Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, Special Issue No. 2, Februari 2022
ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI
DAN TINGKAT PEMAHAMAN MASYARAAKAT DALAM PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN PONOROGO 2020
Abdul Wahid Mahsuni
Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Malang, Malang, Jawa Timur,
Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Menurut (Hamidi, 2005), penelitian
deskriptif kualitatif adalah penelitian dengan cara mengumpulkan
data berupa cerita rinci atau keadaan
sebenarnya. Pemahaman masyarakat terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja di Kabupaten Ponorogo menjadi tanggungjawab Pemerintah
Kabupaten Ponorogo. Perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan kondisi lokal
bertujuan untuk menjawab dan dimaksudkan agar perencanaan pembangunan daerah
akomodatif terhadap dinamika dan aspirasi masyarakat, sehingga secara efektif
dan efisien dapat mewujudkan visi daerah yaitu mewujudkan masyarakat mandiri
dan kompetitif. Aspirasi masyarakat dan partisipasi diwujudkan dalam bentuk
keterlibatan langsung dalam forum-forum perencanaan penganggaran daerah dan
hasil wawancara mendalam dengan informan dapat di simpulkan bahwa fenomena
partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan APBD di Kabupaten Ponorogo
secara normatif dapat dikatakan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam UU No
25 Tahun 2004. Berkaitan dengan implementasi partisipasi masyarakat Kabupaten Ponorogo
kaitannya dengan proses penyusunan APBD.
Kata Kunci:�� APBD Kabupaten Ponorogo; Pemahaman
Masyarakat Aspirasi Masyarakat; UU No. 25 Tahun 2004.
Abstract
The type of research used is descriptive qualitative research. According
to (Hamidi, 2005), descriptive qualitative research is research by collecting data in the
form of detailed stories or actual circumstances. Public understanding of the
Revenue and Expenditure Budget in Ponorogo Regency is
the responsibility of the Ponorogo Regency
Government. Regional development planning in accordance with local conditions
aims to answer and design so that regional development planning is in
accordance with the dynamics and aspirations of the community, so that it can
effectively and efficiently realize the regional vision of realizing an
independent and competitive society. Community aspirations and participation
are manifested in the form of direct involvement in regional budgeting planning
forums and the results of in-depth interviews with informants, it can be
concluded that the phenomenon of community participation in the APBD
preparation process in Ponorogo Regency can
normatively be said to be in accordance with the mechanism regulated in Law No.
2004. Regarding the implementation of community participation in Ponorogo Regency with the APBD preparation process.
Keywords:� Ponorogo Regency APBD; Community
Understanding Community Aspirations; UU no. 25 of 2004.
Pendahuluan
Dalam pelaksanaan
otonomi daerah yang baik harus didukung
oleh semua pihak yang terkait, baik sumber
dana (anggaran), sumber daya alam. Sumber
daya tersebut kemudian harus dikelola secara maksimal ahar dapat
menghasilkan sumber dana untuk daerah tersebut.
Pengelolaan sumber daya alam yang maksimal harus didukung oleh sumber daya manusia (stakeholder) yang ada di daerah baik
dari elemen masyarakat maupun dari aparatur pemerintah
daerah (Yuwono, 2005).
Pembaharuan di dalam
manajemen keuangan daerah di era otonomi daerah, ditandai dengan perubahan yang sangat mendasar, sistem penganggaran terhadulu karena besarnya tuntutan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas terhadap penyelenggaraan jalannya pemerintahan. Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget
ke performance budget
�� Perubahan
paradigma anggaran daerah dilakukan untuk menghasilkan anggaran daerah yang benar-benar mencerminkan terhadap pengelolaan keuangan daerah secara untuk kepentingan
dan pengharapan masyarakat setempat terhadap pengelolaan keuangan� Daerah secara ekonomis, efisien dan efektif,� melalui penyerapan aspirasi musrenbang tingkat kelurahan, kecamatan dan kabupaten. Hal ini menimbulkan paradigma baru dalam penyusunan
anggaran daerah.
�� Penganggaran
merupakan suatu proses yang
sangat rumit pada organisasi
sektor publik, termasuk diantaranya pemerintah daerah. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan
program-program nyang dibiayai
dari uang publik� (Mardiasmo, 2009).
Penganggaran sektor publik terkait dalam proses penentuan� jumlah
alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter.
Tahap� penganggaran
menjadi sangat penting karena anggaran yang efektif telah disusun,
anggaran merupakan
managerial plan for action untuk memfasilitasi
tercapainya tujuan organisasi. Menghasilkan anggaran daerah (APBD) yang efisien dan efektif, dibutuhkan partisipasi dari masyarakat, karena dari informasi
masyarakat pemerintah daerah dapat mengetahui
aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat sendiri. Pemerintah daerah hanya sebagai
penyelenggara dalam perencanaan dan implementasi anggaran daerah.
�� Dengan
mengacu pada uraian di atas peneliti memandang
anggaran pemerintah daerah merupakan suatu realitas sosial yang� disusun dengan adanya interaksi
sosial dengan berbagai pihak.� Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan� dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengekplorasi pemahaman atas fenomena penganggaran dengan berfokus tentang bagaimana proses penyusunan anggaran pemerintah daerah khususnya yang berkaitan dengan mekanisme penyusunan anggaran dan penerapannya di lapangan serta tingkat pemahaman
dan perilaju aparatur terkait proses penyusunan anggaran daerah tersebut.
1. Sejauh mana tingkat
pemahaman masyarakat tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten Ponorogo?
2. Bagaimana tingkat
aspirasi masyarakat dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja darerah kabupaten Ponorogo?
Pemahaman berasal
dari kata paham, yang mempunyai arti mengerti benar, sedangkan pemahaman merupakan proses perbuatan cara memahami (Fajri & Senja, 2008)
Pemahaman berasal dari kata paham yang artinya (1) pengerrtian, pengetahuan yang banyak, (2) pendapat, pikiran (3) aliran, pandangan, (4) mengerti benar (akan), tahu benar
(akan), (5) pandan dan mengerti
benare. Apabila mendapat imbuhan me-I menjadi memahami, berarti: (1) mengerti benar (akan), mengetahui
benar, (2) memaklumi. Dan jika mendapat imbuhan
pe-an menjadi pemahaman, artinya (1) proses, (2) perbuatan,
(3) cara memahami atau memahamkan (mempelajari baik-baik supaya paham) (Poesprodjo, 1987) sehingga dapat
diartikan bahwa pemahaman adalah suatu proses, cara memahami, cara mempelajari baik-baik supaya paham dan pengetahuan banyak.
Menurut (Poesprodjo, 1987) bahwa pemahaman
bukan kegiatan berpikir semata, melainkan pemindahan dari letak dari
dalam berdiri situasi atau dunia orang lain. Mengalami kembali situasi yang dijumpai pribdi lain di dalam erlebnis (sumber pengetahuan tentang hidup,kegiatan melakukan
pengalaman pikiran), pengalaman yang terhayati. Pemahaman merupaka suatu kegiatan berpikir secara diam-diam, menemukan dirinya dalam orang lain.
Pemahaman (comprehention)
kemampuan ini umumnya mendapat penekanan dalam proses belajar mengajar. Menurut Bloom, here we are using the tem
comprehension, to include thos objectives, behaviors,
or responses communication. Artinya : di sini menggunakan pengertian
pemahaman pemahaman pesan tertulis yang termuat dalam satu� komunikasi. Pemahaman mencakup kemampuan
untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari (Winkel, 1996). W.S.
Winkel mengambil dari taksonomi Bloom, yaitu suatu taksonomi yang dikembangkan
untuk mengklasifikasikan� tujuan
instruksional.� Bloom membagi ke dalam
tiga kategori� yaitu termasuk salah satu
bagiandari aspek ognitif karena dalam ranah kognitif tersebut terdapat keenam
aspek di bidang kognitif ini merupakan hirarki kesukaran tingkat berfikir� dari yang rendah sampai yang tertinggi.
Menurut anggaran adalah pernyataan
tentang perkiraan� penerimaan dan
pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam rentang waktu tertentu di masa yang
akan dating. Sedangkan� pengertian APBD
menurut (Halim, 2008) APBSD
rencana opsional keuangan pemda yang menggambarkan perkiraan pengeluaran dan
menggambarkan perkiraan penerimaan dalam satu tahun anggaran. Proses
penganggaran adalah proses penting yang sering kali menjadi� perhatian tersendiri bagi sebuah organisasi,
khususnya APBD terkadang proses politik lebih mendominasi daripada proses ekonomi (Ordiawan, 2006).
Partisipasi masyarakat dalam penyediaan
APBD� masih sangat kecil bahkan hamper
tidak ada, padahal adanya partisipasi akan�
meningkatkan fungsi pengawaan APBD (Mardiasmo, 2003). Transparansi
kebijakan public dan akuntabilitas masih sangat minim, artinya sebagai
masyarakat jika ingin mengakses APBSD sangat sulit. Padahal APBD adalah dokumen
public (Sopanah, 2010). Penyelrenggaraan
pemerintahan kabupaten Ponorogo masih jauh dari prinsip penyusunan APBD
disebabkan karena:
1. Tidak
adanya sosialisasi dari pemerintah daerah dan DPRD
2. Mekanisme
musrenbang dari tingkat kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten yang ditempuh
hanya formalitas
3. Ketidakpedulian
(partisipasi) masyarakat relative kecil yang disebabkan sedikitnya lsm yang
melakukan advokasi kebijakan APBD (Sopanah, 2010).
Anggaran daerah
harus bertumpu pada kepentingan pubkik sesuai dengan prinsip
anggaran publik. Anggaran daerah harus dikelola dengan� hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less). Anggaran
daerah harus� mampu
memberikan transparansi dan
akuntabilitas secara rasional untuk pendekatan keseluruhan siklus anggaran. Anggaran daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk
seluruh jenis pengeluaran� maupun pendapatan. Anggaran daerah harus mampu� menumbuhkan profesionalitas kerja setiap
organisasi yang terkait. Anggaran daerah harus dapat memberikan
keleluasaan� bagi para pelaksananya untuk
memaksimalkan pengelolaan dananya dengan mempertimbangkan� prinsip value for money.
Penyusunan suatu anggaran pendapatan dan belanja daerah berlangsung dalam struktur social tertentu dan demikian merupakan bagian dari proses social yang lebih besar. Barangkali dari perspektif yang lebih
besar. Berangkat dari perspektif yang demikian itu maka penyusunan sebuah
peraturan perundang-undangan tidak secara otomatis berjalan lancer,manakala
struktur social di mana pembuatan itu berlangsung tidak emokratis. Dengan kata
lain sangat tergantung dari kondisi masyarakat.
Penjaringan aspirasi masyarakat
merupakan bagian integral dari upaya untuk memberdayakan masyarakat.
Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas meningkatkan peran serta masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPRD yang merupakan misi utama dikeluarkannya
Undang-undang otonomi daerah tahun 1999 (sebelum ditetapkannya Undang-Undang
Otsus 2004). Pada dasarnya ada tiga elemen penting yang segmental saling
bersentuhan dan menentukan kinerja (performance) pengelolaan keuangan daerah.
Elemen masyarakat ditempatkan pada
bagian atas kerangka segmen, sedangkan pemerintah daerah dan DPRD di bawah. Hal
ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hakikat anggaran daerah (APBD) yaitu
sebagai perwujudan dari amanah rakyat kepada pemerintah daerah dan DPRD dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanannya kepada
masyarakat di mana Nampak jelas dan dapat disimpulkan bahwa: 1)� masyarakat sebagai pemberi amanah sekaligus
sebagai pemilik (owner) dan pelanggan (customer). 2) Pemerintah daerah dan DPRD
dengan peran dan fungsinya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat (civil
service) atau dengan kata lain sebagai manajemen.
(Dobell, 2002) menyatakan bahwa
ada 3 peran penting parlemen dalam proses anggaran, yakni mewakili� kepentingan-kepentingan masyarakat (representating citizen interests), memberdayakan
pemerintah (empowering the government), dan mengawasi kinerja pemerintah (scrutinizing the government�s performance). Dalam literature keuangan dikenal dengan teori keagenan yang menjelaskan hubungan antar dua pihak
yaitu pihak pemilik� pengelolaan keuangan daerah.
Transparansi adalah
prinsip yang menjamin akses atau kebebasan
bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyeleenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan
pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik. Prinsip transparansi memiliki dua aspek
yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Kemungkinan publik menuntut usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk membuka informasi yang terkait dengan civitas publik. Selain adanya partisipasi masyarakat dalam siklus anggaran, transparansi anggaran juga diperlukan untuk meningkatkan penganggaran, transparansi merupakan salah satu prinsip good govermance.
Metode Penelitian
A. Jenis
dan lokasi Penelitian
Sesuai dengan
tujuan penelitian ini, maka jenis penelitian yang digunakan adalah jenis
penelitian deskriptif kualitatif. Menurut (Hamidi, 2005),
penelitian deskriptif kualitatif. Adalah penelitian
dengan cara mengumpulkan data berupa cerita rinci atau
keadaan sebenarnya. Lokasi penelitian ini dilakukan di kabupaten Ponorogo. Di mana untuk mengetahui tingkat pemahaman dan aspirasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten Ponorogo melibatkan masyarakat kabupaten Ponorogo. Sedangkan
waktu yang digunakan dalampenelitian selama 1 (satu) bulan di mana pada prosers
penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
B. Sumber
dan Pengumpulan Data
Menurut (Arikunto & Jabar, 2014)
Data adalah hasil catatan peneliti, baik berupa angka maupun fakta. Data juga
merupakan fakta yang diperoleh melalui pengamatan (observasi) langsung atau survei
(Indriantoro, 2002).
Sumberdata penelitian
adalah data primer (primary data) dan data sekunder (sekundary data). Teknik
atau metode pengumpulan data� merupakan
jembatan yang menghubungkan peneliti dengan dunia social yang ditelitinya.� Melalui teknik
atau metode yang dipilih, peneliti dapat mengumpulkan berbagai� data yang diperlukan.
Beberapa metode atau teknik pengumpulan
data utama untuk penelitian kualitatif adalah unterview, observasi, dan analisis dokumen� (Efferin, S., Darmadji, S. H., 2004).
C. Metode Analisis
Data
Tahapan analisis
data dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu
1) tahap pendahuluan atau pengelolaan data (kelengkapan data yang diperoleh, keterbatasan tulisan, kejelasan makna,� kesesuaian
data dengan yang lain, 2) pengorganisasian
data yang merupakan inti dari
analisis data 3) tahap penemuan hasil, tahap analisis data dimulai dari data awal yang diperoleh peneliti. Hasil penelitian kemudian dilakukan pengecekan kembali dalam rangka mendapatkan
kesehatan dan kredibilitas
data yang diperoleh peneliti.
a. Reduksi Data
Peneliti setelah
berhasil mengumpulkan data
di lokasi penelitian dituangkan dalam uraian atau laporan
lengkap dan terperinci. Laporan lapangan� dilakukan
reduksi data dirangkum, kemudian dipilih bagian-bagian pokok kemudian ditentukan pola dan temanya. Reduksi
data akan dilakukan secara terus menerus�
selama proses penelitian berlangsung.
b. Penyajian
Data
Penyajian data
adalah proses penyusunan informasi yang kompleks didesain dalam bentuk yang
sistematis sehingga lebih sederhana dan selektif. Hal ini dimaksudkan agar
memudahkan bagi peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau
bagian-bagian tertentu dari penelitian. Untuk tahap ini data� dalam penelitian ini nantinya akan dipaparkan
secara rinci dan sistematis untuk memberikan penarikan kesimpulan sementara.
c. Penarikan
Kesimpulan (verifikasi)
Penarikan
kesimpulan adalah langkah setelah reduksi data dan penyajian data. Verifikasi
data dilakukan secara terus menerus sepanjangproses penelitian berlangsung.
Selama proses pengumpulan data peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari
makna-makna dari data yang dikumpulkan dengan cara mencari pola, tema, hubungan
persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang dituangkan
dalam kesimpulan yang bersifat tentative, akan tetapi dengan bertambahnya data
melalui proses verifikasi secara terus menerus.
d. Penyusunan
Rekomendasi
Penyusunan
rekomendasi dilakukan setelah rangkaian kegiatan penelitian usai dilakukan
sampai pada tahap kesimpulan. Yang direkomendasikan adalah hal-hal yang
berhubungan dengan aspirasi dan pemahaman masyarakat terhadap penyusunan
anggaran pendapatan dan belanja daerah APBD khususnya di kabupaten Ponorogo.
e. Keabsahan data
Penarikan keabsahan
data dalam penelitian� kualitatif
ini meliputi: (1) kredibilitas yaitu kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang telah dikumpulkan. Untuk memenuhi kriteria ini, peneliti akan
melakukan perpanjangan kegiatan lapangan, kecermatan pengamatan, telaah kasus (2) dependabilitas, yaitu kriteria yang digunakan untuk menilai apakah
proses penelitian kualitatif
bermutu atau tidak. Untuk menyusun
anggaran baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah kabupaten Ponorogo dalam hal ini
pembimbing untiuk mereview aktivitas proses penelitian, mulai dari desain penelitian,
pengumpulan data, hingga analisis data, (3) konfirmabilitas
yaitu kriteria yang menilai kualitas hasil penelitian dengan tekanan pertanyaan apakah data dan informasi serta interpretasi data didukung oleh materi yang ada dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, APBD khususnya kabupaten Ponorogo. Kecermatan peneliti di sini menjadi
model uama dalam memenuhi kriteria ini.
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
Wawancara yang Dilakukan
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan yang terlibat langsung dalam mekanisme musrenbang dapat ditarik kesimpulan
bahwa pemerintah Kabupaten Ponorogo telah berupaya keras untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proses-proses pembangunan. Selain musrenbang sebagai wujud mekanisme
formal dalam mengusulkan
program kepada pemerintah melalui eksekutif, jarring aspirasi masyarakat (asmara) melalui legislative pemerintah Kabupaten Ponorogo juga telah memberikan data stimulant kepada lembaga yang ada di kelurahan yaitu LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa) dan
BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Besarnya dana yang dikucurkan
oleh pemkab melalui� LPMD selalu mengalami kenaikan mulai dari Rp 20 juta di tahan 2020 sampai Rp 500 juta di tahun 2020 di tiap-tiap desa.� Bahkan dana hibah ini rencananya
akan dinaikkan hingga 1 milyar� kalau
pelaksanaan di lapangan efektif dan benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat. Sementara melalui BKM pada tahun 2020 Pemkab Ponorogo juga telah mengucurkan dana yang besarnya rata-rata Rp 200 juta tiap desa.� Pada tahun ini aka nada penambahan dana melalui PNPM mandiri yang besarnya tiap desa
Rp 200 juta. Berikut beberapa pernyataan yang terkait dengan tingginya dana yang dikucurkan pemerintah. Pernyataan kepala BPMKB pada saat lokakarya tentang PNPM Mandiri terkait dengan banyaknya kucuran dana dari pemerintah sebagai berikut tingginya dana yang dikucurkan oleh pemerintah baik pusat maupun
daerah, baik melalui LPMD maupun BKM diharapkan dana terserap baik oleh masyarakat.
Pernyataan
dari kepala BKBPM Kabupaten Ponorogo menyatakan bahwa kalau sebelumnya masyarakat yang mengusulkan
program dan kita eksekutif sebagai pelaksana, sekarang sudah tidak zamannya. Masyarakat membuat perencanaan,
melaksanakan dan melakukan monitoring serta evaluasi terhadap semua program.
Kami dari pemerintah berharap dengan mekanisme partisipasi seperti ini.� Masyarakat yang lebih dapat menikmati program
pembangunan karena yang tahu kebutuhannya adalah mereka sendiri, sedangkan dari
BKBPM Kabupaten Ponorogo
hanya memonitor saja agar pelaksanaan dapat sesuai dengan rencana.
Berkaitan
dengan implementasi partisipasi masyarakat Kabupaten Ponorogo kaitannya dengan proses penyusunan APBD dilapangan proses
partisipasi dianggap semu, di antaranya: 1) partisipasi yang didominasi kalangan elit tertentu,
2) partisipasi yang dimobilisasi
oleh kelompok kepentingan tertentu, 3) partisipasi yang dikemas dalam acara intertaintment tertentu.� Partisipasi semu yang demikianlah menjadi fenomena menarik yang perlu dikaji lebih mendalam
untuk dilihat seberapa efisien dan efektif dalam proses penganggaran daerah. Selain itu masih
terdapat fenomena� partisipasi
menarik dalam proses penyusunan APBD ( yang berbeda) terungkap ketika peneliti� melakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan. Fenomena partisipasi dalam proses penyusunan APBD yang
secara normative terlaksana
sesuai dengan� mekanisme
dan peraturan pemerintah sebagaimana dinyatakan oleh asisten keuangan pemerintah Kabupaten Ponorogo:
Partisipasi masyarakat dalam
proses penyusunan APBD dapat
melalui mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif. Di legislatif melalui jaringan aspirasi masyarakat, silahkan saudara konfirmasi dengan anggota DPRD. Sedangkann saya akan menjelaskan mekanisme musrenbang dari eksekutif saja. Memang mekanisme
musrenbang mulai tingkat desa sampai
kabupaten itu dilaksanakan dan saya tidak memungkiri kalau pelaksanaannya masih kurang efektif.� Sehingga menyebabkan usulan masyarakat tidak� semuanya
sesuai dan didanai� lewat APBD. Kalau bicara prosentase
mungkin hanya 25-40%� usulan yang didanai
lewat musrenbang. Karena proses selanjutnya dalam tahapan penyusunan APBD
adalah hearing antara eksekutif� dan legislatif
untuk menentukan strategi dan prioritas, di sini masyarakat tidak dapat secara
langsung terlibat namun diwakilkan oleh DPRD sebagai wakil� rakyat disinilah biasanya proses politik
cenderung� mendominasi dalam
penyusunan� RAPBD. Oleh karena itu untuk
mengatasi� banyaknya usulan masyarakat
yang belum didanai lewat APBD� maka wakil
bupati telah mengucurkan berbagai dana hibah (blok grant)� untuk masing-masing LPMD sebesar Rp 500 juta
tiap desa. Kami berharap dengan banyaknya dana yang dikucurkan oleh pemkab akan
meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Sementara
itu pernyataan Bappeda yang diwakili oleh kepala bidang data dan penelitian sebagai badan yang mengkoordinir pelaksanaan musrenbang menyatakan bahwa: �Musrenbang dimulai dari surat perintah
dari Bappeda untuk melakukan musrenbang di tingkat desa yang difasilitasi oleh lurah dan LPMD sebagai pelaksana musrenbangdes, kecamatan dan kabupaten sudah sesuai dengan
aturan main. Musrenbang desa yang mengusulkan program di masing-masing
kemudian dibawa ke tingkat kecamatan untuk dibuat strategi dan prioritas dan
baru dibawa ke musrenbang tingkat kabupaten.�
Yang jadi masalah adalah ketika ketika proses musrenbang selesai maka
tahap berikutnya adalah hearing antara eksekutif dan� legislatif di sinilah program-program yang
diusulkan oleh masyarakat tidak ada yang mengawal lagi sehingga sangat
dimungkinkan usulan dari masyarakat terhapus, karena dalam tahapan itu proses
politik cenderung mendominasi (Aziz, 2020).
Proses musrenbang sebagai bentuk partisipasi masyarakat
dalam �proses penyusunan �APBD berdasarkan mekanisme yang ada dimulai
dari surat permintaan Bappeda� untuk
melakukan musrenbang di tingkat desa yang difasilitasi Kepala Desa. Hasil
musrenbangdes kemudian disusun strategi dan prioritas tiap-tiap kelurahan untuk
diajukan ke tingkat musrenbangkec dan selanjutnya tiap-tiap kecamatan� menyusun strategi prioritas yang akan dibawa
pada musrenbangkab. Kemudian tahap selanjutnya dalam proses penyusunan APBD
adalah diserahkan oleh tim anggaran eksekutif dan panitia anggaran legislative (Rahayu, 2020)
.
Mekanisme partisipasi
masyarakat dalam proses penyusunan APBD sudah diatur oleh undang-undang. Kita
di lapangan hanya melaksanakan sesuai aturan. Kalaupun di lapangan ada kendala
itu wajar-wajar saja saya rasa hampir di semua kota/kabupaten mengalami kendala yang sama. Untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan kami dari kecamatan selalu
melakukan monitoring dan evaluasi ke desa dan masyarakat. Di samping itu kita
selalu koordinasi dengan lembaga masyarakat lain seperti BKM, sehingga dapat
melakukan pengawasan secara bersama-sama (Tukijan, 2020).
Banyaknya dana hibah yang dikeluarkan kepada masyarakat
melalui lembaga BKM dan LPMD dimungkinkan terjadinya overlapping program di
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan
sinkronisasi antara BKM dan
LPMD di antaranya selalu melakukan koordinasi agar program
yang dibuat selalu sinkron dan tidak overlap. Selain itu hampir
di semua LPMD kabupaten Ponorogo anggotanya adalah anggota BKM dengan jumlah sekitar
30%-40%.
Saya sebagai ketua selalu melakukan koordinasi minimal
sebulan sekali untuk melakukan sinkronisasi program-program yang telah didanai
oleh BKM maupun LPMD sehingga tidak terjadi overlapping program. Bahkan di antara
kedua lembaga tersebut� saling menunjang, misalnya ketika ada salah satu RT yang melakukan pembangunan gorong-gorong dengan nilai Rp 50 juta sementara dana yang bias disediakan oleh LPMD hanya Rp 30 juta maka sisa
dana yang kurang akan dicarikan lewat BKM dan swadaya masyarakat.� Rata-rata besarnya swadaya masyarakat sekitar Rp 10%-20% nah sisanya kita carikan di dana UPL BKM (Tobron, 2020).
Analisis lebih mendalam terkait dengan fenomena
partisipasi berdasarkan hasil pengamatan dan interaksi dengan berbagai pihak
yang terlibat dalam proses penyusunan APBD ditemukan hasil bahwa� faktor-faktor yang menyebabkan
ketidakefektifan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan APBD Kabupaten
Ponorogo� adalah terbagi menjadi dua
bagian yaitu partisipasi dalam hal kebijakan dan partisipasi dalam hal proses
perencanaan� dan penganggaran daerah. Terkait dengan penyusunan APBD� belum adanya jaminan hokum berupa peraturan daerah (Perda) yang memayungi partisipasi masyarakat proses penyusunan APBD
dianggap sebagai kendala utama dalam
pengembangan partisipasi masyarakat. Sementara dalam proses perencanaan dan penganggaran melalui proses koordinasi� antar instansi pemerintah dan proses partisipasi seluruh pelaku pembangunan dalam suatu� forum musrenbang
yang menjadi kendala utama adalah sosialisasi
yang dianggap kurang sehingga proses partisipasi yang ada hanya� dinikmati oleh beberapa masyarakat yang dekat dengan pejabat
desa maupun pejabat LPMD (lembaga pemberdayaan Masyarakat Desa) sebagai� lembaga yang melakukan proses musrenbang.
B.
Tingkat
Pemahaman Masyarakat tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten
Ponorogo
Pemahaman masyarakat terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah di
Kabupaten Ponorogo menjadi tanggungjawab pemerintah� kabupaten ponorogo. Karena sebagai penyusun
anggaran beserta DPRD memiliki kewajiban untuk mengikutsertakan� masyarakat dalam proses penyusunannya
sehingga anggaran yang dibuat sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pemkab
Ponorogo mengambil strategi untuk�
membekali masyarakat dengan pengetahuan tentang APBD sejak berlakunya
Undang-Undang No 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999tentang
penimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang kemudian diubah
menjadi UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daera dan UU No. 33 tahun 2004
tentang penimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Melalui
strategi ini, masyarakat diharapkan memahami secara global struktur APBD yang
meliputi pendapatan belanja dan pembiayaan yang salah satu komponennya� penerimaannya adalah anggaran.
Menurut Permendagri No. 59 tahun 2007 jo. Permendagri no 13 tahun 2006,
anggaran mencakup sisa dana untuk mendanai kegiatan lanjutan. Uang pihak ketiga
yang belum diselesaikan pelampauan target pendapatan daerah,penerimaan dan
pengeluaran lainnya yang belum diselesaikan melalui kas daerah sampai dengan
tahun anggaran sebelumnya. Pada APBD 2020 Pemkab Ponorogo anggaran sebagai
komponen penerimaan yang melampaui target (over target), proyek pembangunan
yang tidak terlaksana dan penghematan efisiensi).
Over target dan efisiensi penerimaan pada komponen penerimaan pembiayaan
merupakan pencapaian produktif dalam pengelolaan APBD karena akan meningkatkan
jumlah anggaran dan target tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai
proyek-proyek pembangunan tahun anggaran berikutnya. Dengan meningkatnya
kesadaran masyarakat untuk mengawasi anggaran pada saat pemahaman mereka
tentang masalah rumit tersebut belum maksimal.
C.
Tingkat
Aaspirasi Masyarakat dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Ponorogo
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan keterlibatan� langsung dalam forum-forum perencanaan
penganggaran daerah dan hasil wawancara mendalam� dengan informan dapat disimpulkan bahwa
fenomena partisipasi masyarakat dalamproses penyusunan APBD di kabupaten
ponorogo adalah secara normative dapat dikatakan sesuai dengan mekanisme yang
diatur dalam UU No. 25 tahun 2004.
Partisipasi merupakan kunci sukses dari pelaksanaan otonomi daerah karena
dalampartisipasi menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi (Ahmadi, 2002).
Pengawasan yang dimaksud di sini termasuk pengawasan terhadap pihak� eksekutif melalui pihak legislativf. Semakin
aktif masyarakat dalam proses�
penyelenggaraan pemerintahan berarti akan semakin sukses pelaksanaan
otonomi daerah. Namun kenyataan di lapangan tidak selalu masyarakat
berpartisipasi secara aktif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan khususnya
pada saat penyusunan anggaran (APBD). Menyadari pentingnya aspirasi masyarakat,
maka diperlukan langkah strategis agar pertisipasi masyarakat bisa berjalan
secara kondusif. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan
peran dari lembaga institusi local non pemerintahan seperti lembaga swadaya
masyarakat (LSM), media massa, organisasi kemasyarakatan dan partai politik.
Istilah musyawarah perencanaan pembangunan Musrenbang sangat popular di
kalangan masyarakat. LSM� serta kalangan
akademisi. Musrenbang adalah forum bagi masyarakat dalam rangka berpartisipasi
dengan pola buttom up. Lembaga pemberdayaan masyarakat Desa (LPMD) yang
mengelola musrenbang merupakan wadah masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya
mempunyai kewenangan untuk megontrol jalannya pemerintahan , kelurahan
merupakan jaminan adanya partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan
yang ada di kelurahan (Siswandono Dan Soekardjo, 2000).
Surat Edaran Bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
dan Menteri dalam negeri nomor 1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ tentang pedoman
pelaksanaan forum musrenbang dan perencanaan partisipasi daerah mempertegas
bahwa� partisipasi menjadi kata kunci
hampir di segala aktivitas pembangunan.
Problem nyata yang dihadapi adalah ternyata mekanisme partisipasi yang
ada tidak cukup memberikan ruang apresiatif dan masyarakat karena partisipasi
yang dijalankan hanyalah partisipasi yang semu, simbolis, penuh dengan
manipulasi karena aturan-aturn itu tidak bisa menjamin proses penganggaran� berdasarkan people need assessment.� Yang dominan justru goverment need
assessment. Artinya masyarakat tidak dilibatkan dan terlibat secara penuh
hingga pengambilan keputusan. Keputusan tentang program hanyalah� hasil negosiasi antara eksekutif dan
legislatif, sehingga program-program pembangunan yang dihasilkan bias dikatakan
kurang bermanfaat untuk public secara umum.
Dengan demikian perencanaan anggaran partisipasi (participatory
budgeting) adalah sebuah proses perencanaan�
anggaran belanja dengan keputusan tentang alokasi anggaran ada di tangan
publik.� Dalam prosesnya publik
berpartisipasi secara otonom. Partisipasi dilakukan� dengan berbagai forum, di mana posisi
publik� mampu mengontrol dan mengarahkan
pemerintah daerah dalam penentuan kebijakan alokasi anggaran. Pihak yang
bertanggungjawab dan proses penyusunan anggaran partisipatif, tetap pemerintah
daerah.� Namun dalam prosesnya sepenuhnya
tetap publik yang berperan. Dari mulai penyampaian usulan hingga pada alokasi
anggaran. Seperti halnya perencanaan prosedur penganggaran sangat tergantung
pada system politik, social dan tata pemerintahan suatu Negara. Dalam koteks
itu setidaknya� terdapat empat tipe
praktik penganggaran yang menandakan�
adanya empat paradigma perencanaan yang berbeda. Pertama, prosedur
penganggaran� menekankan pada peran
pemerintah dalam melakukan proses siklikal dari awal sampai akhir melalui� suatu mekanisme kenegaraan. Kedua, prosedur
penganggaran� yang menekankan pada peran
masyarakat melalui mekanisme kesepakatan�
social dan mekanisme pasar. Ketiga, prosedur penganggaran yang
menekankan pada peran ahli pengelolaan sumber daya. Keempat, prosedur
Berkaitan dengan implementasi partisipasi masyarakat kabupaten Ponorogo
kaitannya dengan proses penyusunan APBD di lapangan proses partisipasi dianggap
semu, di antaranya: 1) partisipasi yang didominasi kalangan elit tertentu, 2)
partisipasi yang dimobilisasi oleh kelompok kepentingan tertentu, 3)
partisipasi yang dikemas dalam acara intertainment tertentu. Partisipasi semu
yang demikianlah yang menjadi fenomena menarik yang perlu dikaji lebih mendalam
untuk dilihat seberapa efisien dan efektif dalam proses penganggaran daerah.
Selain itu masih terdapat fenomena partisipasi menarik dalam proses penyusunan
APBD (yang berbeda0 terungkap ketika peneliti melakukan wawancara mendalam
dengan beberapa informan terpilih. Wawancara�
dari pihak eksekutif yang berhasil diwawancarai� di antaranya Bupati, BAPPEDA, BPMKB, Camat
dan Kepala Desa. Sementara sebagai penyeimbang informasi peneliti juga
melakukan wawancara dengan masyarakat dan LPMD. Berikut adalah beberapa petikan
wawancara� dengan informan.
Fenomena partisipatif dalam proses penyusunan APBD yang secara normative
terlaksana sesuai dengan mekanisme dan peraturan pemerintah. Partisipasi
masyarakat dalam proses penyusunan APBD dapat melalui mekanisme yang dilakukan
oleh eksekutif maupun legislatif.
Mekanisme musrenbang dari tingkat desa sampai kabupaten itu dilaksanakan
dan pelaksanaannya masih kurang efektif sehingga penyebabkan usulan masyarakat
tidak semuanya sesuai dan didanai lewat APBD.�
Kalau berbicara prosentase mungkin hanya 540%� usulan yang didanai lewat musrenbang. Karena
proses selanjutnya dalam tahapan penyusunan APBD adalah hearing antara
eksekutif dan legislative untuk menentukan strategi dan prioritas. Di sini
masyarakat tidak dapat secara langsung terlibat, namun diwakilkan oleh DPRD
sebagai wakil rakyat. Di sinilah biasanya proses politik cenderung mendominasi
dalam penyusunan RAPBD. Oleh karena itu untuk mengatasi banyaknya usulan
masyarakat yang belum didanai lewat apbd�
maka bupati telah mengucurkan berbagai dana� salah satunya yang paling ramai sekarang
dibicarakan adalah dana hibah (blok gant) untuk masing0-masing LPMD sebesar rp
500 juta tiap kelurahan sepengetahuan saya ini satu-satunya di Indonesia.
Dengan banyaknnya dana yang dikucurkan oleh pemkot akan meningkatkan� partisipasi dalam pembangunabn.
Musrenbang dimulai dari surat perintah dari Bappeda untuk melakukan
musrenbang di tingkat kelurahan yang difasilitasi oleh lurah dan LPMD sebagai
pelaksana. Musrenbangdes, kecamatan dan kabupaten sudah berjalan sesuai dengan
aturan main. Musrenbang kelurahan yang mengusulkan program di masing-masing
kelurahan kemudian dibawa ke tingkat kecamatan untuk dibuat strategi dan
prioritas yang baru dibawa ke musrenbang tingkat kabupaten. Yang jadi masalah
adalah ketika proses musrenbang selesai maka tahap berikutnya adalah
hearing� antara eksekutif dan
legislative. Program-program yang diusulkan�
oleh masyarakat tidak ada yang mengawal lagi sehingga sangat
dimungkinkan usulan dari masyarakat terhapus, karena dalam tahapan itu proses
politik cenderung mendominasi.
Setiap awal tahun dinamika pembangunan ditandai dengan pelaksanaan� musyawarah perencanaan pembangunan
(Musrenbang) secara berjenjang sejak tingkat RT/RW, desa/kelurahaan, kecamatan,
kabupaten, provinsi dan nasional.� Secara
normative musrenbang dimaksudkan sebagai usaha penjaringan aspirasi masyarakat
sebagai bahan perencanaan dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja
daerah maupun nasional. Musrenbang diatur dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang
system perencanaan pembangunan nasional,�
yang mengatur perencanaan menurut kombinasi partisipatif (melalui
musrenbang)� disamping skema
tektokratik� melalui perencanaanpembangunan
jangka menengah (RPJM) yang diturunkan dalam rencana strategis satuan kerja
perangkat daerah/renstra SKPD dan�
rencana kerja pemerintah� daerah
(RKPD), skema politik (melalui�
pembahasan di bidang anggaran DPRD), skema buttom up (termasuk
musrenbang dan penjaringan aspirasi masyarakat saat reset oleh DPRD), serta top
down (melalui dekonsentrasi dan tugas�
pembantuan).
Dalam pelaksanaannya dari tahun ke tahun, sejumlah kalangan mulai
bersikap apatis bahkan skeptis terhadap pelaksanaan dan tindak lanjut hasil
musrenbang terutama di level desa/kelurahan dan kecamatan. Apatisme ini menguat
disebabkan oleh ekspektasi yang terlalu besar�
terhadap musrenbang. Banyak kegiatan yang diusulkan masih berupa
keinginan belum kebutuhan. Disamping itu musrenbang dianggap satu-satunya
proses dalam perencanaan dengan mengandalkan semua usulan akan direkomendasi
dalam APBD.
�Realitas ini diperparah oleh
political will pemerintah yang kerap mengabaikan aspirasi masyarakat dalam
musrenbang. Umumnya aparatur perencanaan pemerintah beranggapan bahwa� aspirasi musrenbang bukan satu-satunya proses
perencanaan, sehingga tidak �memiliki
beban dan tanggungjawab moral untuk mengakomodasinya. Dalam realitas
rapat-rapat badan anggaran DPRD, usulan yang disusun SKPD sendiri dalam Renja
SKPD, dan hasil-hasil penjaringan aspirasi masyarakat selama reses untuk
anggota� DPRD lebih banyak didiskusikan
ketimbang aspirasi musrenbang.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat� pemahaman maupun tingkat aspirasi masyarakat
tentang anggaran pendapatan� dan belanja
daerah kabupaten Ponorogo masih rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya
sosialisasi yang dilakukan baik pihak pemerintah daerah melalui kelurahan
maupun perangkat social yang ada. Sehingga untuk meningkatkan pemahaman dan
tingkat aspirasi perlu adanya sosialisasi dan komunikasinya.
Kesimpulan
Pemahaman masyarakat tentang perencanaan
anggaran pendapatan dan belanja daerah di kabupaten Ponorogo menjadi
tanggungjawab pemerintah kabupaten Ponorogo. Karena sebagai penyusun anggaran
beserta DPRD memiliki kewajiban untuk mengikutsertakan masyarakat dalam proses
penyusunannya sehingga anggaran yang dibuat sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan kondisi local bertujuan untuk
menjawab dan menyelesaikan permasalahan�
dan kebutuhan local. Hal ini dimaksudkan agar perencanaan pembangunan
daerah akomodtif terhadap dinamika dan aspirasi masyarakat sehingga secara
efektif dan efisien dapat mewujudkan visi daerah yaitu mewujudkan masyarakat
mandiri dan kompetitif.
Aspirasi masyarakat dan partisipasi
diwujudkan dalam bentuk keterlibatan langsung dalam forum-forum perencanaan
penganggaran daerah dan hasil wawancara mendalam denan informan dapat
disimpulkan bahwa fenomena� partisipasi
masyarakat dalam proses penyusunan APBD kabupaten Ponorogo adalah secara
normatif dapat dikatakan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam UU No 25
tahun 2004. Kegiatan dengan implementasi partisipasi masyarakat
kabupaten Ponorogo kaitannya dengan proses penyusunan APBD.
1. Bagi
penelitian selanjutnya agar lebih banyak responden� sehingga dapat informasi yang lebih akurat
mengenai aspirasi masyarakat terhadap anggaran pendapatan� dan belanja daerah
2. Bagi
pemerintah baik eksekutuf maupun legislative diharapkan meningkatkan
transparansi kebijakan public khususnya kebijakan tentang anggaran sehingga
akan meningkatkan tingkat aspirasi masyarakat terhadap anggaran.
3. Penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan literatur akuntansi khususnya
akuntansi sektor publik dalam bidang peganggaran.
Ahmadi, A. (2002). Psikologi Sosial.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Google Scholar
Arikunto, Suharsimi, & Jabar, Cepi
Safuruddin Abdul. (2014). Evaluasi Program Pendidikan: pedoman teoritis
praktisi pendidikan. Google Scholar
Aziz, Fatkhul. (2020). Hasil wawancara.
Google
Scholar
�
Arsyad, Lincolin,
1999. Pengantar Perencanaan
dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE UGM, Yogyakarta.
Bird Richard M. dan Vallancourt. Francois, 1998. Desentralisasi
Fiscal di Negara Berkembang- tinjauan
Umum. Edisi Bahasa
Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Dobell, Peter &. Martin Ulrich. (2002).
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 Tentang Pedoman Makalah
Seminar. Google Scholar
Efferin, S., Darmadji, S. H., Tan Y.
(2004). Metode Penelitian Untuk Akuntansi: Sebuah Pendekatan Praktis.
Malang: Bayumedia. Google Scholar
Fajri, E. M. Zul, & Senja, Ratu
Aprilia. (2008). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi Revisi. Semarang: Difa
Publisher. Google Scholar
Halim, Abdul. (2008). Akuntansi Keuangan
Daerah, Edisi Ketiga. Jakarta: Salemba Empat. Google Scholar
Hamidi. (2005). metode penelitian
kualitatif. Malang:UMM press. Google Scholar
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo.
(2002). Metodologi Penelitian Bisnis. Untuk Akuntansi dan Manajemen.
Yogyakarta. Google Scholar
Ismail, Munawar.
2001. Pendapatan Asli Daerah dalam
otonomi Daerah. Tema,
Volume II, Nomor 1 Maret.
Kristiadi
J.B. 2001. Hubungan keuangan Pusat dan Daerah. Jakarta, JIIS. G
Lains, Afian
2002. Pendapatan Daerah danan
Otonomi Orde baru, Prisma
No. 4 Aapril 1985.
Mardiasmo. (2009). Akuntansi Sektor
Publik. Yogyakarta: Mattola, Ridwan. Google Scholar
Mardiasmo, Sopanah dan. (2003). Pengaruh
Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik terhadap Hubungan
antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah.
Surabaya. Google Scholar
Moleong, 2000. Metode
Penelitian Administrasii.
Bandung, Alfabeta.
Ordiawan, Dedi. (2006). Akuntansi Sektor
Publik. Jakarta: Salemba Empat. Google Scholar
Poesprodjo. (1987). bahwa pemahaman
bukan kegiatan berpikir semata. Depdikbud. Google Scholar
Rahayu, Sri. (2020). Hasil wawancara.
Google
Scholar
Siswandono Dan Soekardjo, Bambang. (2000). Kimia
Medisinal. Jakarta: Airlangga. Google Scholar
Sopanah, Sopanah. (2010). Studi
Fenomenologis: Menguak Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD. Jurnal
Akuntansi Dan Auditing Indonesia, 14(1). Google Scholar
Santoso, Bagus, 2005. Retribusi Pasar hingga Pendapatan Asi Daerahi. Prisma, No 4 April
1995.
Soeparmoko, 2002. Ekonomi
Publik tentang Keuangan dan Pembangunan Daerahi.
Andi, Yogyakarta.
Supranto J. 1999. Enonometrik.
Penerbit FE-UI, Jakarta.
Singarimbun, Masri,
Sofyan Effendi, 1989. Metode Penelitian
Survei. Jakarta, LPES.
Suharsimi
Arikunto, 2002. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Prakteki. Edisi Revisi II.
Jakarta, Rineka Cipta.
Syamsi,
Ibnu, 1994. Dasar-dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara (Edisi Revisi). Bina Aksara
Jakarta.
Tobron. (2020). Hasil wawancara. Google
Scholar
Tukijan. (2020). Hasil wawancara. Google
Scholar
Winkel, W. S. (1996). Psikologi Pengajaran
edisi revisi. Jakarta: PT. Gramedia. Google Scholar
Yuwono, Sony. (2005). Penganggaran
sektor publik. Bayumedia Pub. Google Scholar
Copyright holder: Abdul Wahid Mahsuni
(2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |