Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 3 Maret 2022
PENETAPAN TERSANGKA DALAM
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TRANSNATIONAL CYBERCRIME MENURUT SISTEM HUKUM DI
INDONESIA
Mustika
Indah Jelita Sinaga
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Permasalahan
dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu (1) Bagaimana konstruksi
yuridis penetapan tersangka dalam tindak pidana transnational cybercrime dalam
hukum positif di Indonesia? (2) Bagaimana perbandingan penanganan tindak pidana
transnational cybercrime di Indonesia dengan Amerika Serikat dan
Inggris? Metode Penelitian: Metode penelitian ini
adalah yuridis normatif. Pembahasan: Konstruksi yuridis penetapan tersangka
dalam tindak pidana transnational cybercrime masih menggunakan KUHAP
sebagai dasarnya dan didukung oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
yang telah dirubah menjadi Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No 6 Tahun 2019. Hal tersebut menjadi kesulitan tersendiri oleh
aparat penegak hukum, dikarenakan kasus-kasus transnational cybercrime
selalu berhubungan dengan Telecommunication Fraud, sehingga ketika
terjadi penangkapan, maka� dilakukan
prosedur lidik sesuai SOP dimana sering kali korbannya tidak berada di dalam
negeri atau ada di dalam negeri tapi tidak kelihatan/tidak muncul/tidak
melapor. Akibatnya sulit untuk pembuktiannya dan korbannya di luar negeri yang
pada akhirnya kejahatan yang bisa ditemukan adalah pelanggaran� imigrasi. Perbandingan konstruksi yuridis
penetapan tersangka dalam tindak pidana transnational cybercrime di Indonesia
dengan sistem hukum di negara-negara dengan teknologi informasi terdepan tidak
ada yang berbeda, yaitu kepolisian dapat menetapkan tersangka apabila sudah
memiliki 2 (dua) alat bukti permulaan. Namun demikian, untuk negara Amerika
Serikat dan Inggris, telah memiliki pengaturan khusus terkait dengan kejahatan cybercrime.
Hal tersebut berbeda dengan Indonesia yang masih menggunakan peraturan lama
dalam menjerat pelaku tindak pidana transnasional cybercrime.
Kata Kunci: penetapan tersangka; pidana; transnational
cybercrime
Abstract
The problem in this study is divided into 2 (two), namely (1) How is the
juridical construction of the determination of suspects in cybercrime
transnational crime in positive law in Indonesia? (2) How does the handling of
transnational cybercrime in Indonesia compare with the United States and Great
Britain? Research Methods: This research method is normative juridical.
Discussion: Juridical construction of determining suspects in transnational
cybercrime crimes still uses the Criminal Procedure Code as its basis and is
supported by Law Number 19 of 2016 concerning Information and Electronic
Transactions and Regulation of the Head of the Indonesian National Police No.
14 of 2012 concerning Management of Criminal Investigations which has been
renewed with Regulation of the Head of the Indonesian National Police No. 6 of
2019� This is a particular difficulty for
law enforcement officers, because transnational cybercrime cases are always
related with� Telecommunication Fraud, so
that when an arrest is made, it is conducted a procedure according to the SOP.
Often the victims are not domestic or domestic but are invisible / not
appearing / not reporting. As a result, it is difficult to prove it and its
victims abroad, in the end the crime that can be found is immigration
violations. There is no big difference in the judicial construction of the
determination of suspects in transnational cybercrime crimes in Indonesia with
the legal system in countries with advanced information technology. However,
for the United States and the United Kingdom, they� already have special arrangements related to
cybercrime crime. This is different from Indonesia, which still uses the old
regulations in snaring transnational cybercrime perpetrators.
Keywords: suspect; criminal;
transnational cybercrime
Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi
(Information Technology) yang pesat ini telah mengubah cara hidup manusia.
Manusia mempergunakan teknologi bukan hanya�
untuk membuat hidup mereka lebih nyaman, tetapi juga menggantungkan
sebagian aktivitas hidup mereka pada teknologi. Di sisi lain, teknologi seolah
berlomba dengan para pelaku kejahatan yang memanfaatkan kecanggihan teknologi
itu sendiri untuk menciptakan berbagai macam tindak kejahatan.
Keadaan ini
terjadi karena dalam perkembangannya teknologi informasi berhasil
menghilangkan batas-batas wilayah negara dalam melakukan aktivitas perdagangan
internasional. Hilangnya
batas-batas wilayah negara itu berganti �dengan keterhubungan antar jaringan yang satu
dengan jaringan yang lain, yang mempermudah para pelaku kejahatan dalam
memperluas jangkauan tindak kejahatan yang para pelaku kejahatan lakukan
yang membuat
para pelaku tindak pidana cybercrime terus
semakin kreatif menciptakan modus-modus kejahatan baru.
Di sisi lain, cepatnya
perkembangan teknologi di dunia juga membuat tidak meratanya standard
teknologi di tiap negara, sehingga beberapa negara secara teknologi lebih kuat
dari yang lain. Tentu saja ini� juga
menjadi loophole/kelemahan tersendiri dan kelemahan-kelemahan itu dimanfaatkan oleh para pelaku
kejahatan baik dalam skala lokal maupun internasional. Kejahatan-kejahatan
berbasis teknologi internet ini disebut cybercrime.
Definisi cybercrime secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran
hukum yang memanfaatkan teknologi komputer berbasis penggunaan teknologi
informasi.
Sutarman mengatakan, cybercrime biasanya
dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang yang melakukan kejahatannya dengan menggunakan
sarana komputer dan alat komunikasi lainya, dengan cara memasuki sistem milik
orang lain tanpa ijin secara illegal atau�
merusak �data, mencuri data,
dan menggunakannya juga secara ilegal (Sutarman, Widiana, & Amin, 2007).
Cybercrime �disebut sebagai bentuk tindak pidana
kejahatan� kejahatan yang timbul
karena pemanfaatan teknologi internet. Sebagai komparasi, Forester dan Morrison, �pakar komputer asal Amerika Serikat menggambarkan� bahwa kejahatan komputer merupakan suatu tindak kriminal
di mana alat/senjata yang dipakai untuk
melakukan tindak pidana kejahatan tersebut adalah �komputer (Forester & Morrison, 1994).
Sementara itu seorang pakar digital forensik lain, Eoghan Casey mengatakan bahwa cybercrime adalah suatu terminologi �yang dipakai untuk mendeskripsikan aktivitas kejahatan yang mempergunakan komputer atau
jaringan/jejaring komputer sebagai alat/senjata sasaran kejahatan tersebut atau sebagai tempat
terjadinya kejahatan (Casey, 2011).
Secara umum,
definisi cybercrime� yang dapat diterima oleh hampir seluruh
negara di dunia adalah �tindak pidana
yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi komputer atau teknologi
informasi�. Itulah sebabnya kerap kali para ahli
menyebut cyber crime sebagai
computer crime. Alat dari tindak kejahatan
atau media
yang dipakai untuk melakukan kejahatan itu adalah komputer. Beberapa opini lain juga mengatkan bahwa cybercrime adalah identik dengan� computer
crime.
Cybercrime dapat juga didefinisikan
sebagai:
"Offences that are committed
against the individuals or the groups of people with� criminal motives which �intentionally harm the reputation of the target /the victim or cause physical or mental harm, or loss, to the
target / the victim directly or
indirectly, by using modern
telecommunication networks such as internet networks including chatrooms, emails, �notice boards and social media groups or mobile phones (Bluetooth/SMS/MMS)" (Casey, 2011).
Terjemahan
bebasnya adalah:
�Setiap bentuk serangan atau tindakan
yang
ditujukan kepada perorangan atau kelompok dengan motif criminal/kejahatan yang
dengan sengaja mengancam reputasi korban baik secara fisik maupun mental atau
yang menyebabkan kerugian bagi korban langsung atau tidak langsung dan
kejahatan itu dilakukan dengan menggunakan sistem jaringan telekomunikasi baik
internet maupun mobile telephone�.
Definisi itu
kemudian diperluas oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat dengan
mendefinisikan computer crime
sebagai: �Any illegal acts which is requiring
knowledge of computer technology or informatioan technology/system for its perpetration,
investigation, or prosecution". Terjemahannya
adalah:� Setiap tindakan melawan hukum yang memerlukan pengetahuan teknologi komputer untuk melakukan kejahatannya dan
memerlukan juga teknologi komputer untuk menyelidiki dan menggugatnya secara
hukum.
Tindak pidana Cybercrime yang mempergunakan� teknologi berbasis utama
komputer dan jaringan telekomunikasi ini pada dasarnya berdasarkan jenis aktivitas yang
dilakukannya ini dapat digolongkan dalam beberapa macam seperti pada uraian
berikut ini: (Besar, 2020)
1. Unauthorized access yakni; memasuki secara
paksa atau menerobos kedalam suatu sistem jaringan computer diaggap melakukan
kejatahatan kejahatan ini; misal probing dan port;
2. Illegal content; kejahatan yang� dengan sengaja memasukkan informasi� tentang suatu hal yang melanggar, yang tidak
etis, melanggar kesusilaan atau� yang buruk
yang tidak benar seperti misalnya hoax atau konten pornografi yang dianggap
mengganggu ketertiban umum. Contoh: Penyebaran virus secara sengaja; pada
umumnya dilakukan dengan menggunakan email.
3. Data forgery; suatu
tindak kejahatan yang dijalankan� untuk
memalsukan data pada dokumen-dokumen penting penting milik lembaga, institusi,
perusahaan� yang ada di internet.
Biasanya yang penyimpanan datanya berbasis web.
4. Cyber espionage, sabotage,
and extortion; Pelaku� cyber espionage ini
melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lawan dengan cara memanfaatkan
fungsi internet. Biasanya pelaku kejahatan jenis ini memasuki sistem komputer
si target/korban dan menerobos tanpa ijin target/korban.
5. Sabotage and extortion adalah pengambilalihan
atau penguasaan sebuah sistem yang dilakukan dengan sengaja dengan cara
melakukan pengrusakan dan penghancuran terhadap data dan sistem, sehingga
terjadi gangguan terhadap program komputer atau jaringan komputer yang
terkoneksi dengan internet.
6. Cyber stalking; biasanya kejahatan ini
dilakukan untuk megirimkan teror/bully/pelecehan/gangguan terhadap
seseorang dengan pemanfaatan komputer; misalnya pengiriman� e-mail yang dilakukan berulang-ulang. Hal itu
bisa terjadi karena sangat mudah untuk�
membuat email tanpa harus memberikan identitas diri.
7. Carding; adalah jenis ejahatan yang
biasanya dilakukan seseorang dengan mencuri nomor kartu kredit milik orang lain
lalu dengan nomor curian itu� si pelaku
melakukan transaksi di internet.
8. Hacking dan cracking;
adalah 2 tindak kejahatan yang berbeda.�
Pelakunya disebut Hacker dan Cracker; Hacker
adalah� seseorang yang memasuki sistem
targetnya untuk membongkar dan mengetahui program yang dimasuki. Pelaku Hacking
biasanya adalah� seseorang yang memiliki
skill baik di bidang Teknologi informasi, kadang bahkan ahli, dengan skill baik
dan memiliki minat/hobby besar untuk mempelajari sistem komputer secara detail
dalam hal meningkatkan kemampuannya.. Biasanya mereka adalah para programmer.
Sedangkan Cracking dilakukan oleh seseorang yang sengaja melakukan
aksi-aksi pengrusakan/penerobosan sistem secara ilegal di internet. Cracking
dimulai dengan membajak akun seseorang, situs web, probing, atau menyebarkan
virus, dengan tujuan� melumpuhkan� target sasaran. Tindakan yang bertujuan
melumpuhkan� target tersebut dikenal
sebagai DoS (Denial Of Service). Yang disebut Dos attack adalah cyber
attack atau� serangan yang ditujukan
pada suatu sistem computer untuk target dan membuat sistem tersebut crashed
atau� hanged sehingga sistem
menjadi lumpuh dan tidak dapat memberikan layanan.
9. Cybersquatting and
typosquatting; biasanya kejahatan cybersquatting dilakukan dengan mendaftarkan
nama domain� perusahaan milik orang lain
yang kemudian si pelaku kejahatan berusaha menjual kembali kepada perusahaan
tersebut dengan harga yang lebih mahal. Sementara jenis kejahatan yang
dilakukan dengan cara membuat domain yang mirip dengan nama domain milik orang
lain disebut tuposquatting. Biasanya domain tersebut merupakan nama domain
saingan perusahaan.
10. Hijacking; pada jenis kejahatan ini
si pelaku kejahatan dengan sengaja membajak karya orang lain, biasanya disebut software
piracy atau pembajakan terhadap perangkat lunak/software.
11. Cyber terorism; ini adalah jenis� kejahatan yang ditujukan kepada pemerintah
atau warganegara dengan cara melakukan cracking ke situs pemerintah atau
militer untuk tujuan teror. Salah satu kasus cyber terrorism yang cukuo
terkenal adalah kasus Ramzi Yousef yang dituduh sebagai dalang serangan ke
gedung WTC. Ia� ditangkap karena terbukti
menyimpan detail teknis file serangan dalam bentuk enkripsi di laptopnya. Kasus
terkenal lain adalah� kasus Doktor Nuker
yang selama kurang lebih lima tahun mengelola isi situs halaman web yang berisi
propaganda-propaganda anti-Amerika, anti-Israel, dan pro-Bin Laden (defacing).
Kejahatan dunia maya berkembang lebih
luas lagi melahirkan modus kejahatan� cybercrime
yang akhirnya bahkan jauh lebih luas dan�
melibatkan� beberapa negara yang
disebut transnational
cybercrime.
Secara general
kejahatan transnasional atau transnational
crime� adalah bentuk kejahatan yang dilakukan dengan
melibatkan� lebih dari satu negara.
Artinya, tindak
kejahatannya
�menyangkut warga negara dari dua
atau lebih negara atau dilakukan di beberapa negara dan� seringkali kejahatan ini mempergunakan prasarana
dan sarana serta
metoda-metoda yang melewati batas-batas teritorial suatu negara, melibatkan beberapa
negara.
Berdasarkan
hal tersebut, maka faktor utama yang menjadi identitas sebuah kejahatan
transnasional adalah
kejahatan-kejahatan tersebut sebenarnya �terjadi di dalam satu batas wilayah
negara tertentu, tetapi ada sebagian dari unsur kejahatan
tersebut berkaitan� dengan negara-negara lain, misalnya tempat
kejadiannya di beberapa negara, atau warga negara si pelaku kejahatan yang
berasal dari beberapa negara, sehingga muncul dua atau lebih
negara yang berkepentingan /terlibat atau yang terkait dengan kejahatan itu.
Faktor
�melibatkan negara lain� �ini ��lah yang membedakan jenis tindak Pidana transnational
cybercrime dengan kejahatan pada umumnya. Pada �jenis kejahatan transnasional,
sifat �internasionalnya bisa meliputi �aspek-aspek yang apa saja yang terkait baik
pelaku individu, negara yang terlibat, benda-benda terkait, publik dan
privat.
Transnational cybercrime sering diartikan
sebagai kejahatan dunia maya yang melibatkan lebih dari satu negara, yang
dilakukan secara
terorganisir, artinya dengan persiapan, perencanaan, pengarahan atau
pengendalian yang dilakukan di negara lain�
dan berakibat bagi pihak-pihak yang dirugikan oleh negara-negara yang
terlibat dalam kejahatan itu. �Karena melibatkan lebih dari satu negara maka
upaya penanggulangan cybercrime ini sering kali dalam
penanganannya menemukan masalah dalam perihal yurisdiksi.
Pangkal dari� pengertian yurisdiksi adalah kompetensi� hukum negara terhadap orang, benda atau
peristiwa (hukum) atau kekuasaan negara. Yurisdiksi juga� diartikan oleh banyak ahli �sebagai suatu hak, �hak atau kewenangan mutlak� yang dimiliki oleh sebuah negara yang
memungkinkan negara tersebut membuat peraturan-peraturan hukum, menjalankannya� dan memaksakan pemberlakuannya dalam
hubungannya dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi
di wilayah suatu negara. Yurisdiksi juga merupakan bentuk refleksi dari jati diri suatu negara, prinsip dasar kedaulatan
negara, bentuk
persamaan derajat �dari bangsa suatu negara
dan serta prinsip
tidak campur tangan antar negara. Yurisdiksi juga merupakan bentuk
kedaulatan yang sangat penting dan krusial yang dapat menciptakan, memulai atau mengubah,
�serta �mengakhiri suatu relasi atau kewajiban
hukum.
Yurisdiksi di cyberspace terutama pada kejahatan
transnasional, berdasar dari hukum internasional. Atas dasar
prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional lah negara-negara di seluruh dunia
dianjurkan oleh badan-badan dunia �untuk berpartisipasi mengambil
angkah-langkah dan pandangan yang sama dalam menjawab pertanyaan
mengenai yurisdiksi internet. Hal ini disebabkan karena karakter utama �cybercrime yang bersifat �borderless�
atau tidak mengenal batas-batas negara sehingga dalam �upaya penanggulangannya tentu memerlukan
bentuk-bentuk
koordinasi dan kerjasama antar negara. Permasalahan cybercrime dan perkembangannya� menunjukkan kondisi yang
kompleks dan penting �dan sudah sewajarnya
negara-negara di dunia mengadakan �kerjasama-kerjasama internasional.
Menurut
perusahaan keamanan teknologi informasi internasional Symantec, dalam Laporan Tahunannya Internet Security Threat Report volume
17, pada
tahun 2011, Indonesia �termasuk negara yang menempati peringkat ke 10 dengan �aktivitas kejahatan cyber tertinggi sepanjang tahun (Symantec, 2014). Ini baru penelitian tahun
2011; pada tahun
ini saja� angka ini menunjukkan� bahwa Indonesia menyumbang 2,4% kejahatan cyber
di dunia. Angka
ini juga menggambarkan
kenaikan� 1,7% dibanding tahun 2010,
ketika Indonesia masih menempati peringkat ke 28. Peningkatan yang
sangat signifikan dan pesat �ini tak lain
disebabkan oleh terus meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia. Pada
tahun 2015, Cybercrime POLRI mencatat
ada 800.000 akun penyebar Hoax dan 100.000 akun penyebar �hate speech�
di Media Sosial (medsos). Riset yang dilakukan oleh jejaring sosial Facebook
dan Twitter pada tahun 2016 menunjukkan bahwa Indonesia sudah masuk dalam 4
besar� pengguna jejaring sosial terbanyak
di dunia. Pada Tahun 2018, POLRI mengumumkan bahwa angka cybercrime di Indonesia adalah Nomor 2 tertinggi di Indonesia
setelah Jepang. Angka kejahatan yang disebut sebagai Nomor dua di dunia itu
menyangkut lebih dari 90.000.000 kasus (Kominfo.go.id, 2018).
Kejahatan dunia
maya atau cybercrime terus berkembang dengan cepat dan �pesat sejalan dengan pesatnya perkembangan
teknologi informasi itu sendiri. Kejahatan-kejahatan itu memiliki berbagai
bentuk dari mulai yang paling sederhana seperti melakukan perusakan atas suatu website (hacking dan cracking), pencurian uang, (carding), pornografi, pemerasan, pelanggaran hak cipta, pencurian
dan pembajakan data dan sebagainya. Setiap bentuk perkembangan kecanggihan
teknologi informasi selalu diikuti dengan modus-modus kejahatan baru yang juga
sama canggihnya.
Masalah
cybercrime adalah
masalah yang rumit dan tidak mudah untuk diselesaikan. Faktor utama kerumitannya
adalah karena cybercrime merupakan suatu jenis kejahatan yang tidak mengenal
batas wilayah hukum sehingga kejahatan tersebut dapat terjadi tanpa memerlukan �interaksi langsung antara pelaku dengan korbannya.
Tempat kejadian perkaranya tidak mudah untuk ditentukan. Tindakan melakukan
kejahatannyapun dapat dilakukan dari belahan bumi manapun, dan korbannya juga
dapat berada dimana saja.
Untuk
mengantisipasi kejahatan-kejahatan cyber,
negara-negara dengan teknologi terdepan seperti Amerika Serikat dan Inggris
melakukan pengaturan yang ketat terhadap aktivitas di cyberspace terlebih ketika fakta-fakta di lapangan menunjukkan kegiatan cybercrime semakin
hari semakin sophisticated.
Upaya-upaya antisipasi ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai cyber law atau undang undang yang
mengatur segala aktivitas cyber.
Hukum Internasional adalah instrumen
hukum yang menjadi acuan Permasalahan cybercrime
yang saat ini banyak menjadi pemikiran dunia. Rujukan negara-negara di
dunia dalam hal instrument hukum internasional itu adalah konvensi tentang
kejahatan dunia cyber (yang disebut Convention� on�
Cyber� Crime)� 2001. Konvensi ini digagas oleh
negara-negara� Europa Union/Uni Eropa,
sebuah rganisasi regional eropa yang menjadi penggasnya.� Dalam perkembangannya konvensi ini� kemudian menjadi dasar dari pemikiran
penanganan masalah cybercrime dan
bahkan banyak negara yang memiliki komitmen dalam mencegah dan menanggulangi
kejahatan cyber, meratifikasi dan mengaksesnya. Negara-negara yang
tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) ini, pada tanggal 23
November 2001 menyelenggarakan� Convention� on�
Cybercrime di kota Budhapest ini.
Antisipasi Cyber crime adalah Cyber
law, yang
pada dasarnya merupakan bentuk hukum yang ruang lingkupnya meliputi semua aspek
yang berhubungan dengan subjek hukum yang memanfaatkan dunia cyber dalam
melakukan kegiatan apa saja baik dalam hubungannya sebagai pribadi maupun
tidak.
Pengaturan atas
tindakan-tindakan yang berhubungan dengan aktivitas cyber itu dimulai setiap kali seseorang (atau subjek hukum)
memasuki dunia cyber dan �on line�.� Dengan meningkatnya berbagai modus tindak pidana cybercrime kemudian lahirlah
Undang-undang Informasi dan Tranksaksi Elektronik No. Tahun 2008 yang berisi 13
Bab dan 53 pasal yang disempurnakan dengan�
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Masalah transnational cybercrime adalah
masalah yang sudah yang menjadi perhatian serius bagi negeri ini, terlebih
dengan masuknya Indonesia dalam perdagangan global yang artinya seluruh aspek
kehidupan di Indonesia, baik itu sosial, bisnis, ekonomi akan mendapatkan
dampak yang signifikan dari kegiatan di dunia cyber ini. Publik sudah mulai terbiasa mendengar
adanya kasus-kasus kejahatan yang berhubungan dengan dunia cyber seperti pencurian uang (carding), pencurian akun jejaring
sosial, penyerangan
/penyebaran dengan ciptaan-ciptaan virus atau pembobolan dan perusakan website (hacking & cracking), bahkan
penyebaran ideologi-ideologi jahat yang merusak kerukunan masyarakat.
Pada masa-masa
awal munculnya berbagai kasus yang berkaitan dengan transnational cybercrime di
Indonesia, pihak aparat tentu saja mengalami kesulitan�
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan serta menjerat pelaku cybercrime. Sebagai negara yang baru
saja memasuki dunia cyber, pengaturan
yang jelas atas tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kejahatan dunia maya
tentu saja menjadi kendala yang serius, bukan saja karena kurangnya ahli-ahli
komputer yang dapat membantu aparat dalam mengungkapkan sebuah kejahatan yang
berbasis teknologi informasi, atau kurangnya aparat yang mememiliki pengetahuan
teknologi yang mendalam, akan tetapi juga karena pada waktu itu belum ada
peraturan khusus yang mengaturnya.� Pada
masa masa awal tersebut, tindakan-tindakan kejahatan di dunia cyber tidak dilihat sebagai kejahatan
yang serius karena beberapa faktor yang dilihat oleh Penulis sebagai
berikut:
1. Pada
waktu itu (sebelum lahirnya �Undang-undang �ITE) sistem pembuktian di Indonesia hanya
berpegang pada Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang
belum mengenal istilah bukti elektronik (digital
evidence) sebagai bukti yang sah berdasarkan �undang-undang, sehingga kerap kali ketika sebuah
kejahatan terjadi, namun tidak dapat diproses sampai ke meja hijau karena
dianggap tidak cukup bukti, meskipun sebenarnya ada bukti elektronik.
2. Ketiadaan
peraturan yang jelas yang mengatur �dunia cyber
di Indonesia, pada
waktu itu, baik itu yang mengatur mengenai masalah kewajiban-kewajiban,
jaminan keamanan,
jaminan kerahasiaan maupun perlindungan hukum dalam melakukan
transaksi perdagangan di dunia cyber.
Sistem� pembuktian�
hukum� acara� pidana di Indonesia �yaitu �stelsel wettelijk menekankan
bahwa hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang ��dapat dipergunakan untuk memenuhi� pembuktian.� Pengertiannya adalah, selain� dari ketentuan� yang dimaksud tersebut, �tidak� bisa� dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Lahirnya
Cyber Law Indonesia lewat Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (untuk selanjutnya
disebut Undang-Undang ITE) yang disahkan pada tanggal 21 April 2008 menjadi penerangan bagi
permasalahan cyber di negeri ini. UU ITE memang tidak sempurna, tetapi sedikit
banyak menjawab tantangan kejahatan di dunia maya, akan tetapi bukan berarti
masalah-masalah cybercrime di
Indonesia sudah dapat diatasi dan ditangani dengan baik atau dengan correct. Undang-Undang
ITE �ini tentu sangat jauh dari kata sempurna. Masalah-masalah
menjadi kendala dalam penyelesaian kasus-kasus-kasus cybercrime di Indonesia juga sama dihadapi banyak
negara �di seluruh dunia, yaitu
pengaturan yang sama di semua negara mengenai masalah penentuan tempat kejadian perkara yaitu Locus dan Tempus Delictie dalam
Penetapan Tersangka.
Undang-undang ITE telah
mengakui alat bukti Digital atau bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah
di hadapan pengadilan dalam tatanan sistem
hukum di Indonesia,. Kehadiran UU ITE ini pada dasarnya memperluas
ketentuan Pasal 184 KUHAP
mengenai alat-alat bukti
yang sah dan
diakui oleh Pengadilan. Untuk menentukan alat bukti yang sah dari suatu
kejahatan dunia cyber diperlukan ahli digital
forensic (Abdul Aziz, 2005) yang
akan bekerja berdasarkan suatu standard operating
procedure ((SOP), 2018) (SOP)
tertentu.
Penentuan
alat bukti yang sah dari suatu tindak pidana cyber �ini akan berdampak
pada penentuan mengenai tempat dan waktu kejadian perkara atau locus delictie dan tempus delictie yang
penentuannya dalam banyak hal memiliki perbedaan antara cybercrime
dengan kejahatan konvensional. Penentuan locus &
tempus delicti tersebut dalam penetapan tersangka kasus-kasus transnational cybercrime, merupakan
bagian dari konstruksi penetapan Tersangka dan penanganan kasus
transnational cybercrime. Namun demikian, tidak adanya pengaturan khusus atau
panduan dalam penindakan para tersangka kasus transnational cybercrime, membuat
penanganan kasus-kasus Transnational
Cybercrime sering kali tidak maksimal. Hal tersebut juga� pernah terjadi pada beberapa kasus kejahatan
penipuan dan pemerasan lintas negara yang dilakukan oleh segerombolan warga
negara asing namun �melaksanakan
operasinya �di Indonesia dan korbannya di Indonesia dan
berbagai belahan bumi. Banyak dari kasus-kasus itu, maka
terlihat bahwa penanganan terhadap para pelaku cybercrime transnasional hanya
di proses secara administrasi keimigrasian, yaitu deportasi. Hal tersebut
dikarenakan tidak adanya pengaturan� yang
jelas dalam penindakan tindak pidana transnational cybercrime di Indonesia.
Polisi masih kesulitan menangani kasus-kasus tersebut dengan tuntas.
Atas dasar penjelasan di atas, maka Penulis akan mengkaji suatu
penelitian yang berjudul Penetapan Tersangka Dalam Penyidikan Tindak
Pidana Transnational Cybercrime Menurut Sistem Hukum Di Indonesia.
Metode Penelitian
1.
Tipe
Penelitian
Penelitian
tesis ini
bersifat yuridis
normative. Penyusunan penelitian ini dibuat dengan memberikan pemahaman� terhadap permasalahan dengan� meneliti bahan sekunder atau bahan-bahan
Pustaka. Penelitian ini juga memberikan analisis terhadap masalah norma yang
dialami oleh hukum dogmatif dan kegiatan mendeskriptifkan norma hukum itu
dirumuskan dengan norma hukum (membentuk peraturan perundangan). Penelitian
yuridis normatif ini juga dihubungkan dengan�
fakta-fakta yang secara nyata terjadi dalam pelaksanaan peraturan
perundang-undangan serta asas-asas hukum dan teori-teori hukum dan praktek di
dalam penetapan tersangka dalam tindak pidana transnational cybercrime.
2.
Objek Penelitian
a) Pengaturan penetapan
tersangka secara umum dalam hukum positif
b) Pengaturan penetapan
tersangka cybercrime dan transnational cybercrime
3.
Jenis Data
Jenis data yang akan
Penulis gunakan dalam penelitian ini�
diperoleh dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), juga Ketentuan�
Convention� On Cybercrime�
2001� yang� terkait�
dengan Hukum Positif Indonesia. Data-data sekunder yang menjadi bahan
rujukan peulisan ini diperoleh� Penulis
dari� bahan-bahan kepustakaan berupa
dokumen-dokumen hukum, buku-buku, jurnal-jurnal,� makalah, berita berita online dan lain-lain.
Secara khusus Penulis melakukan wawancara dengan KANIT IV, Subdit III DittipidSiber,
Bareskrim MABES POLRI untuk mengetahui langsung bagaimana penetapan Tersangka
ini terjadi pada prakteknya di lapangan, dan kendala apa saja yang
dihadapi.� Demikian pula� mengenai data Tertier akan penulis peroleh
dari berbagai dictionary termasuk dictionary hukum juga kamus-kamus,� ensiklopedia, dan�� berbagai data� yang�
berfungsi sebagai pendukung data primer dan data sekunder.
4.
Spesifikasi Penelitian
Penulis memilih penelitian
deskriptif sebagai spesifikasi penelitian ini. Penelitian ini secara khusus
menelaah inti dari permasalahan dalam penelitian ini dengan menggambarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan teori-teori
hukum dalam praktek pelaksanaannya dan dengan demikian akan
teruraikan/tergambarkan lah fakta-fakta yang secara nyata terjadi dalam
penetapan tersangka transnational
cybercrime.
5.
Fokus Studi
Fokus studi dalam
penelitian ini adalah terkait dengan hukum pidana, secara khusus membahas
masalah Penetapan Tersangka pada kasus-kasus transnational cybercrime yang bertujuan agar kasus-kasus transnational cybercrime dapat ditangani
dengan tuntas.
6.
Metode
Pendekatan
Penulis
secara spesifik akan menggunakan metode�
analisis data kualitatif� untuk
menjawab dan memecahkan permasalahan�
yang� ditelaah dalam penelitian
ini,. Metode pendekatan yang digunakan Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), yang artinya penulis
akan meneliti dan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait� dengan isi permasalahan hukum yang sedang� ditangani sehingga dapat ditarik� kesimpulan yang dapat� dipertanggungjawabkan;
7.
Teknik
Pendekatan
Teknik
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan statute approach
atau biasa disebut sebagai pendekatan undang-undang. Pendekatannya menggunakan
data sekunder. Pada data sekunder, yaitu data yang diperoleh langsung melalui
penelusuran kepustakaan atau dari dokumen resmi termasuk juga wawancara dengan
instansi yang sudah menangani penetapan tersangka yaitu Kanit IV, Subdit III
Dittipidsiber Bareskrim MABES POLRI.� Hal
ini penting dilakukan, tujuannya agar Penulis memilah-milah data yang ada dan
kemudian menganalisisnya berdasarkan pada peraturan/ketentuan
perundang-undangan.
8.
Metode
Pengolahan
Sebagai
upaya untuk dapat menjawab atau memecahkan masalah dalam penelitian ini,
Penulis akan menggunakan metode analisis data kualitatif, karena data yang
diperoleh bersifat kualitas bukan kuantitas. Setelah pengumpulan data maka
selanjutnya akan dilakukan pengolahan data dan analisis secara kualitatif, sehingga
dapat ditarik kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan.
9.
Teknik
Penyajian Data
Data
yang telah diuraikan tersebut kemudian akan disajikan secara deskriptif dengan
metode deduktif sehingga dapat diperoleh kejelasan penyelesaian apatyang dari
sana dapat ditarik kesimpulan atas hal-hal yang bersifat umum menuju ke hal
yang lebih khusus.
Hasil dan Pembahasan
1.
Tentang Perkembangan Regulasi International Cybercrime
Salah satu instrumen hukum
internasional publik yang mengatur masalah cybercrime yang paling banyak
mendapatkan perhatian negara-negara di dunia dan sampai sekarang menjadi
referensi pembentukan hukum di banyak negara�
adalah konvensi tentang kejahatan cyber (Convention on� Cyber�
Crime)� 2001� yang�
digagas� oleh� Uni�
Eropa.� Pada awalnya Konvensi
ini� dibuat oleh sebuah organisasi
regional eropa, tetapi dalam perkembangannya akhirnya konvensi ini dapat
diratifikasi dan diakses oleh berbagai negara di seluruh dunia yang memiliki
komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan cyber yang saat ini semakin
berkembang dan menjadi kejahatan lintas Negara yang disebut transnational
cybercrime . Negara-negara yang�
tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23
November 2001 di kota Budapest,�
Hongaria� adalah pihak penggagas
yang bersepakat dalam� Convention� on�
Cybercrime� ini dan kemudian
melanjutkan konvensi ini dalam tahap lanjut dengan memasukkannya dalam� European�
Treaty� Series� dengan�
Nomor� 185.� European Treaty adalah bentuk ikatan
kesepakatan diantara negara-negara Uni Eropah. Konvensi� ini akan�
berlaku� secara� efektif�
setelah� diratifikasi� oleh�
minimal� 5� (lima)�
negara yang didalamnya termasuk ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga)
negara anggota Council of Europe.
Oleh� karena�
banyak� Negara yang� mengikuti dan meratifikasi �konvensi�
tersebut,� maka� isi konvensi itu kemudian �menjadi model bagi pengaturan hukum cybercrime di berbagai
Negara.� Oleh� karenanya�
menjadi� penting� bagi�
Negara� kita� untuk�
merujuk konvensi� ini� sebagai�
salah� satu� pembanding�
bagi� pengaturan� cybercrime
�di �Indonesia.
Substansi
konvensi mencakup area yang cukup luas dan melahirkan ketentuan-ketentuan dan kebijakan
kebijakan yang berhubungan dengan cybercrime (criminal� policy)�
yang� bertujuan� untuk�
melindungi� masyarakat� dari cybercrime,� baik�
melalui� Undang-Undang� maupun�
kerjasama-kerjasama�
internasional.� Hal� ini dilakukan untuk mencapai keamanan bersama �sehubungan dengan semakin meningkatnya
intensitas digitalisasi, konvergensi,�
dan� globalisasi� yang�
berkelanjutan� dari teknologi� informasi yang juga memberikan dampak negatif
yaitu meningkatnya tindak pidana cybercrime bahkan transnational
cybercrime.
Sejauh ini ada 30
negara menandatangani konvensi yang menggalang hukum internasional untuk
memerangi kejahatan di dunia maya, namun hanya delapan yang menerapkan
peraturan tersebut dalam undang-undang nasionalnya. Menurut laporan Dewan Uni
Eropa, pada
saat konvensi itu dibicarakan, diperkirakan terdapat sekitar 600 juta
pengguna internet pada tahun 2002, artinya dua kali lebih
banyak dibanding �tahun 1999. Sementara itu riset
mencatat sebanyak 4,66 miliar orang di seluruh dunia telah menggunakan internet
hingga Januari 2021. Angka ini naik 316 juta atau 7,3 persen sejak Januari
2020.
Kejahatan
di internet diperkirakan mengakibatkan kerugian sekitar 150 miliar hingga 200
miliar Euro (180 miliar Dolar AS) pada tahun 2003.� Riset terakhir menyebutkan, kerugian
tahunan dari cybercrime secara global telah mencapai US$ 600 miliar atau
setara Rp 8.160 triliun (asumsi US$1 = Rp 13.600) pada tahun 2017, yang
didorong meningkatnya kecanggihan para hacker
(peretas) dan bertambah banyaknya kejahatan di toko online dan mata uang
digital Cryptocurrency
(Crytocurrency, 2020).
Sebelum Convention
on Cybercrime tahun 2001, untuk mengatasi bahaya hacking dan cracking yang
merupakan kejahatan cybercrime ini, sebenarnya Kongres PBB� juga sudah dua� kali�
membahas� masalah cybercrime� ini�
yaitu� pada� Kongres�
VIII
Tahun �1990�
di Havana� dan� pada�
Kongres� X� Tahun ��2000�
di� Wina.
Berbagai
Forum Internasional dan masyarakat internasional membahas permasalahan cybercrime
dan perkembangannya dari waktu ke waktu dan melahirkan sejumlah regulasi
internasional untuk
menjawab tantangan atas kejahatan cybercrime yang semakin meningkat. Regulasi� Internasional dalam masalah cybercrime ��yang menjadi acuan
banyak negara di dunia �antara lain
adalah:
1) United
Nations (UN)
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) terus menerus melakukan pengawasan terhadap
perkembangan� computer� related�
crime, yang dimulai�� pada� tahun�
1990� dengan� Eighth UN�
Congress� on� the�
Prevention� of� Crime�
and� Treatment� of�
Offender,� Havana, Cuba� 27�
August � 7� September� 1990 Dalam� Resolusi�
Kongres� PBB� tersebut, negara-negara� dihimbau�
untuk lebih� giat
mengintensifkan� usaha-usaha� untuk�
memerangi� computer related
crime dengan melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: (Suseno, 2012)
a) Modernisasi
hukum pidana materil dan hukum acara pidana nasional� termasuk�
upaya-upaya� untuk� (1)�
menjamin� adanya penerapan hukum
dalam hal tindak pidana dan investigasi kewarganegaraan serta pembuktian yang
fair dan memadai dalam proses peradilan, dan jika diperlukan segera melakukan
perubahan yang diperlukan.� (2)� Apabila�
tidak/belum� ada� pengaturan, maka� yang�
dapat� dilakukan adalah
membuat� aturan� tentang�
tindak� pidana� serta�
prosedur� investigasi dan
pembuktian, untuk mengatasi aktivitas kriminal yang baru dan canggih ini. (3)
Memperhatikan/menetapkan kewenangan untuk menyita atau mengembalikan aset-aset
hasil computer related crime.
b) Mengadopsi� usaha-usaha�
penegakkan hukum agar masyarakat, aparat�
pengadilan� dan penegak� hukum�
alert terhadap� masalah� computer-related� crimes dan pentingnya mencegah tindak
pidana
kejahatan tersebut.
c) Meningkatkan
langkah-langkah upaya pengamanan komputer melalui
upaya-upaya� pencegahan/preventif,� dengan memperhitungkan� masalah-masalah� terkait�
seperti perlindungan privasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan fundamental serta setiap mekanisme pengaturan
penggunanan/pemanfaatan komputer.
d) Mengadopsi
pelatihan-pelatihan yang memadai untuk Para Penegak Hukum pejabat dan aparat
yang bertanggungjawab atas pencegahan, penyidikan, penuntutan dan
pengadilan mengenai tindak pidana ekonomi dan computer-related crimes
seperti Polisi, Jaksa dan Hakim.
e) Melakukan� kolaborasi dengan organisasi-organisasi� yang �berhubungan (rules� of�
etics)� dalam� penggunaan�
komputer� dengan dunia pendidikan dan
menjadikannya sebagai bagian dari kurikulum dan training informatika.
f) �Menjalankan kebijakan-kebijakan untuk
korban computer-related crimes�
yang sesuai dengan� United
Nations Declaration of Basic Principles�
of� Justice� for�
Victims� of� Crime�
and� Abuse� of�
Power, termasuk restitusi/pengembalian aset yang diperoleh dari
kejahatan.
Pada� tahun�
2000� Persatuan Bangsa-bangsa� menyelenggarakan� The Tenth UN� Congress�
on� The Prevention on Crime and
the Treatment of Offender di Vienna dengan tema khusus yaitu Crime
and� Justice,� meeting�
the� challenges� of�
the� 21st� century (Nations, 2000)
yang� menghasilkan beberapa
kesimpulan yaitu :
a) Computer� related�
crime� should� be�
criminalized ( Semua jenis kejahatan� yang terkait dengan komputer harus dolriminalisasi/diproses
secara pidana).
b) Adequate procedural laws were needed for the
investigation and prosecution� of�
cyber� criminal� (Hukum�
Acara� Pidana yang� cukup dan memadai diperlukan untuk melakukan
penyidikan dan penuntutan terhadap para pelaku tindak pidana cybercrime).
c) Goverment� and�
industry� should� work�
together� towards� the�
common �goal� of�
preventing� and� combating�
computer� crime� so�
as� to� make�
the internet� a� secure�
place� (Kerjasama� antara�
pemerintah� dan industri harus
dilakukan
demi mencapai tujuan bersama pencegahan dan pemberantasan
kejahatan komputer agar internet menjadi tempat/domain yang aman.
d) Improved� international�
cooperation� was� needed�
in� order� to�
trace criminals� on� the�
internet� (perlu �dilakukan �peningkatan�
kerjasama erat international untuk tujuan melacak pelaku perbuatan cybercrime).
e) The� united�
Nations� should� take�
the� further� action�
with� regard� to� the
provision� of� technical�
cooperation� and� assistance�
concerning� crime related
to computer networks. (PBB harus mengambil langkah-langkah ke depan yang
berhubungan� dengan� bantuan kerjasama teknis mengenai
penanggulangan hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan computer).
PBB� juga melakukan upaya untuk membuat Negar-ngara
di dunia melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan transnational
cybercrime dengan menyelenggarakan A�
United� Nation Symposium� on�
The� Challenge� of�
Berderless��� Cybercrime,� yang�
berkaitan� dengan� penandatanganan Palermo� Convention�
Against� Transnational
Organized� Crime,� pada bulan Desember� 2000�
(UNCATOC)
(Broadhurst & Grabosky, 2005).� Palermo�
Convention� 2000 dikenal
sebagai� Konvensi� yang berisi ketentuan yang mengatur kerjasama
Internasional, cukup luas yang mencakup banyak manifestasi dari high-tech
crime yang paling umum.
Dalam dokumen United� Nations�
Convention� Against� Transnational�
Organized� Crime pasal� 3�
ayat� 2, suatu kejahatan dapat
dikategorikan sebagai kejahatan transnasional apabila :
a) It is commited in more
than one state; (jika dilakukan di lebih dari satu��
negara)
b) It� is�
commited� in� one�
state� but� a�
substansial� part� of� its� preparation, planning, direction or control
takes place in another state; (Jika dilakukan�
di� satu Negara akan tetapi
persiapan, perencanaan, pengarahan� atau
pengendaliannya terjadi di Negara lain)
c) It� is commited in� one�
state� but� involves�
an� organized� criminal�
group that engages in criminal activities in more than one state; (jika dilakukan� di�
satu� Negara� tetapi�
ada keterlibatan� kelompok� kriminal�
yang terorganisir yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari
satu Negara.
d) It is commited in one
state but has substansial effects in another state; (jika dilakukan di satu Negara
namun kerugiannya berdampak di negara lain).
2) The Group of Eight (G8)
Kelompok�� G8 yang terdiri dari negara-negara Indutri
yitu Jerman,� Kanada,� Perancis,�
Italy,� Jepang,� Inggris, Rusia dan Amerika Serikat dalam
Meeting of Justice and Interior Ministers of�
The� Eight yang� terselenggara�� pada�
tanggal� 9-10� desember�
1997 membahas� dua� hal�
penting� yaitu� meningkatkan�
kemampuan� untuk� melakukan penyidikan� dan�
penuntutan� tindak� pidana�
teknologi� tinggi� (high�
tech� crime)� dan memperkuat regim hukum Internasional
untuk melakukan ekstradisi dan bantuan timbal balik dan menjamin� bahwa tidak�
ada� pelaku tindak� pidana�
yang� memperoleh tempat aman �di�
dunia� ini.� Menurut�
G8� ada� 2�
bentuk� ancaman� terhadap keamanan umum yaitu (Www.justice.gov, 2020):
a)
Sophisticated criminals� targeting computer and telecommunications
system to obtain or alter valuable information without� authority�
and� may� attempt�
to� disrupt� critical�
commercial and public systems. (Para� pelaku�
kejahatan� tingkat tinggi yang
menjadikan� komputer� dan sistem telekomunikasi sebagai target
untuk membobol dan memperoleh informasi berharga� tanpa�
izin otoritas� dan� mencoba untuk mengganggu sistem- sistem
perdagangan penting dan sistem- sistem yang berhubungan dengan publik).
b) Criminal,
including members of organized crime groups and terorists,� are�
using� these� new technologies� to�
facilitate traditional offenses.
(Para� pelaku� kejahatan, kelompok penjahat terorganisir dan
para teroris, menggunakan system teknologi baru untuk memfasilitasi� para pelaku kejahatan tradisional).
3) Council of Europe (COE
Council� of�
Europe� adalah organisasi� supranasional�
yang� berada� di Eropa yang dibentuk pada�� tahun�
1985� oleh� komite�
ahli Europe� committee� onc�
crime problems� untuk� mempertimbangkan� berbagai�
masalah� hukum� yang�
ditimbulkan oleh� kejahatan� computer / computer related crime.� Salah�
satu� laporan� yang�
dihasilkan� pada� September 1989� tersebut ialah� bentuk�
bentuk� kejahatan� cybercrime�
yang� harus� diatur�
dalam hukum nasional tiap negara.�� Pada
April 1997 Komite ini� menyusun instrumen
Internasional yang komprehensif�
tentang� tindak� pidana�
cybercrime yaitu� Convention� on�
Cybercrime� dan selesai� pada�
tahun� 2001.� Komite inilah yang� melaksanakan�
tugas� tersebut� selama�
4� tahun dengan� melalui�
27� draft� Konvensi�
sebelum� sampai �Final�
Draft� Convention� on Cybercrime sampai diterima oleh
European Committee on Crime Problems dalam rapat pleno� Juni�
2001 dan lahirlah� Convention� on�
Cybercrime� yang
ditandatangani� pada� 23�
November� 2001� di�
Budapest,� Hongaria.
2. Perbandingan
Penegakkan
Hukum dan Penanganan Tindak Pidana Transnasional Cybercrime di Indonesia Dengan Sistem Hukum di Amerika Serikat dan
Inggris
Convension
on Cybercrime memberikan indikasi bahwa dunia harus �memerangi
kejahatan penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) atas
maraknya kejahatan internasional yang sangat serius, gawat
dan harus segera ditangani.�
Penyalahgunaan TI telah menjadi
salah satu agenda dan kejahatan di tingkat global yang
bersamaan dengan perkembangan globalisasi. �Kejahatan di tingkat global ini menjadi ujian berat bagi setiap negara untuk memeranginya. Tentunya alat yang digunakan oleh negara untuk memerangi cybercrime ini adalah hukum
yang �difungsikan; salah satunya adalah untuk mencegah terjadinya dan menyebarnya cybercrime, serta melakukan
penindakan jika cybercrime terbukti telah menyerang atau merugikan masyarakat dan
negara.
Faktanya, ketersediaan Teknologi Informasi tentu tidak dengan sendirinya
muncul begitu saja ke permukaan, melainkan sudah barang tentu
menyangkut banyak pihak yaitu �pihak penyedia jasa internet yang disebut ISP (Internet
Service Provider) termasuk di dalamnya penyedia jaringan akses (connection provider), penyedia content (Information provider) dan penyedia search engine yang lazim disebut portal
serta pihak yang lain disebut sebagai pemilik informasi.
Dalam penetapan tersangka tindak pidana transnational cybercrime di Indonesia, aparat penegak hukum harus memiliki alat bukti permulaan
yang cukup sebagaimana diatur dalam
Pasal 17 KUHAP.� Selain dari pada itu,
Pasal 183 KUHAP menyatakan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Di samping itu dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga
menyatakan senada bahwa tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan karena alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggungjawab, telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut,
pembuktian dalam perkara pidana ada dua syarat
yang harus dipenuhi, yaitu adanya keyakinan hakim dan keyakinan tersebut harus
didasarkan pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini KUHP. Selanjutnya berkaitan
dengan kejahatan cybercrime semuanya serba maya.
Dalam kejahatan ini biasanya pelaku melakukan
aksinya seorang diri ataupun kelompok dalam ruangan pribadi yang bersifat privacy.
Privacy bagi mereka merupakan hal yang tak dapat disangkal. Perbuatan
tersebut membutuhkan ketenangan dan kreativitas yang tinggi dalam menggunakan
komputer. Disamping itu juga semua piranti yang digunakan dalam kejahatan.
Amerika
Serikat dan Inggris,� punya undang-undang
untuk memerangi kejahatan dunia maya dan memiliki strategi nasional dalam
menangani kejahatan cybercrime. Amerika Serikat sudah lebih dulu mengakui
dokumen elektronik yang dihasilkan dalam praktek bisnis. Sejak awal Januari
2001, divisi tindak pidana computer dan HAKI Departemen Kehakiman AS telah
melahirkan� kebijakan-kebijakan khusus
yang berkaitan dengan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah
di pengadilan.
Dalam FBI�s
Cybercrime Report 2017, Kepolisian Amerika Serikat menumumkan
hasil riset mereka yang mengenai 20 negara
tertinggi yang menjadi korban cybercrime
selain Amerika Serikat. Negara Bagian di Amerika Serikat �yang paling
rentan dalam kejahatan di dunia maya ini adalah California, New York, dan
Florida; sementara Negara Kanada
menduduki puncak tertinggi dalam �daftar korban asing
dari kejahatan cybercrime. Negara-negara
India, Inggris, Australia, dan Prancis juga menduduki
posisi 5 besar. 4 Kejahatan
Internet yang paling banyak dilakukan memiliki kasus non-pembayaran /
non-pengiriman di tempat pertama, dengan lebih dari 81.000 insiden yang
dilaporkan terjadi dimana orang tidak dibayar untuk layanan mereka atau tidak
menerima produk yang mereka pesan (Morgan, 2017).
Sementara
Indonesia punya UU ITE, Amerika Serikat memiliki Peraturan tentang pelanggaran-pelanggaran cybercrime dalam berbagai
undang-undang yaitu: Acces Device
Fruade Act of 1984, Computer Fraud and Abuse Act of 1986, Transportation of Obsence Matters for Sale or
Distribution, National Infrastructure Protection Act of 1996, Communication
Decency Act of 1996, the Cyberspace Electronic Security Act of 1999,� dan the
�Patriot Act of 2001.
Ditinjau dari sisi praktikal penegakan hukum, investigasi-investigasi dilakukan oleh FBI dilakukan dengan bekerjasama dengan berbagai
instansi di setiap negara bagian di Amerika Serikat seperti Homeland
Security. FBI bekerjasama dengan of the Internet Crime Complaint Center (IC3).
Dalam laman resmi FBI disebutkan :
�The mission of
the Internet Crime Complaint Center (IC3) is to provide the public with a
reliable and convenient reporting mechanism to submit information to the FBI
concerning suspected Internet-facilitated fraud schemes and to develop
effective alliances with law enforcement and industry partners. Information is
analyzed and disseminated for investigative and intelligence purposes to law
enforcement and for public awareness.�
Terjemahan bebasnya adalah: �Misi dari the Internet Crime Complaint Center
(IC3) adalah menyediakan mekanisme sistem pelaporan yang handal dan nyaman kepada publik untuk menyampaikan informasi kepada FBI mengenai
dugaan skema penipuan yang difasilitasi Internet
dan untuk mengembangkan aliansi yang efektif dengan para penegak hukum dan mitra
industri. Informasi dianalisis dan disebarluaskan untuk tujuan investigasi dan
intelijen untuk penegakan hukum dan untuk kesadaran masyarakat.�
Amerika
Serikat juga memiliki Cyber Action Team, suatu bentuk Task
Force yang bertugas untuk untuk memberikan respon yang cepat
terhadap gangguan komputer dan keadaan darurat di ruang virtual. Mereka
adalah agen khusus atau ilmuwan komputer, dan semuanya memiliki pelatihan
lanjutan dalam bahasa komputer, penyelidikan forensik, dan analisis perangkat
lunak.
Tim lain
yang juga disiapkan adalah National Cyber
Forensics and Training Alliance organisasi ini dibentuk pada tahun 1997 dan
berbasis di Pittsburgh. National Cyber
Forensics and Training Alliance telah menjadi model internasional untuk
menyatukan penegak hukum, industri swasta, dan akademisi untuk membangun dan
berbagi sumber daya, informasi strategis, dan mengancam intelijen untuk
mengidentifikasi dan menghentikan ancaman cyber
yang muncul dan mengurangi ancaman yang ada.
Hal yang sama
juga terdapat pada negara Inggris, dimana Parlemen Inggris
telah mengeluarkan Data Protection Act of
1984 and the Computer Misuse Act of 1990. Dalam melakukan penanggulangan
terhadap cybercrime Secretary of State
for the Home Department telah mengeluarkan kebijakan berupa:
1) Coordinate activity across Government to
tackle crime and address security on the internet in line with the strategic
objectives laid out in the UK Cyber Security Strategy. (Koordinasi aktivitas
lintas Pemerintah untuk menghadapi kejahatan dan keamanan internet dengan
tujuan strategis mengamankan dunia cyber di seluruh Inggris Raya).
2) Reduce the direct harms by making the
internet a hostile environment for financial criminals and child sexual
predators, and ensuring that they are unable to operate effectively through
work to disrupt crime and prosecute offenders. (Mengurangi/menghalangi
bahaya serangan langsung terhadap system dengan cara membuat lingkungan yang
tidak ramah/keras terhadap para pelaku kejahatan finansial dan para pelaku
kejahatan sexual terhadap anak sehigga membuat mereka tidak dapat
mengiperasikan kegiatan kejahatan mereka melalui system internet);
3) Raise public confidence in the safety
and security of the internet, not only through tackling crime and abuse, but
through the provision of accurate �and
easy-to-understand information to the public on the threats. (Meningkatkan kepercayaan publik dalam hal keamanan dan
kenyamanan internet, tidak hanya dengan menghadang kejahatan internet tapi juga
melalui edukasi-edukasi yang akurat dalam menyampaian informasi-informasi yang
berhubungan dengan kejahatan cyber).
4) Support industry leadership to tackle
cyber crime, and work with industry to consider how products and online
services can be made safer and security products easy to use. (memberi dukungan penuh kepada pelaku industri yang
berhubungan dengan jasa dan produk-produk online yang membangun untuk
menjawab/menangani kejahatan cyber);
5) Work with international partners to
tackle the problem collectively. (Meningkatkan
kerjasama-kerjasama� internasional dengan
lembaga-lembaga internasional dan negara-negara di dunia dalam hal penangkalan
kejahatan cyber).
Kebijakan
tersebut mengkoordinasikan kegiatan di seluruh Pemerintah untuk
mengatasi kejahatan dan mengatasi keamanan di internet sesuai dengan tujuan
strategis yang ditetapkan dalam UK Cyber
Security Strategy. Mengurangi kerugian langsung dengan membuat internet
menjadi lingkungan yang tidak bersahabat bagi penjahat keuangan dan predator
seksual anak, dan memastikan bahwa mereka tidak dapat beroperasi secara efektif
melalui pekerjaan untuk mengganggu kejahatan dan melakukan penuntutan terhadap
pelaku. Meningkatkan
kepercayaan publik akan keamanan dan keamanan internet, tidak hanya melalui
penanganan kejahatan dan penyalahgunaan, namun melalui penyediaan informasi
yang akurat dan mudah dipahami kepada publik mengenai ancaman tersebut. Mendukung
kepemimpinan industri untuk mengatasi kejahatan di dunia maya, dan bekerja sama
dengan industri untuk mempertimbangkan bagaimana produk dan layanan online
dapat dibuat lebih aman dan produk keamanan mudah digunakan dan bekerjalah
dengan mitra internasional untuk mengatasi masalah secara kolektif.
Apakah undang-undang ITE
memenuhi kebutuhan negeri ini dalam menyelesaikan masalah-masalah cybercrime
khususnya transnational cybercrime? Di Amerika Serikat misalnya, selain
undang-undang, setiap terjadi perkembangan kejahatan yang membahayakan keamanan
negara, pemerintah federal atau setiap pemerintah negara bagian langsung
mengeluarkan dokumen yang berlaku sebagai ketentuan setara dengan
undang-undang,� yang disebut cyber
security document yang dibuat sebagai bentuk proteksi keamanan
sistem informasi misalnya:
1. The National Strategy to
secure Cyberspace, yang dikeluarkan pada bulan
Febuari 2003.
2. International Strategy for
Cyberspace,
dikeluarkan pada bulan Mei 2011.
3. Departement of Defense
Strategy for Operating in Cyberspace, dikeluarkan pada bulan Juli 2011
Berikut adalah beberapa
perbandingan undang-undang yang ada di Indonesia dengan Amerika Serikat dan
Inggris;
Tabel 1
Perbandingan�
Jumlah Peraturan Penunjang Pencegahan
dan Penegakkan Hukum Kejahatan Transnational
Cybercrime
Indonesia |
Amerika Serikat |
Inggris |
KUHP |
Cyberlaw:
Electronic Transaction Act (UETA) (Undang-undang Transaksi Electronik |
Data
Protection Act of 1984 (Undang-undang Data Proteksi) |
UU
ITE |
National
Cyber Forensics and Training Alliance (Regulasi Nasional siber Forensik) |
The
Computer Misuse Act of
1990 (Undang-undang penyalahgunaan Komputer) |
|
Acces
Device Fruade Act of 1984 (Undang-undang penyalahgunaan perangkat elektronik) |
Theft
Act, 1990 (Undang-undang Pencurian Elektronik) |
|
Computer
Fraud and Abuse Act of 1986 (Undang-Undang Penipuan dan Penyalahgunaan
Komputer tahun) |
|
|
Transportation
of Obsence Matters for Sale or Distribution (Regulasi Transportasi barang
distribusi) |
|
|
Communication
Decency Act of 1996 (Undang-undang Kepatutan Komunikasi) |
|
|
National
Infrastructure Protection Act of 1996 (Undang-Undang Perlindungan Infrastruktur Nasional) |
|
|
the
Cyberspace Electronic �Security Act of 1999� Undang-undang Elektronik dunia maya) |
|
|
The
�Patriot Act of 2001� (Undang-undang
Patriot 2001) |
|
|
|
|
Amerika
Serikat juga memberikan prioritas tinggi dalam masalah keamanan dunia maya
mereka dengan mengeluarkan dokumen �International Strategy for Cyberspace�
pada tahun 2011, yang disebut juga sebagai bagian dari politik luar negeri
Amerika Serikat.� Strategi ini merupakan
strategi pertama yang dikeluarkan AS yang menghubungkan dan mengikat AS dengan
seluruh dunia dalam isu cyber yang sangat luas. Strategi ini juga merupakan
panduan AS dalam menghadapi semua tantangan keamanan teknologi informasi dalam
dunia cyber. Oleh karena itu pada April 2015, Departemen Pertahanan AS
mengeluarkan �The Departement Of Defense (DoD) Cyber Strategy� untuk
menjawab pada wilayah apa dan bagaimana Lembaga pertahanan AS tersebut harus
meraih tujuan-tujuan serta prioritas yang tertuang dalam International
Strategy for Cyberspace 2011.
Kesadaran
untuk mengembangkan keamanan cyber dan mempersiapkan� strategi dalam menghadapi ancaman dan
tantangan dunia digital sudah sejak lama disadari oleh AS. Namun intensitas
pengembangan cyberpower sangat terlihat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah AS
kurang lebih dalam 10 tahun terakhir. Berikut beberapa kebijakan keamanan cyber
yang dirilis oleh pemerintah AS dalam 10 tahun terakhir.
Kebijakan-kebijakan
Smerika Serikat yang memproritaskan masalah kemanan dunia maya (Cyber security)
ini ditunjukkan dalam berbakai kebijakan khusu yang mengatur masalah keamanan
cyber selama 7 tahun terakhir sebagaimana table berikut ini.
Tabel 2
Dokumen
Kebijakan Cyber
Security
Amerika Serikat
Tahun |
Nama Dokumen |
Lembaga� Penerbit |
2003 |
The National Strategyto Secure Cyberspace |
Gedung Putih |
2009 |
Cyberspace policy Review |
Gedung Putih |
2011 |
International Strategy for Cyberspace |
Gedung Putih |
2011 |
Department of Defense Strategy for Operating Cyberspace |
Departemen Pertahanan Amerika Serikat |
2015 |
The Department of Defense Cyber Strategy |
Departemen Pertahanan Amerika Serikat |
2016 |
Department of State International Cyberspace Policy Strategy |
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat |
Penulis
berpendapat, apabila berpijak pada hasil wawancara Penulis dengan AKBP Endo
Priambodo selaku Kanit IV Subdit III DitTipidsiber Bareskrim Polri, MABES
POLRI, maka baik Amerika Serikat, Inggris dan Indonesia telah
memiliki pengaturan hukum yang lebih dari cukup untuk penegakan hukum cybercrime, khususnya dalam
bentuk formulasi undang-undang. Namun demikian, khusus untuk Negara
Indonesia, oleh karena peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah
berupa KUHAP yang didukung oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana, maka perlu dibentuk pengaturan khusus setingkat
undang-undang terkait dengan transnasional
cybercrime di Indonesia.
Hal tersebut
sesuai dengan Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai �computer-related
crime� mengajukan beberapa kebijakan antara lain sebagai
berikut:
1. Dalam
rangka upaya menanggulangi cyber crime itu,
Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai �Computer-related
crimes� mengajukan
beberapa kebijakan antara lain sebagai berikut:
a) Menghimbau
negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan
komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai
berikut:
b) Melakukan
modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana.
c) Mengembangkan
tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer.
d) Melakukan
langkah-langkah untuk memberikan rasa sensitif warga
masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan
kejahatan yang berhubungan dengan komputer (untuk selanjutnya dalam kutipan ini
disingkat dengan inisial �cyber crime)
e) Melakukan secara intensif
upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim, pejabat dan aparat
penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan �Cyber Crime.
f) �Memperluas �rules of ethics� dalam penggunaan
komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informasi.
g) Mengambil langkah-langkah
pengembangan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan perlindungan saksi dan korban �cyber crime sesuai dengan
deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong
melaporkan adanya �cyber crime �.
2. Menanjurkan negara-negara
anggota untuk
meningkatkan kegiatan-kegiatan nasional dalam rangka mencegah dan menanggulangi �cyber crime �.
3. Merekomendasikan
kepada komite pengendalian dan pencegahan kejahatan (Commitee on Crime Prevention and Control) PBB
untuk:
a) Menyebarluaskan
pedoman dan standar untuk membantu negara anggota menghadapi �cyber crime� di tingkat nasional,
regional dan internasional.
b) Mengembangkan
penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi permasalahan �Cyber
crime � di masa yang akan datang.
c) Selalu melakukan
pembahasan dengan semua pihak mengenai� �cybercrime� Ketika meninjau
mengimplementasikan perjanjian ekstradisi dan bantuan kerja sama di bidang pencegahan dan penanggulangan
kejahatan (Barda Nawawi Arief, 2018).
Berdasarkan
hal tersebut, maka menurut Penulis, diperlukan pembentukan peraturan
perundang-undangan terkait dengan teknologi informasi, seperti mengatur delik
melawan hukum menggunakan nama domain atau pengaturan masalah security
mengingat kejahatan cybercrime merupakan
global crime, maka perlu adanya suatu
pengaturan dan asas-asas yang memungkinkan menarik pelaku yang berada di luar
Indonesia yang merugikan Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka
kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1) Penanganan penetapan
tersangka dalam tindak pidana transnational
cybercrime di Indonesia masih
menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)� sebagai dasar implementasi penanganan
kasus-kasus transnational cybercrime dan didukung oleh Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14
Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang telah
diperbaharui dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.
16 Tahun 2019.�� Hal tersebut menjadi
kesulitan tersendiri bagi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus transnational
cybercrime dikarenakan kasus-kasus transnational
cybercrime sebagian besar adalah Telecommunication
Fraud
yang melibatkan beberapa negara sehingga ketika terjadi penangkapan dilakukan
prosedur lidik sesuai SOP, namun sering kali korbannya tidak berada di dalam
negeri atau ada di dalam negeri tapi tidak kelihatan / tidak muncul / tidak
melapor. Akibatnya sulit dilakukan pembuktiannya atau pembuktian memerlukan
waktu dan terkendala teknis,� karena
korbannya di luar negeri sehingga jejak kejahatan bukan saja lenyap tapi korban
tidak dapat dihadirkan sehingga pada akhirnya kejahatan yang bisa ditemukan
adalah pelanggaran imigrasi. 2) Sama seperti di Indonesia dalam penanganan �tindak pidana transnasional cybercrime di negara-negara dengan teknologi terdepan seperti Amerika Serikat
dan Inggris, kepolisian� setiap negara bagian
dapat melakukan penetapan tersangka apabila sudah memiliki 2 (dua) alat bukti
permulaan. Perbedaannya adalah Amerika Serikat dan Inggris, telah memiliki
berbagai� peraturan-peraturan khusus
dalam bentuk undang-undang maupun kebijakan-kebijakan yang spesifik yang� misalnya berhubungan dengan cybercrime
security saja, atau network system saja atau pengaturan IP dan
domain saja dll. Amerika dan Inggris juga memiliki Team Squad, Task
Force khusus serta SOP yang mendetail secara khusus, terkait dengan kejahatan
transnational cybercrime. Hal tersebut berbeda dengan Indonesia yang masih
menggunakan KUHAP konvensional dan UU ITE dalam menjerat pelaku tindak
pidana transnational cybercrime.
(SOP), Standard Operational Procedure.
(2018). adalah penetapan tertulis mengenai apa yang harus dilakukan, kapan,
dimana, dan oleh siapa. SOP dibuat untuk menghindari terjadinya variasi dalam
proses pelaksanaan kegiatan yang akan mengganggu kinerja organisasi secara
keseluruhan. SOP merupakan mekanis. Retrieved from www.library.binus.ac.id. Google Scholar
Abdul Aziz, Faris. (2005). Digital
Forensic. Digital Forensic. Google Scholar
Barda Nawawi Arief, S. H. (2018). Masalah
penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan.
Prenada Media. Google Scholar
Besar. (2020). Kejahatan dengan menggunakan
Sarana Teknologi Informasi. Retrieved from
https://business-law.binus.ac.id/2016/07/31/kejahatan-dengan-menggunakan-sarana-teknologi-informasi.
Google Scholar
Broadhurst, Rod, & Grabosky, Peter.
(2005). Cyber-crime: The challenge in Asia (Vol. 1). Hong Kong
University Press. Google Scholar
Casey, Eoghan. (2011). Digital evidence
and computer crime: Forensic science, computers, and the internet. Academic
press. Google Scholar
Crytocurrency. (2020). Crytocurrency adalah
Mata uang digital bersifat virtual yang disimpan dalam bentuk data binary dan
dijamin oleh Criptography. Retrieved from https://www.investopedia.com website:
https://www.investopedia.com. Google Scholar
Forester, Tom, & Morrison, Perry.
(1994). Computer ethics: Cautionary tales and ethical dilemmas in computing.
Mit Press. Google Scholar
Kominfo.go.id. (2018). Polri: Indonesia
Tertinggi Kedua Kejahatan Siber di Dunia. Google Scholar
Morgan, Steve. (2017). Cybercrime
report, 2017. Google Scholar
Nations, United. (2000). Tenth United
Nations Congress on The Prevention of Crime and the Treatment Offenders. Google Scholar
Suseno, Sigid. (2012). Yurisdiksi Tindak
Pidana Siber. Refika Aditama. Google Scholar
Sutarman, H., Widiana, I. Gde, & Amin,
Ihsan. (2007). Cyber crime: modus operandi dan penanggulangannya.
LaksBang Pressindo. Google Scholar
Symantec. (2014). Internet Security Threat
Report. Retrieved from symantec.com website:
http://www.symantec.com/threatreport/ Google Scholar
Www.justice.gov. (2020). Bentuk Ancaman
Terhadap Keamanan Umum yang Lebih Besar Dari yang Pernah ada. Retrieved from
https://www.justice.gov/criminal/cybercrime/g82004/97Communique.pdf. Google Scholar
Copyright holder: Mustika Indah Jelita Sinaga (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |