Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 3, Maret 2022

 

PERAN NOTARIS DALAM PERJANJIAN LISENSI PEMAKAIAN LAGU DAN/ATAU MUSIK OLEH PIHAK KETIGA

 

Rina Puspitasari, Teddy Anggoro

Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau music antara Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta (ahli waris, Publisher dsb) kerapkali tidak menggunakan Akta Otentik (Akta Notarial), dan yang membuat atau menyusun perjanjian tersebut seringkali adalah advokat non litigasi, atau karyawan di Departemen Hukum, atau juga adalah atau oleh karyawan di Departemen HKI. Perjanjian lisensi tersebut seringkali bentuknya sudah dibakukan, telah disediakan oleh Pencipta dan/atauPemegang Hak Cipta, misalnya dalam perjanjian lisensi yang dilakukan antara perusahaan nasional dan perusahaan asing, beberapa ketentuan sudah ditentukan secara sepihak seperti ketentuan untuk memilih hukum (choice of law) negara pemberi lisensi (licensor) jika terjadi sengketa yang bermuara ke pengadilan atau arbitrase. Sehingga perjanjian tersebut bisa dikategorikan sebagai Akta Dibawah Tangan, dan jelas kekuatan pembuktiannya lebih lemah daripada Akta Otentik yang dibuat di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, dalam hal ini Notaris. Dalam tulisan kali ini penulis ingin menulis penelitian tentang peran Notaris dalam perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik oleh pihak ketiga, mengingat bahwa lagu dan/atau musik adalah intangible assets atau kebendaan tidak berwujud, dimana memiliki hak ekonomi selain hak moral.

 

Kata Kunci: perjanjian lisensi; lagu dan/atau music; Akta Otentik

 

Abstract

The license agreement for using the songs and/or music between the Author and/or Copyright Holder (heirs, Publishers, etc.) often does not use an Authentic Deed (Notarial Deed), and those who make or drafting the agreement are non-litigation advocates, or employees in the Department Law, or also is or by employees in the Intellectual Property Rights Department. The license agreement is often standardized in form, has been provided by the Author and/or Copyright Holder, for example in the licensing agreement between a national company and a foreign company, some provisions have been determined unilaterally such as the provision to choose the law (choice of law) of the granting country license (licensor) in the event of a dispute leading to court or arbitration. That agreement can be categorized as an Underhand Deed, and it is obvious that the strength of the proof is weaker than the Authentic Deed made and signed in front of authorized public official, in this case is a Notary. In this paper, the author wants to write a research on the role of Notaries in licensing agreements for using of songs and/or music by third parties, considering that songs and/or music are intangible assets, which have economic rights other than moral rights.

 

Keywords: license agreement; song and/or music; Authentic Deed

 

Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), pengertian hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Grafika, 2015), sedangkan Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.(Grafika, 2015)

Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi(Grafika, 2015), sedangkan Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata(Grafika, 2015).

Dalam penulisan kali ini, penulis mengkhususkan hak cipta adalah dalam hak cipta lagu dan/atau musik, dimana dalam UUHC diartikan masuk dalam kategori fiksasi, yaitu perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya, yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun (Grafika, 2015).

Di Indonesia, kesadaran masyarakat dalam mendaftarkan ciptaan atas karya ciptanya masih tergolong rendah. Sehingga banyaknya kasus pembajakan dan pemakaian hak ciptanya tanpa izin masih marak terjadi. Untuk penggunaan hak ekonomi milik Pencipta, maka setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi tersebut wajib mendapatkan izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta(Grafika, 2015), dan setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan(Grafika, 2015). Biasanya Pencipta memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mengelola hak ekonomi ciptaannya, dan pihak tersebut biasa disebut sebagai Publisher. Apabila Pencipta tersebut tidak memberikan kuasa kepada Publisher maka pihak yang mau menggunakan hasil karya ciptaannya harus mendapatkan izin langsung dari Penciptanya yang apabila sudah meninggal dunia maka kepada atau Pemegang hak cipta tersebut, bisa ahli warisnya atau yang kerabat dan/atau pihak lain yang berhak.

Pemberian izin pemakaian lagu dan/atau musik tersebut sebaiknya dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Pemberian izin tersebut disebut dengan lisensi. Pada dasarnya lisensi di bidang hak cipta lagu tidak semata-mata hanya sekedar perbuatan pemberian izin saja, tetapi perbuatan tersebut menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang saling timbal balik antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Dengan bertimbal balik hak-hak dan kewajiban tersebut, lisensi merupakan sebuah perjanjian yang mengikat mereka. Dalam ilmu hukum perjanjian yang demikian disebut perjanjian obligatoire. Persoalan hukum yang muncul saat ini adalah perjanjian lisensi antara pencipta dengan pihak ketiga dalam praktik ditemukan ada yang dibuat dengan perjanjian di bawah tangan antara pemberi dengan penerima lisensi.

Dalam banyak praktik perjanjian lisensi hak cipta atas lagu dan/atau musik yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak memberikan jaminan kepastian hukum perlindungan hak ekonomi para pihak khususnya bagi pencipta lagu atau pemilik hak. Pencipta pada saat melakukan perjanjian tidak memperoleh informasi yang jelas dan lengkap mengenai cakupan bidang dalam pemakaian karya ciptaan tersebut.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Metode ini dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data berupa peraturan perundang-undangan terkait, maupun data sekunder berupa literatur, hasil penelitian dan pengkajian. Kajian ini dipahami sebagai kajian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.

 

Hasil Dan Pembahasan

1.       Kekuatan hukum perjanjian pemakaian (lisensi)i lagu dan/atau musik yang dibuat tidak dalam bentuk akta Notaris

a.       Perjanjian

Perjanjian terjadi karena suatu persetujuan atau karena undang-undang(Rasuh, 2016), ada tiga macam perjanjian, yaitu(Rasuh, 2016):

1)     Untuk memberikan sesuatu;

2)     Untuk berbuat sesuatu; atau

3)     Untuk tidak berbuat sesuatu.

Perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak dapat dilakukan tanpa di hadapan Notaris yang biasa disebutPerjanjian di bawah tangan� dan juga dapat dibuat di hadapan Notaris yang disebutPerjanjian secara Notarial� yang dianggap sebagai akta autentik. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

b.       Akta Dibawah Tangan dan Akta Otentik

Akta menurut A. Pitlo merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat(Huduri, 2020) Menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat yang diberikan tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat seja semula dengan sengaja untuk pembuktian(Mertokusumo, 2003). Menurut Subekti, akta berbeda dengan surat, selanjutnya dikatakan bahwa �kata akta bukan berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata acte yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan(Subekti, 1980)�.

Fungsi akta bagi pihak-pihak yang berkepentingandapat dijelaskan sebagai berikut :

1)     Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum;

2)     Sebagai alat pembuktian;

3)     Sebagai pembuktian satu-satunya.

Pengertian akta di bawah tangan adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan (Umbas, 2017):

Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.�

 

Dari penjelasan pasal diatas dapat kita ketahui bahwa akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak sendiri, dan tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum(Sjaifurrachman & Adjie, 2011).

Syarat suatu akta disebut akta dibawah tangan harus memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil akta di bawah tangan:

1)     Berbentuk tertulis atau tulisan;

2)     Dibuat secara partai (dua pihak atau lebih) tanpa bantuan atau dihadapan pejabat umum yang berwenang;

3)     Ditandatangani oleh para pihak; dan

4)     Mencantumkan tanggal dan tempat penandatanganan

Sedangkan pengertian Akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) merupakan akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, tempat di mana akta atau perjanjian dibuat(Sjaifurrachman & Adjie, 2011).

Berdasarkan pengertian yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, sebuah akta dapat dikatakan otentik apabila telah memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

1)     Dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan undang-undang; dan

2)     Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang memiliki wewenang;

Pasal 1869 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa akta tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik apabila pejabat umum yang membuatnya tidak berwenang atau tidak cakap sebagai pejabat umum atau bentuk akta tersebut tidak memenuhi persyaratan yang dinyatakan dalam undang-undang.

c.        Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan

Akta di bawah tangan pada dasarnya adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak untuk suatu kepentingan atau tujuan tertentu tanpa mengikutsertakan pejabat yang berwenang. Jadi dalam suatu akta di bawah tangan, akta tersebut cukup dibuat oleh para pihak itu sendiri dan kemudian ditandatangani oleh para pihak tersebut, misalnya kwitansi, surat perjanjian utang-piutang, ketidakikutsertaan pejabat yang berwenang inilah yang merupakan perbedaan pokok antara akta di bawah tangan dengan akta otentik.

Akta di bawah tangan ini diatur dalam Pasal 1874 � 1984 KUHPerdata. Terhadap akta di bawah tangan apabila ada tanda tangan yang disangkal, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus membuktikan kebenaran tanda tangan itu melalui alat bukti lain.

Dengan demikian selama tanda tangan tidak diakui maka akta di bawah tangan tersebut tidak banyak membawa manfaat bagi pihak yang mengajukannya di muka pengadilan.

Namun apabila tanda tangan tersebut sudah diakui maka akta di bawah tangan itu bagi yang menandatangani, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti yang sempurna sebagai kekuatan formil dan kekuatan formil dari suatu Akta Otentik (Pasal 1875 KUHPerdata).

d.       Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Dalam hukum acara perdata di Indonesia, surat, diantaranya termasuk perjanjian merupakan salah satu alat bukti yang diakui dalam persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 164 Herzien Indlansch Reglement (HIR). Dalam Pasal 165 HIR ditegaskan bahwa akta yang dibuat oleh pegawai umum yang memiliki kuasa untuk membuatnya, merupakan bukti yang cukup. Sehingga, Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dihadapan hukum sehingga tidak dapat disangkal keberadaannya di pengadilan. Kecuali terdapat bukti lain yang diajukan pihak lawan yang menyatakan sebaliknya. Misalnya dalam kasus sengketa tanah, di mana pihak lawan mengatakan bahwa akta jual beli tanah palsu, maka pihak lawan yang mengatakan hal tersebut harus membuktikan bahwa akta jual beli tanah adalah palsu.

e.        Perjanjian dalam bidang HKI

Perjanjian dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) termasuk perjanjian lisensi, perjanjian waralaba, atau perjanjian pengalihan HKI hanyalah beberapa bentuk perjanjian di bidang intangible assets atau kebendaan tidak berwujud. Perjanjian di bidak HKI banyak dibuat sejak abad ke-20, yaitu setelah hak milik industrial (yang berupa paten, merek, desain industri, rahasia dagang, desain tata letak sirkuit terpadu, varietas tanaman), dan hak cipta (yang berupa karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra, dan program komputerdalam penelitian kali ini akan membahas lebih kepada hak cipta dalam bidang lagu dan/atau musik) dinyatakan sebagai asset atau kekayaan yang merupakan harta yang menjadi bagian strategis perusahaan yang berharga bagi kemajuan atau kemunduran perusahaan. Akibat perkembangan pesat bisnis di bidang HKI dan waralaba atau franchise maka perjanjian HKI dalam berbagai bentuk perjanjian semakin popular saat ini(Sjaifurrachman & Adjie, 2011).

Namun, dalam kegiatan bisnis, tidak selalu perjanjian-perjanjian tersebut di atas di buat dan/atau ditandatangani di hadapan Notaris. Sering kali rancangan perjanjian tesebut dibuat oleh advokat nonlitigasi, corporate lawyer, karyawan di bagian hukum (legal department atau legal division), atau oleh karyawan di IP Departement (Intellectual Property Department). Perjanjian HKI seringkali bentuknya sudah dibakukan, telah disediakan oleh pemegang HKI, misalnya dalam perjanjian lisensi yang dilakukan antara perusahaan nasional dan perusahaan asing, beberapa ketentuan sudah ditentukan secara sepihak seperti ketentuan untuk memilih hukum (choice of law) negara pemberi lisensi (licensor) jika terjadi sengketa yang bermuara ke pengadilan atau arbitrase.

f.        Perjanjian Lisensi

Pada bulan Juli 2018 lalu, Pemerintah menerbitkan peraturan baru terkait perjanjian lisensi melalui Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual (PP 36/2018). Pada dasarnya, lisensi ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya dalam bidang hak kekayaan intelektual, sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) PP 36/2018 bahwa pencatatan lisensi dilakukan terhadap objek kekayaan intelektual di beberapa bidang seperti(Sjaifurrachman & Adjie, 2011):

1)     hak cipta dan hak terkait;

2)     Paten;

3)     merek;

4)     desain industri;

5)     desain tata letak sirkuit terpadu;

6)     rahasia dagang; dan

7)     varietas tanaman.

Sebagai pemegang hak kekayaan intelektual, Pemegang Hak Cipta berhak untuk memberikan lisensi kepada pihak lain untuk melaksanakan hak eksklusif yang dimilikinya.

g.       Perbedaan Perjanjian Sewa dengan Perjanjian Lisensi(Sjaifurrachman & Adjie, 2011)

Objek perjanjian sewa adalah barang berwujud bergerak, seperti misalnya kendaraan, atau barang berwujud tidak bergerak seperti misalnya rumah dan sebagainya. Sedangkan objek perjanjian lisensi HKI adalah barang tidak berwujud (intangible assets) yang berupa hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, atau varietas tanaman yang masih memiliki hak cipta.

 

2.       Peranan Notaris dalam perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik oleh pihak ketiga

a.     Perjanjian pemakaian (lisensi) lagu dan/atau musik dalam bentuk Akta Dibawah Tangan

Pada praktiknya saat ini, banyak sekali pihak ketiga yang menggunakan lagu dan/atau music dari Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta dengan menggunakan perjanjian dibawah tangan (tanpa akta Notaris). Pembuatan perjanjian atas lagu yang dibuat di bawah tangan ini biasanya telah disiapkan oleh pihak ketiga yang untuk mempermudah negosiasi perolehan dan pembagian hak ekonomi yang akan diterima oleh para pihak.

Perjanjian lisensi atas lagu dan/atau musik memberikan keuntungan yang besar bagi kedua belah pihak karena saat ini perkembangan industri musik cukup pesat, pasar yang besar membuat para Pencipta lagu mengkomersialisasikan lagu dan/atau musik ciptaannya melalui pihak ketiga dengan cara memberikan lisensi untuk memperbanyak dan menjual kepada masyarakat luas.

Kebanyakan Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta melakukan perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik miliknya tidak menggunakan Akta Otentik adalah karena keterbatasan masalah biaya jasa Notaris. Banyak Royalti lagu dan/atau musik yang didapat dari pemakaian karya ciptaan tersebut tidak seberapa, sedangkan biaya jasa Notaris adalah minimal 1% (satu perseratus) dari jumlah nilai yang diperjanjikan. Misalkan dalam perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik adalah sejumlah total Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), maka jasa Notaris adalah sebesar Rp100.000,- (serratus ribu rupiah). Jelas hal itu sangatlah tidak relevan dengan peran Notaris sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat suatu Akta Otentik, tetapi apabila biaya Jasa Notaris untuk per satu aktanya adalah sesuai dengan yang lazim digunakan selama ini, maka jumlahnya akan memberatkan kedua belah pihak yang memperjanjikan. Bahkan terkadang ada yang menggunakan sebuah lagu dan/atau musik milik Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta yang nilai royaltinya dibawah Rp5.000.000,- (lima juta rupiah), tentunya alasan para pihak selama ini tidak menggunakan Akta Otentik dalam pembuatan Perjanjian pemakaian (lisensi) lagu dan/atau music tersebut adalah karena masalah biaya yang memberatkan.

b.     Perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik dalam bentuk Akta Otentik

Apabila pada sub bab di atas disebutkan mengenai banyaknya Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta yang melakukan perjanjian lisensi pemakaianlagu dan/atau musik tanpa menggunakan Akta Otentik dengan pihak ketiga, maka banyak juga industry musik atau perusahaan yang menggunakan lagu dan/atau musik milik Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta dengan menggunakan Akta Otentik, dikarenakan mereka sadar betul akan kekuatan pembuktian dari Akta Otentik tersebut. Akan tetapi biasanya jumlah nominal dari royalty atas lagu dan/atau musik yang digunakan tersebut biasanya juga sudah berjumlah nominal yang besar pembayaran royaltinya.

c.      Peranan Notaris dalam perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik oleh pihak ketiga

Undang-undang di bidang HKI memang tidak mewajibkan perjanjian di bidang HKI harus dibuat sebagai akta autentik, namun demikian peran Notaris tetap dibutuhkan masyarakat pengusaha yang akan melakukan perjanjian di bidang HKI secara notarial. Hal ini seiring dengan perkembangan bisnis dan meningkatnya kesadaran pengusaha akan perlunya aka perjanjian yang memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dibandingkan perjanjian biasa, oleh karena itu Notaris perlu mempersiapkan sumber daya manusia dan kemampuannya untuk memahami hukum di bidang HKI.

 

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik yang dibuat tidak dengan menggunakan Akta Otentik memiliki kekuatan pembuktian yang cukup tapi tidak sekuat pembuktian dengan menggunakan Akta Otentik.

Dalam pembuatan perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik dengan pihak ketiga, peran penting Notaristetap dibutuhkan dalam pembuatan perjanjian dalam bentuk Akta Otentik, karena seiring dengan perkembangan bisnis dan meningkatnya kesadaran pengusaha akan perlunya akta perjanjian yang memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dibandingkan perjanjian biasa, oleh karena itu Notaris perlu mempersiapkan sumber daya manusia dan kemampuannya untuk memahami hukum di bidang HKI terutama dalam bidang Hak Cipta lagu dan/atau musik.

Saran dari Penulis adalah sebaiknya setiap perjanjian lisensi pemakaianlagu dan/atau musik oleh pihak ketiga menggunakan Akta Otentik atau Akta Notarial, agar hak dan kewajiban masing-masing dapat terlaksana dengan baik dan potensi untuk pelanggarannya lebih kecil dikarenakan Akta Otentik adalah Akta yang dibuat dan ditanda tangani di depan Pejabat Umum yang berwenang, dalam hal ini adalah Notaris. Apabila terkendala masalah biaya, maka dapat disiasati seperti pembuatan Akta Kredit secara Notarial oleh Perbankan, yaitu dengan menggunakan ukuran jumlah atau volume untuk pembuatan Aktanya, sehingga bisa lebih menguntungkan kedua belah pihak.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Grafika, Sinar. (2015). Undang-Undang Hak Cipta UU No. 28 tahun 2014.google scholar

 

Huduri, Andi Nurlaila Amalia. (2020). Keabsahan Akta Otentik yang dibuat Oleh Notaris Pengganti yang Para Pihaknya adalah Keluarga Notaris yang Digantikan. Mimbar Keadilan, 13(1), 32�43.google scholar

 

Mertokusumo, Sudikno. (2003). Mengenal Hukum Selaku Pengantar. Yogyakrta: Liberty.google scholar

 

Rasuh, Daryl John. (2016). Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Lex Privatum, 4(2).google scholar

 

Sjaifurrachman, & Adjie, Habib. (2011). Aspek pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta. Mandar Maju.google scholar

 

Subekti. (1980). Pokok-pokok Hukum Perdata. jakarta: Intermasa.

 

Umbas, Sita Arini. (2017). Kedudukan Akta Di Bawah Tangan yang Telah Dilegalisasi Notaris Dalam Pembuktian di Pengadilan. Lex Crimen, 6(1).google scholar

 

Copyright holder:

Rina Puspitasari, Teddy Anggoro (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: