Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�e-ISSN: 2548-1398
�Vol. 7, No. 3, Maret
2022
PERAN
NOTARIS DALAM PERJANJIAN LISENSI PEMAKAIAN LAGU DAN/ATAU
MUSIK OLEH PIHAK KETIGA
Rina Puspitasari, Teddy Anggoro
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau music antara Pencipta dan/atau Pemegang Hak
Cipta (ahli waris, Publisher dsb) kerapkali tidak menggunakan Akta Otentik (Akta Notarial), dan yang
membuat atau menyusun perjanjian tersebut seringkali adalah advokat non litigasi, atau karyawan di Departemen Hukum, atau juga adalah atau oleh karyawan di Departemen HKI. Perjanjian lisensi tersebut seringkali bentuknya sudah dibakukan, telah disediakan oleh Pencipta dan/atau� Pemegang
Hak Cipta, misalnya dalam perjanjian lisensi yang dilakukan antara perusahaan nasional dan perusahaan asing, beberapa ketentuan sudah ditentukan secara sepihak seperti ketentuan untuk memilih hukum
(choice of law) negara pemberi lisensi (licensor) jika terjadi sengketa yang bermuara ke pengadilan
atau arbitrase. Sehingga perjanjian tersebut bisa dikategorikan
sebagai Akta Dibawah Tangan, dan jelas kekuatan pembuktiannya lebih lemah daripada Akta Otentik yang dibuat di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, dalam hal ini Notaris.
Dalam tulisan kali ini penulis ingin menulis
penelitian tentang peran Notaris dalam
perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik oleh pihak ketiga, mengingat
bahwa lagu dan/atau musik adalah
intangible assets atau kebendaan
tidak berwujud, dimana memiliki hak ekonomi selain
hak moral.
Kata
Kunci: perjanjian lisensi; lagu dan/atau music; Akta Otentik
Abstract
The license
agreement for using the songs and/or music between the Author and/or Copyright
Holder (heirs, Publishers, etc.) often does not use an Authentic Deed (Notarial
Deed), and those who make or drafting the agreement are non-litigation advocates,
or employees in the Department Law, or also is or by employees in the
Intellectual Property Rights Department. The license agreement is often
standardized in form, has been provided by the Author and/or Copyright Holder,
for example in the licensing agreement between a national company and a foreign
company, some provisions have been determined unilaterally such as the
provision to choose the law (choice of law) of the granting country license
(licensor) in the event of a dispute leading to court or arbitration. That
agreement can be categorized as an Underhand Deed, and it is obvious that the
strength of the proof is weaker than the Authentic Deed made and signed in
front of authorized public official, in this case is a Notary. In this paper,
the author wants to write a research on the role of
Notaries in licensing agreements for using of songs and/or music by third
parties, considering that songs and/or music are intangible assets, which have
economic rights other than moral rights.
Keywords: license
agreement; song and/or music; Authentic Deed
Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan
Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), pengertian hak cipta adalah hak
eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan
dalam bentuk nyata tanpa mengurangi
pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Grafika,
2015),
sedangkan Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.(Grafika, 2015)
Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak
moral dan hak ekonomi(Grafika, 2015),
sedangkan Ciptaan adalah setiap hasil
karya cipta di bidang ilmu pengetahuan,
seni, dan sastra yang dihasilkan
atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata(Grafika, 2015).
Dalam penulisan kali ini, penulis mengkhususkan hak cipta adalah
dalam hak cipta lagu dan/atau musik, dimana
dalam UUHC diartikan masuk dalam kategori
fiksasi, yaitu perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya, yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun (Grafika, 2015).
Di Indonesia, kesadaran
masyarakat dalam mendaftarkan ciptaan atas karya ciptanya
masih tergolong rendah. Sehingga banyaknya kasus pembajakan dan pemakaian hak ciptanya tanpa
izin masih marak terjadi. �Untuk penggunaan hak ekonomi milik Pencipta,
maka setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi tersebut wajib mendapatkan izin dari Pencipta
atau Pemegang Hak Cipta(Grafika, 2015), dan setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan(Grafika, 2015). Biasanya Pencipta memberikan kuasa kepada pihak
lain untuk mengelola hak ekonomi ciptaannya,
dan pihak tersebut biasa disebut sebagai
Publisher. Apabila Pencipta
tersebut tidak memberikan kuasa kepada Publisher maka pihak yang mau menggunakan hasil karya ciptaannya harus mendapatkan izin langsung dari
Penciptanya yang apabila sudah meninggal dunia maka kepada atau
Pemegang hak cipta tersebut, bisa ahli warisnya
atau yang kerabat dan/atau pihak lain yang berhak.
Pemberian izin pemakaian lagu dan/atau musik
tersebut sebaiknya dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Pemberian izin tersebut disebut
dengan lisensi. Pada dasarnya lisensi di bidang hak cipta
lagu tidak semata-mata hanya sekedar perbuatan pemberian izin saja, tetapi perbuatan
tersebut menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang saling timbal balik antara pihak yang satu dengan pihak
lainnya. Dengan bertimbal balik hak-hak dan kewajiban tersebut, lisensi merupakan sebuah perjanjian yang mengikat mereka. Dalam ilmu
hukum perjanjian yang demikian disebut perjanjian obligatoire. Persoalan hukum yang muncul saat ini
adalah perjanjian lisensi antara pencipta dengan pihak ketiga dalam
praktik ditemukan ada yang dibuat dengan perjanjian di bawah tangan antara
pemberi dengan penerima lisensi.
Dalam banyak praktik perjanjian lisensi hak cipta atas
lagu dan/atau musik yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak
memberikan jaminan kepastian hukum perlindungan hak ekonomi para pihak khususnya bagi pencipta lagu atau
pemilik hak. Pencipta pada saat melakukan perjanjian tidak memperoleh informasi yang jelas dan lengkap mengenai cakupan bidang dalam pemakaian karya ciptaan tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Metode ini dilakukan
dengan melakukan studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan
data berupa peraturan perundang-undangan terkait, maupun data sekunder berupa literatur, hasil penelitian dan pengkajian. Kajian ini dipahami sebagai kajian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.
Hasil
Dan Pembahasan
1.
Kekuatan hukum perjanjian pemakaian (lisensi)i lagu dan/atau
musik yang dibuat tidak dalam bentuk
akta Notaris
a. Perjanjian
Perjanjian terjadi karena suatu persetujuan atau karena undang-undang(Rasuh, 2016), ada tiga macam
perjanjian, yaitu(Rasuh, 2016):
1) Untuk memberikan sesuatu;
2) Untuk berbuat sesuatu; atau
3) Untuk tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian
yang dibuat dan disepakati
oleh para pihak dapat dilakukan tanpa di hadapan Notaris yang biasa disebut �Perjanjian di bawah tangan� dan juga dapat dibuat di hadapan Notaris yang disebut �Perjanjian secara Notarial� yang dianggap sebagai akta autentik. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, akta Notaris
yang selanjutnya disebut akta adalah akta
autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
b. Akta Dibawah
Tangan dan Akta Otentik
Akta menurut A. Pitlo merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai
sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu
dibuat(Huduri, 2020) Menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat yang diberikan tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak
atau perikatan yang dibuat seja semula
dengan sengaja untuk pembuktian(Mertokusumo, 2003). Menurut Subekti, akta berbeda dengan
surat, selanjutnya dikatakan bahwa �kata akta bukan berarti
surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata acte yang dalam bahasa Perancis
berarti perbuatan(Subekti, 1980)�.
Fungsi akta bagi pihak-pihak
yang berkepentingan� dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1) Sebagai syarat untuk menyatakan
adanya suatu perbuatan hukum;
2) Sebagai alat pembuktian;
3) Sebagai pembuktian satu-satunya.
Pengertian akta di bawah tangan
adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan (Umbas, 2017):
�Yang
dianggap sebagai tulisan di
bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah
tangga dan
tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.�
Dari penjelasan pasal diatas dapat
kita ketahui bahwa akta di bawah
tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak sendiri, dan tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah
terjadinya suatu perbuatan hukum(Sjaifurrachman & Adjie, 2011).
Syarat suatu akta disebut
akta dibawah tangan harus memenuhi
syarat formil dan syarat materil. Syarat formil akta
di bawah tangan:
1) Berbentuk tertulis atau tulisan;
2) Dibuat secara partai (dua pihak atau
lebih) tanpa bantuan atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang;
3) Ditandatangani
oleh para pihak; dan
4) Mencantumkan tanggal dan tempat penandatanganan
Sedangkan pengertian Akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) merupakan akta yang (dibuat) dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, tempat
di mana akta atau perjanjian dibuat(Sjaifurrachman & Adjie, 2011).
Berdasarkan pengertian yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, sebuah akta dapat dikatakan
otentik apabila telah memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
1) Dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan undang-undang; dan
2) Dibuat
oleh atau di hadapan pejabat umum yang memiliki wewenang;
Pasal
1869 KUHPerdata juga menyebutkan
bahwa akta tidak dapat diberlakukan
sebagai akta otentik apabila pejabat umum yang membuatnya tidak berwenang atau tidak cakap sebagai
pejabat umum atau bentuk akta
tersebut tidak memenuhi persyaratan yang dinyatakan dalam undang-undang.
c.
Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan
Akta
di bawah tangan pada dasarnya adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak untuk suatu kepentingan
atau tujuan tertentu tanpa mengikutsertakan pejabat yang berwenang. Jadi dalam suatu akta di bawah
tangan, akta tersebut cukup dibuat oleh para pihak itu sendiri dan kemudian ditandatangani oleh para
pihak tersebut, misalnya kwitansi, surat perjanjian utang-piutang, ketidakikutsertaan pejabat yang berwenang inilah yang merupakan perbedaan pokok antara akta di bawah tangan dengan
akta otentik.
Akta
di bawah tangan ini diatur dalam
Pasal 1874 � 1984 KUHPerdata.
Terhadap akta di bawah tangan apabila
ada tanda tangan yang disangkal, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu
harus membuktikan kebenaran tanda tangan itu melalui
alat bukti lain.
Dengan demikian selama tanda tangan tidak
diakui maka akta di bawah tangan
tersebut tidak banyak membawa manfaat bagi pihak
yang mengajukannya di muka pengadilan.
Namun apabila tanda tangan
tersebut sudah diakui maka akta
di bawah tangan itu bagi yang menandatangani,
ahli warisnya dan
orang-orang yang mendapat hak
dari mereka, merupakan bukti yang sempurna sebagai kekuatan formil dan kekuatan formil dari suatu Akta
Otentik (Pasal 1875 KUHPerdata).
d. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
Dalam hukum acara perdata di Indonesia,
surat, diantaranya termasuk perjanjian merupakan salah satu alat bukti yang diakui dalam persidangan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 164 Herzien Indlansch Reglement (HIR). Dalam Pasal 165 HIR ditegaskan bahwa akta yang dibuat oleh pegawai umum yang memiliki kuasa untuk membuatnya,
merupakan bukti yang cukup. Sehingga, Akta otentik memiliki
kekuatan pembuktian yang kuat dihadapan hukum sehingga tidak dapat disangkal
keberadaannya di pengadilan.
Kecuali terdapat bukti lain yang diajukan pihak lawan yang menyatakan sebaliknya. Misalnya dalam kasus sengketa tanah, di mana pihak lawan mengatakan bahwa akta jual
beli tanah palsu, maka pihak
lawan yang mengatakan hal tersebut harus
membuktikan bahwa akta jual beli
tanah adalah palsu.
e.
Perjanjian dalam bidang HKI
Perjanjian dalam bidang Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) termasuk perjanjian lisensi, perjanjian waralaba, atau perjanjian pengalihan HKI hanyalah beberapa bentuk perjanjian di bidang intangible assets atau
kebendaan tidak berwujud. Perjanjian di bidak HKI banyak dibuat sejak abad
ke-20, yaitu setelah hak milik industrial (yang berupa paten, merek, desain industri, rahasia dagang, desain tata letak sirkuit terpadu, varietas tanaman), dan hak cipta (yang berupa karya-karya di bidang ilmu pengetahuan,
seni, sastra, dan program komputer
� dalam penelitian kali ini akan membahas
lebih kepada hak cipta dalam
bidang lagu dan/atau musik) dinyatakan
sebagai asset atau kekayaan yang merupakan harta yang menjadi bagian strategis perusahaan yang berharga bagi kemajuan atau
kemunduran perusahaan. Akibat perkembangan pesat bisnis di bidang HKI dan waralaba atau franchise maka perjanjian HKI dalam berbagai bentuk perjanjian semakin popular saat ini(Sjaifurrachman &
Adjie, 2011).
Namun,
dalam kegiatan bisnis, tidak selalu
perjanjian-perjanjian tersebut
di atas di buat dan/atau ditandatangani di hadapan Notaris. Sering kali rancangan perjanjian tesebut dibuat oleh advokat nonlitigasi, corporate
lawyer, karyawan di bagian
hukum (legal department atau
legal division), atau oleh karyawan
di IP Departement (Intellectual Property
Department). Perjanjian HKI seringkali
bentuknya sudah dibakukan, telah disediakan oleh pemegang HKI, misalnya dalam perjanjian lisensi yang dilakukan antara perusahaan nasional dan perusahaan asing, beberapa ketentuan sudah ditentukan secara sepihak seperti ketentuan untuk memilih hukum
(choice of law) negara pemberi lisensi (licensor) jika terjadi sengketa yang bermuara ke pengadilan
atau arbitrase.
f.
Perjanjian Lisensi
Pada bulan Juli 2018 lalu, Pemerintah menerbitkan peraturan baru terkait perjanjian lisensi melalui Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual (PP 36/2018). Pada dasarnya,
lisensi ini telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan
lainnya dalam bidang hak kekayaan
intelektual, sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) PP 36/2018 bahwa pencatatan lisensi dilakukan terhadap objek kekayaan intelektual di beberapa bidang seperti(Sjaifurrachman & Adjie, 2011):
1) hak cipta dan hak terkait;
2) Paten;
3) merek;
4) desain industri;
5) desain
tata letak sirkuit terpadu;
6) rahasia dagang; dan
7) varietas tanaman.
Sebagai pemegang hak kekayaan
intelektual, Pemegang Hak Cipta berhak
untuk memberikan lisensi kepada pihak lain untuk melaksanakan hak eksklusif yang dimilikinya.
g. Perbedaan Perjanjian Sewa dengan Perjanjian Lisensi(Sjaifurrachman & Adjie, 2011)
Objek perjanjian sewa adalah barang berwujud
bergerak, seperti misalnya kendaraan, atau barang berwujud
tidak bergerak seperti misalnya rumah dan sebagainya. Sedangkan objek perjanjian lisensi HKI adalah barang tidak
berwujud (intangible assets) yang berupa hak cipta,
paten, merek, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu,
atau varietas tanaman yang masih memiliki hak cipta.
2.
Peranan Notaris dalam perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik
oleh pihak ketiga
a.
Perjanjian pemakaian (lisensi) lagu dan/atau musik
dalam bentuk Akta Dibawah Tangan
Pada
praktiknya saat ini, banyak sekali
pihak ketiga yang menggunakan lagu dan/atau music dari Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta
dengan menggunakan perjanjian dibawah tangan (tanpa akta
Notaris). Pembuatan perjanjian atas lagu yang dibuat di bawah tangan ini
biasanya telah disiapkan oleh pihak ketiga yang untuk mempermudah negosiasi perolehan dan pembagian hak ekonomi yang akan diterima oleh para pihak.
Perjanjian lisensi atas lagu
dan/atau musik memberikan keuntungan yang besar bagi kedua
belah pihak karena saat ini
perkembangan industri musik cukup pesat,
pasar yang besar membuat
para Pencipta lagu mengkomersialisasikan lagu dan/atau musik ciptaannya
melalui pihak ketiga dengan cara
memberikan lisensi untuk memperbanyak dan menjual kepada masyarakat luas.
Kebanyakan Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta
melakukan perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik
miliknya tidak menggunakan Akta Otentik adalah karena keterbatasan masalah biaya jasa
Notaris. Banyak Royalti lagu dan/atau musik
yang didapat dari pemakaian karya ciptaan tersebut tidak seberapa, sedangkan biaya jasa Notaris adalah
minimal 1% (satu perseratus)
dari jumlah nilai yang diperjanjikan. Misalkan dalam perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik adalah
sejumlah total Rp10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah), maka jasa Notaris
adalah sebesar Rp100.000,-
(serratus ribu rupiah). Jelas
hal itu sangatlah
tidak relevan dengan peran Notaris
sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat suatu
Akta Otentik, tetapi apabila biaya Jasa Notaris untuk per satu aktanya adalah sesuai dengan yang lazim digunakan selama ini, maka
jumlahnya akan memberatkan kedua belah pihak yang memperjanjikan. Bahkan terkadang ada yang menggunakan sebuah lagu dan/atau musik
milik Pencipta dan/atau Pemegang Hak
Cipta yang nilai royaltinya dibawah Rp5.000.000,- (lima juta rupiah), tentunya alasan para pihak selama ini
tidak menggunakan Akta Otentik dalam
pembuatan Perjanjian pemakaian (lisensi) lagu dan/atau music tersebut adalah karena masalah biaya yang memberatkan.
b.
Perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik
dalam bentuk Akta Otentik
Apabila
pada sub bab di atas disebutkan mengenai banyaknya Pencipta dan/atau Pemegang Hak
Cipta yang melakukan perjanjian lisensi pemakaian� lagu dan/atau musik tanpa
menggunakan Akta Otentik dengan pihak ketiga, maka
banyak juga industry musik atau perusahaan yang menggunakan lagu dan/atau musik milik
Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta
�dengan menggunakan Akta Otentik, dikarenakan mereka sadar betul
akan kekuatan pembuktian dari Akta Otentik tersebut.
Akan tetapi biasanya jumlah nominal dari royalty atas lagu dan/atau
musik yang digunakan tersebut biasanya juga sudah berjumlah nominal yang besar pembayaran royaltinya.
c.
Peranan Notaris dalam perjanjian
lisensi pemakaian lagu dan/atau musik
oleh pihak ketiga
Undang-undang
di bidang HKI memang tidak mewajibkan perjanjian di bidang HKI harus dibuat sebagai
akta autentik, namun demikian peran Notaris tetap
dibutuhkan masyarakat pengusaha yang akan melakukan perjanjian di bidang HKI secara notarial. Hal ini seiring dengan
perkembangan bisnis dan meningkatnya kesadaran pengusaha akan perlunya aka perjanjian yang memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dibandingkan perjanjian biasa, oleh karena itu Notaris
perlu mempersiapkan sumber daya manusia
dan kemampuannya untuk memahami hukum di bidang HKI.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa Perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik
yang dibuat tidak dengan menggunakan Akta Otentik memiliki
kekuatan pembuktian yang cukup tapi tidak
sekuat pembuktian dengan menggunakan Akta Otentik.
Dalam pembuatan perjanjian lisensi pemakaian lagu dan/atau musik
dengan pihak ketiga, peran penting
Notaris� tetap dibutuhkan dalam pembuatan perjanjian dalam bentuk Akta Otentik,
karena seiring dengan perkembangan bisnis dan meningkatnya kesadaran pengusaha akan perlunya akta
perjanjian yang memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dibandingkan
perjanjian biasa, oleh karena itu Notaris
perlu mempersiapkan sumber daya manusia
dan kemampuannya untuk memahami hukum di bidang HKI terutama dalam bidang Hak
Cipta lagu dan/atau musik.
Saran dari Penulis adalah sebaiknya setiap perjanjian lisensi pemakaian� lagu dan/atau musik oleh pihak ketiga menggunakan
Akta Otentik atau Akta Notarial, agar hak dan kewajiban masing-masing dapat terlaksana dengan baik dan potensi untuk pelanggarannya
lebih kecil dikarenakan Akta Otentik adalah Akta yang dibuat dan ditanda tangani di depan Pejabat Umum
yang berwenang, dalam hal ini adalah
Notaris. Apabila terkendala masalah biaya, maka dapat
disiasati seperti pembuatan Akta Kredit secara Notarial oleh Perbankan, yaitu dengan menggunakan ukuran jumlah atau
volume untuk pembuatan Aktanya,
sehingga bisa lebih menguntungkan kedua belah pihak.
BIBLIOGRAFI
Grafika,
Sinar. (2015). Undang-Undang Hak Cipta UU No. 28 tahun 2014.google scholar
Huduri,
Andi Nurlaila Amalia. (2020). Keabsahan Akta Otentik yang dibuat Oleh Notaris Pengganti
yang Para Pihaknya adalah Keluarga Notaris yang Digantikan. Mimbar Keadilan,
13(1), 32�43.google scholar
Mertokusumo,
Sudikno. (2003). Mengenal Hukum Selaku Pengantar. Yogyakrta: Liberty.google scholar
Rasuh,
Daryl John. (2016). Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal
1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Lex Privatum, 4(2).google scholar
Sjaifurrachman,
& Adjie, Habib. (2011). Aspek pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan
akta. Mandar Maju.google scholar
Subekti.
(1980). Pokok-pokok Hukum Perdata. jakarta: Intermasa.
Umbas,
Sita Arini. (2017). Kedudukan Akta Di Bawah Tangan yang Telah Dilegalisasi
Notaris Dalam Pembuktian di Pengadilan. Lex Crimen, 6(1).google scholar
Copyright holder: Rina Puspitasari,
Teddy Anggoro (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |