Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 2, Februari 2022

 

KEPEMIMPINAN EFEKTIF BAGI GENERASI MILENIAL

 

Edhy Tri Cahyono

Fakultas Ekonomi dan Sosial, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Praktek kepemimpinan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Kepemimpinan pada generasi milenial yang tumbuh dengan budaya yang berbeda dari generasi sebeumnya membutuhkan pendekatan yang khas karena digitalisasi yang merambah dunia kerja tidak lagi memungkinkan pemimpin untuk bertindak secara konvensional. Di samping itu, dibutuhkan karakter kepemimpinan yang mampu mereduksi berbagai sikap negatif dan mampu mengeluarkan semua potensi positif dari generasi generasi milenial yang cenderung berperilaku kerja berbeda dengan generasi sebelumnya. Studi literatur ini ini bertujuan untuk mengetahui bagaiamana pola kepemimpian yang efektif untuk mengelola generasi milenial. Metode studi adalah literatur review. Sumber literatur diperoleh dari database Google Schoolar dengan kata kunci �Kepemimpinan� dan �Generasi Milenial�. Hasil dari penelitian ini yakni generasi milenial adalah generasi yang tumbuh dalam budaya yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Saat ini jumlahnya cenderung dominan dalam dunia kerja. Sementara adanya perbedaan generasi dengan generasi sebelumnya yang sudah cenderung mapan dengan kebiasaan-kebiasaan lama, bisa memicu ketidakharmonisan dan ketidakproduktifan kerja.

 

Kata Kunci: kepemimpinan; efektif; generasi milenial

 

Abstract

The practice of leadership develops with the times. Leadership in the millennial generation who grew up with a different culture from the previous generation requires a distinctive approach because digitalization that has penetrated the world of work no longer allows leaders to act conventionally. In addition, it takes leadership characters that are able to reduce various negative attitudes and are able to bring out all the positive potential of the millennial generation who tend to behave differently from previous generations. This literature study aims to find out how effective leadership patterns are to manage the millennial generation. The study method is literature review. Literature sources were obtained from the Google Schoolar database with the keywords "Leadership" and "Millennial Generation". The result of this study is that the millennial generation is a generation that grew up in a different culture from the previous generation. Currently the number tends to be dominant in the world of work. Meanwhile, the difference between generations with the previous generation, which tends to be established with old habits, can trigger disharmony and work unproductiveness.

 

Keywords: leadership; effective; millennial generation

 

Received: 2022-01-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-02-20

 

Pendahuluan

Saat ini kita mendapati situasi bahwa disrupsi itu sangat nyata dan tidak terhindarkan lagi. Ada revolusi industri 4.0, ada era society 5.0 dan juga banyaknya jumlah penduduk kelompok muda yakni generasi Y (milenial) dan generasi Z yang memiliki sifat dan budaya yang berbeda dengan generasi-generasi yang sebelumnya.

Dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan hasil sensus penduduk yang yang dilakukan sepanjang Februari-September 2020, diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 271,34 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, sebagian besar adalah usia muda. Secara lebih rinci komposisinya sebagai berikut : usia 40-55 tahun sebanyak 58,65 juta jiwa atau 21,88 persen, usia 24-39 tahun sebanyak 69,38 juta jiwa penduduk atau sebesar 25,87 persen dan usia 8-23 tahun mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen.

����������� Dengan menggunakan pengklasifikasian generasi, maka berdasarkan kelompok tahun kelahirannya kita mengenal beberapa generasi� yakni generasi X adalah mereka yang lahir dalam kurun waktu tahun 1965-1980 atau usia 40-55 tahun, generasi milenial adalah mereka yang lahir pada kurun waktu 1981-1996 atau usia 24-39 tahun, dan generasi Z adalah mereka yang lahir di periode kurun waktu tahun 1997-2012 atau usia 8-23 tahun, maka terlihat bahwa penduduk kita didominasi oleh generasi mileneial dan generasi Z.

����������� Apa makna dari data ini, bahwa saat ini angkatan kerja didominasi oleh mereka yang berada di usia 24-39 atau generasi Y atau milenial. Dengan melihat bahwa generasi milenial ini memiliki karakter budaya yang berbeda dengan generasi sebelumnya maka manajemen sumber daya manusia dan kepemimpinan organisasi harus bisa mengantisipasinya dengan baik. Oleh karenanya diperlukan studi atau kajian bagaimana manajemen sumber daya manusia dan kepemimpinan yang tepat dan efektif untuk organisasi yang memiliki karyawan dengan komposisi sebagian besarnya adalah apra generasi milenial.

Leadership is an important topic in organizational research throughout the years, including educational organization (Hallinger, 2011). Several studies by researchers had found that leadership style affected organization from different perspective such as employee�s attitudes and behaviours, which might also affected the feelings and thoughts of employees (�etin, Karabay, & Efe, 2012). These studies also showed that an effective organization usually lead by an effective leader (Horng & Loeb, 2010); (Ibrahim, 2015).

Kepemimpinan adalah topik penting dalam penelitian organisasi selama bertahun-tahun, termasuk pendidikan organisasi (Hallinger, 2011). Beberapa studi oleh peneliti telah menemukan bahwa gaya kepemimpinan mempengaruhi organisasi dari perspektif yang berbeda seperti sikap dan perilaku karyawan, yang mungkin juga mempengaruhi perasaan dan pemikiran karyawan (�etin et al., 2012). Studi-studi ini juga menunjukkan bahwa organisasi yang efektif biasanya dipimpin oleh: seorang pemimpin yang efektif (Horng & Loeb, 2010); (Ibrahim, 2015). Companies as business organizations are required to have dynamic capability in dealing with business turbulence (Saputra, Sasanti, Alamsjah, & Sadeli, 2022). Perusahaan sebagai organisasi bisnis diperlukan memiliki kemampuan dinamis dalam menghadapi turbulensi bisnis (Saputra, Sasanti, Alamsjah, & Sadeli, 2022). Penelitian ini bertujuan untuk mencari formulasi yang kepemimpian yang efektif bagi para generasi milenial yang mendominasi angkatan kerja sekarang.

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam paper ini adalah literature review dengan mendasarkan pada penelusuran artikel melalui aplikasi Google Schoolar. Penelusuran mengunakan kata kunci� kata kunci �Kepemimpinan�, �Generasi Milenial� atau �Leadership� dan �Millenial Generation� dengan batasan waktu 2011-2021. Dari paper yang didapat, terpilih 11 artikel untuk yang relevan untuk direview.

 

Hasil dan Pembahasan

Dari 11 artikel yang direview, bahasan kepemimpian untuk generasi milenial ada yang terbatas dalam lingkup perusahaan ada juga kepemimpinan dalam ranah publik atau masyarakat secara umum. Sehingga beberapa saran kepemimpinan efektif untuk generasi milenial juga terkait dengan sudut pandang tersebut. Sebelum dibahas terkait saran-saran kepemimpinan yang efektif untuk memimpin generasi milenial, akan dibahas terlebih dahulu pandangan-pandangan stereotipe terhadapnya.

A.    Stereotype Generasi Milenial

(Thompson & Gregory, 2012) menyebutkan ada sejumlah stereotipe untuk generasi milenial ini, yakni Disloyal, Needy, Entitled, dan Casual. �Menurut Pew Research Center (2010) dalam (Thompson & Gregory, 2012) para karyawan generasi milenial tampaknya sangat rentan untuk berpindah pekerjaan atau karier, dan hampir 60% pekerja Milenial telah berganti pekerjaan setidaknya sekali dalam karier mereka. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan fakta bahwa bahwa 6 dari 10 Milenial yang bekerja berpikir sangat tidak mungkin mereka akan tetap berada di majikan yang sama untuk sepanjang waktu karier kerja mereka. Dari data-data tersebut maka para karyawan milenial dianggap karyawan-karyawan yang tidak loyal (disloyal) pada satu pekerjaan atau perusahaan.

Zeigler (2011) dalam (Thompson & Gregory, 2012) menyampaikan pendapat bahwa kepada para milenial harus selalu diberikan umpan balik setidaknya sebulan sekali, sesuatu yang dianggap tidak masuk akal atau berlebihan oleh para manajer lama (Thompson & Gregory, 2012). Sehingga para manajer senior menyebut para karyawan milenial adalah needy, membutuhkan pemeliharaan tinggi.

Para karyawan milenial adalah generasi yang terbiasa dengan perhatian yang positif dan penghargaan dari orang tua dan masyarakat pada umumnya sehingga (Thompson & Gregory, 2012) menyebut mereka adalah anak-anak piala. (Thompson & Gregory, 2012) menyatakan hal tersebut berdampak pada adanya perasaan punya hak (entitled) yang kuat dan cenderung tidak masuk akal. (Thompson & Gregory, 2012) menyatkan munculnya entitlement complex sebagian besar didorong oleh kurangnya keraguan generasi milenial untuk menyuarakan harapan mereka dan meminta apa yang mereka inginkan. Selanjutnya (Thompson & Gregory, 2012) menyatakan bahwa para milenial dianggap memiliki harga diri yang tinggi, harapan yang tidak realistis dan muluk-muluk untuk pekerjaan utama, promosi, dan penghargaan, serta kurangnya kesabaran dan kemauan untuk bekerja keras melalui komponen pekerjaan yang tidak menarik. Para milenial adalah orang-orang yang cenderung kurang menyukai suasana formal. Mereka cenderung menginginkan lingkungan kerja yang kurang formal (terutama dalam hal berpakaian), dan dalam banyak kasus, bahkan menginginkan tidak harus datang ke kantor sama sekali (Thompson & Gregory, 2012). Para milenial adalah para pekerja pengetahuan yang didukung teknologi, maka bagi mereka pekerjaan bukan lagi soal tempat pergi, tetapi soal apa yang dilakukan. Bagi mereka, pekerjaan benar-benar dapat dilakukan di mana saja, selama ada sinyal ponsel dan atau akses Internet tersedia. Terlebih dengan media jejaring sosial telah memungkinkan semua orang termasuk para milenial untuk tetap berhubungan dengan lebih banyak orang daripada yang mungkin dilakukan sebelumnya di kantor tempat kerja. Kemudahan dalam menjalin hubungan dan sifat terbuka serta pola hubungan yang cenderung santai itu, kemungkinan akan terbawa ke tempat kerja. Sehingga bagi mereka bahwa jika mereka tampil dan berproduksi, apa yang mereka kenakan atau di mana mereka melakukan pekerjaan itu tidaklah penting, yang penting pekerjaan terselesaikan meski dilakukan dalam suasana santai dan berbusana casual.

Dengan sejumlah setereotipe tersebut dan sejumlah stereotip lainnya, beberapa pengusaha beranggapan bahwa para milenial adalah karyawan yang tidak dapat diatur (Thompson & Gregory, 2012). Munculnya rasa berhak, kebutuhan yang tinggi untuk umpan balik dan bimbingan, harapan untuk perhatian pribadi, dan kecenderungan untuk interaksi informal dan hubungan kerja merupakan hal-hal yang dianggap buruk oleh beberapa manajer. Tapi kenyataannya data pertumbuhan angkatan kerja menyatakan bahwa jumlah angkatan kerja meilenial ini menempati porsi yang sangat besar, sehingga para manajer tidak punya pilihan lain tetap harus memperkerjakan para karyawan milenial sehingga harus mencari cara bagaimana kepemimpinan yang efektif terhadap para milenial ini sehingga keberadaaan mereka di organisasi atau perusahaan tetap akan berkontribusi bagi kemajuan perusahaan.

B.     Kepemimpinan Efektif Untuk Generasi Milenial

(Thompson & Gregory, 2012) menyarankan apa yang harus dilakukan oleh para manajer dalam memimpin para karyawan generasi milenial yaitu

1.      Investasikan waktu dan lakukan usaha memupuk hubungan yang tulus dan bermakna dengan karyawan mereka. (Thompson & Gregory, 2012) menyatakan bahwa bahwa hubungan semacam itu akan memberikan dasar untuk pembinaan yang efektif.

2.      Terlibat dalam perilaku yang membangun rasa saling percaya dengan karyawan mereka. Kepercayaan diketahui merupakan faktor penting untuk membangun hubungan yang kuat dengan karyawan (Thompson & Gregory, 2012) dan juga memiliki implikasi yang signifikan untuk bagaimana karyawan cenderung menerima dan lebih lanjut mencari umpan balik (Thompson & Gregory, 2012).

3.      Mengadopsi pendekatan pembinaan untuk bekerja dengan karyawan mereka. Meskipun tidak dianjurkan pembinaan sebagai solusi menyeluruh, dipercaya bahwa pendekatan pembinaan yang berpusat pada pengembangan, pertumbuhan, dan pemberian hak keputusan dan tanggung jawab pribadi kepada karyawan akan menarik keinginan para milenial untuk mendapatkan umpan balik dan otonomi.

4.      Asumsikan pendekatan pertimbangan individu untuk bekerja dengan karyawan mereka. Secara khusus, manajer harus bekerja untuk menyesuaikan hubungan dan interaksi mereka dengan kebutuhan unik masing-masing karyawan. Dari penelitian telah diketahui bahwa manajer yang memimpin dengan pertimbangan individu memupuk hubungan pembinaan yang lebih efektif dengan karyawan mereka (Thompson & Gregory, 2012) dan memiliki karyawan yang cenderung mencari lebih banyak umpan balik tentang kinerja mereka (Thompson & Gregory, 2012).

Sementara (Suyanto, Purwanti, & Sayyid, 2019) memberikan saran terkait bagaimana manajemen seharusnya mengelola generasi milenial adalah dengan menerapkan kepemimpinan transformasional. Melalui kepemimpinan transformasional generasi milenial akan terbantu untuk memainkan perannya secara optimal di organisasi atau perusahaan tempat mereka bekerja. Gaya kepemimpinan ini menekankan prinsip-prinsip inspirasional dan dukungan untuk pengembangan sumber daya manusia. Hal ini sangat berguna untuk memudahkan adaptasi terhadap perubahan konstan akibat kemajuan teknologi informasi di industri 4.0. Selain itu, kepemimpinan transformasional cocok untuk organisasi dengan lingkungan dinamis yang membutuhkan kreativitas dan inovasi tingkat tinggi. Namun, efektifitas dari kepemimpinan transformasional ini hanya dapat dicapai ketika pemimpin terus menerus menginspirasi karyawan untuk lebih menyadari pentingnya tujuan bersama dan kepentingan kelompok, memperhatikan harga diri dan aktualisasi diri karyawan, memberikan makna yang berarti dan tugas yang menantang bagi karyawan, meningkatkan semangat mereka, dan mendorong kreativitas. Disamping itu seorang pemimpin transformasional perlu mengidentifikasi kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi yang berbeda ketika memberikan pembinaan dan pengawasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional dapat ditingkatkan dan dioptimalkan dengan menerapkan empat faktor utama, yaitu pengaruh ideal, stimulasi intelektual, stimulasi inspirasional, dan pertimbangan individual.

Terkait gaya kepemimpian yang tepat untuk generasi milenial, (Mustomi & Reptiningsih, 2020) menyampaikan hasil penelitian tentang eksplorasi gaya kepemimpinan mana yang efektif dalam memotivasi karyawan milenial. Studi ini menyimpulkan bahwa ketiga gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan transformasional (transformational leadership), kepemimpian etis (ethic leadership), dan kepemimpin pelayan (servant leadership) semua efektif dalam memotivasi karyawan milenial. Namun hasil penelitian juga menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan pelayan (servant leadership) memiliki hubungan terkuat untuk memotivasi karyawan milenial.

Sementara hasil penelitan (Mustomi & Reptiningsih, 2020) sendiri dengan melakukan survey terhadap 150 responden memperoleh hasil simpulan bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang benar-benar unggul dari yang lain, hampir semua gaya kepemimpinan punya tempat tersendiri dalam pilihan responden kecuali gaya kepemimpinan diktatorial dan bebas kendali yang tidak dipilih oleh responden. Sayangnya survey ini tidak mewakili setiap dan semua generasi artinya tidak mewakili pilihan seluruh generasi millenial.

(Njoroge, R., Ndirangu, A., Kiambi, 2021) memberikan saran untuk meningkatkan keterlibatan para karyawan milenial bisa dilakukan dengan mulai dari memahami apa yang bisa menjadikan kekuatan pendorong yang besar bagi generasi milenial. (Njoroge, R., Ndirangu, A., Kiambi, 2021) menyatakan bahwa kekuatan pendorong terbesar bagi generasi milenial adalah kerja tim, kolaborasi, kebutuhan sosial, dan nilai untuk dihargai. Perekat yang mengikat mereka dalam organisasi tidak bergantung pada promosi ke peringkat yang lebih tinggi. Itu tergantung pada bimbingan, kebutuhan untuk diakui dan tingkat otonomi yang wajar dalam proses pengambilan keputusan (Njoroge, R., Ndirangu, A., Kiambi, 2021). Di antara harapan kaum milenial termasuk kepuasan sesaat yang seringkali merupakan ilusi (Njoroge, R., Ndirangu, A., Kiambi, 2021).

(Kadiyono & Gunawan, 2020) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat ditekankan dalam pola kepemimpinan untuk generasi milenial ini antara lain, pertama, kepemimpinan milenial perlu memahami dan memakai pola komunikasi generasi milenial yang dipimpinnya. Misalnya pemimpin milenial tidak segan menggunakan media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, MeTube, dan saluran komunikasi terbaru yang memang menjadi arus utama dalam kehidupan generasi baru itu. Kedua, kepemimpinan milenial perlu mendorong inovasi, kreativitas, dan jiwa entrepreneurship generasi baru itu. Semua saluran inovasi, kreativitas dan entrepreneurship harus dirancang dengan baik dan kongkrit. Tidak hanya berisi wacana saja, tetapi juga terdapat proses yang benar-benar dapat dinikmati oleh generasi milenial untuk mengembangkan dirinya. Misalnya pemimpin milenial perlu membangun pusat-pusat kreativitas di setiap kota, membangun sebanyak mungkin workshop dengan peralatan dan teknologi terbaru dengan maksud agar gagasan dan ide generasi milenial itu tersalurkan. Ketiga, kepemimpinan milenial perlu mendukung kemandirian dan jiwa entrepreneurship generasi milenial. Membangun bangsa harus memiliki fondasi utama yakni kemandirian dan entrepreneurship.

(Pohan, 2019) menyatakan bahwa pola kepemimpinan milenial merupakan pergeseran dari pola kepemimpinan dari generasi sebelumnya. Beberapa poin yang harus ditekankan dalam pola kepemimpinan milenial antara lain bahwa kepemimpinan milenial harus memahami dan menggunakan pola komunikasi generasi milenial yang dipimpinnya. Artinya seorang pemimpin harus mempunyai akun-akun di media sosial yang ada seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube serta segala jenis saluran komunikasi ter-update yang menjadi arus dalam generasi milenial. Kedua bahwa pemimpin di era milenial harus mampu mendorong semangat perubahan, pembaruan, inovasi, kreativitas, dan entrepreneurship. Semua saluran media sosial sebagai alat komunikasi harus mampu menjadi alat dalam mewujudkan hal tersebut dan dipersiapkan dengan baik dan benar. Selanjutnya (Pohan, 2019) juga menegaskan bahwa kepemimpinan era milenial memiliki pendekatan yang berbeda dari kepemimpinan konvensional. Hal ini karena digitalisasi, sehingga kepemimpinan yang masih konvensional menjadi hal yang kurang efektif untuk generasi milenial ini. Pendekatan yang digunakan harus mampu membangkitkan ide-ide generasi milenial, ide yang kreatif dan inovatif. Kemudian juga harus mampu memberikan umpan balik kepada generasi milenial serta berikan ide alternatif atau bahkan pengarahan atau perintah yang bisa menjadi cambuk untuk membangkitkan semangat generasi milenial. Sehingga pada akhirnya kepemimpinan di era generasi milenial mampu menjadikan generasi milenial seperti yang diharapkan atau sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai

Sedangkan (Azzahra & Nurani, 2019) mengutip pendapat CEO Kubik Leadership Jamil Azzaini menyatakan secara umum ada 6 (enam) karakter kepemimpinan yang dibutuhkan pada era generasi milenial sebagai berikut yaitu (1) Digital Mindset, (2) Observer dan Active Listener, (3) Agile, (4) Inclusive, (5) Brave to be Different dan (6) Unbeatable (Pantang Menyerah).

Dengan kemajuan teknologi hari ini, maka akses komunikasi antar individu pun sudah tidak bersekat lagi, ruang pertemuan fisik beralih ke ruang pertemuan digital. Pemimpin pada era milenial harus bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk menghadirkan proses kerja yang efisien dan efektif di lingkungan kerjanya. Jika seorang pemimpin tidak berupaya mendigitalisasi pekerjaannya pada era saat ini, maka dia akan dianggap tidak adaptif. Hari ini dengan teknologi, membuat orang bisa bekerja dimana saja dan kapan saja.

Pemimpin generasi milenial harus bisa menjadi observer dan pendengar aktif yang baik bagi anggota timnya. Generasi milenial adalah generasi yang tumbuh beriringan dengan hadirnya media sosial yang membuat mereka kecanduan untuk diperhatikan. Mereka akan sangat menghargai dan termotivasi jika diberikan kesempatan untuk berbicara, berekspresi, dan diakomodasi ide-idenya. Mereka haus akan ilmu pengetahuan, pengembangan diri dan menyukai untuk berbagi pengalaman.

Pemimpin generasi milenial harus agile, artinya harus cerdas melihat peluang, cepat dalam beradaptasi, dan lincah dalam memfasilitasi perubahan. Dia harus open minded dan memiliki ambiguity acceptance, yakni bersedia menerima ketidakjelasan sehingga mampu mengajak organisasinya untuk dengan cepat mengakomodasi perubahan.

Inclusive bisa diartikan sebagai memasuki cara berpikir orang lain dalam melihat suatu masalah. Pemimpin generasi milenial harus inclusive dikarenakan perbedaan cara pandang antar individu yang semakin kompleks. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya informasi yang semakin mudah diakses oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun sehingga membentuk pola pikir yang berbeda antar individunya. Pemimpin yang inklusif diharapkan dapat menghargai setiap pemikiran yang ada dan menggunakannya untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin juga harus memberikan pemahaman akan pentingnya nilai, budaya, dan visi organisasi kepada anggota timnya secara paripurna karena kaum milenial akan bertindak secara antusias jika tindakannya memiliki makna.

Pemimpin generasi milenial harus punya keberanian untuk berbeda, tidak hanya mengikuti tradisi atau yang biasanya saja. Dengan keberanian berbeda pemimpin bisa menghadirkan cara-cara baru selama hal tersebut bisa mendatangkan keuntungan bagi kemajuan organisasi.

Pemimpin generasi milenial harus punya mindset pantang menyerah. Apalagi salah satu karakter generasi milenial adalah cenderung punya sikap malas, manja, dan merasa paling benar sendiri. Pemimpin milenial wajib memiliki sikap positive thinking dan semangat tinggi dalam mengejar goals-nya. Hambatan yang muncul seperti kurangnya respek dari pegawai senior maupun junior harus bisa diatasi dengan sikap ulet dan menunjukkan kualitas diri. Pemimpin harus terus meningkatkan tidak hanya kemampuan hardskills tapi juga soft skills seperti kemampuan bernegosiasi, menginspirasi, dan critical thinking. Maka dari itu, wajib bagi pemimpin untuk menjadi sosok yang unbeatable yang memiliki kemampuan bangkit dari kegagalan dengan cepat dan pantang menyerah dalam menggapai tujuannya.

Sementara (McCleskey, 2018) menawarkan solusi berupa kepemimpinan bersama untuk mengelola para karyawan milenial. Dengan menggunakan kerangka yang disajikan oleh (McCleskey, 2018) dan menempatkan pengamatan mereka dengan latar belakang konsepsi teoritis kepemimpinan bersama, model kepemimpinan muncul dengan potensi untuk membantu organisasi dalam waktu dekat. Modelnya meliputi: kurang menekankan pada perilaku kepemimpinan transformasional, kesadaran yang lebih tajam akan penghargaan ekstrinsik dan kemajuan awal, peningkatan kesadaran akan kebutuhan pekerja individualistis, penekanan yang lebih besar pada pengaturan kerja alternatif, berkurangnya ketergantungan pada sentralitas pekerjaan, pengakuan kesulitan dalam memotivasi pengikut yang memiliki atribusi kepemimpinan yang berbeda, fokus pada kolaborasi dan komunikasi teknologi tinggi daripada hubungan pertukaran berkualitas tinggi, preferensi yang kuat untuk keseimbangan kehidupan kerja, penerimaan ketidaksesuaian nilai di bidang penting termasuk etos kerja, hasil intrinsik, dan intensitas moral; �kesediaan untuk mendefinisikan kembali hubungan antara supervisor dan karyawan dan sifat pekerjaan, preferensi untuk interaksi yang sangat sosial dan terhubung di tempat kerja, dan keterbukaan yang lebih tinggi terhadap pengaturan kepemimpinan bersama jika sesuai.

Sedangkan (Kiber, 2014) memberikan 7 tips untuk mengelola generasi milenial ini yaitu (1) ciptakan lingkungan kerja yang diinginkan, (2) tingkatkan program penghargaan dan pengakuan, (3) sesuaikan teknik pelatihan dengan gaya belajar karyawan generasi y, (4) berhenti, berkolaborasi, dan dengarkan, (5) jangan micromanage, (6) berikan karyawan generasi y pekerjaan yang memiliki tujuan lebih besar, (7) gunakan komunikasi canggih.

Selanjutnya, untuk ranah kepemimpina publik di era milenial ini, (Kadiyono & Gunawan, 2020) melakukan penelitian dan memperoleh temuan bahwa pemimpin yang diharapkan oleh generasi milenial lebih didasarkan pada karakter personal, terutama pada aspek karismatik yang dimiliki oleh pemimpin. Faktor kedekatan dengan rakyat, fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, memiliki nilai yang lebih tinggi bagi generasi milenial. Adanya sejumlah prestasi juga memberikan nilai tambah pada profil pemimpin yang dipilih generasi milenial. Simpulan dari penelitian ini adalah pentingnya penilaian positif terhadap profil pemimpin terutama dari sisi karisma yang dimiliki pemimpin merupakan faktor penting yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin bagi generasi milenial. Ciri-ciri karismatik merupakan faktor penting yang perlu dimiliki oleh pemimpin. Selain itu, interaksi positif antara pemimpin dan masyarakat berupa perhatian terhadap kesejahteraan rakyat dan upaya untuk dapat memberdayakan masyarakat juga memberikan nilai yang bermanfaat dalam menambah nilai keterpercayaan pemimpin pada generasi milenial. Aspek orientasi tugas merupakan faktor terakhir dalam pemilihan sosok pemimpin yang baik bagi generasi milenial. Dengan melaksanakan tugas sesuai kewajiban yang ada, telah cukup dapat mengambil hati generasi milenial, namun dengan adanya sejumlah prestasi dan pembanding bahwa upayanya telah lebih maju atau lebih baik dari prestasi yang dimiliki sebelumnya.

 

Kesimpulan

Generasi milenial adalah generasi yang tumbuh dalam budaya yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Saat ini jumlahnya cenderung dominan dalam dunia kerja. Sementara adanya perbedaan generasi dengan generasi sebelumnya yang sudah cenderung mapan dengan kebiasaan-kebiasaan lama, bisa memicu ketidakharmonisan dan ketidakproduktifan kerja. Adanya pandangan-pandangan negative bisa jadi menjadi hambatan bagi para manajer senior yang merupakan generasi pra milenial, tetapi dengan kesadaran bahwa pada akhirnya dunia kerja akan diisi oleh para generasi milenial maka generasi X harus mencari cara yang tepat agar potensi-potensi positip generasi milenial bisa dibangkitkan dan ditumbuhkan bagi kemajuan organisasi atau perusahaan.


BIBLIOGRAFI

 

Azzahra, Cadenza, & Nurani, Farida. (2019). Pemimpin Agile pada Era Generasi Milenial (Studi pada Kepemimpinan Ridwan Kamil). Jurnal Kepemimpinan, 1, 1�9. Google Scholar

 

�etin, M�nevver, Karabay, Melisa Erdilek, & Efe, Mehmet Naci. (2012). The effects of leadership styles and the communication competency of bank managers on the employee�s job satisfaction: the case of Turkish banks. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 58, 227�235. Google Scholar

 

Hallinger, Philip. (2011). A review of three decades of doctoral studies using the principal instructional management rating scale: A lens on methodological progress in educational leadership. Educational Administration Quarterly, 47(2), 271�306. Google Scholar

 

Horng, Eileen, & Loeb, Susanna. (2010). New thinking about instructional leadership. Phi Delta Kappan, 92(3), 66�69. Google Scholar

 

Ibrahim, Mohd Yusri. (2015). Model of virtual leadership, intra-team communication and job performance among school leaders in Malaysia. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 186, 674�680. Google Scholar

 

Kadiyono, Anissa Lestari, & Gunawan, Gianti. (2020). Profil Pemimpin Publik: Studi Deskriptif mengenai Kepemimpinan pada Generasi Milenial. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7(1), 31�38. Google Scholar

 

McCleskey, Jim A. (2018). Millennial leadership expectations, shared leadership, and the future of organizations. J Manage Sci Bus Intell, 3(2), 50�52. Google Scholar

 

Mustomi, Dede, & Reptiningsih, Eni. (2020). Gaya Kepemimpinan Dalam Perspektif Generasi Millenial. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi), 4(1), 189�199. Google Scholar

 

Njoroge, R., Ndirangu, A., Kiambi, D. (2021). Leading Millennial Generation towards Engagement in Organizations. Journal of Arts & Social Sciences, 3(1), 47�55. Google Scholar

 

Pohan, Hasril Atieq. (2019). Kepemimpinan Di Era Milenial Ditinjau dari Aspek Komunikasi. Jurnal Komunikasi Islam Dan Kehumasan (JKPI), 3(2), 156�174. Google Scholar

 

Saputra, Nopriadi, Sasanti, Ningky, Alamsjah, Firdaus, & Sadeli, Ferdinand. (2022). Strategic role of digital capability on business agility during COVID-19 era. Procedia Computer Science, 197, 326�335. Google Scholar

 

Suyanto, Umar Yeni, Purwanti, Ika, & Sayyid, Mokhtar. (2019). Transformational Leadership: Millennial Leadership Style in Industry 4.0. Manajemen Bisnis, 9(1). Google Scholar

 

Thompson, Charles, & Gregory, Jane Brodie. (2012). Managing millennials: A framework for improving attraction, motivation, and retention. The Psychologist-Manager Journal, 15(4), 237�246. Google Scholar

 

Copyright holder:

Edhy Tri Cahyono (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: