Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 3, Maret 2022

 

KONSEP JIWA MENURUT AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

 

Muhammad Nuruttamam Al-Amin, Ahmad Zahro

Program Pascasarjana Universitas Hasyim Asy�ari, Tebuireng Jombang, Jombang, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

Abstrak

Penelitian ini� al-Ghazali adalah� teori jiwa yang juga masuk dalam wilayah bahasan tasawuf.Ada tiga permasalahan/fokus dalam penelitian ini, yaitu 1) Mendapatkan pemahaman pendapat al-Ghazali tentang jiwa 2) Mendapatkan pemahaman indikasi konsep ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam terhadap konsep jiwa al-Ghazali 3) Untuk memahami relevansi konsep jiwa prespektif Al-Ghazali pada pendidikan agama Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan subjek penelitian karya-karya al-Ghazali, khususnya Ihya� Ulumiddin, Tahafatul Falasifah, Al-Munqidz Min Ad-Adhalal,� Bidayatul Hidayah dan� karya-karya lainnya yang menjelaskan pemikiran al-Ghazali seperti� al-Ghazali baina naqidihi madihihi dll. Berdasarkan hasil penelitian di atas, konsep ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam al-Ghazali yang berhubungan dengan konsep jiwa al-Ghazali akan ideal jika� dimplementasikan� dalam suatu program pendidikan secara integral. Konsep tersebut akan menghasilkan keseimbangan antara pendidikan kejiwaan (spiritualitas dan moralitas) dan intelektualitas, karena� pada dasarnya konsep-konsep al-Ghazali selalu relevan digunakan karena bertalian dalam esinsialnya di dunia pendidikan terutama pendidikan Islam

 

Kata Kunci: Al-Ghazali, Konsep Jiwa, Pendidikan Agama Islam

 

Abstract

This research is al-Ghazali's theory of the soul which is also included in the area of Sufism. There are three problems/focuses in this study, namely 1) Gaining an understanding of al-Ghazali's opinion on the soul 2) Gaining an understanding of the indications of the concept of Islamic science and education on the concept of the soul. al-Ghazali 3) To understand the relevance of the concept of Al-Ghazali's perspective on Islamic religious education. This study uses a qualitative approach with the research subjects of al-Ghazali's works, especially Ihya' Ulumiddin, Tahafatul Falasifah, Al-Munqidz Min Ad-Adhalal, Bidayatul Hidayah and other works that explain al-Ghazali's thoughts such as al-Ghazali baina naqidihi madihhi etc. Based on the results of the research above, al-Ghazali's concept of Islamic science and education related to al-Ghazali's concept of soul would be ideal if implemented in an integral educational program. This concept will produce a balance between psychological education (spirituality and morality) and intellect, because basically al-Ghazali's concepts are always relevant to use because they are related in essence in the world of education, especially Islamic education

 

Keywords: Ghazali, Concept of the Soul, Islamic Religious Education

 

Received: 2022-02-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-03-11

 

Pendahuluan

Pendidikan adalah sebuah proses di dalamnya mencakup pembelajaran keterampilan, pembelajaran pengetahuan, serta sudah menjadi kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pelatihan, pembelajaran atau sebuah penelitian.

Sejak kemunculan para pemikir Islam di panggung sejarah, diskusi tentang jiwa (al-nafs) di dunia Islam pun dimulai. Dari runtuhnya peradaban Yunani-Romawi dan terjemahan, review dan karya asli para pemikir Islam (khususnya di era Abbas Daura). Disamping itu para filosof muslim pula dipengaruhi oleh pemikiran Yunani saat mengulas nafs (jiwa), sehingga Ibnu Rusdi sebagai benteng pertahanan filsafat Islam. ikut serta dalam debat akademis jangka panjang dengan Ghazali. Selama lebih dari tujuh abad, jiwa-jiwa Islam telah didiskusikan baik dalam dunia misterius maupun penelitian filosofis (Mubarok, 2001).

Manusia adalah makhluk yang tersusun dari unsur materil dan unsur non materi, manusia berperan sebagai khalifah dan hamba di bumi. Pada dasarnya manusia adalah jiwanya, jiwanya membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya (Jaelani, 2000).

Menurut al-Ghazali, hanya jiwa yang dapat menciptakan kemampuan psikis dan spiritual manusia, oleh karena itu dari seluruh unsur penyusun yang ada, hakikat dari seluruh unsur manusia adalah jiwa. Al-Ghazali meyakini bahwa manusia lebih cenderung beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Sebagaimana dikemukakan para filsuf sebelumnya, manusia tersusun atas dua unsur, yaitu wujud fisik (materiil) dan wujud internal (materi nonmateri) yaitu jiwa atau ruh.

Di sisi lain, dimensi jiwa dalam kehidupan manusia sangat penting dalam perjalanan mendidik keimanan, Islam dan Ihsan bagi uslim. Yang dimaksud dengan alat spiritual adalah jiwa merupakan eksistensi yang paling dalam, untuk mengembangkan pertumbuhan yang sehat dan mandiri maka jiwa selalu membutuhkan konsumsi spiritual.

Karena jika seorang Muslim tidak dapat menumbuhkan kesadaran jiwanya ke tahap kemurnian, kemuliaan dan kebangsawanan, dia tidak dapat berhasil sampai batas tertinggi. Untuk mencapai tingkat tinggi seseorang harus memulai dari langkah awal yaitu penyucian jiwa.

Psikologi (ilmu kejiwaan) biasanya hanya memecahkan masalah gejala mental yang ada pada manusia, namun tasawuf memberikan metode psikologi yang sangat komprehensif (Muhammad & Abdushomad, 2002). Para Sufi memberikan model bahwa asal-usul jiwa adalah alam spiritual. Ketika ia melekat pada raga, ia turun dari alam cahaya ke alam kegelapan, gelap karena jaraknya yang jauh dari sumber.

Meski jiwa dan tubuh mempunyai karakter dasar yang berbeda, namun keduanya tetap berhubungan. Tingkah laku manusia memiliki hubungan jiwa dan raga yang terdiri dari dua aspek yaitu hubungan antara bentuk dan aktivitas. Hubungan antara jiwa dan raga merupakan hubungan yang niscaya, karena jiwa tidak diproduksi di dalam tubuh.

Menurut al-Ghazali, jiwa ada secara keseluruhan. Al-Ghazali juga mendukung banyak doktrin yang menunjukkan bahwa pusat pengalaman manusia sebenarnya bisa berada pada materi yang berdiri sendiri. Sebagai substansi yang mandiri, jiwa juga memiliki fungsi dan bakat. Hakikat keberadaan jiwa manusia tidak terpisah, melainkan seluruh organ di seluruh tubuh manusia. Dengan jiwa ini, manusia memiliki kemampuan untuk merasakan dan bergerak secara fisik.

Jika raga dan hasratnya lebih kuat, maka jiwa menjadi lebih berat, lebih berorentasi kebendaan, padat dan buram. Selubung berlapis-lapis. Namun, jika jiwa ini sadar akan daya serapnya dan insaf akan terpenjaranya dalam keenam sisi tubuh dan keempat unsur primer (tanah, udara, air, dan api) maka mulailah perjalanan prinsip feminim (Bakhtiar, 2001). Oleh karena itu penulis memilih judul penelitian �Konsep Jiwa Menurut al-Ghazali dan Relevansinya dalam Pendidikan Islam�.

 

Metode Penelitian

Riset ini, merupakan riset perpustakaan (librari researc), yakni penelitian ini mencari informasi berasal dari data yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Harapannya dengan menggunakan referensi tersebut, peneliti dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang sedang diteliti (Moleong, 2019).

Persamaan yang mendasar studi pustaka ialah terbatasnya referensi yang dipakai pada bahan pustaka tidak perlu penelitian secara di lapang, sehingga wawasan periset didapati dari teks, bukan dari lapangan, saksi mata atau benda lain. Data perpustakaan sudah jadi, sehingga periset tidak perlu melakukan pengolahan kembali dari teks sebelum dapat digunakan untuk kepentingan penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

Nama al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. Ia dilahirkan pada 450 H/1058 M dikota Tus (Al-Subki, n.d.) didaerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz (Zainuddin, 1991). Sekitar dua puluh tahun setelah kematian Ibnu Sina, dimana pemikiran filsafat pada saat itu telah berkembang pesat hingga mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari teolog (Musa, 1968). Abu Hamid Muhammad bin Muhammad At-Thusi Al-Ghazali, seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, teolog, filsuf dan sufi termasyhur. Di kalangan barat al-Ghazali dikenal dengan nama �al-Gazel�. Sebagai seorang tokoh besar, al-Ghazali adalah arsitek perkembangan Islam dimasa-masa belakangan (Glasse, 1996). Zainal Abidin Ahmad menjelaskan �Bahwa namanya sejak kecil adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Adapun sebutan �Abu Hamid� merupakan sebutannya ketika ia sudah berumah tangga dan mendapat seorang putera laki-laki yang bernama Hamid yang meninggal pada waktu masih kecil. Tiga nama Muhammad berturut-turut, yaitu namanya sendiri, nama ayahnya dan nama kakeknya dan barulah diatasnya lagi namanya Ahmad� (Zainal, 1975).

1.   Analisis Konsep Jiwa Perspektif Al-Ghazali

Bagi al-Ghazali, kata ruh yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah nafs. Dengan mengutip ayat tersebut seolah-olah al-Ghazali bermaksud menunjukkan hakekat nafs hanya bisa diketahui oleh Tuhan, karena itu nafs bersifat rabbani. Dalam pengertian ini, nafs adalah netral. Pemahaman al-Ghazali atas nafs sebagai padanan ruh yaitu sebagai sebab yang membuat jasad dapat dikatakan hidup, tidak disinggung baik oleh al-Muhasibi, Abu Talib al-Makki maupun al-Qushairi. Dalam hal ini al-Ghazali lebih dekat pada Ibn Sina yang memahami nafs sebagai sumber dan pusat perbuatan makhluk hidup, baik itu manusia, hewan ataupun tumbuhan (S�n� & bin Abdillah, 1988).

Hanya saja cara al-Ghazali mengutip al-Quran menegaskan posisinya sebagai seorang agamawan. Lain halnya dengan Ibn Sina yang dalam al-Shifa berupaya menalar keberadaan nafs dengan logika. Ruh bersifat netral menurut salah satu definisi al-Qushairi, yaitu dzat halus atau tak terindera yang ada di dalam jasad atau dzat yang menyebabkan kehidupan yang dipahami al-Ghazali sebagai dzat halus yang bersifat rabbani dan ruhani.

Sementara al-Ghazali menyebutkan dua dari tiga keistimewaan tersebut, yang� dibahasakan al-Ghazali sebagai pengetahuan (al-�ilm) dan kehendak (al-iradah). Sedangkan aspek� emosi tidak disinggung sama sekali. Uraian atas fungsi akal atau qalb dengan sistematika yang demikian tidak didapati dalam literatur tasawuf sebelum al-Ghazali. Fokus tasawuf yang dibawa oleh Abu Talib al-Makki, al-Qushairi, dan al-Muhasibi adalah tindakan praktis. Tampak al-Ghazali menggunakan banyak konsep dari Ibn Sina untuk menjelaskan jiwa manusia secara sistematis.

Sifat sistematika tersebut juga logis, dalam artian, pembagian daya jiwa sebagai ghadab dan shahwah dengan definisi yang disebutkan al-Ghazali misalkan, tidak didapati secara eksplisit dalam nash melainkan melalui pengamatan dan penalaran filosofis. Namun konsep filsafat digunakan al-Ghazali dalam batasan tertentu. Ketidaksetujuan al-Ghazali terhadap pendapat Ibn Sina bahwa� jiwa� itu� kekal (qadim) adalah bukti. Dalam hal ini, al-Ghazali berpendirian sama dengan al-Qushairi yang menyatakan bahwa barangsiapa yang meyakini jiwa itu kekal, maka ia telah keliru.

2.   Analisis Pemikiran Al-Ghazali dalam Ilmu Pengetahuan

Metode berpikir al-Ghazali dalam beberapa karyanya yang membahas ilmu pengetahuan selalu mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama. Al-Ghazali tidak membebaskan ilmu pengetahuan yang dihasilkan pemikiran akal manusia dari� bimbingan wahyu agama dan panduan teks agama. Apapun disiplin ilmu pengetahuan� harus� dibimbing� syariat.

Oleh karenanya menurut al-Ghazali kurikulum pendidikan Islam harus selalu integral dengan tujuan-tujuan agama seperti tujuan� mendekatkan diri kepada Allah,� membentuk keperibadian unggul baik dihadapan Allah atau di hadapan manusia,� menjaga keseimbangan alam dan menjadikan dunia sebagai sarana untuk� memperbanyak investasi amal yang akan dipetik di akhirat.

Menurut al-Ghazali keagungan akal manusia dikarenakan ia menjadi �penyimpanan data ilmu pengetahuan, hikmah-hikmah dan alat untuk menggali dan �mengembangkan ilmu pengetahuan. Sedangkan jiwa� manusia sebagai gudang dan �sumber ilmu pengetahuan. Akal manusia akan membuahkan ilmu jika ia dilatih, �dikerahkan dan dicurahkan untuk belajar. Oleh karenanya, pendidikan ilmu �pengetahuan dari berbagai aspeknya harus mengarah pada pembentukan karakter intelektual, menggali, mengasah, dan� mengembangkan potensi-potensi akal manusia.

Dengan mengetahui sifat-sifat terpuji agar diwujudkan dalam kehidupan� bermasyarakat, seperti bersabar, selalu bersyukur, tulus beramal, sederhana dalam� hidup, dan lain sebagainya. Demikian halnya, dengan mengetahui sifat-sifat tercela seperti sombong, iri� hati, suka pamer dan lain sebagainya manusia harus menjauhinya. Karena kerusakan kehidupan manusia ditimbulkan dari sifat-sifat tercela tersebut. �Menurut beliau pendidikan ilmu pengetahuan harus menjadi sarana untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan jiwa dan sebagai media untuk mendekatkan manusia� kepada� Allah� SWT.

3.   Analisis Pendidikan Islam Al-Ghazali

��������� Banyak orang merancukan pengertian istilah pendidikan agama Islam dan� pendidikan Islam. Kedua istilah ini dianggap sama, sehingga ketika seseorang berbicara tentang pendidikan Islam ternyata isinya terbatas pada pendidikan agama Islam, atau sebaliknya ketika seseorang berbicara berbicara tentang pendidikan agama Islam justru yang dibahas di dalamnya adalah tentang pendidikan Islam. padahal kedua istilah memiliki substansi yang berbeda.

Menurut Ahmad Tafsir yang membedakan antara pendidikan agama Islam (PAI) dan pendidikan Islam adalah PAI sebagai mata pelajaran yang seharusnya dinamakan agama Islam, karena yang diajarkan adalah agama Islam bukan pendidikan agama Islam. Nama kegiatannya atau usaha dalam pendidikan agama Islam disebut sebagai pendidikan agma Islam.

Apabila menghubungkan konsep jiwa dengan Pendidikan Islam, maka menurut peneliti perlu di fahami lebih dalam, terkait pembagian faktor-faktor pembagian dalam kejiwaan prespektif al-Ghazali. Sehingga dalam konteks ini peneliti sependapat dan mendukung pendapat Imam al-Ghazali yang menghubungkan konsep jiwa dengan konsep pendidikan Islam. Karena sesuai dan relevan dengan al-Qur�an dan Hadis, dan alasan lain ialah melalui kitab karya al-Ghazali yang menjelaskan konsep jiwa dan konsep pendidikan islam masih tetap dikaji oleh kalangan pondok pesantren dan para peneliti yang ingin merujuknya.

Menurut peneliti, relevansitas konsep jiwa al-Ghazali dalam Pendidikan Islam dapat juga semakin terlihat melalui konsep tazkiyatun nafs oleh al-Ghazali itu sendiri, agar dapat memiliki kepribadian muslim yang lebih baik, sebagaiamana pengertiannya muslim itu sendiri, yakni muslim� berarti orang Islam.� Orang yang Islam� adalah orang menyerah, tunduk, patuh, dalam� melakukan perilaku yang baik, agar hidupnya bersih lahir dan batin yang pada gilirannya akan� mendapakan� keselamatan� dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat (Mujib, 2006).

Prinsip Pendidikan Islam menurut al-Ghazali adalah melakukan takhalli,� tahalli dan tajalli dalam keseharian. Sehingga menjadikan jiwa kembali kepada� fitrahnya, dan tak lupa untuk senantiasa ber-mujahadah dan riyadlah terhadap nafsu yang terdapat pada jiwa manusia. Langkah-langkah yang dilakukannya dengan metode� pengajaran keteladanan dan kognitifistik.

Apabila menghubungkan konsep jiwa dengan Pendidikan Islam, maka menurut peneliti perlu difahami kembali agar lebih dalam pemahaman terkait pembagian faktor-faktor dalam kejiwaan prespektif al-Ghazali. Sehingga dalam konteks ini peneliti sependapat dan mendukung Imam al-Ghazali yang menghubungkan konsep jiwa dengan konsep pendidikan Islam. Karena sesuai dan relevan dengan al-Qur�an dan Hadis, dan alasan lain ialah melalui kitab karya al-Ghazali yang menjelaskan konsep jiwa dan konsep pendidikan islam masih tetap dikaji oleh kalangan pondok pesantren dan para peneliti yang ingin merujuknya.

 

Kesimpulan

Dalam konteks jiwa Al-Ghazali, dapat disimpulkan bahwa pendidikan mendorong manusia untuk dapat mengembangkan potensi kejiwaannya sesuai dengan tuntutan Tuhan. Pendidikan tidak hanya bersentuhan dengan kognitif, ia diorientasikan pula untuk melejitkan potensi batiniyah yang membuat manusia menjadi tenang, tidak resah, dan tidak mengalami keresahan, sebagaimana yang menjadi ciri dampak modernitas. Jiwa yang stabil dan tenang membuahkan semangat hidup yang positif. Perspektif filosofis pendidikan mengenai hal bersentuhan dengan pembangunan manusia seutuhnya yang menganut prinsip keseimbangan antara jasmani dan ruhani.

 


BIBLIOGRAFI

 

Al-Subki, Taj Al Din Tabaqat. (N.D.). Al-Shafi �Iyyah Al-Kubra. Abd Al-Fattah Muhammad Al-Hilw And Mahmud Muhammad Al-Tanahi, 6.

 

Bakhtiar, Laleh. (2001). Perjalanan Menuju Tuhan: Dari Maqam-Maqam Hingga Karya Besar Dunia Sufi. Penerbit Nuansa. Google Scholar

 

Glasse, Cyril. (1996). Ensiklopedi Islam, Terj. Ghufron A. Mas‟ Adi (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002). Google Scholar

 

Jaelani, A. F. (2000). Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental. Jakarta: Penerbit Amzah. Google Scholar

 

Moleong, Lexy J. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif. Google Scholar

 

Mubarok, Achmad. (2001). Psikologi Dakwah, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2002. Psikologi Qur�ani, Jakarta: Pustaka Firdaus. Google Scholar

 

Muhammad, Hasyim, & Abdushomad, M. Adib. (2002). Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi: Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Walisongo Press: Pustaka Pelajar. Google Scholar

 

Mujib, H. Abdul. (2006). Kepribadian Dalam Psikologi Islam. PT Rajagrafindo Persada. Google Scholar

 

Musa, Muhammad Yusuf. (1968). Baina Al-D�n Wa Al-Falsafah, Fi Ra�yi Ibnu Rusyd Wa Fal�sifah Al-Asri Al-Was�th. Egypt: Dar Al-Ma�arif. Google Scholar

 

S�n�, İbn, & Bin Abdillah, Eb� Ali El H�seyin. (1988). Fenn��s-S�dis Mine�t-Tabiiyy�t Min Kitabi�ş-Şï¿½f�. Editions De Patroimine Arabe Et İsl�mique, Paris. Google Scholar

 

Zainal, Abidin Ahmad. (1975). Riwayat Hidup Al-Ghazali. Jakarta: Bulan Bintang. Google Scholar

 

Zainuddin. (1991). Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali. Bumi Aksara. Google Scholar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright holder:

Muhammad Nuruttamam Al-Amin, Ahmad Zahro (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: