Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, Special Issue No. 2, Februari 2022

 

DAMPAK PENERAPAN KEBIJAKAN PEMERINTAH AKIBAT COVID-19 TERHADAP STATUS HUBUNGAN KERJA

 

Chamdani

Universitas Wijaya Putra Surabaya, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran terkait dampak penerapan kebijakan pemerintah akibat Covid-19 terhadap status hubungan kerja yang berimplikasi pada pengupahan tenaga kerja dalam situasi pandemi covid-19 yang didasarkan pada perspektif pembaharuan hukum di perusahaan persepatuan Kota Surabaya. Adapun penelitian yang dilaukan saat ini yaitu penelitian yuridis normatif yang menekankan pada studi kepustakaan, perundang-undangan, karya ilmiah/jurnal, pendapat para pakar, dan juga mendekatkan pada yuridis sosiologis dengan pengamatan langsung terhadap objek yang sedang diteliti. Untuk menghindari perselisihan antara pengusaha dengan pekerja yang disebabkan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja, maka sebaiknya pemutusan hubungan kerja dihindari atau setidaknya jadi upaya terakhir dalam keberlangsungan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja, oleh sebab itu diperlukan penerimaan atau kesepakatan kedua belah pihak dengan ide dan pemikiran yang sama-sama memberikan solusi untuk menentukan jalan tengah, sehingga pekerja maupun pengusaha dapat menerima dengan baik atas keputusan pemutusan hubungan kerja atau kebijakan lain yang akan ditempuh. Relevansi penelitian menunjukan bahwa dalam hal perlindungan pengupahan dan perlindungan bagi tenaga kerja di tempat kerja pengusaha dapat melakukan penangguhan pembayaran upah (jika pengusaha tidak mampu membayar upah sesuai upah minimum), dengan terlebih dahulu melakukan perundingan dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh terkait penangguhan tersebut. Penangguhan pembayaran upah minimum oleh pengusaha kepada pekerja/buruh tidak serta-merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah minimum selama masa penangguhan, para pimpinan perusahaan diharapkan dapat mengambil langkah preventif terkait risiko efisiensi pengurangan tenaga kerja dengan melakukan pekerjaan di rumah.

 

Kata Kunci: covid-19; hubungan kerja; pengupahan; tenaga kerja

 

Abstract

This study aims to provide an overview of the impact of implementing government policies on the status of the employment relationship which has implications for the wages of workers in the COVID-19 pandemic situation based on the perspective of legal reform in the Surabaya City shoe company. The research currently being carried out is normative juridical research which emphasizes the study of literature, legislation, scientific/journal works, opinions of experts, and is also closer to sociological juridical by direct observation of the object being studied. In order to avoid disputes between employers and workers caused by termination of employment relations with workers, it is better to avoid termination of employment or at least be a last resort in the continuation of the employment relationship between employers and workers, therefore it is necessary to accept or agree on both parties with ideas and thoughts that jointly provide solutions to determine a middle way, so that workers and employers can both accept the decision to terminate employment or other policies that will be taken. The relevance of the research shows that in terms of wage protection and protection for workers in the workplace, the entrepreneur can postpone the payment of wages (if the entrepreneur is unable to pay wages according to the minimum wage), by first negotiating with the. workers/laborers or the relevant trade/labor union. the suspension. The suspension of payment of the minimum wage by employers to workers/labor does not necessarily eliminate the employer's obligation to pay the difference in the minimum wage during the suspension period. It is hoped that the company leaders can take preventive steps related to the risk of reducing the efficiency of the workforce by doing work at home.

 

Keywords: covid-19; employment relations; wages; labor

 

 

Pendahuluan

Pada awal tahun 2020 dunia dikejutkan dengan adanya wabah virus corona (Covid-19) yang menginfeksi hampir seluruh negara di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Epidomolog Universitas Indonesia Pandu Riono (Pranita, 2020). menyatakan virus corona jenis SARS-CoV-2 sebagai penyebab Covid-19 sudah masuk ke Indonesia sejak awal Januari 2020, hanya saja identifikasi kasus pertama pada awal Maret 2020 sudah merupakan transmisi lokal dan bukan penularan kasus impor. Masuknya virus tersebut dimungkinkan terjadi melalui pintu-pintu masuk wilayah Indonesia. Sejak Januari saat virus corona jenis baru ini diumumkan dapat menular antar manusia dan sudah mewabah di berbagai negara lain selain Wuhan di China, pemerintah Indonesia tidak lantas langsung menutup akses penerbangan langsung dari dan ke Wuhan, hingga diketemukannya sampel isolat dari pasien yang diteliti menunjukan adanya infeksi corona virus berjenis betacoronavirus tipe baru yang diberi nama novel Coronavirus (2019-nCov).

Kemudian Presiden Republik Indonesia secara resmi mengumumkan munculnya kasus Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 terus meningkat. Presiden kemudian menghimbau untuk menjaga jarak (social distancing) atau masyarakat menyebutnya dengan #dirumahaja dan pada tanggal 16 Maret 2020 pemerintah DKI Jakarta mulai dengan penutupan sekolah, tempat kerja dan pembatasan acara publik yang mengundang kerumunan orang. Sebagai respon atas lonjakan kasus terkonfirmasi yang meningkat secara siginifikan, sejumlah tindakan kemudian dilakukan oleh pemerintah, antara lain penutupan transportasi umum, larangan perjalanan domestik, dan penutupan perbatasan. Hal itu disusul dengan mengeluarkan PP No. 21/2020 mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar atau yang dikenal dengan PSBB. Secara umum, PSBB mengatur beberapa komponen untuk menekan angka penularan, diantaranya menjaga jarak, penutupan sekolah, penutupan atau pembatasan kegiatan di tempat kerja, pembatasan perkumpulan massa/keramaian, dan penggunaan masker.

Mekanisme untuk dapat menerapkan PSBB, pemerintah daerah perlu memenuhi kriteria dan mengajukan permohonan penerapan PSBB kepada Kementerian Kesehatan. Tidak terkecuali Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa akhirnya mengajukan pemberlakuan PSBB kepada Menteri Kesehatan dan disetujui pada tanggal 21/4/2020 dengan surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor : HK.01.07/Menkes/264/2020 Tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar Di Wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Berdasarkan ketentuan pasal 4 PP No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Menyebabkan kegiatan pendidikan dan pekerjaan di wilayah yang terkena kebijakan PSBB yaitu Surabaya, Gresik dan Sidoarjomeliburkan sekolah dan perguruan tinggi sehingga memberlakukan kegiatan pembelajaran dengan online (daring), termasuk kantor-kantor baik pemerintah dan swasta menerapkan sistim kerja di rumah (work from home), sedangkan bagi sektor-sektor industri yang mengharuskan pekerjaan dikerjakan di tempat kerja terpaksa mengurangi atau bahkan menghentikan operasional perusahaan, yang pada akhirnya juga berdampak pada para pekerja dengan adanya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja tak terkecuali pada perusahaan-perusahaan pada sektor persepatuan di kota Surabaya.

Industri persepatuan merupakan salah satu sektor industri yang tergolong sebagai industry padat karya yang mempekerjakan banyak pekerja karena sebagian besar pekerjaan masih menggunakan tenaga kerja dan hanya sebagian kecil saja yang menggunakan teknologi sehingga dampak kebijakan penerapan PSBB di kota Surabaya sangat terasa bagi kelompok pekerja di sektor ini, seperti yang dialami para pekerja di PT. Wangta Agung yang merupakan salah satu produsen sepatu yang terletak di kawasan industry di Surabaya. Perusahaan terpaksa melakukan pengurangan pekerja dengan melakukan pemutusan hubungan kerja guna menghindari tingginya ongkos produksi karena harus mematuhi kebijakan PSBB dan lesunya perekonomian ditengah pandemi guna melindungi kepentingan yang lebih besar yakni penyelamatan kesehatan tenaga kerja. Disisi lain pemutusan hubungan kerja bagi pekerja merupakan suatu hal yang tidak diinginkan dan cenderung dihindari namun demikian haruslah tetap diterima karena sudah menjadi keputusan perusahaan.

Indonesia sebagai negara hukum dengan walfare state-nya yang melandaskan semua kebijakan atas dasar hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana amanat dari konstitusi. Sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 mengamanatkan penghormatan dan penghargaan hak asasi manusia terkait dengan pekerjaan dan kesehatan serta hak dasar lain terkait dengan pekerja dalam hubungan kerja (Pasal 27ayat 2, Pasal 28D ayat 2, Pasal 28Hayat 1, Pasal 28Hayat 3, Pasal 34ayat 2) ketentuan-ketentuan tersebut diatas, begitu penting dan seriusnya negara dalam memberikan jaminan perlindungan bagi setiap warga negara termasuk didalamnya bagi pekerja.

Persoalan lain terhadap pemutusan hubungan kerja merupakan salah satu bentuk penyimpangan atau suatu tindakan yang dapat dianggap sebagai perampasan hak untuk bekerja apabila tidak didsarkan pada peraturan yang berlaku, yang pada akhirnya meningkatnya rasio pengangguran juga menghilangkan pendapatan seseorang. Kehilangan pendapatan atau imbalan dapat mengancam kehidupan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga menambah persoalan lagi atas rasio kemiskinan yang semakin bertambah dan kesejahteraan sulit diraih. Kondisi inilah kehadiran negara dibutuhkan guna mewujudkan cita-cita dibentuknya sebuah negara sebagaimana tercantum dalam Alinea ke IV Pembukaan UUD RI 1945.

Kehadiran negara dalam konteks permasalahan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja akibat Covid-19 dengan adanya kebijakan PSBB yang mempengaruhi produktifitas kerja perusahaan tentunya harus mengedepankan aspek perlindungan hukum terhadap pekerja dengan tetap memperhatikan kelangsungan usaha dan dampak kerugian yang lebih besar baik bagi pekerja maupun pengusaha. Oleh karena itu pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja khususnya di perusahaan persepatuan sebagai salah satu sektor industri yang terdampak dari kebijkan PSBB akibat pandemi Covid-19 patut kiranya tidak menimbulkan perselisihan antara pengusaha dengan pekerja hingga mengganggu stabilitas perekonomian dan keamanan nasional.

Untuk menghindari perselisihan antara pengusaha dengan pekerja yang disebabkan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja, maka sebaiknya pemutusan hubungan kerja dihindari atau setidaknya menjadikan sebagai upaya terakhir dalam keberlangsungan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja, kiranya dalam mencari solusi atas persoalan yang sedang dihadapi kedua belah pihak dapat mengharmonisasikan hak dan kewajiban melalui kesepakatan bersama, sehingga pekerja dapat menerima dengan baik atas keputusan pemutusan hubungan kerjaatau kebijakan lain yang dilakukan pengusaha.

 

Metode Penelitian

Disiplin ilmu hukum mempunyai ciri khusus di dalam menggunakan metode penelitian, adapun penggolongan dalam penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan bahan primer dan sekunder diantaranya, buku, karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, internet kemudian juga mendekatkan pada conceptual approach, historical approach, dan comparative approach, kesemuanya itu kemudian dianalisis secara mendalam yang disajikan secara teoritis sesuai dengan realita dan dapat ditarik sebuah kesimpulan.

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Kebijakan Pemerintah Menghadapi Pandemi Covid-19

Kiranya sebelum membicarakan kebijakan yang diambil pemerintah dalam penanganan dan penanggulangan Covid-19, perlu telebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan kebijakan?, istilah kebijakan itu sendiri merupakanterjemahan dari kata bahasa InggrisPolicy� yang mana berkaitan erat dengan kata �kebijaksanaanatau dalam bahasa Inggrisnyawisdom�. �Kebijaksanaan adalah suatu tindakan yang memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh dan mendalam, sementara kebijakan adalah tindakan mencakup aturan-aturan yang terdapat didalam suatu kebijaksanaan�. Adapun tujuan dari kebijakan itu sendiri merupakan kehendak masyarakat yang ingin diwujudkan melalui penerapan kebijakan. Sebagaimana menurut Hoogerwerf, ��Suatu kebijakan pada umumnya memiliki tujuan utama yang oleh pemerintah dianggap sebagai tujuan terpenting dari tujuan-tujuan lainnya. Jadi suatu tujuan utama kebijakan mempunyai prioritas terhadap tujuan-tujuan lain bagi aktornya. Kemudian tujuan akhir suatu kebijakan adalah bahwa aktornya yang berusaha mencapainya setelah mencapai satu atau lebih tujuan lain�.

Selain itu terdapat beberapa hal oleh pakar mengemukakan definisi tentang kebijakan hal yang harus diperhatikan dalam kebijakan diantaranya (Suwitri, 2008):

a)  Tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tujuan tertentu adalah tujuan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat (interest public);

b)  Serangkaian tindakan untuk mencapai tujuan. Serangkaian tindakan untuk mencapai tujuan adalah strategi yang disusun untuk mencapai tujuan dengan lebih mudah yang acapkali dijabarkan ke dalam bentuk program dan proyek-proyek;

c)  Usulan tindakan dapat berasal dari perseorangan atau kelompok dari dalam ataupun luar pemerintahan;

d)  Penyediaan input untuk melaksanakan strategi. Input berupa sumberdaya baik manusia maupun bukan manusia.

Sebagai upaya atas pengendalian penularan virus dikeluarkanlah Kebijakan pemerintah melalui terbitnyaKepres No. 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tepatnya pada tanggal 13/3/2020 dan kemudian diubah dengan Kepres No. 9/2020 pada tanggal 20/3/2020.Didalam penjelasan pasal 3 Kepres ini disebutkan bahwa pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ini bertujuan:

a. Meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan;

b.   Mempercepat penanganan Covid-19 melalui sinergi antar kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah;

c.   Meningkatkan antisipasi perkembangan eskalasi penyebaran Covid-19;

d.   Meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan operasional; dan

e.   Meningkatkan kesiapan dan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons terhadap COVID-19.

Tidak berhenti disitu, pemerintah kemudian menerbitkan PP No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Wrus Disease 2019 (Covid-19). Peraturan ini mempunyai tujuan dilatarbelakangi penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang meningkat dan meluas meliputi lintas wilayah dan lintas negaradan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Penjelasan di dalam PP No. 21/2020, pasal (2) juga mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/ kota tertentu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan persetujuan Menteri Kesehatan. Kemudian pada pasal (5) diatur pula dalam hal pengajuan PSBB oleh Pemerintah Daerah disetujui oleh Menteri Kesehatan maka Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adapun ruang lingkup PSBB paling sedikit meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan yang tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum yang dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk (pasal 4 PP No. 21/2020).

Implementasi PSBB tersebut pemerintah juga dituntut tetap memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat sehingga tidak menimbulkan masalah sosial baru yang lebih besar sebagai akibat penerapan kebijakan PSBB, oleh karenanya kemudian pemerintah melakukan perubahan postur anggaran belanja dan pendapatan negara tahun 2020 melalui Perpres No. 54/2020 sebagai tindak lanjut dalam pelaksanaan ketentuan pasal (12) ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dengan fokus pada belanja kesehatan, Jaring Pengaman Sosial dan Pemulihan Perekonomian.

2.   Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Industri Persepatuan di Surabaya

Apabila mengacu pada UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perlindungan terhadap kesehatan masyarakat dari penyakit maupun faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Salah satu tindakan kekarantinaan kesehatan berupa PSBB yang juga diterapkan di Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia.

Merebaknya Covid-19 di Jawa Timur, hingga bermunculan berbagai klaster mulai klaster haji, klaster pabrik rokok PT. Sampoerna yang saat itu dua karyawan PT Sampoerna yang positif Covid-19 meninggal pada 14/4/2020. Dengan mempertimbangkan pada kasus tersebut, kemudian Gubernur Jawa Timur mengajukan pemberlakuan PSBB kepada Menteri Kesehatan dan disetujui pada tanggal 21/4/2020 dengan surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor: HK.01.07/Menkes/264/2020 Tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar Di Wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Menindaklanjuti keputusan Menteri Kesehatan tersebut, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan keputusan nomor: 188/202/Kpts/013/2020 Tentang Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Coronavirus Disease2019 (Covid-19) Di Wilayah kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik yang berlaku terhitung tanggal 28 April 2020 sampai dengan 11 Mei 2020.

Memperhatikan kondisi peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 yang terus meningkat dan menyebar di Jawa Timur, akhirnya Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menerbitkan keputusan nomor: 188/108/KPTS/013/2020 tentang Status Keadaan Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Jawa Timur. Dalam keputusan Gubernur tersebut ada 3 (tiga) diktum yaitu : Pertama, Status Keadaan Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada seluruh wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Kedua, Status Keadaan Darurat Bencana sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu, terhitung sejak tanggal ditetapkan Keputusan Gubernur ini sampai dengan tidak ditemukan lagi penyakit atau tidak menjadi masalah kesehatan di seluruh wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Ketiga, Keputusan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Merespon keputusan Gubernur Jawa Timur tersebut, Walikota Surabaya akhirnya menerbitkan Perwali No. 16/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Di Kota Surabaya yang diantaranya mengatur perihal aktifitas kerja di tempat kerja selama pemberlakuan PSBB pasal (9) yang berbunyi:

1)  Selama pemberlakuan PSBB, dilakukan penghentian sementara aktivitas bekerja di tempat kerja/kantor;

2)  Selama penghentian sementara aktivitas bekerja di tempat kerja/kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mengganti aktivitas bekerja di tempat kerja/kantor dengan aktivitas bekerja di rumah/tempat tinggal;

Sehingga implikasi yang terjadi dengan adanya Peraturan Walikota tersebut menyebabkan perusahaan-perusahaan di kota Surabaya yang terkena dampak langsung peraturan tersebut menghentikan sementara atau mengurangi aktifitas perusahaan tak terkecuali industri persepatuan yang merupakan industri padat karya dengan tenaga kerja yang banyak, karena hampir keseluruhan aktifitas produksi dikerjakan di tempat kerja dengan tenaga manusia (tenaga kerja). Sumber informasi lain terkait dengan industry persepatuan juga memberikan informasi pada masa pandemi: banyak dilakukan PHK karena sebagian besar bahan baku dari China. China merupakan titik sumber covid 19 di lockdown. Penjualan dilakukan digital, jadi PHK mayoritas pada bagian sales, driver dan sebagian produksi.

3.   Penerapan PSBB Sebagai Upaya Pemerintah Melindungi Pekerja Akibat Covid-19

Pemerintah sebagai regulator negara yang memiliki kewenangan mengatur dan menjaga keselamatan dan kesehatan setiap warga negara guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap berlandaskan hukum dan konstitusi negara dalam bentuk memberikan perlindungan hukum atas segala dampak kebijakan yang diterapkan akibat adanya pandemi Covid-19. Perlindungan Hukum menurut Rahardjo (Syafa Karimah, 2021), adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu hak asasi manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. sedangkan menurut Muchsin (Muchsin, 2003), perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama manusia. Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dengan suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. (Octalina, 2014)

Pelaksanaan PSBB dalam bentuk peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pelaksanaan pembatasan tersebut haruslah memperhatikan dan mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktikvitas kerja, kebutuhan ibadah dan kebutuhan dasar masyarakat. Dalam konteks peliburan tempat kerja (perusahaan) tentunya bagi sebagian perusahaan ada yang dapat mempertahankan produktivitas kerjanya namun sebagian yang lain dipastikan produktivitas kerjanya menurun signifikan. Bagi perusahaan yang harus mempekerjakan pekerja di tempat kerja karena sifat pekerjaan yang harus dilakukan di tempat kerja, maka guna mendukung kebijakan pemerintah dalam menanggulangi penyebaran Covid-19 dan memang banyak faktor lain yang menyebabkan pengusaha terpaksa menghentikan aktifitas kegiatan usahanya. Penghentian operasional atau pengurangan aktifitas perusahaan tentu berdampak bagi para pekerjanya karena juga harus berhenti bekerja baik sementara ataupun permanen. Hal ini tentu merupakan permasalahan sosial baru yang diakibatkan dari kebijakan PSBB sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam melawan penyebaran Covid-19.

Kebijakan atas pembatasan yang diterapkan tentunya sudah dipertimbangkan secara mendalam dan matang akan dampak-dampak sosial yang akan ditimbulkan dari kebijakan PSBB tersebut. Oleh karenanya upaya pemerintah dalam memberikan pelindungan hukum secara preventif bagi pekerja akibat Covid-19 adalah sebagai berikut:

 

 

1.      Pencegahan Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menegaskan bahwa:

Pasal 151

(1)     Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2)     Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan��� oleh��� pengusaha��� kepada pekerja/buruh dan/atau�� serikat�� pekerja/serikat buruh.

(3)     Dalamhalpekerja/buruhtelahdiberitahudan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartitantarapengusahadengan pekerja/buruh dan/atau�� serikat�� pekerja/serikat buruh.

(4)     Dalam�� hal�� perundingan�� bipartit�� sebagaimana dimaksudpada�� ayat�� (3)�� tidak�� mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

 

Pemerintah dalam situasi Pandemi Covid-19 meminta pengusaha tidak melakukan PHK, terutama di sektor-sektor yang rentan terdampak pandemi Covid-19. Melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor : M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 dengan perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

(1)   Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) Covid-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.

(2)   Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek Covid- 19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi.

(3)   Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit Covid-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.

(4)   Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

 

Maka, untuk menghindari PHK, pengusaha dapat melakukan perubahan besaran maupun cara pembayaran upah terhadap upah pekerja/buruh yang dirumahkan sementara akibat wabah Covid-19, berdasarkan kesepakatan para pihak. Selain itu, pekerja/buruh yang diduga atau positif teijangkit Covid-19 juga berhak atas upah berdasarkan surat edaran tersebut. Apabila pengusaha tidak mampu membayar upah sesuai upah minimum sebagai imbas Covid-19, pengusaha dapat melakukan penangguhan pembayaran upah (jika pengusaha tidak mampu membayar upah sesuai upah minimum), dengan terlebih dahulu melakukan perundingan dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh terkait penangguhan tersebut. Penangguhan pembayaran upah minimum oleh pengusaha kepada pekerja/buruh tidak serta-merta menghilangkankewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah minimum selama masapenanggulangan. Berdasarkan uraian tersebut, PHK memang tidak dianjurkan dilakukan. Ada upaya altematif untuk tetap mempekerjakan pekerja/buruh dan mempertahankan kegiatan usaha sebagaimana diterangkan di atas.

 

 

 

 

2.      Pemberlakuan Work From Home sebagai perlindungan tenaga kerja dalam situasi Pandemi Covid

Bagi perusahaan yang dapat menghentikan seluruh kegiatan usahanya atau perusahaan yang dapat mengurangi sebagian kegiatan usahanya (sebagian karyawan, waktu, dan fasilitas operasional) maka dapat diberlakukan work from home (�WFH�) atau bekerja di rumah.

3.      Penerapan Protokol Kesehatan Yang Ketat Sebagai Perlindungan Pekerja Dalam Situasi Pandemi Covid-19

Bagi perusahaan yang tidak dapat menghentikan kegiatan usahanya, mengingat kepentingan langsung yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan, kebutuhan bahan-bahan pokok, dan bahan bakar minyak (BBM), maka berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yaitu :

Pasal 86

(1)   Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:

a.      Keselamatan dan kesehatan kerja;

b.     Moral dan kesusilaan; dan

c.      Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

(2)   Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

(3)   Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pemberian APD kepada tenaga kerja yang masih bekerja di tengah pandemi Covid-19 wajib diberikan untuk mengupayakan keselamatan dan kesehatan kerja dari setiap pekerja sesuai dengan regulasi yang berlaku pada saat Pandemi Covid-19, antara lain sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor : M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 sebagai berikut :

(1)     Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dilaksanakannya peraturan perundangan di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

(2)     Menyebarkan informasi kepada semua jajaran organisasi dan pihak terkait yang berada dalam wilayah pembinaan dan pengawasan Saudara.

(3)     Mendata dan melaporkan kepada instansi terkait setiap kasus atau yang patut diduga kasus Covid-19 di tempat kerja.

(4)     Memerintahkan setiap Pimpinan Perusahaan untuk melakukan antisipasi penyebaran Covid-19 pada pekerja/buruh dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan seperti perilaku hidup bersih dan sehat dengan mengintegrasikan dalam program K3, pemberdayaan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) dan optimalisasi fungsi pelayanan kesehatan kerja.

(5)     Mendorong setiap Pimpinan Perusahaan untuk segera membuat rencana kesiapsiagaan dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan tujuan memperkecil resiko penularan di tempat kerja dan menjaga kelangsungan usaha.

(6)     Dalam hal terdapat pekerjalburuh atau pengusaha yang beresiko, diduga atau mengalami sakit akibat COVID-19, maka dilakukan langkah-langkah penanganan sesuai standar kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.

 

Kemudian juga pengusaha juga wajib mengupayakan prinsip Social Distancing sesuai dengan peraturan-perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan tempat dan waktu pada saat terjadi pandemi Covid-19 lebih umumnya mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 Tentang PSBB Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nornor 9 Tahun 2020 Tentang PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

 

4.   Stimulus Bantuan Subsidi Upah BPJS Ketenagakerjaan

Secara resmi bantuan subsidi upah/gaji (BSU) kepada pekerja/buruh bergaji di bawah Rp. 5 juta senilai Rp600 ribu per bulan selama empat bulan di Istana Negara. Pekerja yang menerima bantuan adalah pekerja penerima upah yang terdaftar sebagai peserta aktif program jaminan sosal ketenagakerjaan BPJS.Presiden Joko Widodo menyatakan, pada peluncuran BSU tahap I ini ada 2,5 juta pekerja yang akan menerima bantuan subsidi. Berikutnya, transfer akan terus dilakukan secara bertahap hingga seluruh pekerja sebanyak 15,7 juta pekerja yang memenuhi syarat menerima bantuan ini.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, menyatakanhingga 24 Agustus 2020, Kementerian Ketenagakerjaan telah menerima 2,5 juta data calon penerima bantuan subsidi upah/gaji dan data ini telah divalidasi dan diverifikasi oleh BPJS Ketenagakerjaan sebagai batch I penerima bantuan subsidi upah/gaji sesuai dengan syarat dan kriteria yang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 2020, untuk meminimalkan risiko administrasi dan agar tepat sasaran. Penyaluran bantuan subsidi gaji/upah ini diberikan kepada pekerja/buruh sebesar Rp. 600 ribu per bulan selama 4 bulan dengan total sebesar Rp 2.400.000,-. Subsidi ini dicairkan dalam dua tahap, masing-masing tahap pencairan sebesar Rp 1.200.000,-. Menaker Ida pun berharap, subsidi upah ini mampu menjaga serta meningkatkan daya beli pekerja/buruh dan mendongkrak konsumsi sehingga, menimbulkan multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Apabila kita memperhatikan Perlindungan Hukum secara represifbagi pekerja akibat Covid-19 adalah sebagai berikut :

 

1.      Hak Pekerja Yang Diputus Hubungan Kerjanya Akibat Pandemi Covid-19

Situasi pandemi Covid-19 yang berlarut-larut membawa dampak terhadap semua sektor termasuk perusahaan baik yang berskala besar maupun kecil. Banyak perusahaan yang kewalahan mengatur keuangan (cash flow) yang berujung pada keputusan merumahkan pekerjanya atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja.

Dalam hal pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja akibat dari kebijakan PSBB atau pandemi Covid-19 sehingga perusahaan mengalami kerugian atau karena memang diharuskan melakukan efisiensi tenaga kerjanya, maka sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dengan ketentuan sebagai berikut :

Pasal 43

(1)   Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian maka Pekerja/ Buruh berhak atas:

a.    Uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

b.    Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

c.    Uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

(2)   Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian maka Pekerja/Buruh berhak atas:

a.      Uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

b.      Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

 

Pasal 45

(1)   Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure) maka Pekerja/ Buruh berhak atas:

a.     Uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

b.      Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

c.      Uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

(2)   Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan keadaan memaksa (force majeure) yang tidak mengakibatkan Perusahaan tutup maka Pekerja/Buruh berhak atas:

a.      Uang pesangon sebesar 0,75 (nol koma tujuh puluh lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (21;

b.      Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

c.      Uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

2.      Ganti Rugi Dan Kompensasi Bagi Pekerja Dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ( PKWT)

Dalam konteks pekerja dengan sistem PKWT, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhimya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT atau berakhirnya hubungan kerja bukan karenaketentuansebagaimanadimaksuddalamPasal61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka berdasarkan ketentuan pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pihak yang mengakhiri hubungan kerja wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Namun jika berakhimya hubungan kerja karena berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja atau selesainya suatu pekerjaan tertentu, maka sesuai ketentuan pasal 61A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berbunyi :

(1)   Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/ buruh.

(2)   Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Berdasarkan uraian di atas, seorang pekerja/buruh PKWT berhak mendapatkan ganti kerugian ketika terjadi PHK secara sepihak di tengah masa kontraknya dan uang kompensasi bila PHK karena berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Sedangkan terkait dengan proses pengajuan PHK juga wajib tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

3.      Program Kartu Prakerja

Kartu prakerja adalah sebuah kartu yang digalangkan dalam rangka program pelatihan dan pembinaan warga negara Indonesia yang belum memiliki keterampilan . Kartu tersebut dipromosikan Joko Widodopada masa kampanye pemilihan umum presiden Indonesia 2019.Sebelum adanya pandemi Covid-19, target dariprogram kartu prakerja adalah remaja, dengan rentang pendidikanmulai dari SMA sederajat hingga perguruan tinggi akan tetapi setelah merebaknya Covid-19 pemerintah melakukan perubahan terhadap target dari kartu prakerja ini yaitu lebih terfokuskan untuk para pekerja yang terkena PHK.

Selama wabah Covid-19, pemerintah melakukan perubahan terhadap kartu prakerja agar bisa menjadi bantuan bagi pekerja yang terkena PHK atau angkatan kerja yang baru lulus dari pendidikan. Anggaran dilipatgandakan menjadi Rp 20 triliun untuk bisa memperluas cakupan penerima bantuan dengan total bantuan yang didapat adalah Rp 3,55 juta, dengan rincian Rp 600 ribu untuk biaya pelatihan tiap bulan selama 4 bulan dengan total Rp2,4 juta dan Rp 1 juta sebagai insentif biaya pelatihan, serta Rp150 ribu sebagai biaya survei.

Penulis mencoba membandingkan beberapa perlindungan pengupahan dan status kerja yang ada di negara lain pada

Kajian Perbandingan dengan Negara Lain:

 

1.      Singapura

Membayarkan 25 persen gaji pekerja dari semua sektor usaha di negerinya.

Perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan makanan mendapat subsidi gaji lebih besar, yakni 50 persen. Sedangkan perusahaan pariwisata, yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19, mendapat subsidi gaji 75 persen.

Bantuan besar ini bertujuan untuk mengurangi pengeluaran gajiperusahaan, membantu perusahaan mempertahankan pekerja mereka.

Gugatan pailit karena hutang yang tak terbayar juga dinaikkan dari $ 15,000 menjadi $ 60.000 Singapura__

 

2.      Malaysia

Memberi subsidi gaji dengan besaran bervariasi, sesuai jumlah karyawan yang dimiliki perusahaan. Rinciannya adalah:

(1)   Karyawan lebih dari 200 orang: subsidi gaji RM 600 atau sekitar Rp 2,2 juta per orang;

(2)   Karyawan 76-200 orang: subsidi gaji RM800 atau sekitar Rp 2,9 juta per orang;

(3)   Karyawan 1-75 orang: subsidi gaji RM 1.200 atau sekitar Rp 4,4 juta per orang

 

3.      Penetapan Perlindungan Status Kerja dan Pengupahan Tenaga Kerja Dalam Situasi Pandemi COVID-19 melalui Skema Penetapan Peraturan Pemerintah.

Dalam keadaan seperti ini, seharusnya penetapan PERPPU tidak hanya sebatas tentang ekonomi fiskal saja, namun bersifat menyeluruh hingga mencakup pada klaster ketenagakerjaan. Deklarasi atau Proklamasi keadaan darurat oleh Kepala Negara menyebabkan terjadinya perubahan rezim hukum dari keadaan normal kepada keadaan darurat. Dalam perubahan sistem normatif itu termasuk terjadinya perubahan sistem perilaku ideal dan tindakan-tindakan pemerintahan di luar kebiasaan dalam keadaan normal. Bahkan, keadaan darurat (states of emergency) dapat pula dipakai sebagai alasan atau syarat untuk menunda hak-hak dan kebebasan yang dijamin dalam hukum dasar atau konstitusi suatu negara. Pembaharuan hukum ketenagakerjaan bertitik tolak pada kolektivitas dan oleh perlindungan yang terus berkembang terhadap buruh. Secara konseptual ia berangkat dari pengandaian adanya relasi asimetris antara buruh dengan majikan, dan karenanya perlu campur tangan negara untuk melindungi buruh yang akan selalu lebih lemah posisinya dihadapan modal dan majikan.

Dalam literatur hukum perburuhan, perubahan ini direfleksikan dalam trend deregulasi dan fleksibelisasi, yang melemahkan fungsi dari perwakilan kepentingan kolektif tradisional dari pekerja/buruh. Inilah yang juga dialami Indonesia melalui paket 3 Undang-Undang Perburuhan yang diterbitkan antara tahun 2000 hingga 2004. Ketiganya jelas lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan investor daripada kepentingan pekerja/buruh. Realita di lapangan juga menunjukan hal yang serupa sebagaimana disampaikan oleh Prof. H.R. Abdussalam, bahwa dari hasil pengamatan dan wawancara dengan para pekerja/buruh, mereka masih diperlakukan secara sepihak baik oleh pengusaha maupun oleh pihak pemerintah.(Khoiri, 2009) Seharusnya dalam situasi pandemi Covid-19 seperti ini, Kementerian Ketenagakerjaan tidak hanya mengeluarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Namun juga perlunya mengeluarkan Peraturan Pemerintah terkait dengan Perlindungan Tenaga Kerja dalam situasi Pandemi Covid-19 agar bersifat lebih mengikat kepada para pengusaha yang masih mempekerjakan tenaga kerjanya ditengah situasi Pandemi Covid-19. Selain itu, perlunya diadakan inspeksi yang bersifat sinergis antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Ketenagakerjaan terhadap Tempat Kerja yang masih melaksanakan aktivitas pekerjaan pada saat Pandemi Covid-19 sehingga dapatmenekan perbuatan semena-mena pengusaha dalam mempekerjakan tenaga kerjanya yang dikhawatirkan dapat menyebabkan penyebaran Covid-19 menjadi tak terkendali dan tidak sesuai dengan asas perlindungan tenaga kerja yang telah diatur dalam Undang Nomor 13 Tahim 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh pada perusahaan persepatuan di Kota Surabaya akibat Covid-19 maka dapat disimpulkan bahwa pandemi Covid-19 berdampak bagi pekerja/buruh pada perusahaan persepatuan karena perusahaan melakukan efisiensi akibat dari langkanya bahan baku dan pemberlakuan kebijakan PSBB di Kota Surabaya yang mengharuskan pengusaha menghentikan kegiatan perusahaan yang pada akhirnya tidak dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja. Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja persepatuan di Kota Surabaya dilaksanakan secara preventif melalui penerapan WFH atau bekerja dari rumah untuk sebagian kecil pekerja dan pengajuan bantuan subsidi upah kepada BPJS Ketenagakerjaan, serta secara represif dengan melakukan pemutusan hubungan kerja.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Khoiri, Syamsul. (2009). Peraturan Hukum Perburuhan Dan Sikap Pengadilan: Tarik-Menarik Antara Kepentingan Investor Dan Kepentingan Buruh. Jurnal Hukum & Pembangunan, 39(3), 307�325. Google Scholar

 

Muchsin. (2003). Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Google Scholar

 

Octalina, Benedhicta Desca Prita. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Ekonomi. Universitas Atmajaya Yogyakarta. Google Scholar

 

Pranita, Ellyvon. (2020). Virus Corona Masuk Indonesia Dari Januari. Retrieved from Kompas.Com website: https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/11/130600623/diumumkan-awal-maret-ahli--virus-corona-masuk-indonesia-dari-januari. Google Scholar

 

Suwitri, Sri. (2008). Konsep Dasar Kebijakan Publik. In MAPU5301/Modul 1 (p. 6). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegor. Google Scholar

 

Syafa Karimah, Margo Hadi Putra. (2021). Aspek Hukum Perlindungan Kepada Para Investor Perusahaan Financial Technology Apabila Debitornya Tidak Melakukan Pembayaran dan Akibat Hukumnya. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 7(8), 539�548. Google Scholar

 

Copyright holder:

Chamdani (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: