Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 2, Februari 2022

 

STUDI KASUS: FORGIVENESS THERAPY UNTUK MENGURANGI TRAUMA MASA LALU

 

Lenny Utama Afriyenti

Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Trauma sering menjadi akar masalah yang dapat memunculkan gangguan psikologis pada seseorang yang bisa dibawa sampai seseorang berusia dewasa bahkan sampai tua. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas forgiveness therapy untuk mengurangi trauma masa lalu yang telah dialami seseorang. Tahapan yang dilakukan forgiveness therapy dilakukan sebanyak 6 sesi yang diawali dengan konseling, uncovering phase, decision phase, work phase, deepening phase dan terminasi. Skala yang digunakan adalah menggunakan TSQ untuk melihat trauma dan DFS untuk melihat keefektifan forgiveness therapy dengan hasil adanya perubahan signifikan pada subjek dan bisa memaafkan orang tuanya dimana sebelum terapi memaafkan dimulai subjek merasa marah kepada kedua orang tuanya, sedangkan setelah terapi selesai muncul perasaan memaafkan dan pikiran positif terhadap trauma.

 

Kata Kunci: trauma; forgiveness therapy; konseling

 

Abstract

Trauma is often the root of problems that can give rise to psychological disorders in a person that can be carried until a person is even old. This study aims to look at the effectiveness of forgiveness therapy to reduce past trauma that a person has experienced. The stages of forgiveness therapy are carried out as many as 6 sessions that begin with conseling, uncovering phase, decision phase, work phase, deepening phase and termination. The scale used was to use TSQ to look at trauma and DFS to see the effectiveness of forgiveness therapy with significant changes in the subject and could forgive the parents where before the therapy began the subject felt angry with both parents, while after therapy was completed there were feelings of forgiveness and positive thoughts towards the trauma.

 

Keywords: Trauma; forgiveness therapy; conseling

 

Received: 2022-01-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-02-20

 

Pendahuluan

Kita semua pernah terluka. Hampir tidak ada yang menjadi dewasa tanpa pernah mengalami rasa sakit emosional. Meskipun demikian, sesungguhnya apa yang kita lakukan dengan luka tersebut jauh lebih penting daripada luka itu sendiri (Savitri, 2021). Ketika luka itu menjadi sesuatu yang besar dan membuat seseorang menjadi takut, maka ini bisa menjadi trauma. Trauma adalah suatu kejadian luar biasa yang bersifat mengancam fisik dan harga diri inidvidu serta dianggap dapat menyebabkan kematian sehingga menimbulkan rasa takut yang luar biasa, rasa tidak aman, dan rasa tidak berdaya ketika peristiwa itu terjadi (Association, 2013). Definisi ini dikuatkan dengan ragam gejala yang dimunculkan dari trauma tersebut, seperti hyperarousal, intrusion dan constriction (Foa, Davidson, & Frances, 1999).

Dalam lingkup keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak sebagai unit terkecil dalam lingkup social juga terkadang menimbulkan kesalahpahaman serta khilaf dalam berinteraksi sehari-sehari. Hal ini dapat memicu percikan kecil pertengkaran dan amarah atau bahkan dendam bagi anggota keluarga yang merasa dikecewakan. Pola pengasuhan orang tua salah satunya menjadi penyumbang munculnya rasa kecewa yang dialami oleh anak terhadap perlakuan orang tua dalam mengasuh anak. Bukan tidak mungkin anak menjadi trauma karena sikap orang tua yang menyakiti hati anak. Menurut (Irwanto, 2020) trauma berhubungan langsung dengan paparan langsung (direct personal experience) atau tidak langsung (witnessing) terhadap peristiwa atau kejadian yang intensitasnya di luar pengalaman manusia sehari-hari, terkadang dapat menimbulkan rasa takut yang luar biasa karena dipersepsikan akan mengancam kesejahteraan fisik dan jiwa, perasaan tidak berdaya, peristiwa tidak aman, kebingungan mengapa hal itu terjadi dan mengapa terjadi pada dirinya.

(Haenam, & Jongseok, 2021) dalam bukunya mengatakan stress setelah trauma seperti trauma yang dialami orang yang pernah mengalami peristiwa WTC 9/11, terror atau kebakaran kereta bawah tanah, serta bencana alam seperti gempa bumi. Kondisi ini diderita dua hingga tiga persen orang di seluruh dunia, untuk pria, kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan berat, bagi wanita, stress jenis ini mayoritas disebabkan oleh trauma akibat kekerasan seksual. Lebih lanjut (Haenam & Jongseok, 2021) menyatakan bahwa orang yang pernah mengalami kecelakaan akan terus mengingat kejadian itu, jika dia melewati tempat kejadian atau berada di keadaan seperti kejadian yang pernah dialaminya, gejala fisik akan muncul. Setelah kecelakaan berat yang dialami, mereka� tidak bisa menyetir, atau wanita yang pernah mengalami kekeraan seksual, takut ketika berjalan dan bertemu lelaki yang tidak dikenal. Di luar itu, ada orang yang pernah mengalami kekerasan fisik dan mental oleh orang tuanya, saat dewaa mereka takut terus menerus dan peluang terkena insomnia atau depresi terbuka luas.

Trauma termasuk kedalam bentuk gangguan psikologis seperti jenis pada gangguan trauma dan stress (PGP, 2020), dan yang cukup dekat dengan kelompok ini adalah gangguan stress pasca trauma (posttraumatic stress disorder) dimana kondisi ini digambarkan sebagai kondisi yang kompleks dan mempengaruhi somatic, kognitif, afektif, dan perilaku yang disebabkan oleh adanya trauma psikologis (van der Kolk, 1996 dalam (Penatalaksanaan Gangguan Psikologis Edisi 1, 2021). Selain itu, ada gangguan jenis lain yang mungkin muncul karena trauma. Menurut (Hasanah & Ambarini, 2020), ketika seseorang mengalami trauma pada masa lalunya, maka individu tersebut lebih beresiko lebih tinggi untuk mengalami status mental beresiko psikosis. Keadaan traumagenik (traumagenic state) adalah kondisi-kondisi yang berasal dari pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak. James (1989) dalam (Irwanto, 2020) menjelaskan gejala-gejala traumagenik diantaranya: Menyalahkan diri sendiri (self-blame), ketidakberdayaan (powerlessness), perasaan kehilangan dan dikhianati (loss and betrayal), fragmentasi pengalaman badani (fragmentation of bodily experience), stigmatisasi, erotisasi, perilaku merusak (destructiveness), gangguan identitas disosiatif (dissociative identity disorder), gangguan hubungan interpersonal intim (attachment disorder)

Jadi trauma memiliki dampak yang cukup berat bagi seseorang apabila tidak ditangani dengan baik, seperti sebuah racun yang bisa merusak kondisi psikologis seseorang dimasa yang akan datang.

Salah satu penawar dari racun saling menyakiti yang dibuat manusia adalah kapasitasnya untuk bersedia memaafkan (forgiveness) dan meminta maaf (apology). Melalui tindakan memaafkan dan meminta maaf, manusia dapat menyembuhkan luka-luka yang ditinggalkan masa lalu kepadanya; ia mampu merajut kembali ikatan relasi yang terputus; ia dapat membuat dirinya utuh kembali (Setiadi, 2016).

Memaafkan adalah kesediaan untuk menanggalkan kesalahan masa lalu yang menyakitkan, tidak lagi memendam amarah dan kebencian, dan menepis keinginan untuk menyakiti orang lain ataupun diri sendiri. Memaafkan berarti berhenti mengenang rasa sakit dan kekecewaaan akibat kesalahan orang lain. Dengan memaafkan, rasa sakit tidak perlu diungkit lagi. Dendam dan kekecewaaan pun tidak layak untuk dipelihara kembali. Memaafkan berarti memindahkan focus dari menyalahkan orang lain menuju penyembuhan luka dan penghancuran dendam di dalam hati. Memaafkan berkaitan dengan keikhlasan jiwa dan kebesaran hati seseorang (Adam, 2021). Lebih lanjut Philpot (2006) dalam (Gani, 2011) menyatakan memaafkan sebagai proses (atau hasil dari proses) yang meliputi perubahan perasaan dan sikap terhadap pelaku. Sejumlah peneliti memandangnya sebagai proses yang diniatkan dan disengaja, didorong oleh keputusan untuk memaafkan. Hasil dari proses ini adalah menurunnya dorongan untuk memperta hankan perasaan tuntutan pelepasan emosi negative kepada pelaku.

Proses memaafkan memang membutuhkan waktu, (Enright, 2001) menyebutkan bahwa pemaafan membutuhkan rangkaian tahapan, yakni uncovering phase, decision to forgive phase, work phase, deepening phase . Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Dari & Tua, 2018) menyebutkan bahwa intervensi terapi pemaafan pada remaja korban perceraian orang tua dengan menggunakan model proses (Enright, 2001)dianggap efektif setelah melalui beberapa kali pertemuan. Diakhir penelitian, subjek mampu memaafkan orang tuanya.

Selain itu, penelitian (Zuanny, 2016) menyebutkan bahwa melalui terapi pemaafan, beberapa subjek menyadari bahwa kondisi yang terjadi disebabkan emosi dan pikiran negative yang terpendam dan tidak mampu dikelola, sehingga ingin diminimalisir agar keberfungsian tubuh menjadi optimal.

Hal yang sama akan dilakukan untuk penelitian ini, perbedaannya dengan penelitian lain adalah diharapkan adanya perubahan framing pada subjek penelitian terhadap trauma sehingga dapat meminimalisir trauma dan menimbulkan posttraumatic growth.�

 

Metode Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah seorang wanita inisial (S) yang memiliki kemarahan kepada kedua orang tuanya. S berusia 34 tahun, bercerai dari suaminya setelah menikah sekitar 8 tahun. Pernikahan mereka tanpa adanya kehadiran seorang anak. Ia merasa marah kepada kedua orang tua, suami dan orang-orang disekitarnya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan single case design, yakni subjek memiliki control pada diri sendiri. Alasan menggunakan jenis ini adalah agar peneliti dapat mempelajari perubahan perilaku yang muncul akibat dari intervensi/perlakuan tertentu yang diberikan terhadap subjek. Menurut (Burns & Riley-Tillman, 2009) desain A-B-A adalah jenis desain yang menyatakan perubahan dalam hasil data dari fase awal ke fase intervensi. A adalah baseline, B adalah perlakuan yang diberikan (treatment), A selanjutnya merupakan pengukuran akhir� untuk menjawab apakah pernyataan prediksi data awal benar.

Data yang didapat berdasarkan pada beberapa tools psikologis yang diberikan kepada subjek yakni SSCT untuk melihat pandangan subjek terhadap figure orang tuanya. Untuk melihat trauma dalam diri subjek, peneliti menggunakan traumatic screening questionnaire (TSQ) dan mengukurnya kembali setelah melakukan intervensi forgiveness therapy selama 4 sesi, yang didahului dengan konseling awal sesi dan terminasi diakhir sesi dengan durasi masing-masing sesi selama 100 menit. Selain itu diberikan juga Decesion Forgiveness Scale (DFS) dari (Hook, 2007), dimana aitem ini mengukur penilaian seseorang dalam memutuskan untuk memaafkan seseorang.

1.      Analisa kasus

S merupakan seorang wanita yang saat ini berstatus janda tanpa anak. Ia mengalami trauma dikarenakan perlakuan orang tua yang menurutnya sangat tidak mempedulikan dirinya saat ia kecil. Selain itu ia juga mengalami masalah dalam pernikahan yang membuat ia tidak percaya diri dalam menjalani hubungan. Perilaku manipulative dari suami membuat ia tidak tahan menjalani pernikahannya dan harus diakhiri setelah delapan tahun menikah.

Menurut S, orang tuanya memiliki karakteristik gaya pengasuhan yang otoriter, dimana ia kurang mendapatkan kesempatan untuk mengeksplorasi pikiran serta perasaannya saat ia kecil. Hal ini sesuai dengan Baumrind yang menyebutkan bahwa gaya pengasuhan otoriter membuat anak tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Contoh sederhananya adalah ia merasa �dipaksa� untuk terus belajar yang membuat ia jengah. Ia jarang bergaul dengan teman-temannya karena ia harus selalu mengikuti les apapun yang menurut orang tuanya itu adalah yang terbaik bagi S. tetapi di satu sisi, S merasa tidak bahagia, ia kehilangan masa kanak-kanaknya dan merasa tidak bersemangat dalam belajar. Setiap belajar, ia merasa ketakutan yang sangat besar dan membenci pelajaran tertentu. Antusiasnya menjadi minim dan membuat ia kesal serta memiliki perasaan tidak berdaya dengan pelajaran-pelajarannya. Ia mengatakan bahwa ia membenci kedua orang tuanya yang memaksa ia untuk selalu mengikuti kehendak mereka. (Baskoro, 2019) menyatakan bahwa peran ayah dan ibu sebagai kompas dan berperan penting dalam pengasuhan anak dan memenuhi semua kebutuhan anak. Hal ini yang tidak didapatkan oleh S dimasa kecilnya. ���

2.      Integrasi hasil tes

Berdasarkan tes yang dilakukan diawal sesi, hasil SSCT menyebutkan bahwa ia melihat hal yang buruk mengenai kedua orang tuanya. Framing yang terbentuk dari pikirannya mengenai orang tuanya adalah orang tua S yang egois dan tidak mengerti keadaan S saat kecil. Ayah yang kurang peduli dan ibu yang dominan merupakan kombinasi negative dalam mengasuh S saat kecil.

Trauma S berada dalam kondisi yang berat dan belum mampu memaafkan kedua orang tuanya dan orang yang menyakitinya dahulu.

3.      Pelaksanaan terapi

Terapi dilakukan dengan total 6 sesi� berdasarkan pada langkah-langkah forgiveness therapy dari (Enright, 2001), diantaranya :

a)      Konseling awal untuk menggali inti masalah yang dihadapi S, seperti symptom trauma yang muncul selama beberapa tahun belakangan

b)      Uncovering phase (saat-saat mengalami kejadian yang menyakitkan dan berulang memikirkannya)

c)      Decision to forgive phase (mendapatkan pemahaman tentang memaafkan)

d)      Work phase (memunculkan empati)

e)      Deepening phase (mendapatkan kebermanfaatan dari memaafkan dan memaknai dengan cara baru dalam membangun hubungan)

f)       Terminasi

 

Hasil dan Pembahasan

Forgiveness therapy dilakukan kepada S dengan menggunakan pattern matching dimana ini merupakan bentuk analisa data yang digunakan untuk membandingkan kondisi sebelum terapi dan sesudah terapi diberikan.

Dari hasil konseling, subjek terlihat tidak nyaman jika kembali mengingat masa lalunya. Perilaku yang muncul adalah wajah yang sendu, kesedihan (menangis), terlihat tidak tenang, nada suara meninggi yang membuktikan adanya kemarahan dalam diri S terhadap masa lalu dan perlakuan orang tuanya. Ia merasa gagal menjadi dirinya sendiri hingga usianya sekarang 38 tahun.

Menurut DSM V (Association, 2013) beberapa ciri trauma diantaranya mengalami langsung peristiwa trauma, mengalami paparan yang berulang atau ekstrim terhadap bagian detil dari peristiwa trauma, ingatan yang berulang tidak sengaja dan menganggu dari peristiwa traumatic, dan berupa penghindaran ingatan yang mengganggu tersebut.

 

 

Tabel 1

Data Hasil Forgiveness Therapy

Keterangan

Sebelum Terapi

Terapi

Sesudah Terapi

Sesi 1

Menangis, marah, membenci kedua orang tua, trauma berat akan peristiwa masa lalu dari pengasuhan orang tua, sering mengalami mimpi buruk

Menggali informasi dan psikoedukasi memaafkan

Mengangguk-anggukkan kepala, merasa katarsis emosional

Sesi 2

Mengingat-ingat peristiwa masa lalu (ditarik kembali kepada kejadian yang dianggap sangat menimbulkan trauma),

Uncovering Phase

Sedih dan menangis. Belum bisa memaafkan.

Sesi 3

Mulai memahami makna terapi memaafkan

Decision Phase

Muncul harapan dan belajar mengenai penderitaan dalam arti positif

Sesi 4

Framing berbeda dalam melihat masa lalu

Work Phase

Ada perubahan positif dan melihat fakta keadaan diri hari secara positif akibat peristiwa traumatis masa lalu

Sesi 5

Tersenyum, segar,

Deepening Phase

Muncul insight baru mengenai masa lalu dan menyatakan sudah memaafkan orang tuanya

Sesi 6

Tersenyum, wajah cerah, afek bahagia

Terminasi

Mengerti mengapa ia perlu memaafkan dan mengatakan bahwa memaafkan membuat hidup menjadi lebih bahagia

Dari tabel diatas, terlihat ada perubahan yang cukup signifikan dari awal sesi sampai dengan sesi usai dan menunjukkan bahwa forgiveness therapy dapat membantu memulihkan trauma masa lalu seseorang apapun awal permasalahannya. Dari sesi pertama, subjek melakukan katarsis, perilaku yang tampak adalah adanya kesedihan yang cukup besar dan menangis dalam ruang konseling. Pada sesi ini subjek diberikan pemahaman berupa edukasi mengenai memaafkan.

Pada sesi kedua, perasaan sedih masih ada karena pada sesi ini subjek melakukan konfrontasi terhadap traumanya tersebut dengan memunculkan kembali peristiwa yang membuat ia tidak nyaman. Ia mengatakan masih belum bisa memaafkan karena mengingat masa lalu baginya sangat menyakitkan. Pada sesi ketiga, mulai muncul harapan positif dalam diri S terhadap framing yang selama ini ia ciptakan pada kedua orang tuanya. Pada sesi keempat, ia mulai melihat bahwa dengan masa lalu yang selama ini terjadi serta peristiwa traumatis muncul membuat ia menjadi pribadi yang lebih tangguh dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Ia juga mengatakan bahwa ia adalah pribadi mandiri dengan menyebutkan hal-hal positif lainnya. Pada sesi kelima ia menyatakan sudah memaafkan kedua orang tuanya dan pada sesi terakhir ada pernyataan bahwa ia lebih bahagia dan melepaskan semua trauma yang selama ini terjadi dalam diri. Hasil tes DFS setelah terapi juga menunjukkan perubahan yang signifikan. Dengan demikian, dari hasil penelitian ini, forgiveness therapy dapat dirasakan manfaatnya dan efektif digunakan untuk mengurangi trauma masa lalu karena pola asuh orang tua.

 

Kesimpulan

Pesan yang dapat disampaikan kepada subjek adalah terapi memaafkan ini bisa digunakan untuk peristiwa negative yang mempengaruhi pikiran subjek S agar ia semakin positif dalam pengembangan dirinya kedepan. Sedangkan untuk peneliti selanjutnya dapat menggunakan lebih banyak subjek yang terlibat dan pendekatan kuantitatif untuk membuktikan keefektifan terapi ini secara kolektif.

 


BIBLIOGRAFI

 

Adam. (2021). Seni Memaafkan : Bagaimana Menjadi Pribadi yang Kuat dengan Memaafkan. Bright Publisher.

 

Association, American Psychiatric. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM-5�). American Psychiatric Pub. Google Scholar

 

Baskoro. (2019). Sadar Parenting. Surabaya: Sastra Jendra Media.

 

Burns, Matthew, & Riley-Tillman, T. Chris. (2009). Response to Intervention and Eligibility Decisions: We Need to Wait to Succeed. Communique, 38(1), 1�10. Google Scholar

 

Dari, Model Proses, & Tua, Korban Perceraian Dalam Memaafkan Orang. (2018). Efektivitas Terapi Pemaafan Dengan Model Proses Dari Enright Untuk Membantu Remaja Korban Perceraian Dalam Memaafkan Orang Tua. Jurnal Psikologi Volume, 11(1). Google Scholar

 

Enright, Robert D. (2001). Forgiveness is a choice: A step-by-step process for resolving anger and restoring hope. American Psychological Association. Google Scholar

 

Foa, Edna B., Davidson, Jonathan R. T., & Frances, Allen. (1999). Treatment of posttraumatic stress disorder. The Journal of Clinical Psychiatry, 66(16), 1�76. Google Scholar

 

Gani, Asep Haerul. (2011). Forgiveness therapy. Yogyakarta: Kanisius.

 

Haenam, K & Jongseok, P. (2021). Kupikir Segalanya Akan Beres Saat Aku Dewasa; Hal-Hal yang Perlu Diketahui di Masa Muda. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Hasanah & Ambarini. (2020). INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental. Surabaya. Google Scholar

 

Hook, Joshua N. (2007). Forgiveness, individualism, and collectivism. Google Scholar

 

Irwanto, Kumala. (2020). Memahami Trauma Dengan Perhatian Khusus Pada Masa Kanak-Kanak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Penatalaksanaan Gangguan Psikologis Edisi 1. (2021). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Savitri. (2021). A Handbook for Self-Love Menjadi Pemaaf dan Berterimakasih pada Diri Sendiri. Briliant.

 

Setiadi, Iman. (2016). Psikologi positif: Pendekatan saintifik menuju kebahagiaan. Gramedia Pustaka Utama. Google Scholar

 

Zuanny, Iyulen Pebry. (2016). Terapi pemaafan untuk meningkatkan kebermaknaan hidup warga binaan pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan. Universitas Gadjah Mada. Google Scholar

 

Copyright holder:

Lenny Utama Afriyenti (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: