Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 3, Maret 2022

 

IMPLEMENTASI PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

 

Maman Budiman

Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penghentian penuntutan terhadap perkara tipikor yang dilakukan oleh lembaga kejaksaan mendasarkan pada keadilan restorative (restorative justice). Dalam keadilan restoratif sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tidak menghilangkan penderitaan yang dialami oleh korban sehingga dalam prakteknya, dibutuhkan alternatif lain atau pendekatan lain untuk memperbaiki sistem peradilan pidana dengan cara melakukan atau menggunakan penyelesaian non litigasi dengan pendekatan keadilan restoratif. Salah satu pendekatan keadilan restoratif akan digunakan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang kerugian negaranya di bawah Rp. 50.000.000,- (Lima puluh Juta) dengan syarat uang tersebut dikembalikan kepada negara. Alasan perkara tindak pidana korupsi dapat dihentikan dengan menggunakan restorative justice adalah biaya yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukum untuk memproses pelaku dapat melebihi Rp. 50.000.000,-,. Dari latar belakang di atas timbul beberapa permasalahan yang menarik untuk dilakukan kajian yaitu, Bagaimana penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan ?., Sejauhmanakah efektifitas konsep restorative justice yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi ?. Tujuan penelitian ini adalah untuk penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan ?., Sejauhmanakah efektifitas konsep restorative justice yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan. Hasil analisis menyimpulkan Penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan tentunya tidaklah mudah dilaksanakan, Kejaksaan harus membuat regulasi kembali agar dasar penghentian penuntutan perkari tipikor menjadi kuat. Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 tahun 2020 tidak menjelaskan secara spesifik penghentian perkara dalam kasus tindak pidana korupsi. Kejaksaan juga harus membuat standar operasional prosedur penghentian perkara tindak pidana korupsi agar pelaksanaannya benar benar sesuai dengan tujuan hukum yaitu menegakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Efektifitas konsep restorative justice yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan menggunakan konsep restorative justice dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek tujuan pemidanaan dan aspek kemanfaatan.

 

Kata Kunci: implementasi; korupsi; kejaksaan; restorative justice

 

Abstract

The termination of prosecution of tipikor cases conducted by the prosecutor's office is based on restorative justice. In restorative justice the criminal sanctions given to the perpetrator do not eliminate the suffering experienced by the victim so that in practice, other alternatives or other approaches are needed to improve the criminal justice system by conducting or using non-litigation settlement with a restorative justice approach. One of the restorative justice approaches will be used against cases of corruption crimes whose state losses are below Rp. 50,000,000,- (Fifty Million) on condition that the money is returned to the state. The reason for corruption can be stopped by using restorative justice is that the costs incurred by law enforcement officials to process the perpetrator can exceed Rp. 50,000,000,-,. From the background above arises some interesting problems to be studied, namely, How is the application of restorative justice to perpetrators of corruption crimes committed by the Prosecutor's Office ?., How far is the effectiveness of the concept of restorative justice carried out by the prosecutor against perpetrators of corruption crimes?. The purpose of this research is for the application of restorative justice against perpetrators of corruption crimes committed by the Prosecutor's Office ?., The extent of the effectiveness of the concept of restorative justice carried out by the prosecutor against the perpetrators of corruption crimes. The research method used is normative legal research by reviewing and researching laws and regulations. The results of the analysis concluded that the application of restorative justice against perpetrators of corruption crimes committed by the Prosecutor's Office is certainly not easy to implement, the Prosecutor's Office must make regulations again so that the basis for stopping the prosecution of suspects becomes strong. Attorney General Regulation (Perja) Number 15 of 2020 does not explain the specifics of the termination of cases in cases of corruption. The Prosecutor's Office must also make operational standards for the procedure for stopping corruption cases so that their implementation is correct in accordance with the legal objectives of upholding justice, certainty and expediency. The effectiveness of the concept of restorative justice carried out by the prosecutor against perpetrators of corruption crimes using the concept of restorative justice can be seen from two aspects, namely aspects of the purpose of prosecution and aspects of expediency.

 

Keywords: implementation; corruption; prosecutor; restorative justice

 

Pendahuluan

Kejaksaan adalah institusi penegak hukum yang mempunyai tanggung jawab kepada pihak eksekutif (Pemerintah). Kejaksaan merupakan penegak hukum yang berada di posisi sebagai penuntut umum dan pengacara negara. Sehingga dalam keberadaanya di dalam suatu masyarakat mampu mengemban kedua proses tersebut dalam penegakan hukum di Indonesia.

Kejaksaan diberikan kewenangan dalam penuntutan berarti menjalankan pula kekuasaan yudikatif. Kewenangan kejaksaan dalam melakukan tugasnya bersifat merdeka, dikarenakan dalam prosesnya kejaksaan menjalankan tanpa adannya pengaruh dari siapapun dan Jaksa Agung bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Arin Karniasari mengemukakan bahwa:

�Dalam penuntutan perkara pidana dikenal adannya dua asas yang berlaku yaitu asas legalitas dan asas opurtinitas. Kedua asas tersebut berada dalam posisi yang berlawanan, di satu pihak asas legalitas menghendaki dilakukannya penuntutan terhadap semua perkara ke pengadilan, tanpa terkecuali. Sedangkan disisi lain asas opurtinitas memberikan peluang bagi Penuntut Umum untuk tidak melakukan penuntutan perkara pidana di Pengadilan.�� (Karniasari, 2012).

Wewenang Penghentian penuntutan dapat dilakukan oleh Penuntut Umum apabila terdapat alasan. Hal ini terdapat dalam pasal 140 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang menegaskan bahwa jaksa penuntut umum dapat menghentikan penuntutan dalam suatu perkara pidana. Isi Pasal aquo adalah :

a.    Dalam hal Penuntut Umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, Penuntut Umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

b.   Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada Tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.

c.      Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada Tersangka atau keluarga atau Penasihat Hukum, Pejabat rumah tahanan negara, Penyidik dan Hakim.

d.     Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap Tersangka.

�Pasal tersebut diatas menjelaskan Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan penghentian penuntutan jika terdapat kekurangan bukti atau perkara tersebut bukan termasuk dalam tindak pidana.

Perkembangannya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh lembaga kejaksaan mendasarkan juga kepada keadilan restorative (restorative justice). Dalam keadilan restoratif sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tidak menghilangkan penderitaan yang dialami oleh korban sehingga dalam prakteknya, dibutuhkan alternatif lain atau pendekatan lain untuk memperbaiki sistem peradilan pidana dengan cara melakukan atau menggunakan penyelesaian non litigasi dengan pendekatan keadilan restoratif.

Konsep keadilan restoratif itu sendiri adalah memulihkan hak-hak korban dan pelaku yang dilakukan diluar pengadilan melalui proses mediasi. Keadilan Restoratif (Restorative Justice) sebagai salah satu upaya penyelesaian baik bagi pelaku pelanggaran maupun korban yang mengarah rehabilitasi bagi pelaku pelanggaran dan penyembuhan bagi korban di dalam komunitas mereka sendiri sehingga semua pihak akan mengalami rasa keadilan yang terbuka. (Ani Purwati, CPL, CPCLE, & CLI, 2020).

Salah satu pendekatan keadilan restoratif akan digunakan juga terhadap kasus tindak pidana korupsi yang kerugian negaranya di bawah 50.000.000,- (Lima puluh Juta rupiah) dengan syarat uang tersebut dikembalikan kepada negara. Alasan perkara tindak pidana korupsi dapat dihentikan dengan menggunakan restorative justice adalah biaya yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukum untuk memproses pelaku dapat melebihi Rp. 50.000.000,-,. Rencana tersebut tentunya menimbulkan polemik di masyarakat banyak pro dan kontra ketika akan menghentikan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dengan menggunakan prisnsip restorative justice. Ada yang berpendapat tidak akan menimbulkan efek jera kepada para koruptor dan para koruptor akan semakin berani melakukan tindak pidana korupsi. Dari latar belakang di atas timbul beberapa permasalahan yang menarik untuk dilakukan kajian yaitu :

1.   Bagaimana penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan ?

Sejauhmanakah efektifitas konsep restorative justice yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi ?.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian sangatlah diperlukan dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah agar analisis terhadap objek studi dapat dilaksanakan dengan benar sehingga kesimpulan yang diperoleh juga tepat. (Burhan, 1996). �Metode penelitian yang dimaksud penulis berupa pendekatan masalah, metode pengumpulan bahan hukum, sumber bahan hukum dan analisis bahan hukum yang ada sehingga diperoleh alternatif pemecahan masalah yang sesuai dengan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku. (Burhan, 1996). Metode penelitian yang digunankan adalah sebagai berikut:

1.   Spefikasi Penelitian

Penelitian ini peneliti menggunakan spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Yaitu memaparkan fakta-fakta hukum dan/atau peraturan perundang-undangan secara menyeluruh tentang objek penelitian untuk dikaitkan dengan teori hukum dalam praktek pelaksanaan yang berhubungan persoalan yang diteliti.� (Soekanto, 1986).

2.   Metode Pendekatan

Metode yang digunkan dalam penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif dibutuhkan dan diperlukan, karena yang digunakan di dalam penelitian ini adala berfokus pada data sekunder yang dimana data sekunder diperoleh melalui penelusuran buku-buku, jurnal, literatur, artikel dan melalui situs intenet yang pastinnya mempunyai hubungan dengan hukumam dan aturan-aturan yang berkaitan satu sama lain dengan peraturan mengenai penghentian penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan jaksa penutut umum dengan pendekatan keadilan restoratif.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan

Kekuasaan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari keadilan itu sendiri. Kekuasan identik yang dimiliki oleh kepala Negara ataupun kepala Pemerintahan. Dari sebuah kekuasaan timbulah kewenangan yang dimiliki oleh kepala Negara untuk menjalankan Pemerintahan yang diaturnnya. Dalam menjalankan kekuasannya tidak jarang menimbulkan kesewenang-wenangan yang ditimbulkan oleh kepala Negara atau Pemerintahan. Maka dari itu timbulah hukum yang dapat mengatur Pemerintahan agar tidak terjadi kesewenangan. Dalam seuatu negara hukum tentunya salah satu tujuannya adalah menciptakan keadilan. Keadilan harus diciptakan oleh aparatur penegak hukum salah satunya adalah oleh lembaga kejaksaan yang berfungsi melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim.

Imman Yusuf Sitinjak menyatakan:

Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemriksaan di persidangn serta juga sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hnya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menrut Hukum Acara Pidana. Bahwa selain dari melakukan penntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (executive ambtenaar). (Sitinjak, 2018).

Kejaksaaan dalam menegakan hukum diberikan kewenangan untuk menghentikan penuntutan dengan prisnsip restorative justice agar tercipta keadilan di dalam masyarakat. Pengimplementasian dari keadilan restoratif ini terdapat dalam sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia� yang memiliki makna bahwa keadilan harus ditegakan dalam negara hukum agar korban yang diwakili oleh negara dapat juga mendapatkan keadilan selain tentunya pelaku kejahatan.

Istilah restorative justice merupakan terminologi asing yang baru dikenal di Indonesia sejak era tahun 1960an dengan istilah Keadilan Restoratif. Beberapa Negara maju keadilan restoratif bukan hanya sekedar wacana akademisi hukum pidana maupun kriminologi. Amerika Utara, Australia dan beberapa negara di Eropa, keadilan restoratif telah diterapkan dalam tahap peradilan pidana yang konvensional, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan ajudikasi dan tahap eksekusi. (Wahid, 2010). Pada tahun 2020 Jaksa Agung ST Burhanudin mengeluarkan Peraturan nomor 15 tentang penghentian penuntutan menggunakan keadilan restorative. Tujuan Peraturan Jaksa Agung ini adalah untuk mengembalikan kembali kepada keadaan semula sehingga bukan pembalasan yang dilakukan tetapi mencari keadilan melaui pendekatan keadilan restoratif.� Termasuk dalam perkara tindak pidana korupsi. Kejaksaan berencana menerapkan pendekatan prinsip restorative justice dalam memproses pelaku tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara Rp. 50.000.000,- (lima� puluh juta rupiah). Pendekatan dengan keadilan restoratif ini dinilai lebih efektif dalam memulihkan korban. Dalam perkara tindak pidana korupsi tentunya yang menjadi korban adalah masyarakat dan negara.�

Pelaksanaan keadilan restoratif memiliki prinsip dan pendekatan dasar. Menurut Mansyur prinsip mengenai keadilan restoratif adalah: (Mansyur, 2010).

a.   Keadilan yang dituntut adalah adannya upaya pemulihan bagi pihak yang dirugikan.

b.   Siapapun yang terlibat dan terkena dampak dari tindak pidana harus mendapat kesempatan untuk berpartisipasi penuh menindaklanjutinnya.

c.   Pemerintah berperan dalam menciptakan ketertiban umum, sementara masyarakat membangun dan memelihara perdamaian.

Keadilan restoratif merupakan tujuan pemidanaan yang mementingkan kepada bentuk pemulihan hubungan sosial antara pelaku, korban dan masyarakat yang didalamnya. Pendekatan model ini juga tidak memfokuskan kepada pembalasan seperti teori pemidanaan lainnya, fokus utama dalam pendekatan ini adalah lebih kepada kesukarelaan korban dan pelaku yang menjadi ciri dari dilakukannya keadilan restoratif.

�Penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan tentunya tidaklah mudah dilaksanakan, Kejaksaan harus membuat regulasi kembali agar dasar penghentian penuntutan perkari tipikor menjadi kuat. Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 tahun 2020 tidak menjelaskan secara spesifik penghentian perkara dalam kasus tindak pidana korupsi. Kejaksaan juga harus membuat standar operasional prosedur penghentian perkara tindak pidana korupsi agar pelaksanaannya benar benar sesuai dengan tujuan hukum yaitu menegakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Para pelaku tindak pidana korupsi yang nilai kerugiannya di bawah Rp. 50.000.000,- harus benar benar di teliti apakah kerugan tersebut diakibatkan kekurang hati hatian dalam mengelola uang negara atau ada niat jahat di dalamnya (mens rea). Apabila ada niat jahat di dalamnya tentunya kejaksaan harus mempertimbangkan kembali pelaksanaan prinsip restorative justice apabila akan menghentikan penuntutan.

B.      Efektifitas prinsip restorative justice yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

Uraian mengenai kewajiban yang harus dimiliki oleh seorang professional hukum berlaku bagi setiap individu yang menjalankannya. Dalam menjalankan kewajiban dan kewenangannya para professional hukum dituntut untuk selalu menjalankan tujuan dari hukum itu sendiri. Tujuan hukum mempunyai tiga tujuan yaitu keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Tujuan hukum yang pertama adalah mengenai keadilan hukum, keadilan sendiri merupakan hal yang sudah dibahas dan menjadi pusat perhatian para filsuf yunani seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas dan John Rawls. Doktrin-doktrin Aristoteles mengenai keadilan berpaku pada analisa ilmiah atas prinsip rasional dengan latar belakang model-model masyarakat politik dan Undang-Undang yang telah ada. (Sumaryono & Sardi, 2002). Hal ini memperkuat pandangan mengenai teori keadilan hukum bahwa dalam penerapan hukum harus memperhatikan setiap tindakannya dengan penilaian yang objektif sehingga dalam pemutusan terhadap sesuatu. Hakikatnya tujuan pokok hukum adalah menciptakan masyarakat yang tertib agar terjadi keseimbangan. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. (Nurhayati, 2020). �Agar tujuan hukum dapat tercapai, maka kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum yang melaksanakan fungsi penuntutan harus bekerja secara professional. Penuntutan merupakan bagian dari proses peradilan sebelum terdakwa di bawa kepengadilan. Selain Proses penuntutan Jaksa juga diberikan kewenangan untuk melakukan penghentian penuntutan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 140 ayat (2) huruf a, menyatakan bahwa :

 

Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

 

Ketentuan penghentian penuntutan dalam KUHAP masih menggunakan peradilan konvensional yang dimana proses peradilan masih menggunakan proses dan pendekatan yang sama sehingga asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan masih sulit diimplementasikan. Oleh karena itu Jaksa Agung mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung mengenai penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif yang diatur di dalam Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020. Dikeluarkannya peraturan mengenai penghentian penuntutan ini adalah untuk dilaksanakan berdasarkan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, menggunakan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam perkembangannya kejaksaan juga akan melakukan penghentian penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi dengan menggunakan prinsip restorative justice.

Konsep restorative justice berkembang dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, hal ini di latar belakangi oleh banyaknya kasus yang dibawa ke pengadilan ternyata tidak sesuai dengan tujuan hukum yaitu kemanfaatan dan keadilan. Banyak pelaku kejahatan yang dibawa ke Pengadilan ternyata tidak ada niat untuk melakukan kejahatan atau karena dorongan tertentu yang menyebabkan melakukan perbuatan melanggar hukum, bahkan tidak sedikit karena alasan ekonomi. Begitupun dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi ada pelaku yag karena kesalahan administrasi kemudian di bawa kepengadilan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terutama terkait degan pengadaan barang dan jasa. Aparat penegak hukum dalam hal ini kejaksaan yang berdasarkan Undang-Undang diberikan kewenangan melakukan proses terhadap pelaku tindak pidana korupsi tentunya memahami sekali kondisi tersebut sehingga Jaksa Agung berencana apabila ada perbuatan korupsi yang merugikan negara dibawah Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) tidak usah dibawa ke Pengadilan dengan syarat uang kerugian negara harus dikembalikan kepada negara. Rencana tersebut tentunya mempunyai konsekuensi bahkan masyarakat ada yang pro dan kontra menyikapi rencana tersebut. Kalaulah dilihat dari aspek tujuan pemidanaan tentunya rencana tersebut menyimpang dari tujuan pemidanaan karena pastilah pelaku korupsi tidak akan mempunyai rasa jera, sedangkan jikalau di lihat dari aspek kemanfaatan tentunya dapat dipahami karena ternyata untuk memproses pelaku kerupsi sektor pengadaan barang dan jasa kejaksaan dapat mengeluarkan anggaran lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta), karena ternyata waktu yang diperlukan dapat melebihi 6 bulan dalam satu perkara tipikor yang di tangani. Dengan melihat tersebut tentunnya efektifitas prinsip restorative justice dapat terlihat di rencana tersebut, sehingga bisa saja dengan prisnsip ultimum remidium dapat ditegakan karena tidak semua perkara pidana harus diselesaikan di pengadilan termasuk perkara tindak pidana korupsi.

Kesimpulan

Penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan tentunya tidaklah mudah dilaksanakan, Kejaksaan harus membuat regulasi kembali agar dasar penghentian penuntutan perkari tipikor menjadi kuat. Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 tahun 2020 tidak menjelaskan secara spesifik penghentian perkara dalam kasus tindak pidana korupsi. Kejaksaan juga harus membuat standar operasional prosedur penghentian perkara tindak pidana korupsi agar pelaksanaannya benar benar sesuai dengan tujuan hukum yaitu menegakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Para pelaku tindak pidana korupsi yang nilai kerugiannya di bawah Rp. 50.000.000,- harus benar benar di teliti apakah kerugan tersebut diakibatkan kekurang hati hatian dalam mengelola uang negara atau ada niat jahat di dalamnya (mens rea). Apabila ada niat jahat di dalamnya tentunya kejaksaan harus mempertimbangkan kembali pelaksanaan prinsip restorative justice apabila akan menghentikan penuntutan.

Efektifitas prinsip restorative justice yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan menggunakan konsep restorative justice dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek tujuan pemidanaan dan aspek kemanfaatan. Aspek Pemidanaan tentunya menyimpang dari tujuan pemidanaan karena pastilah pelaku korupsi tidak akan mempunyai rasa jera, sedangkan jikalau di lihat dari aspek kemanfaatan tentunya dapat dipahami karena ternyata untuk memproses pelaku korupsi sektor pengadaan barang dan jasa, kejaksaan dapat mengeluarkan anggaran lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta), karena ternyata waktu yang diperlukan dapat melebihi 6 bulan dalam satu perkara tipikor yang di tangani. Dengan melihat tersebut tentunnya efektifitas prinsip restorative justice dapat terlihat di rencana tersebut, sehingga bisa saja dengan prisnsip ultimum remidium dapat ditegakan karena tidak semua perkara pidana harus diselesaikan di pengadilan termasuk perkara tindak pidana korupsi..

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ani Purwati, S. H., Cpl, M. H., Cpcle, Ccms, & Cli, Cme. (2020). Keadilan Restoratif Dan Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak. Jakad Media Publishing. Google Scholar

 

Burhan, Ashofa. (1996). Metode Penelitian Disertasi Hukum. Bina Cipta, Jakarta. Google Scholar

 

Karniasari, Arin. (2012). Tinjauan Teoritis, Historis, Yuridis Dan Praktis Terhadap Wewenang Jaksa Agung Dalam Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum. Jakarta: Tesis Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Pascasarjana. Google Scholar

 

Mansyur, Ridwan. (2010). Mediasi Penal Terhadap Perkara Kdrt, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yayasan Gema Yustisia Indonesia. Google Scholar

 

Nurhayati, Yati. (2020). Buku Ajar �Pengantar Ilmu Hukum.� Nusa Media. Google Scholar

 

Sitinjak, Imman Yusuf. (2018). Peran Kejaksaan Dan Peran Jaksa Penuntut Umum Dalam Penegakan Hukum. Jurnal Ilmiah Maksitek, 3(3). Google Scholar

 

Soekanto, Soerjono. (1986). Sosiologi: Suatu Pengantar. Google Scholar

 

Sumaryono, Eugenius, & Sardi, Martino. (2002). Etika & Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Kanisius. Google Scholar

 

Wahid, Eriyantouw. (2010). Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana. Buku Dosen-2009. Google Scholar

 

 

Copyright holder:

Maman Budiman (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: