Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 2, Februari 2022

 

PERTANGGUNGJAWABAN PENERIMA KUASA MENJUAL SEKALIGUS SEBAGAI PEMBELI DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) TIDAK LUNAS DENGAN AKTA NOTARIL

 

Ni Kadek Mekar Sari, Farida Patittingi, Kahar Lahae

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai sejauhmana pertanggungjawaban penerima kuasa menjual yang sekaligus bertindak sebagai pembeli dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tidak lunas yang dibuat dengan akta notaril, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode penelitian hukum Normatif, merupakan penelitian dengan mengkaji kaidah-kaidah hukum atau norma norma hukum positif guna menentukan apakah suatu peristiwa itu berdasarkan hukum. Berdasarkan penelitian ini telah ditemukan bahwa pertanggungjawaban penerima kuasa menjual yang sekaligus bertindak sebagai pembeli dalam PPJB tidak lunas yang dibuat dengan akta notaril, bahwa penerima kuasa bertanggungjawab atas pelunasan pembayaran terhadap PPJB yang belum lunas sebagaimana yang termuat dalam isi PPJB. Namun mengenai pertanggungjawabanya terhadap kuasa menjual yang diterimanya pertanggungjawaban ini lebih tepat ditujukan kepada notaris yang telah membuat akta kuasa tersebut karena telah membuat akta kuasa menjual dengan PPJB yang belum lunas yang menimbulkan ketidakpastian hukum kepada para pihak.

 

Kata Kunci:�� penerima kuasa menjual; pembeli dalam PPJB; PPJB tidak lunas; akta kuasa menjual

 

Abstract

This research aims to analyze the extent to which the accountability of the recipient of the power of sale who at the same time acts as a buyer in the Non-Paid Buying and Selling Binding Agreement (PPJB) made with a notaril deed, the research method used in this study is a normative legal research method, is a study by reviewing the rules of law or norms of positive legal norms to determine whether an event is based on law. Based on this research, it has been found that the liability of the recipient of the power of sale who at the same time acts as a buyer in the PPJB is not paid off made by a notaril deed, that the recipient of the power of attorney is responsible for the repayment of payments against PPJB that have not been paid off as contained in the contents of the PPJB. But regarding his accountability for the power of sale that he received this liability is more appropriately addressed to the notary who has made the deed of power because it has made the deed of power of sale with ppjb that has not been paid off which causes legal uncertainty to the parties.

 

Keywords:the receiver of the power to sell; buyers in PPJB; PPJB is not paid off; deed of power of sale

 

Received: 2022-01-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-02-20

 

Pendahuluan

Seseorang dalam melakukan suatu perbuatan seringkali membutuhkan bantuan dari orang lain guna mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum tententu, hal ini dapat terjadi dikarenakan beberapa alasan misalkan adanya jarak, waktu, situasi maupun keadaan yang menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan perbuatan hukum itu sendiri. Perbuatan hukum dengan mewakili atas nama orang lain ini biasa disebut dengan pemberian kuasa. Pemberian kuasa seiring perkembangannya dapat dilakukan dengan melalui akta Notaril dimana akta tersebut dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam pembuatan akta otentik yakni seorang Notaris. Akta otentik merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Kekuatan pembuktian sempurna adalah alat bukti yang sudah tidak perlu dilengkapi dengan alat bukti lain, tetapi masih memungkinkan pembuktian perlawanan (Achmad Ali & Wiwie Heryani, 2015).

Mengenai peraturan pemberian kuasa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata. Pemberian kuasa dalam KUHPerdata terbagi atas dua yakni Surat Kuasa Umum dan Surat Kuasa Kusus, Surat Kuasa Khusus sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1795 KUHPerdata yaitu surat kuasa mengenai hanya satu kepentingan tententu atau lebih sedangkan Surat Kuasa Umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1796 KUHPerdata yaitu surat kuasa meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa, tetapi hanya meliputi tindakan-tindakan pengurusan. Sedangkan untuk melakukan tindakan pemilikan seperti memindahtangankan benda-benda, membebankan benda-benda tersebut sebagai jaminan, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.

Pemberian kuasa pada umumnya bertujuan untuk mewakili kepentingan si pemberi kuasa, namun pada prakteknya pemberian kuasa juga digunakan untuk mewakili kepentingan si penerima kuasa, dalam kasus demikian digunakan dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang telah dibayar lunas yang kemudian diikuti dengan pemberian kuasa menjual, sehingga Notaris biasanya membuat akta kuasa yang didalamnya memuat pemberian kuasa dari penjual kepada pembeli yang dalam hal ini berupa kuasa untuk menjual objek dalam PPJB tersebut. Akta Kuasa Menjual ini bertujuan untuk memberi perlindungan hukum (kepastian hukum) kepada si Pembeli dalam PPJB Lunas yang juga merupakan penerima kuasa menjual. Kuasa Menjual yang dibuat tersebut sifatnya tidak dapat ditarik kembali atau bersifat mutlak (Siti Anisah, 2017).

Akta Kuasa menjual yang dibuat oleh seorang Notaris bertujuan memberikan kepastian hukum kepada para pihak dalam PPJB lunas terutama kepada si pembeli yang merupakan penerima kuasa itu, namun muncul sebuah kasus dimana kuasa menjual dibuat dalam PPJB yang belum lunas atau tidak lunas dibayar, sebagaimana yang terjadi antara Natalia Natiwidjaja dan Herawati, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1846K/Pdt/2017 dalam sengketanya Natalia Natiwidjaja selaku pemilik hak atas tanah Nomor 2321/Grogol Selatan seluas � 298 M2 (kurang lebih dua ratus sembilan puluh delapan meter persegi) bermaksud akan menjual tanah miliknya tersebut kepada Herawati, yang kemudian akan dibayar oleh Herawati dalam 2 (dua) tahap yakni pada tahap pertama sebesar Rp.850.000.000,00-(delapan ratus lima puluh juta rupiah) dan pada tahap kedua sebesar Rp.2.200.000.000,00- (dua miliar dua ratus juta rupiah) sehingga total keseluruhan pembayaran yang telah disepakati adalah sebesar Rp.3.050.000.000,00-(tiga miliar lima puluh juta rupiah). Pada tahap pembayaran pertama Natalia Natiwidjaja dan Herawati datang menghadap kepada Notaris Eka Widiasmaran, S.H.,M.Kn untuk membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang kemudian dituangkan dalam akta PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012. PPJB yang dibuat tersebut diikuti pula dengan pemberian kuasa untuk menjual oleh Natalia Natiwidjaja kepada Herawati yang dibuat secara terpisah dalam bentuk Akta Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012, dalam PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 pada pasal 3 terdapat klausula yang mengatur bahwa kuasa untuk menjual mempunyai kekuatan berlaku apabila Herawati selaku pembeli telah membayar lunas harga jual beli tanah tersebut sesuai dengan harga yang telah disepakati. Namun dalam perjalananya belum lunas harga jual beli PPJB tersebut Herawati telah menjual tanah milik Natalia Natiwidjaja kepada Ade Ernawati Sukarna dengan berdasarkan Akta Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012 yang diberikan oleh Natalia Natiwidjaja kepada Herawati. Jual beli antara Herawati dan Ade Ernawati Sukarna telah dituangkan dalam Akta Jual Beli (AJB) Nomor 429/ 2012 tanggal 26 Desember 2012 yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT Haryono, S.H.,MBA. Berdasarkan AJB tersebut telah dilakukan balik nama terhadap sertifikat hak milik Nomor 2321/Grogol Selatan dari Natalia Natiwidjaja menjadi Ade Ernawati Sukarna.

Berdasarkan kasusnya Natalia Natiwidjaja mengajukan gugatan wanprestasi kepengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan mengugat Herawati (Tergugat I), Eka Widiasmaran,S.H.,M.Kn (Tergugat II), Ade Ernanawati Sukarna (Tergugat III), Haryanto,S.H.,MBA (Tergugat IV), dan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia cq. Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan (Turut Tergugat). Dalam upaya hukumnya Natalia Natiwidjaja telah mendapat Putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 114/Pdt.G.2013/PN.Jkt.Sel, dan dari Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 603/PDT/2015/PT.DKI,serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 1846K/Pdt./2017. Berdasarkan putusan melalui Pengadilan tersebut serta Putusan Mahkamah Agung yang memiliki kekuatan hukum tetap, terhadap gugatan yang diajukan oleh Natalia Natiwidjaja Pengadilan tersebut serta Putusan Mahkamah Agung menyatakantidak dapat diterima�. Salah satu point penting dalam pertimbangan hakim yakin:

bahwa format gugatan yang paling tepat untuk persengketaan antara pengugat dengan para tergugat adalah gugatan perbuatan melawan hukum karena melibatkan beberapa pihak yang bukan pihak dalam akta pengikatan jual beli nomor 3 tanggal 23 april 2012 tetapi melibatkan pula pihak lain dalam akta jual beli nomor 429/2012 tanggal 26 desember 2012 dengan objek yang sama�

Berdasarkan putusan Pengadilan tersebut serta putusan Mahkamah Agung, Herawati selaku pembeli dalam PPJB tidak lunas serta selaku penerima kuasa yang telah menjual tanah milik Natalia Natiwidjaja kepada pihak ketiga, tidak ditemukan pertimbangan serta putusan Hakim yang mewajibakan Herawati bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya yang nyata telah merugikan Natalia Natiwidjaja. Herawati selaku Pembeli yang telah melakukan wanprestasi atau cidera janji karena telah menjual tanah milik Natalia Natiwidjaja kepada pihak ketiga sebelum melunasi jual beli dalam PPJB Nomor 3, berdasarkan tindakannya Herawati selaku penerima kuasa juga dapat dikatakan telah menyalahgunakan kuasa yang telah diberikan Natalia Natiwidjaja kepadanya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 bahwa kuasa untuk menjual berlaku apabila Herawati telah membayar lunas harga jual beli dalam PPJB tersebut (Ariella & Pandamdari, 2019). Namun penulis berpendapat lain, karena berdasarkan bunyi Pasal 3 PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 tidak disebutkan secara tegas mengenai kuasa menjual yang dimaksud. Apakah hanya kuasa menjual yang dimaksud hanya berupa kuasa yang termuat dalam PPJB atau kuasa menjual yang juga dibuat secara terpisah.

Herawati atas tindakannya yang telah merugikan Natalia Natiwidjaja wajib bertanggungjawab kepada Natalia Natiwidjaja selaku pemilik sah atas tanah tersebut, pada pengertiannya Pertanggungjawaban merupakan suatu hal yang dapat dituntutkan kepada seseorang jika terdapat perbuatan melanggar hukum yang telah dilakukannya.Sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Pertanggungjawaban hukum sendiri dalam hukum perdata dibagi menjadi beberapa bagian, dalam bukunya (Abdulkadir, 2010) mengatakan bahwa teori mengenai pertanggungjawaban hukum akibat perbuatan melanggar hukum terbagi atas 3 (tiga) yakni (Ariella & Pandamdari, 2019):

1)      Tanggungjawab akibat melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability) tergugat harus telah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan pengugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat mengakibatkan kerugian

2)      Tanggungjawab akibat perbuatan meanggar hukum yang dilakukan karenaa kelalaian (negligence tort liability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (interminglend).

3)      Tanggungjawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (strick liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan.

4)      Berdasarkan beberapa uraian diatas penulis tertarik melakukan penelitian mengenai sejauhmana pertanggungjawaban Herawati selaku pembeli dalam PPJB tidak lunas serta pertanggungjawab Herawati sebagai penerima kuasa menjual yang telah menjual tanah milik Natalia Natiwidjaja berdasarkan kuasa yang diterimanya yang kemudian dibuat secara terpisah oleh Notaris.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penlitian hukum Normatif dimana penelitian mengacu pada penerapan kaidah atau norma-norma hukum positif yang berlaku (Mahmud Marzuki, 2013), gunamemberikan pendapat hukum sebagai dasaruntuk menentukan apakah sesuatu itu telah sesuai hukum yang berlaku (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2019). Dalam penelitian hukum normatif ini, fokus pada kajian tertulis yakni menggunakan data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, asas-asas hukum, prisip-prinsip hukum dan dapat berupa hasil karya ilmiah para sarjana (doktrin) (Irwansyah, 2021).

 

Hasil dan Pembahasan

Pada suatu perjanjian atau kontrak pada dasarnya selain adanya kesepakatan antara para pihak untuk melakukan perjanjian terdapat beberapa asas yang harus ditaati oleh para pihak. Salah satu asas yang penting dalam perjanjian yakni asas itikad baik, dimana asas ini ini memberikan artian bahwa dalam melakukan perjanjian baik diawal maupun sampai berakhirnya perjanjian harus didasarkan pada itikad baik dari para pihak. Menurut ajaran justum pretum dalam perjanjian harus didasarkan pada asas keadilan (rechtvaardiheid) yang dalam undang-undang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang dikenal dengan itikad baik (goed trouw), kepatutan, atau kepantasan (billijkheid). Ajaran ini seringkali dihubungkan dengan ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstanding headen) alasan dengan penyalahgunaan keadaan dapat digunakan sebagai dasar menuntut dibatalkannya suatu perjanjian (Budiono, 2009).

Asas itikad baik bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada para pihak dalam perjanjian bahwa terdapat kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batasan-batasan yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak serta asas ini menjadi penentu patut dan layaknya suatu tindakan para pihak dalam menjalankan perjanjian tersebut.

Terjadinya pelanggaran terhadap asas itikad baik sering kali menimbulkan tindakan wanprestasi pada salah satu pihak yang menyebabkan kerugian pada pihak lain. Dimana pada umumnya wanprestasi sendiri terbagi atas 4 (empat) kategoriyakni (Miru, 2007):

1)      Sama sekali tidak melakukan prestasi

2)      Prestasi yang dilakukan tidak sempurna

3)      Terlambat memenuhi prestasi

4)      Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Wanprestasi atau ingkar janji terhadap suatu perjanjian dapat dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi. Pada konsep hukum perikatan (verbintenissenrecht) ditemukan bahwa seseorang baru dapat dipertanggungjawabkan apabila adanya hubungan hukum yang lahir dari sebuah perjanjian yang dikenal sebagai hubungan kontraktual, atau seseorang juga dapat dipertanggungjawabkan apabila adanya suatu hubungan hukum yang diatur oleh undang-undang (Kusumohamidjojo, 2015). Pertanggungjawaban dalam arti ini dapat diberikan jika telah terjadi perbuatan melawan hukum yang lahir dari sebuah perikatan atau perjanjian.

Perbuatan melawan hukum yang dalam hukum perikatan sebagaimana maksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dimana unsur-unsur yang hurus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum bahwa:

a)      Terdapat suatu perbuatan, maksudnya dalam suatu perbuatan melawan hukum terdapat suatu tindakan dari si pelaku yang umumnya diartikan sebagai tindakan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

b)      Perbuatan tersebut haruslah melawan hukum, maksudnya suatu perbuatan itu harus melawan hukum yang dalam artinya harus melanggar peraturan perundang-undangan yang melanggar hak yang oleh undang-undang dilindungi, perbuatan pelaku yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, termasuk pelanggaran terhadap kesusilaan, dan perbuatan pelaku yang bertentangan dengan sikap dimasyarakat untuk kepentingan orang lain.

c)      Terdapat kesalahan dari pelaku, maksudnya bahwa adanya unsur kesalahan dala satu perbuatan melawan hukum seperti adanya unsur kesengajaan, kelalaian, serta dalam perbuatannya tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf

d)      Terdapat kerugian korban, maskudnya bahwa adanya kerugian karena perbuatan melawan hukum baik kerugian material ataupun kerugian immaterial.

e)      Terdapat hubungan kausalitas, maksudnya bahwa hubungan antara perbuatan dengan kerugian berkaitan, perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang dialami juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum yang dalam Yurisprudensi HIR 1919 (Arrest Lindebauw) tanggal 31 Januari 1919 mengartikan perbuatan melawan hukum secara luas digolongkan menjadi 4 (empat) yakni:

1.      Melanggar hak orang lain, adalah melanggar hak subjektif seseorang. Hak subjektif yang diakui oleh yurispudensi adalah hak perorangan.

2.      Bertentangan dengan kewajiban si pelaku, yakni kewajiban yang berdasarkan oleh hukum tertulis maupun tidak tertulis yang menyangkut tugas seseorang peraturan yang wajib dilakukannya, dimana berdasarkan doktrin ilmu hukum terdapat 5 (lima) syarat yang bersifat alternatif untuk dapat dikategorikan bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat/pelaku yakkni:

a.       Kepentingan korban dilindungi oleh kaidah yang dilanggar

b.      Kepentingan korban tekena/terancam karena pelanggaran hukum

c.       Kepentingan korban termasuk lingkungan kepentingan yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata

d.      Pelanggaran terhadap kaidah hukum bertentangan dengan kepatutan terhadap korban, dengan memperhatikan sikap dan prilaku korban

e.       Tidak ada alasan pembenar menurut hukum

3.      Melanggar kaidah kesusilaan

4.      Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dikalangan masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

Berdasarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan kriteria perbuatan melawan hukum yang disebutkan diatas, unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Herawati telah terpenuhi. Berkaitan dengan kriteria perbuatan melawan hukum yang terpenuhi yang dilakukan oleh Herawati adalah perbuatan melawan hukum melanggar hak orang lain, yakni hak subjektif dari Natalia Natiwidjajaja selaku pemilik sah sebidang tanah Sertifikat hak milik Nomor2321/Grogol Selatan dan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengankewajiban si pelaku, dimana Herawati telah melalaikan kewajibannya untuk melakukan pembayaran pelunasan terhadap PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 yang dibuatnya dengan Natalia Natiwidjaja serta telah mengalihkan Tanah hak milik Natalia Natiwidjaja kepada pihak ketiga yakni Ade Ernawari Sukarna dengan menggunakan kuasa menjual yang telah diberikan oleh Natalia Natiwidjaja kepadanya sebagaimana Kuasa Nomor 4 tanggal 23 April 2012 yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris Eka Widiasmaran,S,H, M.Kn. Tindakan Herawati ini telah mengakibatkan kerugian pada Natalia Natiwidjaja selaku pemilik sah sebidang tanah Hak Milik Nomor 2321/Grogol Selatan karena telah kehilangan hak miliknya atas tanah tersebut.

Wanprestasi terjadi karena pada awalnya telah terjadi perbuatan melawan hukum, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh (Harahap, 2017) bahwa tindakan debitur (pembeli) dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat waktu atau tak layak, hal tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap hak kreditur (penjual). Setiap pelanggaran terhadap hak orang lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Dikatakan pula wanprestasi merupakan species sedangkan perbuatan melawan hukum adalah genusnya (Harahap, 2017). Namun terdapat beberapa perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, antara lain sebagai berikut:

a)      Dilihat dari segi sumber hukumnya bahwa wanprestasi sebagaimana dalam Pasal 1243 KUHPerdata adalah timbul dari sebuah persetujuan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat asas perjanjian yang menegaskan bahwa apa yang diperjanjikan harus dipenuhi, dan debitur dikatakan wanprestasi jika tidak memenuhi prestasi sama sekali, tidak memenuhi prestasi tepat waktu, atau tidak memenuhi prestasi secara layak. Sedangkan Perbuatan melawan hukum sebagaimana menurut Pasal 1365 KUHPerdata adalah timbul akibat perbuatan orang, yang merupakan perbuatan melanggar hukum baik dalam bentuk pelanggaran pidana atau dalam bentuk pelanggaran maupun kesalahan perdata ataupun sekaligus bertindih delik pidana dan kesalahan perdata, yang jika perbuatannya bertindih secara berbarengan maka dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban perdata.

b)      Dilihat dari segi timbulnya hak untuk menuntut, bahwa atas dasar wanprestasi hak untuk menuntut kerugian sebagaimana dalam Pasal 1243 KUHPerdata pada prinsipnya diperlukan proses ingebrekkestelling atau pernyataan lalai atau in mora stelling (interpellation) tetapi proses tersebut dapat diterapkan dengan mencantumkan klausula yang menegaskan bahwa debitur langsung berada dalam keadaan wanprestasi tanpa perlu didahului dengan somasi. Sedangkan perbuatan melawan hukum tidak diperlukan somasi, ketika terjadi perbuatan melawan hukum maka pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi.

c)      Dilihat dari segi ganti rugi bahwa tuntutan ganti rugi dalam wanprestasi bertitik tolak sebagaimana dalam Pasal 1237 KUHPerdata yakni perhitungan ganti rugi dihitung sejak terjadinya kelalaian, dan dalam Pasal 1236 dan 1243 KUHPerdata mengatur mengenai jenis dan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut yang terdiri dari kerugian yang dialami kreditur, keuntungan yang seharusnya diperoleh jika perjanjian dipenuhi, dan ganti rugi bunga. Sedangkan Perbuatan melawan hukum bertitik tolak pada Pasal 1365 KUHPerdata yang tidak menyebutkan bagaimana bentuk ganti rugi, dan tidak menyebutkan mengenai rincian ganti rugi, namun ganti rugi digolongkan menjadi ganti rugi nyata (actual loss) yang dapat diperhitungkan secera rinci, objektif, dan konkret atau biasa disebut kerugian materil dan kerugian immaterial yang berupa ganti rugi pemulihan keadaan semula.

Pada sistem peradilan di Indonesia tidak dibenarkan mencampuradukan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum dalam sebuah gugatan, karena dianggap melanggar tata tertib beracara atas alasan-alasan keduanya sehingga harus diselesaikan tersendiri, namun dimungkinkan untuk mengabungkan atau mengkomulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas pemisahannya (M. Yahya Harahap, 2016)

Sebagaimana penjabaran diatas Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Herawati diatas lebih spesifik digolongkan pada tindakan wanprestasi, dimana wanprestasi yang dimaksud adalah sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya yakni wanprestasi terhadap terlambatnya pemenuhan prestasi yang dilakukan oleh Herawati dikarenakan tidak dibayarkanya sisa pembayaran PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 sesuai dengan tanggal yang telah disepakati sebelumnya. Namun berdasarkan kasusnya Herawati juga telah menerima kuasa menjual dari Natalia Natwidjaja sebagaimana termuat klausula dalam PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 yang dibuat oleh Notaris Eka Widiasmaran, S.H., M. Kn, sebagaimana pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa:

apabila nanti pada waktunya setelah harga tanah tersebut dilunasi dengan bukti-bukti/kwitansi terlampir ternyata pihak pertama tidak dapat menandatangani akta Jual Beli secara resmi dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah oleh karena sesuatu hal, maka pihak pertama baik sekarang maupun nantinya dikemudian hari dengan ini memberikan kuasa untuk menjual kepada pihak kedua. Dengan demikian maka pihak kedua berhak mewakili atas nama pihak pertama dengan harga dan syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang dianggap baik oleh pihak kedua sendiri.

- dan untuk keperluan tersebut pihak kedua berhak menghadap dimana perlu, memberikan keterangan-keterangan membuat, suruh membuat dan menandatangani akta-akta atau surat-surat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanahdan atau Notaris serta instansi yang berwenang lainnya. Menyerahkan apa yang dijualnya, menerima pembayarannya serta memberikan tanda penerimaan (kwitansinya) dan selanjutnya pihak kedua berhak melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai maksud dan tujuan tersbeut diatas tidak ada suatu tindakan yang dikecualikan.

-kuasa tersebut merupakan bagian yang terpenting dan tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini, yang mana tanpa adanya kuasa termaksud maka perjanjian ini tidak akan dibuat oleh kedua belah pihak dan karenanya kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan berakhir karena sebab dan alasan apapun juga, termasuk pula sebab dan alasan yang termaktub dalam Pasal 1813 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan juga kuasa tersebut tetap beraku dan mengikat para ahli waris dari kedua belah pihak atau orang lain yang akan menerima hak dari padanya.�

Pada faktanya Herawati juga mendapat kuasa menjual yang juga dibuat terpisah dengan PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 yakni sebagaimana Akta Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012 yang juga dibuat oleh dan dihadapan Notaris Eka Widiasmaran,S.H.,M.Kn. Atas dasar kuasa yang diberikan oleh Natalia Natiwidjaja kepada Herawati dalam hal ini adalah Akta Kuasa Nomor 4 tanggal 23 April 2012, Herawati telah mejual tanah milik Herawati kepada Ade Ernawati Sukarna dan telah dituangkan dalam Akta Jual Beli (AJB) Nomor 429/2012 tertanggal 26 Desember 2012 yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris-PPAT Haryanto, S.H.,MBA. Dengan adanya AJB tersebut maka Tanah yang tadinya menjadi milik Natalia Natiwidjaja beralih menjadi milik Ade Ernawati Sukarna.

Sehingga muncul pertanyaan apakah pertanggungjawaban yang diminta pada Herawati hanya mengenai pertanggungjawaban dimana ia bertindak sebagai pembeli yang belum membayar lunas PPJB atau juga pertanggungjawaban dimana ia bertindak sebagai penerima kuasa untuk menjual serta telah menjual tanah milik Natalia Natiwidjaja kepada pihak ketiga?

Menurut Notaris Ria Trisnomurti bahwa dalam tindakannya sebagai penerima kuasa untuk menjual serta telah menjual kepada pihak ketiga yakni Ade Ernawati Sukarna adalah sah (Akta Jual Beli Nomor 429/2012 tertanggal 26 Desember 2012 yang dibuat oleh Notaris-PPAT Haryanto dianggap sah), karena pada dasarnya jika alas hak untuk menjualnya adalah Akta Kuasa Menjual yang terpisah dengan PPJB maka hal ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan jual beli kepada pihak ketiga, karena ia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan kuasa yang dimiliki, terlepas dari tidak diketahui adanya PPJB sebelum adanya akta kuasa tersebut (Trisnomurti, 2017). Artinya bahwa yang menjadi dasar untuk menjual adalah hanya Akta Kuasa Menjual yang diberikan Natalia Natiwidjaja sebagai pemilik sah atas tanah tersebut kepada Herawati. Berdasarkan hal tersebut Kuasa yang diberikan Natalia Natiwidjaja merupakan kuasa khusus yakni kuasa untuk melakukan satu atau lebih perbuatan hukum tertentu dalam hal ini kuasa untuk menjual tanah milik Natalia Natiwidjaja. Sehingga tindakan yang dilakukan Herawati adalah tindakan yang didasarkan kuasa yang telah diterimanya.

Berdasarkan pengamatan, penulis melihat bahwa dalam Akta Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012 pada isinya menyebutkan bahwa:

�khusus�

untuk dan atas nama serta mewakili pemberi kuasa sepenuhnya, menjual dengan harga yang dipadang baik oleh penerima kuasa, baik sebagian maupun seluruhnya dengan memakai syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang akan diuraikan dibawah ini atas:

-segala hak-hak dan kepentingan-kepentingan yang merupakan bagian atau miliknya pemberi kuasa berupa apapun yang timbul dan dapat dijalankan oleh penerima kuasa berkenaan dengan bidang tanah yaitu:�

Dalam kutipan isi akta di atas yang dibuat oleh Notaris Eka Widiasmara,S.H.,M.Kn tidak mengatur mengenai keberadaan PPJB yang tidak lunas atau mengikatnya PPJB yang tidak lunas tersebut, sehingga akta ini dalam bentuknya disebut juga akta kuasa umum yang berdiri sendiri seperti akta kuasa pada umumnya yang tidak terikat dengan perjanjian lainnya.Pengertian kuasa yang dimaksud disini adalah kuasa yang hanya untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa untuk menjual tanah milik pemberi kuasa bukan untuk kepentingan si penerima kuasa yang bertindak sebagai pembeli. Meskipun dalam PPJB yang tidak lunas tersebut menyatakan bahwa telah diberikan kuasa menjual oleh Natalia Natiwidjaja kepada Herawati namun tidak secara tegas menyebutkan bahwa telah dibuat juga Akta Kuasa Menjual yang terpisah dalam hal ini Akta Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012.

Berdasarkan penjelasan diatas penulis menilai bahwa Notaris Eka Widiasmaran,S.H.,M.Kn sebagai Notaris yang membuat akta PPJB Nomor 3 yang tidak lunas dan Akta Kuasa Menjual Nomor 4 yang terpisah dengan PPJB tidak lunas tersebut, yang dalam pembuatanya dibuat bersamaan yakni pada tanggal 23 April 2012, dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum berupa perbuatan melawan hukum yang bersifat aktif yang berarti Notaris melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain (Suhardini et al., 2018), Notaris Eka Widiasmaran,S.H.,M.Kn tidak hati-hati dalam membuat akta karena telah menimbulkan kerugian pada Natalia Natiwidjaja, dengan dibuatnya Akta Kuasa Menjual Nomor 4 yang terpisah dengan PPJB tidak lunastersebut memberikan ruang kepada Herawati untuk menggunakan akta kuasa tersebut sebelum dilunasinya PPJB Nomor 3. Meskipun tidak ada larangan mengenai pembuatan Akta Kuasa Menjual yang terpisah dengan PPJB tidak lunas (Arifin, 2019). Namun penulis menyimpulkan dengan adanya kuasa menjual tersebut telah memberikan ruang kepada Herawati untuk menggunakan kuasa tersebut sebulum ia melunasi pembayaran dalam PPJB Nomor 3.

Pada teorinya akta yang dibuat oleh seorang Notaris merupakan kehendak para pihak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undaang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, namun Notaris juga mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan hukum sebagaimana dalam Pasal 15 ayat 2 huruf e serta dituntut mempunyai pengetahuan terkait akta yang akan dibuat oleh para pihak, hal ini dilakukan guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak.

Dengan dibuatnya akta kuasa menjual yang terpisah dengan PPJB tidak lunas yang dibuat oleh Notaris Eka Widiasmaran, S.H.,M.Kn telah menimbulkan ketidak pastian hukum kepada para pihak yakni Natalia Natiwidjaja dan Herawati yang kemudian menimbulkan kerugian pada Natalia Natiwidjaja atas hilangnya hak milik atas Tanah yang sebelumnya menjadi haknya. Sehingga pertanggungjawab yang dituntutkan kepada Notaris Eka Widiasmaran, S.H., M. Kn adalah pertanggungjawaban atas dasar perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian kepada Natalia Natiwidjaja, dimana dalam memberikan pertanggungjawaban tersebut perlumemperhatikaan kedudukan Notaris dalam profesinya sebagai pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta otentik serta memperhatikan sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.

Merujuk pada teori yang dikemukan oleh Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggungjawab dimana ia membagi tanggungjawab menjadi 4 (empat) (Bachtiar dan Tono Sumarna, 2012):

1)      Pertanggungjawaban individu yaitu seseorang individu bertanggungjawab pada pelanggaranyang diperbuatnya sendiri;

2)      Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seseorang indivisdu bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang diperbuat oleh orang lain;

3)      Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seseorang individu bertanggungjawab pada pelanggaran yang dilakukannya secara sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

4)      Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seseorang individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Dari keempat pertanggungjawaban diatas, menurut penulis yang memenuhi kriteria pertanggungjawaban yang dapat dimintakan kepada Herawati adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seseorang individu bertanggungjawab pada pelanggaran yang dilakukannya secara sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian, karena akibat tindakannya telah melanggar atau tidak menepati janjinya yang sebagaimana telah dibuat dalam bentuk PPJB dengan Natalia Natiwidjaja sehingga menyebabkan kerugian terhadap Natalia Natiwidjaja.

Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1246 KUHPerdata dapat dibagi atas tiga unsur yakni:

1.      Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan atau kehilangan barang dan atau harta kepunyaan salah satu pihak yang diakibatkan oleh kelalaian pihak lainnya

2.      Bunga, yakni keuntungan yang seharusnya diperoleh oleh salah satu pihak yang lain tidak lalai dalam melaksanakannya

3.      Biaya, yakni biaya-biaya pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata/tegas telah dikeluarkan oleh pihak

Berdasarkan hal tersebut penulis berpendapat bahwa pertanggungjawaban yang dapat dimintai pada Herawati adalah pertanggungjawaban mengganti kerugian sesuai dengan perjanjian yang termuat dalam Akta PPJB Nomor 3 yang telah dibuat dengan Natalia Natiwidjaja, sebagaimana dalam Pasal 2 PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 yang berisi;

bahwa harga atas tanah tersebut diatas telah ditetapkan secara pasti oleh kedua belah pihak sebesar Rp.3.050.000.000.,- (tiga miliar limapuluh juta rupiah) jumlah uang mana dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama dengan perincian sebagai beriku:

1.      Sebesar Rp.850.000.000,- (delapanratus limapuluh juta rupiah) dibayar pada tanggal 22-3-2012 (duapuluh Maret duaribu duubelas) dengan kwitansi tersendiri.

2.      Sebesar Rp.2.2000.000.000.- (dua miliar duaratus juta rupiah) dibayar pada tanggal 29-6-2012 (duapuluh Sembilan Juni duaribu duabelas) dengan kwitansi tersendiri.

-apabila pada tanggal 29-6-2012 (duapuluh Sembilan Juni duaribu duabelas), pihak kedua tidak dapat melunasi pembayarannya maka untuk setiap hari kelambatannya pihak kedua dikenakan denda sebesar Rp.500.000,- perhari yang harus dibayar seketika dan sekaligus.

-denda tersebut berlaku untuk jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jatuh tempo,apabila setelah lewat waktu tersebut pembayaran tidak juga dilakukan, maka pihak pertama berhak membatalkan perjanjian secara sepihak sedangkan jumlah uang yang telah diterima akan dikembalikan kepada pihak kedua setelah rumah terjual oleh pihak pertama kepada pihak lain.�

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Herawati tidak melakukan pembayaran pada pembayaran kedua yakni pada tanggal 29-6-2012 (dua puluh Sembilan Juni dua ribu dua belas) sehingga jumlah ganti rugi yang harus dibayar terhitung sejak tanggal tersebut dan dibayar sesuai dengan jumlah yang ditentukan, begitu pula dengan denda yang telah disepakati sebagaimana dalam bunyi Pasal 2 dalam PPJB tersebut, hal ini juga sebagaimana diatur dalam Pasal 1250 KUHPerdata bahwa bunga-uang yang harus dibayar dinamakan moratoire interessen (bunga-bunga atas keterlambatan suatu kewajiban) disamping itu ada juga compensatoir interessen (bunga-bunga uang sebagai ganti kerugian yang diderita sebagai akibat dari ketiadaan pelaksanaan sama sekali atau akibat dari pelaksanaan secara kurang baik dari suatunkewajiban menurut perjanjian) (Prodjodikoro, 2011).

Pada prosesnya sengketa antara Herawati dan Natalia Natiwidjaja telah sampai dan putus pada Pengadilan baik tingkat pertama sampai dengan tahap kasasi hal ini menimbulkan kerugian yang lebih besar pada Natalia Natiwidjaja karena tidak hanya rugi karena telah kehilangan haknya atas tanah tersebut juga mengalami kerugian akibat sengketa yang berlarut-larut dalam pengadilan, sehingga Herawati juga bertanggungjawab menganti kerugian yaitu berupa pengantian biaya-biaya (ongkos-ongkos) yang telah dikeluarkan oleh Natalia Natiwidjaja untuk mengurustanah yang di persengketakan dalam Pengadilan.

Dalam menentukan besarnya ganti rugi yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti rugi yang harus dibayar harus sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semulai seandainya tidak terjadi kerugian, atau dengan kata lain ganti rugi menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andai kata perjanjian dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan melawan hukum. Dengan demikian ganti rugi harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terikat langsung dengan kerugian itu, seperti kemampuan atau kekayaan pihak-pihak yang bersangkutan (Miru, 2007). Berdasarkan hal ini penulis berpendapat bahwa ganti rugi tersebut haruslah dapat mengembalikan keadaan menjadi seperti semula dimana seandainya Herawati tidak melakukan wanprestasi terhadap PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 tersebut dan membayar sisa pembayaran beserta denda-denda maupun biaya-biaya yang ditimbulkannya.

Berdasarkan beberapa penjabaran diatas penulis menyimpulkan bahwa Herawati bertanggungjawab atas wanprestasi yang dilakukannya kepada Natalia Natiwidjaja dengan mengganti kerugian sesuai dengan isi dalam PPJB yang telah dibuat beserta bunga dan biaya-biaya yang timbul akibat wanprestasi yang dilakukannya. Namun mengenai jual beli yang dilakukan oleh Herawati dengan Ade Ernawati Sukarna Akta Jual Beli tersebut tetap dianggap sah karena yang menjadi dasar Herawati menjual adalah Akta Kuasa menjual yang berdiri sendiri yang tidak terikat dengan perjanjian apapun termasuk PPJB yang tidak lunas. Dilihat dari keseluruhan isi akta PPJB Nomor 3 dan Akta Kuasa Nomor 4, bahwa dalam akta kuasa menjual tersebut tidak menyebutkan telah dibuatPPJB tidak lunas sebelumnya, begitu pula sebaliknya dalam PPJB tidak lunas tersebut tidak secara tegas menyebutkan adanya akta kuasa menjual yang juga dibuat terpisah sebagaimana Akta Kuasa Menjual Nomor 4, sehingga untuk itu adanya peran Notaris yang juga bertanggungjawab terhadap pembuatan Akta Kuasa Menjual yang terpisah atau bediri sendiri tersebut karena dengan adanya akta kuasa yang dibuat oleh Notaris tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga memberikan kesempatan kepada Herawati untuk menggunakan kuasa yang terpisah tersebut yang kemudian menyebabkan kerugian kepada Natalia Natiwidjaja.

 

Kesimpulan

Pertanggungjawaban penerima kuasa menjual yang bertindak sebagai penjual sekaligus pembeli dalam PPJB tidak lunas dengan akta notaril, pertanggungjawaban penerima kuasa sebagai pembeli dalam PPJB tidak lunas hanya dapat dimintai sebatas pemenuhan prestasi dalam akta PPJB yang belum lunas serta penggantian biaya-biaya dan ongkos-ongkos yang timbul akibat sengketa terhadap objek PPJB sedangkan pertanggungjawabannya sebagai penerima kuasa menjual hal ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaba karena berdasarkan bentuk akta kuasa menjual yang terpisah dengan PPJB tidak lunas tersebut, akta kuasa menjual ini tidak terikat dengan perjanjian apapun dan diberikan khusus untuk menjual kepada pihak ketiga. Yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas akta kuasa tersebut adalah notaris yang membuat akta kuasa menjual yang terpisah dengan PPJB tidak lunas karena dengan dibuatnya akta kuasa menjual yang terpisah ini menimbulkan ketidakpastian hukum kepada para pihak.

 

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Abdulkadir, M. (2010). Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

 

Achmad Ali dan Wiwie Heryani. 2015. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Prenada Group, Jakarta. Hal.81

 

Ariella, L. C., & Pandamdari, E. (2019). Penyalahgunaan Pemberian Kuasa Untuk Menjual Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Oleh Penerima Kuasa (Contoh Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1846/K/PDT/2017). Jurnal Hukum Adigama, 2(1), 817�841. Google Scholar

 

Arifin, T. (2018). Wawancara dengan Notaris.

 

Budiono, H. (2009). Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Citra Aditya Bakti. Google Scholar

 

Harahap, Y. (2017). Hukum acara perdata: tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Sinar Grafika. Google Scholar

 

Irwansyah. (2021). Penelitian Hukum (Pilihan Metode & Praktik Penulisan Artikel). Mirra Buana Media, Yogyakarta. 98

 

Kusumohamidjojo, B. (2015). Perbandingan Hukum Kontrak (Comparative Contract Law). Bandung, Penerbit Mandar Maju. Google Scholar

 

Mahmud Marzuki, P. (2013). Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Google Scholar

 

Miru, A. (2007). Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Google Scholar

 

Prodjodikoro, W. (2011). Azaz-Azaz Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju. Google Scholar

 

Siti Anisah, S. H. (2017). Pembuatan Akta Kuasa Mutlak Sebagai Tindak Lanjut Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Dibuat Dihadapan Notaris. Google Scholar

 

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. (2019). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers. Google Scholar

 

Suhardini, A. P., Imanudin, I., & Sukarmi, S. (2018). Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta Autentik. Jurnal Akta, 5(1), 261�266. Google Scholar

 

Trisnomurti, R. (2017). Wawancara dengan Notaris.

 

Copyright holder:

Ni Kadek Mekar Sari, Farida Patittingi, Kahar Lahae (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: