Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, Special Issue No. 2, Februari 2022
PENGARUH HOPE TERHADAP ILLNESS BEHAVIOR PADA PASIEN
PENYAKIT KRONIS
Grestin Sandy, Muhammad Fathi Hanif, Afni Nurul
Izzah Bur, Annisa Nur Maulidianti,
Adisti Adizah, Novita Mananna
Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected], [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Ketika individu mengalami rasa sakit, mereka akan merespon penyakit yang dirasakan. Faktor-faktor psikologis memiliki dampak terhadap kesehatan dan juga illness behavior atau perilaku sakit pasien. Pasien dengan penyakit kronis biasanya akan menunjukkan perilaku sakit seperti individu merasakan, mengevaluasi dan bertindak atas gejala-gejala yang dirasakan, terkait dengan penyakitnya. Salah satu faktor psikologis yang dapat memengaruhi perilaku sakit pasien, yaitu faktor hope atau hope. Hope dapat meningkatkan perilaku yang mengarah pada proses penyembuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran hope terhadap perilaku sakit pasien penyakit kronis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan alat ukur Adult Hope Scale dan Illness Behavior Questionnaire. Responden pada penelitian ini berjumlah 76 orang, yang terdiri atas pasien stroke, gangguan jantung, diabetes, kanker, pasien paru-paru yang telah berusia 20 tahun ke atas.Uji regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor hope tidak berkontribusi secara signifikan terhadap perilaku sakit, dengan nilai p value 0,469 (p>0,05). Hope berkontribusi sebesar 0,7% sedangkan 99,3% dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hope yang berkaitan dengan faktor internal pasien belum menjadi faktor yang cukup dalam perilaku sakit pasien penyakit kronis. Sehinggan perlu dilakukan kajian terhadap faktor-faktor lain yang bisa bersifat eksternal, agar dapat lebih memahami perilaku sakit pasien.
Kata Kunci: harapan; perilaku penyakit; pasien dengan penyakit kronis
Abstract
When individuals experience pain,
they will respond to a perceived illness. Psychological factors have an impact
on the health and also illness behavior or sick behavior of patients. Patients
with chronic diseases will usually exhibit pain behaviors such as the
individual feeling, evaluating and acting on the symptoms that are felt,
related to the disease. One of the psychological factors that can affect a
patient's sick behavior, namely the hope or hope factor. Hope can improve
behaviors that lead to the healing process. This study aims to find out the
role of hope in the sick behavior of chronic disease patients. The study used a
quantitative approach with the Adult Hope Scale and Illness Behavior
Questionnaire. Respondents to this study amounted to 76 people, consisting of
patients with stroke, heart problems, diabetes, cancer, lung patients aged 20
years and over. Regression tests showed that the hope factor did not contribute
significantly to pain behavior, with a p value of 0.469 (p>0.05). Hope
contributed 0.7% while 99.3% was influenced by other factors. The results
showed that hope related to the internal factors of the patient has not been a
sufficient factor in the pain behavior of chronic disease patients. So it is necessary to conduct a study of other factors that
can be external, in order to better understand the patient's sick behavior.
Keywords: hope;
illness behavior; patients with chronic diseases.
Pendahuluan
Individu dalam kehidupan
sehari-hari harus dapat menjaga pola hidup sehat. Hal-hal yang dapat dilakukan
individu antara lain mengkonsumsi makanan yang sehat, berolahraga, istirahat
yang cukup, menghindari rokok dan alkohol, serta berbagai gaya hidup sehat
lainnya. Individu yang sehat dapat melakukan aktivitas sebagaimana mestinya.
Meskipun demikian, individu tidak dapat selalu menjaga kesehatannya, biasanya
terjadi ketika individu berada dalam kondisi sakit dan merespon kondisi
tersebut (Khoso, Yew, & Mutalib, 2016).
Respon yang ditunjukkan individu ketika sedang berada pada kondisi sakit
berbeda-beda. Beberapa cenderung menemui dokter atau mencari pertolongan medis,
sedangkan beberapa individu cenderung mengabaikan gejala yang mereka alami dan
tidak melakukan pengobatan. Selain itu, ada juga beberapa individu yang lebih
memilih berobat ke ahli non medis, seperti dukun atau yang dianggapnya ahli.
Respon yang ditunjukkan individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
sehingga respon yang akan ditunjukkan oleh setiap individu dapat berbeda-beda.
(Mechanic, 1986)
mengusulkan sebuah istilah yang dikenal dengan Illness Behavior atau
perilaku nyeri, yang mereka definisikan sebagai cara individu mempersepsi,
mengevaluasi, dan bertindak (atau tidak) atas gejala yang mereka rasakan.
Individu yang sedang dalam kondisi sakit, cenderung mengetahui kondisinya dan
kemudian segera mencari pertolongan untuk mendapatkan proses pengobatan.
Meskipun demikian, ada juga individu yang meskipun mengetahui kondisinya,
memilih untuk menunda atau bahkan tidak pergi untuk mencari pertolongan medis.
Perilaku sakit pertama kali dikemukakan oleh Mechanic dan Volkart, serta
didefinisikan sebagai cara individu untuk merasakan, mengevaluasi, dan
bertindak (atau tidak) atas gejala yang mereka rasakan. Konsep perilaku sakit
terus dikembangkan oleh Mechanic, hingga pada tahun 1986 dikemukakan lagi
konsep baru terkait dengan konsep illness behavior, yaitu cara individu
merespons kondisi tubuh mereka, memantau kondisi internal, mendefinisikan dan
menafsirkan gejala, membuat atribusi, mengambil penyembuhan. tindakan, dan
memanfaatkan berbagai sumber perawatan informal dan formal. (Cockerham, 2017)
berpendapat bahwa perilaku sakit berbeda dengan perilaku sehat, dimana perilaku
ditunjukkan oleh individu yang merasa sakit dan membutuhkan pertolongan medis.
(Monaghan & Gabe, 2022)
menawarkan sebuah pendapat mengenai perilaku sakit berdasar pada pandangan
sosiologi medis, yaitu berkaitan dengan cara-cara individu mendefinisikan dan
menginterpretasikan gejala dan tindakan yang diambil untuk mencari bantuan. (Young, 2004)
juga berpendapat bahwa perilaku sakit dibangun secara sosial dan budaya,
sehingga perilaku penyakit merupakan respon individu terhadap gejala penyakit
dalam konteks kehidupan sosial budaya (Mechanic, 1986) menyarankan bahwa perilaku penyakit
melibatkan interaksi yang kompleks antara kualitas disfungsi tubuh, orientasi
sosiokultural dan psikologis individu, dan tuntutan unik dari konteks sosial.
Penjelasannya dijelaskan sebagai berikut:
a.
Kualitas disfungsi tubuh
Individu yang menunjukkan
perilaku sakit adalah individu yang berada dalam kondisi sakit. Kondisi
penyakit ini biasanya ditandai dengan gejala-gejala yang muncul pada tubuh
individu. Adajanya gejala-gejala tersebut akan dirasakan dan didefinisikan oleh
individu dan akan mengakibatkan timbulnya perilaku sakit. Kondisi tidak
menyenangkan yang dialami oleh individu saat sakit akan mengakibatkan berbagai
proses adaptasi, antara lain: penyakit fisik, gangguan psikologis, dan berbagai
macam perilaku penyerangan, pelarian dan perilaku mengambil resiko. (Mechanic, 1986)
mengemukakan beberapa karakteristik yang mempengaruhi individu dalam bereaksi
terhadap penyakitnya. Pertama, frekuensi terjadinya penyakit yang diderita
individu dalam suatu populasi. Kedua, apakah gejala yang ditunjukkan cukup
familiar dengan rata-rata penduduk. Ketiga, kemungkinan-kemungkinan yang dapat
timbul dari penyakit tersebut. Terakhir, seberapa besar/tinggi (derajat)
ancaman atau kerugian penyakit tersebut.
b. Orientasi
sosial budaya dan psikologis
Ekspresi sakit yang
ditampilkan individu dapat berubah atau menghilang tergantung pada waktu (Mechanic, 1986).
Beberapa gejala penyakit dari waktu ke waktu dapat berkembang atau bahkan
hilang. Sudut pandang dan tindakan tepat yang dilakukan oleh individu dapat
dibentuk dengan adanya konsensu sosial mengenai suatu masalah, kepercayaan
terhadap suatu penyakit, dan kemungkinan pemecahannya. Konstruksi sehat dan
sakit merupakan proses sosial, yang dapat melibatkan perkembangan sosial,
peran, hope peran sosial, aspirasi, dukungan sosial, dan lain-lain (Mechanic, 1986). Berbagai perilaku
pasien terkait dengan orientasi dan kecenderungan psikologis individu. Individu
berbeda dalam toleransi mereka terhadap ketidaknyamanan, dalam pengetahuan
mereka, dalam informasi dan pemahaman mereka tentang proses penyakit, dan dalam
cara spesifik di mana tubuh mereka mempengaruhi kebutuhan dan peran sosial
mereka. Individu sering berbeda dalam respon mereka terhadap penyakit dan
ketidaknyamanan, tetapi cenderung memiliki ambang fisik yang sama. Apa yang
individu ketahui, apa yang mereka yakini, dan apa yang mereka pikirkan tentang
suatu penyakit akan mempengaruhi pemikiran mereka tentang gejala yang mereka
anggap penting, hal serius apa yang mereka alami, dan apa yang harus mereka
lakukan.
Menurut (Mechanic, 1986)
salah satu kecenderungan atau impuls psikologis yang paling mempengaruhi
perilaku sakit adalah introspektif, yaitu kecenderungan individu untuk
memikirkan dirinya sendiri, motivasinya, dan perasaannya. Individu yang sadar
diri, atau memiliki tingkat refleksi diri yang tinggi, lebih mungkin mengalami
stres fisik atau psikologis, lebih mungkin merasa marah tentang peristiwa
kehidupan yang penuh tekanan, dan menggunakan lebih banyak layanan medis,
psikiatri, dan dukungan lainnya. Introspeksi individu terbentuk dari faktor
sosial budaya, masa kanak-kanak, dan hal-hal yang memicu dalam beberapa
situasi. Individu yang memiliki introspeksi diri akan mengenali diri sendiri
dan memahami kondisinya, namun akan merasa kurang nyaman bahkan stres. Selain
itu, introspeksi ini juga terkait dengan persepsi individu terhadap ancaman,
koping, dan pengalaman sakit. Hal ini akan mempengaruhi persepsi dan respon,
kualitas adaptasi, kecenderungan melihat orang lain yang sakit, dan tingkat
penderitaan yang dialami.
c.
Tuntutan
unik dari konteks sosial
Perilaku
sakit lebih dari sekedar respon psikologis individu dalam menghadapi situasi
yang memerlukan tindakan lebih lanjut. Perilaku sakit juga dapat dilihat melalui
konteks sosial, misalnya: 1) sebagai respons terhadap situasi sosial yang
mengganggu, 2) sebagai cara yang efektif untuk melarikan diri dari hope
sosial, 3) sebagai alasan untuk gagal, 4) cara untuk mendapatkan hak istimewa (Mechanic, 1986).
Ketika individu mengeluh tentang penyakit mereka, itu adalah cara untuk
mendapatkan kepastian dan dukungan. Respon individu saat sakit dengan memilih
berobat ke dokter, terkadang hanya untuk mendapatkan dukungan sosial. Hal ini dikarenakan
dokter atau tenaga medis merupakan dukungan sosial bagi pasien.
Beberapa
ahli mendefinisikan perilaku sakit secara berbeda, namun salah satu aspek yang
sering muncul pada masing-masing definisi tersebut adalah perilaku individu
untuk merespon kondisi atau gejala yang dialaminya. Individu yang berada dalam
kondisi sakit akan memiliki persepsi, evaluasi, dan respon yang berbeda
terhadap suatu penyakit. Hal ini dapat mempengaruhi individu dalam melihat
sejauh mana gejala mengganggu rutinitas keseharian mereka, kronisitas,
pencapaian perawatan yang tepat, dan kerjasama pasien dalam perawatan (Mechanic, 1986).
Penyakit kronis merupakan ancaman kematian yang paling signifikan di negara
maju bahwa faktor perilaku merupakan faktor utama prediktor manajemen kesehatan
(Wasserman et al., 2014).
Snyder
(1994) mengemukakan bahwa hope adalah dorongan yang dimiliki
individu untuk menentukan strategi dan menjalankan strategi tersebut untuk
mencapai tujuan mereka. Individu yang memiliki hope cenderung menunjukkan
perilaku sakit yang lebih positif, dalam hal ini mereka dapat berobat ke dokter
dan berobat dengan tujuan penyembuhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh (Scioli & Vollaro, 1997)
menunjukkan bahwa individu dengan hope rendah menunjukkan penyakit yang
lebih parah. Penelitian (Scioli & Vollaro, 1997)
juga menunjukkan bahwa hope adalah prediktor kesehatan.
(Snyder, 1994)
mengemukakan bahwa hope adalah suatu dorongan yang dimiliki individu
untuk menentukan strategi dan melaksanakan strategi tersebut untuk mencapai
tujuannya. Selain itu, (Snyder, 1994)
juga menjelaskan bahwa hope adalah seperangkat mental dari proses agensi
mental (tujuan) dan jalur (jalan kekuatan & kemauan keras). Konsep hope
yang dikembangkan oleh (Snyder, 1994)
berfokus pada hope pada orang dengan penyakit kronis atau penyakit
tertentu. Pendapat lain dikemukakan oleh (Seligman, 2002)
yang mendefinisikan hope sebagai keyakinan individu dalam memandang masa
depannya. Individu berpikir tentang masa depan dengan mengharapkan hasil terbaik
di masa depan dan percaya pada hasil dan tujuan. Keyakinan ini juga dapat
mendorong individu untuk berusaha mencapai tujuannya.
Selain
itu, hope juga merupakan bentuk silang yang masih berhubungan positif
dengan harga diri, kemampuan memecahkan masalah, mengendalikan pemikiran, dan
optimisme.
Konsep hope
sering disamakan dengan optimisme. Meski begitu, Snyder (Gallagher & Lopez, 2018)
menjelaskan bahwa teori hope lebih komprehensif daripada optimisme. Optimisme
adalah suatu keadaan dimana individu memiliki hope ketika dihadapkan
pada suatu situasi. Individu yang optimis percaya bahwa suatu peristiwa dapat
dikaitkan dengan dorongan besar yang terjadi dari dalam dan bersifat stabil.
Biasanya individu yang optimis cenderung menempatkan masalah yang terjadi
sebagai akibat dari luar (di luar dirinya) tanpa berusaha mencari jalan keluar
dari masalah tersebut. Sementara itu, Snyder menjelaskan bahwa individu yang
memiliki hope tinggi juga memiliki hope tetapi disertai dengan
upaya internal (dalam dirinya) dan eksternal (di luar dirinya) untuk mencari
jalan keluar.
Snyder (Gallagher & Lopez, 2018)
juga mengemukakan bahwa individu dapat dikatakan memiliki tingkat hope
yang tinggi ketika memiliki waypower dan willpower, sebaliknya ketika seseorang
tidak memiliki salah satu atau keduanya, ia memiliki hope yang rendah. Hope
tidak hanya mampu membantu individu untuk mengidentifikasi tujuannya, tetapi
juga mampu menjadi sumber kekuatan individu dalam menghadapi setiap situasi
dalam hidupnya.
Beberapa
ahli mendefinisikan hope secara berbeda, namun terdapat kesamaan konsep hope
yang terkandung di dalamnya, yaitu: 1) hope adalah coping yang
berorientasi masa depan, 2) hope memungkinkan individu untuk menghadapi
situasi krisis dengan mengharapkan hal-hal yang positif, dan 3) karena Jika ada
hasil positif yang diharapkan, individu akan termotivasi untuk bertindak untuk
mencapai hasil tersebut. Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa hope adalah suatu keyakinan yang mampu mendorong
individu untuk mencapai tujuan (goals),
melalui kemampuan kemauan dan kemampuan jalan ketika menghadapi suatu situasi.
Perilaku-perilaku yang ditunjukkan individu ketika
sakit (illness behavior) dapat
mendorong individu untuk melakukan respon positif atau negatif. Ketika ada
dorongan dari dalam diri individu, dalam hal ini hope, dapat
mempengaruhi perilaku individu saat sakit. Berdasarkan latar belakang masalah
yang ada, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait
dengan perilaku sakit dan hope pada pasien penyakit kronis.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dimana penelitian kuantitatif menekankan pada fenomena objektif dan dinilai secara kuantitatif. Pengukuran akan dilakukan untuk melihat peran
hope terhadap perilaku sakit. Partisipan penelitian ini dikumpulkan dari sampel sebanyak 76 pasien. Kriteria sampel meliputi (a) pasien dengan penyakit
kronis, (b) usia 20 tahun atau lebih.
Dalam
penelitian ini, instrumen penelitian yang digunakan adalah alat ukur yang mengukur dua variabel
penelitian yaitu perilaku sakit dan hope. Perilaku sakit diukur dengan Illness Behavior
Questionnaire (IBQ) yang diadaptasi oleh Yusri (2018) dan Hope diukur dengan Adult Hope Scale (AHS) dari
Seligman (2003). Kuesioner Perilaku
Sakit memiliki reliabilitas yang cukup dan Skala
Hope Dewasa memiliki reliabilitas yang baik dengan koefisien alpha sebesar 0,91.
Hasil dan Pembahasan
a.
Uji Asumsi
1. Normalitas
Tabel 1
One-Sample Kolmogorov-Smirnov
Test
|
Unstandardized Residual |
|
Asymp. Sig. (2-tailed) |
.200 |
|
Tabel 1 menunjukkan hasil uji asumsi, yakni uji normalitas terhadap
variabel IBQ dan Hope. Berdasarkan hasil uji tersebut, dapat diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0,200. Diketahui bahwa nilai signifikansi yang diperoleh
tersebut lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dinyatakan bahwa data residual
variabel IBQ dan Hope terdistribusi secara normal.
2. Linearitas
Tabel 2
Anova Table
|
Sig. |
Deviation from Linearity |
.975 |
Tabel 2 menunjukkan hasil
uji asumsi, yakni uji linearitas terhadap variabel IBQ dan Hope. Berdasarkan
hasil uji linearitas, dapat diketahui bahwa penyimpangan dari nilai signifikansi
linearitas adalah 0,975. Diketahui bahwa nilai signifikansi yang diperoleh tersebut lebih besar dari
taraf signifikansi 0,05, sehingga dapat dinyatakan bahwa data tersebut linier.
b. Uji Hipotesis
Tabel 3
Korelasi
|
|
HOPE |
IBQ |
Sig. (2 tailed) |
.234 |
Tabel 3 menunjukkan hasil
uji parametrik dengan menggunakan uji Pearson terhadap variabel IBQ dan Hope. Berdasarkan
hasil uji tersebut, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,234. Ditinjau dari nilai
tersebut, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf
signifikansi 0,05, sehingga
(H0) yang menyatakan tidak terdapat korelasi antara IBQ dengan Hope diterima dan (Ha) yang menyatakan
bahwa terdapat korelasi antara IBQ dan Hope ditolak. Dengan demikan dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat korelasi antara IBQ dan Hope.
Tabel 4
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the
Estimate |
1 |
.084 |
.007 |
.006 |
7.184 |
Tabel 4 menunjukkan tabel
Model Summary. Berdasarkan hasil
uji analisis, diperoleh koefisien determinan (R2) sebesar 0,007. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi hope terhadap IBQ adalah 0,7%, sedangkan 99,3% lainnya dipengaruhi oleh variabel lain.
Tabel 5
Anova
Model |
|
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 |
Regression
Residual Total |
27.366���
3819.621 3846.987 |
1������������� 74������������ 75 |
27.366���
51.616 |
.530 |
.469 |
Tabel 5 menunjukkan tabel
ANOVA dari hasil uji analisis regresi linear. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai F sebesar 0,530 dengan signifikansi sebesar 0,469. Nilai signifikansi
yang diperoleh tersebut lebih besar dari
taraf signifikansi 0,05, sehingga H0 diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kontribusi
hope terhadap IBQ.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hope yang berkaitan dengan faktor internal pasien belum menjadi faktor
yang cukup dalam perilaku sakit pasien penyakit kronis. Ada banyak aspek yang dapat berdampak pada perilaku sakit pasien. Faktor-faktor
tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik internal pasien itu sendiri tetapi
juga terkait dengan makna dari gejala
yang dirasakan. Jadi hope mungkin
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku sakit pasien penyakit
kronis (Freedheim & Weiner, 2021).
Penelitian yang dilakukan
oleh (Maikranz, Steele, Dreyer, Stratman, & Bovaird, 2007)
mengemukakan bahwa hope merupakan variabel yang berhubungan dengan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan dan bukan pada perilaku sakit tetapi pada koping yang dilakukan sehubungan dengan gejala yang dirasakan.
Kesimpulan
Perlu mengkaji faktor-faktor lain yang
bisa bersifat eksternal agar dapat lebih memahami perilaku penyakit pasien.
Kesimpulannya, penelitian ini memberikan asumsi awal tentang hope posisi
sebagai faktor internal pasien untuk penelitian selanjutnya mengenai perilaku
sakit.
Cockerham, William C. (2017). Medical
sociology. Routledge. Google Scholar
Freedheim, Donald K., & Weiner, Irving
B. (2021). Handbook of psychology. John Wiley & Sons, Inc. Google Scholar
Gallagher, Matthew W., & Lopez, Shane
J. (2018). The Oxford handbook of hope. Oxford University Press. Google Scholar
Khoso, Pasand Ali, Yew, Vivien W. C., &
Mutalib, Mimi Hanida Abdul. (2016). Comparing and contrasting health behaviour
with illness behaviour. E-Bangi, 11(2), 578�589. Google Scholar
Maikranz, Julie M., Steele, Ric G., Dreyer,
Meredith L., Stratman, Aaron C., & Bovaird, James A. (2007). The relationship
of hope and illness-related uncertainty to emotional adjustment and adherence
among pediatric renal and liver transplant recipients. Journal of Pediatric
Psychology, 32(5), 571�581. Google Scholar
Mechanic, David. (1986). The concept of
illness behaviour: culture, situation and personal predisposition1. Psychological
Medicine, 16(1), 1�7. Google Scholar
Monaghan, Lee, & Gabe, Jonathan.
(2022). Key concepts in medical sociology. Sage.
Google Scholar
Scioli, Custode, & Vollaro, Lucia.
(1997). The use of Yarrowia lipolytica to reduce pollution in olive mill
wastewaters. Water Research, 31(10), 2520�2524. Google Scholar
Seligman, Martin E. P. (2002). Authentic
happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for
lasting fulfillment. Simon and Schuster. Google Scholar
Snyder, Charles Richard. (1994). The
psychology of hope: You can get there from here. Simon and Schuster. Google Scholar
Wasserman, J. A., Suminski, Richard, Xi,
Juan, Mayfield, Carlene, Glaros, Alan, & Magie, Richard. (2014). A
multi-level analysis showing associations between school neighborhood and child
body mass index. International Journal of Obesity, 38(7), 912�918. Google Scholar
Young, Jesse Tyler. (2004). Illness
behaviour: a selective review and synthesis. Sociology of Health &
Illness, 26(1), 1�31. Google Scholar
Copyright holder: Grestin Sandy, Muhammad Fathi Hanif, Afni Nurul Izzah Bur, Annisa
Nur Maulidianti, Adisti Adizah, Novita Mananna (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |