Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 3, Maret 2022

 

PERAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA RESORT ACEH TENGGARA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA NARKOTIKA JENIS GANJA

 

Lusi Tutur Mulia

Universitas Gunung Leuser Aceh, Indonesia

Email[email protected]

 

Abstrak

Upaya pemberantasan narkotika oleh POLRI dalam hal ini berada dikawasan Kepolisian Resor Aceh Tenggara memerlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak salah satunya adalah masyarakat. Penulis tertarik dalam meneliti tentang peran Kepolisian Republik Indonesia Resor Aceh Tenggara dalam menanggulangi Tindak Pidana Narkotika Jenis Ganja, disini penulis mengambil 3 (tiga) rumusan masalah, yaitu pertama faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika, yang kedua siapa saja pihak-pihak terkait dalam menanggulangi tindak pidana narkotika, dan ketiga bagaimana upaya kepolisian resor aceh tenggara dalam menanggulangi tindak pidana narkotika jenis ganja.Jenis penilitian menggunakan penelitian kualitatif, dan metode pengambilan data dipakai yaitu library research study kepustakaan dan studi lapangan field research dengan lokasi penelitian di Kepolisian Resor Aceh Tenggara. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan data primer dan data sekunder. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika adalah faktor individu, faktor keluarga, faktor masyarakat, faktor sosial budaya, faktor lingkungan dan faktor sosiologis. Jenis narkotika yang sering dikenal dalam masyarakat antara lain: opium (candu), morfin, heroin, ganja, kokain, amfetamin, sedatif-hopnotik (benzodiazepin/BZD) dan inhalansia atau solven. Dampak penyalahgunaan narkotika yaitu terhadap individu/pribadi, terhadap keluarga, terhadap masyarakat, terhadap bangsa dan negara. Sansi pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika jenis ganja terdapa pada Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115 dan Pasal 116 Undang � Undang Nomor 35 Tahnun 2009 tentang narkotika. Kendala Kepolisian Resor Aceh Tenggara dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika jenis Ganja adalah Personil, kurangnya jumlah peralatan yang diperlukan / alat operasional, terbatasnya biaya operasional, biaya penyelidikan dan biaya penyidikan, kendala dalam jajaran satuan narkotika, penyidik mendapat teror dan sanksi dalam persidangan.

 

Kata Kunci: Kepolisian Republik Indonesia/POLRI, Tindak Pidana, Narkotika jenis Ganja

 

Abstract

Efforts to eradicate narcotics by POLRI in this case are in the area of the Southeast Aceh Resort Police requires cooperation from various parties, one of which is the community. The author is interested in researching about the role of the Police of the Republic of Indonesia Resorts in Southeast Aceh in tackling The Narcotics Act of Marijuana Type, here the author takes 3 (three) formulations of the problem, namely the first factor that causes narcotics crimes, the second whoever the parties are involved in tackling narcotics crimes, and third how the efforts of the southeast Aceh resort police in tackling marijuana-type narcotics crimes. This type of research uses qualitative research, and data retrieval methods are used, namely library research study literature and field research study with research locations in the Southeast Aceh Resort Police. The technique of data collection used primary data and secondary data. Factors that cause narcotics crimes are individual factors, family factors, community factors, socio-cultural factors, environmental factors and sociological factors.Types of narcotics that are often known in the community include: opium (opium), morphine, heroin, marijuana, cocaine, amphetamines, sedative-hopnotic (benzodiazepine / BZD) and inhalants or solven. The impact of narcotics abuse is on individuals / individuals, on families, on communities, on the nation and state. Sansi criminal for the criminal offense of narcotics abuse of the type of marijuana is addressed in Article 111, Article 112, Article 113, Article 114, Article 115 and Article 116 of Law - Law No. 35 Of 2009 on narcotics. Constraints of the Southeast Aceh Resort Police in The Handling of Narcotics Crimes of marijuana type are Personnel, lack of the amount of necessary equipment / operational equipment, limited operational costs, investigation costs and investigation costs, constraints in the ranks of narcotics units, investigators get terror and sanctions in the trial

 

Keywords: Police of the Republic of Indonesia / POLRI, Criminal Acts, Narcotics type of Marijuana

 

Received: 2022-02-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-03-05

 

Pendahuluan

Masalah narkotika merupakan masalah besar yang tengah melanda Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa narkotika merupakan wabah paling berbahaya yang menjangkiti manusia di seluruh pelosok bumi. Hal yang semakin mengkhawatirkan yaitu semakin meluasnya peredaran gelap narkotika disegala lapisan masyarakat.

Kasus-kasus narkotika yang melibatkan masyarakat, narkotika dapat sampai ke tangan seorang pengguna atau pemakai adalah dari pedagang gelap. Demikian pula dengan para pemakai narkotika, mereka menggunakan barang haram tersebut tidak lagi melihat tempat, baik itu di dalam perjalanan, di sekolah ataupun di kampus, di tempat-tempat hiburan malam dan sebagainya. Saat ini tindak pidana narkotika dipandang sebagai tindak pidana yang menjadi musuh umat manusia, karena itu negara-negara di dunia termasuk Indonesia terus berjuang keras untuk memberantas tindak pidana narkotika tersebut. Tindak pidana narkotika sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu bangsa dan negara karena banyak menimbulkan kerugian dan juga melibatkan anak/remaja sebagai generasi penerus bangsa sebagai korban maupun pelakunya.

Jika upaya penanggulangan tindak pidana narkotika di Indonesia tidak terus dilaksanakan secara terencana, terpadu dan berkeseimbangan, maka bukan merupakan hal yang mustahil jika beberapa masa ke depan negara ini tidak lagi memiliki generasi penerus bangsa yang dapat diharapkan mengganti generasi sebelumnya. Dengan kata lain yang harus dihadapi adalah kehancuran bangsa dan negara.

Pengaturan mengenai narkotika dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang kemudian direvisi lagi dengan Undang-Undang���� Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengaturan narkotika berdasarkan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bertujuan untuk menjamin ketersedian guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

1.   Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

2.   Menegakkan hukum

3.   Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan sanksi pidana cukup berat, yaitu dapat dikenakan pidana minimum, berupa pidana kurungan, pidana penjara juga pidana denda namun dalam kenyataanya para pelakunya justru semakin meningkat karena disebabkan tidak adanya dampak bagi si pelaku.

Upaya pemberantasan oleh POLRI dalam hal ini berada dalam kawasan Kepolisian Resor Aceh Tenggara memerlukan langkah-langkah lebih lanjut dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut. Dalam hal pemberantasan penyalahgunaan narkotika juga diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak antara lain adalah peran serta masyarakat.

Bentuk peran serta masyarakat disini dapat berupa memberikan informasi mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika kepada POLRI. Di samping itu, dapat juga berupa lewat lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat yang memfokuskan diri dalam pemberantasan narkotika secara menyeluruh.

 

Metode Penelitian

1.   Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan sifat penelitian Deskriptif Analitis yakni untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya dimana bertujuan untuk memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain.

2.   Tipe Penelitian.

Dalam penelitian ini menggunakan tipe Penelitian Kualitatif, yakni Penelitian ini mencari kebenaran sejati, oleh sebab itu penelitian kualitatif berusaha menemukan gejala-gejala hukum yang berkembang di suatu komunitas masyarakat.

3.   Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian yang melihat sesuatu kenyataan hukum yang terjadi di masyarakat dengan melihat dari sudut pandang empiris.

4.   Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah

a.   Penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian dengan menggunakan literatur buku, majalah, jurnal, internet dan sumber lainnya.

b.   Penelitian lapangan (Field Research) yaitu dengan melakukan wawancara kepada orang-orang yang dianggap mampu menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yakni : peran Kepolisian Republik Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana narkotika jenis ganja.

5.   Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

a.   Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui wawancara dan laporan dokumen tidak resmi yang kemudian diolah kembali oleh si peneliti serta kasus-kasus yang menjadi objek penelitian.

b.   Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi dan peraturan perundang-undangan. Data sekunder terdiri atas :

1)   Bahan Hukum Primer : Bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2)   Bahan Hukum Sekunder : Bahan hukum yang terdiri dari literatur buku, tulisan ilmiah hukum dan internet yang berkaitan dengan objek penelitian.

3)   Bahan Hukum Tersier : Bahan hukum yang terdiri dari kamus hukum dan tabel.

6.   Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis kualitatif, yaitu cara menganalisis data yang bersumber dari bahan hukum berdasarkan kepada konsep, teori, peraturan perundang-undangan, doktrin, prinsip hukum, pendapat pakar atau pandangan peneliti sendiri.

Analisis data digunakan untuk memaparkan mekanisme analisis data yang diperoleh dan selanjutnya memaparkan mekanisme pengolahan data tersebut sehingga menjadi sebuah bentuk informasi atau bahan yang digunakan dalam penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Narkotika

A.  Jenis Narkotika

Narkotika seperti yang diketahui, memiliki berbagai macam jenis yang sering dikenal dalam masyarakat, antara lain :

1.   Opium (candu)

Merupakan golongan narkotika alami yang sering digunakan dengan cara dihisap (inhalasi), menimbulkan rasa kesibukan (rushing sensation), menimbulkan semangat, merasa waktu berjalan lambat, pusing, kehilangan keseimbangan/mabuk, merasa rangsang birahi meningkat (hambatan seksual hilang), timbul masalah kulit di sekitar mulut dan hidung.

2.   Morfin

Merupakan zat aktif (narkotika) yang diperoleh dari candu melalui pengolahan secara kimia. Umumnya candu mengandung 10% morfin. Cara pemakaiannya disuntik di bawah kulit, ke dalam otot atau pembuluh darah (intravena). Menimbulkan euphoria, mual, muntah, sulit buang hajat besar (konstipasi), kebingungan (konfusi), berkeringat, dapat menyebabkan pingsan, jantung berdebar-debar, gelisah dan perubahan suasana hati, mulut kering dan warna muka berubah.

3.   Heroin

Merupakan golongan narkotika semisintetis yang dihasilkan atas pengolahan morfin secara kimiawi melalui 4 (empat) tahapan sehingga diperoleh heroin paling murni berkadar 80% hingga 99%. Heroin murni berbentuk bubuk putih sedangkan heroin tidak murni berwarna putih keabuan (street heroin). Zat ini sangat mudah menembus otak sehingga bereaksi lebih kuat dari pada morfin sendiri. Umumnya digunakan dengan cara disuntik atau dihisap.

4.   Ganja

Berasal dari tanaman kanabis sativa dan kanabis indica. Pada tanaman ini terkandung 3 (tiga) zat utama yaitu tetrahidrokanabinol, kanabinol dan kanabidiol. Cara penggunaannya dihisap dengan cara dipadatkan menyerupai rokok atau dengan menggunakan pipa rokok. Denyut jantung atau nadi lebih cepat, mulut dan tenggorokan kering, merasa lebih santai, banyak bicara dan bergembira, sulit mengingat sesuatu kejadian, kesulitan kinerja yang membutuhkan konsentrasi, reaksi yang cepat dan koordinasi, kadang-kadang� menjadi agresif bahkan kekerasan. Bilamana pemakaian dihentikan dapat diikuti dengan sakit kepala, mual yang berkepanjangan, rasa letih/capek, gangguan kebiasaan tidur, sensitif dan gelisah, berkeringat, berfantasi, selera makan bertambah.

5.   Kokain

Mempunyai 2 (dua) bentuk yakni bentuk asam (kokain hidroklorida) dan bentuk basa (free base). Kokain asam berupa kristal putih, rasa sedikit pahit dan lebih mudah larut dibanding bentuk basa bebas yang tidak berbau dan rasanya pahit. Nama jalanan kadang disebut koka, coke, happy dust, snow, charlie, srepet, salju, putih. Disalahgunakan dengan cara menghirup yaitu membagi setumpuk kokain menjadi beberapa bagian berbaris lurus di atas permukaan kaca dan benda yang mempunyai permukaan datar. Kemudian dihirup dengan menggunakan penyedot atau gulungan kertas. Cara lain adalah dibakar bersama tembakau yang sering disebut cocopuff. Menghirup kokain berisiko luka pada sekitar lubang hidung bagian dalam.

6.   Amfetamin

Nama generik/turunan amfetamin adalah D-pseudo epinefrin yang pertama kali disintesis pada tahun 1887 dan dipasarkan tahun 1932 sebagai pengurang sumbatan hidung (dekongestan). Berupa bubuk warna putih dan keabu-abuan. Ada 2 (dua) jenis amfetamin yaitu MDMA (metil dioksi metamfetamin) dikenal dengan nama ectacy. Nama lain fantacy pils, inex. Metamfetamin bekerja lebih lama dibanding MDMA (dapat mencapai 12 jam) dan efek halusinasinya lebih kuat. Nama lainnya shabu, SS, ice. Cara penggunaan dalam bentuk pil diminum. Dalam bentuk kristal dibakar dengan menggunakan kertas alumunium foil dan asapnya dihisap melalui hidung, atau dibakar dengan memakai botol kaca yang dirancang khusus (bong). Dalam bentuk kristal yang dilarutkan dapat juga melalui suntikan ke dalam pembuluh darah (intravena).

7.   Sedatif-Hipnotik (Benzodiazepin/BDZ)

Sedatif (obat penenang) dan hipnotikum (obat tidur). Nama jalanan BDZ antara lain BK, Lexo, MG, Rohip, Dum. Cara pemakaian BDZ dapat diminum, disuntik intravena dan melalui dubur. Ada yang minum BDZ mencapai lebih dari 30 tablet sekaligus. Dosis mematikan/letal tidak diketahui dengan pasti. Bila BDZ dicampur dengan zat lain seperti alkohol, putauw bisa berakibat fatal karena menekan sistem pusat pernafasan. Umumnya dokter memberi obat ini untuk mengatasi kecemasan atau panik serta pengaruh tidur sebagai efek utamanya, misalnya aprazolam/Xanax/Alviz.

8.   Inhalansia atau Solven

Adalah uap bahan yang mudah menguap yang dihirup. Contohnya aerosol, aica aibon, isi korek api gas, cairan untuk dry cleaning, tinner, uap bensin. Umumnya digunakan oleh anak di bawah umur atau golongan kurang mampu/ anak jalanan. Penggunaan menahun toluen yang terdapat pada lem dapat menimbulkan kerusakan fungsi kecerdasan otak

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika hanya terdiri dari 3 (tiga) golongan yaitu :

a.        Narkotika golongan I

Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan (penjelasan dari Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).

b.       Narkotika golongan II

Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan �digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (penjelasan dari Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang�� Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).

c.        Narkotika golongan III

Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (penjelasan dari Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).

B.  Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Narkotika

Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana narkotika dapat dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersal dari dalam diri sendiri, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri pelaku

Adapun faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut:

1.   Faktor individu

Faktor individu mencakup genetik temperamen, intelegensi, faktor genetik berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan/tindak anti sosial dan merupakan salah satu pemicu tindak kejahatan karena kurang penalaran dan rendahnya prestasi sekolah.

2.   Faktor keluarga

Faktor keluarga mencakup sikap/reaksi orang tua terhadap anak seperti kasih sayang, sikap perfectionist yang menyebabkan anak selalu gagal, orang tua selalu membatasi. Juga keutuhan dalam keluarga, biasanya keluarga pecah menghasilkan anak yang egonya lemah, kurang percaya diri, tidak merasa aman dan kurang pengawasan.

3.   Faktor masyarakat

Faktor masyarakat mencakup lingkungan tempat tinggal, lingkungan teman sebaya dan lingkungan sekolah yang merupakan lingkungan yang selalu mempengaruhi tingkah laku seseorang, termasuk apabila dilingkungannya banyak pengedar narkotika maka secara tidak langsung akan terpengaruh menjadi penggunanya.

4.   Faktor sosial budaya

Faktor sosial budaya dapat terdiri atas kondisi keluarga dan pengaruh teman. Kondisi keluarga dalam hal ini merupakan kondisi yang harmonis, seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang di rumah, serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun serba kekurangan sedangkan yang termasuk dalam pengaruh teman, misalnya karena berteman dengan seseorang yang ternyata pemakai narkotika dan ingin diterima dalam suatu kelompok.

5.   Faktor lingkungan

Faktor lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya karena adanya perkumpulan anak/remaja yang menyalahgunakan narkotika, tindakan yang tidak jelas dari sekolah apabila ada anak yang terlibat dalam tindak pidana narkotika, sehingga dapat mempengaruhi anak yang lain serta lingkungan tempat tinggal anak yang tidak memberikan perilaku yang baik

6.   Faktor sosiologis

Faktor sosiologis juga merupakan faktor yang mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan narkotika. Faktor sosiologis dikarenakan sebagian orang menganggap narkotika sebagai alat pergaulan yang didorong oleh pergeseran nilai hidup oleh masyarakat, serta dikatakan sebagai trend hidup masa kini, sehingga cenderung narkotika dijadikan penunjang dalam melakukan interaksi sosial oleh kalangan-kalangan tertentu

C.  Dampak Penggunaan Narkotika

Dampak yang ditimbulkan karena pemakaian/penggunaan narkotika, tentu dapat dicermati bahwa penyalahgunaan narkotika adalah merupakan suatu tindak kejahatan dan pelanggaran yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa si pemakai dan juga terhadap masyarakat disekitar secara sosial.

Dampak yang ditimbulkan akibat penggunaan narkotika diuraikan sebagai berikut:

1.   Terhadap pribadi/individu :

a.    Narkotika mampu mengubah kepribadian si korban secara drastis seperti berubah menjadi pemurung, pemarah bahkan melawan terhadap apapun ataupun siapapun;

b.   Menimbulkan sikap masa bodoh sekalipun terhadap dirinya seperti tidak lagi memperhatikan pakaian, tempat dimana tidur dan sebagainya;

c.    Semangat belajar menjadi menurun dan suatu ketika bisa saja si korban bersikap seperti orang gila (reaksi dari penggunaan narkotika tersebut);

d.   Tidak lagi ragu untuk mengadakan hubungan seks karena pandangannya terhadap norma-norma masyarakat, terhadap adat, budaya dan ketentuan agama sudah demikian longgar, bahkan kadang-kadang pupus sama sekali;

e.    Tidak segan-segan menyiksa diri karena ingin menghilangkan rasa nyeri atau menghilangkan sifat ketergantungan terhadap obat bius;

f.    Menjadi pemalas bahkan hidup santai.

2.   Terhadap keluarga

a.    Tidak segan mencuri uang atau bahkan menjual barang-barang rumah yang bisa diuangkan;

b.   Tidak segan lagi menjaga sopan santun di rumah bahkan melawan kepada orang tua;

c.    Kurang menghargai milik yang ada di rumah, seperti mengendarai kendaraan tanpa perhitungan rusak atau menjadi hancur sama sekali;

d.   Mencemarkan nama keluarganya.

3.   Terhadap masyarakat

a.    Berbuat tidak senonoh (mesum) dengan orang lain, yang berakibat tidak saja bagi diri yang berbuat melainkan mendapatkan hukuman masyarakat yang berkepentingan;

b.   Mengambil milik orang lain demi memperoleh uang untuk membeli atau mendapatkan narkotika;

c.    Mengganggu ketertiban umum, seperti mengendarai kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi;

d.   Menimbulkan bahaya bagi ketentraman dan keselamatan umum antara lain tidak menyesal apabila berbuat kesalahan.

4.   Terhadap Bangsa dan Negara

a.    Akibat dari penyalahgunaan narkotika adalah rusaknya generasi muda sebagai pewaris bangsa dan seyogyanya siap untuk menerima tongkat estafet generasi dalam rangka meneruskan cita-cita bangsa dan tujuan nasional;

b.   Hilangnya rasa patriotisme atau rasa cinta tanah air yang pada gilirannya mudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang akan menjadi ancaman terhadap ketahanan nasional dan stabilitas nasional.

2.    Pihak � Pihak yang Terkait Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

Adapun pihak-pihak terkait dalam menanggulangi tindak pidana narkotika sebagai berikut :

1.       Badan Narkotika Nasional (BNN)

Dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika ini BNN mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika yang dimuat dalam Pasal 70, BNN mempunyai tugas :

a.       Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

b.       Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

c.       Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

d.       Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

e.       Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

f.        Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

g.       Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

h.       Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika;

i.        Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan tehadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

j.        Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

Wewenang BNN diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 35��� Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi : �Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika�.

2.       Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Apabila memperhatikan pada perundang-undangan nasional, ada beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum diberikannya wewenang kepada PPNS untuk melakukan penyidikan di antaranya :

a.       Pasal 6 ayat (1) KUHAP

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

b.       Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang narkotika dan prekursor narkotika adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Penjelasan Umum Pasal 82 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika).

3.       Peran serta masyarakat

Pengaruh dari krisis ekonomi yang dialami negara Indonesia yang masih berlanjut sampai saat ini ditambah lagi ada isu-isu politik. Berdampak pada kebanyakan masyarakat Indonesia menjadi miskin, disamping bertambahnya jumlah PHK yang menambah jumlah pengangguran, yang membuat hidup masyarakat manjadi susah.

Kondisi masyarakat seperti ini sangat rawan dan potensial dimanfaatkan untuk dijadikan objek-objek oleh para pelaku sindikat kejahatan Narkotika baik oleh sindikat Internasional ataupun sindikat nasional, mengingat letak geografi Indonesia yang sangat strategis serta memiliki penduduk yang terbesar keempat di dunia.

Aturan-aturan hukum tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak terbatas pada tindakan dengan menghukum dan memasukkan pelanggar ke dalam penjara sebanyak-banyaknya. Namun yang lebih substansial ialah bagaimana upaya pemerintah dapat membimbing warga masyarakat agar tidak kecanduan untuk melakukan penyalahgunaan Narkotika.

D.  Upaya Kepolisian Resor Aceh Tenggara Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Narkotika Jenis Ganja

A.  Kendala Kepolisian Resor Aceh Tenggara Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Narkotika Jenis Ganja

Kendala dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu kendala yang bersifat internal dan kendala yang bersifat eksternal. Kendala internal dirasakan saat pelaksanaan razia terbuka atau razia gabungan dan masalah pembiayaan dalam pemberantasan dan penanggulangan narkotika, sedangkan kendala eksternal dirasakan saat melakukan penyidikan karena kurangnya kerjasama dari masyarakat dalam rangka pemberantasan dan penyalahgunaan narkotika.

Beberapa kendala Kepolisian Resor Aceh Tenggara dalam menanggulangi tindak pidana narkotika jenis ganja yaitu :

1.   Personil

Dalam melakukan penyidikan terhadap peredaran dan penyalahgunaan narkotika kendala dari segi personil yang ada pada Kepolisian Resor Aceh Tenggara adalah kurangnya pendidikan khusus tentang narkotika yang di terima oleh penyidik. Tidak hanya pendidikan khusus narkotika, jumlah anggota personil yang ada pun masih sangat minim dibanding dengan jumlah kasus dan tingkat peredaran narkotika yang semakin meluas di masyarakat. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus dikarenakan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika sangat terbatas dan tertutup.

2.   Kurangnya jumlah peralatan yang diperlukan/alat operasional

Kekurangan peralatan yang digunakan untuk melakukan penyelidikan maupun penyidikan dalam hal ini adalah untuk melakukan penyadapan. Tanpa adanya peralatan yang cukup maka dapat mempengaruhi kecepatan serta ketelitian penyidik dalam mengumpulkan alat bukti mengenai suatu tindak pidana narkotika.

Alat operasional yang dimaksud adalah alat berupa kendaraan yang digunakan dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap peredaran narkotika serta alat yang bisa digunakan penyidik dalam melakukan pelacakan dan tes laboratorium terhadap barang sitaan maupun terhadap tersangka.

Penyelidik dan penyidik Kepolisian Resor Aceh Tenggara sendiri dalam melakukan setiap tugas penyidikan terhadap peredaran narkotika di wilayah Kepolisian Resor Aceh Tenggara masih menggunakan kendaraan motor milik pribadi masing-masing anggota. Hal ini menyulitkan anggota untuk melakukan penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana narkotika. Diperlukannya alat oprasional berupa kendaraan roda 2 ataupun roda 4 untuk mendukung setiap kegiatan operasional yang dilakukan oleh kepolisian.

3.   Terbatasnya biaya operasional/biaya penyelidikan dan penyidikan

Dalam hal biaya penyelidikan dan penyidikan merupakan hal yang penting untuk menunjang kinerja dari penyidik dan penyelidik. Biaya penyelidikan dan penyidikan misalkan mendapatkan sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) perbulannya dirasa sangat kurang mengingat peran kepolisian yang sangat besar dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan serta pencegahan penyalahgunaan dan peredaran narkotika.

Anggaran tersebut kurang, mengingat jumlah tindak pidana narkotika yang disalahgunakan meningkat. Hal ini menyebabkan banyaknya pengeluaran yang harus digunakan penyelidik maupun penyidik dalam mencari dan mengumpulkan informasi tentang peredaran dan penyalahgunaan narkotika.

4.   Kendala dalam jajaran Satuan Narkotika

Dalam jajaran Satuan Narkotika yang terlibat dalam razia terbuka, seringkali anggota jajaran Satuan Narkotika yang terlibat dalam razia terbuka membocorkan target operasional razia, bukan maksud untuk memberitahukan tempat operasi kepada orang lain hanya sekedar bicara santai akan tetapi hal tersebut berimbas ke dalam kebocoran informasi dan tingkat keberhasilan operasi yang dilakukan sehingga pelaksanaan razia tidak dapat dilaksanakan secara maksimal mengingat beberapa orang yang telah mengetahui akan diadakan razia dan kemudian melarikan diri.

5.   Penyidik mendapatkan teror dan menjadi saksi dalam persidangan

Anggota yang dalam hal ini adalah penyidik kepolisian walaupun sudah merubah penampilan dengan memakai anting, tato dan berambut gondrong para anggota kepolisian tersebut lebih banyak dikenali dengan mudah jaringan narkotika tersebut karena setiap anggota kepolisian tersebut, setiap setelah menangkap maka otomatis anggota tersebut akan menjadi saksi dalam persidangan.

Di dalam persidangan seorang saksi tidak mungkin orang lain seorang saksi harus yang mengetahui tentang penangkapan tersebut dan itu adalah anggota polisi sendiri. Oleh karena itu anggota kepolisian penyidik narkotika yang sudah pernah melakukan pembelian terselubung itu akan dengan mudah terdeteksi oleh teman anggota kelompok tersangka yang merupakan sebuah jaringan.

Salah satu anggota jaringan tersebut biasanya hadir dan berbaur di masyarakat untuk hadir dalam persidangan temannya yang sudah tertangkap sehingga para anggota polisi yang menjadi saksi dalam persidangan tersebut akan terdeteksi dan apabila akan melakukan pembelian terselubung kembali akan mengalami kesulitan.

Anggota penyidik kepolisian selain sudah terdeteksi oleh jaringan tersebut para anggota itu juga menjadi incaran bagi kelompok jaringan itu, karena bagi suatu jaringan narkotika mereka tidak mau untuk kalah dari kepolisian. Setelah salah satu rekan jaringan tersebut tertangkap, setidaknya polisi yang berhasil menangkap rekannya tersebut juga harus terkena suatu masalah.

Jaringan tersebut selalu mencari-cari kesalahan polisi, biasanya hal tersebut dilakukan secara tidak langsung tapi juga bahkan tidak jarang upaya yang mereka lakukan dalam mencari-cari kesalahan polisi sudah tidak masuk logika, itu semua dilakukan agar para anggota polisi tersebut mendapatkan masalah atau dibuat sibuk oleh masalah yang mereka buat agar jaringan tersebut dapat meneruskan pekerjaannya dan memberi dampak pada anggota kepolisian.

6.   Belum memiliki alat khusus deteksi (IT)

Alat deteksi narkotika sangat di butuhkan untuk mempermudah penyidik dalam melakukan penyelidikan tindak pidana narkotika. Alat deteksi (IT) narkotika dan Analisys Notebook digunakan untuk melakukan penyadapan handphone (HP) dari pelaku dan jaringannya. Belum adanya laboratorium kriminal yang dimiliki di Kepolisian Resor Aceh Tenggara yang dapat menghambat tugas penyidik dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkotika.

Hal ini dikarenakan dalam melakukan penyidikan polisi belum bisa membuktikan dengan kasat mata jenis narkotika, disini penyidik harus mencoba sendiri narkotika yang di tangkap untuk membuktikan hasil tangkapan. Dengan harus mencoba hasil tangkapan dari hasil penyelidikan dapat mempengaruhi dan memberikan efek kerugian tersendiri bagi Kepolisian, karena dengan seperti itu yang awalnya mencoba untuk membuktikan narkotika yang di tangkap dapat menjerumuskan penyidik Kepolisian itu sendiri.

7.   Kendala dalam mendapatkan informan/spionase

Informan sendiri adalah orang yang memiliki informasi tentang suatu subjek yang ingin diketahui, dalam hal ini informan adalah yang berkaitan tentang tindak kejahatan narkotika. Informan ini orang yang dapat memberikan penjelasan yang detail dan akurat menyangkut apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana dan mengapa, dalam suatu kasus tindak pidana narkotika.

Informan dalam mengungkap tindak pidana narkotika menempati kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu polisi dalam mendapatkan informan ini sangat kesulitan. Sesuai dengan namanya, dia adalah sumber informasi bagi polisi dalam mengungkap kasus narkotika. Tugas seorang informan sendiri adalah sebagai perantara polisi dalam mengungkap kasus narkotika. Dia adalah orang yang bertugas mengenalkan anggota polisi kepada tersangka. Tanpa informan ini, tidak ada informasi dan tanpa informasi maka akan cukup sulit bagi polisi untuk mengungkap tindak pidana narkotika yang merupakan kejahatan jaringan yang terorganisasi.

8.   Kendala menentukan lokasi pembelian terselubung

Salah satu kendala yang harus dihadapi para penyidik adalah menentukan lokasi pembelian terselubung (undercover buy) karena penyidik harus mencari lokasi yang memungkinkan dilakukanya pengawasan terhadap gerak-gerik tersangka dan kemungkinan dilakukannya pengamanan terhadap pelaku undercover, uang transaksi dan menghindari tempat yang terlalu ramai dan terbuka, tidak banyak tempat yang bisa digunakan untuk melakukan operasi ini.

Penyidik kepolisian harus terlebih dahulu mengamankan penduduk sekitar yang tidak terlibat dalam kasus tersebut karena operasi yang dilakukan adalah operasi yang berbahaya. Waktu dan strategi untuk mengamati dan mempelajari tersangka yang disediakan dalam suatu operasi narkotika juga haruslah cukup. Lebih baik menunda suatu rencana operasi narkotika apabila waktu tidak tepat dan membuat operasi yang dilakukan gagal. Gerakan tersangka merupakan faktor utama yang harus diperhatikan oleh penyidik.

9.   Jaringan narkotika menggunakan teknik ranjau

Jaringan narkotika ini juga tidak tinggal diam dengan mencari teknik-teknik baru agar polisi sulit untuk menangkap jaringan mereka salah satunya adalah dengan teknik ranjau. Teknik ranjau yang dimaksud dalam hal ini pihak polisi dan kurir tidak saling bertemu secara langsung, karena baik bandar maupun kurir jaringan tersebut tidak ingin bertemu dengan polisi sehingga dalam melakukan pembelian terselubung polisi sering gagal.

Teknik ranjau ini dilakukan dengan cara setelah polisi melakukan pembelian terselubung dengan mengirim uang ke rekening bandar jaringan tersebut, maka bandar tersebut menghubungi kurirnya untuk melakukan teknik ranjau ini. Kurir dalam hal ini meletakan narkotika tersebut ke suatu tempat yang kemudian setelah itu kurir menghubungi pembeli dan memberitahukan letak dimana dia meletakan barang tersebut ataupun narkotika dimasukkan dalam kardus dan dikirim ke pembeli via jasa pengiriman barang, ditaruh di tempat sampah lokasi tertentu dan menghubungi pembeli untuk mengambil, kurir mengantar narkotika dengan cara diselipkan di dalam kardus ayam goreng, bahkan ditempelkan di tubuh kurir dan ditutup dengan tensoplas.

10.        Masyarakat

Partisipasi dan kontrol masyarakat di beberapa wilayah yang masih sangat rendah karena rasa tidak peduli terhadap lingkungannya sendiri walaupun jelas terlihat secara langsung adanya tindakan penyalahgunaan narkotika. Hal tersebut disebabkan karena adanya anggapan bahwa pihak Kepolisian akan lepas tangan dan tidak memberikan perlindungan keamanan bagi si pelapor. Selain itu timbulnya rasa takut apabila saksi dijadikan ancaman sindikat pengedaran narkotika di kemudian hari.

B.  Upaya Kepolisian Resor Aceh Tenggara Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Narkotika Jenis Ganja

Beberapa upaya Kepolisian Resor Aceh Tenggara dalam menanggulangi tindak pidana narkotika jenis ganja sebagai berikut :

1.   Upaya dalam mengatasi biaya operasional yang terbatas

Penyidikan suatu kasus narkotika yang dilakukan dengan teknik pembelian terselubung (undercover buy) adalah dengan mengajukan rencana penambahan jumlah anggaran dasar dengan harapan akan ditindaklanjuti langsung oleh bagian operasional yang semula biaya penyidikan untuk satu kasus narkotika yang dilakukan dengan teknik pembelian terselubung (undercover buy) agar dapat ditambah.

2.   Upaya penyidik harus bersikap profesional

Penyidik yang akan melakukan teknik pembelian terselubung (undercover buy) ini harus bersikap secara profesional dan hati-hati dalam menjalankan tugasnya, serta meminimalisir kesalahan atau bahkan jangan sampai melakukan kesalahan dalam tugas, karena hanya dengan sedikit kesalahan maka nyawa penyidik maupun anggota yang lain akan terancam bahaya atau operasi yang dilakukan akan gagal.

3.   Upaya mengatasi kekurangan peralatan yang diperlukan

Upaya yang dilakukan penyidik dalam mengatasi kekurangan peralatan yang diperlukan adalah dengan melaporkan tentang kekurangan peralatan yang dialami oleh penyidik narkotika Kepolisian Resor Aceh Tenggara agar dapat segera memenuhi kekurangan-kekurangan peralatan canggih yang nantinya akan digunakan sebagai alat bantu dalam penyelidikan maupun penyidikan.

4.   Upaya dalam mendapatkan informan dan mengoptimalkan peran tersangka

Upaya yang dimaksudkan dalam mengoptimalkan peran informan yaitu dengan mengumpulkan informasi dengan menggunakan informan (mata-mata) dan melakukan pembelian terselubung dengan menggunakan kurir atau tersangka yang telah tertangkap. Informan ini biasanya berasal dari orang-orang yang nakal, dalam hal ini informan berada di dalam lingkungan atau komunitas yang akrab dengan penggunaan narkotika.

5.   Upaya dalam menentukan lokasi pembelian terselubung

Upaya yang dilakukan penyidik POLRI dalam menentukan lokasi perlu diperhatikan hal sebagai berikut :

a.   Lokasi harus memungkinkan dilakukanya pengawasan terhadap gerak-gerik lawan dan kemungkinan dilakukanya pengamanan terhadap pelaku undercover, uang transaksi dan dihindari tempat yang terlalu ramai dan terbuka.

b.   Lokasi memungkinkan dipergunakan alat-alat komunikasi dan deteksi baik untuk mengawasi lawan maupun untuk kepentingan komunikasi serta untuk koordinasi semua petugas.

c.   Lokasi harus dikuasai sejak dini, sehingga memungkinkanya dilakukan usaha pengamanan dan menghindari kontra penyelidikan pihak lawan.

6.   Upaya yang dilakukan dalam mengatasi teknik ranjau

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi teknik ranjau dengan memanfaatkan kelemahan teknik ranjau ini di mata hukum karena adanya Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu ada dalam Pasal 86 ayat (2) tentang alat bukti yang sah.

Berikut ini diuraikan data Kepolisian Resor Aceh Tenggara dalam menanggulangi tindak pidana narkotika jenis ganja sebagai berikut :

Tabel 1

Tabel 2

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3

Tabel 4

Kesimpulan

Berdasarkan uraian bab-bab di atas, maka dapat ditarik kesimpulan faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika adalah faktor individu mencakup genetik temperamen, intelegensi, faktor genetik berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan/tindak anti sosial. Faktor keluarga mencakup sikap/reaksi orang tua terhadap anak seperti kasih sayang, sikap perfectionist yang menyebabkan anak selalu gagal, orang tua selalu membatasi. Faktor masyarakat mencakup lingkungan tempat tinggal, lingkungan teman sebaya dan lingkungan sekolah yang merupakan lingkungan yang selalu mempengaruhi tingkah laku seseorang. Faktor sosial budaya dapat terdiri atas kondisi keluarga da pengaruh teman. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya karena adanya perkumpulan anak/remaja yang menyalahgunakan narkotika. Faktor sosiologis juga merupakan faktor yang mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan narkotika.

Pihak-pihak terkait dalam menanggulangi tindak pidana narkotika yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN), dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika ini BNN mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dimuat dalam Pasal 70. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan peran serta masyarakat.

Upaya Kepolisian Resor Aceh Tenggara dalam menanggulangi tindak pidana narkotika jenis ganja adalah upaya dalam mengatasi biaya operasional yang terbatas, upaya Penyidik harus bersikap profesional, upaya mengatasi kekurangan peralatan yang diperlukan, upaya dalam mendapatkan informan dan mengoptimalkan peran tersangka, upaya dalam menentukan lokasi pembelian terselubung dan upaya yang dilakukan dalam mengatasi teknik ranjau

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Andrisman, Tri, 2009, Hukum Pidana, Asas-Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Lampung. Google Scholar

 

Djamali, R. Abdoel, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Google Scholar

 

Erdianto, 2010, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Alaf Riau, Pekanbaru. Google Scholar

 

Harahap, M. Yahya, 2009, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap (Penyidik Dan Penuntut Umum), Sinar Grafika, Jakarta. Google Scholar

 

Kansil, C.S.T. Dan Kansil, Christine S.T., 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta. Google Scholar

 

Kartono, K, 2006, Kenakalan Remaja, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta. Google Scholar

 

Makarao, M. Taufik, Dkk, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta. Google Scholar

 

Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Google Scholar

 

Mn, Andi Dian Pratiwi, 2013, Peranan Polisi Militer Angkatan Darat Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Universitas Hasanuddin, Makassar. Google Scholar

 

Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Bp. Undip, Semarang.

 

Nugroho, Wien Okta Adhy, 2011, Peran Satuan Narkoba Dalam Pemberantasan Dan Penanggulangan Kejahatan Narkotika Di Kabupaten Klaten (Studi Pada Polres Klaten), Universitas Negeri Semarang, Semarang. Google Scholar

 

Pratodiharjo, Subagyo, 2006, Kenali Narkotika Dan Musuhi Penyalahgunaannya, Pt. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.

 

Rahman, Ardillah, 2013, Implementasi Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tahun 2010-2012 Di Kabupaten Wajo), Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Google Scholar

 

Sadjijono, 2010, Memahami Hukum Kepolisian, Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

 

Sasangka, Hari, 2003, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung. Google Scholar

 

Sianturi, S.R., 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Cetakan Ke-3, Storia Grafika, Jakarta. Google Scholar

 

Sofyan, Ahmadi, 2007, Narkoba Mengincar Anak Anda Panduan Bagi Orang Tua, Guru Dan Badan Narkotika Dalam Penanggulangan Bahaya Narkoba Di Kalangan Remaja, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Google Scholar

 

Suparlan, Parsudi, 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta. Google Scholar

 

Supramono, Gatot, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Cetakan Pertama, Penerbit Djambatan, Jakarta. Google Scholar

 

Tarigan, T Bastanta, 2013, Peranan Polri Dalam Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Polsekta Pancur Batu), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Google Scholar

 

Usfa, A. Fuad, 2004, Pengantar Hukum Pidana, Universitas Muhammadiyah, Malang. Google Scholar

 

Utomo, Warsito Hadi, 2002, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Google Scholar

 

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Google Scholar

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Google Scholar

 

Copyright holder:

Lusi Tutur Mulia (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: