�Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

�e-ISSN : 2548-1398

Vol. 7, No. 3, Maret 2022

 

PENETAPAN WALI NIKAH OLEH KANTOR URUSAN AGAMA BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL POLIGAMI SIRI PERSPEKTIF MAQASID SYARIAH JASSER AUDA

 

Muh. Sirojul Munir, Mohamad Nur Yasin, Aunul Hakim

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Indonesia

Email:� [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Konflik internal keluarga yang disebabkan oleh perkawinan poligami siri berdampak pada proses penetapan wali nikah bagi seorang anak perempuan. Undang-undang perkawinan mengharuskan wali hakim sebagai wali dalam pernikahannya. Dengan pertimbangan haknya sebagai seorang anak dan menghindari sanksi sosial, pihak keluarga memilih wali nasab sebagai wali nikahnya. Tujuan penelitian ini untuk menelusuri landasan dan metode yang digunakan KUA Tongas dalam menetapkan wali nikah bagi anak perempuan hasil dari perkawinan poligami siri. Lebih lanjut dianalisis dengan menggunakan teori maqasid syariah Jasser Auda. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris (field search) yang menggunakan pendekatan kualitatif. Data primer didapatkan dari hasil wawancara dan observasi. Adapun data sekunder didapat melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian: Pertama, penetapan wali nikah yang dilakukan oleh KUA Tongas sangat urgen, mengingat telah terjadi konflik internal keluarga dalam masalah ini. Inovasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode al-jam�u (mengumpulkan) hukum-hukum yang ada. Solusi yang ditawarkan adalah menunjuk wali hakim secara administratif dan memilih wali nasab dalam praktiknya. Selain itu dilakukan mediasi untuk mendamaikan pihak yang berselisih. Kedua, teori maqasid syariah Jasser Auda dengan enam fitur pendekatan sistem mengafirmasi penetapan wali nikah yang dilakukan oleh KUA Tongas.

 

Kata Kunci: penetapan wali nikah; kantor urusan agama; poligami siri

 

Abstract

Internal family conflicts caused by polygamy and unregistered marriages have an impact on the process of determining marriage guardians for a girl. Law of Marriage require a judge's guardian to be a guardian in his marriage. Taking into account their rights as a child and avoiding social sanctions, the family chose a parental guardian as their marriage guardian. This study aims to explore the basis and methods used by KUA Tongas in determining marriage guardians for girls resulting from polygamy and unregistered marriages. It was further analyzed using the maqasid sharia theory of Jasser Auda. This type of research is empirical research (field research), with a qualitative approach. Primary data collection was done by using interviews and observation. While secondary data obtained from the literature study. The results of this study: First, the determination of marriage guardians carried out by the Tongas KUA is very urgent, considering that there has been an internal family conflict in this issue. The innovation made is by using the al-jam'u method (collecting) existing laws. The solution offered is to appoint a guardian judge administratively and choose a parental guardian in practice. In addition, mediation is carried out to reconcile the disputing parties. Second, Jasser Auda's maqasid sharia theory with six features of the system approach confirms the determination of marriage guardians carried out by KUA Tongas.

 

Keywords: determination of marriage guardians; the office of religious affairs; polygamy; unregistered marriages

 

Received: 2022-02-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-03-10

 

Pendahuluan

Pernikahan atau perkawinan merupakan suatu ikatan antara dua pihak yang bertujuan untuk menciptakan sebuah keluarga yang sakinah dan harmonis. Hal ini senada dengan apa yang termaktub pada pasal 1 undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974 yang menyinggung masalah tujuan perkawinan, yakni mengkonstruk keluarga yang harmonis, kekal dan bahagia. Ikatan yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada dua orang yang menikah akan tetapi lebih dari itu, menyatukan dua keluarga yang bisa jadi awalnya tidak saling mengenal. Sehingga seseorang yang akan menikah harus terlebih dahulu mendapatkan izin dan restu dari orang tua/ wali dan keluargnya, terutama calon pengantin wanita.

Peranan orang tua atau keluarga sebagai wali nikah bagi anak perempuan sangatlah penting. Mayoritas ulama menjadikan wali nikah sebagai rukun nikah yang apabila pernikahan tanpa hadirnya wali nikah maka pernikahan tersebut dinyatakan batal/ tidak sah. Mengingat urgensi wali dalam pernikahan, para ulama sedemikian rupa telah mengatur perihal syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan bertindak sebagai wali dalam pernikahan. Selain itu, telah ditentukan siapa saja yang berhak menjadi wali dalam pernikahan seorang anak perempuan, dari mulai keluarga yang terdekat dan seterusnya.

Dewasa ini, mencuat berbagai isu yang berkenaan dengan wali dalam pernikahan. Salah satunya adalah masalah penetapan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) dalam menetukan wali nikah bagi seorang anak perempuan hasil dari pernikahan poligami secara siri yang terjadi di wilayah KUA Tongas Kabupaten Probolinggo. Anak perempuan tersebut bernama Muthia yang merupakan anak tunggal dari pasangan Pak Abdus Salam dan Ibu Yati. Pak Abdus Salam memiliki dua istri yakni Ibu Munawaroh (istri pertama) dan Ibu Yati (istri kedua). Dari istri pertama, Pak Abdul salam memiliki dua anak laki-laki dan satu anak perempuan, masing-masing bernama Diding, Dewi Atikah dan Arif. Sedangkan dari istri kedua ia hanya memiliki satu anak, yakni Muthia.

Permasalahan terjadi pada saat Muthia hendak menikah pada bulan September 2020 dengan laki-laki yang bernama Rofiq, yang tidak lain merupakan adik sepupunya. Pak Abdul salam sebagai ayah dan wali nikahnya yang paling berhak telah meninggal pada tahun 2014. Apabila merujuk pada ketentuan dalam pasal 21 ayat (1) KHI apabila ayah dan kakek dari pihak ayah telah tiada maka urutan selanjutnya yang berhak menjadi wali nikah adalah saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah. Ketentuan ini berlaku jika anak perempuan merupakan hasil dari perkawinan yang sah menurut hukum, yakni dicatatkan di lembaga pencatat perkawinan sebagaimana� diatur dalam pasal 2 ayat (2) undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sedangkan Muthia merupakan anak perempuan dari hasil perkawinan poligami yang dilakukan secara siri. Oleh karena itu, jika mengikuti pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Agama nomor 30 tahun 2005, maka yang berhak menjadi wali nikah bagi Muthia adalah wali hakim. Hal itu disebabkan Muthia tidak mempunyai wali nasab yang berhak dihadapan hukum. Faktanya, Muthia lebih memilih paman (adik dari Pak Abdul Salam) untuk menjadi wali di pernikahannya. Disamping ia enggan wali pernikahannya diwakilkan oleh wali hakim, alasan lainnya karena telah terjadi konflik diantara keluarga istri pertama dan kedua.

Kasus tersebut sangat menarik untuk diteliti guna menelusuri pertimbangan pihak KUA dalam memutuskan dan menetapkan wali nikah dari pihak keluarga dan mengenyampingkan ketentuan pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Agama nomor 30 tahun 2005 yang menentukan wali hakim lebih berhak menjadi wali nikah dalam kasus ini. Selain itu untuk mendapatkan tinjauan dari sudut pandang yang berbeda, selanjutnya kasus ini akan dianalisis dengan menggunakan pemikiran Jasser Auda yang bertalian dengan Maqasid Syariah. Penggunaan teori maqasid syariah Jasser Auda sebagai pisau analisis dalam penelitian ini didasarkan kepada kelebihan teori tersebut berupa asas kemaslahatan yang dihasilkan dari proses pengembangan (development) dari konsep maqasid syariah terdahulu dan pengutamaan terhadap hak-hak asasi manusia (human right). Kelebihan dari teori Jasser Auda inilah yang cocok dalam menganalisis dan merekontruksi konsep perwalian yang terdapat pada fiqh klasik, sehingga menjadi relevan untuk diaplikasikan pada kondisi masyarakat masa sekarang, khususnya pada kasus dalam penelitian ini.

Menyikapi kasus penetapan wali nikah tersebut, perlu dilakukan sebuah analisa untuk mengetahui mengapa pihak KUA Tongas Kabupaten Probolinggo melakukan penetapan wali nikah bagi anak perempuan hasil poligami siri dan bagaimanakah perspektif Maqasid Syariah Jasser Auda terhadap pertimbangan pihak KUA dalam menetapkan wali nikah tersebut.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris (field search) yang menggunakan pendekatan kualitatif (Cresswell, 2017). Maka penelitian ini dilakukan dengan turun langsung ke lapangan guna mengumpulkan berbagai data yang terkait. Objek dari penelitian ini adalah KUA Tongas Kabupaten Probolinggo. Data primer didapatkan melalui proses wawancara dan observasi. Adapun data sekunder didapat melalui studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku, terutama teori maqasid syariah milik Jasser Auda, serta literatur pendukung lainnya seperti artikel dan jurnal yang berhubungan dengan objek penelitian.

 

A.    Hasil dan Pembahasan

1.     Wali Nikah Dalam Islam

a.      Pengertian wali nikah

Wali nikah ialah seorang laki-laki yang berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan dalam suatu akad perkawinan (Zahri Hamid, 1988). Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 19, wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya (Azizah, 2012). Peran wali dalam pernikahan adalah penasehat mempelai wanita dalam urusan pernikahan. Kepadanyalah mempelai pria melakukan ijab kabul dalam akad.

b.     Kedudukan wali nikah

Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi wali sebagai seseorang yang berperan atas nama mempelai perempuan dalam melangsungkan akad pernikahan. Ulama sepakat memposisikan wali sebagai rukun dan syarat dalam suatu akad pernikahan bagi mempelai laki-laki ataupun perempuan yang masih kecil. Hal ini dikarenakan mempelai yang masih kecil dinilai masih belum mampu melakukan akad pernikahan oleh dirinya sendiri, maka wali lah yang melakukannya. Namun, para ulama berbeda pendapat terhadap posisi wali bagi mempelai perempuan yang telah dewasa baik masih perawan maupun sudah janda. Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan tidak adanya dalil yang pasti yang dapat dijadikan rujukan (Syarifuddin & Di Indonesia, 2006).

Sedangkan kedudukan wali menurut jumhur ulama� antara lain Mazhab Syafi�i menetapkan wali sebagai salah satu rukun nikah. Menurut mazhab Hanafi keberadaan seorang wali dalam suatu perkawinan hukumnya sunah. Menurut pendapat Imam Malik bahwa wali merupakan syarat untuk mengawinkan perempuan awam. Menurut pandangan Imam Malik sama dengan Imam Hanafi yaitu seseorang yang menjadi wali bagi seorang perempuan, baik dengan sebab hubungan nasab perwalian maupun berdasarkan hukum dibolehkan menikahkan perempuan tersebut. Kebolehannya bersifat mutlak. Mazhab Hambali berpendapat bahwa setiap akad perkawinan harus dilakukan oleh wali. Baik mempelainya itu dewasa atau masih anak kecil, janda atau perawan, sehat akalnya atau tidak sehat akalnya. Tidak ada hak sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya sendiri.

c.      Dasar hukum wali nikah

Jumhur ulama (selain Hanafiyah) berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tanpa wali. Sebagian dasar yang mereka pergunakan adalah Al-qur�an surah Al-Baqarah ayat 232:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

 

�Jika kalian menceraikan istri-istri kalian, kemudian masa iddahnya telah habis, maka kalian (para wali) jangan menghalang-halangi mereka untuk menikah lagi dengan calon suaminya, jika telah terjadi kerelaan diantara mereka dengan cara yang baik. Hal itulah yang telah dinasehatkan kepada orang yang beriman diantara kalian kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan suci bagimu. Allah maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.

 

Seorang wanita yang telah ditalak oleh suaminya dan telah habis masa iddahnya, maka ia berhak untuk menikah lagi. Para wali tidak boleh melarangnya apabila telah terjadi kesepakatan diantara dua calon mempelai. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan wali harus ada bagi setiap wanita dan tidak bisa diabaikan (Hasan, 2006).

Selain menjadikan ayat-ayat diatas sebagai landasan mengenai wajibnya wali dalam pernikahan, mayoritas ulama juga melandasi argumennya dengan beberapa hadis berikut ini:

1)     Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abu Musa menurut riwayat Ahmad:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ الْحَدَّادُ قَالَ: حَدَّثَنَا يُونُسُ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ "

 

Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali (Ahmad Ibn Hanbal, 1998).

 

2)     Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh Al-Darimiy:

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنِ اشْتَجَرُوا�

Siapapun perempuan yang menikah tanpa ada izin dari walinya, maka pernikahannya batal (Abdullah Ibn Abdul Rahman, 2000).

3)     Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

حَدَّثَنَا جَمِيلُ بْنُ الْحَسَنِ الْعَتَكِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْوَانَ الْعُقَيْلِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا"

 

Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain dan ia juga tidak boleh menikahkan dirinya sendiri (Muhammad Ibn Yazid, 2014).

 

Dari hadis di atas hendaknya dipahami, bahwa seorang wanita boleh mengawinkan dirinya bila telah mendapatkan izin dari wali, karena si wanita tidak mempunyai wewenang untuk itu. Apabila telah mendapatkan izin dari wali, namun oleh beberapa sebab, (tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya), wali itu tidak dapat secara langsung menikahkannya, maka hakimlah (penghulu) yang menjadi walinya. Demikian juga si wanita itu tidak boleh mewakilkan kepada seseorang untuk menikahkan dirinya, karena dia tidak mempunyai wewenang untuk itu (Ali, 2016).

d.     Syarat-syarat wali nikah

Syarat-Syarat Wali Nikah Ada delapan syarat pada wali nikah, yaitu: 1) Atas keinginan sendiri, jadi tidak sah pernikahan dari wali yang dipaksa; 2) Baligh; 3) Berakal, menurut ijma� tidak ada hak wali bagi orang gila yang kegilaannya terus menerus; 4) Merdeka, tidak ada hak wali bagi budak menurut ijma�; 5) Laki laki, tidak ada hak wali bagi wanita. Jadi Tidak sah seorang wanita melangsungkan akad pernikahan sendiri, baik dalam ijab mapun qabul, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain; 6) Sifat �Adil, tidak ada hak wali bagi orang yang fasik; 7) Beragama Islam. tidak ada hak wali bagi non muslim (kafir) untuk menikahkan wanita muslimah, dan dia boleh menjadi wali bagi wanita non muslim; 8) Tidak cacat akalnya, sebab pikun maupun bebal/idiot.

e.      Macam-macam wali nikah

Terdapat dua macam wali nikah, yakni wali nasab dan wali hakim.

1)     Wali Nasab

Wali nasab ialah wali nikah yang memiliki hubungan nasab dengan mempelai wanita (Abidin, 1999). Wali nasab merupakan orang-orang� dari keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali. Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa urutan wali adalah sebagai berikut: 1) ayah, 2) kakek dan terus keatas, 3) saudara laki laki seayah dan seibu, 4) saudara laki-laki seayah saja, 5) anak laki laki saudara laki laki seayah dan seibu, 6) anak laki-laki saudara laki laki seayah saja, 7) anak laki laki dari anak laki laki saudara laki laki seayah dan seibu, 8) anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah saja, 9) anak laki laki dari no. 7, 10) Anak laki-1aki dari no. 8 dan seterusnya, 11) Saudara laki laki ayah yang seayah dan seibu, 12) Saudara laki laki ayah yang seayah saja, 13) Anak laki laki dari no. 11, 14) �Anak laki laki dari no.12, 15) Anak laki laki dari no. 13. dan seterusnya.

Singkatnya urutan wali adalah ayah seterusnya keatas, saudara laki-laki ke bawah, dan saudara laki laki ayah ke bawah. Terdapat dua macam dari wali nasab, yakni wali yang dekat (aqrab) dan wali yang jauh (ab�ad). Ayah seterusnya keatas termasuk kedalam wali aqrab, sedangkan wali ab�ad ialah saudara laki-laki kebawah. Apabila ayah seterusnya keatas tidak ada, maka yang menjadi wali aqrab ialah saudara laki-laki kebawah dan yang menjadi wali ab�ad ialah saudara laki-laki ayah kebawah dan seterusnya. Perpindahan dari wali aqrab ke wali ab�ad disebabkan jika wali aqrabnya non muslim, fasik, belum dewasa, gila ataupun bisu/ tuli (Abidin, 1999).

2)     Wali Hakim

Wali hakim ialah wali nikah dari kalangan hakim atau qadli. Dalam Kompilasi Hukum Islam wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah (Abdurrahman, 1992). Jadi wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh penguasa yang berwenang untuk menjadi wali dalam perkawinan untuk orang yang tidak mempunyai wali karena sebab tertentu guna� mencatat pendaftaran nikah dan berperan sebagai wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai wali atau wanita yang berselisih paham dengan walinya.

Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah pemerintah, pemimpin, penguasa, atau qadli nikah yang diberi kewenangan dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim (Tihami dan Sohari Sahrani, 2013). Orang-orang tersebut merupakan orang pilihan yang memiliki kewenangan untuk menjadi wali dalam pernikahan dan wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah adanya keputusan dari pengadilan agama.

Dalam pasal 23 KHI dijelaskan bahwa wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah jika wali nasab tidak ada, tidak mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, gaib atau �adhal/enggan (Abdurrahman, 1992). Wali hakim dibenarkan menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam kondisi-kondisi berikut: 1) Wali nasabnya tidak ada, 2) Wali aqrab atau wali ab�ad tidak memenuhi syarat-syarat menjadi wali. 3) Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh kurang lebih 92,5 km/ dua hari perjalanan. 4) Wali aqrab di penjara dan tidak bisa ditemui. 5) Wali aqrabnya Adlal. 6) Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit). 7) Wali aqrabnya sedang ihram. 8) Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.

2.     Maqasid Syariah Jasser Auda

Maqasid berasal dari kata bahasa arab مقاصد (maqasid) yang merupakan bentuk jamak kata مقصد (maqsad), yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan atau akhir. Peranan maqasid syariah sangat urgen dalam kajian Islam. Hal ini dikarenakan kedudukannya sebagai tujuan dari syariah Islam. Definisi maqasid syariah itu sendiri adalah hal-hal bermakna yang terdapat di balik ketetapan-ketetapan syariah dan hukum yang dituju oleh syari� guna mewujudkannya (Auda, 2007). Pada abad ke delapan hijrah, perumusan maqasid syariah menjadi sebuah metodologi dan teori baru dimunculkan melalui kitab Al-Muwafaqat karya Imam Al-Syatibi (Muhammad Thahir bin �Asyur, 2004).

Dalam mengikuti perkembangan zaman dan generasi, seyogyanya maqasid klasik yang telah dijelaskan harus mengalami perkembangan. Langkah-langkah Jasser Auda dalam upaya mengembangkan maqasid syariah yaitu dengan merumuskan enam fitur pendekatan sistem, antara lain:

a.      Sifat Kognitif Sistem Hukum Islam

Menurut Auda, hukum Islam (fiqih) merupakan hipotesis hasil konstruksi kognitif para ahli hukum �fi dhin al-faqih�. Hukum Islam merupakan hasil dari penalaran dan ijtihad para ahli fiqh yang mencoba untuk mengungkap makna tersembunyi atau implikasi praktis dari syari�at yang ada di dalam al-Qur�an dan di dalam hadits. Sehingga sifat kognitif dari hukum Islam ini diperlukan dalam memvalidasi pandangan yang sangat bervariatif dalam penentuan hukum Islam (Auda, 2007).

b.     Keutuhan Sistem Hukum Islam

Keholistikan atau keutuhan hukum Islam yakni dapat dilihat dari hujjah yang digunakan oleh para ulama ushul fiqh yaitu bersifat �holistic evidence� (hujjah al-kulliy) yang dijadikan pertimbangan dalam menetukan hukum Islam. Pemikiran yang holistik atau menyeluruh pun juga diperlukan dalam mengkaji filsafat hukum Islam untuk mengembangkan semantik dan ilmu kalam (Auda, 2007).

c.      Keterbukaan Sistem Hukum Islam

Menurut Auda, tidak ada istilah penutupan pintu ijtihad dalam hukum Islam sebagaimana dikemukakan oleh para ulama klasik. Hal ini dikarenakan hukum Islam dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman jika memang menghadapai perubahan-perubahan baru dalam beberapa aspek kehidupan manusia. Hukum Islam bisa bersifat fleksibel sesuai dengan konteks zaman, keadaan, maupun tempat (Auda, 2007).

d.     Keterkaitan antar Tingkatan dalam Hukum Islam

Meskipun dalam maqashid al-syariah sebagaimana dirumuskan oleh para ulama klasik seperti al-syatibi misalnya terdapat hiraki atau tingkatan-tingkatan dari maqashid yang paling mendasar yakni dzaruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat, namun pada hakikatnya antara ketiganya saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain. Bahkan pemenuhan salah satu kebutuhan itu harus dalam rangka mewujudkan kebutuhan dasar di bawahnya (Auda, 2007).

e.      Multidimensionalitas Sistem Hukum Islam

Dikarenakan sistem merupakan suatu kesatuan dari berbagai subsistem yang saling berkaitan begitu juga dengan hukum Islam yang merupakan suatu sistem maka dalam berijtihad menetukan hukum Islam harus berpikir multi-dimensi. Dalam hal ini Auda mengkritik para ulama ushul maupun ulama fiqih klasik cenderung berpikirnya hanya satu atau dua dimensi saja. Misalnya memandang segala sesuatu hanya dari sisi hitam dan putih, fisik dan metafisik, universal dan spesifik dan lain sebagainya. Misalnya dalam ta�arud al-dalalah yang terkadang ada yang menganggap ada pertentangan ayat dalam al-Qur�an (Auda, 2007).

f.      Kebertujuan Sistem Hukum Islam

Dalam suatu sistem, tujuan adalah menjadi sesuatu yang paling inti. Hal ini dikarenakan suatu sistem dibentuk memang dalam rangka mencapai tujuan tertentu, begitu juga dengan hukum Islam. Dalam hal ini maqashid atau tujuan dari dimunculkannya suatu hukum Islam itu merupakan inti dari hukum Islam itu sendiri. Kebertujuan hukum Islam ini mengkover kelima fitur sistem hukum Islam di atas yakni sifat kognitif, keutuhan, keterbukaan, keterkaitan antar tingkatan, maupun multi-dimensionalitas (Auda, 2007).

3.     Metode KUA Tongas dalam Menetapkan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Poligami Siri

Kepala KUA Tongas dalam menetapkan wali nikah dalam suatu perkawinan memperhatikan beberapa sumber yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Sumber-sumber rujukan tersebut diantaranya:

a)     Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, terkhusus dalam masalah ini merujuk pada pasal 2 ayat (2).

b)     Peraturan Menteri Agama (PMA) terkhusus pada pasal 2 ayat 1 PMA Nomor 30 tahun 2005 tentang wali hakim.

c)     Kompilasi Hukum Islam, terutama dalam masalah ini terfokus pada pasal 19 sampai pasal 23.

d)     Fiqh Munakahah dari berbagai mazhab, terkhusus pada bab perwalian.

e)     Sosial Culture dan situasi kondisi yang terjadi di masyarakat.

Kasus Muthia yang dihadapkan kepada KUA Tongas diselesaikan dengan mensinergikan lima poin diatas. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa posisi Muthia merupakan seorang anak perempuan dari orang tua yang melakukan pernikahan poligami secara siri (tidak dicatatkan di petugas pencatat perkawianan). Sehingga pasal 2 ayat (2) undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan memvonis bahwa seakan-akan tidak pernah terjadi perkawinan diantara Pak Abdus Salam dan Ibu Yati. Hal tersebut berimplikasi kepada kedudukan Muthia sebagai anak yang menjadikannya tidak memiliki wali nasab yang dapat berperan sebagai wali nikah di pernikahannya.

Pasal 2 ayat 1 PMA� nomor 30 tahun 2005 dan didukung oleh pasal 23 KHI menetapkan wali nikah bagi setiap anak perempuan yang tidak memiliki wali nasab (yang diakui secara yuridis) adalah wali hakim. Maka, wali nikah yang berhak untuk menikahkan Muthia adalah wali hakim.

Dalam perspektif fiqh secara umum, pernikahan yang berlangsung antara Pak Abdus Salam dan Ibu Yati adalah pernikahan yang sah. Menurut keterangan dari pihak keluarga, pernikahan antara Pak Abdus Salam dengan Ibu Yati telah sah secara agama dan dapat dibuktikan dari syarat dan rukun nikah yang telah dipenuhi. Mempelai laki-laki, mempelai wanita yang disertai oleh walinya, mahar, saksi dan ijab qabul telah memenuhi syarat-syarat sahnya. Sehingga akad nikah tersebut sah menurut agama meskipun tidak dicatatkan di petugas pencatat perkawinan (dilakukan secara siri).

Dari data diatas, terdapat kontradisi antara Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan fiqh secara umum perihal perkawinan yang tidak dicatatkan di petugas pencatat perkawinan. Sehingga perlu adanya penalaran dan analisis dari kepala KUA Tongas untuk dapat mensinergikan kedua regulasi tersebut. Disamping itu, dari pihak keluarga terkhusus calon mempelai wanita yakni Muthia menginginkan wali nikah dari pihak keluarga, bukannya dari wali hakim.

Kepala KUA Tongas melakukan metode al-jam�u yakni mengumpulkan dan mengambil semua regulasi yang telah disebutkan dan mensinergikannya dengan metode sebagai berikut:

a)     Secara administratif, kepala KUA Tongas merujuk kepada undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwasanya perkawinan tak tercatat Pak Abdus Salam dengan Ibu Yati tidak sah secara yuridis. Kedudukan Muthia tidak dapat dinasabkan sebagai anak kepada Pak Abdus Salam sehingga merujuk pada PMA nomor 30 tahun 2005 dan KHI bahwasanya yang berhak menjadi wali dalam pernikahannya adalah wali hakim.

b)     Secara praktis, kepala KUA Tongas menghormati permintaan keluarga terkhusus mempelai wanita (Muthia) yang berkehendak wali di pernikahan Muthia adalah wali dari pihak keluarga (wali nasab). Merujuk pada ketentuan fiqh secara umum bahwasanya pernikahan Pak Abdus Salam dan Ibu Yati telah memenuhi syarat dan rukun nikah, serta dapat dikatakan pernikahannya sah secara agama. Selain itu, pertimbangan kemaslahatan dan hak asasi dari seorang anak perempuan (Muthia) yang secara agama sah nasabnya kepada Pak Abdus Salam dan keluarga, sehingga kepala KUA Tongas memutuskan bahwa boleh wali dalam pernikahan Muthia dari pihak keluarga Pak Abdus Salam (wali nasab).

c)     Dalam mensinergikan kedua pertimbangan tersebut, maka Kepala KUA Tongas menetapkan secara administratif, tertulis di buku nikah bahwasanya wali dalam pernikahan Muthia dan Rofiq adalah wali hakim, akan tetapi dalam praktiknya yang berperan sebagai wali nikah adalah dari pihak keluarga (wali nasab). Namun tetap, wali hakim yang diutus sebagai perwakilan dari KUA tetap menghadiri akad nikah dan mengetahui prosesnya dari awal sampai akhir.

Dari keterangan tersebut penulis menyimpulkan bahwa metode yang digunakan oleh kepala KUA Tongas dalam masalah ini adalah dengan metode al-jam�u, yakni mensinergikan semua ketetapan yang ada baik secara yuridis maupun secara agama. Dengan metode ini, secara administratif negara tetap terpenuhi, praktik pernikahannya sah secara agama dan tetap tercatat di petugas pencatat perkawinan, dan hak dari Muthia sebagai anak yang sah dari Pak Abdus Salam tetap bisa diberikan. Sehingga tidak adanya diskriminasi diantara Muthia dengan kakak-kakak tirinya.

4.     Perspektif Maqasid Syariah Jasser Auda Terhadap Penetapan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Poligami Siri

a)     Fitur kognitif (pemahaman rasional)

Berhubungan dengan kasus yang tengah dibahas dalam penelitian ini, kepala KUA Tongas melakukan sebuah intervensi pemikiran terhadap kontradiktif regulasi dan konflik yang terjadi pada seorang anak perempuan hasil poligami siri. Jika regulasi mengenai penetapan wali nikah tetap statis dan wajib diberlakukan, maka permasalahandan konflik dalam kasus ini tidak akan menemukan titik terang. Oleh karenanya, metode yang dilakukan oleh kepala KUA Tongas dalam memberikan solusi terhadap masalah penetapan wali nikah bagi seorang anak hasil dari perkawinan poligami siri, dapat mencerminkan bahwa sebuah hukum atau aturan itu seyogyanya mengikuti perkembangan zaman.

b)     Fitur Wholeness (kemenyeluruhan)

Kepala KUA Tongas tidak menggunakan pendekatan atomistis yang mengambil berdasarkan satu ketentuan saja. Lebih dari itu, beliau mengakomodir seluruh regulasi yang ada secara holistik. Beliau menerapkan ketetapan dalam undang-undang perkawinan pada sisi administratif, dan dalam penerapan praktis menggunakan ketetapan yang telah diatur di dalam fiqh secara mujmal. Pertimbangan kepala KUA Tongas dalam menyelesaikan permasalahan ini menggunakan pendekatan holistik atau kemenyeluruhan.

c)     Fitur openess (Keterbukaan)

Penentuan wali nikah yang dilakukan oleh kepala KUA Tongas pada akhirnya dapat memberikan solusi terhadap permasalahan diatas. Hal ini terjadi karena beliau memiliki sikap keterbukaan dengan melihat kondisi yang dihadapi oleh anak perempuan tersebut dalam melakukan pertimbangan.

d)     Fitur Interrelated Hierarchy (hierarki saling berkaitan)

Inovasi kepala KUA Tongas dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan hasil perkawinan poligami siri dapat mewujudkan ketiga bagian maqasid/ maslahah yang saling berkaitan. Hal ini membuktikan bahwa dalam suatu aturan mesti memperhatikan unsur-unsur kemaslahatan yang saling berkaitan. Sebagaimana pendekatan yang digunakan oleh Jasser Auda melalui fitur interrelated hierarchy dalam teori sistemnya.

e)     Fitur Multi-dimensi

Kepala KUA Tongas tidak serta merta hanya memilih salah satu regulasi saja, akan tetapi mengumpulkan semua regulasi yang ada untuk disinergikan atau di kompromikan. Oleh karenanya, metode yang digunakan oleh kepala KUA Tongas dalam menyikapi berbagai regulasi yang ada adalah al-jam�u. Metode yang digunakan oleh kepala KUA Tongas ini menunjukkan bahwa dalam mengambil suatu kebijakan harus memperhatikan hal-hal secara multi-dimensi, tidak terpaku kepada satu dimensi saja supaya tujuan dari ditetapkan suatu kebijakan dapat tercapai.

f)      Fitur purposefulness (kebermaksudan)

Inovasi yang dibuat oleh kepala KUA Tongas dalam menetapkan wali nikah bagi anak perempuan hasil dari perkawinan poligami siri, memiliki tujuan atau maksud yang ingin dicapai. Tujuan yang dimaksud tiada lain upaya mencapai kemaslahatan.

 

Kesimpulan

Pertimbangan kepala KUA Tongas dalam menetapkan wali nikah bagi anak perempuan hasil perkawinan poligami siri dirasa telah sesuai dengan teori maqasid syariah yang diusung oleh Jasser Auda dengan enam fitur pendekatan sistem, yaitu fitur kognitif selaras dengan adanya intervensi pemikiran kepala KUA Tongas dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan tersebut. Kemudian fitur kemenyeluruhan seperti yang dilakukan oleh kepala KUA Tongas dengan mengakomodir semua regulasi yang mengatur tentang wali nikah sebagai bahan pertimbangan. Selanjutnya fitur keterbukaan seperti halnya pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh kepala KUA Tongas secara dinamis dengan memperhatikan kondisi masyarakat. Setelah itu fitur interrelated hierarchy, pertimbangan KUA Tongas dalam menetapkan wali nikah dalam kasus ini menjaga semua sub-sub maqasid, maqasid �ammah dengan tercapainya asas keadilan, maqasid khassah dengan terselesaikannya konflik yang ada, dan maqasid juz�iyyah dengan menghilangkan diskriminasi dalam keluarga. Kemudian fitur multi-dimensionalitas diaplikasikan dengan mensinergikan dan mengkompromikan regulasi-regulai yang yang berkaitan maupun yang bertentangan. Dan yang terakhir fitur kebermaksudan yaitu tujuan dari penetapan wali nikah yang dilakukan oleh kepala KUA Tongas adalah tercapainya kemaslahatan.

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Abdullah Ibn Abdul Rahman, Sunan Al Darimiy. (2000). Riyadh: Daar Al-Mughni Li Al-Nasyr Wa Al-Tauzi�. Riyadh.

 

Abdurrahman. (1992). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo. Google Scholar

 

Abidin, Slamet. (1999). Aminuddin, Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia.

 

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal. (1998). (Riyadh: Bait Al-Afkar Al-Dauliyyah Li Al-Nasyr Wa Al-Tauzi�, 1998). 1430.

 

Ali, Maulana Muhammad. (2016). Kitab Hadits Pegangan: 642 Hadits Sahih Pilihan Beserta Tafsir untuk Pedoman Hidup Muslim Sehari-hari. Darul Kutubil Islamiyah. Google Scholar

 

Auda, Jasser. (2007). Fiqh al-Maqa> s} id. Ina> T} Ah Al-Ah} Ka> m Asy-Syar�iyah Bi Maqa> S} Diha, London: Al-Ma�had Al-�A> Lami Li Al-Fikr Al-Isla> Mi. Google Scholar

 

Azizah, Linda. (2012). Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam. Al-�Adalah, 10(2), 415�422. Google Scholar

 

Cresswell, J. W. (2017). Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Edisi Ketiga). Yogyakarta: Pustaka Belajar. Google Scholar

 

Hasan, M. Ali. (2006). pedoman hidup berumah tangga dalam Islam. Jakarta: Siraja, 122. Google Scholar

 

Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibnu Majah. (2014). Riyadh: Bait Al-Afkar Al-Dauliyyah Li Al-Nasyr Wa Al-Tauzi�,. Riyadh.

 

Muhammad Thahir bin �Asyur, Maqasid al Syari�ah al Islamiyah. (2004). Qatar: Wijarah alAuqaf wa al- Syu�un al-Islamiyah. Qatar.

 

Syarifuddin, Amir, & Di Indonesia, Hukum Perkawinan Islam. (2006). Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. Google Scholar

 

Tihami dan Sohari Sahrani. (2013). Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Press.

 

Zahri Hamid. (1988). Pokok-Pokok Perkawinan Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta.

 

Copyright holder:

Muh. Sirojul Munir, Mohamad Nur Yasin, Aunul Hakim (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: