Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 2, Februari 2022
PERTANGGUNGJAWABAN PENERIMA KUASA MENJUAL SEKALIGUS SEBAGAI PEMBELI
DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) TIDAK LUNAS DENGAN AKTA NOTARIL
Ni Kadek Mekar
Sari, Farida Patittingi, Kahar Lahae
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai sejauhmana pertanggungjawaban penerima kuasa menjual yang sekaligus bertindak sebagai pembeli dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) tidak lunas yang dibuat dengan akta notaril,
metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode penelitian
hukum Normatif, merupakan penelitian dengan mengkaji kaidah-kaidah hukum atau norma norma
hukum positif guna menentukan apakah suatu peristiwa
itu berdasarkan hukum. Berdasarkan penelitian ini telah ditemukan bahwa pertanggungjawaban penerima kuasa menjual yang sekaligus bertindak sebagai pembeli dalam PPJB tidak lunas yang dibuat dengan akta
notaril, bahwa penerima kuasa bertanggungjawab atas pelunasan pembayaran terhadap PPJB yang belum lunas sebagaimana yang termuat dalam isi
PPJB. Namun mengenai pertanggungjawabanya terhadap kuasa menjual yang diterimanya pertanggungjawaban ini lebih tepat
ditujukan kepada notaris yang telah membuat akta kuasa
tersebut karena telah membuat akta
kuasa menjual dengan PPJB yang belum lunas yang menimbulkan ketidakpastian hukum kepada para pihak.
Kata
Kunci:�� penerima
kuasa menjual; pembeli dalam PPJB; PPJB tidak lunas; akta
kuasa menjual
Abstract
This
research aims to analyze the extent to which the accountability of the
recipient of the power of sale who at the same time acts as a buyer in the
Non-Paid Buying and Selling Binding Agreement (PPJB) made with a notaril deed, the research method used in this study is a
normative legal research method, is a study by reviewing the rules of law or
norms of positive legal norms to determine whether an event is based on law.
Based on this research, it has been found that the liability of the recipient
of the power of sale who at the same time acts as a buyer in the PPJB is not
paid off made by a notaril deed, that the recipient
of the power of attorney is responsible for the repayment of payments against
PPJB that have not been paid off as contained in the contents of the PPJB. But
regarding his accountability for the power of sale that he received this
liability is more appropriately addressed to the notary who has made the deed
of power because it has made the deed of power of sale with ppjb
that has not been paid off which causes legal uncertainty to the parties.
Keywords:� the receiver of the power to sell; buyers in
PPJB; PPJB is not paid off; deed of power of sale
Received:
2022-01-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-02-20
Pendahuluan
Seseorang dalam melakukan suatu perbuatan seringkali membutuhkan bantuan dari orang lain guna mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum tententu, hal ini dapat
terjadi dikarenakan beberapa alasan misalkan adanya jarak, waktu, situasi
maupun keadaan yang menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan
perbuatan hukum itu sendiri. Perbuatan
hukum dengan mewakili atas nama
orang lain ini biasa disebut dengan pemberian kuasa. Pemberian kuasa seiring perkembangannya dapat dilakukan dengan melalui akta Notaril dimana
akta tersebut dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam pembuatan akta otentik yakni
seorang Notaris. Akta otentik merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Kekuatan pembuktian sempurna adalah alat bukti
yang sudah tidak perlu dilengkapi dengan alat bukti
lain, tetapi masih memungkinkan pembuktian perlawanan (Achmad Ali & Wiwie Heryani, 2015).
Mengenai peraturan pemberian kuasa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur dalam Pasal
1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata. Pemberian kuasa dalam KUHPerdata terbagi atas dua
yakni Surat Kuasa Umum dan
Surat Kuasa Kusus, Surat Kuasa Khusus
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1795 KUHPerdata yaitu surat kuasa mengenai
hanya satu kepentingan tententu atau lebih sedangkan
Surat Kuasa Umum sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1796 KUHPerdata yaitu surat kuasa
meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa, tetapi hanya meliputi
tindakan-tindakan pengurusan.
Sedangkan untuk melakukan tindakan pemilikan seperti memindahtangankan benda-benda, membebankan benda-benda tersebut sebagai jaminan, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
Pemberian kuasa pada
umumnya bertujuan untuk mewakili kepentingan si pemberi kuasa, namun pada prakteknya pemberian kuasa juga digunakan untuk mewakili kepentingan si penerima kuasa,
dalam kasus demikian digunakan dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang telah dibayar lunas
yang kemudian diikuti dengan pemberian kuasa menjual, sehingga Notaris biasanya membuat akta kuasa yang didalamnya memuat pemberian kuasa dari penjual kepada
pembeli yang dalam hal ini berupa
kuasa untuk menjual objek dalam
PPJB tersebut. Akta Kuasa Menjual ini bertujuan
untuk memberi perlindungan hukum (kepastian hukum) kepada si Pembeli
dalam PPJB Lunas yang juga merupakan
penerima kuasa menjual. Kuasa Menjual yang dibuat tersebut sifatnya tidak dapat ditarik kembali
atau bersifat mutlak (Siti Anisah, 2017).
Akta Kuasa menjual yang dibuat oleh seorang Notaris
bertujuan memberikan kepastian hukum kepada para pihak dalam PPJB lunas
terutama kepada si pembeli yang merupakan penerima kuasa itu,
namun muncul sebuah kasus dimana kuasa menjual dibuat dalam PPJB yang belum
lunas atau tidak lunas dibayar, sebagaimana yang
terjadi antara Natalia Natiwidjaja dan Herawati,
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1846K/Pdt/2017
dalam sengketanya Natalia Natiwidjaja selaku pemilik hak atas
tanah Nomor 2321/Grogol Selatan seluas � 298 M2 (kurang
lebih dua ratus sembilan puluh
delapan meter persegi) bermaksud akan menjual tanah miliknya
tersebut kepada Herawati, yang kemudian akan dibayar oleh Herawati dalam 2 (dua) tahap yakni
pada tahap pertama sebesar Rp.850.000.000,00-�
(delapan ratus lima puluh
juta rupiah) dan pada tahap
kedua sebesar
Rp.2.200.000.000,00- (dua miliar
dua ratus juta rupiah) sehingga total keseluruhan pembayaran yang telah disepakati adalah sebesar Rp.3.050.000.000,00-� (tiga miliar lima puluh juta rupiah). Pada tahap pembayaran pertama Natalia Natiwidjaja dan Herawati datang menghadap kepada Notaris Eka Widiasmaran, S.H.,M.Kn
untuk membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang kemudian dituangkan dalam akta PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012. PPJB yang dibuat
tersebut diikuti pula dengan pemberian kuasa untuk menjual
oleh Natalia Natiwidjaja kepada
Herawati yang dibuat secara terpisah dalam bentuk Akta
Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012, dalam PPJB
Nomor 3 tanggal 23 April
2012 pada pasal 3 terdapat klausula yang mengatur bahwa kuasa untuk
menjual mempunyai kekuatan berlaku apabila Herawati selaku pembeli telah membayar lunas harga jual
beli tanah tersebut sesuai dengan harga yang telah disepakati. Namun dalam perjalananya
belum lunas harga jual beli
PPJB tersebut Herawati telah menjual tanah
milik Natalia Natiwidjaja kepada Ade Ernawati Sukarna dengan berdasarkan Akta Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012 yang diberikan
oleh Natalia Natiwidjaja kepada
Herawati. Jual beli antara Herawati
dan Ade Ernawati Sukarna telah dituangkan dalam Akta Jual
Beli (AJB) Nomor 429/ 2012 tanggal 26 Desember 2012 yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT Haryono, S.H.,MBA. Berdasarkan AJB tersebut telah dilakukan balik nama terhadap
sertifikat hak milik Nomor 2321/Grogol Selatan dari Natalia Natiwidjaja menjadi Ade Ernawati Sukarna.
�Berdasarkan kasusnya Natalia Natiwidjaja mengajukan gugatan wanprestasi kepengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan
mengugat Herawati (Tergugat I), Eka Widiasmaran,S.H.,M.Kn (Tergugat II), Ade Ernanawati Sukarna (Tergugat III), Haryanto,S.H.,MBA
(Tergugat IV), dan Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia cq.
Kantor Pertanahan Kota Administrasi
Jakarta Selatan (Turut Tergugat).
Dalam upaya hukumnya Natalia Natiwidjaja telah mendapat Putusan dari Pengadilan
Negeri �Jakarta
Selatan melalui Putusan Nomor 114/Pdt.G.2013/PN.Jkt.Sel,
dan dari Pengadilan Tinggi
Jakarta Selatan melalui Putusan
Nomor 603/PDT/2015/PT.DKI,� serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 1846K/Pdt./2017. Berdasarkan putusan melalui Pengadilan tersebut serta Putusan Mahkamah Agung yang memiliki kekuatan hukum tetap, terhadap
gugatan yang diajukan oleh
Natalia Natiwidjaja Pengadilan
tersebut serta Putusan Mahkamah Agung menyatakan �tidak dapat diterima�. Salah satu point penting dalam pertimbangan hakim yakin:
�bahwa
format gugatan yang paling tepat
untuk persengketaan antara pengugat dengan para tergugat adalah gugatan perbuatan melawan hukum karena melibatkan beberapa pihak yang bukan pihak
dalam akta pengikatan jual beli nomor 3 tanggal 23 april 2012 tetapi melibatkan
pula pihak lain dalam akta jual beli nomor 429/2012 tanggal 26 desember 2012
dengan objek yang sama��
Berdasarkan putusan Pengadilan tersebut serta putusan
Mahkamah Agung, Herawati selaku pembeli dalam PPJB tidak lunas serta selaku
penerima kuasa yang telah menjual tanah milik Natalia Natiwidjaja kepada pihak
ketiga, tidak ditemukan pertimbangan serta putusan Hakim yang mewajibakan
Herawati bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya yang nyata telah
merugikan Natalia Natiwidjaja. Herawati selaku Pembeli yang telah melakukan
wanprestasi atau cidera janji karena telah menjual tanah milik Natalia
Natiwidjaja kepada pihak ketiga sebelum melunasi jual beli dalam PPJB Nomor 3,
berdasarkan tindakannya Herawati selaku penerima kuasa juga dapat dikatakan
telah menyalahgunakan kuasa yang telah diberikan Natalia Natiwidjaja kepadanya
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 bahwa kuasa
untuk menjual berlaku apabila Herawati telah membayar lunas harga jual beli dalam PPJB tersebut (Ariella & Pandamdari, 2019).
Namun penulis berpendapat lain, karena berdasarkan bunyi Pasal 3 PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 tidak disebutkan secara tegas mengenai
kuasa menjual yang dimaksud. Apakah hanya kuasa menjual
yang dimaksud hanya berupa kuasa yang termuat dalam PPJB atau kuasa menjual
yang juga dibuat secara terpisah.
Herawati atas tindakannya yang telah merugikan Natalia
Natiwidjaja wajib bertanggungjawab kepada Natalia Natiwidjaja selaku pemilik
sah atas tanah tersebut, pada pengertiannya
Pertanggungjawaban merupakan suatu hal yang dapat dituntutkan kepada seseorang
jika terdapat perbuatan melanggar hukum yang telah dilakukannya.� Sebagaimana diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Pertanggungjawaban hukum sendiri dalam
hukum perdata dibagi
menjadi beberapa bagian, dalam bukunya (Abdulkadir, 2010)
mengatakan bahwa teori mengenai pertanggungjawaban hukum akibat perbuatan melanggar hukum terbagi atas 3 (tiga) yakni (Ariella
& Pandamdari, 2019):
1)
Tanggungjawab
akibat melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional
tort liability) tergugat harus telah melakukan perbuatan sedemikian rupa
sehingga merugikan pengugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat
mengakibatkan kerugian
2)
Tanggungjawab
akibat perbuatan meanggar hukum yang dilakukan karenaa kelalaian (negligence
tort liability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang
berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (interminglend).
3)
Tanggungjawab
mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (strick liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara
sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan.
4)
Berdasarkan
beberapa uraian diatas penulis tertarik melakukan penelitian mengenai
sejauhmana pertanggungjawaban Herawati selaku pembeli dalam PPJB tidak lunas
serta pertanggungjawab Herawati sebagai penerima kuasa menjual yang telah
menjual tanah milik Natalia Natiwidjaja berdasarkan kuasa yang diterimanya yang
kemudian dibuat secara terpisah oleh Notaris.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penlitian hukum Normatif dimana
penelitian mengacu pada penerapan kaidah atau norma-norma hukum positif yang berlaku (Mahmud Marzuki, 2013),
guna�
memberikan pendapat hukum sebagai dasar�
untuk menentukan apakah sesuatu itu telah sesuai
hukum yang berlaku (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2019).
Dalam penelitian hukum normatif ini, fokus pada kajian tertulis yakni menggunakan data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, asas-asas
hukum, prisip-prinsip hukum dan dapat berupa hasil karya
ilmiah para sarjana (doktrin) (Irwansyah, 2021).
Hasil dan Pembahasan
Pada suatu perjanjian atau kontrak pada dasarnya
selain adanya kesepakatan antara para pihak untuk melakukan perjanjian terdapat
beberapa asas yang harus ditaati oleh para pihak.
Salah satu asas yang penting dalam perjanjian yakni asas itikad baik, dimana asas ini ini memberikan artian bahwa dalam
melakukan perjanjian baik diawal maupun sampai berakhirnya perjanjian harus
didasarkan pada itikad baik dari para pihak. Menurut
ajaran justum pretum dalam perjanjian harus didasarkan pada asas keadilan (rechtvaardiheid) yang dalam undang-undang sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang dikenal dengan itikad baik (goed trouw), kepatutan,
atau kepantasan (billijkheid). Ajaran ini seringkali
dihubungkan dengan ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstanding headen) alasan dengan penyalahgunaan
keadaan dapat digunakan sebagai dasar menuntut dibatalkannya
suatu perjanjian (Budiono, 2009).
Asas itikad baik bertujuan untuk memberikan pemahaman
kepada para pihak dalam perjanjian bahwa terdapat kewajiban untuk mengadakan
penyelidikan dalam batasan-batasan yang wajar terhadap pihak lawan sebelum
menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang
cukup dalam menutup kontrak serta asas ini menjadi penentu patut dan layaknya
suatu tindakan para pihak dalam menjalankan perjanjian tersebut.
Terjadinya pelanggaran terhadap asas itikad baik
sering kali menimbulkan tindakan wanprestasi pada salah satu pihak yang
menyebabkan kerugian pada pihak lain. Dimana pada umumnya wanprestasi sendiri
terbagi atas 4 (empat) kategori� yakni (Miru, 2007):
1)
Sama
sekali tidak melakukan prestasi
2)
Prestasi
yang dilakukan tidak sempurna
3)
Terlambat
memenuhi prestasi
4)
Melakukan
apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.
�Wanprestasi
atau ingkar janji terhadap suatu perjanjian dapat dijadikan dasar untuk
menuntut pertanggungjawaban kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi. Pada konsep hukum perikatan (verbintenissenrecht) ditemukan bahwa seseorang baru dapat
dipertanggungjawabkan apabila adanya hubungan hukum yang lahir dari sebuah
perjanjian yang dikenal sebagai hubungan kontraktual,
atau seseorang juga dapat dipertanggungjawabkan apabila adanya suatu hubungan
hukum yang diatur oleh undang-undang
(Kusumohamidjojo, 2015). Pertanggungjawaban dalam arti ini dapat diberikan
jika telah terjadi perbuatan melawan hukum yang lahir dari sebuah
perikatan atau perjanjian.
Perbuatan melawan hukum yang dalam hukum perikatan sebagaimana maksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dimana unsur-unsur yang hurus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum bahwa:
a)
Terdapat suatu perbuatan,
maksudnya dalam suatu perbuatan melawan hukum terdapat
suatu tindakan dari si pelaku
yang umumnya diartikan sebagai tindakan melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu
b)
Perbuatan tersebut haruslah
melawan hukum, maksudnya suatu perbuatan itu harus
melawan hukum yang dalam artinya harus
melanggar peraturan perundang-undangan yang melanggar
hak yang oleh undang-undang
dilindungi, perbuatan pelaku yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, termasuk
pelanggaran terhadap kesusilaan, dan perbuatan pelaku yang bertentangan dengan sikap dimasyarakat
untuk kepentingan orang
lain.
c)
Terdapat kesalahan dari
pelaku, maksudnya bahwa adanya unsur
kesalahan dala satu perbuatan melawan hukum seperti
adanya unsur kesengajaan, kelalaian, serta dalam perbuatannya tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf
d)
Terdapat
kerugian korban, maskudnya bahwa adanya kerugian karena perbuatan melawan hukum
baik kerugian material ataupun kerugian immaterial.
e)
Terdapat
hubungan kausalitas, maksudnya bahwa hubungan antara perbuatan dengan kerugian
berkaitan, perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang dialami juga merupakan
syarat dari suatu perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum yang dalam Yurisprudensi HIR 1919 (Arrest Lindebauw)
tanggal 31 Januari 1919 mengartikan perbuatan melawan hukum secara
luas digolongkan menjadi 4 (empat) yakni:
1.
Melanggar hak orang lain, adalah melanggar hak subjektif seseorang.
Hak subjektif yang diakui oleh yurispudensi adalah hak perorangan.
2.
Bertentangan dengan kewajiban
si pelaku, yakni kewajiban yang berdasarkan oleh hukum tertulis maupun tidak tertulis yang menyangkut tugas seseorang peraturan yang wajib dilakukannya, dimana
berdasarkan doktrin ilmu hukum terdapat 5 (lima) syarat
yang bersifat alternatif untuk dapat dikategorikan
bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat/pelaku
yakkni:
a.
Kepentingan korban dilindungi oleh kaidah yang dilanggar
b.
Kepentingan korban tekena/terancam
karena pelanggaran hukum
c.
Kepentingan korban termasuk lingkungan kepentingan yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal
1365 KUHPerdata
d.
Pelanggaran terhadap kaidah
hukum bertentangan dengan kepatutan terhadap korban, dengan
memperhatikan sikap dan prilaku
korban
e.
Tidak ada alasan pembenar menurut hukum
3.
Melanggar kaidah kesusilaan
4.
Bertentangan dengan asas
kepatutan, ketelitian serta
sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dikalangan
masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Berdasarkan unsur-unsur
perbuatan melawan hukum dan kriteria perbuatan melawan hukum yang disebutkan diatas, unsur perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Herawati telah terpenuhi. Berkaitan dengan kriteria perbuatan melawan hukum yang terpenuhi yang dilakukan oleh Herawati adalah perbuatan melawan hukum melanggar hak orang lain, yakni hak subjektif dari
Natalia Natiwidjajaja selaku
pemilik sah sebidang tanah Sertifikat hak milik Nomor� 2321/Grogol Selatan dan perbuatan
melawan hukum yang bertentangan dengan� kewajiban si pelaku, dimana
Herawati telah melalaikan kewajibannya untuk melakukan pembayaran pelunasan terhadap PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 yang dibuatnya
dengan Natalia Natiwidjaja serta telah mengalihkan
Tanah hak milik Natalia Natiwidjaja kepada pihak ketiga yakni
Ade Ernawari Sukarna dengan menggunakan kuasa menjual yang telah diberikan oleh Natalia Natiwidjaja kepadanya sebagaimana Kuasa Nomor 4 tanggal 23 April 2012 yang dibuat
oleh atau dihadapan Notaris Eka Widiasmaran,S,H, M.Kn. Tindakan Herawati ini telah mengakibatkan
kerugian pada Natalia Natiwidjaja
selaku pemilik sah sebidang tanah
Hak Milik Nomor 2321/Grogol
Selatan karena telah kehilangan hak miliknya atas tanah
tersebut.
Wanprestasi terjadi karena pada awalnya telah terjadi
perbuatan melawan hukum, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh (Harahap, 2017)
bahwa tindakan debitur (pembeli) dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat waktu
atau tak layak, hal tersebut
jelas merupakan pelanggaran terhadap hak kreditur (penjual).
Setiap pelanggaran terhadap hak orang lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Dikatakan pula wanprestasi merupakan species sedangkan perbuatan melawan hukum adalah
genusnya (Harahap, 2017). Namun terdapat
beberapa perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, antara lain
sebagai berikut:
a)
Dilihat dari segi
sumber hukumnya bahwa wanprestasi sebagaimana dalam
Pasal 1243 KUHPerdata adalah timbul dari sebuah persetujuan sebagaimana yang
termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat asas
perjanjian yang menegaskan bahwa apa yang diperjanjikan harus dipenuhi, dan debitur dikatakan wanprestasi jika tidak
memenuhi prestasi sama sekali, tidak memenuhi
prestasi tepat waktu, atau tidak memenuhi prestasi
secara layak. Sedangkan Perbuatan melawan hukum sebagaimana menurut Pasal 1365 KUHPerdata adalah timbul
akibat perbuatan orang, yang merupakan perbuatan melanggar hukum baik dalam
bentuk pelanggaran pidana atau dalam bentuk pelanggaran maupun kesalahan
perdata ataupun sekaligus bertindih delik pidana dan kesalahan perdata, yang
jika perbuatannya bertindih secara berbarengan maka dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban
perdata.
b)
Dilihat dari segi
timbulnya hak untuk menuntut, bahwa atas dasar
wanprestasi hak untuk menuntut kerugian sebagaimana dalam Pasal 1243 KUHPerdata pada prinsipnya diperlukan proses
ingebrekkestelling atau pernyataan lalai atau in mora
stelling (interpellation) tetapi
proses tersebut dapat diterapkan dengan mencantumkan
klausula yang menegaskan bahwa debitur langsung berada dalam keadaan
wanprestasi tanpa perlu didahului dengan somasi. Sedangkan perbuatan melawan
hukum tidak diperlukan somasi, ketika terjadi perbuatan melawan hukum maka
pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi.
c)
Dilihat dari segi
ganti rugi bahwa tuntutan ganti rugi dalam
wanprestasi bertitik tolak sebagaimana dalam Pasal 1237 KUHPerdata yakni
perhitungan ganti rugi dihitung sejak terjadinya kelalaian, dan dalam Pasal
1236 dan 1243 KUHPerdata mengatur mengenai jenis dan jumlah ganti rugi yang
dapat dituntut yang terdiri dari kerugian yang dialami kreditur, keuntungan
yang seharusnya diperoleh jika perjanjian dipenuhi, dan ganti rugi bunga.
Sedangkan Perbuatan melawan hukum bertitik tolak pada Pasal 1365 KUHPerdata
yang tidak menyebutkan bagaimana bentuk ganti rugi, dan tidak menyebutkan
mengenai rincian ganti rugi, namun ganti rugi digolongkan menjadi ganti rugi
nyata (actual loss) yang dapat diperhitungkan secera rinci, objektif, dan
konkret atau biasa disebut kerugian materil dan kerugian immaterial yang berupa
ganti rugi pemulihan keadaan semula.
Pada sistem peradilan di Indonesia tidak dibenarkan
mencampuradukan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum dalam sebuah
gugatan, karena dianggap melanggar tata tertib beracara atas alasan-alasan
keduanya sehingga harus diselesaikan tersendiri, namun dimungkinkan untuk
mengabungkan atau mengkomulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas pemisahannya
(M.
Yahya Harahap, 2016)
Sebagaimana penjabaran diatas Perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Herawati diatas lebih spesifik digolongkan pada tindakan
wanprestasi, dimana wanprestasi yang dimaksud adalah sebagaimana yang
dijelaskan sebelumnya yakni wanprestasi terhadap terlambatnya pemenuhan
prestasi yang dilakukan oleh Herawati dikarenakan tidak dibayarkanya sisa
pembayaran PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 sesuai dengan tanggal yang telah
disepakati sebelumnya. Namun berdasarkan kasusnya Herawati juga telah menerima
kuasa menjual dari Natalia Natwidjaja sebagaimana termuat klausula dalam PPJB
Nomor 3 tanggal 23 April 2012 yang dibuat oleh Notaris
Eka Widiasmaran, S.H., M. Kn,
sebagaimana pada Pasal 3
yang menyatakan bahwa:
apabila nanti pada waktunya setelah harga tanah tersebut
dilunasi dengan bukti-bukti/kwitansi terlampir ternyata pihak pertama tidak
dapat menandatangani akta Jual Beli secara resmi dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah oleh karena sesuatu hal, maka pihak pertama baik sekarang maupun nantinya
dikemudian hari dengan ini memberikan kuasa untuk menjual kepada pihak kedua.
Dengan demikian maka pihak kedua berhak mewakili atas nama pihak pertama dengan
harga dan syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang dianggap baik oleh pihak
kedua sendiri.
- dan untuk keperluan tersebut pihak kedua berhak menghadap
dimana perlu, memberikan keterangan-keterangan membuat, suruh membuat dan
menandatangani akta-akta atau surat-surat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah� dan atau
Notaris serta instansi yang berwenang lainnya. Menyerahkan apa yang dijualnya,
menerima pembayarannya serta memberikan tanda penerimaan (kwitansinya) dan
selanjutnya pihak kedua berhak melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk
mencapai maksud dan tujuan tersbeut diatas tidak ada suatu tindakan yang
dikecualikan.
-kuasa tersebut merupakan bagian yang terpenting dan tidak
dapat dipisahkan dari perjanjian ini, yang mana tanpa adanya kuasa termaksud
maka perjanjian ini tidak akan dibuat oleh kedua belah pihak dan karenanya
kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan berakhir karena sebab
dan alasan apapun juga, termasuk pula sebab dan alasan yang termaktub dalam
Pasal 1813 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan juga kuasa tersebut tetap
beraku dan mengikat para ahli waris dari kedua belah pihak atau orang lain yang
akan menerima hak dari padanya.�
Pada faktanya Herawati juga mendapat kuasa menjual yang juga
dibuat terpisah dengan PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 yakni sebagaimana
Akta Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012 yang juga dibuat oleh dan
dihadapan Notaris Eka Widiasmaran,S.H.,M.Kn. Atas dasar kuasa yang diberikan
oleh Natalia Natiwidjaja kepada Herawati dalam hal ini adalah Akta Kuasa Nomor
4 tanggal 23 April 2012, Herawati telah mejual tanah milik Herawati kepada Ade
Ernawati Sukarna dan telah dituangkan dalam Akta Jual Beli (AJB) Nomor 429/2012
tertanggal 26 Desember 2012 yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris-PPAT
Haryanto, S.H.,MBA. Dengan adanya AJB tersebut maka Tanah yang tadinya menjadi
milik Natalia Natiwidjaja beralih menjadi milik Ade Ernawati Sukarna.
Sehingga muncul pertanyaan apakah pertanggungjawaban yang
diminta pada Herawati hanya mengenai pertanggungjawaban dimana ia bertindak
sebagai pembeli yang belum membayar lunas PPJB atau juga pertanggungjawaban
dimana ia bertindak sebagai penerima kuasa untuk menjual serta telah menjual
tanah milik Natalia Natiwidjaja kepada pihak ketiga?
�Menurut
Notaris Ria Trisnomurti
bahwa dalam tindakannya sebagai penerima kuasa untuk menjual serta telah
menjual kepada pihak ketiga yakni Ade Ernawati Sukarna adalah sah (Akta Jual
Beli Nomor 429/2012 tertanggal 26 Desember 2012 yang dibuat oleh Notaris-PPAT
Haryanto dianggap sah), karena pada dasarnya jika alas hak untuk menjualnya
adalah Akta Kuasa Menjual yang terpisah dengan PPJB maka hal ini dapat
dijadikan dasar untuk melakukan jual beli kepada pihak ketiga, karena ia
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan kuasa yang
dimiliki, terlepas dari tidak diketahui adanya PPJB sebelum adanya akta kuasa tersebut
(Trisnomurti, 2017). Artinya bahwa
yang menjadi dasar untuk menjual adalah hanya Akta Kuasa Menjual yang diberikan
Natalia Natiwidjaja sebagai pemilik sah atas tanah tersebut kepada Herawati.
Berdasarkan hal tersebut Kuasa yang diberikan Natalia Natiwidjaja merupakan
kuasa khusus yakni kuasa untuk melakukan satu atau lebih perbuatan hukum
tertentu dalam hal ini kuasa untuk menjual tanah milik Natalia Natiwidjaja.
Sehingga tindakan yang dilakukan Herawati adalah tindakan yang didasarkan kuasa
yang telah diterimanya.
Berdasarkan pengamatan, penulis melihat bahwa dalam Akta
Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012 pada isinya menyebutkan bahwa:
�khusus�
�untuk dan
atas nama serta mewakili pemberi kuasa sepenuhnya, menjual dengan harga
yang dipadang baik oleh penerima kuasa, baik sebagian maupun
seluruhnya dengan memakai syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang akan diuraikan dibawah ini atas:
-segala hak-hak
dan kepentingan-kepentingan yang merupakan
bagian atau miliknya pemberi kuasa berupa apapun
yang timbul dan dapat dijalankan oleh penerima kuasa berkenaan dengan bidang tanah
yaitu:�
Dalam kutipan isi akta di atas
yang dibuat oleh Notaris
Eka Widiasmara,S.H.,M.Kn
tidak mengatur mengenai keberadaan PPJB yang tidak lunas atau mengikatnya PPJB
yang tidak lunas tersebut, sehingga akta ini dalam bentuknya disebut juga akta
kuasa umum yang berdiri sendiri seperti akta kuasa pada umumnya yang tidak
terikat dengan perjanjian lainnya.�
Pengertian kuasa yang dimaksud disini adalah kuasa yang hanya untuk
mewakili kepentingan pemberi kuasa untuk menjual tanah milik pemberi kuasa
bukan untuk kepentingan si penerima kuasa yang bertindak sebagai pembeli.
Meskipun dalam PPJB yang tidak lunas tersebut menyatakan bahwa telah diberikan
kuasa menjual oleh Natalia Natiwidjaja kepada Herawati namun tidak secara tegas
menyebutkan bahwa telah dibuat juga Akta Kuasa Menjual yang terpisah dalam hal
ini Akta Kuasa Menjual Nomor 4 tanggal 23 April 2012.
Berdasarkan penjelasan
diatas penulis menilai bahwa Notaris
Eka Widiasmaran,S.H.,M.Kn sebagai
Notaris yang membuat akta PPJB Nomor 3 yang tidak lunas dan Akta Kuasa Menjual Nomor 4 yang terpisah dengan PPJB tidak lunas tersebut, yang dalam pembuatanya dibuat bersamaan yakni pada tanggal 23 April 2012,
dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum berupa
perbuatan melawan hukum yang bersifat aktif yang berarti Notaris melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain (Suhardini et al., 2018),
Notaris Eka Widiasmaran,S.H.,M.Kn
tidak hati-hati dalam membuat akta
karena telah menimbulkan kerugian pada Natalia
Natiwidjaja, dengan dibuatnya Akta Kuasa Menjual Nomor 4 yang terpisah dengan PPJB tidak lunastersebut memberikan ruang kepada Herawati untuk menggunakan akta kuasa tersebut
sebelum dilunasinya PPJB Nomor 3. Meskipun tidak ada larangan
mengenai pembuatan Akta
Kuasa Menjual yang terpisah
dengan PPJB tidak lunas (Arifin, 2019).
Namun penulis menyimpulkan dengan adanya kuasa
menjual tersebut telah memberikan ruang kepada Herawati untuk menggunakan kuasa
tersebut sebulum ia melunasi pembayaran dalam PPJB Nomor 3.
Pada teorinya akta
yang dibuat oleh seorang Notaris merupakan kehendak para pihak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undaang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, namun Notaris juga mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan hukum sebagaimana dalam Pasal 15 ayat 2 huruf e serta dituntut mempunyai pengetahuan terkait akta yang akan dibuat oleh para pihak, hal ini
dilakukan guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak.
Dengan dibuatnya akta kuasa menjual yang terpisah
dengan PPJB tidak lunas yang dibuat oleh Notaris Eka Widiasmaran, S.H.,M.Kn
telah menimbulkan ketidak pastian hukum kepada para pihak yakni Natalia Natiwidjaja dan Herawati yang kemudian menimbulkan kerugian pada Natalia Natiwidjaja
atas hilangnya hak milik atas
Tanah yang sebelumnya menjadi
haknya. Sehingga pertanggungjawab yang dituntutkan
kepada Notaris Eka Widiasmaran, S.H., M. Kn adalah pertanggungjawaban atas dasar perbuatan
melawan hukum yang menyebabkan kerugian kepada Natalia Natiwidjaja, dimana dalam memberikan
pertanggungjawaban tersebut
perlu� memperhatikaan kedudukan Notaris dalam profesinya
sebagai pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta otentik serta
memperhatikan sanksi-sanksi
yang dapat diberikan kepada Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.�
Merujuk pada teori
yang dikemukan oleh Hans Kelsen
dalam teorinya tentang tanggungjawab dimana ia membagi
tanggungjawab menjadi 4 (empat) (Bachtiar dan Tono Sumarna, 2012):
1)
Pertanggungjawaban individu yaitu
seseorang individu bertanggungjawab pada pelanggaranyang
diperbuatnya sendiri;
2)
Pertanggungjawaban kolektif berarti
bahwa seseorang indivisdu bertanggungjawab atas suatu pelanggaran
yang diperbuat oleh orang lain;
3)
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan
yang berarti bahwa seseorang individu bertanggungjawab pada pelanggaran
yang dilakukannya secara sengaja
dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
4)
Pertanggungjawaban
mutlak yang berarti bahwa seseorang
individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
Dari keempat pertanggungjawaban diatas, menurut penulis yang memenuhi kriteria pertanggungjawaban yang dapat dimintakan kepada Herawati adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seseorang individu bertanggungjawab pada pelanggaran yang dilakukannya secara sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian, karena akibat tindakannya telah melanggar atau tidak menepati
janjinya yang sebagaimana telah dibuat dalam bentuk PPJB dengan
Natalia Natiwidjaja sehingga
menyebabkan kerugian terhadap Natalia Natiwidjaja.
Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1246
KUHPerdata dapat dibagi atas
tiga unsur yakni:
1.
Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan atau kehilangan barang dan atau harta kepunyaan salah satu pihak yang
diakibatkan oleh kelalaian pihak lainnya
2.
Bunga,
yakni keuntungan yang seharusnya diperoleh oleh salah satu pihak yang lain
tidak lalai dalam melaksanakannya
3.
Biaya, yakni biaya-biaya pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata/tegas telah dikeluarkan
oleh pihak
Berdasarkan hal tersebut penulis berpendapat bahwa pertanggungjawaban yang dapat dimintai pada Herawati adalah pertanggungjawaban mengganti kerugian sesuai dengan perjanjian
yang termuat dalam Akta PPJB Nomor 3 yang telah dibuat dengan
Natalia Natiwidjaja, sebagaimana
dalam Pasal 2 PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012
yang berisi;
�bahwa harga
atas tanah tersebut diatas telah ditetapkan secara pasti oleh kedua belah pihak
sebesar Rp.3.050.000.000.,-
(tiga miliar limapuluh juta rupiah) jumlah uang mana dibayar oleh pihak kedua kepada
pihak pertama dengan
perincian sebagai beriku:
1.
Sebesar
Rp.850.000.000,- (delapanratus
limapuluh juta rupiah) dibayar pada tanggal 22-3-2012 (duapuluh
Maret duaribu duubelas) dengan kwitansi tersendiri.
2.
Sebesar Rp.2.2000.000.000.- (dua miliar duaratus juta rupiah)
dibayar pada tanggal 29-6-2012 (duapuluh Sembilan Juni duaribu duabelas) dengan
kwitansi tersendiri.
-apabila pada tanggal 29-6-2012 (duapuluh Sembilan
Juni duaribu duabelas), pihak kedua tidak dapat melunasi pembayarannya maka
untuk setiap hari kelambatannya pihak kedua dikenakan denda sebesar Rp.500.000,- perhari yang harus dibayar seketika dan sekaligus.
-denda tersebut berlaku
untuk jangka waktu 14 (empat belas)
hari terhitung sejak tanggal jatuh tempo,apabila
setelah lewat waktu tersebut pembayaran tidak juga dilakukan,
maka pihak pertama berhak membatalkan
perjanjian secara sepihak sedangkan jumlah uang yang telah diterima akan dikembalikan
kepada pihak kedua setelah rumah
terjual oleh pihak pertama kepada pihak lain.�
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Herawati
tidak melakukan pembayaran pada pembayaran kedua yakni pada tanggal 29-6-2012 (dua puluh Sembilan Juni dua ribu dua belas)
sehingga jumlah ganti rugi yang harus dibayar terhitung sejak tanggal tersebut
dan dibayar sesuai dengan jumlah yang ditentukan,
begitu pula dengan denda yang telah disepakati sebagaimana dalam bunyi Pasal 2
dalam PPJB tersebut, hal ini juga sebagaimana diatur
dalam Pasal 1250 KUHPerdata bahwa bunga-uang yang harus dibayar dinamakan
moratoire interessen (bunga-bunga atas keterlambatan
suatu kewajiban) disamping itu ada juga compensatoir
interessen (bunga-bunga uang sebagai ganti kerugian
yang diderita sebagai akibat dari ketiadaan pelaksanaan sama sekali atau akibat
dari pelaksanaan secara kurang baik dari suatunkewajiban
menurut perjanjian) (Prodjodikoro, 2011).
Pada prosesnya sengketa antara Herawati dan Natalia
Natiwidjaja telah sampai dan putus pada Pengadilan baik tingkat
pertama sampai dengan tahap kasasi
hal ini menimbulkan
kerugian yang lebih besar pada Natalia Natiwidjaja karena tidak hanya
rugi karena telah kehilangan haknya atas tanah
tersebut juga mengalami kerugian akibat sengketa yang
berlarut-larut dalam pengadilan, sehingga
Herawati juga bertanggungjawab
menganti kerugian yaitu berupa pengantian
biaya-biaya (ongkos-ongkos)
yang telah dikeluarkan oleh
Natalia Natiwidjaja untuk mengurus� tanah yang di persengketakan dalam Pengadilan.
Dalam menentukan besarnya
ganti rugi yang harus dibayar,
pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti rugi
yang harus dibayar harus sedapat mungkin
membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semulai seandainya tidak terjadi kerugian, atau dengan kata lain ganti rugi menempatkan
sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andai kata perjanjian dilaksanakan secara baik atau tidak
terjadi perbuatan melawan hukum. Dengan demikian ganti rugi harus
diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terikat langsung
dengan kerugian itu, seperti kemampuan
atau kekayaan pihak-pihak yang bersangkutan (Miru, 2007).
Berdasarkan hal ini penulis berpendapat
bahwa ganti rugi tersebut haruslah
dapat mengembalikan keadaan menjadi seperti semula dimana seandainya Herawati tidak melakukan wanprestasi terhadap PPJB Nomor 3 tanggal 23 April 2012 tersebut
dan membayar sisa pembayaran beserta denda-denda maupun biaya-biaya
yang ditimbulkannya.
Berdasarkan beberapa penjabaran diatas penulis
menyimpulkan bahwa Herawati bertanggungjawab atas wanprestasi yang dilakukannya
kepada Natalia Natiwidjaja dengan mengganti kerugian sesuai dengan isi dalam
PPJB yang telah dibuat beserta bunga dan biaya-biaya yang timbul akibat
wanprestasi yang dilakukannya. Namun
mengenai jual beli yang dilakukan oleh Herawati dengan Ade Ernawati
Sukarna Akta Jual Beli tersebut tetap dianggap sah karena yang menjadi dasar
Herawati menjual adalah Akta Kuasa menjual yang berdiri sendiri yang tidak
terikat dengan perjanjian apapun termasuk PPJB yang tidak lunas.
Dilihat dari keseluruhan isi akta PPJB Nomor 3 dan Akta Kuasa Nomor 4, bahwa
dalam akta kuasa menjual tersebut tidak menyebutkan telah dibuat� PPJB tidak lunas sebelumnya,
begitu pula sebaliknya dalam PPJB tidak lunas tersebut tidak secara tegas
menyebutkan adanya akta kuasa menjual yang juga dibuat terpisah sebagaimana
Akta Kuasa Menjual Nomor 4, sehingga untuk itu adanya peran Notaris yang juga
bertanggungjawab terhadap pembuatan Akta Kuasa Menjual yang terpisah atau
bediri sendiri tersebut karena dengan adanya akta kuasa yang dibuat oleh
Notaris tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga memberikan kesempatan
kepada Herawati untuk menggunakan kuasa yang terpisah tersebut
yang kemudian menyebabkan
kerugian kepada Natalia Natiwidjaja.
Kesimpulan
Pertanggungjawaban penerima kuasa menjual yang
bertindak sebagai penjual sekaligus pembeli dalam PPJB tidak lunas dengan akta
notaril, pertanggungjawaban penerima kuasa sebagai pembeli dalam PPJB tidak
lunas hanya dapat dimintai sebatas pemenuhan prestasi dalam akta PPJB yang
belum lunas serta penggantian biaya-biaya dan ongkos-ongkos yang timbul akibat
sengketa terhadap objek PPJB sedangkan pertanggungjawabannya sebagai penerima
kuasa menjual hal ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaba karena berdasarkan
bentuk akta kuasa menjual yang terpisah dengan PPJB tidak lunas tersebut, akta
kuasa menjual ini tidak terikat dengan perjanjian apapun dan diberikan khusus
untuk menjual kepada pihak ketiga. Yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban
atas akta kuasa tersebut adalah notaris yang membuat akta kuasa menjual yang
terpisah dengan PPJB tidak lunas karena dengan dibuatnya akta kuasa menjual
yang terpisah ini menimbulkan ketidakpastian hukum kepada para pihak.
Abdulkadir, M. (2010). Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
�Achmad Ali dan
Wiwie Heryani. 2015. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Prenada Group, Jakarta.
Hal.81
Ariella, L. C., & Pandamdari, E. (2019).
Penyalahgunaan Pemberian Kuasa Untuk Menjual Dalam Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) Oleh Penerima Kuasa (Contoh Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor
1846/K/PDT/2017). Jurnal Hukum Adigama, 2(1), 817�841. Google Scholar
Arifin, T. (2018). Wawancara dengan Notaris.
Budiono, H. (2009). Ajaran Umum Hukum Perjanjian
dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Citra Aditya Bakti. Google Scholar
Harahap, Y. (2017). Hukum acara perdata: tentang
gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Sinar
Grafika. Google Scholar
Irwansyah. (2021). Penelitian Hukum (Pilihan Metode
& Praktik Penulisan Artikel). Mirra Buana Media, Yogyakarta. 98
Kusumohamidjojo, B. (2015). Perbandingan Hukum Kontrak
(Comparative Contract Law). Bandung, Penerbit Mandar Maju. Google Scholar
Mahmud Marzuki, P. (2013). Penelitian Hukum Edisi
Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Google Scholar
Miru, A. (2007). Hukum Kontrak dan Perancangan
Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Google Scholar
Prodjodikoro, W. (2011). Azaz-Azaz Hukum Perjanjian. Bandung:
Mandar Maju. Google Scholar
Siti Anisah, S. H. (2017). Pembuatan Akta Kuasa
Mutlak Sebagai Tindak Lanjut Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah
Yang Dibuat Dihadapan Notaris. Google Scholar
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. (2019). Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers. Google Scholar
Suhardini, A. P., Imanudin, I., & Sukarmi, S.
(2018). Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam
Pembuatan Akta Autentik. Jurnal Akta, 5(1), 261�266. Google Scholar
Trisnomurti, R. (2017). Wawancara dengan Notaris.
Copyright holder: Ni Kadek Mekar Sari, Farida Patittingi, Kahar Lahae (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |