Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 3, Maret 2022
LEGALITAS KONTRAK ELEKTRONIK
SEBAGAI
ALAT BUKTI DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PERDATA
Rachmad Yusuf Augus Theo Riadi, Dominikus Rato, Dyah
Ochtorina Susanti
Fakultas Hukum
Universitas Jember, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20/PUU-XIV/2016 menimbulkan ketidakpastian hukum jika
diberlakukan dalam pembuktian hukum acara perdata. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan hukum pembuktian antara hukum acara perdata dan pidana dan mengingat
bahwa validitas pembuktian pada hukum acara berpengaruh pula pada legalitas
pembuatan suatu dokumen, terutama berkaitan dengan dokumen elektronik. Berdasarkan
uraian tersebut, peneliti menuangkan dalam beberapa
isu permasalahan yaitu mengenai kepastian hukum kontrak elektronik di
Indonesia dan legalitas kontrak elektronik sebagai alat bukti dalam perspektif
hukum perdata. Hasil dari penelitian yaitu dasar kepastian hukum kontrak elektronik di Indonesia adalah berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diperkuat dengan
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, sedangkan dasar legalitas kontrak elektronik yang digunakan sebagai
alat bukti dalam perspektif hukum perdata�
adalah bersumber dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20/PUU-XIV/2016 dan aturan mengenai kontrak secara umum seperti yang tertuang
dalam KUHPerdata.
Kata
Kunci: legalitas; kontrak
elektronik; alat bukti
Abstract
The decision of the Constitutional
Court Number 20/PUU-XIV/2016 creates legal uncertainty if it is applied in
proving civil procedural law. This is due to the difference in the law of
evidence between civil and criminal procedural law and considering that the
validity of evidence in procedural law also affects the legality of making a
document, especially relating to electronic documents. Based on this
description, the researcher elaborates on several issues, namely regarding the
legal certainty of electronic contracts in Indonesia and the legality of
electronic contracts as evidence in the perspective of civil law. The results
of the research are that the basis for legal certainty of electronic contracts
in Indonesia is based on Article 5 of Law Number 11 of 2008 concerning Electronic
Information and Transactions, reinforced by the Constitutional Court Decision
Number 20/PUU-XIV/2016, while the basis for the legality of electronic
contracts used as evidence in the perspective of civil law is sourced from the
Constitutional Court Decision Number 20/PUU-XIV/2016 and the rules regarding
contracts in general as contained in the Civil Code.
Keywords: legality; electronic
contracts; evidence
Received:
2022-02-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-03-10
Pendahuluan
Teknologi yang berkembang begitu pesat turut serta membawa kemajuan
dalam kehidupan manusia. (Zein, 2009)
Perkembangan teknologi pada akhirnya menghasilkan inovasi baru berupa internet.
Berdasarkan sejarah penemuan internet untuk pertama kali, inovasi ini
sebenarnya digunakan hanya pada lingkup lembaga penelitian dan perguruan
tinggi. (Zein, 2009)
Kemudian mengalami pengembangan sistem sehingga dapat pula diakses oleh
masyarakat luas sejak tahun 1995. Sebagai aplikasi pendukung untuk memberikan
kemudahan mencari informasi dengan internet, inovasi selanjutnya berdasarkan
penemuan dari Tim Berenrs-lee akhirnya menciptakan aplikasi baru berupa World Wide Web (www) (Zein, 2009).
Pada saat ini penggunaan internet mengalami pertumbuhan yang
sangat pesat. Hal ini dikarenakan bahwa setiap aspek kehidupan terutama yang
berkaitan dengan hubungan sosial seakan mengharuskan untuk menggunakan sarana ini.
Hampir setiap kegiatan turut serta menjadikan internet sebagai primadona, tidak
terkecuali dalam kegiatan perniagaan atau perdagangan. (Zein, 2009)
Perdagangan yang dilaksanakan via internet biasa dikenal dengan Electronic
commerce atau e-commerce. Secara
kontekstual bahwa e-commerce mempunyai
berbagai interpretasi, akan tetapi umumnya merujuk untuk suatu kegiatan
transaksi secara komersial yang berhubungan dengan suatu individu maupun
organisasi berdasarkan proses yang dilakukan secara digitalisasi. Transaksi perdagangan
elektronik berdasarkan Julian Ding merupakan suatu peristiwa adanya transaksi
dan kontrak melalui via elektronik antara penyedia barang dan jasa dengan
pembeli. Transaksi yang dilakukan demikian tidak mengharuskan adanya pertemuan
secara fisik antar para pihak yang bertransaksi. Media yang digunakan adalah
via World wide web atau internet dan
dapat dilaksanakan dengan tanpa adanya batasan tempat maupun syarat yang
bersifat nasionalisme (Ding, 1999).
Perkembangan e-commerce selalu mengalami peningkatan setiap tahun.
Perkembangan tersebut tentu akan mempengaruhi terhadap beberapa hal pada ranah
kontrak via elektronik. Secara umum, kontrak elektronik telah di aku oleh
United Nations dan dituangkan dalam United
Nations Convention on the Use of Electronic Communications in International
Contracts (selanjutnya disebut ECC) Pasal 8 ayat (1).� Pada ketentuan di Pasal tersebut intinya
menyatakan bahwa tidak diperbolehkan untuk menolak keabsahan dari status
kontrak yang dilakukan via elektronik dan dalam bentuk elektronik. Sehingga
berdasarkan ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa secara umum Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui keabsahan kontrak elektronik dan mengikat para
pihak yang bersangkutan. Kemajuan konsepsi perdagangan memberi banyak kemudahan
sekaligus manfaat bagi semua orang, meskipun pada kenyataannya tanpa dipungkiri
telah menghasilkan permasalahan baru pada ranah implementasi maupun kebijakan
yang dapat memberikan perlindungan bagi para pihak yang saling bersangkuan (Ding, 1999).
Momentum pengakuan lebih konkrit mengenai kontrak elektronik di
Indonesia semakin mendapatkan tempat sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Putusan tersebut sejalan dengan United Nations yang
memberikan pengakuan terhadap eksisensi kontrak elektronik. Pada putusan
tersebut mengabulkan permohonan pemohon yang berkaitan dengan pengujian
terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal
26 A UU Pemberantasan Korupsi terhadap UUD 1945. Lebih lanjut, Putusan terkait menimbulkan
ketidakpastian hukum jika diberlakukan dalam pembuktian hukum acara perdata.
Hal tersebut dikarenakan perbedaan hukum pembuktian antara hukum acara perdata
dan pidana dan mengingat bahwa validitas pembuktian pada hukum acara
berpengaruh pula pada legalitas pembuatan suatu dokumen terutama berkaitan
dengan dokumen maupun kontrak elektronik (Hanafiah, 2000).
Pada dasarnya pembentukan kontrak elektronik sesuai dengan Pasal
1320 KUHPerdata. Akan tetapi berbeda dengan pembentukan kontrak konvensional,
para pihak yang membuat kontrak elektronik tidak saling bertatap muka secara
langsung. Kondisi yang demikian pada akhirnya menimbulkan permasalahan
berkaitan dengan keabsahan dari kontrak elektronik yang dibuat dan permasalahan
untuk menentukan dokumen asli dan salinan untuk dijadikan bukti elektronik. Berdasarkan
uraian latar belakang dan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, maka kemudian
peneliti tertarik untuk menuangkan dalam sebuah tesis dengan judul Legalitas Kontrak Elektronik
Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Hukum Perdata.
Metode Penelitian
Karya ilmiah
ini merupakan rumpun penelitian hukum normatif, dengan beberapa pendekatan
antara lain: pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan kasus. Pendekatan konseptual dilakukan dengan merujuk
prinsip-prinsip hukum yang dapat diperoleh dalam pandangan para sarjana hukum
atau doktrin-doktrin hukum lainnya, yang termuat dalam buku-buku teks hukum
maupun jurnal-jurnal hukum lainnya; pendekatan kasus yaitu pendekatan yang
menggunakan putusan hakim sebagai sumber bahan hukum, dalam penelitian ini
menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. Pendekatan
Perundang-Undangan yaitu suatu pendekatan dengan cara menelaah undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti.
Hasil dan Pembahasan
A.
Dasar Kepastian Hukum Kontrak Elektronik di Indonesia
Istilah kontrak dalam bahasa Belanda adalah �overeenkomst� yang jika dimaknai secara leksikan berarti perjanjian (Ding, 1999). Sedangkan kontrak elektronik dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah electronic contract (e-contract). Kontrak elektronik atau kontrak online menurut Edmon Makarim adalah suatu hubungan hukum atau suatu perikatan yang pelaksanaannya secara elektronik, yaitu perikatan yang dilaksanakan dan difasilitasi oleh akses internet dengan memadukan jasa telekomonikasi, sistem informasi berbasis komputer dan networking atau jaringan (Ding, 1999). Pelaksanaan kontrak elektronik dikomunikasikan dengan aplikasi surat elektronik atau email dan dapat digabungkan dengan media komunikasi lainnya. �Selain melalui email, kontak elektronik juga biasa dilakukan melalui website �dan jasa online lainnya. Kontrak elektronik berbasis aplikasi ini dilakukan oleh pihak konsumen dengan hanya megisi formulir yang telah ada dalam website tersebut sebagai bentuk dari persetujuan (Hanafiah, 2000).
Kontrak elektronik merupakan salah satu bentuk kontrak baru yang mendapatkan perlindungan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut UU ITE), khususnya melalui Pasal 1 angka 17, kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Sedangkan sistem elektronik itu sendiri adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan atau menyebarkan informasi elektronik. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE. Ciri-ciri dari kontrak elektronik adalah dibuat dengan jarak jauh bahkan dapat melampaui batas-batas suatu negara melalui internet; dan Para pihak dalam kontrak elektronik tidak pernah bertatap muka (faceless nature), bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu. Tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kontrak elektronik di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik; dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Hal yang umum turut serta dimasukkan
dalam kontrak elektronik adalah tendatangan elektronik. Indonesia membedakan
dua jenis tanda tangan elektronik, tanda tangan elektronik dan tanda tangan
elektronik �bersertifikat� (sering disebut di wilayah lain di dunia sebagai
�tanda tangan digital�). Tanda tangan elektronik bukan merupakan tanda tangan
elektronik �bersertifikat� jika dibuat tanpa menggunakan jasa penyelenggara
jasa sertifikasi elektronik terdaftar di Indonesia sebagaimana diuraikan di
bawah ini. Tanda tangan elektronik (digital) �bersertifikat� harus memenuhi
persyaratan berikut antara lain: Memenuhi persyaratan keberlakuan tanda tangan
elektronik; menggunakan sertifikat elektronik (digital) yang dibuat oleh
penyelenggara sertifikasi elektronik terdaftar Indonesia, yang merupakan badan
hukum yang dapat mengaudit sertifikat elektronik; dan Dibuat dengan menggunakan
perangkat pembuat tanda tangan elektronik bersertifikat, yaitu perangkat lunak
atau perangkat keras yang dikonfigurasi dan digunakan untuk membuat tanda
tangan elektronik (digital) bersertifikat. Perbedaan utama antara tanda tangan
elektronik dan tanda tangan elektronik (digital) bersertifikat bukanlah
keberlakuan tanda tangan elektronik, melainkan tanda tangan elektronik
(digital) bersertifikat memiliki nilai pembuktian yang lebih kuat (misalnya,
selama proses pengadilan di mana para pihak membutuhkan untuk membuktikan bahwa
tanda tangan elektronik itu asli).
Pada dasarnya kontrak elektronik adalah versi digital dari kontrak kertas
tradisional. Seperti halnya kontrak kertas, e-Contracts
adalah perjanjian yang ditandatangani oleh dua pihak. e-contrac adalah dokumen yang dapat ditegakkan dan mengikat secara
hukum yang biasanya digunakan mengenai pekerjaan, penjualan, layanan, atau
penyewaan. Dengan
kontrak kertas biasa, satu pihak menyusun "penawaran" dan pihak lain
membacanya. Jika kedua belah pihak menyetujui syarat dan ketentuan yang
tercantum dalam penawaran awal ini, mereka masing-masing akan menandatangani
dokumen dan itu menjadi kontrak yang sah. Masing-masing pihak harus bertahan
sampai akhir perjanjian mereka atau mereka menghadapi risiko jalur hukum. Hal yang demikian tidak jauh berbeda dengan kontrak elektronik.
Meskipun salinan kertas tidak disajikan, tanda tangan digital masih memasukkan
kedua belah pihak ke dalam perjanjian yang sah.
Ada beberapa cara agar bisnis
atau individu dapat membuat kontrak
elektronik yaitu menggunakan perangkat lunak khusus, email, pengolah
kata, atau sejumlah metode lainnya. Paling umum, bisnis menggunakan perangkat
lunak manajemen kontrak. Manajemen kontrak merupakan sistem lengkap yang
memungkinkan untuk membuat dan mengelola semua kontrak dan data terkait kontrak
mereka di satu tempat. Terlepas dari layanan mana yang dipilih untuk digunakan,
semuanya menggunakan metode serupa untuk membuat e-Contracts. Prosesnya biasanya dimulai dengan permintaan kontrak dari seseorang dalam
bisnis. Permintaan sering dimasukkan
ke dalam formulir permintaan elektronik menggunakan sistem perangkat lunak
manajemen kontrak. Formulir ini akan
menangkap semua informasi yang diperlukan untuk membuat kontrak elektronik.
Secara umum, pembuatan kontrak
elektronik memiliki dua mekanisme yaitu pertama, dikenal sebagai kontrak
market, melibatkan perakitan otomatis kontrak elektronik. Kontrak dibuat menggunakan
informasi dari formulir permintaan awal, menggunakan aturan bisnis Anda dan
klausa yang telah disetujui sebelumnya yang ditetapkan dalam aplikasi. Setelah
kontrak dibuat, kontrak kemudian dikirim kembali ke pemohon awal; mekenisme kedua
melibatkan penggunaan individu yang berwenang untuk meninjau dan menyusun
kontrak. Umumnya, individu yang membuat kontrak elektronik akan memulai dengan
template elektronik yang telah disetujui sebelumnya sebagai titik awal. Dari
sana, mereka memiliki akses ke pustaka klausa dan dapat menambahkan klausa yang
telah disetujui sebelumnya yang relevan dan merujuk buku pedoman klausa
berdasarkan kebutuhan. Individu tersebut kemudian akan mengirimkan kontrak yang telah selesai
kepada pemohon. Keduanya menghasilkan kontrak elektronik
yang akurat dan aman secara hukum dan dalam banyak kasus, metode yang digunakan
didorong oleh kebutuhan bisnis.
Secara garis besar, kontrak
elektronik terjadi ketika kedua belah pihak tidak bertemu tatap muka secara
teratur. Banyak individu dan bisnis telah menggunakan komunikasi dan kontrak
digital hanya karena biayanya yang rendah, waktu penyelesaian yang cepat, sifat
yang ramah lingkungan, dan keamanan yang ditingkatkan. Di masa lalu, banyak bisnis mengandalkan
pengacara kontrak untuk merancang semua kontrak. Ini adalah proses yang mahal
untuk bisnis besar. Saat ini, dengan template yang telah disetujui sebelumnya
dan layanan perangkat lunak manajemen kontrak untuk menangani pembuatan kontrak yang lebih hemat biaya. Hal tersebut karena kontrak elektronik
dapat dikirim melalui email, hanya perlu beberapa menit bagi pihak lain untuk
menerimanya. Para pihak dapat dengan cepat menandatangani dan memulai proyek
tanpa menunggu salinan kertas tiba melalui pos atau menggunakan mesin faks/pemindai
untuk mengirim dokumen yang ditandatangani kembali ke bisnis.
Beberapa bisnis memilih untuk
menggunakan kontrak elektronik untuk mengurangi jumlah kertas yang digunakan
dalam suatu bisnis. Ini sering kali merupakan bagian dari inisiatif "going green". Ini adalah pilihan
yang membantu, karena kontrak hampir selalu memiliki panjang beberapa halaman.
Demikian pula, beberapa bisnis menemukan bahwa lebih mudah untuk mengatur dan
mengelola banyak kontrak ketika mereka ada dalam bentuk digital daripada di
atas kertas. Alasan besar lainnya beberapa bisnis memilih kontrak digital
adalah karena mereka menawarkan keamanan yang ditingkatkan. Jika kontrak
disimpan dalam lemari arsip, hampir semua orang dapat mengakses detailnya. Saat
disimpan secara online, hanya mereka yang memiliki akses ke email atau layanan
perangkat lunak manajemen kontrak yang dapat melihat detail rumit dari sebuah
kontrak. Ini
adalah bonus untuk bisnis dengan klien terkemuka di mana privasi menjadi
perhatian utama. Ini terutama berlaku bagi mereka yang bekerja di industri
medis. Pastikan untuk menjelajahi ulasan perangkat lunak manajemen kontrak
perawatan kesehatan untuk penggunaan khusus ini (Makarim, 2015).
Electronic commerce adalah tentang melakukan bisnis secara elektronik. Kegiatan ini
didasarkan pada pemrosesan elektronik dan transmisi data, termasuk teks, suara,
dan video. E-commerce mencakup banyak
kegiatan yang beragam termasuk perdagangan barang dan jasa elektronik, pengiriman
konten digital online, transfer dana elektronik, perdagangan saham elektronik,
bill of lading elektronik, lelang komersial, desain dan rekayasa kolaboratif,
sumber online, pengadaan publik, pemasaran konsumen langsung dan layanan purna
jual. Pada dasarnya e-commerce
bukanlah fenomena baru. Selama bertahun-tahun perusahaan telah bertukar data
bisnis melalui berbagai jaringan komunikasi, akan tetapi saat ini terdapat
percepatan ekspansi dan perubahan radikal, didorong oleh pertumbuhan
eksponensial Internet (Smedinghoff & Bell, 1997).
Setiap bentuk perdagangan membutuhkan kepercayaan dan keyakinan di
antara para pesertanya. Kemampuan untuk memastikan siapa mitra kontrak Anda,
apa yang sebenarnya disepakati (apa isi sebenarnya dari transaksi), ketika
transaksi terjadi, menciptakan kepercayaan di antara para mitra. Saat kita
bergerak menuju penggunaan bentuk komunikasi dan dokumentasi elektronik,
kemampuan untuk mempercayai ini harus dipertahankan. Membangun kepercayaan dan
keyakinan seperti itu memang merupakan prasyarat untuk memenangkan bisnis dan
konsumen ke perdagangan elektronik. Membangun kepercayaan dan keyakinan di
antara bisnis dan konsumen menyiratkan penerapan teknologi yang aman (seperti
tanda tangan digital, sertifikat digital, dan mekanisme pembayaran elektronik
yang aman) dan kerangka hukum dan kelembagaan yang dapat diprediksi untuk mendukung
teknologi tersebut (Smedinghoff & Bell, 1997).
Berdasarkan ketentuan
Pasal 5 ayat 1 UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Selanjutnya di dalam Pasal 5 ayat 2 UU ITE ditentukan bahwa informasi
elektronik atau dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan alat bukti yang sah dan sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, bahwa UU ITE telah
menentukan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan suatu
alat bukti yang sah dan merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai
alat bukti di muka persidangan. Hadirnya UU ITE kemajuan dalam menyikapi dan
menanggulangi maraknya cybercrime saat ini, terutama dalam proses penegakan
hukum (Kantaatmadja, 2002).
Berdasarkan kelima macam
alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Pidana menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Apabila
dilihat dari kelima macam alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, surat elektronik
hanya bisa di masukkan dalam kategori alat bukti surat. Surat
elektronik/dokumen elektronik ini pada hakekatnya merupakan tulisan yang di
tuangkan dalam sebuah bentuk sistem elektronik. Sistem elektronik yang dimaksud
ialah sistem komputer dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat
keras dan perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan
telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik (Kantaatmadja, 2002).
Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi
yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan
telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis,
menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik (Zainuddin & Ramadhani, 2021).
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUITE telah mengatur dengan jelas
kedudukan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti
yang sah dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia. Frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian,
kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (1) UUITE (Putusan MK Nomor
20/PUU-XIV/2016). Sesuai dengan materi muatan permohonan pada MK maka amar
putusan tersebut mengarah pada proses hukum pidana dan bukan proses hukum
perdata (Zainuddin & Ramadhani, 2021).
Syarat sahnya dokumen elektronik ialah apabila menggunakan sistem elektronik
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUITE, khususnya dalam Pasal 6 UUITE
yakni �informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan�. Selain itu, terdapat pula kekhususan dalam penyelenggaraan
sertifikasi elektronik dan sistem elektronik serta transaksi elektronik.
Pengakuan Mahkamah Agung terhadap dokumen elektronik pada sistem peradilan
pertama kali diketahui melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun
2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan
Kembali. SEMA ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses
minutasi berkas perkara serta menunjang pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas
serta pelayanan publik pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya.
Namun SEMA ini tidaklah mengatur tentang dokumen elektronik sebagai alat bukti
melainkan dokumen elektronik berupa putusan maupun dakwaan yang dimasukkan pada
compact disc, flash disk/dikirim melalui email sebagai kelengkapan permohonan kasasi dan peninjauan kembali
(Soliman, Hagar, Ibid, & El Sayed, 2015).
SEMA ini telah mengalami perubahan berdasarkan SEMA 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas SEMA 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai
kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Perubahan SEMA dilakukan
berkaitan dengan sistem pemeriksaan berkas dari sistem bergiliran menjadi
sistem baca bersama yang diarahkan secara elektronik. Pada butir-butir SEMA
terdapat penambahan detail dokumen-dokumen yang wajib diserahkan para pihak berperkara
secara elektronik tapi sekali lagi kepentingannya bukan dalam kaitannya sebagai
alat bukti elektronik. Perbedaan lainnya dengan SEMA yang lama ialah cara
penyertaan dokumen melalui fitur komunikasi data pada direktori putusan
Mahkamah Agung karena cara lama melalui compact disk dan pengiriman e-dokumen
memiliki sejumlah kendala diantaranya data tidak terbaca, perangkat penyimpan
data hilang dan lain-lain (Soliman et al., 2015).
Secara singkat bahwasanya SEMA tersebut mengakui dokumen elektronik untuk
kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, bukan untuk alat bukti
persidangan dan penyerahan dokumen oleh pengadilan tingkat pertama dilakukan melalui
fitur komunikasi data dan tidak melalui perangkat flash disk/compact disk
kecuali dalam keadaan khusus. Tata cara penyerahan termasuk hal yang penting
penting karena menyangkut sah atau tidaknya hukum acara perdata yang diterapkan
dan dalam rangka memenuhi unsur "dijamin
keutuhannya" pada Pasal 6 UUITE. Dijamin keutuhannya berarti tidak
diubah-ubah bentuknya sejak dari dokumen elektronik tersebut disahkan. Ketentuan
Pasal 137 HIR mengatur bahwa �Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat
keterangan lawannya dan sebaliknya, surat mana diserahkan kepada hakim buat
keperluan itu�. Ketentuan 137 HIR harus dapat diterapkan pada dokumen elektronik ketika
pihak lawan meminta untuk diperlihatkan. Sehingga diperlukan perangkat
teknologi berupa laptop maupun proyektor agar dapat menampilkan dokumen
elektronik terkait (Stylianou, Buchan, & Dunn, 2015).
Kepastian mengenai pengaturan tentang dokumen elektronik tertuang dalam
PERMA tahun 2018, tepatnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2018
tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Ketentuan Pasal 17 PERMA
tersebut diatur bahwa "Pengadilan menerbitkan salinan putusan/ penetapan secara
elektronik. Salinan putusan/penetapan Pengadilan yang diterbitkan secara
elektronik dikirim kepada para pihak paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak
putusan/penetapan kecuali kepailitan/PKPU", pengiriman dilakukan melalui
domisili elektronik. Namun sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) Keputusan
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018 diatur
bahwa "salinan putusan /penetapan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti
yang sah". Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan
peradilan, tertutama peradilan khusus memiliki kewajiban untuk tetap
mengeluarkan putusan dalam bentuk hardcopy
atau cetak sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti.
Beberapa peneliti
memberikan sudut pandang yang berbeda dalam menguraikan keabsahan alat bukti kontrak
elektronik jika dikaitkan dengan KUHPerdata. Seperti yang diketahui bahwasanya
pada penjelasan umum UU ITE mengenai penyetaraan kekuatan pembuktian dari kontrak
elektronik dan dokumen yang terbuat secara konvensional atau di atas kertas.
Keabsahan dokumen elektronik yang disetarakan dengan dokumen dibuat di atas kertas
dan diakui secara tegas merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri
mengingat bahwa sebenarnya dokumen yang yang dibuat secara elektronik dapat
dicetak dalam suatu kertas.
Autentikasi kontrak
elektronik dapat dilakukan jika diakui oleh para pihak yang bersangkutan. Hal
tersebut pada dasarnya erat kaitannya dengan pengakuan para pihak menjadi salah
satu kekuatan pembuktian dari akta yang dibuat dan mengikat para pihak. Jika
menelusuri paa akta autentik yang dibuat dihadapan notaris, kekuatan pembuktiannya
adalah sempurna dan mengikat para pihak. Akan tetapi jika dikemudian hari
ditemukan adanya cacat formil yang terindikasi dalam suatu akta otentik, maka
kekuatan pembuktiannya akan terdegradasi dan menjadi selayaknya akta dibawah
tangan. Hal yang harus selalu diwaspadai pada suatu akta autentik adalah bahwa
kesempurnaan yang tertuang pada akta autentik tetap tidak dapata menutup
kemungkinan bisa dilumpuhkan oleh pihak lain jika dikemudian hari terdapat perselisihan
(van Eecke, n.d.).
Terhadap keberadaan suatu
akta yang dibuat secara konvensional yaitu dibuat dihadapan notaris maupun yang
dibuat secara elektronik, memiliki beberapa perbedaan yang mengikuti antara
lain: mengenai pembubuhan tandatangan secara elektronik yang kredibilitasnya
masih dipertanyakan dan pihak lain tidak mengakui keabsahan tandatangan
tersebut. Jika terjadi kasus yang demikian maka, merupakan tugas dari
Pengadilan untuk dapat mebuktikan bahwa sistem yang dipakai adalah terpercaya
dan tidak dapat dipalsukan. Untuk mengetahui keabsahanya dan kebenarannya,
majelis hakim akan turut mengundang saksi ahli khususnya ahli forensik dengan
mengacu pada Pasal 1877 KUHPerdata. Lain halnya jika tandatangan elektronik
yang terkait merupakan hasil dari suatu sistem yang terpercaya dan para pihak
mengakui kebenaran dan keasliannya, maka keabsahannya tidak perlu dibuktikan.
Jika tandatangan merupakan hasil dari sistem yang terakreditasi namun ternyata
ada salah satu pihak yang menyangkal keabsahannya, maka adalah tugas dari pihak
yang menyangkal untuk dapat membuktikan ketidakbenaran atau kepalsuan dari
tandatangan tersebut (van Eecke, n.d.).
Perjanjian
jual beli melalui media elektronik merupakan
perluasan dari konsep perjanjian jual beli yang diatur dalam KUHPerdata, yang memiliki dasar
hukum perdagangan konvensional atau jual beli pada hukum perdata. Letak perbedaan dari perjanjian jual beli tersebut
adalah bahwa perjanjian jual
beli melalui internet ini bersifat khusus karena
terdapat unsur peranan yang dominan dari media dan alat-alat elektronik (Makarim, 2015).
Perbedaan yang lain terletak pada bentuk perjanjian konvensional, bahwa pada perjanjian melalui
internet ini merupakan
paperless contract atau perjanjian ini tidak perlu menggunakan dokumen
kertas apapun sebagaimana halnya pada perjanjian konvensional.� Yang digunakan adalah dokumen digital, yang tersimpan di sebuah
database komputer yang sewaktu-waktu dapat hilang atau musnah, dikarenakan terkena virus ataupun
eror karena kesalahan suatu data yang disebabkan oleh komputer tersebut.
Berlakunya
perjanjian e-commerce ini berdasar
dari asas kebebasan berkontrak yang
dianut oleh ketentuan KUHPerdata. Asas kebebasan
berkontrak ini diatur
dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa �semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya.�
Dari ketentuan tersebut dapat ditarik pengertian bahwa para pihak baik dari penjual dan pembeli
dapat secara bebas untuk menentukan
bentuk dan ketentuan yang berlaku dari perjanjian
yang dibuat selama tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Terdapat empat syarat dalam KUHPerdata Pasal 1320
mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu kesepakatan antara kedua belah pihak, cakap menurut hukum untuk membuat
suatu perjanjian, suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal. Dari
keempat syarat sah perjanjian diatas, maka yang paling banyak menimbulkan masalah
adalah mengenai kesepakatan, yaitu pada syarat yang pertama, kesepakatan para pihak. Masalah yang muncul adalah
mengenai kapan suatu kesepakatan pada
transaksi melalui media internet (e-commerce)
lahir. �Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa
jual beli telah terjadi bila telah
terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli
mengenai barang dan harga, walaupun uang pembayaran belum diserahkan. Pada perjanjian jual beli konvensional penerimaan dari suatu penawaran yang
menandakan terjadinya suatu kesepakatan dapat dilakukan secara lisan maupun secara tertulis,
tetapi dalam transaksi
e-commerce �kesepakatan�� ini� �tidak disampaikan secara� �langsung,
melainkan disampaikan melalui media elektronik.
Dalam transaksinya, kesepakatan dilakukan tergantung menggunakan media apa suatu kontrak dibuat, apakah melalui e-mail atau melalui website (forum).
Seperti yang biasa dilakukan dalam situs Shopee, Tokopedia dan beberapa situs
belanja lainnya. Pada situs-situs tersebut, segala proses transaksi pembelian
diakukan secara computerised, jadi tidak ada kontak
dua arah antara pembeli dan penjual, karena harga dan kesepakatan sudah tertera
dalam form yang disediakan. Mengenai kapan terjadinya kesepakatan, terdapat bebrapa doktrin yang mengikuti, yaitu: (Mamitoho, 2014)
1.
Ucapan,
yaitu Suatu perjanjian tercapai pada saat orang menerima tawaran, dan menyetujui tawaran tersebut.
2. Pengiriman, dimana Perjanjian tercapai pada saat dikirimkannya surat jawaban mengenai
penerimaan terhadap suatu penawaran.
3. Pengetahuan, bahwa perjanjian tercapai setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui.
4. Penerimaan, menyatakan bahwa perjanjian tercapai saat
diterimanya surat jawaban penerimaan
penawaran oleh orang yang menawarkan.
Secara umum, bentuk perjanjian atau kontrak akan menjadi hukum dan mengikat
para pihak yang menyepakatinya, hanya mungkin terjadi
apabila perjanjian atau kontrak tersebut
telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak.
Berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata ada empat syarat sahnya kontrak yaitu adanya kesepakatan para
pihak, cakap hukum, objek kontrak yang disepakati jelas dan kausa kontrak halal.�
Sedangkan syarat� �kontrak� �menurut
UNCITRAL (United Nation Commission Internasional Trade Law) antara
lain ada offer, offer tersebut harus
direspon dengan acceptance, pihak-pihak yang berkontrak harus memiliki legal capacity,
memiliki concideration (prestasi timbal balik), memiliki lawfull causa dan adanya intention
to legal relation (Sunarso, 2009).
Keabsahan kontrak elektronik jika dinilai atau dikaji melalui regulasi hukum terkhususnya hukum kontrak,
kontrak elektronik sama sekali tidak
menyalahi ketentuan dalam pembuatan kontrak perjanjian bisnis. Syarat-syarat kontrak elektronik dikaji berdasarkan KUHPerdata pasal 1320 adanya kesepakatan, kecakapan pihak, adanya suatu hal dan suatu yang halal dan inti dari dari suatu perjanjian yaitu adanya kesepakatan. Kontrak elektronik pun dikaji berdasarkan hal yang mempengaruhi keabsahan suatu kontrak, bahwa semua kontrak perjanjian (e-contract atau kontrak konvensional) yang dilakukan oleh para pihak memiliki ketentuan-ketentuan yang diatur oleh undang-undang dalam pembuatan kontrak. Kontrak elektronik dikaji berdasarkan kontrak yang batal menurut KUHPerdata, kontrak elektronik akan sama ketentuannya dengan kontrak konvensional yaitu kontrak perjanjian apapun dilarang membuat perjanjian yang melawan undang-undang (Irawan, 2020).
Kontrak elektronik adalah segala jenis kontrak yang dibentuk dalam
proses perdagangan elektronik oleh interaksi dua individu atau lebih
menggunakan sarana elektronik, seperti email, interaksi individu dengan agen
elektronik, seperti program komputer, atau interaksi setidaknya dua agen
elektronik yang diprogram untuk mengenali keberadaan kontrak (Soliman et al., 2015). E-kontrak
adalah kontrak yang dimodelkan, ditentukan, dieksekusi dan disebarkan oleh
sistem perangkat lunak (Yusandy, 2019).
Pokok bahasan pada contract elektronik antara lain pertama, barang fisik, dimana
barang dipesan secara online dan dibayar melalui internet dan pengiriman fisik
dilakukan; kedua produk digital seperti perangkat lunak yang juga dapat
dipesan; ketiga, Layanan seperti perbankan elektronik, penjualan saham, nasihat
keuangan, dll. Suatu perjanjian antara para pihak sah menurut hukum jika
memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam undang-undang, yaitu bahwa
para pihak pada dasarnya bermaksud untuk membuat kontrak. Niat ini dibuktikan
dengan kepatuhan mereka terhadap 3 landasan klasik yaitu penawaran, penerimaan
dan pertimbangan.
Alat bukti menurut penjabaran yang diuraikan oleh G.W Paton
terdiri dari beberapa macam, antara lain: (Pribadi, 2018)
alat bukti berdasarkan lisan yaitu perkataan atauucapan yang disampaikan oleh
para saksi pada saat sidang pengadilan, alat bukti dokumen yaitu biasana berupa
surat-surat dokumen, dan alat bukti non-dokumen atau alat bukti meteriil berupa
barang yang bersifat fisik akan tetapi diluar barang dokumen. Contoh untuk
meperjelas jenis alat bukti tersebut yaitu apabila ada seorang saksi pembunuhan
yang memberikan keterangan di pengadilan, maka keteranagan tersebut adalah
kesaksian secara lisan. Jika harus mengirimkan surat pengiriman uang atas ancaman
dari pelaku pemerasan untuk pembunuhan, maka hal tersebut termasuk bukti
dokumenter. Sedangkan pisau yang digunakan dalam upaya pembunuhan termasuk
sebagai bukti materil (Paton, 1956). Secara garis besar, alat bukti menurut G.W. Paton terdiri dari:
1.
Alat bukti lisan berupa keterangan saksi, sumpah dan pengakuan;
2. Alat bukti dokumenter
berupa surat;
3. Alat bukti materil
berupa barang fisik selain dokumen.
Pada dasarnya, jenis alat bukti yang dijelaskan oleh G.W Paton
tidak jauh berbeda dengan alat bukti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia terutama dalam Pasal 1866 KUHPerdata jo Pasal 164 H.I.R/284 R.Bg
akan tetapi dalam bunyi pasal tersebut tidak menyinggung tentang alat bukti elektronik.
Akan tetapi, karena keberadaan alat bukti elektronik yang masih merupakan suatu
konsep yang baru, oleh karena pengaturannya tidak tertuang secara konkrit
sebagai alat bukti materil. Meskipun dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik telah menyebutkan bahwasanya maupun hasil
cetakannya adalah sah sebagai alat bukti (Elektronik & Ite, n.d.),
akan tetapi dalam realitas proses persidangan tidak serta merta menggunakan
dokumen elektronik sabagai alat bukti. Terdapat beberapa kriteria yang harus
dipenuhi dalam memberikan dokumen elektronik sebagai salah satu dari jenis alat
bukti. Kriteria yang tersebut, antara lain: (Khairandy, 2001)
1. undang-undang memperkenankan alat bukti tersebut untuk dipakai sebagai
alat bukti;
2. bukti yang dibawa
dapat dipercaya atau realibiliy;
3. alat bukti
tersebut harus dihadirkan sebagai suatu fakta atau
necessity;
4. alat bukti
yang diajukan berkaitan dengan fakta kasus
atau relevance.
Jika diuraikan lebih lanjut mengenai kriteria elektronik yang
tersebut di atas dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di
Indonesia, sebagai berikut:
1.�� Diperkenankan oleh
Undang-Undang untuk dipakai sebagai alat bukti
Kriteria yang pertama berisi tentang aturan mengenai dokumen
elektronik yang telah dituangkan dalam undang-undang. Sehingga dapat
ditampilkan dalam persidangan. Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik berbunyi:
(1)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3)
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elktronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: (Indonesia & No, n.d.)
a.
surat yang meurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta
dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Bunyi Pasal 5 ayat (1), (2) dan (4) Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik secara tegas telah
menyebutkan bahwa dokumen elektronik adalah sah atau dapat digunakan sebagai
alat bukti dalam setiap persidangan khususnya pada hukum acara perdata
Indonesia.
2.�� Reability yaitu
alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya
Kriteria yang kedua yaitu realibility,
�dimaksudkan bahwa dalam peraturan
perundang-undangan senyatanya telah mengatur mengenai beberapa tahapan atau
proses yang harus ditempuh agar dokumen elektronik yang hendak dijadikan alat
bukti dapat diterima dalam proses persidangan. Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik berbunyi:
�Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini�. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk
mengopersikan sistem elektronik, antara lain:
1.
Informasi atau dokumen elektronik harus ditampilkan secara utuh sesuai
dengan jangka waktu retensi yang telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan;
2.
Penyelenggaraan sistem elektronik harus mampu untuk tetap memberikan
perlindungan atas keotentikan, ketersediaan, kerahasiaan, keutuhan dan akses
atas informasi elektronik yang terkait;
3. Beroperasi sesuai
dengan petunjuk dan prosedur penyelenggaraan sistem elektronik;
4. Mempunyai suatu
mekanisme yang berkelanjutan,
dengan harapan agar mampu menjaga kejelasan,
kebaharuan dan kebertanggung
jawaban petunjuk atau prosedur;
5. Dilengkapi dengan
petunjuk serta prosedur yang dituangkan dan diumumkan engan informsi, simbol atau bahasa yang dipahamai oleh pihak yang bersangkutan;
Persyaratan pengoperasian minimun di atas terdapat permasalahan
yang cukup penting ialah masa retensi/masa penyimpanan yang sama sekali tidak
ditentukan oleh peraturan perundangu-ndangan. Hal ini akan menimbulkan multi
tafsir dikalangan para ahli. Jika demikian, maka masa retensi yang dimaksud
dapat pula bersifat tanpa batas waktu dengan syarat bahwa tidak terjadi
gangguan terhadap sistem informasi sehingga terjadi kehilangan atau terhapus
dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik kalaupun dapat
dikembalikan/recovery maka harus dapat dibuktikan keasliannya oleh tenaga ahli (Kantaatmadja, 2002).
Pada Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik berbunyi: �Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang
diatur dalam pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus
berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan�. Pada pasal ini, terdapat pula keadaan yang harus dipenuhi
sebuah dokumen elektronik sehingga dapat dijadikan alat bukti, yaitu: a. dapat
diakses; b. ditampilkan; c. dijamin keutuhannya; d. dapat dipertanggung jawabkan
sehingga menerangkan sebuah keadaan (Hasanah & Waliamin, n.d.).
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas dalam penentuan keabsahan
sebuah dokumen elektronik bersifat kumulatif artinya terdapat hubungan yang
erat antara satu proses dengan proses lainnya sehingga bila terdapat proses
yang dilewati maka keabsahan sebuah dokumen elektronik akan diragukan. Proses
tersebut diawali dari pengolahan pada sistem informasi kemudian hasilnya sebuah
dokumen elektronik harus dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan
dapat dipertanggungg jawabkan sehingga menerangkan sebuah keadaan.
3. � Necessity yakni
alat bukti yang memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta dan Relevance,
yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan
dibuktikan
Kedua buah kriteria di atas memiliki keterkaitan satu sama lain,
artinya dalam sebuah dokumen elektronik, ia memang diperuntukkan untuk
membuktikan sebuah keadaan atau fakta dimana dalam dokumen elektronik harus
memiliki relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan. Dengan dipenuhinya
keadaan tersebut maka sebuah dokumen elektronik dapat diajukan sebagai alat
bukti pada persidangan di pengadilan. Pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik kriteria di atas tergambar pada
Pasal 7 berbunyi: �Setiap Orang yang menyatakan hak memperkuat hak yang telah
ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik
yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan�.
Pasal tersebut memiliki keterkaitan dengan kriteria ketiga dan
keempat karena pada penjelasannya jelas diterangkan bahwa suatu Informasi
dan/atau dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alasan timbulnya suatu hak.
Artinya, jika terjadi pelanggaran hak maka dapat diajukan ke pengadilan untuk
memperoleh hak kembali dari seorang subjek hukum sehingga sebuah dokumen
elektronik memang benar-benar harus menggambar keadaan yang sedang
disengketakan. Kriteria-kriteria yang terdapat pada uaraian di atas tidaklah
berlaku untuk alat bukti elektronik dengan jenis dokumen elektronik saja, akan
tetapi berlaku bagi alat bukti elektronik lainnya. Bagi alat-alat bukti
elektronik lainnya jika tidak memiliki pengaturan yang menegaskan kriteria atau
unsur apa yang harus dipakai bagi sebuah alat bukti elektronik lainnya maka
yang digunakan ialah merujuk pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik. Penentuan sebuah dokumen elektronik atau alat bukti
elektronik agar dapat dinilai memenuhi kriteria diatas sangat memerlukan tenaga
ahli dalam melakukan penilaian sehingga dapat menentukan kelayakan dokumen
elektronik untuk dijadikan alat bukti.
Kesimpulan
Dasar kepastian hukum kontrak elektronik di Indonesia adalah berdasarkan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. Keabsahan
kontrak elektronik telah diakui eksistensinya oleh peraturan perundang-undangan
di Indonesia, sepanjang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan. Apabila
dikemudian hari ditemukan perselisihan mengenai legalitas dari dokumen elektronik
yang terkait dan pembuktiannya disinyalir bertentangan antar undang-undang,
maka sebagai wujud dari kepastian hukum proses pembuktiannya berpatokan pada
asas lex specialis derogate lex generalis. Dasar legalitas kontrak elektronik yang
digunakan sebagai alat bukti dalam perspektif hukum perdata� adalah bersumber dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan aturan mengenai kontrak secara umum seperti yang
tertuang dalam KUHPerdata. Terhadap perjanjian jual beli melalui
internet, berlaku syarat sah perjanjian yang terdapat pada Pasal
1320 KUHPerdata. Dari keempat syarat
sah perjanjian tidak terdapat
permasalahan yang sangat �berarti, sehingga transaksi e-commerce dapat dilakukan menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Sedangkan
dalam Undang- undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ini terdapat
Pasal-pasal yang mengatur tentang Transaksi Elektronik,
yaitu Pasal 5 sampai dengan
22, transaksi jual beli yang terjadi dalam
dunia forum memenuhi
persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 11
tahun 2008 tersebut. Seperti
halnya mengenai timbulnya
suatu kesepakatan para pihak,
bahwa sepakatnya para pihak adalah pada saat penawaran
transaksi yang dikirim
���penjual telah
diterima dan disetujui
pembeli, dimana persetujuan tersebut �harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan
secara elektronik.
BIBLIOGRAFI
Ding, Julian. (1999). E-commerce: Law &
practice. Sweet & Maxwell Asia. Google Scholar
Elektronik, Secara, & Ite, Perspektif U. U. (N.D.). Keabsahan
Kontrak Perdagangan Secara Elektronik: Perspektif Uu Ite. Google
Scholar
Hanafiah, Ali. (2000). Perbandingan kinerja keuangan perusahaan logam
sebelum dan sesudah menjadi perusahaan publik di Indonesia:: Studi di Bursa
Efek Jakarta. Universitas Gadjah Mada. Google Scholar
Hasanah, Uswatun, & Waliamin, Janusi. (n.d.). Keabsahan Kontrak
Elektronik Berbasis Online Dalam Perjanjian Waralaba. Google Scholar
Indonesia, Mahkamah Agung Republik, & No, Jl Medan Merdeka Utara.
(n.d.). Penggunaan Informasi Elektronik Dan Dokumen Elektronik Sebagai Alat
Bukti Persidangan The Usage Of Electronic Information And Document As Court
Evidence. Google Scholar
Irawan, Sofyan Adi. (2020). Eksistensi Dokumen Elektronik Di Persidangan
Perdata. Artikel Diterbitkan,(Online), Diakes Melalui (Https://Www.
Mahkamahagung. Go. Id/Id/Artikel/3048/Eksistensi-Dokumen-Elektronik-Di-Persidangan-Perdata),
Diakses Pada Tanggal, 14. Google Scholar
Kantaatmadja, Mieke Komar. (2002). Pengaturan Kontrak untuk Perdagangan
Elektronik (e-Contract). Cyberlaw: Suatu Pengatar, Cetakan I, Jakarta, Elips
II. Google Scholar
Khairandy, Ridwan. (2001). Pembaharuan Hukum Kontrak sebagai Antisipasi
Transaksi Electronic Commerce. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 8(16),
42�57. Google Scholar
Makarim, Edmon. (2015). Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam
Administrasi Pemerintahan Dan Pelayanan Publik. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 45(4), 508�570. Google Scholar
Mamitoho, Refly Aditia. (2014). Penggunaan Alat Bukti Elektronik Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata. LEX ET SOCIETATIS, 2(1). Google Scholar
Paton, G. W. (1956). Textbook Of Jurisprudance Book VI, diterjemahkan oleh
G. Sodarsono, A. Harjoto Dan Ibnusantoso, Yogyakarta: Jajasan Badan Penerbit
Gadjah Mada. Google Scholar
Pribadi, Insan. (2018). Legalitas Alat Bukti Elektronik Dalam Sistem
Peradilan Pidana. Lex Renaissance, 3(1), 4. Google Scholar
Smedinghoff, Thomas J., & Bell, Tom W. (1997). Online law: The SPA�s legal
guide to doing business on the internet. Richmond Journal of Law &
Technology, 3(1), 1. Google Scholar
Soliman, Saied M., Hagar, Mohamed, Ibid, Farahate, & El Sayed, H.
(2015). Experimental and theoretical spectroscopic studies, HOMO�LUMO, NBO
analyses and thione�thiol tautomerism of a new hybrid of 1, 3,
4-oxadiazole-thione with quinazolin-4-one. Spectrochimica Acta Part A:
Molecular and Biomolecular Spectroscopy, 145, 270�279. Google
Scholar
Stylianou, Neophytos, Buchan, Iain, & Dunn, Ken W. (2015). A review of
the international Burn Injury Database (iBID) for England and Wales:
descriptive analysis of burn injuries 2003�2011. BMJ Open, 5(2),
e006184. Google Scholar
Sunarso, Siswanto. (2009). Hukum informasi dan transaksi elektronik:
studi kasus: prita Mulyasari. Google Scholar
van EECKE, Patrick. (n.d.). The Legal Aspects Of Digital Signatures.
Google
Scholar
Yusandy, Trio. (2019). Kedudukan dan Kekuatan Pembuktian Alat Bukti
Elektronik dalam Hukum Acara Perdata Indonesia. Jurnal Serambi Akademica,
7(5), 645�656. Google Scholar
Zainuddin, Zainuddin, & Ramadhani, Rahmat. (2021). The Legal Force Of
Electronic Signatures In Online Mortgage Registration. Jurnal Penelitian
Hukum De Jure, 21(2), 243�252. Google Scholar
Zein, Yahya Ahmad. (2009). Kontrak elektronik & penyelesaian
sengketa bisnis e-commerce dalam transaksi nasional & internasional.
Mandar Maju. Google Scholar
Copyright
holder: Rachmad Yusuf Augus Theo Riadi, Dominikus
Rato, Dyah Ochtorina Susanti (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |