�Syntax
Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�e-ISSN : 2548-1398
Vol. 7, No. 3, Maret 2022
ANALISIS SEGMENTASI PASAR PRODUK KOPI CELUP DI KOTA
YOGYAKARTA, KABUPATEN SLEMAN, DAN BANTUL
Arief
Fathoni Argadian
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kopi celup
memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan.
Namun,
saat ini kopi celup masih belum
memiliki daya tarik, karena hanya
menempati posisi ke enam produk
unggulan kopi olahan. Maka dari itu,
pasar kopi celup perlu dikembangkan dengan melakukan penelitian mengenai perencanaan pemasaran yang dimulai dengan segmentasi pasar. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menentukan
segmen pasar kopi celup di
Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman,
dan Bantul. Penelitian ini diawali dengan mengidentifikasi segmen pasar kopi
celup dengan metode K-Means dan deskriptif. Selanjutnya konsumen kopi celup dibagi menjadi
tiga segmen. Kemudian ketiga segmen tersebut dianalisis untuk menentukan segmen pasar kopi celup unggulan berdasarkan demografi dan psikografis. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat tiga segmen
pasar kopi celup yaitu segmen konsumen pengikut keluarga, konsumen pengikut tren dan konsumen yang sibuk dengan aktivitas
sehari-hari.
Kesimpulan yang diperoleh adalah
segmen yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari merupakan segmen unggulan karena memiliki anggota yang lebih banyak dibandingkan segmen lainnya. Selain itu, segmen
ini juga lebih sering mengkonsumsi dan membeli kopi celup.
Kata Kunci: klister; K-Means; kopi celup; rencana pemasaran
Abstract
The coffee bag has good potential to be
developed. However, the coffee bag still has not got much attention. It only
occupies the sixth priority position of superior processed coffee products.
Marketing research is needed to develop a coffee bag market which starts with
market segmentation. This study aims to identify and determine market segments
for coffee bags in Yogyakarta City, Sleman, and
Bantul Regency. The first step in this research was to identify the coffee bag
market segment with the K-Means and descriptive method. Next, consumers of the
coffee bag are divided into three segments and then analyzed to determine the
superior coffee bag market segments based on demographic and psychographic. The
results of market segment identification indicate that there are three coffee
market segments: family followers, trend followers, and segment that is busy
with daily activities. The conclusion obtained is that the segment that is busy
with daily activities is the superior segment because it has more members than
other segments, more often consuming and buying coffee bags.
Keywords: cluster; K-Means; coffee bag;
marketing plan
Received: 2022-02-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-03-10
Pendahuluan
Indonesia
merupakan konsumen penting komoditas kopi di dunia. Menurut International
Coffee Organization (Kementerian Perindustrian, 2017),
Indonesia merupakan negara peminum kopi nomor tujuh di dunia. Rata-rata tingkat
konsumsi kopi penduduk Indonesia sebesar 1,2 kg/kapita pada tahun 2010-2015 (Kementerian Pertanian, 2015). Jumlah
ini diproyeksi akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk
yang merupakan pasar potensial untuk berbagai jenis produk kopi dan olahannya.
Proyeksi
peningkatan konsumsi kopi per kapita tiap tahun menyebabkan industri kopi dalam
negeri memiliki potensi yang sangat baik untuk meningkatkan produksinya (Kementerian Pertanian, 2015). Namun,
potensi ini masih belum dapat disikapi dengan baik. Industri kopi dalam negeri
belum mampu memaksimalkan produksi kopi olahan. Dari 100% produksi, hanya 20%
kopi yang diolah menjadi kopi olahan (kopi bubuk, kopi instan, kopi mix),
sedangkan sisanya dalam bentuk biji kering (Kementerian Perindustrian, 2017).
Penyebab industri kopi dalam negeri belum mampu memaksimalkan produksi kopi olahan
adalah teknologi pengolahan kopi baru diterapkan oleh sebagian kecil industri.
Selain itu terdapat masalah keterbatasan informasi, modal, teknologi dan
manajemen usaha (Kementerian Perindustrian, 2017).
Menyikapi permasalahan
tersebut, Kementerian Perindustrian menerbitkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahap
pertama tahun 2015-2019 untuk mendorong industri dalam negeri melakukan inovasi dan penciptaan nilai tambah berupa hilirisasi
produk-produk pertanian menjadi produk agroindustri. Selain itu, Kementerian Perindustrian juga menerbitkan
peta panduan pengembangan klaster industri pengolahan kopi untuk memudahkan para pelaku industri mengembangkan usahanya dengan mempertimbangkan aspek-aspek terkait seperti aspek perencanaan,
pemasaran, teknis produksi dan manajemen usaha.
Tabel 1
Prioritas Produk Unggulan Kopi Olahan di Indonesia
Produk |
Prioritas |
Kopi Instan |
1 |
Kopi Bubuk |
2 |
Minuman Kopi Dalam
Kemasan |
3 |
Kopi
Herbal |
4 |
Kopi Rendah Kafein |
5 |
Kopi Celup |
6 |
Sumber: Wardhana, et. al.
(2016)
Menurut (Wardhana, Wibowo, & Suwasono, 2016), hingga
saat ini sudah ada 6 produk kopi olahan yang beredar di pasaran Indonesia,
yaitu kopi bubuk, kopi instan, kopi herbal, kopi celup, kopi rendah kafein dan
minuman kopi dalam kemasan. Daftar prioritas produk unggulan kopi olahan dapat
dilihat pada Tabel 1. Prioritas tersebut diurutkan berdasarkan biaya produksi, teknologi yang digunakan, penyerapan tenaga kerja, nilai tambah,
peluang pasar, dampak pada lingkungan, kebijakan pemerintah dan penerimaan masyarakat.
Walaupun kopi celup
hanya menempati prioritas ke enam
produk unggulan kopi olahan di Indonesia, sesungguhnya
kopi celup memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri dibanding dengan produk kopi olahan yang lain. Menurut (Pamungkas, 2017),
Kopi celup memiliki keunggulan yaitu bersih dari ampas
sehingga konsumen tidak perlu repot menyaring ampas dan kopi celup aman dikonsumsi
karena terbuat dari kopi murni tanpa bahan pengawet
dan bahan kimia berbahaya lainnya. Kopi celup memiliki keunggulan lain yaitu kopi dapat diseduh secara
cepat dan efektif. Keunggulan tersebut cocok digunakan untuk restoran karena mereka dapat
melayani pesanan kopi secara cepat, seragam
dan berkualitas. Mesin penyeduh kopi yang saat ini masih banyak
digunakan oleh restoran belum mampu melampaui
keunggulan kopi celup dalam hal menyeduh
kopi secara cepat. Mesin penyeduh kopi otomatis banyak memakan waktu saat
pengoperasian dan memerlukan
biaya perawatan dan pembersihan. Selain itu, kopi celup dapat diseduh dengan
takaran konstan dan sempurna setiap saat. Keunggulan tersebut dapat digunakan pada restoran untuk menghindari kerugian atas penggunaan
kopi yang tidak terukur.
Provinsi DIY merupakan
wilayah yang bagus untuk pengembangan kopi celup. Realisasi ekonomi produk kopi di DIY pada tahun
2017 sebesar Rp 262,8 miliar
dan 2 tahun kedepan berpotensi mencapai Rp 350,4 miliar. Potensi ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi kopi penduduk DIY yang diikuti oleh peningkatan jumlah kedai kopi terdaftar tiap tahun. Pada tahun 2017 sudah terdapat 600 kedai kopi di DIY
dan dalam jangka waktu 2 tahun kedepan
berpotensi untuk terus bertambah hingga 800 kedai kopi. Potensi ini menunjukkan
pertumbuhan industri kopi
di DIY kian pesat.
Referensi dari
peneliti terdahulu �Life
Cycle Assessment of Spray Dried Soluble Coffee and Comparison with Alternatives
(Drip Filter and Capsule Espresso)� (Humbert, Loerincik, Rossi, Margni, & Jolliet, 2009)
fokus meneliti tentang penilaian siklus hidup dari
kopi celup dan dibandingkan
dengan kopi berbentuk kapsul. Peneliti mendapatkan referensi berupa gambaran besar mengenai kopi celup, manfaat dan kelebihannya jika dibandingkan dengan kopi olahan yang lain. Referensi peneliti kedua �Analisis Strategi Pengembangan
Usaha Kopi Celup UNO di CV. Coffee Roema, Malang� (Pamungkas, 2017)
fokus meneliti usaha kopi celup yang ada di Malang beserta strategi
yang dirumuskan untuk mengembangkan usaha kopi celup tersebut. Peneliti mendapatkan referensi berupa gambaran mengenai prospek usaha kopi celup yang ada di luar DIY. Referensi peneliti ketiga �Penentuan Segmenting, Targeting, Positioning, dan Bauran Komunikasi Pemasaran Produk Teh Hijau Kemasan Celup di DIY� (Rahmahapsarin, 2017)
fokus meneliti pemasaran teh hijau
kemasan celup di DIY. Peneliti mendapatkan referensi mengenai cara meneliti pemasaran
produk yang mirip dengan kopi celup yang ada di DIY walau berbeda komoditas.
Berdasarkan referensi
dari penelitian terdahulu beserta ulasan latar belakang
diatas, dapat diketahui bahwa penelitian mengenai perencanaan pemasaran produk kopi celup di DIY belum pernah dilakukan.
Permasalahan utama penelitian ini adalah kopi celup masih belum memiliki
daya tarik, sehingga hanya menempati posisi prioritas ke enam
produk unggulan kopi olahan.
Penelitian mengenai
perencanaan pemasaran diperlukan untuk mengembangkan pasar produk kopi celup. Peneliti akan mencoba untuk
meneliti topik ini mengingat keunggulan-keunggulan
yang dimiliki kopi celup beserta potensi yang baik untuk dikembangkan
di DIY. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi segmen pasar kopi celup, dan menentukan segmen pasar kopi celup unggulan di DIY khususnya Kota Yogyakarta, Kabupaten
Sleman dan Bantul. Harapannya,
penelitian ini dapat menjadi panduan
bagi pengusaha yang ingin menciptakan industri pengolahan kopi celup di DIY.
Metode Penelitian
Secara garis besar,
lingkup pada penelitian ini menggunakan metode K-Means untuk mengidentifikasi segmen pasar
kopi celup di Kota Yogyakarta, Kabupaten
Sleman dan Bantul. Hasil dari
metode K-Means adalah
terbentuknya kelompok konsumen kopi celup berdasarkan aspek psikografis. Selanjutnya, dilakukan profilisasi segmen pasar yang memadukan profil aspek psikografis
dan demografis. Hasil profilisasi
ini kemudian diidentifikasi guna menentukan segmen pasar kopi celup unggulan.
Objek dan lokasi
penelitian ini adalah konsumen kopi celup yang berada di Kota Yogyakarta,
Kabupaten Sleman dan
Bantul. Konsumen kopi celup
dipilih sebagai objek karena dapat
menggambarkan perilaku membeli dan konsumsi kopi celup (psikografis) beserta demografisnya. Informasi tersebut berguna sebagai acuan untuk mengidentifikasi
segmen pasar kopi celup dan
menentukan segmen pasar
kopi celup unggulan.
Tabel 2
Pengeluaran Riil Per Kapita Kabupaten/Kota DIY,
2010-2014
(Ribu Rupiah/Tahun)
Kabupaten/Kota |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
Yogyakarta |
16,462 |
16,497 |
16,498 |
16,645 |
16,755 |
Sleman |
13,848 |
13,882 |
13,916 |
14,085 |
14,171 |
Bantul |
13,725 |
13,778 |
13,798 |
13,902 |
13,921 |
Gunungkidul |
8,093 |
8,138 |
8,171 |
8,202 |
8,235 |
Kulonprogo |
8,274 |
8,331 |
8,342 |
8,468 |
8,481 |
Sumber: BPS (2015)
Responden yang digunakan
pada penelitian ini berasal dari populasi
konsumen kopi yang ada di
Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman
dan Bantul. Adapun ketiga wilayah tersebut
dipilih karena memiliki tingkat pengeluaran riil per kapita tertinggi se DIY. Tingkat pengeluaran riil per kapita disebut juga sebagai daya beli.
Daya beli adalah kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya dalam bentuk barang
maupun jasa. Daya beli menggambarkan
tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi (Statistik, 2015).
Data pengeluaran riil per kapita menurut kabupaten/kota di DIY tersaji pada Tabel 2.
Tabel 3
Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota DIY, 2010-2014 (Jiwa/
Kabupaten/Kota |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
Yogyakarta |
1,085 |
1,095 |
1,103 |
1,128 |
1,142 |
Sleman |
1,902 |
1,926 |
1,939 |
1,995 |
2,025 |
Bantul |
1,798 |
1,818 |
1,831 |
1,884 |
1,911 |
Gunungkidul |
455 |
456 |
461 |
467 |
470 |
Kulonprogo |
663 |
666 |
670 |
685 |
691 |
Sumber: BPS (2015)
Selain itu,
Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman
dan Bantul memiliki tingkat
kepadatan penduduk yang tertinggi se DIY. Menurut (Becker & Gerhart, 1996),
kepadatan penduduk yang tinggi akan menstimulasi
akumulasi modal manusia
yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Data kepadatan penduduk menurut kabupaten/kota di DIY tersaji pada Tabel 3.
Cara mengambil
sampel dari Kota
Yogyakarta, Kabupaten Sleman
dan Bantul menggunakan metode
non-probability sampling. Metode non-probability
sampling yang digunakan adalah
purposive sampling. Metode purposive
sampling dilakukan dengan
cara mengambil sampel berdasar kriteria tertentu.
Kriteria sampel
yang dipilih sebagai responden penelitian pendahuluan (wawancara), kuesioner pendahuluan dan kuesioner segmentasi pasar adalah konsumen yang membeli dan mengonsumsi kopi celup minimal 1 kali seminggu. Rutinitas dalam membeli dan mengonsumsi suatu produk menunjukkan
pemahaman/pengetahuan konsumen atas produk
tersebut (Piero, Wibawa, & Persada, 2018).
Dengan kriteria ini, diharapkan responden memiliki gambaran secara utuh mengenai produk
kopi celup. Kriteria responden berikutnya adalah usia. Usia
responden yang dipilih adalah pada rentang usia 15-64 tahun. Rentang usia tersebut
digolongkan sebagai usia produktif oleh BPS. Usia produktif adalah usia yang menyatakan perbandingan antara penduduk usia tidak produktif
(di bawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas)
dengan usia produktif (antara 15 sampai 64 tahun) dikalikan 100 (Statistik, 2015).
Usia tersebut masuk dalam golongan
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja yang sudah memiliki penghasilan maupun pengeluaran, sehingga kriteria ini dapat mengasumsikan
bahwa responden yang berusia 15-64 tahun sudah terlibat dalam keputusan pembelian kopi celup.
Jumlah populasi
atau jumlah konsumen kopi celup di Kota
Yogyakarta, Kabupaten Sleman
dan Bantul tidak diketahui.
Maka dari itu, untuk memudahkan
jumlah sampel yang diambil untuk wawancara
mengikuti jurnal dari (Warren, 2002),
yaitu berjumlah 20 orang. Sedangkan sampel yang diambil untuk kuesioner
pendahuluan dan segmentasi
pasar ditentukan berdasarkan
perhitungan dengan rumus Lemeshow. Dari hasil perhitungan, dibutuhkan minimal 97 responden. Peneliti menetapkan responden sejumlah 100 orang dengan pembagian 30 responden diambil untuk menjawab kuesioner pendahuluan dan 70 responden untuk kuesioner segmentasi pasar.
Data wawancara,
kuesioner pendahuluan, dan kuesioner segmentasi pasar yang bersifat psikografis kemudian diolah menggunakan metode K-Means
dengan SPSS Versi 24. K-Means
adalah salah satu metode pembentukan klaster secara non hirarki. Pada metode K-Means,
banyaknya klaster yang ingin dibentuk harus ditentukan terlebih dahulu. Pusat klaster yang dipilih merupakan pusat sementara dengan terus memperbaharui pusat klaster sampai
pemberhentian tercapai (Merliana & Santoso, 2015).
Nilai K yang dipilih
untuk menentukan jumlah klaster dapat ditentukan dengan menggunakan metode elbow. Metode elbow merupakan metode interpretasi dan uji performa konsistensi dalam analisis klaster untuk menemukan jumlah yang tepat dari klaster. Metode
ini adalah metode yang melihat SSE (Sum
of Square Error) sebagai fungsi
dari jumlah klaster. Nilai SSE dijelaskan
oleh klaster yang diplotkan
berdasarkan jumlah klaster. Klaster pertama akan memberikan
informasi namun pada titik tertentu kenaikan marjinal akan turun secara
dramatis dan memberikan sebuah
lekukan pada grafik yang disebut dengan �kriteria siku�. Contoh jumlah klaster yang dipilih dengan Metode elbow ditunjukkan pada
Gambar 1 (Bholowalia & Kumar, 2014).
Gambar 1
Metode Elbow
Nilai tersebut
yang akan menjadi nilai k atau jumlah
klaster yang dipilih. Metode ini berawal
dengan menentukan nilai k sebesar 2, kemudian ditingkatkan satu pada tiap langkahnya. Kemudian dihitung SSE yang dihasilkan pada
tiap klaster. Pada nilai k tertentu, SSE akan turun secara
drastis dan setelah itu akan mencapai
titik konstan dimana nilai tidak
akan berubah walupun nilai k dinaikkan.
Setelah melalukan
uji elbow, terdapat dua asumsi dalam analisis
klaster yang perlu dilakukan sebelum diproses dengan metode K-Means. Menurut (Hair, 2009)
dua asumsi pada analisis klaster yaitu Sampel Mewakili
(Sampel Representatif) dan tidak ada multikolinieritas.
Untuk memastikan tidak ada multikolienaritas
maka perlu dilakukan uji korelasi. Analisis korelasi sederhana yang dapat digunakan adalah dengan teknik Kendall-Tau.
Teknik Kendall-Tau dapat digunakan
jika data penelitian berskala ordinal. Teknik Kendall-Tau merupakan korelasi non-parametrik yang digunakan ketika memiliki sekelompok data dengan sejumlah besar tingkatan. Skala ordinal adalah
data yang berasal dari kategori yang disusun secara berjenjang dengan jarak/rentang
yang tidak tentu sama��
Setelah dilakukan
uji asumsi, data dikelompokkan
menggunakan K-Means, kemudian
dilakukan uji anova sebelum dilakukan profilisasi klaster. Uji anova perlu dilakukan
untuk meyakinkan bahwa solusi dari
klaster yang ada akan mewakili populasi
secara umum dan bersifat stabil. Hal tersebut diperoleh dengan melihat perbedaan tiap variabel pada klaster yang terbentuk (Merliana & Santoso, 2015).
Klaster-klaster yang telah
diperoleh kemudian dilakukan profilisasi yang memadukan hasil aspek psikografis yang telah diperoleh melalui metode K-Means dan
demografis yang telah dijabarkan dengan statistika deskriptif. Segmen pasar unggulan ditentukan berdasarkan hasil dari profilisasi
segmen pasar, jumlah anggota yang tergabung pada tiap klaster serta
perhitungan tingkat kepentingan tiap variabel aspek psikografis.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil
wawancara yang telah dilakukan pada 20 narasumber, didapatkan enam variabel psikografis yang menunjukkan sikap dan perilaku konsumen kopi yang ada di Kota Yogyakarta, Kabupaten
Sleman, dan Bantul dalam membeli dan mengkonsumsi kopi celup. Keenam variabel
psikografis ini dipecah lagi menjadi
25 pernyataan yang kemudian
akan diteliti lebih lanjut. Variabel-variabel
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
����������� Setelah
terbentuk variabel-variabel
tersebut, selanjutnya dilakukan uji validitas, reliabilitas pada kuesioner pendahuluan yang telah disebar ke 30 responden.
Dalam penelitian ini digunakan α = 10% dan n
= 30. Menurut tabel R-
Product Moment dengan tingkat
kepercayaan 95% (α = 10%) dan df = 28 untuk jumlah sampel
30, maka nilai R-tabel-nya adalah
0,3061. Nilai R-hitung diperoleh
dari uji validitas menggunakan SPSS versi 24.0 yang dapat dilihat pada kolom corrected item correlation dalam
tabel item total statistics. Kemudian nilai R-tabel dibandingkan dengan nilai R-hitung. Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan SPSS, dapat diketahui bahwa seluruh pernyataan yang tercantum pada kuesioner pendahuluan memiliki nilai validitas lebih dari R-tabel
yaitu 0,3061. Nilai tertinggi
ada pada pernyataan variabel alasan mengonsumsi yaitu aman dikonsumsi dengan nilai R-hitung sebesar 0,700. Nilai terendah ada pada pertanyaan variabel tahap kesiapan membeli yaitu beli
dengan perencanaan dengan nilai R-hitung sebesar 0,345. Hal ini menandakan bahwa seluruh pernyataan
yang diajukan dapat dipahami dengan baik oleh responden karena tidak menimbulkan
ambigu.
Berdasarkan uji reliabilitas
diperoleh nilai Cronbach�s
alpha seluruh pertanyaan
sebesar 0,868. Nilai koefisien
kurang dari 0,4; 0,4 sampai 0,75 atau lebih besar dari
0,75 dikaitkan dengan kesepakatan yang buruk, sedang, dan sangat baik. Nilai tertinggi ada pada pertanyaan variabel tahap kesiapan membeli yaitu beli
dengan perencanaan dengan nilai Cronbach�s alpha
sebesar 0,868. Nilai terendah
ada pada pertanyaan variabel alasan mengonsumsi yaitu dapat diseduh dengan
cepat, aman dikonsumsi dan variabel sikap terhadap produk baru yaitu
membandingkan dengan yang biasa dibeli dengan
nilai Cronbach�s alpha sebesar
0,858. Walaupun terendah, namun Cronbach�s alpha sebesar
0,858 masih dinyatakan reliabel karena nilainya lebih besar dari 0,75. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan
kuesioner dalam penelitian ini dinyatakan sangat baik untuk digunakan sebagai alat ukur
karena lebih besar dari 0,75.
Tabel 4
Variabel Penelitian Aspek Psikografis
Variabel Psikografis |
Pernyataan |
Alasan mengonsumsi |
Dapat diseduh dengan cepat |
Praktis disajikan |
|
Mudah disajikan |
|
Takaran standar 1 kali konsumsi |
|
Cita rasa khas |
|
Mudah dibawa |
|
Tidak berampas |
|
Aman dikonsumsi |
|
Gaya hidup |
Sibuk aktivitas sehari-hari |
Sosialita |
|
Pengikut tren |
|
Pengikut keluarga |
|
Status loyalitas |
Ganti-ganti merek |
Setia 1 merek |
|
Tidak peduli dengan merek |
|
Tahap kesiapan
membeli |
Beli tanpa perencanaan |
Beli dengan perencanaan |
|
Sensitivitas harga |
Harga mahal kualitas premium |
Harga ekonomis |
|
Tidak pertimbangkan harga |
|
Sikap terhadap
produk baru |
Tertarik cari info |
Pertimbangkan harga |
|
Membandingkan dengan yang biasa
dibeli |
|
Tertarik beli |
|
Mau mencoba |
Sumber: Data Olahan (2018)
Setelah seluruh
variabel valid dan reliabel,
kemudian dilakukan penyebaran kuesioner kembali pada 70 responden karena jumlah responden
yang diperlukan sebanyak
100 orang. Hasil penyebaran kuesioner
segmentasi aspek psikografis kemudian di uji asumsi. Uji asumsi yang pertama adalah sampel penelitian harus representatif. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sudah merepresentasikan populasi peminum kopi di DIY karena sudah melewati
perhitungan yang telah dibahas pada bagian metode penelitian. Kemudian uji asumsi yang kedua adalah uji multikolinieritas dengan menggunakan uji korelasi Kendall-Tau.
Uji korelasi dilakukan antar kelompok variabel psikografis dan seluruh kelompok variabel psikografis. Data dianggap mengalami multikolinieritas jika nilai koefisien korelasi > 0.75. Berdasarkan hasil uji multikolinieritas, dapat diketahui bahwa tidak ada
variabel yang mengalami multikolinieritas karena korelasi tiap variabel
nilainya < 0.75. Hal ini
menandakan bahwa data sudah memenuhi semua syarat uji asumsi dan siap untuk dilakukan proses pembentukan klater dengan K-Means.
Langkah-langkah
yang dilakukan
pada pembentukan klaster menggunakan metode K-Means
dengan SPSS adalah analyse>classify>K-Means
cluster. Jumlah klaster ditentukan dengan uji elbow. Penentuan jumlah
klaster ditujukan untuk meminimalkan hasil ambigu dan mengoptimalkan polarisasi
data. Polarisasi data yang optimal dapat memudahkan pengambilan keputusan dalam
penentuan klaster (segmen) mana yang akan dipilih sebagai pasar sasaran.
Gambar 2
Grafik Hasil Uji Elbow 30 Data
Uji elbow adalah
uji interpretasi dan uji peforma konsistensi dalam analisis klaster untuk
menemukan jumlah klaster yang tepat dari suatu variabel yang akan
dikelompokkan. Uji ini melihat nilai Sum of Square Error sebagai fungsi dari
jumlah klaster. Nilai Sum of Square Error dijelaskan oleh klaster yang
diplotkan berdasarkan jumlah klaster. Semakin kecil nilai Sum of Square
Error berarti anggota yang ada pada klaster tersebut sangat cocok (tidak
ada perbedaan) sehingga makin baik hasil klasternya. Sebaliknya apabila nilai Sum
of Square Error besar maka semakin tidak cocok (memiliki perbedaan) dengan
klaster yang ditempati. Namun pada uji elbow, sebelum melihat besar dan
kecilnya nilai Sum of Square Error perlu diperhatikan nilai Sum of
Square Error klaster pertama, kedua dan seterusnya. Jika nilai Sum of
Square Error mengalami penurunan secara ekstrim dan memberikan sebuah
lekukan pada grafik (kriteria siku), maka nilai tersebut merupakan jumlah
klaster paling ideal untuk dipilih.
Gambar 3
Grafik Hasil Uji Elbow 60 Data
Pada uji elbow
yang dilakukan pada penelitian ini, jumlah klaster yang akan diuji adalah 2
klaster sampai 8 klaster. Untuk menentukan jumlah klaster terbaik, uji coba
akan dilakukan sebanyak 3 kali dengan jumlah data yang berbeda-beda, pertama 30
data, kedua 60 data dan ketiga 100 data. Hasil uji elbow disajikan
pada Gambar 2, 3, dan 4.
Grafik Hasil Uji Elbow 100 Data
Berdasarkan hasil
uji elbow yang dilakukan sebanyak
3 kali dengan jumlah data
yang berbeda yaitu 30, 60
dan 90, penururunan Sum of Square Error secara ekstrim terletak pada klaster ke 3. Sama seperti hasil penurunan Sum of Square
Error, lekukan (siku) pada grafik
ditunjukkan pada klaster ke 3. Walaupun klaster ke 4,5,6,7 dan 8 menunjukkan angka Sum of
Square Error yang lebih kecil
dibanding klaster ke 3, namun klaster
ke 4,5,6,7 dan 8 tidak menunjukkan penurunan Sum of
Square Error secara ekstrim
dan tidak memberikan lekukan (siku) pada grafik, sehingga jumlah klaster yang digunakan pada K-Means
clustering adalah 3.
Tabel 5
Inisialisasi Pusat Klaster
Variabel |
Klaster |
||
1 |
2 |
3 |
|
Diseduh dengan cepat (X1) |
-2,21825 |
-0,03278 |
1,05995 |
Praktis disajikan (X2) |
-1,03128 |
1,18652 |
-1,03128 |
Mudah disajikan (X3) |
-1,08562 |
0,00000 |
0,00000 |
Takaran 1 kali konsumsi (X4) |
-1,03527 |
1,09931 |
0,03202 |
Cita rasa khas (X5) |
1,65706 |
-0,31563 |
-1,30198 |
Mudah dibawa (X6) |
-2,07119 |
1,18199 |
1,18199 |
Tidak berampas (X7) |
0,44811 |
1,40153 |
-0,50531 |
Aman dikonsumsi (X8) |
1,34926 |
1,34926 |
-1,83797 |
Sibuk aktivitas sehari-hari (X9) |
-1,95346 |
0,06042 |
1,06736 |
Sosialita (X10) |
0,47502 |
1,50766 |
-1,59027 |
Pengikut tren (X11) |
0,99078 |
-0,08615 |
-0,08615 |
Pengikut keluarga (X12) |
-1,51539 |
1,51539 |
-1,51539 |
Ganti-ganti merek (X13) |
1,82268 |
-1,35641 |
-0,29672 |
Setia 1 merek (X14) |
-1,16820 |
0,97528 |
-1,16820 |
Tidak peduli dengan merek (X15) |
-1,57913 |
-1,57913 |
1,22406 |
Beli tanpa perencanan
(X16) |
1,83125 |
-0,21484 |
-0,21484 |
Beli dengan perencanaan (X17) |
-1,95346 |
1,06736 |
1,06736 |
Harga mahal kualitas
premium (X18) |
0,97252 |
-1,37090 |
-0,19919 |
Harga ekonomis (X19) |
-0,09878 |
2,09624 |
-1,19628 |
Tidak pertimbangkan harga (X20) |
0,06236 |
-2,01640 |
1,10174 |
Tertarik cari info (X21) |
0,65525 |
-1,33036 |
-1,33036 |
Pertimbangkan harga (X22) |
-1,26934 |
1,98539 |
-1,26934 |
Bandingkan dengan yang biasa dibeli (X23) |
-0,22439 |
1,81556 |
-1,24437 |
Tertarik beli (X24) |
2,01624 |
-0,24920 |
-1,38191 |
Mau mencoba (X25) |
-1,56723 |
-1,56723 |
1,23139 |
Sumber: Data Olahan (2018)
�����������
Pada tahap selanjutnya, dilakukan proses pengolahan data dengan metode K-Means menggunakan
SPSS. Pada tahap ini, terjadi proses pemasukan obyek penelitian ke dalam klaster
yang nantinya dikelompokkan
menjadi klaster yang lebih spesifik sesuai dengan jumlah
klaster yang telah ditentukan. Jumlah klaster yang ditentukan sebanyak 3 berdasarkan hasil uji elbow. Pembentukan klaster dengan metode K-Means terbagi dalam beberapa proses. Proses pertama adalah melakukan standardisasi data. Standardisasi dilakukan supaya tidak ada
perbedaan satuan dari tiap-tiap variabel. Perbedaan satuan yang mencolok dapat menyebabkan bias dalam pengidentifikasian klaster. Dengan demikian, perlu dilakukan suatu transformasi terhadap variabel yang relevan ke bentuk z score. Proses selanjutnya adalah pemilihan pusat klaster awal yang dilakukan secara random oleh bantuan program SPSS 24.0. Klaster
yang terdekat adalah klaster dengan jarak euclidean terkecil antara observasi dan pusat klaster. Semakin jauh jarak antara
klaster dengan pusat klaster, maka semakin berbeda
antara satu kelompok dengan yang lain. Pada Tabel 5 dapat dilihat
tampilan pertama proses klaster sebelum dilakukan iterasi yaitu inisialisasi pusat klaster.
Tabel 6
Jumlah Iterasi
Iterasi |
Perubahan Dalam Pusat Klaster |
||
1 |
2 |
3 |
|
1 |
3,609 |
3,841 |
3,987 |
2 |
0,457 |
0,283 |
0,281 |
3 |
0,203 |
0,208 |
0,000 |
4 |
0,000 |
0,000 |
0,000 |
Sumber: Data Olahan (2018)
Pada penelitian
ini dilakukan iterasi sebanyak 4 kali untuk memperoleh hasil klaster yang
tepat. Iterasi akan berhenti saat jarak antar klaster bernilai 0 secara
konstan. Iterasi berhenti pada perulangan ke-4 dengan performa maksimum yang
ditentukan yaitu 10. Pada Tabel 6 dapat dilihat
jumlah proses iterasi tiap klaster. Kemudian
setelah dilakukan iterasi, diperoleh hasil pusat klaster
akhir yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7
Jumlah Anggota Dalam Klaster
Klaster |
Jumlah |
1 |
26 Orang |
2 |
25 Orang |
3 |
49 Orang |
Total |
100 Orang |
� Sumber: Data Olahan (2018)
Pusat klaster
akhir yang disajikan pada Tabel 8 digunakan untuk menyatakan sifat psikografis yang dimiliki oleh tiap klaster dan akan dibahas pada identifikasi segmen pasar produk kopi celup.
Tabel 8
Pusat Klaster
Akhir
Variabel |
Klaster |
||
1 |
2 |
3 |
|
Diseduh dengan cepat (X1) |
-1,25160 |
0,36060 |
0,48013 |
Praktis disajikan (X2) |
-1,11658 |
0,29940 |
-0,43971 |
Mudah disajikan (X3) |
-1,12737 |
0,34740 |
0,42095 |
Takaran 1 kali konsumsi (X4) |
-1,24052 |
0,37355 |
0,46765 |
Cita rasa khas (X5) |
0,78452 |
-0,15782 |
0,33576 |
Mudah dibawa (X6) |
-1,19534 |
0,40123 |
0,42955 |
Tidak berampas (X7) |
0,19142 |
0,98202 |
-0,60260 |
Aman dikonsumsi (X8) |
0,08254 |
0,71182 |
-0,40697 |
Sibuk aktivitas sehari-hari (X9) |
-1,29508 |
0,26180 |
0,55361 |
Sosialita (X10) |
0,31615 |
0,84677 |
-0,59978 |
Pengikut tren (X11) |
0,53515 |
-0,04308 |
-0,26198 |
Pengikut keluarga (X12) |
-0,34970 |
0,99005 |
-0,31957 |
Ganti-ganti merek (X13) |
0,88525 |
-0,08478 |
-0,42647 |
Setia 1 merek (X14) |
-0,50866 |
1,27537 |
-0,38080 |
Tidak peduli dengan merek (X15) |
-1,04005 |
-0,27097 |
0,69012 |
Beli tanpa perencanan
(X16) |
0,76886 |
-0,01023 |
-0,40275 |
Beli dengan perencanaan (X17) |
-1,10144 |
0,26180 |
0,45086 |
Harga mahal kualitas
premium (X18) |
0,79226 |
-0,19919 |
-0,31875 |
Harga ekonomis (X19) |
-0,47868 |
1,17433 |
-0,34516 |
Tidak pertimbangkan harga (X20) |
-0,06236 |
-0,85229 |
0,40175 |
Tertarik cari info (X21) |
0,65525 |
-0,09928 |
-0,39834 |
Pertimbangkan harga (X22) |
-0,05925 |
0,94387 |
-0,45013 |
Bandingkan dengan yang biasa dibeli (X23) |
-0,65592 |
1,12197 |
-0,22439 |
Tertarik beli (X24) |
0,66569 |
-0,06796 |
-0,31856 |
Mau mencoba (X25) |
-0,59847 |
-0,48509 |
0,56505 |
Sumber: Data Olahan
(2018)
Tahapan
selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melihat perbedaan variabel pada klaster
yang terbentuk. Dalam hal ini dapat dilihat dari uji Anova berdasarkan nilai F
dan nilai signifikansi masing-masing variabel terlepas dari hasil klaster yang
diperoleh. Semakin besar nilai F dan sig < 0,05, maka semakin besar
perbedaan antar variabel.
Tabel 9
Hasil Uji Anova
Variabel |
F |
Signifikansi |
Diseduh dengan cepat (X1) |
111,899 |
0,000 |
Praktis disajikan (X2) |
122,133 |
0,002 |
Mudah disajikan (X3) |
100,572 |
0,025 |
Takaran 1 kali konsumsi (X4) |
92,113 |
0,000 |
Cita rasa khas (X5) |
44,655 |
0,032 |
Mudah dibawa (X6) |
26,750 |
0,218 |
Tidak berampas (X7) |
70,923 |
0,000 |
Aman dikonsumsi (X8) |
32,546 |
0,001 |
Sibuk aktivitas sehari-hari (X9) |
22,334 |
0,142 |
Sosialita (X10) |
260,361 |
0,037 |
Pengikut tren (X11) |
54,275 |
0,001 |
Pengikut keluarga (X12) |
27,517 |
0,014 |
Ganti-ganti merek (X13) |
46,093 |
0,001 |
Setia 1 merek (X14) |
101,168 |
0,000 |
Tidak peduli dengan merek (X15) |
109,692 |
0,000 |
Beli tanpa perencanan
(X16) |
34,377 |
0,023 |
Beli dengan perencanaan (X17) |
67,778 |
0,000 |
Harga mahal kualitas
premium (X18) |
57,712 |
0,000 |
Harga ekonomis (X19) |
51,562 |
0,000 |
Tidak pertimbangkan harga (X20) |
47,315 |
0,001 |
Tertarik cari info (X21) |
87,176 |
0,000 |
Pertimbangkan harga (X22) |
71,898 |
0,000 |
Membandingkan dengan yang biasa dibeli (X23) |
67,773 |
0,000 |
Tertarik beli (X24) |
68,424 |
0,000 |
Mau mencoba (X25) |
78,480 |
0,000 |
Sumber: Data Olahan (2018)
Dapat dilihat
terdapat beberapa variabel yang memiliki nilai sig > 0,05 dan nilai F yang
rendah yaitu variabel dengan kode X6 dan X9. Berdasarkan hasil tersebut dapat
dinyatakan bahwa alasan mengonsumsi mudah dibawa dan gaya hidup sibuk dengan
aktivitas sehari-hari tidak memberikan perbedaan diantara klaster-klaster yang
terbentuk. Variabel yang berada pada nilai signifikansi di atas 0,05 dapat
dinyatakan sebagai variabel yang berada pada semua klaster karena tidak
memberikan beda nyata.
Pada setiap
golongan konsumen yang terbentuk terdapat konsumen yang memilih sibuk dengan
kegiatan sehari-hari sebagai gaya hidup yang melatarbelakangi mereka untuk
mengonsumsi kopi celup. Melihat fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa
konsumen yang sibuk dengan kegiatan sehari-hari memberikan peran yang cukup
besar dalam pertumbuhan produk kopi celup di kalangan masyarakat. Selain gaya
hidup sibuk dengan kegiatan sehari-hari, manfaat kemudahan kopi celup dibawa
kemanapun juga dipilih oleh tiap golongan konsumen. Manfaat inilah yang
melatarbelakangi mereka untuk mengonsumsi kopi celup. Fenomena tersebut juga
dapat memberikan peran yang cukup besar dalam pertumbuhan produk kopi celup
yang harus ditangkap oleh perusahaan sebagai peluang untuk memasarkan produk
kopi celup yang menarik di mata konsumen. Hasil dapat dilihat pada Tabel 9 yang merupakan
hasil pengujian anova.
Setelah hasil K-Means
dan profil responden diketahui, peneliti melakukan profilisasi guna
mengidentifikasi segmen pasar kopi celup di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman
dan Bantul. Pada tahap ini, dilakukan penginterpretasian aspek psikografis dan demografis
antara satu klaster dengan yang lainnya. Profilisasi klaster berdasarkan aspek
psikografis dilakukan dengan cara menginterpretasikan keanggotaan klaster
dengan melihat tanda plus atau minus pada nilai yang tertera pada kolom Tabel 8 yaitu tabel
pusat klaster akhir. Nilai tersebut mewakili sifat psikografis yang dimiliki
oleh tiap klaster. Apabila memiliki nilai plus, maka sifat psikografis tersebut
dimiliki oleh anggota tiap klaster tersebut dan begitu
juga sebaliknya.
Profil klaster
berdasarkan aspek demografis dan kebiasaan membeli dan mengonsumsi kopi celup
diperoleh dari profil responden yang telah diketahui. Interpretasi keanggotaan
klaster mengikuti jumlah klaster yang telah ditentukan dengan uji elbow.
Terdapat 3 klaster yang terbentuk dan kemudian disebut klaster konsumen
pengikut tren, konsumen pengikut keluarga dan konsumen yang sibuk dengan
aktivitas sehari-hari untuk memudahkan penyebutan klaster. Berikut ini hasil
interpretasi keanggotaan klaster berdasarkan aspek psikografis yang disajikan
pada Tabel 10.
Hasil interpretasi keanggotaan
klaster berdasarkan aspek demografis serta kebiasaan membeli dan mengonsumsi kopi celup yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 10
Profilisasi Tiap Klaster Berdasarkan Aspek Psikografis
No |
Variabel |
Atribut
Klaster 1 (Tren) |
Tingkat
Kepentingan |
Atribut
Klaster 2 (Keluarga) |
Tingkat
Kepentingan |
Atribut
Klaster 3 (Sibuk) |
Tingkat
Kepentingan |
1 |
Alasan
mengonsumsi |
Cita
rasa khas (X5) |
3,000 |
Praktis
disajikan (X2) |
3,469 |
Diseduh
dengan cepat (X1) |
3,560 |
2 |
Tidak
berampas (X7) |
2,884 |
Mudah
dibawa (X6) |
3,400 |
Takaran
1 kali konsumsi (X4) |
3,408 |
|
3 |
Aman
dikonsumsi (X8) |
2,846 |
Diseduh
dengan cepat (X1) |
3,360 |
Mudah
disajikan (X3) |
3,387 |
|
4 |
Mudah
dibawa (X6) |
2,038 |
Mudah
disajikan (X2) |
3,320 |
Cita
rasa khas (X5) |
2,346 |
|
5 |
|
|
Takaran
1 kali konsumsi (X4) |
3,316 |
Mudah
dibawa (X6) |
3,306 |
|
6 |
|
|
Aman
dikonsumsi (X8) |
3,280 |
|
|
|
7 |
|
|
Tidak
berampas (X7) |
3,200 |
|
|
|
8 |
Gaya
hidup |
Sosialita
(X10) |
2,923 |
Pengikut
keluarga (X12) |
3,480 |
Sibuk
aktivitas sehari-hari (X9) |
3,489 |
9 |
Pengikut
tren (X11) |
2,461 |
Sibuk
aktivitas sehari-hari (X9) |
3,360 |
|
|
|
10 |
|
|
Sosialita
(X10) |
3,200 |
|
|
|
11 |
Status
loyalitas |
Ganti-ganti
merk (X13) |
2,923 |
Setia
1 merk (X14) |
3,280 |
Tidak
peduli dengan merk (X15) |
3,428 |
12 |
Tahap
kesiapan membeli |
Beli
tanpa perencanaan (X16) |
3,076 |
Beli
dengan perencanaan (X17) |
3,200 |
Beli
dengan perencanaan (X17) |
3,224 |
13 |
Sensitivitas
harga |
Harga
mahal kualitas premium (X18) |
2,961 |
Harga
ekonomis (X19) |
3,160 |
Tidak
pertimbangkan harga (X20) |
3,265 |
14 |
Sikap
terhadap produk baru |
Tertarik
cari info (X21) |
2,961 |
Pertimbangkan
harga (X22) |
3,320 |
Mau
mencoba (X25) |
3,285 |
15 |
Tertarik
beli (X24) |
2,769 |
Bandingkan
dengan yang biasa dibeli (X23) |
3,040 |
|
|
Sumber: Data Olahan
(2018)
Tabel 11
Profilisasi Tiap Klaster Berdasarkan Aspek Demografis serta
Kebiasaan
Membeli dan Mengonsumsi
Kopi Celup
No |
Aspek |
Variabel |
Atribut
Klaster 1 (Tren) |
Atribut
Klaster 2 (Keluarga) |
Atribut
Klaster 3 (Sibuk) |
1 |
Demografis |
Tempat
tinggal |
Kota
Yogyakarta |
Kabupaten
Bantul |
Kabupaten
Sleman |
2 |
Usia |
15-25
tahun |
26-35
tahun |
26-35
tahun |
|
3 |
Jenis
kelamin |
Pria |
Pria |
Pria |
|
4 |
Pendidikan
terakhir |
SMA/sederajat |
S1 |
S1 |
|
5 |
Pekerjaan |
Pelajar
dan Mahasiswa |
Mahasiswa |
Karyawan
swasta dan PNS |
|
6 |
Pendapatan
rata-rata tiap Bulan |
Rp
1.000.000- Rp
3.000.000 |
Rp
1.000.000- Rp
3.000.000 |
Rp
3.000.000- Rp
5.000.000 |
|
1 |
Kebiasaan membeli dan mengonsumsi
kopi celup |
Lama
mengonsumsi |
1
tahun |
1-2
tahun |
2
tahun |
2 |
Frekuensi
mengonsumsi dalam seminggu |
Jarang
(1-2 cangkir) |
Sering
(sehari 1 cangkir) |
Sangat
sering (sehari > 1 cangkir) |
|
3 |
Waktu
mengonsumsi |
Siang
dan Sore |
Pagi |
Pagi
dan Siang |
|
4 |
Tempat
mengonsumsi |
Kafe/restoran
dan tempat wisata/alam terbuka |
Rumah |
Tempat
kerja |
|
5 |
Jenis
kopi celup yang
disukai |
Kopi
hitam dengan campuran diluar filter |
Kopi
hitam dengan campuran diluar filter |
Kopi
hitam dengan campuran diluar filter |
|
6 |
Penyajian
kopi celup yang disukai |
Panas |
Panas |
Panas |
|
7 |
Tempat
membeli kopi celup |
Kafe/restoran
dan toko online |
Minimarket/supermarket |
Toko
online |
|
8 |
Merk
kopi celup yang biasa dibeli |
Coffesso
dan Studio Kopi |
Kepala
Djenggot |
Otten |
|
9 |
Jumlah
kopi celup yang dibeli dalam seminggu |
1
Kotak (isi 5 kopi celup) |
2
Kotak (isi 20 kopi celup) |
3
Kotak (isi 10 kopi celup) |
|
10 |
Sumber
informasi tentang kopi celup |
Teman
dekat dan sosial media |
Keluarga |
Sosial
media |
Sumber: Data Olahan (2018)
Berdasarkan profil
tiap klaster yang telah teridentifikasi, segmen pasar kopi celup unggulan ada pada klaster 3 (konsumen yang sibuk dengan aktivitas
sehari-hari). Klaster 3 merupakan segmen pasar kopi celup unggulan karena memiliki jumlah anggota paling banyak dibanding klaster konsumen pengikut tren dan klaster konsumen pengikut keluarga. Klaster dengan jumlah anggota paling banyak dapat menunjukkan
besarnya pangsa pasar klaster 3 di Kota Yogyakarta, Kabupaten
Sleman dan Bantul dibanding
klaster konsumen pengikut tren dan klaster konsumen pengikut keluarga.
Selain itu,
klaster 3 merupakan konsumen yang sudah mengonsumsi kopi celup selama 2 tahun dengan frekuensi sangat sering (sehari lebih dari 1 cangkir/minggu), lebih lama dan lebih sering dibanding
klaster konsumen pengikut tren yang mayoritas baru 1 tahun mengonsumsi kopi celup dengan frekuensi
minum kopi celup jarang (1-2 cangkir/minggu) untuk dan klaster konsumen pengikut keluarga dengan frekuensi minum kopi celup sering (sehari 1 cangkir/minggu). Semakin sering frekuensi konsumen mengonsumsi kopi celup, maka volume penjualan kopi celup akan terus
meningkat. Mayoritas anggota klaster 3 sudah bekerja dan berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan karyawan swasta dengan penghasilan rata-rata per bulan Rp 3.000.000 � Rp 5.000.000. Penghasilan
tersebut lebih besar dibanding klaster konsumen pengikut tren dan klaster konsumen pengikut keluarga dengan penghasilan rata-rata per bulan Rp 1.000.000 � Rp 3.000.000. Tingginya
penghasilan yang diperoleh dapat meningkatkan permintaan terhadap suatu produk. Hal tersebut dapat terlihat dari jumlah
kopi celup yang dibeli dalam seminggu. Klaster 3 membeli 3 kotak kopi celup dalam seminggu. Lebih banyak dibanding
klaster konsumen pengikut tren dan konsumen pengikut keluarga yang masing-masing membeli
1 dan 2 kotak kopi celup dalam seminggu.
Berdasarkan karakter
psikografis, klaster 3 biasa membeli kopi celup dengan perencanaan.
Pembelian kopi celup dengan perencanaan mengindikasikan rutinitas pembelian produk kopi celup. Berbeda dengan klaster konsumen pengikut tren yang membeli produk kopi celup tanpa perencanaan. Selain itu, ketika
terdapat produk kopi celup baru di pasaran
maka anggota klaster 3 bersedia membeli tanpa mempertimbangkan
hal lain. Berbeda dengan klaster konsumen pengikut tren dan klaster konsumen pengikut keluarga yang penuh pertimbangan. Klaster konsumen pengikut tren tertarik membeli
produk kopi celup baru namun memilih
untuk mencari info terlebih dahulu dan tidak langsung membeli. Klaster konsumen pengikut keluarga masih mempertimbangkan harga produk baru tersebut
dan membandingkan dengan produk kopi celup yang biasa mereka beli.
Hal tersebut dapat menjadi peluang untuk perusahaan kopi celup untuk mendapatkan
pasar klaster 3.
Kemudian, klaster
3 memiliki gaya hidup sibuk dengan
aktivitas sehari-hari dan mengonsumsi kopi celup dengan alasan utama
dapat diseduh dengan cepat. Keunggulan
kopi celup tersebut sangat sesuai dengan karakter
klaster 3 yang menginginkan
minum kopi namun tidak ingin membuang
waktu banyak karena kesibukannya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa anggota klaster
3 akan selalu membutuhkan kopi celup.
Kesimpulan
Terdapat 3
segmen pasar kopi celup yang diperoleh pada penelitian ini, yaitu segmen
konsumen pengikut keluarga, segmen konsumen pengikut tren dan segmen konsumen
yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari.
Segmen pasar
kopi celup unggulan adalah segmen konsumen yang sibuk dengan aktivitas
sehari-hari karena memiliki jumlah anggota lebih banyak, frekuensi mengonsumsi
kopi celup yang lebih sering dan jumlah pembelian kopi celup dalam seminggu
yang lebih banyak dibanding kedua segmen yang lain. Selain itu, anggota segmen
konsumen yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari mayoritas sudah bekerja dan
memiliki rata-rata penghasilan per bulan yang lebih besar dibanding kedua
segmen yang lain. Berdasarkan nilai tingkat kepentingan tertinggi, anggota
segmen konsumen yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari mengonsumsi kopi celup
karena dapat diseduh dengan cepat. Kecepatan penyeduhan kopi celup membuat
anggota segmen konsumen yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari dapat tetap
mengonsumsi kopi di sela-sela kesibukan tanpa membuang banyak waktu. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa mereka akan selalu membutuhkan kopi celup.
Karena penelitian ini
terbatas pada produk kopi celup dengan basis konsumen yang berada di Kota
Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Bantul, maka peneliti
menyarankan untuk dapat mengambil cakupan wilayah yang lebih luas pada
penelitian selanjutnya. Selain itu,
penelitian ini hanya dilakukan sampai tahap identifikasi segmentasi pasar
produk kopi celup. Supaya analisis dapat tersusun lebih baik, maka perlu
dilakukan penentuan objek/merek dari produk kopi celup supaya dapat diketahui
posisi produk kopi celup tersebut di mata masyarakat.
Becker, Brian, & Gerhart, Barry. (1996). The
impact of human resource management on organizational performance: Progress and
prospects. Academy of Management Journal, 39(4), 779�801. Google Scholar
Bholowalia, Purnima, & Kumar, Arvind.
(2014). EBK-means: A clustering technique based on elbow method and k-means in
WSN. International Journal of Computer Applications, 105(9). Google Scholar
Hair, Joseph F. (2009). Multivariate
data analysis.
Humbert, Sebastien, Loerincik, Yves, Rossi,
Vincent, Margni, Manuele, & Jolliet, Olivier. (2009). Life cycle assessment
of spray dried soluble coffee and comparison with alternatives (drip filter and
capsule espresso). Journal of Cleaner Production, 17(15), 1351�1358.
Google Scholar
Kementerian Perindustrian. (2017). Peluang
Usaha IKM Kopi. Jakarta: Departemen Perindustrian.
Kementerian Pertanian. (2015). Komoditas
Indonesia di Pasar Internasional 2010-2015. Jakarta: Departemen Pertanian.
Merliana, Ni Putu Eka, & Santoso, Alb
Joko. (2015). Analisa Penentuan Jumlah Cluster Terbaik pada Metode K-Means
Clustering. Google Scholar
Pamungkas, Kristian Bintang. (2017). Analisis
Strategi Pengembangan Usaha Kopi Celup" UNO" di CV. Coffee Roema,
Malang. Universitas Brawijaya. Google Scholar
Piero, Malvin, Wibawa, Berto Mulia, &
Persada, Satria Fadil. (2018). Identifikasi Perilaku Compulsive Buying pada
Mahasiswa di Surabaya. Jurnal Sains Dan Seni ITS, 7(1), 15�17. Google Scholar
Rahmahapsarin, Rosita. (2017). Penentuan
Segmenting, Targeting, Positioning (STP) Dan Baurankomunikasi Pemasaran Produk
Teh Hijau Kemasan Celup Di DIY. Universitas Gadjah Mada. Google Scholar
Statistik, Badan Pusat. (2015). Potensi
Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Wardhana, Danu Indra, Wibowo, Yuli, &
Suwasono, Sony. (2016). Strategi pengembangan agroindustri kopi yang
berkelanjutan. Google Scholar
Warren, Carol A. B. (2002). Qualitative
interviewing. Handbook of Interview Research: Context and Method, 839101,
83�101. Google Scholar
Copyright holder: Arief Fathoni
Argadian (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |