampai sekarang masih menjadi dilema bagi
pemberi layanan kesehatan. Negara Indonesia belum memiliki kebijakan terkait
hal ini. Hal ini terutama terjadi di kebanyakan Rumah Sakit Umum (RSU) rujukan. Rumah
Sakit Umum merupakan rumah sakit yang berperan sebagai ujung tombak fasilitas
kesehatan rujukan di Indonesia. Hal ini menjadikan RSU sebagai pusat penanganan
kasus penyakit tahap lanjut atau kritis pasien
anak-anak hingga membutuhkan perintah do
not resuscitate.
Perintah do not resuscitate pada pasien anak
menjadi fenomena sosial hukum yang terjadi di RSU rujukan. Anak dan remaja yang
berperan sebagai kaum minoritas belum memiliki perlindungan hukum untuk
melepaskan diri dari ketidak-cakapan dalam pembuatan suatu keputusan yang
berkaitan dengan kesehatannya sendiri. Hal ini sudah menjadi perhatian di
negara-negara maju, tapi belum di negara berkembang seperti Indonesia.
Dokter sering
kali dihadapkan pada pasien yang meminta resusitasi penuh terhadap kondisi
penyakitnya. Atau, baik pasien sendiri maupun anggota keluarga tidak membuat
permintaan resusitasi penuh, namun hanya dokter yang berasumsi untuk memberikan
tindakan pijat jantung sesuai dengan keinginan pasien (Yuen, Reid, & Fetters, 2011). Pandangan hukum
atas perintah DNR yang sepihak ini tidak diperbolehkan, atau dianggap melanggar
konstitusi negara di Amerika Serikat, serta melanggar kebijakan rumah sakit (Georgiou, 2019). Hukum Indonesia telah
mengatur hal pelayanan kesehatan anak dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 Pasal
28A junctis
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 62 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 5. Peran Pemerintah dalam pelayanan kesehatan anak diatur dalam peraturan
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 Pasal
28A yang menyebutkan bahwa,
�Setiap orang berhak hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya� (Republik Indonesia, 2002).
EUU Nomor 39 tahun 1999 Pasal 62 berbunyi, �Setiap anak berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak,
sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya� (Republik Indonesia, 1999).
FUU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 5 ayat (3), berbunyi: �Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya� (Rusmini, 2017).
Namun, bagaimana penerapan peraturan tersebut dalam menghadapi kasus
sehari-hari?
Seperti hasil
wawancara terhadap pengalaman klinis seorang dokter, pada pasien An. X (14 tahun) dengan diagnosis Acute Lymphoblastic Lymphoma � L5 yang sedang menjalani hemodialysis rutin di Rumah Sakit Umum. Pasien
datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan membutuhkan ruang perawatan PICU (Pediatric Intensive Care Unit), serta hemodialisa cito. Namun, ruang perawatan
PICU di RS pada saat itu sedang penuh. Orang tua diminta menandatangani
surat DNR. Orang tua pasien saat itu
segera menandatangani surat tersebut. Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) anak yang menangani pasien tersebut tidak melakukan bantuan apapun, sedangkan pasien mengatakan bahwa dirinya masih
ingin diperjuangkan hidupnya.
Hal ini
juga dibahas dalam acara ilmiah departemen ilmu kesehatan anak, dimana pada pasien An. AB (15 tahun) dengan diagnosis tumor otak. Pasien sudah menjalani
operasi kraniotomi pengangkatan tumor sebanyak 3
kali. Saat ini tumor residif membesar dibandingkan 6 bulan yang lalu. Pasien di rencanakan operasi oleh sejawat Bedah Saraf. Setelah mendengarkan penjelasan dari DPJP, pasien memutuskan untuk menolak tindakan operasi. Namun, orang tua tidak mendukung
keputusan anak karena menginginkan anak sembuh (Gedge, Giacomini, & Cook, 2007).
Kemudian pada pasien
An. Y (12 tahun) dengan
diagnosis neuroblastoma stadium 4 datang ke IGD dengan keluhan
nyeri tumor dengan skala nyeri 9/10. Pasien telah menjalani
serangkaian kemoterapi dan operasi tumor primer. Sekarang pasien sedang dalam
tahap kemoterapi post-operasi tumor, namun pasien merasa sangat kesakitan dengan perutnya yang membesar. Pasien saat dirawat
di RSU meminta dokter untuk dibebaskan dari penderitaan penyakitnya, namun orang tua berkeinginan sebaliknya dengan mempertahankan kehidupan pasien dan memaksimalkan terapi. DPJP pasien melakukan upaya maksimal untuk menyelamatkan anak. Penandatanganan DNR ditolak oleh pihak keluarga pasien.
Kesenjangan yang
terjadi antara peraturan yang mendasari dengan kejadian di lapangan membuat
Peneliti perlu meninjau perlindungan hukum apa yang berperan untuk melindungi
anak dari do not resusctitate. Apakah
selamanya beban ini akan ditanggung dokter tanpa adanya perlindungan dari aspek
hukum terhadap pasien anak yang merupakan minoritas?
Metode Penelitian
Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang merupakan suatu proses menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, ataupun doktrin-doktrin hukum, untuk menjawab isu perlindungan hukum bagi pasien
anak kritis dari kesepakatan do not resuscitate (Mistar, 2010).
1.
Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan
untuk menjawab permasalahan dalam penelitian adalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus
(case approach), dan pendekatan analitik (analytical approach). Pendekatan perundang-undangan merupakan studi tekstual yang menganalisis dan mengkaji kebijakan secara kritis dan menjelaskan arti, serta implikasi terhadap subjek hukum yang diteliti (Efendi & Ibrahim, 2018).
Sedangkan, pendekatan kasus merupakan pendekatan berupa kasus yang diperoleh langsung dari masyarakat
sebagai sumber pertama melalui observasi, wawancara, maupun kuesioner terhadap realisasi penelitian atas efektivitas hukum yang berlaku ataupun penelitian atas identifikasi hukum, dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi
perlindungan hukum anak kritis terhadap
do not resuscitate (Purwati, 2020). Pendekatan analitis adalah pendekatan dengan mengekspos hukum dan konsep hukum untuk dapat
mengetahui hubungan terhadap norma dalam konteks sosial.
Kesenjangan yang ada menciptakan ide terhadap hukum, yang kemudian akan ditemukan maknanya melalui analisis dan sintesis (Bhat, 2019).
2.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data secara mayoritas adalah menggunakan data sekunder, walaupun terdapat data primer terkait kasus yang menyangkut do not resuscitate terhadap
anak kritis. Fokus pembahasan dalam tulisan ini menitik beratkan kepada peran hukum
untuk mendampingi aspek medis dan etika dalam menangani
kasus do not
resuscitate terhadap anak
kritis yang merupakan objek yang rentan.
3.
Teknik Analisa Data
Studi kepustakaan
ini akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Adapun penarikan kesimpulan dilakukan menggunakan logika berpikir deduktif, yaitu penalaran hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkrit mengenai do not
resuscitate terhadap anak
sakit kritis. Akan dilakukan konkritisasi hukum, karena temuan
hukum berupa nilai, asas, konsep,
dan norma hukum yang dirumuskan secara umum dalam aturan
hukum positif, yang kemudian dikonkritisasi dan diterapkan guna penyelesaian persoalan hukum konkrit yang dihadapi, sehingga diperoleh kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan.
Hasil dan Pembahasan
1.
Pelayanan Kesehatan Bagi Anak dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia
Kecakapan hukum
(atau yang lebih sering disebut dewasa) merupakan unsur penting dalam
perbuatan hukum. Definisi kecapakan hukum di Indonesia didasarkan
pada Pasal 330 KUHPerdata junctis Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 47 dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 25 tahun
2014 tentang upaya kesehatan anak pasal 1 ayat (7). Dewasa berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata adalah sesorang yang berusia 21 tahun dan sudah menikah (Meliala, 2018).
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 47, berbunyi: (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak dicabut dari kekuasaannya; (2) Orang tua mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan (Nomor, 1AD). Pasal ini kemudian
dipertegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
25 tahun 2014 tentang upaya kesehatan anak pasal 1 ayat
(7), berbunyi: Remaja adalah kelompok usia 10 tahun sampai
berusia 18 tahun (Menkes, 2014).
Jadi, dengan asas penafsiran hukum lex posterior derogate legi
priori, dapat disimpulkan
bahwa Indonesia mengakui usia 18 tahun sebagai
dewasa secara hukum dan kompeten. Implikasi pada pelayanan kesehatan adalah bahwa anak
Indonesia dibawah 18 tahun tidak memiliki hak untuk menentukan
layanan kesehatannya secara mandiri. Hukum ini mutlak tanpa
mempertimbangkan kompetensi
dan kapasitas seorang anak.
Studi mengenai
sinkronisasi peraturan perlindungan hukum anak dalam akses
pelayanan kesehatan ditemukan sudah memenuhi. Hal ini tercermin dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Republik Indonesia Nomor 12
tahun 2017 tentang penyelenggaraan imunisasi junctis Permenkes No
25 tahun 2014 tentang upaya kesehatan anak; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian air susu ibu eksklusif, UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, UU Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (TASLIMA, 2021).
Namun, dalam praktek lapangan bidang kesehatan, keseluruhan kebijakan ini belum mampu
melindungi hak hidup seorang anak.
2.
Problematika Tindakan Medis Pasien
Anak Kritis
Anak kritis�
merupakan pasien anak yang dirawat di rumah sakit dalam
perawatan ruang intensif (Pediatric
Intensive Care Unit). Dalam pedoman
American Association of
Pediatrician/Pediatric Society of Critical Care Medicine (SCCM) kriteria �anak kritis� meliputi (Frankel et al., 2019):
- insufisiensi pernafasan
akut dan kronik (asma, infeksi, cedera paru akut/acute lung injury)
- kegagalan sirkulasi
(sepsis, syok, gagal jantung yang tidak perlu extracorporeal
membrane oxygenation)
- penyakit infeksi
ke arah disfungsi
sistem organ mayor
- gangguan endokrin
dan metabolik (ketoasidosis
diabetikum, gangguan mitokondrial, hipotiroid, dan krisis adrenal)
- penyakit neurologis
(status epilepticus, ensefalopati)
- paparan racun
- trauma (stabilisasi awal dan perawatan berkelanjutan)
- penyakit hematologi
dan onkologi
- luka bakar
>10%
Dalam hukum
Indonesia, anak di bawah usia 18 tahun belum
dapat mempertanggung jawabkan dirinya sendiri. Akibatnya, orang tua dari anak
yang memiliki tanggung jawab. Orang tua yang memiliki tanggung jawab dalam penentuan
kesehatan anaknya, selalu berasumsi memilih yang terbaik untuk anaknya (child�s best interest), namun apakah itu
yang dianggap baik oleh si anak? Belum tentu (BIRCH, 2017). Cerminan dari �Gillick competence� membawa
banyak perubahan dalam bidang penanganan
kesehatan anak terutama dalam menilai maturitas seorang anak dalam
menentukan keputusan dan mengerti implikasi terhadap keputusan tersebut. Seperti yang dikutip dari putusan
Hakim Woolf (Lyons, 2011):
��whether or not a child is capable of giving the necessary consent will
depend on the child�s maturity and understanding and the nature of the consent
required. The child must be capable of making a reasonable assessment of the
advantages and disadvantages of the treatment proposed, so the consent, if
given, can be properly and fairly described as true consent� (Gillick v
West Norfolk, 1984).
Problematika tindakan medis pada anak kritis menitik beratkan pada penentuan tindakan dalam keadaan khusus saat segala upaya
maksimal telah dilakukan, namun prognosis pasien ad malam (buruk), maka dokter penanggung
jawab pasien harus berdiskusi dan membuat keputusan pengehentian upaya terapi. Pengambilan keputusan ini diambil
oleh orang tua untuk mengambil keputusan utama (otonomi), dan dokter sebagai penentuk keputusan akhir (paternalistik). Shared decision making merupakan cara ideal dalam menentukan pilihan pada pasien anak dengan ketidak
pastian medis yang sangat dipengaruhi dengan preferensi pribadi, pengalaman, serta factor lain.VAdapun beberapa problematika yang diteliti secara langsung memengaruhi pengambilan keputusan keluarga terhadap DNR, yakni (1) kebijakan DNR; (2) hambatan
finansial; (3) dampak etika beneficence terhadap
non-maleficence; (4) aspek hukum yang
mempengaruhi hak autonomy dalam
pengambilan keputusan; (5) pandangan orang tua; (6) pandangan dokter; (7) pandangan direktur rumah sakit; (8) pandangan komite etik dan hukum; (9) pandangan subkomite etika dan disiplin profesi.
3.
Perlindungan Hukum Bagi Pasien
Anak Kritis dari Do Not Resuscitate
Berbagai
upaya negara untuk menjamin hak dan kewajiban rakyatnya, salah satunya adalah
dengan membentuk hukum. Negara harus memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban
oleh masyarakat berlangsung seimbang agar masyarakat sejahtera. Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 berperan sebagai dasar dan landasan hukum tertinggi di
Indonesia. Keduanya merasuk ke seluruh sendi penggerak bangsa, dan menjadi pedoman
cita-cita bangsa. Sehingga, segala pembentukan kebijakan dan peraturan harus
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Perlindungan hukum terhadap anak khususnya mengenai do not resuscitate masih belum mencapai
suatu kesepakatan yang universal. Hal ini disebabkan oleh
pertama, aspek hukum di setiap negara masih heterogen. Ada negara yang sudah
menentukan batasan usia minoritas untuk mengambil keputusan atas kesehatan
mereka sendiri. Namun, ada negara yang masih belum jelas, sehingga menyebabkan
pemberi layanan kesehatan dan tim diharuskan menilai kompetensi pasien. Hal ini
telah mempengaruhi pembuatan kebijakan perihal remaja di banyak negara. Di
Inggris, orang tua tidak diperbolehkan melihat rekam medis anaknya, namun
kompetensi ini masih dinilai oleh dokter. Di Amerika Serikat, penilaian
kompetensi pasien di bawah umur dinilai oleh ahli bioetika, komisi etik,
psikiater, psikolog, dan bahkan pengacara ataupun pengadilan. Bagi negara yang
belum memiliki kebijakan terkait hal ini, biasanya mereka akan berpegangan pada
Konvensi Hak Anak (Michaud, Blum, Benaroyo, Zermatten, & Baltag, 2015).
Kedua, perkembangan kapasitas untuk mengambil
keputusan melibatkan aspek kognitif dan afektif dari penalaran, serta
perkembangannya pada masa remaja. Penilaian kapasitas sulit dinilai karena (1)
kapasitas untuk memahami aspek jangka pendek dan jangka panjang, serta
konsekuensi pilihan yang diambil tergantung dengan situasi; (2) perkembangan
kognitif dan afektif berbeda-beda pada setiap individu; (3) kapasitas prediksi
konsekuensi tindakan atau keputusan dihambat oleh emosi dan pertumbuhan dan
maturasi sel otak bagian prefrontal yang lambat.
Ketiga, evaluasi dan penilaian kemampuan pengambilan
keputusan remaja harus diberikan kepada seorang tenaga medis atau kesehatan,
tanpa mengesampingkan saran orang tua atau surrogate.
Hal ini karena dokter maupun tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan
pasien dan memantau perkembangan kondisi medis.
Indonesia belum memiliki protab untuk menilai
kapasitas remaja. Belum ada kebijakan khusus yang mengatur tentang kapasitas
pengambilan keputusan dalam bentuk informed
consent, informed refusal, do not resuscitate, maupun informed assent. Alat untuk menilai
kapasitas anak, MacCAT-T belum divalidasi dan tersedia untuk dipergunakan oleh
dokter maupun tenaga kesehatan di Indonesia. Tenaga kesehatan perlu menilai kapasitas dan melibatkan remaja dalam pengambilan keputusan.
Tanggung jawab
pemerintah dan negara dalam
usaha perlindungan anak dalam bidang
kesehatan khususnya do not resuscitate memang
belum ada dan belum dapat terealisasi.
Tanggung jawab muncul dari adanya
suatu hak dan kewajiban. Anak dalam hal ini, masih
merupakan minoritas yang hak dan kewajibannya masih dalam tahap
perkembangan. Apalagi dengan kasus do not resuscitate pada anak yang masih belum umum
terjadi di Indonesia, hal ini sering kali terlupakan.
Perlindungan
hukum adalah suatu upaya melindungi subyek hukum dalam bentuk aturan yang
bersifat preventif atau pencegahan, maupun yang bersifat represif atau mengekang,
lisan ataupun tertulis (Tampubolon, 2016). Perlindungan
hukum diberikan kepada masyarakat yang berada pada posisi yang lemah, baik
secara ekonomis maupun lemah dari aspek yuridis, dalam konteks ini merupakan
anak (Pashkov & Olefir, 2017).
Pasal 28A Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia tahun
1945 junctis
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 32 ayat 1(c) Undang-Undang
Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
berbunyi: �Setiap pasien mempunyai hak: memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi� (Republik Indonesia, 2009),
Pasal 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, berbunyi: �Negara,Pemerintah, dan
Pemerintah Daerah menjamin
Anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan Anak� (Pemerintah Republik Indonesia, 2014).
Seharusnya keempat aturan tersebut mampu mengayomi hak asasi
(HAM) seorang anak. Hak asasi manusia
adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak dilahirkan ke bumi. Hak
ini bukan merupakan pemberian manusia atau
negara, namun sifatnya
wajib dilindungi. Negara dan pemerintah merupakan penanggung jawab utama
dalam upaya mewujudkan penghormatan, penghargaan, perlindungan dan penegakan
HAM. �Sedangkan, hukum dan peraturan
perundang-undangan merupakan wadahnya. Wujud perlindungan yang sifatnya adaptif
dan fleksibel, serta prediktif dan antisipatif merupakan fungsi hukum.� Masyarakat yang lemah dan belum kuat secara
sosial, ekonomi dan politik membutuhkan hukum untuk memperoleh keadilan sosial (Tirtakoesoemah & Arafat, 2020).
Berkaca dari negara tetangga Australia, peraturan spesifik terkait informed
consent penatalaksanaan medis
terhadap anak-anak hanya terdapat pada negara bagian Australia Selatan dan New South Wales. Dr Sara Bird menyimpulkan bahwa consent terhadap
tindakan medis yang diterima pasien dibawah 18 tahun dapat ditentukan oleh pasien, orang tua atau wali hukum,
pengadilan, atau pihak lainnya (di NSW persetujuan dari Guardianship Tribunal dalam perawatan medis khusus seperti
tindakan sterilisasi, vasektomi atau oklusi tuba). Sedangkan di
Indonesia, pengambilan keputusan
do not resuscitate pada anak berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 519/MENKES/PER/III/2011, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
37 tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor, serta protab masing-masing rumah sakit untuk penentuannya.
Jadi,
perlu adanya hukum yang mengatur mengenai perintah do not resuscitate untuk
melindungi hak asasi seorang anak
dalam penentuan tindakan medis yang akan diterimanya. Hak anak perlu
dilindungi, dihormati, dan dihargai yang direalisasikan melalui wadah pembentukan
peraturan hukum di
Indonesia. Hukum ini juga diharapkan
mampu memberi suatu batas tegas
kepada pasien anak, orang tua, dan dokter yang menghadapi hal ini.
Kesimpulan
Pengambilan keputusan
secara mandiri seorang anak terkait
kesehatannya masih belum tegas secara
hukum. Perlindungan hukum terhadap kesehatan anak sudah diatur dalam
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia junctis Pasal 28A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945; Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan; Pasal 32 ayat 1(c) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit; dan Pasal 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak . Sedangkan, peraturan mengenai do not
resuscitate (DNR) masuk ke
dalam penundaan terapi bantuan hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 519/MENKES/PER/III/2011 dan PMK Nomor 37 tahun 2014. Namun, perlindungan hukum terhadap anak dari DNR belum
secara spesifik dibahas dalam perundang-undangan.
Tanggung jawab hukum pengambilan keputusan kesehatan anak secara sepenuhnya
diberikan kepada orang tua, sedangkan Negara serta Pemerintah Indonesia belum bertanggung jawab atasnya. Akibat adanya kekosongan
hukum, dalam hal ini perlu
adanya penemuan hukum.
Bhat, Ishwara. (2019). Idea and Methods of
Legal Research. New Delhi: Oxford University Press.
BIRCH, JESSICA. (2017). Mature Minors
and the Refusal of Medical Treatment: A Misuse of Gillick? Durham
University. Google Scholar
Efendi, Jonaedi, & Ibrahim, Johnny.
(2018). Metode Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Cetakan Ke-2,
Prenadamedia Group: Depok. Google Scholar
Frankel, Lorry R., Hsu, Benson S., Yeh,
Timothy S., Simone, Shari, Agus, Michael S. D., Arca, Marjorie J., Coss-Bu,
Jorge A., Fallat, Mary E., Foland, Jason, & Gadepalli, Samir. (2019).
Criteria for critical care infants and children: PICU admission, discharge, and
triage practice statement and levels of care guidance. Pediatric Critical
Care Medicine, 20(9), 847�887. Google Scholar
Gedge, E., Giacomini, M., & Cook, D.
(2007). Withholding and withdrawing life support in critical care settings:
ethical issues concerning consent. Journal of Medical Ethics, 33(4),
215�218. Google Scholar
Georgiou, Loukas Geirgiou dan Anastasios.
(2019). �A critical review of the factors leading to cardiopulmonary
resuscitation as the default position of hospitalized patients in the USA
regardless of severity of illness.� International Journal of Emergency
Medicine, 12(9).
Grinyer, Anne. (2011). Palliative and
end of life care for children and young people: home, hospice, hospital.
John Wiley & Sons. Google Scholar
Indonesia, Pemerintah Republik. (2014). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Google Scholar
Indonesia, Republik. (1999). Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Pusat
Penerbitan PNRI. Google Scholar
Indonesia, Republik. (2002). Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI. Google Scholar
Indonesia, Republik. (2009). Undang-Undang
RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang. Rumah Sakit. Google Scholar
Lyons, Barry. (2011). �Who is Silent
Gives Consent�: Power and Medical Decision-Making for Children. The
University of Manchester (United Kingdom). Google Scholar
Meliala, Djaja S. (2018). Hukum Waris
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Nuansa Aulia. Google Scholar
Menkes, R. I. (2014). Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 25 Tahun 2014. Jakarta. Google Scholar
Michaud, Pierre Andr�, Blum, Robert Wm,
Benaroyo, Lazare, Zermatten, Jean, & Baltag, Valentina. (2015). Assessing
an adolescent�s capacity for autonomous decision-making in clinical care. Journal
of Adolescent Health, 57(4), 361�366. Google Scholar
Mistar, Junaidi. (2010). Pedoman Penulisan
Tesis. Malang: Program Pascasarjana Universitas Islam Malang. Google Scholar
Nomor, Undang Undang. (1AD). tahun 1974
tentang Perkawinan. Google Scholar
Pashkov, Vitaliy, & Olefir, Andrii.
(2017). Protection of children�s rights in the health care: problems and legal
issues. Wiadomosci Lekarskie (Warsaw, Poland: 1960), 70(6 pt 1),
1122�1132. Google Scholar
Piryani, RM dan Piryani S. (2018).
Do-Not-Resuscitate (DNR). Journal of Kathmandu Medical College, 7(4). Google Scholar
Purwati, Ani. (2020). Metode penelitian
hukum teori & praktek. Jakad Media Publishing. Google Scholar
Rusmini, Andin. (2017). Tindak Pidana
Pengedaran Dan Penyalahgunaan Obat Farmasi Tanpa Izin Edar Menurut
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Al-Adl: Jurnal Hukum,
8(3). Google Scholar
Tampubolon, Wahyu Simon. (2016). Upaya
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Ditinjau Dari Undang Undang Perlindungan
Konsumen. Jurnal Ilmiah Advokasi, 4(1), 53�61. Google Scholar
TASLIMA, Fahraini. (2021). Perlindungan
Hukum Bagi Anak Dalam Mengakses Pelayanan Kesehatan Pada Struktur Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia. Universitas Jenderal Soedirman. Google Scholar
Tirtakoesoemah, Annisa Justisia, &
Arafat, Muhammad Rusli. (2020). Penerapan Teori Perlindungan Hukum Terhadap Hak
Cipta Atas Penyiaran. Pena Justisia: Media Komunikasi Dan Kajian Hukum, 18(1). Google Scholar
Yuen, Jacqueline K., Reid, M. Carrington,
& Fetters, Michael D. (2011). Hospital do-not-resuscitate orders: why they
have failed and how to fix them. Journal of General Internal Medicine, 26(7),
791�797. Google Scholar
Copyright holder: Maggie Stella Hung, Ardiansah Ardiansah, Yeni Triana (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |