Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, Special Issue No. 2, Februari 2022

 

DAMPAK PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL TERHADAP INDIKATOR PEMBANGUNAN DESA

 

Brigida Yuliana

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Indonesia.

Email [email protected]

 

Abstrak

Perhutanan sosial diharapkan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam menciptakan nilai tambah ekonomi yang nantinya akan mempengaruhi kinerja pembangunan desa secara umum. Indonesia telah menjanjikan target yang cukup besar pada program perhutanan sosial tetapi evaluasi bagaimana program tersebut mempengaruhi kesejahteraan masyarakat pedesaan secara umum jarang dibahas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak program perhutanan sosial dengan indikator pembangunan desa yang diwakili oleh Indeks Desa Membangun (IDM). Untuk mengurangi bias seleksi dalam pengambilan sampel, penelitian ini menggunakan metode Propensity Score Matching (PSM) dengan membuat sampel perlakuan (desa yang mendapatkan program perhutanan sosial) dan sampel yang cocok atau counterfactual (desa yang tidak mendapatkan program). Hasil yang ditunjukkan oleh perbedaan rata-rata dari kedua sampel menunjukkan bahwa program perhutanan sosial berdampak positif pada skor IDM serta semua dimensi dalam IDM (indikator sosial, ekonomi dan lingkungan).

 

Kata Kunci: perhutanan sosial; indeks desa membangun; propensity score matching.

 

Abstract

Social forestry is expected to increase rural community capacity in creating economic value added which will later affect village development performance in general. Indonesia has pledged quite massive target on social forestry program but the evaluation how the program affect rural community's welfare in general is rarely discussed. This study aims to examine the impact of social forestry program with village development indicators represented by Indeks Desa Membangun (IDM). To reduce selection bias in sampling, this study uses Propensity Score Matching (PSM) method to create treatment sample (villages who get the social forestry program) and its matched sample or counterfactual (villages who do not get the program). The result represented by the mean difference of the two samples shows that social forestry program has positive impact on IDM score as well as all dimensions in IDM (social, economic and environment indicators).

 

Keywords: social forestry; village development index; propensity score matching

 

 

 

Pendahuluan

Program Perhutanan Sosial merupakan kebijakan strategis nasional untuk mengurangi tingkat kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi tingkat pengangguran dengan mempromosikan keadilan ekonomi dalam kaitannya dengan akses ke pengelolaan hutan nasional dengan memberikan akses pemanfaatan lahan bagi kelompok masyarakat yang dirancang dan didorong untuk meningkatan ekonomi melalui dukungan baik pendampingan maupun akses pasar yang umumnya dikelola dengan sistem kelompok (Rosdiana, 2020)

Perhutanan Sosial di Indonesia dimulai dengan fokus pada pergeseran model pengelolaan hutan dari pengelolaan hutan nasional ke pengelolaan hutan regional, yang melibatkan partisipasi masyarakat. Hal mendasar yang diamanahkan dalam kebijakan Hutan Sosial adalah mewajibkan masyarakat yang ingin memperoleh hak pengelolaan menyusun masterplan. Perhutanan Sosial sebagai konsep pemberian akses hukum pengelolaan bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya hutan telah dimulai sejak tahun 1990. Sebelumnya, masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan tidak dipandang sebagai masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berperan penting dalam pengelolaan hutan. Mereka hanya dipandang sebagai tenaga kerja murah dalam kegiatan perkebunan dan kehutanan. Namun selama tahun 1990 hingga 1998, kesadaran bahwa masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat berperan aktif sebagai pengelola hutan semakin meningkat (Chandra, Fauzi, Khatimah, & Wicaksono, 2021).

Saat ini, dari 83.931 desa hasil Podes 2018, terdapat 62.546 desa terletak di luar kawasan hutan dari total seluruh desa, sedangkan jumlah desa yang terletak di tepi kawasan hutan sebanyak 18.617 desa. Sisanya, sebanyak 2.768 desa terletak di dalam kawasan hutan dan sebagian besar berada di Pulau Maluku dan Papua yaitu sebanyak 1.496 desa, disusul oleh Pulau Kalimantan sebanyak 618 desa. Pulau dengan jumlah desa di dalam kawasan hutan paling sedikit adalah Pulau Bali dan Nusa Tenggara yaitu sebanyak 51 desa (Silaban, Br Sembiring, Br Sitepu, & Br.Sembiring, 2020).

Perhutanan Sosial sendiri menjadi salah satu program pemerintah yang menarik khususnya bagi Pemerintah Daerah yang wilayahnya memiliki kawasan hutan nasional sehingga diharapkan memiliki hubungan yang nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hutan sendiri sebagai salah satu aset desa diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesan. Program ini memberikan kesempatan bagi masyarakat di kawasan hutan untuk mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengelola hutan.

Sejarah keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1960an tetapi terfokus pada hutan di daerah Pulau Jawa yang dikelola oleh Perhutani melalui sistem hutan tumpang sari. Perhutani terus mengembangkan beragam pendekatan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan seperti pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) hingga kemudian diintegrasikan dalam program Perhutanan Sosial dalam berbagai skema pengelolaan. Kebijakan yang mengatur hutan sosial di Indonesia sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan mulai tahun 1995 sampai dengan tahun 2016 dan terakhir dengan PP 23/2021 tentang penyelenggaraan Kehutanan. Hal tersebut dilakukan dalam upaya meningkatkan hak kelola hutan yang diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah ingin meningkatkan jumlah pengelolaan hutan rakyat dari 1 persen menjadi 10 persen, dimana target luas hutan yang akan diberikan adalah 12,7 juta hektar. Pengelolaan hutan ini ditujukan bagi kesatuan-kesatuan masyarakat sosial yang bertempat tinggal di kawasan hutan negara dan memiliki riwayat membudidayakan kawasan hutan serta menggantungkan hidupnya pada hutan dan kegiatannya dapat mempengaruhi ekosistem hutan. Pemerintah memberikan bukti adanya hak kelola kepada setiap orang yang mengusahakan tanah di kawasan hutan negara untuk mengesahkan pengelolaan tersebut. Sertifikat hak pengelolaan ini dapat membuka peluang untuk memperoleh bantuan permodalan, misalnya sebagai jaminan pinjaman bank, dan kepastian legalitas bagi masyarakat untuk mengelola hutan.

Tabel 1

Skema Hak Pengelolaan Hutan

Skema

Lokasi

Bentuk

Hak/Ijin

Jangka Waktu dan Status

Hutan Desa

Hutan Produksi & Hutan Lindung

HPHD

Koperasi Desa, BUMDes

Selama 35 (tigapuluh lima) Tahun dan dapat diperpanjang.

Kemitraan Kehutanan

Hutan Konservasi, Hutan Lindung & Hutan Produksi

Kesepakatan

Masyarakat Setempat/ Kelompok

Hutan Kemasyarakatan

Hutan Produksi & Hutan Lindung

 

IUPHkm

Kelompok Masyarakat/ Koperasi

 

Hutan Tanaman Rakyat

Hutan Produksi

IUPHHK-HTR

Kelompok masyarakat/Koperasi/Perseorangan

Hutan Adat

Wilayah Adat

SK Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Adat

Selamanya (Hak menguasai / Hak Milik)

Sumber : Kementerian KLHK, data diolah

 

Dukungan dari pemerintah belum berpengaruh secara signifikan karena selain kemiskinan, masyarakat sekitar hutan pada umumnya tidak berpendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan dapat memengaruhi hasil yang diharapkan dari program pendampingan yang diberikan pemerintah untuk peningkatan kapasitas manusia (Suyanto & Khususiyah, 2005). Masyarakat desa dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dianggap memiliki kemampuan yang lebih baik dalam hal merencanakan kegiatan, sehingga petani yang berpendidikan akan lebih sejahtera, dan petani yang kurang berpendidikan akan kesulitan memperoleh manfaat dari program yang ditawarkan yang akhirnya terhambat oleh kemiskinan (Manyamsari & Mujiburrahmad, 2014). Pengentasan dan atau pengurangan tingkat kemiskinan merupakan salah satu tujuan dari pembangunan desa yang ingin di capai oleh pemerintah. Pemerintah berusaha mendorong desa untuk mampu mengangkat derajatnya sendiri dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada disekitarnya. Masyarakat desa dianggap mampu secara mandiri meningkatkan kesejahteraannya melalui berbagai indikator yang kemudian menjadi instrumen penilaian tingkat kemandirian desa yang disebut dengan Indeks Desa Membangun.

Program Perhutanan Sosial sendiri dianggap berhasil apabila masyarakat atau kelompok masyarakat yang mengelolaprogram mampu memenuhi berbagai kriteria yang ditetapkan saat dilakukan evaluasi oleh pemerintah pusat. Penelitian terkait evaluasi program perhutanan sosial di kawasan hutan lindung menyebutkan beberapa kriteria yang ada dalam evaluasi program perhutanan sosial adalah indeks ekologi, indeks sosial ekonomi dan indeks kelembagaan (Fauzi, Harto, Hakim, & Perdana, 2019). Kriteria-kriteria ini yang kemudian jika dipenuhi dengan baik oleh masyarakat yang memperoleh program maka akan menjadi bagian dari komponen penilaian Indeks Desa Membangun (Siregar, Anwar, & Budiman, 2020) sehingga keberhasilan masyarakat yang tinggal dikawasan hutan di Indonesia dalam menjalankan dan memanfaat program perhutanan sosial secara langsung akan meningkatkan skor dalam perhitungan IDM berikutnya.

Penelitian terkait Program Perhutanan Sosial juga menghubungkan pengaruh program ini terhadap keberhasilan pengentasan atau pengurangan tingkat kemiskinan pada wilayah yang memperoleh program. Hasilnya menyatakan bahwa program hutan kemasyarakatan merupakan strategi penggunaan lahan yang menarik untuk masyarakat miskin yang tidak memiliki lahan dan dapat diterima oleh masyarakat pedesaan, terutama bagi para petani kecil dan tidak memiliki tanah atau lahan. Program ini telah menghasilkan sumber daya dan pendapatan yang cukup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin pedesaan di atas tingkat subsisten dan membuktikan bahwa kehutanan masyarakat dapat memainkan peran penting dalam pengentasan kemiskinan di pedesaan. Selain penciptaan sumber daya, lapangan kerja dan pendapatan, perhutanan kemasyarakatan memainkan peran penting dalam melestarikan lingkungan dan membantu mengurangi tingkat kemiskinan di pedesaan seperti yang terjadi dibeberapa negara asia seperti Bangladesh, Vietnam, China, India dan Mexico (Bank, 2020)

Dalam penelitian ini, penulis mengukur kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan skor desa berdasarkan Indeks Pembangunan Desa atau IDM untuk melihat apakah status Perhutanan Sosial memiliki keterkaitan dengan Indikator Pembangunan Desa dan memberikan pengaruh dalam peningkatan skor IDM dengan tujuan untuk melihat hubungan program perhutanan sosial terhadap kesejahteraan masyarakat melalui indikator pembangunan desa yang terdapat dalam indeks desa membangun dengan hasil yang terbukti secara akademis dan empiris. Penelitian ini ditujukan untuk mengukur hubungan kebijakan Perhutanan Sosial yang telah diselenggarakan di Indonesia secara statistik serta apakah memiliki perubahan terhadap skor kemandirian desa di Indonesia. Dengan mengakomodir teori (Ostrom & Gardner, 1993) terkait Common Property Resource dan hasil penelitian dari (Agarwal, Saleh, & Bedaiwy, 2003) terkait identifikasi 4 (empat) prasyarat untuk pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. 4 (empat) prasyarat yang diidentifikasi adalah: karakter sistem sumber daya, karakter kelompok, tatanan kelembagaan, dan lingkungan eksternal. Kajian manajemen terkait dengan resource power muncul sebagai reaksi atas fenomena 'tragedy of the commons' yang mengacu pada kerusakan lingkungan akibat ekstraksi sumberdaya akibat kekuasaan yang tidak terkendali. (Hardin, 1968). Kajian tentang pengelolaan sumber daya ini kemudian mendasari Agrawal mengidentifikasi empat prasyarat dalam pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan sebagai bagian dari konseptual pembangunan berkelanjutan yang lebih luas. Keempat prasyarat ini juga dapat diterapkan secara spesifik dalam konteks pengelolaan hutan mengingat hutan memiliki peran penting bagi kehidupan banyak orang (Agrawal, 2007). Prasyarat ini dinilai sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai melalui program, yaitu penyelesaian sengketa tanah dengan tetap memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan hutan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu tujuan utama program perhutanan sosial kemudian diukur dengan IDM. Sehingga dapat disimpulkan dari hipotesis penelitian ini bahwa Program Perhutanan Sosial dapat meningkatkan skor IDM.

Setiap indikator terdiri dari skor antara 0-5; Semakin tinggi skor mencerminkan tingkat kemajuan suatu desa. Misalnya: skor indikator akses ke fasilitas pendidikan; Apabila satu desa memiliki akses <= 1 Km, maka desa tersebut memiliki skor 5, dan desa lainnya memiliki akses> 5 Km, maka memiliki skor 1. Artinya penduduk desa pertama memiliki akses yang lebih baik daripada penduduk dari desa lainnya. Setiap skor indikator selanjutnya dikelompokkan ke dalam variabel, dan menghasilkan skor variabel. Total skor variabel kemudian dirumuskan menjadi indeks:

 

Indeks Varibel = (∑ Indikator X) / (Nilai Maksimum X)������ ���(1)

 

Indeks dari setiap variabel menjadi Indeks Komposit yang disebut dengan Indeks Desa Membangun (IDM), dengan perhitungan rumus:

 

IDM = 1/3(IS x IE x IL)������������������������������ �������(2)

 

 

 

 

 

 

Tabel 2

Klasifikasi Indikator Komposit Indeks Desa Membangun

No

Indikator

Komposisi

a)

Indeks Ketahanan Sosial

Permukiman, Pendidikan, Kesehatan, Modal Sosial

b)

Indeks Ketahanan Ekonomi

Keragaman Produksi, Akses Perdagangan, Akses Logistik, Akses Perbankan dan Kredit, Keterbukaan Wilayah

c)

Indeks Ketahanan Lingkungan

Kualitas Lingkungan, Bencana Alam, dan Tanggap Bencana

Sumber : (Fauziah, n.d.)

 

Tabel 3

Klasifikasi Indeks Desa Membangun

No

Klasifikasi Desa

Skor IDM

1

Desa Sangat Tertinggal

< 0,491

2

Desa Tertinggal

> 0,491 dan < 0,599

3

Desa Berkembang

> 0,599 dan < 0,707

4

Desa Maju

> 0,707 dan < 0,815

5

Desa Mandiri

> 0,815

Sumber : (Fauziah, n.d.)

 

IDM dikembangkan untuk memperkuat upaya pencapaian target pembangunan desa dan perdesaan dengan tujuan awal menurunkan jumlah Desa Tertinggal menjadi 5.000 desa dan menambah jumlah Desa Mandiri menjadi minimal 2000 desa pada tahun 2019. Target pembangunan tersebut membutuhkan kejelasan lokus (desa) dan status pembangunan. IDM tidak saja digunakan untuk mengetahui status pembangunan desa, tetapi juga dapat dikembangkan sebagai instrumen penargetan dalam pencapaian tujuan pembangunan. IDM lebih terarah pada upaya penguatan otonomi desa dan peningkatan kualitas kehidupan desa secara nasional.

Desa di Indonesia sendiri masih dihadapkan pada realitas kemiskinan dimana wilayah desa merupakan tempat tinggal sebagian besar masyarakat miskin. Maka disini, kelengkapan data dan teknik pengukuran yang tepat dalam konteks ini sangat dibutuhkan, terutama dalam pengembangan kebijakan yang diharapkan mampu menjawab permasalahan dasar pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Pemerataan keadilan merupakan isu penting dalam pembangunan nasional, dan tentunya juga dalam pembangunan desa yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi khususnya pertumbuhan yang inklusif, dimana pengelolaan potensi ekonomi desa dan perdesaan selain mampu menyertakan angkatan kerja lulusan SD/SMP, tetapi juga ramah terhadap keluarga miskin, mampu meningkatkan pemerataan dan mengurangi ketimpangan. Perhatian yang berfokus pada usaha kecil di desa juga diutamakan, khususnya yang sangat membutuhkan dukungan dalam hal penguatan teknologi yang ramah lingkungan, distribusi, permodalan dan akses terhadap pasar.

 

 

 

Metode Penelitian

Variabel dependen yang digunakan oleh penulis adalah skor Indeks Desa Membangun (IDM) sebagai variabel yang menggambarkan kesejahteraan karena fungsi IDM sendiri adalah mengukur tingkat kemandirian desa berdasarkan 52 komposit yang merupakan kriteria dari kesejahteraan suatu daerah diantaranya akses pendidikan, akses kesehatan dan akses komunikasi (indeks ketahanan sosial), akses distribusi/logistik (indeks ketahanan ekonomi) dan kualitas lingkungan (indeks ketahanan lingkungan). Variabel independen utama adalah Program Perhutanan Sosial. Variabel kontrol yang digunakan diambil dari data PODES 2018 yang merupakan variabel yang mempengaruhi apakah suatu desa dapat menerima Program Perhutanan Sosial atau tidak. Skema variabel Dependen, variabel Independen dan variabel Kontrol.

 

Tabel 4

Keterangan Variabel Penelitian

Variabel

Keterangan

Sumber

IDM2019

Nilai/Skor Indeks Desa Membangun Tahun 2019

Kemendes

Program Perhutanan Sosial (PS)

(dummy) Desa yang memperoleh program perhutanan sosial sampai dengan tahun 2017

KemnLHK

d_hutan

(dummy) Ketergantungan penduduk terhadap kawasan hutan/hutan dilihat dari parameter ketergantungan terhadap hutan.

1 = Ya 0 = Tidak

BPS

gotong_royong

(dummy) Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan bersama di desa

1 = Ada 0= Tidak ada

BPS

d_sma

Keberadaan lembaga pendidikan SMA baik Negeri dan Swasta

1 = Ada 0 = Tidak ada

BPS

bpd

(dummy) Badan Permusyawaratan Desa/Lembaga Musyawarah Kelurahan lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis

1 = Ada 0= Tidak ada

BPS

Konflik

(dummy) Terjadinya konflik atau Kejadian perkelahian massal selama setahun terakhir

1 = Pernah 0 =Tidak pernah

BPS

Pertanian

(dummy) adanya lapangan usaha yang meliputi sektor pertanian

1 = Ya 0= lainnya

BPS

d_telephon

(dummy) sinyal telephon seluler

1 = Ada 0=Tidak

BPS

pasar_semipermanen

Jumlah pasar semi permanen/rakyat

BPS

produksi_desa

(dummy) apakah desa tersebut memiliki produksinya sendiri atau tidak

1 = Ada 0 = Tidak Ada

BPS

sekolah_tunaaksara

(dummy) keberadaan sekolah non formal

1 = Ada 0 = Tidak

BPS

 

Penulis menggunakan data kuantitatif yang bersumber dari data sekunder dan diperoleh dari berbagai sumber yaitu data skor kemandirian desa atau IDM tahun 2019 sebagai outcome, data desa yang memperoleh Program Perhutanan Sosial sampai tahun 2017 sebagai treatment dan data karakteristik desa yang terdapat dalam PODES Tahun 2018 sebagai prediktor dan variabel kontrol. Penggunaan data yang terdapat dalam PODES Tahun 2018 sebagai variabel prediktor maupun variabel kontrol sebagai dasar menentukan daerah common support yang sesuai dengan melihat kesamaan karakteristik wilayah dengan melihat parameter komposit dari masing-masing indikator dalam penilaian IDM.

Populasi yang digunakan adalah desa/kelurahan diseluruh Indonesia yang berjumlah 83,934 (Statistik, 2018) dengan sample penelitian yang digunakan adalah desa/kelurahan yang berlokasi disekitar dan didalam kawasan hutan yang memiliki karakteristik yang sama baik yang telah memperoleh program maupun yang belum sebanyak 19,523 desa sampai tahun 2017, dengan jumlah desa yang memperoleh program sebanyak 784 desa, dengan menggunakan outcome IDM tahun 2019 untuk melihat hasilnya setelah 3 (tiga) tahun. Estimasi hubungan Program Perhutanan Sosial dengan Indikator Pembangunan Desa dilakukan dengan menggunakan metode Property Score Matching (PSM), yaitu metode alternatif untuk memperkirakan efek kausal dari data observasi. Observasi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapat perlakuan (treatment) dan kelompok kontrol. PSM menciptakan serangkaian subjek yang cocok dalam grup kontrol pada kelompok perlakuan dengan skor kecenderungan yang sama. Tujuannya adalah untuk memilih secara acak dan menghilangkan bias dalam data observasi (Pan & Bai, 2018). Estimasi data dengan menggunakan PSM dilakukan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

 

1.   Mengestimasi Propensity Score

Propensity score didefinisikan sebagai probabilitas bersyarat dari perlakuan (Zi = 1) dengan kontrol (Zi = 0) berdasarkan pada karakteristik kovariat xi yang diobservasi. Bias akan tereduksi ketika hasil perbandingan antara kelompok kontrol dan perlakuan sedekat mungkin (Rosenbaum & Rubin, 1983). Estimasi PSM dirumuskan sebagai berikut:

 

ATT = E(Δ|P(X),D=1) = E(Y1|P(X),D = 1)-E(Y0|P(X),D = 0) ����������������� (3)

 

Dimana ATT merupakan average treatment on treated (hubungan dari program ps), D=1 adalah kelompok treatment, D=0 adalah kelompok control. Sementara pemilihan variabel kovariat dilakukan dengan menggunakan model probit yaitu model nonlinier yang menggunakan bilangan binner (dummy) sebagai variabel responnya (Bliss, 1934) dengan model sebagai berikut :

 

���������� Yi = β0+β1X1+�i����������������������������������������������������������������� ����������� (4)

������

Dimana Y adalah probabilitas hasil prediksi dimana nilai Yi= 1, jika diberikan nilai X atau

 

Pr (Y=1|X1,X2=Ф(β0+β1X1+β2X2)���������������������������������� (5)

 

Dimana Y adalah variabel independen utama yaitu desa yang menerima program perhutanan sosial sampai tahun 2017 dan X adalah variabel prediktor yaitu variabel yang terdapat di dalam PODES 2018 yang merupakan karakteristik desa yang menentukan apakah desa tersebut dapat menerima program perhutanan sosial atau tidak berdasarkan persyaratan yang tertuang didalam (Hidup & No, 83AD) tentang Perhutanan Sosial. Variabel prediktor ini juga mewakili komponen dari indeks komposit setiap indikator penilaian IDM yaitu Indeks Ketahanan Sosial, Indeks Ketahanan Ekonomi dan Indeks Ketahanan Lingkungan (hasil dari pemilihan variabel kovariat dapat dilihat pada lampiran 1).

2.   Memilih Matching Algorithm

Analisis matching dilakukan dengan metode Algorithm dimana nilai skor kecenderungan yang telah diperoleh akan digunakan untuk mencocokkan data pada kelompok perlakuan dengan data pada kelompok kontrol. Pencocokan biasanya akan mengurangi grup kontrol yang tidak memiliki pasangan, sehingga ada beberapa data yang bahkan tidak digunakan sama sekali karena tidak memiliki nilai yang sesuai dengan data pada grup kontrol. Algorithm pencocokan terdiri dari Nearest Neighbour (NN); Caliper dan Radius; Stratification dan Interval; Kernel and Local Linear; dan Weighting. Tidak ada metode yang lebih baik dari yang lain di antara semua metode ini. Hal ini disebabkan adanya trade off antara bias dan varians yang akan mempengaruhi estimasi nilai ATT atau estimasi efek perlakuan pada kelompok treatment dengan membandingkan perbedaan rata-rata dari hasil antara kelompok treatment dan kontrol untuk seluruh sampel pada penelitian eksperimental (Bruce & Young, 2008). Dalam penelitian ini, penulis mendapatkan hasil terbaik melalui metode Caliper & Radius.

3.   Memeriksa Common Support.

Daerah yang digunakan sebagai commont support adalah desa yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan kriteria persyaratan pengajuan program perhutanan sosial seperti kondisi ekologi desa yaitu berada di sekitar dan kawasan hutan. Sementara desa-desa yang sama sekali tidak memiliki hutan dikeluarkan dari kelompok kontrol. Daerah common support menunjukkan adanya kesamaan karakteristik antara kedua kelompok berdasarkan kesamaan distribusi nilai propensiti-nya. Desa treatment dan desa kontrol tidak sama secara rata-rata akan tetapi jika common support assumption terpenuhi maka ada desa kontrol yang sebanding dengan desa treatment berdasarkan karakteristik (hasil daerah common support dapat dilihat pada lampiran 2).

 

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil

Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan suatu desa memperoleh program perhutanan sosial pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode probit. Model faktor yang mempengaruhi suatu desa memperoleh program terdiri dari variabel dependen yaitu Program Perhutanan Sosial (PS) dengan variabel dummy, dimana 1 untuk memperoleh program dan 0 untuk tidak/belum memperoleh program. Sedangkan untuk variabel independennya adalah Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2019 atau dua tahun dari tahun terakhir desa penerima memperoleh program. Parameter dengan model faktor-faktor yang mempengaruhi suatu desa memperoleh program dapat dilihat pada Tabel 5 dimana menampilkan karakteristik observasi yang memperoleh Program Perhutanan Sosial dan tidak menerima program sebelum dilakukan pencocokan dengan teknik PSM. Berdasarkan analisis hasil estimasi dapat dilihat bahwa kedua grup responden memiliki perbedaan secara rata-rata pada semua variabel kecuali variabel konflik dan gotong royong.

 

Tabel 5

Hasil Statistik Deskriptif

Variabel

Treatment

Non Treatment

Mean Diff

Mean

Std.dev

Mean

Std.dev

IDM2019

0.63

0.082

0.62

0.092

0.01

d_hutan

0.39

0.49

0.56

0.50

0.17

bpd

0.99

0.08

0.97

0.16

0.02

pertanian

0.96

0.19

0.87

0.34

0.09

d_sma

0.21

0.41

0.20

0.40

0.01

gotongroyong

0.98

0.12

0.98

0.14

0.00

konflik

0.03

0.12

0.03

0.19

0.00

Pasar_semipermanen

0.26

0.47

0.17

1.07

0.09

d_telephon

0.98

0.4

0.96

0.19

0.02

produksi_desa

0.36

0.48

0.33

0.47

0.03

Sekolah_tunaaksara

0.15

0.36

0.11

0.32

0.04

 

Selanjutnya hubungan program PS terhadap IDM yang dihitung menggunakan PSM dengan cara psmatch2 dan metode radius caliper matching. Hasil pencocokan nilai Average Treatment Effect on The Treated (ATT) terhadap IDM secara keseluruhan maupun masing-masing indikator yang dilihat melalui Indeks Ketahanan Sosial (IKS), Indeks Ketahan Ekonomi (IKE) dan Indeks Ketahanan Lingkungan (IKL) sebagai berikut :

 

Tabel 6

Hubungan Rata-Rata Program Perhutanan Sosial Terhadap Nilai Indikator Pembangunan Desa Tahun 2019

Variabel

Sample

Treated

Control

Diff

T-stat

IDM 2019

Unmatched

ATT

0.6212

0.6212

0.5692

0.5870

0.0520***

0.0342***

9.97

7.71

IKS 2019

Unmatched

ATT

0.7356

0.7356

0.6779

0.6970

0.0577***

0.0388***

8.60

8.31

IKE 2019

Unmatched

ATT

0.5472

0.5472

0.4799

0.5008

0.0673***

0.0464***

7.72

6.55

IKL 2019

Unmatched

ATT

0.6212

0.6212

0.5692

0.5870

0.0456***

0.0342***

9.97

7.71

 

Pada tabel 6, hubungan PS program pada IDM terlihat pada selisih sebelum dan setelah dilakukan pencocokan yang ditunjukkan pada ATT. Berdasarkan hasil estimasi nilai ATT Program PS dapat dilihat bahwa program ini secara statistik memiliki hubungan yang signifikan terhadap perubahan nilai masing-masing indikator maupun nilai IDM secara keseluruhan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Program PS memiliki hubungan terhadap perubahan skor pada semua indikator IDM.

 

B.  Pembahasaan

Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan dengan melihat nilai ATT, dapat dilihat bahwa Program Perhutanan Sosial di Indonesia signifikan meningkatkan skor IDM pada semua indikator sehingga dapat diasumsikan bahwa program ini dalam jangka panjang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan.

1.   Hak Kepemilikan Sumberdaya (Common Property Resource)

Hasil estimasi menunjukkan bahwa program ini memberikan hasil yang serupa antara skor IDM secara keseluruhan dengan skor IKL artinya secara lingkungan atau ekologi program ini memberikan hubungan yang sama pentingnya. IKL sendiri merupakan indikator yang menunjukkan bahwa program ini selain ditujukan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan juga sejalan dengan tujuan pelestarian hutan. Hasil tersebut menguatkan beberapa penelitian kualitatif yang telah dilakukan sebelumnya, dimana disebutkan bahwa desa yang memperoleh program mampu meningkatkan kesejahteraannya, namun secara ekologi hasil statistik bertolak belakang dengan penelitian yang menunjukkan bahwa program ini dalam jangka pendek belum mampu menurunkan tingkat kerusakan hutan. Hal tersebut dimungkinkan disebabkan oleh sistem pengelolaan yang belum maksimal, dalam hal ini perlu dilakukan pendampingan kepada kawasan penerima program agar peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan khususnya kawasan hutan dapat sejalan dengan penurunan tingkat kerusakan hutan.

2.   Indikator Pembangunan Desa

Hasil yang berbeda antara daerah treatment dan control dimana variabel prediktor dan variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini sebagai bagian dari 52 indeks komposit indikator pembangunan desa menunjukkan hubungan yang signifikan artinya secara statistik Program Perhutanan Sosial secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan skor Indeks Desa Membangun. Namun disisi lain beberapa kajian terhadap program ini juga menunjukkan hasil yang bertolak belakang seperti yang terjadi di kepulauan Maluku dan Papua dimana pengaruh ekonomi dari program ini baru sampai pada tahap peningkatan pengetahuan masyarakat dan kesadaran adanya bantuan pemerintah untuk mengelola hutan melalui berbagai pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah. Artinya manfaat yang signifikan belum dirasakan oleh masyarakat khususnya terkait peningkatan pendapatan, hal tersebut dimungkinkan karena program perhutanan sosial yang berjalan masih terlalu singkat dimana pelaksanaannya masih pada tahap percontohan dan atau pelatihan dibeberapa wilayah. Walaupun mungkin sudah ada produk yang dihasilkan tetapi belum mampu sampai pada tahap pemasaran.

3.   Implikasi Kebijakan

Dengan melihat hasil yang ditunjukkan pada desa yang menerima program ini dari 2 (dua) tahun sebelum penilaian, outcome yang mengalami peningkatan secara signifikan tentu saja memberikan harapan bahwa program ini dapat mendukung program pemerintah yang lebih luas terkait program pembangunan berkelanjutan pada semua aspek baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Hasil penelitian yang dikeluarkan oleh World Bank terkait keberhasilan Program Perhutanan Sosial terhadap penurunan tingkat kemiskinan di beberapa negara dalam jangka panjang memberikan harapan bagi keberhasilan dan keberlanjutan program ini di Indonesia.

Sementara berdasarkan data sampai akhir tahun 2020 baru 4,21 juta hektar dari target sebesar 12,7 juta ha yang dapat diberi hak pengelolaan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak desa-desa yang berada diwilayah hutan yang belum mampu memperoleh kesempatan mendapatkan hak pengelolaan hutan.

 

Kesimpulan

Program Perhutanan Sosial memiliki hubungan yang erat terhadap perubahan penilaian kemampuan desa dalam meningkatkan kesejahteraannya berdasarkan nilai indeks desa membangun sebagai salah satu indikator tingkat kemandirian desa dalam melaksanakan pembangunan diwilayahnya berdasarkan potensi wilayah yang dimiliki.

Hasil secara statistik yang menunjukkan peningkatan poin nilai IDM terhadap desa-desa yang menerima program perhutanan sosial menunjukkan nilai yang singnifikan secara keseluruhan pada semua aspek, namun secara riil berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan oleh penelitian terdahulu program ini masih membutuhkan dukungan lain khususnya pendampingan dari Pemerintah agar dapat secara nyata memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di pedesaan yang berada di wilayah hutan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agarwal, Ashok, Saleh, Ramadan A., & Bedaiwy, Mohamed A. (2003). Role of reactive oxygen species in the pathophysiology of human reproduction. Fertility and Sterility, 79(4), 829�843.Google Scholar

 

Agrawal, Arun. (2007). Forests, governance, and sustainability: common property theory and its contributions. International Journal of the Commons, 1(1), 111�136. Google Scholar

 

Bank, World. (2020). Public Expenditure and Financial Accountability Assessment: Federal Democratic Republic of Ethiopia (Somali Regional State Government). World Bank. Google Scholar

 

Bliss, Chester I. (1934). The method of probits. Science, 79(2037), 38�39. Google Scholar

 

Bruce, Sharon G., & Young, T. Kue. (2008). Prevalence and risk factors for neuropathy in a Canadian First Nation community. Diabetes Care, 31(9), 1837�1841. Google Scholar

 

Chandra, Adelina, Fauzi, Dimas, Khatimah, Fadhilla Husnul, & Wicaksono, Satrio Adi. (2021). Assessing Drivers of Forest Conservation in Simancuang Village Forest, West Sumatra. Small-Scale Forestry, 1�26. Google Scholar

 

Fauzi, Adam Irwansyah, Harto, Agung Budi, Hakim, Dudung Muhally, & Perdana, Redho Surya. (2019). Analisis Degradasi Penutup Hutan Di Perkotaan Menggunakan Model Forest Canopy Density Studi Kasus: Kota Bandar Lampung. Jurnal Mineral, Energi, Dan Lingkungan, 3(2), 107�121. Google Scholar

 

Fauziah, Wiwin. (n.d.). Indeks Desa Membangun Desa Kendawangan Kanan Kecamatan Kendawangan Kabupaten Ketapang. Google Scholar

 

Hardin, G. (1968). The Tragedy of the Commons. Google Scholar

 

Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan, & No, Kehutanan. (83AD). tahun 2016 Tentang Perhutanan Sosial. Republik Indonesia. Google Scholar

 

Manyamsari, Ira, & Mujiburrahmad, Mujiburrahmad. (2014). Karakteristik Petani Dan Hubungannya Dengan Kompetensi Petani Lahan Sempit (Kasus: Di Desa Sinar Sari Kecamatan Dramaga Kab. Bogor Jawa Barat). Jurnal Agrisep, 15(2), 58�74. Google Scholar

 

Ostrom, Elinor, & Gardner, Roy. (1993). Coping with asymmetries in the commons: self-governing irrigation systems can work. Journal of Economic Perspectives, 7(4), 93�112. Google Scholar

 

Pan, Wei, & Bai, Haiyan. (2018). Propensity score methods for causal inference: an overview. Behaviormetrika, 45(2), 317�334. Google Scholar

 

Rosdiana, A. C. (2020). Pelaksanaan Kewajiban Pemegang IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) Untuk Pembangunan Jalan Tol Di Hutan Penggaron Kabupaten Semarang. Google Scholar

 

Rosenbaum, Paul R., & Rubin, Donald B. (1983). The central role of the propensity score in observational studies for causal effects. Biometrika, 70(1), 41�55. Google Scholar

 

Silaban, Putri Sari M. J., Br Sembiring, Permata Sari, Br Sitepu, Vini Alvionita, & Br.Sembiring, Jessica Putri. (2020). the Pengaruh IPM dan PDRB terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Sumatera Utara Tahun 2002-2017. Jesya (Jurnal Ekonomi & Ekonomi Syariah), 4(1). https://doi.org/10.36778/jesya.v4i1.288 Google Scholar

 

Siregar, Johannes Hamonangan, Anwar, Chaerul, & Budiman, Mohamad Johan. (2020). Pengelolaan Keuangan Berbasis Perangkat Teknologi Bergerak Untuk Pemuda Di Desa Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. Prosiding Seminar Nasional Pengabdian Masyarakat LPPM UMJ, 1(1). Google Scholar

 

Statistik, Badan Pusat. (2018). Statistik Indonesia 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Suyanto, S., & Khususiyah, Noviana. (2005). Imbalan jasa lingkungan untuk pengentasan kemiskinan. Google Scholar

 

 

 

Copyright holder:

Brigida Yuliana (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: