Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, Special Issue No. 2, Februari 2022

 

PENGARUH HOPE TERHADAP ILLNESS BEHAVIOR PADA PASIEN PENYAKIT KRONIS

 

Grestin Sandy, Muhammad Fathi Hanif, Afni Nurul Izzah Bur, Annisa Nur Maulidianti, Adisti Adizah, Novita Mananna

Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Ketika individu mengalami rasa sakit, mereka akan merespon penyakit yang dirasakan. Faktor-faktor psikologis memiliki dampak terhadap kesehatan dan juga illness behavior atau perilaku sakit pasien. Pasien dengan penyakit kronis biasanya akan menunjukkan perilaku sakit seperti individu merasakan, mengevaluasi dan bertindak atas gejala-gejala yang dirasakan, terkait dengan penyakitnya. Salah satu faktor psikologis yang dapat memengaruhi perilaku sakit pasien, yaitu faktor hope atau hope. Hope dapat meningkatkan perilaku yang mengarah pada proses penyembuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran hope terhadap perilaku sakit pasien penyakit kronis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan alat ukur Adult Hope Scale dan Illness Behavior Questionnaire. Responden pada penelitian ini berjumlah 76 orang, yang terdiri atas pasien stroke, gangguan jantung, diabetes, kanker, pasien paru-paru yang telah berusia 20 tahun ke atas.Uji regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor hope tidak berkontribusi secara signifikan terhadap perilaku sakit, dengan nilai p value 0,469 (p>0,05). Hope berkontribusi sebesar 0,7% sedangkan 99,3% dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hope yang berkaitan dengan faktor internal pasien belum menjadi faktor yang cukup dalam perilaku sakit pasien penyakit kronis. Sehinggan perlu dilakukan kajian terhadap faktor-faktor lain yang bisa bersifat eksternal, agar dapat lebih memahami perilaku sakit pasien.

 

Kata Kunci: harapan; perilaku penyakit; pasien dengan penyakit kronis

 

Abstract

When individuals experience pain, they will respond to a perceived illness. Psychological factors have an impact on the health and also illness behavior or sick behavior of patients. Patients with chronic diseases will usually exhibit pain behaviors such as the individual feeling, evaluating and acting on the symptoms that are felt, related to the disease. One of the psychological factors that can affect a patient's sick behavior, namely the hope or hope factor. Hope can improve behaviors that lead to the healing process. This study aims to find out the role of hope in the sick behavior of chronic disease patients. The study used a quantitative approach with the Adult Hope Scale and Illness Behavior Questionnaire. Respondents to this study amounted to 76 people, consisting of patients with stroke, heart problems, diabetes, cancer, lung patients aged 20 years and over. Regression tests showed that the hope factor did not contribute significantly to pain behavior, with a p value of 0.469 (p>0.05). Hope contributed 0.7% while 99.3% was influenced by other factors. The results showed that hope related to the internal factors of the patient has not been a sufficient factor in the pain behavior of chronic disease patients. So it is necessary to conduct a study of other factors that can be external, in order to better understand the patient's sick behavior.

 

Keywords: hope; illness behavior; patients with chronic diseases.

 

Pendahuluan

Individu dalam kehidupan sehari-hari harus dapat menjaga pola hidup sehat. Hal-hal yang dapat dilakukan individu antara lain mengkonsumsi makanan yang sehat, berolahraga, istirahat yang cukup, menghindari rokok dan alkohol, serta berbagai gaya hidup sehat lainnya. Individu yang sehat dapat melakukan aktivitas sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, individu tidak dapat selalu menjaga kesehatannya, biasanya terjadi ketika individu berada dalam kondisi sakit dan merespon kondisi tersebut (Khoso, Yew, & Mutalib, 2016). Respon yang ditunjukkan individu ketika sedang berada pada kondisi sakit berbeda-beda. Beberapa cenderung menemui dokter atau mencari pertolongan medis, sedangkan beberapa individu cenderung mengabaikan gejala yang mereka alami dan tidak melakukan pengobatan. Selain itu, ada juga beberapa individu yang lebih memilih berobat ke ahli non medis, seperti dukun atau yang dianggapnya ahli. Respon yang ditunjukkan individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, sehingga respon yang akan ditunjukkan oleh setiap individu dapat berbeda-beda.

(Mechanic, 1986) mengusulkan sebuah istilah yang dikenal dengan Illness Behavior atau perilaku nyeri, yang mereka definisikan sebagai cara individu mempersepsi, mengevaluasi, dan bertindak (atau tidak) atas gejala yang mereka rasakan. Individu yang sedang dalam kondisi sakit, cenderung mengetahui kondisinya dan kemudian segera mencari pertolongan untuk mendapatkan proses pengobatan. Meskipun demikian, ada juga individu yang meskipun mengetahui kondisinya, memilih untuk menunda atau bahkan tidak pergi untuk mencari pertolongan medis. Perilaku sakit pertama kali dikemukakan oleh Mechanic dan Volkart, serta didefinisikan sebagai cara individu untuk merasakan, mengevaluasi, dan bertindak (atau tidak) atas gejala yang mereka rasakan. Konsep perilaku sakit terus dikembangkan oleh Mechanic, hingga pada tahun 1986 dikemukakan lagi konsep baru terkait dengan konsep illness behavior, yaitu cara individu merespons kondisi tubuh mereka, memantau kondisi internal, mendefinisikan dan menafsirkan gejala, membuat atribusi, mengambil penyembuhan. tindakan, dan memanfaatkan berbagai sumber perawatan informal dan formal. (Cockerham, 2017) berpendapat bahwa perilaku sakit berbeda dengan perilaku sehat, dimana perilaku ditunjukkan oleh individu yang merasa sakit dan membutuhkan pertolongan medis.

(Monaghan & Gabe, 2022) menawarkan sebuah pendapat mengenai perilaku sakit berdasar pada pandangan sosiologi medis, yaitu berkaitan dengan cara-cara individu mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala dan tindakan yang diambil untuk mencari bantuan. (Young, 2004) juga berpendapat bahwa perilaku sakit dibangun secara sosial dan budaya, sehingga perilaku penyakit merupakan respon individu terhadap gejala penyakit dalam konteks kehidupan sosial budaya (Mechanic, 1986) menyarankan bahwa perilaku penyakit melibatkan interaksi yang kompleks antara kualitas disfungsi tubuh, orientasi sosiokultural dan psikologis individu, dan tuntutan unik dari konteks sosial. Penjelasannya dijelaskan sebagai berikut:

a.     Kualitas disfungsi tubuh

Individu yang menunjukkan perilaku sakit adalah individu yang berada dalam kondisi sakit. Kondisi penyakit ini biasanya ditandai dengan gejala-gejala yang muncul pada tubuh individu. Adajanya gejala-gejala tersebut akan dirasakan dan didefinisikan oleh individu dan akan mengakibatkan timbulnya perilaku sakit. Kondisi tidak menyenangkan yang dialami oleh individu saat sakit akan mengakibatkan berbagai proses adaptasi, antara lain: penyakit fisik, gangguan psikologis, dan berbagai macam perilaku penyerangan, pelarian dan perilaku mengambil resiko. (Mechanic, 1986) mengemukakan beberapa karakteristik yang mempengaruhi individu dalam bereaksi terhadap penyakitnya. Pertama, frekuensi terjadinya penyakit yang diderita individu dalam suatu populasi. Kedua, apakah gejala yang ditunjukkan cukup familiar dengan rata-rata penduduk. Ketiga, kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul dari penyakit tersebut. Terakhir, seberapa besar/tinggi (derajat) ancaman atau kerugian penyakit tersebut.

b.     Orientasi sosial budaya dan psikologis

Ekspresi sakit yang ditampilkan individu dapat berubah atau menghilang tergantung pada waktu (Mechanic, 1986). Beberapa gejala penyakit dari waktu ke waktu dapat berkembang atau bahkan hilang. Sudut pandang dan tindakan tepat yang dilakukan oleh individu dapat dibentuk dengan adanya konsensu sosial mengenai suatu masalah, kepercayaan terhadap suatu penyakit, dan kemungkinan pemecahannya. Konstruksi sehat dan sakit merupakan proses sosial, yang dapat melibatkan perkembangan sosial, peran, hope peran sosial, aspirasi, dukungan sosial, dan lain-lain (Mechanic, 1986). Berbagai perilaku pasien terkait dengan orientasi dan kecenderungan psikologis individu. Individu berbeda dalam toleransi mereka terhadap ketidaknyamanan, dalam pengetahuan mereka, dalam informasi dan pemahaman mereka tentang proses penyakit, dan dalam cara spesifik di mana tubuh mereka mempengaruhi kebutuhan dan peran sosial mereka. Individu sering berbeda dalam respon mereka terhadap penyakit dan ketidaknyamanan, tetapi cenderung memiliki ambang fisik yang sama. Apa yang individu ketahui, apa yang mereka yakini, dan apa yang mereka pikirkan tentang suatu penyakit akan mempengaruhi pemikiran mereka tentang gejala yang mereka anggap penting, hal serius apa yang mereka alami, dan apa yang harus mereka lakukan.

Menurut (Mechanic, 1986) salah satu kecenderungan atau impuls psikologis yang paling mempengaruhi perilaku sakit adalah introspektif, yaitu kecenderungan individu untuk memikirkan dirinya sendiri, motivasinya, dan perasaannya. Individu yang sadar diri, atau memiliki tingkat refleksi diri yang tinggi, lebih mungkin mengalami stres fisik atau psikologis, lebih mungkin merasa marah tentang peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, dan menggunakan lebih banyak layanan medis, psikiatri, dan dukungan lainnya. Introspeksi individu terbentuk dari faktor sosial budaya, masa kanak-kanak, dan hal-hal yang memicu dalam beberapa situasi. Individu yang memiliki introspeksi diri akan mengenali diri sendiri dan memahami kondisinya, namun akan merasa kurang nyaman bahkan stres. Selain itu, introspeksi ini juga terkait dengan persepsi individu terhadap ancaman, koping, dan pengalaman sakit. Hal ini akan mempengaruhi persepsi dan respon, kualitas adaptasi, kecenderungan melihat orang lain yang sakit, dan tingkat penderitaan yang dialami.

c.      Tuntutan unik dari konteks sosial

Perilaku sakit lebih dari sekedar respon psikologis individu dalam menghadapi situasi yang memerlukan tindakan lebih lanjut. Perilaku sakit juga dapat dilihat melalui konteks sosial, misalnya: 1) sebagai respons terhadap situasi sosial yang mengganggu, 2) sebagai cara yang efektif untuk melarikan diri dari hope sosial, 3) sebagai alasan untuk gagal, 4) cara untuk mendapatkan hak istimewa (Mechanic, 1986). Ketika individu mengeluh tentang penyakit mereka, itu adalah cara untuk mendapatkan kepastian dan dukungan. Respon individu saat sakit dengan memilih berobat ke dokter, terkadang hanya untuk mendapatkan dukungan sosial. Hal ini dikarenakan dokter atau tenaga medis merupakan dukungan sosial bagi pasien.

Beberapa ahli mendefinisikan perilaku sakit secara berbeda, namun salah satu aspek yang sering muncul pada masing-masing definisi tersebut adalah perilaku individu untuk merespon kondisi atau gejala yang dialaminya. Individu yang berada dalam kondisi sakit akan memiliki persepsi, evaluasi, dan respon yang berbeda terhadap suatu penyakit. Hal ini dapat mempengaruhi individu dalam melihat sejauh mana gejala mengganggu rutinitas keseharian mereka, kronisitas, pencapaian perawatan yang tepat, dan kerjasama pasien dalam perawatan (Mechanic, 1986). Penyakit kronis merupakan ancaman kematian yang paling signifikan di negara maju bahwa faktor perilaku merupakan faktor utama prediktor manajemen kesehatan (Wasserman et al., 2014).

Snyder (1994) mengemukakan bahwa hope adalah dorongan yang dimiliki individu untuk menentukan strategi dan menjalankan strategi tersebut untuk mencapai tujuan mereka. Individu yang memiliki hope cenderung menunjukkan perilaku sakit yang lebih positif, dalam hal ini mereka dapat berobat ke dokter dan berobat dengan tujuan penyembuhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Scioli & Vollaro, 1997) menunjukkan bahwa individu dengan hope rendah menunjukkan penyakit yang lebih parah. Penelitian (Scioli & Vollaro, 1997) juga menunjukkan bahwa hope adalah prediktor kesehatan.

(Snyder, 1994) mengemukakan bahwa hope adalah suatu dorongan yang dimiliki individu untuk menentukan strategi dan melaksanakan strategi tersebut untuk mencapai tujuannya. Selain itu, (Snyder, 1994) juga menjelaskan bahwa hope adalah seperangkat mental dari proses agensi mental (tujuan) dan jalur (jalan kekuatan & kemauan keras). Konsep hope yang dikembangkan oleh (Snyder, 1994) berfokus pada hope pada orang dengan penyakit kronis atau penyakit tertentu. Pendapat lain dikemukakan oleh (Seligman, 2002) yang mendefinisikan hope sebagai keyakinan individu dalam memandang masa depannya. Individu berpikir tentang masa depan dengan mengharapkan hasil terbaik di masa depan dan percaya pada hasil dan tujuan. Keyakinan ini juga dapat mendorong individu untuk berusaha mencapai tujuannya.

Selain itu, hope juga merupakan bentuk silang yang masih berhubungan positif dengan harga diri, kemampuan memecahkan masalah, mengendalikan pemikiran, dan optimisme.

Konsep hope sering disamakan dengan optimisme. Meski begitu, Snyder (Gallagher & Lopez, 2018) menjelaskan bahwa teori hope lebih komprehensif daripada optimisme. Optimisme adalah suatu keadaan dimana individu memiliki hope ketika dihadapkan pada suatu situasi. Individu yang optimis percaya bahwa suatu peristiwa dapat dikaitkan dengan dorongan besar yang terjadi dari dalam dan bersifat stabil. Biasanya individu yang optimis cenderung menempatkan masalah yang terjadi sebagai akibat dari luar (di luar dirinya) tanpa berusaha mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Sementara itu, Snyder menjelaskan bahwa individu yang memiliki hope tinggi juga memiliki hope tetapi disertai dengan upaya internal (dalam dirinya) dan eksternal (di luar dirinya) untuk mencari jalan keluar.

Snyder (Gallagher & Lopez, 2018) juga mengemukakan bahwa individu dapat dikatakan memiliki tingkat hope yang tinggi ketika memiliki waypower dan willpower, sebaliknya ketika seseorang tidak memiliki salah satu atau keduanya, ia memiliki hope yang rendah. Hope tidak hanya mampu membantu individu untuk mengidentifikasi tujuannya, tetapi juga mampu menjadi sumber kekuatan individu dalam menghadapi setiap situasi dalam hidupnya.

Beberapa ahli mendefinisikan hope secara berbeda, namun terdapat kesamaan konsep hope yang terkandung di dalamnya, yaitu: 1) hope adalah coping yang berorientasi masa depan, 2) hope memungkinkan individu untuk menghadapi situasi krisis dengan mengharapkan hal-hal yang positif, dan 3) karena Jika ada hasil positif yang diharapkan, individu akan termotivasi untuk bertindak untuk mencapai hasil tersebut. Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa hope adalah suatu keyakinan yang mampu mendorong individu untuk mencapai tujuan (goals), melalui kemampuan kemauan dan kemampuan jalan ketika menghadapi suatu situasi.

Perilaku-perilaku yang ditunjukkan individu ketika sakit (illness behavior) dapat mendorong individu untuk melakukan respon positif atau negatif. Ketika ada dorongan dari dalam diri individu, dalam hal ini hope, dapat mempengaruhi perilaku individu saat sakit. Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan perilaku sakit dan hope pada pasien penyakit kronis.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dimana penelitian kuantitatif menekankan pada fenomena objektif dan dinilai secara kuantitatif. Pengukuran akan dilakukan untuk melihat peran hope terhadap perilaku sakit. Partisipan penelitian ini dikumpulkan dari sampel sebanyak 76 pasien. Kriteria sampel meliputi (a) pasien dengan penyakit kronis, (b) usia 20 tahun atau lebih.

Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang digunakan adalah alat ukur yang mengukur dua variabel penelitian yaitu perilaku sakit dan hope. Perilaku sakit diukur dengan Illness Behavior Questionnaire (IBQ) yang diadaptasi oleh Yusri (2018) dan Hope diukur dengan Adult Hope Scale (AHS) dari Seligman (2003). Kuesioner Perilaku Sakit memiliki reliabilitas yang cukup dan Skala Hope Dewasa memiliki reliabilitas yang baik dengan koefisien alpha sebesar 0,91.

 

Hasil dan Pembahasan

a.   Uji Asumsi

1.   Normalitas

Tabel 1

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

 

Unstandardized Residual

Asymp. Sig. (2-tailed)

.200

 

 

Tabel 1 menunjukkan hasil uji asumsi, yakni uji normalitas terhadap variabel IBQ dan Hope. Berdasarkan hasil uji tersebut, dapat diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,200. Diketahui bahwa nilai signifikansi yang diperoleh tersebut lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dinyatakan bahwa data residual variabel IBQ dan Hope terdistribusi secara normal.

2.   Linearitas

Tabel 2

Anova Table

 

Sig.

Deviation from Linearity

.975

 

Tabel 2 menunjukkan hasil uji asumsi, yakni uji linearitas terhadap variabel IBQ dan Hope. Berdasarkan hasil uji linearitas, dapat diketahui bahwa penyimpangan dari nilai signifikansi linearitas adalah 0,975. Diketahui bahwa nilai signifikansi yang diperoleh tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga dapat dinyatakan bahwa data tersebut linier.

 

 

 

 

b.   Uji Hipotesis

Tabel 3

Korelasi

 

 

HOPE

IBQ

Sig. (2 tailed)

.234

 

Tabel 3 menunjukkan hasil uji parametrik dengan menggunakan uji Pearson terhadap variabel IBQ dan Hope. Berdasarkan hasil uji tersebut, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,234. Ditinjau dari nilai tersebut, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga (H0) yang menyatakan tidak terdapat korelasi antara IBQ dengan Hope diterima dan (Ha) yang menyatakan bahwa terdapat korelasi antara IBQ dan Hope ditolak. Dengan demikan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara IBQ dan Hope.

 

Tabel 4

Model Summary

Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1

.084

.007

.006

7.184

 

Tabel 4 menunjukkan tabel Model Summary. Berdasarkan hasil uji analisis, diperoleh koefisien determinan (R2) sebesar 0,007. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi hope terhadap IBQ adalah 0,7%, sedangkan 99,3% lainnya dipengaruhi oleh variabel lain.

 

Tabel 5

Anova

Model

 

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

1

Regression Residual Total

27.366��� 3819.621 3846.987

1������������� 74������������ 75

27.366��� 51.616

.530

.469

 

Tabel 5 menunjukkan tabel ANOVA dari hasil uji analisis regresi linear. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai F sebesar 0,530 dengan signifikansi sebesar 0,469. Nilai signifikansi yang diperoleh tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga H0 diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kontribusi hope terhadap IBQ.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hope yang berkaitan dengan faktor internal pasien belum menjadi faktor yang cukup dalam perilaku sakit pasien penyakit kronis. Ada banyak aspek yang dapat berdampak pada perilaku sakit pasien. Faktor-faktor tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik internal pasien itu sendiri tetapi juga terkait dengan makna dari gejala yang dirasakan. Jadi hope mungkin tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku sakit pasien penyakit kronis (Freedheim & Weiner, 2021). Penelitian yang dilakukan oleh (Maikranz, Steele, Dreyer, Stratman, & Bovaird, 2007) mengemukakan bahwa hope merupakan variabel yang berhubungan dengan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan dan bukan pada perilaku sakit tetapi pada koping yang dilakukan sehubungan dengan gejala yang dirasakan.

 

Kesimpulan

Perlu mengkaji faktor-faktor lain yang bisa bersifat eksternal agar dapat lebih memahami perilaku penyakit pasien. Kesimpulannya, penelitian ini memberikan asumsi awal tentang hope posisi sebagai faktor internal pasien untuk penelitian selanjutnya mengenai perilaku sakit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Cockerham, William C. (2017). Medical sociology. Routledge. Google Scholar

 

Freedheim, Donald K., & Weiner, Irving B. (2021). Handbook of psychology. John Wiley & Sons, Inc. Google Scholar

 

Gallagher, Matthew W., & Lopez, Shane J. (2018). The Oxford handbook of hope. Oxford University Press. Google Scholar

 

Khoso, Pasand Ali, Yew, Vivien W. C., & Mutalib, Mimi Hanida Abdul. (2016). Comparing and contrasting health behaviour with illness behaviour. E-Bangi, 11(2), 578�589. Google Scholar

 

Maikranz, Julie M., Steele, Ric G., Dreyer, Meredith L., Stratman, Aaron C., & Bovaird, James A. (2007). The relationship of hope and illness-related uncertainty to emotional adjustment and adherence among pediatric renal and liver transplant recipients. Journal of Pediatric Psychology, 32(5), 571�581. Google Scholar

 

Mechanic, David. (1986). The concept of illness behaviour: culture, situation and personal predisposition1. Psychological Medicine, 16(1), 1�7. Google Scholar

 

Monaghan, Lee, & Gabe, Jonathan. (2022). Key concepts in medical sociology. Sage. Google Scholar

 

Scioli, Custode, & Vollaro, Lucia. (1997). The use of Yarrowia lipolytica to reduce pollution in olive mill wastewaters. Water Research, 31(10), 2520�2524. Google Scholar

 

Seligman, Martin E. P. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfillment. Simon and Schuster. Google Scholar

 

Snyder, Charles Richard. (1994). The psychology of hope: You can get there from here. Simon and Schuster. Google Scholar

 

Wasserman, J. A., Suminski, Richard, Xi, Juan, Mayfield, Carlene, Glaros, Alan, & Magie, Richard. (2014). A multi-level analysis showing associations between school neighborhood and child body mass index. International Journal of Obesity, 38(7), 912�918. Google Scholar

 

Young, Jesse Tyler. (2004). Illness behaviour: a selective review and synthesis. Sociology of Health & Illness, 26(1), 1�31. Google Scholar

 

 

 

 

 

Copyright holder:

Grestin Sandy, Muhammad Fathi Hanif, Afni Nurul Izzah Bur, Annisa Nur Maulidianti, Adisti Adizah, Novita Mananna (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: