Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 3, Maret 2022
PENERAPAN GROUP COGNITIVE
BEHAVIOR THERAPY (CBT) UNTUK MENURUNKAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA SISWI SMP
YANG MENJALANI PENDIDIKAN JARAK JAUH (PJJ)
Natasya Yustilira Lubis, Efriyani Djuwita
Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat,
Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Pandemi COVID-19 menyebabkan terjadinya penyesuaian sistem pendidikan di Indonesia, yakni sistem Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ). Metode
PJJ sangat berhubungan dengan
perilaku menunda tugas akademik (prokrastinasi akademik), karena sangat membutuhkan motivasi intrinsik dan inisiatif belajar pada siswa. Pada umumnya,
remaja perempuan cenderung lebih rendah melakukan prokrastinasi akademik. Akan tetapi, hal ini
berbeda karena kondisi PJJ ini. Siswa yang melakukan prokrastinasi akademik secara terus menerus
akan mengalami kegagalan dalam
mata pelajaran, rendahnya self-esteem, menimbulkan
putus asa, dan mengembangkan masalah fisik maupun psikologis.
Salah satu penanganan yang dapat menurunkan perilaku prokrastinasi akademik adalah intervensi Cognitive Behavior
Therapy (CBT). Program intervensi dirancang
secara daring dan berkelompok.
Partisipan intervensi adalah 5 siswi SMP yang berusia 14-15 tahun. Hasil intervensi adalah terdapat penurunan tingkat prokrastinasi akademik pada partisipan. Partisipan juga merasakan perubahan yang lebih positif.
Kata Kunci:�� cognitive behavior therapy, intervensi kelompok daring, pembelajaran jarak jauh, prokrastinasi akademik
Abstract
The COVID-19
pandemic has led to an adjustment in educational system in Indonesia, namely
the Distance Learning (DL). Distance learning has associated to delaying
academic assignments (academic procrastination), because it really requires
intrinsic motivation and learning initiative by students. In general,
adolescent girls tend to be less likely to do academic procrastination.
However, this is different because of the conditions of this distance learning.
Students who carry out academic procrastination continuously will experience
failures in subjects, low self-esteem, hopelessness, and develop physical and
psychological problems. One treatment can reduce academic procrastination behavior is Cognitive Behavior
Therapy (CBT). The intervention program is designed online and a group.
Participants in the intervention were 5 girls in junior high school students
aged 14-15 years. The results of the intervention showed that there are decrease
in the level of academic procrastination in the participants. Participants also
felt more positive changes.
Keywords: academic procrastination, cognitive behavior therapy, distance learning, online group
intervention
Pendahuluan
Pandemi global Corona Virus
Disease (COVID-19) menyebabkan serangkaian tantangan sosial, salah satunya adalah pendidikan secara daring (APA, 2020). Berdasarkan
surat edaran Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2020), terdapat
kebijakan belajar dari rumah melalui
Pembelajaran Jarak Jauh
(PJJ). Hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran virus COVID-19,
sehingga semua aktivitas pembelajaran dilakukan di rumah menggunakan teknologi dan mengambil kebijakan untuk meniadakan Ujian Nasional dan Ujian Sekolah (Churiyah, Sholikhan, Filianti, & Sakdiyyah, 2020).
Terdapat berbagai dampak
negatif pada pembelajaran
daring. Siswa menyatakan bahwa mereka tidak
siap menjalani metode pembelajaran daring, merasa bosan dengan
aktivitas pembelajaran yang
monoton, kesulitan memahami pelajaran, merasa kurang mampu
mengatur waktu, meregulasi diri, dan merasa cemas (Arifiana, Rahmawati, Hanurawan, & Eva, 2020).
Peralihan metode pendidikan secara daring di tengah pandemi ini mempengaruhi hasil belajar siswa
sekolah dasar dan menengah yang semakin menurun (KUHFELD et al., n.d.).
Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI, 2020), proses PJJ menyebabkan 73,2% siswa terbebani tugas dari para guru dan sulit mengumpulkan tugas karena guru meminta mereka mengerjakannya dalam waktu singkat. Tugas-tugas yang menumpuk dapat meningkatkan kecemasan pada siswa, dan hal ini dapat
mengarah pada perilaku prokrastinasi akademik (Jia, Jiang, & Lin, 2020).
Pembelajaran daring sangat rentan
dengan prokrastinasi akademik (Yang & Yuzhong, 2019),
karena prokrastinasi memiliki pengaruh yang lebih besar saat
pembelajaran dalam kondisi jarak jauh
(Tuckman, 1991).
Pembelajaran daring sangat membutuhkan
faktor intrinsik yang lebih tinggi dan sikap inisiatif untuk belajar yang dimiliki siswa (McElroy & Lubich, 2013).
Hal ini berdampak pada kecenderungan siswa untuk menunda atau
prokrastinasi (McElroy & Lubich, 2013);
(Delaval, Michinov, Le Bohec, & Le H�naff, 2017).
Prokrastinasi adalah menunda
kegiatan dengan sengaja walaupun mengetahui bahwa penundaannya dapat menghasilkan dampak yang lebih buruk (Steel, 2007).
Jika dalam hal akademik, kegiatan yang ditunda merujuk pada segala tugas terkait
akademik. Apabila prokrastinasi akademik tidak ditangani dengan baik, siswa
akan mengalami kegagalan dalam mata pelajaran, rendahnya self-esteem, menimbulkan
putus asa, dan mengembangkan masalah fisik maupun psikologis
(Hussain & Sultan, 2010);
(Hooda & Devi, 2017).
Siswa yang menunda-nunda tugasnya cenderung mengalami stres, kecemasan atau perasaan negative (Garz�n-Umerenkova & Gil-Flores, 2017).
Prokrastinasi akademik berdampak pada penundaan pencapaian tujuan akademik dan menurunkan kinerja (Ferrari & D�az-Morales, 2014).
Transisi dari sekolah
menengah merupakan periode yang berisiko di tahap remaja awal,
karena terdapat masalah pertemanan, pengawasan orang tua, penyusunan identitas secara mandiri, dan pembuatan keputusan terkait pendidikan atau karir (V�ronneau & Dishion, 2010);
(Rickwood, Deane, & Wilson, 2007).
Di saat kondisi PJJ seperti sekarang ini, siswa yang berusia remaja awal akan bertambah
tugasnya untuk melakukan penyesuaian diri, sehingga dapat berpotensi untuk melakukan prokrastinasi akademik. Padahal sebenarnya, prokrastinasi akademik cenderung ditemukan pada siswa yang lebih tua (Owens & Newbegin, 1997),
karena semakin bertambahnya usia, orang tua maupun guru lebih sedikit bertanggung
jawab untuk membantu anak mengontrol
performa akademiknya (Tuckman, 1991).
Akan tetapi, prokrastinasi akademik pada saat PJJ dapat menambah tantangan baru bagi remaja awal.
Remaja awal berada dalam rentang
usia 12 � 15 tahun (Curtis, 2015)
atau setara dengan anak usia
Sekolah Menengah Pertama (SMP) (Steinberg, 2017).
Siswa laki-laki dilaporkan
memiliki prokrastinasi akademik yang lebih tinggi dari perempuan
(�zer, B. U., Demir, A., & Ferrari, 2009);
(Khan, Arif, Noor, & Muneer, 2014),
karena laki-laki cenderung menunjukkan keeengganan terhadap tugas (Ozer & Ferrari, 2011). Beberapa tugas digolongkan sebagai tugas yang �feminin� dan tugas lainnya sebagai
tugas �maskulin� (Ozer & Ferrari, 2011).
Contohnya, tugas seperti Pekerjaan Rumah (PR) dan belajar untuk persiapan ujian dilihat sebagai
peran yang feminin, sehingga siswa laki-laki cenderung menghindari dan menunda tugas tersebut (Uzun �zer, 2005).
Sementara itu, di negara dengan budaya kolektivistik,
perempuan diharapkan lebih sukses menyelesaikan
tugas akademik mereka dan melakukan prokrastinasi yang sedikit (�zer, B. U., Demir, A., & Ferrari, 2009).
Akan tetapi, dengan kondisi PJJ yang rentan akan perilaku menunda
tugas akademik, siswi perempuan terancam memiliki kecenderungan melakukan penundaan tugas akademik.
Menurut (Steel & K�nig, 2006)
perilaku prokrastinasi dapat bertahan karena dipengaruhi faktor kognitif dan perilaku, penggunaan intervensi yang dapat menargetkan pemikiran yang tidak membantu dan variabel yang mempengaruhi motivasi menjadi treatment
yang menjanjikan. Penggunaan
intervensi Cognitive Behavior
Therapy (CBT) telah diakui
sesuai untuk menangani masalah prokrastinasi (Steel, 2007);
(Ozer
& Ferrari, 2011); (Rozental et al., 2018).
CBT merupakan intervensi psikologis yang menitikberatkan
pada interaksi antara pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang (Stallard, 2005).
Berdasarkan paparan peneliti
di atas, diperlukan suatu intervensi untuk mengurangi perilaku menunda tugas akademik (academic procrastination)
pada siswa yang sedang mengalami PJJ, khususnya siswi SMP. Pada intervensi ini, peneliti akan
menggunakan intervensi dengan pendekatan CBT secara berkelompok. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah intervensi dengan pendekatan CBT dapat mengurangi perilaku menunda tugas akademik
pada remaja perempuan selama melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi
COVID-19.
Metode Penelitian
Desain pada penelitian ini adalah one group pretest-posttest design. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah purposive
sampling. Partisipan penelitian
ini berjumlah 5 partisipan (P1, P2, P3, P4, dan P5) yang berusia 14-15 tahun, kelas 9, berjenis kelamin perempuan, sedang menjalani PJJ, dan memiliki tingkat prokrastinasi yang tinggi berdasarkan alat ukur Irrational Procrastination Scale (IPS; (Steel, 2010)).
Alat ukur IPS sudah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh (Prayitno, Siaputra, & Lasmono, 2013).
Alat ukur IPS terdiri dari 9 item, self-report,
dan berbentuk skala
likert. Respon jawaban terdiri dari 5 pilihan yang dapat dipilih sesuai
dengan situasi/keadaan yang dialami remaja yang bersangkutan, yaitu 1 = Sangat Jarang,� 2 = Jarang, 3 = Kadang-kadang, 4 = Sering, dan 5 = Sangat Sering. Terdapat 5 penggolongan skor pada alat ukur ini, yaitu
(1) skor 19 ke bawah adalah sangat rendah; (2) skor 20-23 adalah rendah; (3) skor 24-31 adalah rata-rata/sedang; (4) skor 32-36 adalah tinggi; dan (5) skor 37 ke atas
adalah sangat tinggi (Steel, 2010).
Selain itu, pengumpulan data juga menggunakan
metode wawancara.
Intervensi ini terbagi menjadi 4 tahap utama, yaitu
pre-test, intervensi, post-test, dan follow-up. Pada
pre-test, partisipan dan orang tua
partisipan diberikan inform
consent yang dilanjutkan dengan
mengisi kuesioner IPS. Partisipan
yang memiliki tingkat perilaku menunda tugas akademik yang tinggi akan dihubungi
lebih lanjut oleh peneliti untuk diminta konfirmasi dari partisipan dan orang tuanya untuk mengikuti
intervensi. Setelah partisipan memberikan konfirmasi, peneliti akan menjelaskan
tentang detail jadwal intervensi dan melakukan wawancara kepada partisipan untuk mendapatkan data lebih lanjut mengenai gambaran perilaku menunda tugas akademik
partisipan.
Sesi intervensi terdiri dari 7 pertemuan dengan topik materi berbeda
yang dilakukan secara
daring. Modul intervensi ini dikembangkan dari modul �Put Off
Procrastination� oleh Centre for Clinical Interventions, Australia (Saulsman & Nathan, 2008).
Jenis kegiatan di setiap intervensi adalah penyampaian materi, pengisian lembar kerja, dan diskusi atau sharing. Selama intervensi berlangsung, partisipan akan mengisi lembar
kerja terkait materi perilaku menunda tugas akademik.
Di setiap akhir sesi, partisipan juga akan diberikan form evaluasi agar peneliti mendapat data tambahan mengenai pemahaman partisipan terkait materi.
Topik pada sesi 1 adalah pemaparan materi terkait definisi prokrastinasi. Terdapat kegiatan mengisi lembar kerja terkait tugas akademik yang sering ditunda dan aktivitas pengalihan yang dipakai untuk menunda tugas.
Topik pada sesi 2 adalah pengenalan prasangka yang mendorong perilaku menunda tugas akademik beserta konsekuensinya. Dua materi ini
diberikan melalui penjelasan materi, pengisian lembar kerja, dan diskusi. Partisipan diberi penjelasan bahwa terdapat 6 hal yang mendorong seseorang melakukan penundaan tugas, yaitu (1) kebutuhan untuk bertanggung jawab; (2) mencari kesenangan; (3) takut kegagalan dan ketidaksetujuan; (4) takut akan ketidakpastian atau malapetaka; (5) kepercayaan diri yang rendah; dan (6) kehabisan energi. Kegiatan berikutnya adalah penjelasan mengenai konsekuensi positif maupun negatif apabila melakukan penundaan tugas akademik.
Topik pada sesi
3 adalah pemahaman mengenai siklus penundaan tugas akademik. Tahap pertama adalah munculnya tugas yang ingin dihindari. Tahap kedua adalah
munculnya prasangka yang mendorong untuk menunda tugas akademik.
Tahap ketiga adalah munculnya rasa tidak nyaman yang ingin segera dihindari.
Tahap keempat adalah munculnya alasan menunda tugas akademik. Tahap kelima adalah
mendapatkan konsekuensi positif dan negatif. Tahap terakhir adalah kembali melakukan perilaku menunda tugas akademik.
Sejalan dengan peneliti menjelaskan satu per satu dari
tahapan tersebut, peneliti meminta partisipan untuk mengisi lembar kerja terkait siklus
penundaan tugas mereka dan mendiskusikannya kepada peneliti dan partisipan lainnya.
Topik pada sesi
4 adalah cara mengubah alasan menunda tugas akademik.
Partisipan diminta untuk mengidentifikasi kesimpulan dari alasan yang sering digunakan untuk membenarkan perilaku menunda tugas. Peneliti menjelaskan cara untuk mengubah
alasan dari perilaku menunda tugas, yaitu dengan
menyanggah kesimpulan yang
salah tersebut. Misalnya, �memang waktunya masih lama. Akan tetapi, apakah berarti saya sama sekali
tidak mampu memulai mengerjakan, meski sedikit saja?�.
Partisipan diminta untuk menuliskan kalimat sanggahan di lembar kerja.
Topik pada sesi 5 adalah strategi untuk mengurangi perilaku menunda tugas akademik. Terdapat beragam jenis strategi yang dipaparkan, contohnya adalah (1) memecah tugas menjadi beberapa bagian; (2) membuat pengingat; (3) memberi hadiah ke diri sendiri; (4) membuat jadwal; (5) memulai dari yang tugas yang sulit atau mudah; dan lain-lain. Partisipan dapat memilih jenis strategi yang paling sesuai dengan partisipan dan menuliskannya di lembar kerja. Di akhir sesi, peneliti memberikan lembar kerja yang disebut jurnal harian yang dapat diisi partisipan selama 3 hari ke depan. Jurnal harian berisi tentang strategi apa saja yang berhasil partisipan terapkan untuk mengurangi perilaku menunda di saat pekan ujian.
Topik pada sesi 6 adalah pemaparan materi dan pengisian lembar kerja terkait penerapan prasangka yang lebih positif. Selain itu, di sesi ini juga diberikan strategi agar mampu mentoleransi ketidaknyamanan, yaitu dengan membiarkan diri merasakan rasa tidak nyaman (bosan, cemas, takut, dan sebagainya) selama beberapa menit. Tujuannya agar membiasakan dan menerima rasa tidak nyaman.���
Topik pada sesi 7 adalah diskusi hal apa saja yang partisipan dapatkan sepanjang sesi intervensi. Peneliti juga mengajak partisipan untuk membagikan kesannya bagaimana materi intervensi dapat mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku partisipan di kehidupan sehari-hari. Setelah sesi 7 diberikan, peneliti melakukan post-test dengan meminta partisipan untuk mengisi kembali alat ukur Irrational Procrastination Scale (IPS; (Steel, 2010)) dan lembar debriefing.
Sebulan setelah intervensi selesai, peneliti melakukan follow-up. Partisipan diminta untuk mengisi kembali alat ukur IPS. Tujuan pengukuran untuk mengetahui apakah perubahan perilaku dari intervensi ini mampu bertahan atau tidak dari para partisipan. Di tahap follow-up ini, peneliti juga mendiskusikan pengalaman partisipan dalam menerapkan strategi yang telah diberikan pada saat intervensi dalam kehidupan sehari-hari.
Intervensi dinyatakan berhasil apabila (1) terdapat penurunan skor prokrastinasi yang diukur menggunakan skala Irrational Procrastination Scale (Steel, 2010) pada partisipan antara sebelum dan setelah intervensi diberikan; (2) terdapat perubahan positif hasil wawancara dengan partisipan yang diperoleh secara kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil
Berdasarkan
hasil perbandingan skor pre-test, post-test
dan follow-up dari
masing-masing partisipan, terdapat
penurunan skor dari seluruh partisipan:
Gambar 1
Perbandingan Skor Pre-test, Post-test,
dan Follow-up
Pada saat pre-test, seluruh partisipan memiliki skor yang tergolong tinggi (di atas 32). Sementara pada saat post-test, seluruh partisipan memiliki skor yang tergolong rendah (di bawah 23) hingga tergolong rata-rata (24 - 31), dan semakin menurun pada saat follow-up. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi ini mampu menurunkan perilaku menunda tugas akademik pada siswi SMP yang sedang menjalani PJJ.
Pada sesi 1, seluruh peserta mengungkapkan bahwa mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) merupakan tugas akademik yang sering ditunda. Setelah kelas daring selesai, seluruh peserta selalu mendapatkan PR dari guru di setiap harinya. Sementara itu, bagi P2 yang bersekolah di asrama, PR lebih sering berupa hafalan Al-Qur�an dan video rekaman tugas kemandirian. Aktivitas pengalihan yang sering dilakukan partisipan adalah menonton di laptop (Youtube atau film) dan bermain HP (games maupun media sosial). Di satu sisi, laptop dan HP merupakan gawai yang dipakai untuk belajar selama PJJ, tetapi juga dapat mengakses sejumlah aktivitas lain yang bisa membuat partisipan semakin menunda tugas-tugasnya.
Pada sesi 2, P1, P4, dan P5 memiliki kecenderungan untuk berprasangka takut gagal dan tidak disetujui (ditolak). Pada masa PJJ ini, mereka harus belajar sendiri, sehingga kurang yakin dengan pemahamannya. Bagi P5 yang cenderung belajar dengan diskusi langsung juga menjadi kurang memahami pelajaran. Pada akhirnya, muncul prasangka mereka akan gagal dan mendapat penolakan dari guru. Dalam mengurangi rasa takut, mereka akan menghindari dan menunda untuk mengerjakan tugas. Padahal, sebelum PJJ, P1, P4, dan P5 tidak terbiasa menunda tugas. Mereka merasa tidak boleh mengalami kegagalan dan takut dinilai buruk dari guru. Sementara itu, P2 dan P3 cenderung berprasangka bahwa mereka sudah kehabisan energi. Mereka merasa tidak dapat mengerjakan tugas ketika sedang tertekan, kelelahan, dan motivasi yang rendah. Mereka percaya bahwa jika dipaksa tetap mengerjakan tugas, hal tersebut membuat hasil tugasnya menjadi lebih buruk karena sedang tidak dalam kondisi baik.
Terkait konsekuensi dari penundaan tugas, partisipan mulai memahami bahwa terdapat konsekuensi positif, yaitu rasa senang dari menjalani aktivitas pengalihan dan terhindar dari rasa bosan. Di sisi lain, partisipan juga merasakan konsekuensi negatif dari perilaku menunda tugas akademik, yaitu tugas-tugas yang semakin menumpuk, lebih mendapatkan perasaan tidak nyaman (takut, cemas, putus asa, tertekan, dan rasa bersalah), nilai buruk, dan dimarahi orang tuanya. P1 dan P5 pernah mengerjakan tugas melebihi tenggat waktu pengumpulan tugas. Pada akhirnya, mereka mengerjakan di dekat waktu pengambilan rapot. Karena hal ini, mereka semakin merasa tertekan dan mendapatkan nilai yang buruk.
Pada sesi 3, terkait siklus menunda tugas akademik, seluruh partisipan lebih memahami proses terjadinya perilaku menunda tugas mereka. Ketika diberikan tugas yang sering ditunda (misal PR) akan memicu timbulnya prasangka yang salah, seperti �kehabisan energi� dan �takut gagal atau tidak disetujui�. Maka dari itu, timbul rasa tidak nyaman, yang membuat partisipan ingin segera menghilangkannya. Hasilnya, partisipan akan mencari aktivitas pengganti dan terjadilah penundaan tugas. Partisipan merasa kesal, takut dan jenuh dengan tugas yang bertahap, kurang praktis, sangat banyak, dan sulit dipahami. Sehingga, para peserta menghilangkan rasa kesal, takut dan jenuh dengan melakukan aktivitas pengalihan yang lebih menyenangkan, seperti bermain HP dan menonton. Tahap keempat adalah alasan peserta melakukan penundaan tugas. Alasan partisipan lebih memilih menonton film atau bermain HP daripada mengerjakan tugasnya karena merasa memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan tugasnya dan terdistraksi dari rasa takut gagal, jenuh, lelah, dan tertekan. Semua alasan ini mengakibatkan sejumlah konsekuensi positif dan negatif, seperti yang peserta pahami di sesi 2.
Pada sesi 4, partisipan merasa lebih baik menonton
film, mendengarkan musik, atau bermain HP sebelum mengerjakan tugasnya, dengan tujuan menghilangkan rasa takut atau lelah.
Kemudian, partisipan mencoba menyanggahnya dengan berpikir kembali, dengan kalimat �Jika aku lelah atau sedang
takut, apa benar aku sama
sekali tidak dapat mengerjakan tugas? Sama sekali tidak bisa mengerjakan
meski sedikit?�. Selain itu, keadaan
lain adalah apabila tenggat waktu tugas
yang masih lama. Partisipan
cenderung menyimpulkan bahwa semua tugas
yang tenggat waktunya masih lama, tidak perlu dikerjakan jauh-jauh hari. Partisipan mempertanyakan kembali kesimpulan tersebut melalui kalimat sanggahan, seperti �Jika tenggat waktu masih lama, apakah aku sama
sekali tidak perlu mengerjakan tugas ini? Apakah
aku tidak perlu mengerjakan, meski sedikit demi sedikit?�. Seluruh partisipan merasa dengan menyanggah kesimpulan menunda yang dulu, mereka mendapat
suatu kesimpulan baru yang lebih mendorong untuk produktif, yaitu �Aku bisa mengerjakan tugas meski sedikit,
lalu bisa menonton/bermain HP/mendengarkan musik setelah mengerjakan sedikit demi sedikit tugasku�.
Pada sesi 5, partisipan memahami strategi-strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku menunda tugas akademik. Seluruh peserta merasa strategi yang ingin seluruh peserta lakukan adalah �menggunakan momen bersemangat�. Menurut P5, apabila satu tugas selesai dikerjakan, P5 merasa lebih mampu mengerjakan tugas lainnya. Terdapat suatu dorongan dan perasaan mampu dalam diri P5. Hal ini membuat P5 tergerak untuk melakukan tugas lain, salah satunya tugas yang sudah ia tunda. Semua peserta merasa �menggunakan momen bersemangat� ini merupakan strategi yang paling mungkin mereka lakukan karena mereka sudah pernah melakukan dan terbukti efektif. Selain itu, partisipan merasa strategi �memberikan hadiah� juga dapat mereka lakukan. Aktivitas pengalihan yang biasa partisipan lakukan, dapat diubah menjadi suatu hadiah apabila ia selesai mengerjakan suatu tugas. Menonton dan bermain HP dapat diubah menjadi suatu hadiah apabila partisipan berhasil menyelesaikan suatu tugas yang ditunda. Selanjutnya, strategi �membuat suatu pengingat� dapat mendorong partisipan untuk mengingat tugas-tugasnya dan kembali terpikir untuk menyelesaikannya. Partisipan membuat pengingat di HP atau menempelkan kertas di area yang sering dilewati. Selain strategi-strategi di atas, partisipan juga memilih strategi seperti �mencari waktu yang tepat� dan �memecah tugas menjadi bagian-bagian kecil�.
Pada sesi 6, prasangka partisipan diubah menjadi lebih positif. Bagi P1, P5, dan P4 yang memiliki prasangka �takut akan kegagalan dan ketidaksetujuan�, mulai berpikir bahwa tidak mungkin ada tugas yang dikerjakan dengan sempurna. Mereka merasa bahwa kegagalan adalah suatu hal yang membuat dirinya dapat memperbaiki diri. Sementara itu, bagi P2 dan P3 yang memiliki prasangka �kehabisan energi�, mereka mulai berpikir bahwa mengerjakan tugas dengan mencicil lebih baik daripada langsung mengerjakan di satu waktu. Dengan cara mencicil tugas, P2 dan P3 menganggap cara ini tidak akan menghabiskan energi yang banyak.
Pada sesi 7, seluruh partisipan merasa lebih memahami dan mengatasi masalah perilaku menunda tugas mereka pada masa PJJ ini. Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa mereka dapat mengurangi perilaku menunda tugas akademik dengan berbagai strategi yang diberikan oleh peneliti. Strategi yang paling sering mereka lakukan adalah �menggunakan momen bersemangat� dan �memberikan hadiah�. Seluruh partisipan menilai bahwa berbagai macam pengalaman dan pendapat dari partisipan lainnya menambah sudut pandang baru dan pembelajaran untuk mereka. Mereka juga merasa telah mendapatkan dukungan karena dapat bertemu dengan orang-orang yang memiliki masalah yang sama. Hal yang paling sulit dihindari dari menunda tugas adalah saat tahap merasakan ketidaknyamanan, seperti bosan, cemas, takut, dan emosi negatif lainnya.
Pada saat follow-up, peneliti memberikan seluruh bahan materi kepada partisipan, sehingga partisipan dapat membacanya kembali. PI juga memberikan lembar kerja yang berjudul �Jadwal Keseharian� yang dapat diisi dan diperbanyak oleh partisipan. Membuat jadwal keseharian dalam seminggu adalah salah satu strategi yang belum pernah diberikan selama intervensi ini, namun dapat menjadi alternatif strategi di kemudian hari. Setelah partisipan diwawancarai oleh peneliti pada sesi follow-up, PI mengajak partisipan untuk melakukan refleksi diri dan meninjau kembali hal yang sudah dicoba dan dilakukan. Setiap partisipan menerapkan strategi dengan cara dan efektivitas yang berbeda-beda. Maka dari itu, PI memberikan masukan kepada partisipan untuk mencatat dan menilai strategi-strategi tersebut sesuai dengan kondisi masing-masing. Pencatatan ini bisa dicatat di suatu buku agar partisipan dapat lebih mudah mengingat usaha apa saja yang sudah dilakukan partisipan selama ini. PI juga terus mengingatkan seluruh partisipan bahwa pentingnya menghargai pencapaian sekecil apapun, karena akan menambah motivasi dan semangat untuk melakukan perubahan.
B.
Pembahasan
Secara umum, intervensi ini berhasil untuk mengurangi perilaku menunda tugas akademik pada partisipan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dan hasil penelitian sebelumnya, bahwa intervensi CBT dapat mengurangi perilaku prokrastinasi (Steel, 2007); (Saulsman & Nathan, 2008); (Rozental et al., 2018) melalui intervensi kelompok (Ozer & Ferrari, 2013). Setelah intervensi selesai, terdapat penurunan skor IPS pada seluruh partisipan, dari tahap pre-test, post-test, dan follow-up. Berdasarkan wawancara dengan partisipan, seluruh partisipan menilai intervensi ini membantu mereka dalam mengurangi perilaku menunda tugas akademik.
Jika dibandingkan dengan skor partisipan lainnya, P2 memiliki skor prokrastinasi yang paling tinggi sebelum mengikuti intervensi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh jenis sekolah P2 yang asrama. P2 adalah satu-satunya partisipan yang bersekolah di asrama. Menurut P2, tugas-tugas sekolah asrama dirasa janggal dengan metode PJJ, seperti membuat video untuk tugas kemandirian dan hadir kelas daring di setiap kelima waktu shalat. Oleh karena itu, P2 sering melakukan penundaan tugas akademik. Hal ini sesuai dengan (Steel, 2007) bahwa karakteristik tugas memengaruhi seseorang melakukan penundaan.
Dari berbagai aktivitas pengalihan, menonton dan bermain HP merupakan aktivitas yang sulit dihindari. Di satu sisi, HP merupakan gawai yang dipakai untuk belajar selama PJJ, tetapi juga dapat mengakses sejumlah aktivitas lain yang bisa membuat peserta semakin menunda tugas-tugasnya, misalnya saja mengakses sosial media. Hal ini sesuai dengan penelitian (Junia, Sofah, & Putri, 2019) yang mengungkapkan bahwa kecenderungan siswa menggunakan media sosial secara intens semakin membuat siswa memiliki kesempatan besar untuk melakukan prokrastinasi akademik atau menunda-nunda tugas. Ketika melakukan prokrastinasi, individu akan terhindar dari pikiran, perasaan maupun memori yang berkaitan dengan tugas itu (Chun Chu & Choi, 2005).
Pada intervensi ini, pikiran partisipan yang disfungsi diubah menjadi lebih adaptif melalui cognitive restructuring. Cognitive restructuring merupakan kunci utama dalam terapi kognitif perilaku. Setiap anggota kelompok diminta untuk mengidentifikasi cognitive distortion, mengenali konsekuensi negatif dari pemikiran tersebut, mengujinya dan mengubahnya kedalam pemikiran yang lebih adaptif (Brabender, Smolar, & Fallon, 2004). Seperti kegiatan pada sesi 2, seluruh partisipan menemukan prasangka yang membuat mereka melakukan penundaan tugas. Prasangka ini merupakan suatu pikiran yang disfungsi. Dengan mengidentifikasi dan mempertanyakan pikiran yang disfungsi, seseorang dapat mengelola respon perilaku (Talask, G. & de Carvalho, 2017). Prokrastinasi yang parah memiliki pikiran yang mengarahkan suatu reaksi emosional yang negatif, dan hal ini memengaruhi perilaku prokrastinasi (Talask, G. & de Carvalho, 2017). P1, P4, dan P5 menemukan bahwa takut gagal dan tidak disetujui merupakan pikiran yang disfungsi yang membuat diri mereka terus menunda tugas. Sebelum PJJ, P1, P4, dan P5 termasuk siswa yang hampir tidak pernah menunda tugas. Namun, karena metode belajar PJJ ini, membuat P1 dan P4 harus belajar sendiri dan kurang yakin dengan pemahamannya. Bagi P5 yang cenderung belajar dengan diskusi langsung juga menjadi kurang memahami pelajaran. Hal ini sesuai dengan Ferrari dan koleganya (2009) yang mengungkapkan bahwa penundaan yang dilakukan memiliki motivasi untuk terhindar dari kegagalan ataupun ketakutan akan evaluasi (�zer, B. U., Demir, A., & Ferrari, 2009). Dampaknya adalah prokrastinator tidak mampu melewati tenggat waktu yang telah ditetapkan, seperti P1 dan P5 yang mengerjakan tugas di dekat waktu pengambilan rapot. Karena hal ini, mereka mendapatkan nilai yang buruk. Prokrastinasi ini berkaitan dengan buruknya kemampuan seseorang dan ketakutan akan kegagalan (�zer, B. U., Demir, A., & Ferrari, 2009). Sementara itu, P2 dan P3 memiliki pikiran bahwa energi mereka sudah habis, sehingga tidak dapat mengerjakan tugas. Hal ini sesuai dengan (Steel, 2007) yang mengungkapkan bahwa tingkat energi yang kurang membuat individu lebih menolak untuk mengejar target penyelesaian tugas.
Partisipan menunda tugas sering untuk tidak memulai karena mereka memiliki kesimpulan yang salah (Pychyl, Lee, Thibodeau, & Blunt, 2000). Partisipan memiliki kesimpulan apabila mereka sedang takut, bosan, lelah, atau tidak termotivasi, mereka cenderung melakukan aktivitas pengalihan seperti bermain HP, menonton film, atau mendengarkan musik sebelum mengerjakan tugas. Namun, sering kali durasi aktivitas pengalihan tersebut memakan waktu pengerjaan tugas. Kesimpulan ini diubah saat partisipan memikirkan kalimat sanggahan dan mendapat suatu kesimpulan baru yang lebih mendorong untuk produktif, yaitu �Aku bisa mengerjakan tugas meski sedikit, lalu bisa menonton/bermain HP/mendengarkan musik setelah mengerjakan sedikit demi sedikit tugasku�.
Seluruh partisipan menilai bahwa berbagai macam pengalaman dan pendapat dari partisipan lainnya menambah sudut pandang baru dan pembelajaran untuk mereka. Hal ini sesuai dengan (Walker, 2004) bahwa penanganan prokrastinasi akademik dapat efektif melalui pendekatan terapi kelompok, karena dapat menyediakan dukungan, tantangan, dan keberagaman antar anggota, yang kemungkinan dapat meningkatkan perubahan dari pola pikir, perasaan, dan perilaku. Anggota kelompok juga mendapatkan keuntungan dari umpan balik sesama anggota kelompok yang berjuang menghadapi masalah yang sama (Corey, Corey, & Corey, 2013).
Pada saat intervensi sampai follow up, hampir seluruh partisipan masih terus melakukan strategi �memberi hadiah untuk diri sendiri�. Hadiah merupakan aktivitas pengalihan yang biasa dilakukan oleh para partisipan, seperti bermain HP, menonton film, Youtube, atau membaca Wattpad. Hal ini sesuai dengan pengaruh salah satu faktor dari prokrastinasi, yaitu waktu pemberian reinforcement. (Steel, 2007) mengungkapkan bahwa waktu pemberian reinforcement dan punishment merupakan penyebab prokrastinasi yang berasal dari lingkungan (Steel, 2007). Selain itu, strategi �memecah tugas menjadi bagian-bagian kecil� juga dilakukan partisipan. Hal ini sejalan dengan (Ackerman & Gross, 2005) yang mengungkapkan bahwa memecah tugas menjadi bagian-bagian kecil yang saling berhubungan, dapat mengurangi prokrastinasi.
Kesimpulan
Intervensi dengan pendekatan CBT yang bertujuan untuk mengurangi perilaku menunda tugas akademik dapat dikatakan efektif, khususnya untuk partisipan remaja perempuan SMP yang menjalani PJJ. Dalam hal ini, partisipan
dapat memahami siklus perilaku menunda tugas akademik
yang mereka alami, yang terdiri dari jenis
tugas yang biasa ditunda, prasangka yang mendorong perilaku menunda, jenis aktivitas pengalihan, alasan menunda, dan konsekuensi positif maupun negatif. Hal ini mendasari partisipan
untuk mampu menyesuaikan prasangka mereka ke arah
yang lebih positif. Dalam menjalani prasangka yang lebih positif tersebut, partisipan mampu menerapkan strategi-strategi yang bermanfaat
untuk mengurangi perilaku menunda tugas akademik.
Ackerman, David S., & Gross, Barbara L. (2005). My
instructor made me do it: Task characteristics of procrastination. Journal
of Marketing Education, 27(1), 5�13. Google Scholar
Arifiana, Isrida Yul, Rahmawati, Hetti, Hanurawan,
Fattah, & Eva, Nur. (2020). Stop academic procrastination during Covid 19:
academic procrastination reduces subjective well-being. KnE Social Sciences,
312�325. Google Scholar
Brabender, Virginia M., Smolar, Andrew I., &
Fallon, April E. (2004). Essentials of group therapy. John Wiley &
Sons. Google Scholar
Chun Chu, Angela Hsin, & Choi, Jin Nam. (2005).
Rethinking procrastination: Positive effects of" active"
procrastination behavior on attitudes and performance. The Journal of Social
Psychology, 145(3), 245�264. Google Scholar
Churiyah, Madziatul, Sholikhan, Sholikhan, Filianti,
Filianti, & Sakdiyyah, Dewi Ayu. (2020). Indonesia Education Readiness
Conducting Distance Learning in Covid-19 Pandemic Situation. International
Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 7(6),
491. https://doi.org/10.18415/ijmmu.v7i6.1833 Google Scholar
Corey, Marianne Schneider, Corey, Gerald, & Corey,
Cindy. (2013). Groups: Process and practice. Cengage Learning. Google Scholar
Curtis, A. C. (2015). Defining adolescence. Journal
of Adolescent and Family Health, 7(2), 2.
Delaval, Marine, Michinov, Nicolas, Le Bohec, Olivier,
& Le H�naff, Benjamin. (2017). How can students� academic performance in
statistics be improved? Testing the influence of social and temporal-self
comparison feedback in a web-based training environment. Interactive
Learning Environments, 25(1), 35�47. Google Scholar
Ferrari, Joseph R., & D�az-Morales, Juan
Francisco. (2014). Procrastination and mental health coping: A brief report
related to students. Individual Differences Research, 12(1), 8�11.
Google Scholar
Garz�n-Umerenkova, Ang�lica, & Gil-Flores, Javier.
(2017). Academic procrastination in non-traditional college students.
Google Scholar
Hooda, Madhuri, & Devi, Rani. (2017). Procrastination:
A serious problem prevalent among adolescents. ZENITH International Journal
of Multidisciplinary Research, 7(9), 107�113. Google Scholar
Hussain, Irshad, & Sultan, Sarwat. (2010).
Analysis of procrastination among university students. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 5, 1897�1904. Google Scholar
Jia, Jun, Jiang, Qin, & Lin, Xian Hao. (2020).
Academic Anxiety and Self-handicapping Among Medical Students During the
COVID-19 Pandemic: A Moderated Mediation Model. Research Square, 1�22.
Retrieved from https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-77015/v1 Google Scholar
Junia, Ayunda Vini, Sofah, Rahmi, & Putri, Rani
Mega. (2019). Tingkat Prokrastinasi Akademik Berdasarkan Intensitas
Penggunaan Media Sosial Di SMP Negeri 18 Palembang. Sriwijaya University.
Google Scholar
Khan, Mussarat Jabeen, Arif, Hafsa, Noor, Syeda
Sumbul, & Muneer, Sidra. (2014). Academic procrastination among male and
female university and college students. FWU Journal of Social Sciences, 8(2).
Google Scholar
Kuhfeld, M., Soland, J., Tarasawa, B., Johnson, A.,
Ruzek, E., & Liu, J. (n.d.). Projecting the potential impacts of
COVID-19 school closures on academic achievement [En ligne].
EdWorkingPaper. Google Scholar
McElroy, Barbara Woods, & Lubich, Bruce H. (2013).
Predictors of course outcomes: Early indicators of delay in online classrooms. Distance
Education, 34(1), 84�96. Google Scholar
Owens, Anthony M., & Newbegin, Ian. (1997).
Procrastination in high school achievement: A causal structural model. Journal
of Social Behavior and Personality, 12(4), 869. Google Scholar
�zer, B. U., Demir, A., & Ferrari, J. R. (2009).
Exploring Academic Procrastination Among Turkish Students: Possible Gender
Differences in Prevalence and Reasons. The Journal of Social Psychology,
149(2), 241�257. https://doi.org/doi:10.3200/socp.149.2.241-257 Google Scholar
Ozer, Bilge Uzun, & Ferrari, Joseph R. (2011).
Gender orientation and academic procrastination: Exploring Turkish high school
students. Individual Differences Research, 9(1), 33�40. Google Scholar
Prayitno, Galih Eko, Siaputra, Ide Bagus, &
Lasmono, Hari K. (2013). Validasi alat ukur irrational procrastination scale
(IPS). Calyptra, 2(1), 1�7. Google Scholar
Pychyl, Timothy A., Lee, Jonathan M., Thibodeau,
Rachelle, & Blunt, Allan. (2000). Five days of emotion: An experience
sampling study of undergraduate student procrastination. Journal of Social
Behavior and Personality, 15(5), 239. Google Scholar
Rickwood, Debra J., Deane, Frank P., & Wilson,
Coralie J. (2007). When and how do young people seek professional help for
mental health problems? Medical Journal of Australia, 187(S7),
S35�S39. Google Scholar
Rozental, Alexander, Bennett, Sophie, Forsstr�m,
David, Ebert, David D., Shafran, Roz, Andersson, Gerhard, & Carlbring, Per.
(2018). Targeting Procrastination Using Psychological Treatments: A Systematic
Review and Meta-Analysis. Frontiers in Psychology, 9. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.01588
Google Scholar
Saulsman, L., & Nathan, P. (2008). Put Off
Procrastinating. Perth, Western Australia: Centre for Clinical. Google Scholar
Stallard, Paul. (2005). A clinician�s guide to
think good-feel good: Using CBT with children and young people. John Wiley
& Sons. Google Scholar
Steel, Piers. (2007). The nature of procrastination: a
meta-analytic and theoretical review of quintessential self-regulatory failure.
Psychological Bulletin, 133(1), 65. Google Scholar
Steel, Piers. (2010). Arousal, avoidant and decisional
procrastinators: Do they exist? Personality and Individual Differences, 48(8),
926�934. Google Scholar
Steel, Piers, & K�nig, Cornelius J. (2006).
Integrating theories of motivation. Academy of Management Review, 31(4),
889�913. Google Scholar
Steinberg, L. D. (2017). Adolescence ((11th
ed.)). New York: McGraw-Hill Education.
Talask, G. & de Carvalho, M. .. (2017). Cognitive
Behavioral Based Treatment for Procrastination. Psychol Behav Sci Int J,
8(1). https://doi.org/DOI: 10.19080/PBSIJ.2017.08.555727 Google Scholar
Tuckman, Bruce W. (1991). The development and
concurrent validity of the procrastination scale. Educational and
Psychological Measurement, 51(2), 473�480. Google Scholar
Uzun �zer, Bilge R. (2005). Academic
Procrastination: Prevalence, Self-reported reasons, gender difference and it�s
relation with academic achievement. Middle East Technical University.
Google Scholar
V�ronneau, Marie H�l�ne, & Dishion, Thomas J.
(2010). Predicting change in early adolescent problem behavior in the middle
school years: A mesosystemic perspective on parenting and peer experiences. Journal
of Abnormal Child Psychology, 38(8), 1125�1137. Google Scholar
Walker, Lilly J. Schubert. (2004). Overcoming the
Patterns of Powerlessness That Lead to Procrastination. Google Scholar
Yang, Meng, & Yuzhong, Liu. (2019). Asynchronous
filter design for linear switched systems with interval time-varying delays. IEEE
Access, 7, 140217�140223. Google Scholar
Copyright holder: Natasya Yustilira Lubis, Efriyani Djuwita (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |