Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 2, Februari 2022

 

KEKUATAN HUKUM AKTA JUAL BELI TANAH YANG MENGANDUNG UNSUR TINDAKAN PURA-PURA

 

Andi Mulia Wahyuni, Hasbir Paserangi, Kahar Lahae

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang kekuatan hukum akta jual beli tanah yang mengandung unsur tindakan pura-pura. Penelitian ini adalah penelitian hukum bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Selain itu juga merujuk pada literatur, dan kamus hukum guna memperoleh data sekunder. Wawancara juga dilakukan sebagai salah satu bentuk bahan non hukum sebagaimana merupakan bahan pelengkap untuk memberikan petunjuk dan penjelasan yang relevansi dengan topik penelitian. Adapun data penelitian dianalisis secara kualitatif untuk memberikan preskriptif permasalahan hukum yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan hukum akta jual yang mengandung unsur tindakan pura-pura pada kasus yang dibahas dan diteliti yakni ketiga akta jual beli hak atas tanah yang dibuat dihadapan PPAT ASC tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena telah mencederai unsur kepastian hukum sebagaimana yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan pejabat pembuat akta tanah. Mengingat dengan adanya akta jual beli berarti memberikan kedudukan yang sama antar subyek hukum yang terlibat terkait kepastian dalam bentuk prestasi hingga penetapan sanksi jika ingkar terhadap perjanjian yang telah disepakati. Namun pada ketiga akta jual beli oleh PPAT ASC tidak terdapat pelaksanaan prestasi, tidak adanya pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian yang mengikat mereka. Secara jelas tidak pernah terjadi perbuatan hukum sebagaimana ternyata dalam akta sehingga dapat dikatakan bahwa sejak awal perjanjian tersebut tidak pernah ada.

 

Kata Kunci: hukum; akta; jual beli tanah

 

Abstract

This study aims to analyze the legal strength of the deed of sale and purchase of land which contains elements of pretending. This research is a descriptive legal research using a statutory approach and a conceptual approach. In addition, it also refers to the literature, and legal dictionaries to obtain secondary data. Interviews were also conducted as a form of non-legal material as a complementary material to provide instructions and explanations that were relevant to the research topic. The research data was analyzed qualitatively to provide a prescriptive legal problem under study. The results of the study indicate that the legal force of the sale deed which contains elements of sham actions in the cases discussed and investigated, namely the three deed of sale and purchase of land rights made before the ASC PPAT does not have binding legal force because it has injured the element of legal certainty as stated in the Regulations. Government number 24 of 2016 concerning changes to government regulation number 37 of 1998 concerning regulations for land deed officials. Given the existence of a deed of sale and purchase, it means giving equal positions between legal subjects involved regarding certainty in the form of achievement to the determination of sanctions if they break the agreement that has been agreed. However, in the three deed of sale and purchase by PPAT ASC there is no implementation of achievements, there is no implementation of the rights and obligations of the parties in the agreement that binds them. It is clear that no legal action has taken place as evident in the deed so that it can be said that from the beginning the agreement never existed.

 

Keywords: law; deed; buying and selling land

 

Received: 2022-01-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-02-20

 

Pendahuluan

Akta autentik berfungsi sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan mutlak mengenai peristiwa atau hal yang tertuang dalam akta.untuk menghindari terjadinya kesalahan yang bisa menimbulkan sengketa dikemudian hari. Maka PPAT harus memiliki kecakapan dibidang pertanahan, tidak memihak salah satu pihak dalam pembuatan akta dan tidak mengumbar rahasia yang berkaitan dengan akta. Artinya bahwa dalam membuat akta, maka PPAT harus berdasarkan peraturan ke PPAT-an.

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disingkat PPAT, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya harus berdasarkan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan pejabat pembuat akta tanah dan kode etik PPAT. Pada pasal 1 ayat (1) peraturan pemerintah nomor 24 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan pejabat pembuat akta tanah bahwa: pejabat pembuat akata tanah adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk mmbuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Keberadaan PPAT sangat dibutuhkan karena sesuai dengan kewenangannya yang tidak hanya menjadikan keterangannya bisa dipercaya tapi juga cap dan tanda tangannya yang dapat memberikan jaminan sebagai alat bukti autentik. Pejabat pembuat akta tanah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, membuat masyarakat indonesia mengetahui pentingnya peran pejabat pembuat akta tanah.

Seorang PPAT adalah pejabat yang punya spesialisasi tersendiri dengan kulaifikasi sebagai orang yang menuangkan hal sesuai kehendak para pihak dan keinginan dari para pihak yang menghadap kepadanya (Adjie, 2011). Artinya bahwa PPAT merupakan pejabat yang melaksanakan tugas dengan cara memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Apabila terjadi pelanggaran yang dilakaukan oleh PPAT dan telah terbukti kebenarannya, tentu akan menimbulkan kerugian kepada para pihak. Apabila akta yang dibuat PPAT mengandung cacat hukum karena kesalahan, kelalaian maupun kesengajaan keberpihakan PPAT itu sendiri, maka PPAT harus memberikan pertanggung jawaban secara moral dan secara hukum.

Jual beli adalah ketika antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar (Hama, Nurhasanah, & Febriadi, 2017). Jual beli dalam hal ini tentang perjanjian jual beli yang lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak terkait barang yang akan diserahkan oleh penjual dalam jual beli tersebut dan harga yang akan dibayarkan oleh pembeli. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian jual beli tergolong perjanjian konsensual, yaitu perjanjian yang lahir sejak tercapainya kesepakatan para pihak. Oleh karena dalam pasal dinyatakan bahwa meskipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayar, berarti setelah tercapainya kesepakatan para pihak, maka pihak pembeli sudah berhak menuntut pembayaran harganya. Masalah yang mana diserahkan terlebih dahulu, apakah barang atau harganya, semua itu tergantung pada kesepakatan. Namun tentu yang banyak terjadi untuk jual beli sederhana adalah bersamaan/hampir bersamaan antara penyerahan barang dan harganya (Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2018).

Adapun mengenai jual beli hak milik atas tanah harus dipastikan pengalihan kepemilikannya dari hak milik si penjual menjadi hak milik pembelii. Hal ini dikarenakan kepemilikan tanah belum beralih kepada pembeli walaupun harga sudah dibayar dan tanah secara fisik sudah diserahkan kepada pembeli (sudah dibawah penguasaan pembeli). Hak milik atas suatu tanah dapat beralih kepada pembeli jika telah dilakukan penyerahan hak yang wajib diselenggarakan dengan membuat akta autentik dihadapan PPAT yang diangkat oleh pemerintah sesuai dengan bunyi pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah merupakan satu-satunya pembuktian dan juga merupakan syarat sahnya peralihan hak. Akta selain sebagai akta autentik, juga merupakan alat bukti yang sempurna untuk pembuktian yang kuat dan sah dalam setiap perkara yang terkait. Akta yang dibuat dihadapan PPAT dalam hal ini mempunyai kedudukan penting dalam menciptakan hak dan kewajiban karena menjamin kepastian hukum dalam setiap hubungan hukum sebagaimana akta bersifat autentik. Pelaksanaan pembuatan akta jual beli tanah dapat dilakukan jika semua persyaratan jual beli terpenuhi oleh para pihak. Namun pada kenyataannya hal-hal sebaliknya terjadi. Ada jual beli tanah yang dibuat terkandung unsur tindakan pura-pura, dalam hal ini tidak dilakukan tindakan hukum jual beli sebagaimana yang tertuang dalam akta, sehingga syarat jual beli tidak terpenuhi dan membuat akta jual beli hanya menjadi wadah. Jual beli yang berdasarkan tindakan pura-pura ini dapat disebut dengan perjanjian pura-pura. Perjanjian pura-pura terdapat cacat hukum ataupun cacat kehendak dalam perjanjian kedua pihak ataupun masalah lainnya yang dapat menimbulkan sengketa. Perbedaan kehendak para pihak maka dikatakan cacat kehendak, artinya bahwa pernyataan sesuai dengan yang diinginkan tetapi tidak menginginkan akibat hukum yang akan ditimbulkan (Budiono, 2009).

Perjanjian jual beli berdasarkan tindakan pura-pura atau perjanjian pura-pura merupakan penyimpangan dari maksud tujuan menimbulkan akibat hukum (Budiono, 2009). Perjanjian semacam ini dalam bahasa Belanda disebut schiijnhandeling. Pada kamus hukum schijnhandeling diartikan sebagai perbuatan pura-pura atau suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan (Charlie Rudyar, 2014).

Perjanjian pura-pura adalah perjanjian para pihak menyatakan keadaan yang berbeda dengan perjanjian yang diadakannya. Akta jual beli berdasarkan tindakan pura pura sudah sangat sering digunakan. Contohnya A dan B sepakat melakukan jual beli pura-pura tanah yang akan dijadikan jaminan kredit di Bank. Kedua belah pihak melakukan proses balik nama pemohon kredit. Sebelum membuat akta jual beli dihadapan PPAT, keduanya membuat kuitansi seolah-olah pembayaran secara tunai dilakukan dan perbuatan jual beli telah dilaksanakan. Kedua belah pihak juga telah membayar pajak penjual dan pembeli lalu membawa seluruh persyaratan tersebut ke PPAT untuk dibuatkan Akta Jual beli tanah yang akan dijadikan sebagai objek jaminan.

Sebagaimana salah satu kasus yang terjadi pada pengusaha Balikpapan yakni Jovinus Kusumadi dengan rekannya yang juga seorang pengusahabernama Abdul Hakim Rauf. Awalnya Jovinus dan Abdul Hakim akan mengadakan kerjasama bisnis dibidang perdagangan bahan bakar minya bumi dengan mendirikan PT. Ocean Perkasa Energi Khatulistiwa disebut PT.OPEK. Pendirian PT. OPEK dibuktikan dengan adanya akta pendirian nomor 68 tanggal 13 maret 2017 yang dibuat Notaris/PPAT ASC. Untuk menjalankan usaha yang telah didirikan, maka akan diadakan pegajuan kredit Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri atau disebut SKBDN ke Bank Mega Cabang Balikpapan keduanya bersepakat bahwa yang mengajukan fasilitas kredit adalah Jovinus. Hal ini dikarenakan Abdul Hakim sudah menjadi debitur dibeberapa Bank dan mengenai jaminan akan menggunakan aset milik Abdul Hakim.

Jaminan yang dimaksud adalah asli Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 00221/ Margo Mulyo terdaftar atas nama PT.Dian Yarpan Jaya Mndiri, Asli SHGB Noor 00226/ Margo Mulyo terdaftar atas nama PT Dian Yahya Mandiri dan terakhir asli SHGB 00225/Margo Mulyo terdaftar atas nama PT.Dian Yarpan Jaya Mandiri. Ketiganya dititipkan kepada Notaris/ PPAT ASC. Penitipan bertujuan untuk balik nama dengan cara membuat akta jual beli dari pemilik asli Abdul Hakim ke Jovinus untuk melancarkan pengajuan kredit yang diajukan ke Bank Mega. Sebagaimana keduanya sepakat bahwa ketiga sertifikat akan digunakan khusus jaminan guna keperluan kepengurusan SKBDN, sehingga Jovinus berjanji akan mengembalikan ketiga SHGB kepada Abdul Hakim setelah urusan jaminan selesai. Selanjutnya secara formal akan dibuatkan akta jual beli. Adapun akta jual beli yang dimaksud yakni AJB Nomor 317/ 2017 untuk sertifikat SHGB No. 00226/ Margo Mulyo, AJB 318/ 2017 untuk sertifikat SHGB No. 00221/ Margo Mulyo, dan AJB 349/ 2017 untuk sertifikat No. 00225/ Margo Mulyo. Selain pembuatan AJBjuga dibuatkan perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual persil yakni Jovinus sebagai penjual dan Abdul Hakim sebagai pembeli yang semua akta itu dibuat dihadapan Notaris/PPAT ASC untuk mendapat kepastian hukum. berdasarkan dari kasus ini dapat diduga bahwa telah terjadi tindakan hukum pura-pura dalam hal ini perjanjian jual beli yang terjadi adalah sebuah kepura-puraan.

Abdul hakim selaku direktur dan jovinus selaku direktur utama PT. OPEK melakukan pembatalan kerjasama sehingga Abdul Hakim mengambil kembali ketiga SHGB miliknya yang dititipkan kepada Notaris/ PPAT ASC dan sekaligus mengajukan gugatan pembataln ketiga AJB pada April 2019 di pengadilan negeri Balikpapan. Dan berdarkan putusan bahwa pengadilan mengabulkan pembatal ketiga AJB tersebut. Mengenai hal itu, ASC selaku PPAT mengembalikan tiga sertifikat kepada Abdul Hakim yang didahuli pembatalan balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Balikpapan. Melihat kasus in, perjanjian akta jual beli tersebut bukan kehendak yang sebenarnya oleh kedua belah pihak namun ada unsur lain. Hal ini dapat dikatakan bahwa perjanjian para pihak menyatakan keadaan yang berbeda dengan perjanjian yang diadakannya.

Berdasarkan pada putusan perkara perdata nomor159/ Pdt.G/ 2018/ PN.Bpp dengan status Jovinus menjadi tergugat I dan PPAT ASC menjadi tergugat II pada perkara tersebut. Majelis hakim yang dipimpin I ketut Tirta menyatakan bahwa antara abdul hakim dan jovinus tidak ada jual beli yang terjadi . namun yang terjadi adalah abdul hakim meminjamkan sertifikat miliknya kepada jovinus sebagai jaminan untuk diajukan ke Bank dengan tujuan menambah modal PT. OPEK, sehingga dibutuhkan akta jual beli untuk menguatkan kedudukan Jovinus selaku yang mengajukan kredit di Bank.

Berdasarkan putusan pembatalan akta jual beli tersebut, jovinus tidak menerimanya sehingga melakukan upaya banding, namun gagal. Sebagaimana putusan pengadilan tinggi nomor 112/ PDT/ 2019/ PT. SMR menyatakan bahwa permohonan banding yang diajukan jovinus yang semula tergugat I tidak dapat diterima.putusan pengadilan tinggi samarinda menguatkan putusan pengadilan negeri Balikpapan.

Terkait uraian singkat perkara yang dipaparkan diatas peneliti beranggapan bahwa gugatan yang dilakukan oleh Abdul Hakim Rauf pada perkara ini terletak pada bagaimana kepastian hukum atas akta jual beli yang dibuat oleh PPAT ASC, karena menurut peneliti terjadi ketidakpastian yang menciptakan ketidaktertiban dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak sehingga menimbulkan persengketaan antara para pihak. Perkara ini menunjukkan bahwa akta PPAT yang secara hukum dikategorikan sebagai akta autentik memiliki peluang menimbulkan masalah hukum, menelaah dalil gugatan yang ada dalam kasus ini merujuk pada dalil yang diajukan oleh penggugat (Abdul Hakim Rauf) yang menyatakan bahwa:

Pembuatan Akta Jual Beli tersebut hanya formalitas belaka karena secara materil tidak terjadi jual beli, penyerahan aset, pembayaran harga jual sebagaimana lazimnya jual beli pada umumnya, maka untuk mengikat dan membenarkan bahwa AJB hanya formalitas maka dibuatlah surat pernyataan yang ditandatangani oleh tergugat.�

Peneliti melihat ada suatu kejanggalan dalam perjanjian yang dibuat para pihak dihadapan Notaris/PPAT dalam perkara ini. Abdul Hakim Rauf dan Jovinus Kusumadi sebagaimana diungkap oleh peneliti dalam kronologis perkara, sepakat melakukan jual beli dengan dibuatnya Akta Jual beli yang Abdul Hakim selaku penjual dan Jovinus selaku pembeli kemudian dibuatkan lagi Pengikatan Jual Beli dari Jovinus Kusumadi ke Abdul Hakim Rauf. Adanya perjanjian pengikatan jual beli ini maka sudah dapat dianggap bahwa telah terjadi jual beli mengandung unsur pura-pura (Tindakan hukum pura-pura).

Maka perkara yang terjadi pada Abdul Hakim Rauf yang menggugat Jovinus Kusumadi dan PPAT ASC untuk pembatalan Akta Jual Beli Nomor 317/ 201, Akta Jual Beli Nomor 318/ 2017, dan Akta Jual Beli Nomor 349/ 2017, menurut peneliti ketiga akta jual beli tersebut dapat diduga berdasarkan perjanjian pura-pura. Sebagaimana perjanjian pura-pura yang dimaksudkan disini adalah perjanjian yang dilakukan oleh para pihak seolah olah benar ada perjanjian tapi sesungguhnya secara materil perjanjian tersebut tidak dillaksanakan. Artinya bahwa ada perjanjian secara tertulis hitam diatas putih namun ada kesepakatan diluar yang menyatakan perjanjian itu hanya sekedar formalitas saja.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang merupakan metode paling tepat dalam arus utama disiplin hukum. (Marzuki, 2014), bersifat deskriptif yakni analisis yang dilakukan berdasarkan fakta yang diperolah dan akan dilaksanakan dengan cermat guna memberika solusi sebagai jawaban atas permasalahan (Irwansyah, 2020). Penelitian ini juga disebut penelitian doktrinal yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik tertulis dalam buku maupun hukum yang telah diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Sumber data penelitian menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. teknik pengumpulan data menggunakan dua cara yaitu studi kepustakaan dan wawancara yang dilakukan kepada para informan sebagai data penunjang dalam penelitian. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, pandangan para ahli untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Kekuatan Hukum Akta Jual Beli Yang Memuat Unsur Tindakan Pura-Pura

Akta Pejabat dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan (tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku), maka tentu saja tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari. PPAT membuat akta berdasarkan kehendak para pihak, kemudian membacakan akta dengan tujuan membuat para pihak mengerti subtansi dari akta, sampai pada penandatangan akta. PPAT tidak ada kewajiban untuk menyelidiki secara materil semua hal yang telah dikemukakan atau disampaikan oleh para pihak yang menghadap kepadanya.

Akta PPAT memuat keterangan dan pernyataan para pihak dalam bentuk akta yang sudah ditentukan menurut peraturan perundang-undangan. Kedudukan PPAT dalam akta dengan pencantuman nama pada akta, tidaklah berarti PPAT telah menjadi pihak dalam akta, baik turut serta, menyuruh ataupun membantu melakukan suatu Tindakan hukum tertentu yang dilakukan oleh para pihak atau bahkan memihak salah satu pihak yang memiliki kepentingan. Pencantuman nama PPAT hanya merupakan aspek formal pada akta. PPAT tidak terikat dengan isi akta dan juga tidak mempunyai kepentingan hukum dengan isi akta yang dibuatnya. Apabila PPAT ternyata dipermasalahkan dikemudian hari oleh para pihak/ salah satu pihak. Maka dengan alasan apapun sangat tidak ada alasan hukum yang dapat menempatkan atau mendudukkan PPAT sebagai tergugat, turut tergugat, tersangka, ataupun saksi.

Semestinya PPAT menghadapkan semua pihak yang bersangkutan dalam akta, mulai pada saat pembacaan akta hingga penandatanganan akta (Indrajaya, 2020). Hal ini dilakukan agar menghindari keberpihakan dari PPAT dalam pembuatan akta kepada salah satu pihak. Sebagai seorang pejabat, PPAT merupakan tempat seseorang dapat memperoleh nasihat dan solusi hukum, serta termasuk seseorang yang diandalkan dan dipercaya. Segala sesuatu yang ditulis dan ditetapkannya adalah benar, hal ini karena PPAT adalah pembuat dokumen yang kedudukannya kuat dalam hukum. Kekuatan keberlakuan suatu akta dalam hal ini keautentikannya, bukan karena proses pembuatan akta tersebut. Akan tetapi karena bentuk akta sudah ditetapkan oleh undang-undang dan telah dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang berwenang.

Untuk membuat sebuah akta memerlukan kecerdasan, kecermatan dan kehati-hatian PPAT. Hal itu bertujuan agar pada akta yang dibuat yang merupakan akta autentik tidak mengalami kesalahan yang berpotensi menimbulkan permasalahan, baik itu antara para pihak ataupun yang melibatkan PPAT. Kondisi sekarang ini, cukup sering PPAT dilibatkan sebagai pihak yang dipersalahkan. PPAT dianggap terlibat dalam konflik para pihak. Dalam hal ini turut bersalah karena akta yang sudah dibuatnya.

Konsekuensi hukum dari akta yang dibuat PPAT yakni membuat seseorang mendapatkan hak dan dapat pula terjadi sebaliknya, membuat seseorang kehilangan atas hak. Maka terkadang dalam pembuatan akta oleh PPAT terlebih lagi jika terkait akta yang rentang akan konflik banyak menyeret PPAT hingga dituntut karena penipuan atau penggelapan.dan dipertanyakan keabsahan dan kekuatan hukumnya. Maka, Adapun terkait kekuatan hukum suatu akta, maka tentu saja berkaitan dengan pembuktian. Srbagaimana menurut PPAT/Notaris Ria Trisnomurti, untuk mengetahui kekuatan hukum dari akta, maka harus dibuktikan bahwa akta jual beli yang diduga dibuat berdasarkan perjanjian pura-pura adalah benar.

Sejalan dengan yang dikemukakan PPAT/Notaris Ria Trinomurti, peneliti berpendapat bahwa perjanjian pura-pura harus dibuktikan dalam persidangan dengan terpenuhinya unsur pura-pura yang dimaksudkan.�

�Lain halnya jika tidak dapat dibuktikan Akta Jual Beli berdasarkan perjanjian pura-pura, maka selama akta tersebut dibuat. Mulai dari proses pembuatan akta hingga penandatanganan akta tidak ada yang mempermasalahkan akta itu. Akta tersebut dapat dianggap sah-sah saja dimata hukum. Hal ini dikarenakan pada dasarnya, saat dibubuhkannya tandatangan dalam akta oleh para pihak, PPAT yang membuat akta tidak dapat melihat sikap batinnya seseorang. PPAT hanya menilai dan melihat berdasarkan pernyataan para penghadap yang tertuang dan tersurat dalam hitam diatas putih pada akta tersebut.

Terhadap kasus yang terjadi antara Abdul hakim dan Jovinus yang membuat akta dihadapan PPA ASC, dikarenakan Akta Jual Beli merupakan akta autentik maka haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dari sisi pandangan hukum, syarat sahnya perjanjian merujuk berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata terdapat dua syarat yakni syarat subjektif dan syarat objektif. Kedua syarat ini adalah syarat yang bersifat kumulatif artinya tidak bersifat alternatif. Maka kedua syarat tersebut haruslah terpenuhi secara sempurna (Marilang, 2013). Adapun syarat subjektif meliputi:

1.      Kesepakatan disebut juga asas konsensualisme yang merupakan syarat mutlak dalam melakukan perjanjian. Hal ini berarti para pihak dalam membuat perjanjian haruslah mencapai kata sepakat atau ada penyesuaian kemauan hingga saling menyetujui kehendak masing-masing. Kata sepakat ini dianggap sah apabila dalam mencapai kata sepakat tidak ada unsur-unsur sebagai berikut (Budiono, 2016).

a.       Paksaan/ Ancaman (Pasal 1324 KUH Perdata).� Paksaan/ ancaman yang dimaksud adalah apabila seseorang menggerakkan orang lain dengan cara melawan hukum (mengancam) untuk melakukan suatu tindakan hukum. maka kehendak seseorang tersebut dianggap cacat. Walaupun kehendak dari orang tersebut benar. Artinya ialah jika kehendak seseorang dikarenakan akibat adanya ancaman. Maka hal tersebut telah cacat.

b.      Kekhilafan/kekeliruan atau kesessatan (dwaling) kesepakatan dalam membuat perjanjian ada dua macam (Budiono, 2009). Pertama, kekeliruan yang sebenarnya (eigenlijke dwaling) merupakan kehendak dan pernyataansatu sama lain berkesesuaian, tetapi terbentuk secara cacat, baik karena kehendak salah satu pihak atau keduanya. Maka, walaupun perjanjian telah dibuat tetap dapat dibatalkan. Pada dasarnya jika perjanjian dibuat dibawah pengaruh kekeliruan/kesesatan dan kekeliruan itu diketahui sebelumnya tentu saja tidak akan dibuat perjanjian. Perjanjian semacam ini patut dibatalkan karena undang-undang tidak akan menerima alasan jika ada kekeliruan tentang situasi atau fakta sebelum terjadinya perjanjian. Kedua, kekeliruan semu (oneigenlijke dwaling) pada prinsipnya tidak ada perjanjian yang dibuat karena tidak tercapainya sepakat kedua pihak. Artinya syarat ketentuan undang-undang belum terpenuhi mengingat kehendak tidak sejalan dengan pernyataan satu dengan yang lainnya.

c.       �Penipuan (bedrog) (Pasal 1328 KUHPerdata) merupakan kehendak dan pengetahuan seseorang untuk menimbulkan kesesatan pada orang lain. Artinya ialah telah terjadi penyalahgunaan keadaan. Dalam hal ini jika suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak diungkapkan dan disembunyikan, ataukah informasi yang keliru dengan sengaja diberikan hingga menggunakan tipu daya lainnya.

Terkait pembuatan ketiga Akta Jual Beli antara Abdul Hakim Rauf dan Jovinus Kusumadi, unsur sepakat terpenuhi karena keduanya telah mencapai kata sepakat tanpa adanya paksaan untuk membuat akta jual beli tanah yang ditandai dengan penandatanganan secara sadar kedua belah pihak pada ketiga akta jual beli tanah tersebut.

2.      Kecakapan sebagaimana diatur Pasal 1329 KUH Perdata bahwa �Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.

Dalam hal ini perkara pembuatan Akta Jual Beli antara Abdul Hakim Rauf dan Jovinus Kusumadi telah memenuhi ketentuan mengenai kecakapan dan kewenangan dalam bertindak untuk membuat perjanjian jual beli karena para pihak dalam perkara ini cakap secara hukum, berusia dewasa dan tidak dalam pengampuan yang berarti bahwa kedua pihak memenuhi syarat sahnya penghadap.

Menurut PPAT/Notaris Ria Trisnomurti untuk memastikan bahwa para pihak memenuhi syarat sebagai penghadap maka dapat dibuktikan dengan cara Identifikasi dan verifikasi oleh PPAT. Identifikasi dalam hal ini adalah Mencocokkan data para penghadap. Selanjutnya melakukan verifikasi identitas para penghadap dengan mencocokkan tandatangan para penghadap dengan data/ dokumen yang diserahkan kepada PPAT. Bahkan apabila hal tersebut masih kurang meyakinkan terkadang PPAT melakukan Verifikasi dengan validasi data penghadap ke DUKCAPIL.

Syarat objektif meliputi:

1.      Hal yang tertentu berarti apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Merujuk pada pasal 1333 KUHPer, objek perjanjian harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya.  Selanjutnya pada Pasal 1332 KUHPer diatur bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.� Salah satu barang yang dapat diperdagangkan, jenisnya merupakan barang tidak bergerak.

2.      Adapun Objek pada Akta Jual Beli dalam perkara di atas adalah tanah atas Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHBG) Nomor: 221/ Margo Mulyo terdaftar atas nama PT. Dian Yarpan Jaya Mandiri, SHGB Nomor: 226/ Margo Mulyo terdaftar atas nama PT. Dian Yarpan Jaya Mandiri, dan SHGB (SHBG) Nomor: 225/ Margo Mulyo terdaftar atas nama PT. Dian Yarpan Jaya Mandiri. Maka unsur suatu hal tertentu juga terpenuhi.

3.      Sebab yang halal atau causa adalah maksud atau tujuan isi perjanjian. Subekti juga menjelaskan bahwa sebab adalah isi perjanjian itu sendiri (Darus, 2017). Adapun Ahmadi Miru berpendapat causa adalah tujuan yang diwujudkan oleh para pihak, artinya para pihak tahu (Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2018). Berdasarkan uraian penjelasan tentang kausa diatas peneliti berpandangan bahwa kausa adalah hal yang melatarbelakangi lahirnya hubungan hukum yang berupa rangkaian kepentingan-kepentingan yang harus dipenuhi seperti yang termaktub dalam isi perjanjian itu.

Sebab yang halal (causa) diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata. KUH Perdata tidak memberikan defenisi dari causa yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 dijelaskan bahwa yang disebut dengan causa yang halal adalah:

a)      Bukan tanpa causa

b)      Bukan causa yang palsu

c)      Bukan causa yang terlarang.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa Akta Jual Beli Nomor 317/ 2017, Akta Jual Beli Nomor 318/ 2017, Akta Jual Beli Nomor 349/ 2017, causanya tidak terpenuhi, karena perjanjian ini termasuk kategori perjanjian tanpa causa. Hal ini ditandai bahwa ada pembuatan akta jual beli namun tidak ada pelaksanaan perjanjian jual beli yang seharusnya, sehingga menimbulkan konsekuensi terhadap akta jual beli tersebut. Sebagaimana menurut Ahmadi Miru, perjanjian tanpa causa adalah perjanjian yang sejak awal perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan (Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2018).

Jika salah satu dari syarat sah perjanjian diatas tidak terpenuhi maka akan menimbulkan akibat hukum yang berbeda. Tidak adanya kesepakatan berarti tidak lahir perjanjian (Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2018). Artinya bahwa tidak ada perjanjian yang dapat dibatalkan karena sejak awal tidak ada perjanjian. Selanjutnya, tidak terpenuhinya kecakapan mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (Herlien Budiono, 2012). Berarti perjanjian tetap dipandang sah sepanjang belum ada penetapan hakim yang menyatakan perjanjian batal.

Berbeda halnya dengan syarat subjektif, syarat objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan. Sehingga akibat hukum yang ditimbulkan apabila salah satu dari syarat objektif tidak terpenuhi, perjanjian tersebut batal demi hukum. Berarti akta autentik ataupun akta dibawah tangan jika tidak memenuhi syarat ini maka dianggap sebagai suatu perjanjian yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Maka dalam perkara ini menurut peneliti, ketiga akta jual beli tersebut diatas, syarat materilnya tidak terlaksana sehingga perjanjian para pihak yang telah dibuat dihadapan PPAT ASC dalam bentuk akta patut untuk dipertanyakan kepastian hukumnya bagi para pihak dalam memenuhi hak dan kewajibannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, seperti yang diuraikan oleh peneliti pada bagian sebelumnya, sudah sangat jelas bahwa Akta Jual Beli tanah termasuk akta autentik.

Terhadap ketiga akta jual beli sebagaimana dalam perkara perdata Nomor: 159/Pdt.G/2018/PN. Bpp Tanggal 28 Maret 2018 bahwa ketiga akta jual beli sebagai akta autentik tidak memberikan kepastian hukum, sehingga timbul persengketaan para pihak dengan melakukan gugatan pembatalan akta jual beli yang semula sudah disepakati oleh kedua belah pihak.

Merujuk pada teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang berpendapat ada 4 hal mendasar mengenai kepastian hukum yakni (Julyano & Sulistyawan, 2019):

1.      hukum itu positif

2.      hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan

3.      kenyataan fakta dirumuskan dengan jelas sehingga tidak menimbulkan kekeliruan dalam pemaknaan, disamping mudah untuk dilaksanakan

4.      Hukum positif tidak boleh mudah berubah. Kepastian hukum adalah jaminan mengenai hukum. Norma-norma berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.

Berdasarkan teori diatas, menurut peneliti jika dikaitkan dengan suatu perjanjian sesuai pasal 1313 KUHPerdata, maka ketiga akta jual beli hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT ASC� yang merupakan perjanjian berdasarkan pada perjanjian pura-pura, menimbulkan ketidakpastian hukum, karena ketiga akta jual beli tersebut adalah tanpa causa. Kepastian hukum yang dimaksud disini adalah ketiga akta jual beli menjadi tidak memiliki kekuatan hukum. Mengingat bahwa dengan adanya akta jual beli berarti akta yang berdasarkan perjanjian jual beli tersebut seharusnya memberikan kedudukan yang sama antar subyek hukum yang terlibat, dalam hal ini ada kepastian yang jelas dalam perbuatan hukum saat pelaksanaan perjanjian yang telah disepakati. Namun pada pembuatan ketiga akta jual beli oleh PPAT ASC tidak terdapat pelaksanaan perjanjian, tidak adanya pelaksanaan perjanjian para pihak dalam perjanjian yang mengikat mereka. Maka ketiga Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT ASC sangat jelas tidak pernah terjadi perbuatan hukum sebagaimana ternyata didalam akta, sehingga dapat dikatakan bahwa sejak awal perjanjian tersebut tidak pernah terlaksana.

Secara konkret perjanjian yang terjadi antara Abdul Hakim Rauf dan Jovinus Kusumadi yang dilakukan di hadapan PPAT ASC tidak menunjukkan adanya kepastian hukum bahwa terlaksana pembayaran dan penyerahan objek. Artinya bahwa tidak ada wujud pelaksanaan motif perjanjian akta jual beli.

Melihat kasus ini, Notaris/ PPAT Ria Trisnomurti, Niny Savitry, dan Ridwan Nawing menanggapi bahwa seharusnya PPAT ASC menolak membuatkan akta jual beli dan tidak terlibat didalamnya. Pembuatan Akta Jual Beli sebagai akta otentik yang dilakukan PPAT ASC yang selanjutnya dibuatkan pula perjanjian pengikatan jual beli dengan objek yang sama dan para pihak yang sama pula, ini adalah hal yang tidak seharusnya.

Dengan demikian, hakikatnya seorang PPAT dalam menjalankan tugasnya harus berdasar pada prinsip kehati-hatian karena akta yang dibuatnya harus dipertanggungjawabkan. Akta PPAT membuat para pihak menjadi terikat satu sama lain. Seperti Akta Jual Beli tanah yang didalamnya terdapat perjanjian yang mengikat antara penjual dan pembeli. Hal itu bertujuan untuk melindungi para pihak dari ketidakpastian hukum dan mencegah terjadinya akibat hukum yang tidak dikehendaki. Jaminan kepastian hukum yang diharapkan dari akta autentik adalah jaminan yang memberi kepastian dan perlindungan para pihak sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam perjanjian yang dibuat dihadapan PPAT. ����

Adapun hal yang mendasari terjadinya kasus yang serupa diatas, yakni:

1.      ketidaktahuan PPAT sehingga dapat diperalat oleh penghadap/diatur oleh para penghadap. Artinya bahwa bukan PPAT yang mengatur penghadap. Terdapat masyarakat yang nakal kemudian melakukan sekongkol dengan PPAT

2.      PPAT yang tahu dan sengaja membuat akta walaupun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dikarenakan immoral. dan hanya memikirkan dan mengedepankan untuk mendapatkan keuntungan.

Pada dasarnya, selama perjanjian yang dibuat PPAT tidak berdampak buruk dengan menimbulkan sengketa yang dapat merugikan pihak lain, tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, dan selalu merujuk pada peraturan perundang-undangan. Maka hal tersebut boleh dilaksanakan PPAT.

Adapun kiat-kiat yang bisa ditempuh dikemukakan oleh masing-masing PPAT diantaranya Notaris/ PPAT Ria bisa Trisnomurti berpendapat bahwa untuk menghadapi permasalahan seperti yang dikemukakan diatas, seharusnya PPAT menghindarinya dengan cara menolak pembuatan akta semacam itu, dalam hal ini Akta Jual Beli yang berdasarkan unsur tindakan pura-pura.

Menurut Notaris/ PPAT Ridwan Nawing bahwa PPAT harus memiliki ilmu pengetahuan hukum yang dalam artinya paham hukum sehingga tidak bersikap immoral. Selain itu tidak masalah jika PPAT lebih seksama dalam mencermati secara materil kehendak yang sebenar-benarnya sebagaimana disampaikan para penghadap, memeriksa dengan teliti semua dokumen yang diserahkan.

Notaris/PPAT Niny Savitry juga berpendapat bahwa PPAT untuk menghadapi penghadap yang jelas memiliki maksud tertentu yang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan, PPAT memiliki kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak.

Menurut peneliti menanggapi kasus yang terjadi antara Abdul Hakim Rauf dan Jovinus Kusumadi sejalan dengan pendapat Notaris/PPAT diatas bahwa PPAT harus melakukan kewajiban penyuluhan hukum berkaitan dengan akta yang dibuatnya karena tidak menutup kemungkinan bahwa akta autentik yang dibuat adalah mengandung cacat hukum. Untuk menghindari cacat hukum itu PPAT dapat melakukan cara dengan menolak membuat akta jika keterangan dan atau data-data formal dan materil yang disampaikan bertentangan dengan aturan hukum. Selain itu, dalam proses pembuatan akta jual beli atau akta apapun itu selama akta itu merupakan akta autentik, maka sepatutnya PPAT membuatnya berdasarkan prosedur. Jika Akta yang akan dibuat adalah akta jual beli maka PPAT perlu menanyakan dan memastikan terlebih dahulu, apakah pembayaran sudah dilakukan? Sebagaimana definisi dari jual beli adalah suatu perikatan/persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan (dasar hukum pasal 1457 KUHPerdata). Dari definisi jual beli ini, kalimat membayar harga yang telah dijanjikan menggambarkan bahwa jual beli bisa dilakukan secara lunas atau tidak lunas (angsuran). Namun pada prinsipnya akta jual beli adalah lunas (Ria Trisnomurti, 2019). Sedangkan jual beli tidak lunas dinyatakan dalam perjanjian pengikatan jual beli. Jadi tidak ada Akta Jual beli yang tidak lunas. Sehingga tidak ada alasan untuk membatalkan jual beli dengan alasan tidak dibayar, tidak akan ada perjanjian utang piutang atau perjanjian lainnya untk membatalkan akta jual beli ini, karena seharusnya Akta Jual Beli tidak dibuat kalau belum dilakukan pembayaran atas objek yang dibeli. Hal ini dapat dibuktikan sebagaimana ternyata pada pasal dalam akta jual beli dengan bunyi sebagai berikut:

Pihak pertama mengakui telah menerima pembayaran dengan harga �� dari pihak kedua.

Maka apabila belum dibayar maka sudah seharusnya pembayaran diselesaikan terlebih dahulu baru kemudian ditindaklanjuti dengan dibuatkan Akta Jual Beli. Jual beli dengan objek perjanjian berupa tanah berkiblat pada ketentuan Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menganut asas hukum adat, diantaranya kontan (tunai) dan konkret (terang). Sehingga dapat dikatakan jual beli terjadi apabila pembeli telah membayar lunas.

Namun pada kondisi sekarang kebanyakan pembeli ingin membeli tanah hanya secara angsuran/bertahap, sedangkan yang diketahui Akta Jual Beli adalah lunas. Maka untuk menjamin kepastian hukum kepada penjual agar pembeli tidak dengan mudahnya secara sepihak membatalkan jual beli tanah tersebut, maka dapat dibuatlah perjanjian ikatan jual beli atau biasa disebut Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).

Kepastian hukum dalam hal ini bertujuan untuk pencegahan atas hal-hal di luar dugaan yang dapat terjadi dan hal itu tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan dari dilakukannya perjanjian. Menurut Sudikno Mertokusumo kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya, dan bahwa putusan dapat dilaksanakan (Salim & Nurbani, 2017). Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Akta PPJB dibuat jika ada alasan pembenar untuk dibuatkan perjanjian pendahuluan untuk nantinya setelah semua persyaratan dipenuhi ke perjanjian pokok. Persyaratan yang dimaksud kan adalah harga jual beli belum lunas atau sertipikat atas nama penjual belum dilakukan dibalik nama, sehingga alasan-alasan tersebut yang melatar belakangi pembuatan Akta Jual Beli di hadapan PPAT belum bisa dilakukan. Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli ada kuasa yang bersifat tindakan pengurusan dan pemilikan tanah hak dan bangunan yang diserahkan pihak penjual kepada pihak pembeli. Hal ini terjadi khususnya agar pihak pembeli setelah melakukan pelunasan harga jual belinya, mewakili pihak penjual dan untuk diri sendiri melakukan jual beli tanah hak dan bangunan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Dalam rangka permintaan masyarakat, sering menghadap untuk dibuatkan akta pengikatan jual beli dan surat kuasa untuk menjual tanah. Adapun hal yang melatar belakangi dibuatnya kedua akta tersebut antara lain:

a.       Pembeli tidak ingin segera melakukan balik nama/peralihan hak, dengan dalih akan dijual lagi kepada pihak lain, (walaupun sebenarnya pembeli telah melakukan pelunasan kepada penjual).

b.      Pembeli tidak ingin segera melakukan balik nama/peralihan hak, dengan alasan belum memiliki uang untuk membayar pajak-pajak (pada kenyataannya pembeli telah membayar lunas kepada penjual).

Pentingnya peranan PPAT untuk membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang bersifat prefentif terhadap masalah hukum dikemudian hari. Oleh karenanya PPAT dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dituntut untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan profesional. Melaksanakan tugas yang penuh akan resiko tersebut menjadikan PPAT tidak hanya memiliki pengetahuan hukum, dan ketelitian tetapi juga harus memiliki tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya. Akan tetapi sekarang, tidak sedikit PPAT tidak Amanah, berpihak pada salah satu pihak, hingga terlibat melakukan perbuatan melawan hukum diminta pertanggungjawaban di pengadilan atas akta yang dibuat di hadapannya.

 

Kesimpulan

Akta yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT ASC yang juga selaku tergugat II berupa: 1). Akta Jual Beli Nomor 317/ 2017, tanggal 08 Juni 2017 atas sebidang tanah SHGB nomor 226/ Margo Mulyo terdaftar atas nama PT. Dian Yahya Mandiri. 2). Akta Jual Beli Nomor 318/ 2017 tanggal 08 Juni 2017 atas sebidang tanah SHGB nomor 221/ Margo Mulyo terdaftar atas nama PT. Dian Yarpan Jaya Mandiri. 3). Akta Jual Beli Nomor 349/ 2017 tanggal 15 Juni 2017 atas sebidang tanah SHGB nomor 225/Margo Mulyo terdaftar atas nama PT. Dian Yarpan Jaya Mandiri.

Ketiga Akta ini tidak memiliki kekuatan kepastian/kekuatan daya berlaku sehingga menimbulkan ketidaktertiban. Sebagaimana telah dibuktikan dalam persidangan bahwa ada unsur tindakan pura-pura Dalam hal ini dibuatnya ketiga akta jual beli berarti terjadi perbuatan hukum jual beli yang dilakukan pembayaran secara lunas dan penyerahan aset seperti yang ternyata pada akta. namun yang terjadi tidak sedemikian rupa. Sejalan pula dengan pandangan Hakim didalam amar putusannya bahwa penggugat telah membuktikan dalil-dalil gugatannya sehingga atas gugatan penggugat untuk menyatakan batal demi hukum ketiga Akta Jual Beli tersebut patut dikabulkan. Menanggapi kasus ini yang membuat akta jual beli yang mengandung unsur tindakan pura-pura sehingga mengahsilkan akta jual beli yang tidak memiliki kekuatan hukum maka hendaknya dalam pembuatan Akta, PPAT harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan seksama. Sehingga jika PPAT tahu atau dapat menduga hal-hal yang tidak sesuai aturan hukum maka sudah sepantasnya dapat menolak membuat Akta tersebut dengan dalih PPAT harus mengikuti aturan perundang-undangan serta memberikan penyuluhan hukum dan solusi hukum yang terbaik kepada para penghadap agar menghindari akibat hukum dari penyalahgunaan akta otentik yang tentunya menimbulkan kerugian baik secara perdata maupun pidana.

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Adjie, Habib. (2011). Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT. Citra Aditya Bakti. Google Scholar

 

Ahmadi Miru dan Sakka Pati. (2018). Hukum Perjanjian. Cetakan kedua. UPT Unhas Press, Makassar.

 

Budiono, Herlien. (2009). Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Citra Aditya Bakti. Google Scholar

 

Budiono, Herlien. (2016). Perikatan Bersyarat dan Beberapa Permasalahannya. Veritas et Justitia, 2(1), 86�111. Google Scholar

 

Charlie Rudyar. (2014). Kamus Hukum Edisi Lengkap. Pustaka Mahardika, Yogyakarta.

 

Darus, M. Luthfan Hadi. (2017). Hukum notariat dan tanggungjawab jabatan notaris. UII Perss, Yogyakarta. Google Scholar

 

Hama, Miss Nuryani, Nurhasanah, Neneng, & Febriadi, Sandy Rizky. (2017). Analisis Keabsahan Jual Beli Menurut Fiqih Muamalah dan KUH Perdata. Prosiding Hukum Ekonomi Syariah, 3(2), 422�428. Google Scholar

 

Herlien Budiono. (2012). Kumpulan Perdata Dibidang Kenotariatan. Citra Aditya Bakti, Bandung. Google Scholar

 

Indrajaya, Rudi. (2020). Notaris dan PPAT suatu Pengantar. Bengkulu: PT Refika Aditama. Google Scholar

 

Irwansyah. (2020). Penelitian Hukum. Mirra Buana Media, Yogyakarta. Google Scholar

 

Julyano, Mario, & Sulistyawan, Aditya Yuli. (2019). Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum. Jurnal Crepido, 1(1), 13�22. Google Scholar

 

Marilang. (2013). Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Alauddin University Press, Makassar. Google Scholar

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2014). Pеnеlitian Hukum. Jakarta: Kеncana Prеnada Mеdia Group. Google Scholar

 

Ria Trisnomurti. (2019). Notaris dan teknik pembuatan akta notaris. Pustaka Pena Press, Makassar.

 

Salim, H. S., & Nurbani, Erlies Septiana. (2017). Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi Buku Kedua. PT Raja Grafindo Persada: Depok. Google Scholar

 

Copyright holder:

Andi Mulia Wahyuni, Hasbir Paserangi, Kahar Lahae (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: