Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 3, Maret 2022
INTEGRASI LEKSIKON BAHASA JAWA KE
BAHASA BAWEAN (KAJIAN
SOSIOLINGUISTIK)
Liyana Dian Prastiwi
Mahasiswa Magister
Ilmu Linguistik-Fakultas Ilmu Budaya- Universitas Airlangga Surabaya
Email: Liyanadipra01@gmail.com
Abstrak
Bahasa Bawean memiliki
beberapa unsur bahasa lain di dalamnya, yang didominasi dengan Bahasa Madura,
terdapat pula unsur Bahasa jawa, Bahasa Indonesia hingga Bahasa Melayu. Hal
tersebut memunculkan pertanyaan bagaimana bentuk integrasi leksikon Bahasa Jawa
ke Bahasa Bawean dan bagaimana faktor penyebab terjadinya integrasi leksikon
Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan
bentuk integrasi leksikon dan faktor yang mengakibatkan integrasi leksikon
tersebut terjadi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
integrasi yang disampaikan oleh Mackey. Kemudian, metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan
teknik simak libat cakap dengan cakap semuka. Sedangkan metode yang digunakan
dalam penganalisisan data adalah metode padan, dengan teknik HBS dan HBB.Hasil
yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya leksikon-leksikon yang
berintegrasi ke Bahasa Bawean secara langsung dan leksikon yang berintegrasi
secara tidak langsung. Terdapat sembilan belas leksikon yang berintegrasi
secara langsung, dan terdapat enam belas leksikon yang berintegrasi secara
tidak langsung dengan mengalami beberapa perubahan. Baik itu perubahan bunyi,
hingga fungsi dari leksikon yang berintegrasi. Selain dari Bahasa Jawa, ada
pula unsur lain yang berintegrasi ke Bahasa Bawean, yakni Bahasa Melayu dan
Bahasa Indonesia. Kemudian, ditemukan pula faktor-faktor penyebab terjadinya
integrasi, yaitu faktor perkawinan, mata pencaharian, pendidikan, dan gengsi
dan gaya hidup.
Kata Kunci: integrasi; leksikon; bahasa
jawa; bahasa bawean
Abstract
Bawean language
has some elements of other language in it, dominated by Madura language, there
are also Javanese, Indonesian and Malay. That matter bring out the question of
how is the shape of the integration lexicon Javanese to Bawean language and how
is the cause elements that occurred integration lexicon Javanese to Bawean
Language to happen. This research�s purpose is to describe the shape of the
integration lexicon and the cause elements that occurred integration lexicon to
happen.Theory used in this research is an integration theory submitted by
Mackey. Then, the data collection methods used in this research is the method
and the method capable refer to techniques Engaged consider ably ably semuka.
While the methods used in analyzing the data is unified methods, techniques HBS
and HBB.The results found in this study is the lexicons that integrate directly
into Bawean language and lexicon that integrate indirectly. There are nineteen
lexicon that integrate directly, and there are sixteen lexicon integrate
indirectly to undergo some changes. Whether it changes the sound, to the function
of the integrated lexicon. Aside from the Java language, there are also other
elements that integrate into Bawean languages, namely Bahasa Melayu and Bahasa
Indonesia. Then, also found the factors that cause the occurrence of
integration, namely the factor of marriage, livelihood, education, and prestige
and lifestyle.
Keywords: integration; lexicon;
javanese; bawean language
Received: 2022-02-20; Accepted: 2022-02-05;
Published: 2022-03-10
Pendahuluan
Pulau Bawean merupakan pulau yang berada di 80 mil
laut sebelah utara Surabaya. Pulau tersebut memiliki nama yang beragam, mulai
dari Pulau Majdi, Pulau Majeti, Pulau Boyan, Pulau Datuk, Pulau Baweyan dan
Pulau Bawean. setiap nama dari pulau tersebut memiliki makna dan latar belakang
penamaan yang berbeda. seperti nama Pulau Majdi yang berasal dari Bahasa Arab
yang berarti uang logam. Nama tersebut diberikan karena bentuk pulaunya yang
bulat menyerupai uang logam. Kebudayaan Pulau Bawean sebelumnya sangat terpengaruh
oleh kebudayaan Madura. Namun, seiring berjalannya waktu kebudayaan Negeri
Jiran Malaysia justru mulai masuk dan kebudayaan Madura mulai ditanggalkan.
Secara letak geografis Pulau Bawean justru masih temasuk ke dalam Kabupaten
Gresik yang masyarakatnya merupakan penutur Bahasa Jawa.�
Pulau Bawean memiliki dua kecamatan, yakni Kecamatan
Sangkapura yang terletak dekat dengan dermaga Bawean dan Kecamatan Tambak.
Dalam penelitian Adriana yang berjudul �Bahasa Yang Digunakan di Pulau Bawean�
menyatakan bahwa di Kecamatan Tambak terdapat Desa Diponggo, yang bahasa
sehari-harinya memiliki kemiripan dengan Bahasa Jawa, yang dinamakan dengan
Bahasa Diponggo oleh masyarakat tuturnya. Berbeda dengan desa-desa yang berada
di Kecamatan Sangkapura, di mana bahasa sehari-hari masyarakatnya lebih mirip
dengan Bahasa Madura. Maka dengan alasan tersebutlah yang kemudian tidak
menutup kemungkinan adanya serapan atau peminjaman bahasa dari Bahasa Jawa
Dialeg Gresik ke Bahasa Bawean. Peminjaman Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Bawean
bisa dalam berbagai bentuk, yakni bisa sebagai bentuk alih kode atau campur
kode bagi masyarakat tutur yang bilangual atau multilingual, dapat pula dalam
bentuk interferensi dan integrasi. Interferensi disebut sebagai proses
pengacauan, maka integrasi merupakan proses di mana kosakata tertentu sudah
tidak lagi dianggap sebagai unsur pinjaman. Melainkan telah dianggap sebagai
bagian dari bahasa resipien. Contoh kata yang berintegrasi dari Bahasa Jawa ke
Bahasa Bawean adalah [sn] yang berarti saya. Integrasi bahasa
dapat terjadi secara langsung, maksudnya tidak terjadi perubahan pada kata
pinjaman, dan integrasi secara tidak langsung. Maksudnya adalah adanya proses
perubahan dari kosakata yang dipinjam hingga menjadi kosakata yang
berintegrasi. Status Pulau Bawean yang masih tergolong Kabupaten Gresik dapat
pula menjadi satu di antara faktor terjadnya peminjaman bahasa, bahkan
integrasi bahasa.
Meskipun Bahasa Bawean hingga saat ini juga sering
kali disamakan dengan Bahasa Madura, seperti yang djelaskan di atas. Namun,
tuturan yang diujarkan oleh masyarakat Bawean tersebut dapat disebut sebagai
Bahasa Bawean. Karena masyarakat Bawean sendiri merasa bahwa bahasa tersebut
adalah bahasa mereka sendiri. Meskipun secara linguistik Bahasa Madura dan Bahasa
Bawean tampak mirip, namun masyarakat Bawean tidak ingin bahasanya disamakan
dengan Bahasa Madura.
Bahasa Bawean juga belum mengenal ragam tulis baku 24
~ Pengantar Morfologi Bahasa Bawean seperti bahasa Madura dan Jawa baku.
Sehingga, seringkali ejaan kata yang mereka tuliskan cenderung tidak konsisten
karena memang bahasa Bawean tidak mengenal kaidah-kaidah bahasa tulis. Namun
demikian, masyarakat Bawean tetap saling memahami bahasanya walaupun dituliskan
dengan cara yang berbeda, dan tidak sesuai kaidah, misalnya ketika digunakan
dalam bentuk tulis di media sosial (Andayani, 2020).
Berdasarkan pejelasan di atas bahwa bahasa yang
digunakan sehari-hari oleh masyarakat Bawean adalah bahasa mereka sendiri, yang
kemudian mereka sebut bahasa tersebut dengan Bahasa Bebien itulah yang membuat
penelitian ini dikaji dari kaca mata Sosiolinguistik.
Metode Penelitian
Terdapat dua metode
yang digunakan dalam penelitian ini. Yakni metode simak
dan metode cakap. Metode simak merupakan
metode penyediaan data dengan cara menyimak.
Menyimak yang dimaksudkan adalah menyimak penggunaan bahasa oleh sumber data atau informan.Metode simak tidak hanya
dapat digunakan untuk penggunaan bahasa secara lisan.
Tapi juga dapat digunakan untuk penggunaan bahasa secara tulisan. Teknik yang digunakan
dalam metode tersebut adalah teknik simak libat
cakap. Teknik simak libat cakap dipilih
karena dirasa paling sesuai dengan keperluan
peneliti. Karena selagi peneliti menyimak pembicaraan, sewaktu-waktu peneliti juga perlu untuk turut berpartisipasi
dalam pembicaraan. Teknik simak libat cakap
tersebut didukung oleh teknik sadap, yang merupakan teknik dasar bagi metode
simak.Juga dilanjutkan dengan teknik catat, agar data yang sewaktu-waktu mucul tidak hilang.
Metode selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap.Metode
cakap merupakan metode pengumpulan data dengan dilakukannya percakapan antara peneliti
dengan informan. Teknik
yang digunakan dalam metode tersebut adalah teknik cakap semuka. Yakni peneliti langsung
melakukan percakapan secara tatap muka dengan informan sebagai pengguna bahasa
yang ingin diteliti. Teknik
cakap semuka diaplikasikan dengan menggunakan daftar tanyaan yang sudah
dipersiapkan. Kedua
metode tersebut digunakan agar terdapat lebih banyak data yang bisa didapatkan.
A.
Sumber
Data dan Data
Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Sungai Teluk,
Kecamatan Sangkapura.Sumber data pada penelitian kali ini harus merupakan
penduduk asli Desa Sungai Teluk yang tidak pernah tinggal di luar Pulau Bawean
(dalam kurun waktu bertahun-tahun).Agar data yang didapatkan adalah
murni.Sumber data juga bukan merupakan pendatang yang baru tinggal di Pulau
Bawean, khususnya Desa Sungai Teluk. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan masyarakat Desa Sungai Teluk dengan usia mulai
dari 15 tahun hingga orang dewasa, atau mulai pada usia yang dianggap telah matang dalam
berbahasa Bawean hingga orang dewasa yang masih berbahasa dengan baik, serta
sehat secara jasmani dan rohani.
Data penelitian ini adalah kosakata
Bahasa Jawa yang berintegrasi
ke dalam Bahasa Bawean.Kosakata tersebut diperoleh dari penutur Bahasa Bawean di Desa Sungai Teluk, Kecamatan Sangkapura.
B.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam metode tersebut
adalah teknik simak libat cakap.Teknik
simak libat cakap dipilih karena
dirasa paling sesuai dengan keperluan peneliti.Karena selagi peneliti menyimak pembicaraan, sewaktu-waktu peneliti juga perlu untuk turut berpartisipasi
dalam pembicaraan.Teknik simak libat cakap
tersebut didukung oleh teknik sadap, yang merupakan teknik dasar bagi metode
simak.Juga dilanjutkan dengan teknik catat,
agar data yang sewaktu-waktu mucul
tidak hilang.Teknik yang digunakan dalam metode tersebut adalah teknik cakap
semuka.
C.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
data kualitatif dengan menggunakan metode padan. Yakni dengan
metode padan intralingual,
yang merupakan model analisis
dengan cara menghubung-bandingkan unsur-unsur
yang bersifat lingual, baik
yang terdapat dalam satu bahasa maupun
dalam beberapa bahasa yang berbeda. dalam metode padan� tersebut terdapat teknik analisis data yang disebut dengan teknik Hubung
Banding Menyamakan (HBS), Hubung
Banding Memperbedakan (HBB), Hubung
Banding Menyamakan Hal Pokok
(HBSP). Dalam hal ini teknik yang digunakan hanya teknik HBS dan HBB saja.Teknik
tersebut digunakan untuk memilah kosakata
yang berintegrasi dan yang tidak
berintegrasi.Juga digunakan
untuk memilah kosakata integrasi langsung dan tidak langsung.
Hasil dan Pembahasan
A.
Integrasi Langsung
Integrasi merupakan unsur bahasa lain yang digunakan oleh masyarakat tutur tertentu, dan kemudian dianggap bagian dari bahasa
resipien atau masyarakat tutur itu sendiri. Jika suatu bahasa telah
dianggap sebagai warga bahasa dari
masyarakat tutur tertentu maka bahasa
tersebut sudah tidak lagi dianggap
sebagai bahasa serapan atau pinjaman.
Berikut merupakan bentuk leksikon Bahasa Jawa yang berintegrasi ke Bahasa Bawean secara langsung.
[bapa�] �Ayah�
Leksikon bapa��
ayah� merupakan unsur Bahasa Jawa yang kemudian berintegrasi ke dalam Bahasa
Bawean. leksikon tersebut berintegrasi secara langsung tanpa mengalami
perubahan bunyi. leksikon tersebut juga ditemukan dalam unsur Bahasa Madura
yang merupakan bagian dari Bahasa Bawean juga. Meski demikian, leksikon
tersebut tidak bisa dikatakan bentuk integrasi dari Bahasa Madura.Karena Bahasa
Madura merupakan unsur paling dominan yang ada dalam Bahasa Madura dan dianggap
sebagai dasar dari Bahasa Bawean.
[a�ar] �Baru�
Leksikon anyar yang berarti
�baru� tersebut merupakan bentuk leksikon Bahasa Jawa yang berintegrasi secara
langsung ke dalam Bahasa Bawean.leksikon a�ar�baru�
tidak ditemukan pada unsur bahasa lain yang juga menjadi bagian dari Bahasa
Bawean.
[ant\m]
�Hantam�
Leksikon ant\mmerupakan
satu lagi unsur Bahasa Jawa yang berintegrasi ke dalam Bahasa Bawean.leksikon
tersebut dikatakan bentuk integrasi dari Bahasa Jawa, karena pada unsur bahasa
lain yang ada dalam Bahasa Bawean tidak ditemukan leksikon serupa. Namun, pada unsur Bahasa Madura
yang juga bagian dari beberapa unsur bahasa lain yang ada dalam Bahasa Bawean terdapat leksikon yant\m.
[alas] �Hutan������
Leksikon alas berintegrasi dari Bahasa Jawa karena tidak ditemukan
dari unsur lain yang ada dalam Bahasa Bawean. alas merupakan penyebutan untuk kata �hutan�.
[\ma�]
�Ibu�
Leksikon\ma��ibu�, selain
dalam Bahasa Jawa juga ditemukan dalam Bahasa Madura.Namun, leksikon tersebut tetap dikatakan sebagai bentuk integrasi dari Bahasa Jawa, karena unsur Bahasa Madura dianggap debagai dasar dari Bahasa Bawean.
[p\t\�] �Kabut�
p\t\�merupakan
leksikon yang dianggap beritegrasi dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Bawean,
karena penutur mengucapkan leksikon tersebut tanpa ada penggandaan konsonan. Jika leksikon tersebut merupakan unsur Bahasa Madura, maka pengucapannya adalah p\t\�.
[apadhu] �
berkelahi�
Leksikon apadhu merupakan
unsur Bahasa Jawa yang berintegrasi ke dalam Bahasa Bawean secara
langsung.Dasar kata tersebut adalah padhu dan bunyi [a] di awal memiliki makna
�sedang�.
[la�t] �Laut�
Seperti leksikon-leksikon sebelumnya, yang dianggap berintegrasi ke dalam Bahasa Bawean, karena tidak terdapat
pada unsur bahasa lain selain unsur Bahasa Jawa.
[m\r\s]� �Peras�
Leksikon m\r\s dikatakan berintegrasi
dari Bahasa Jawa karena saat penyebutannya penutur tidak menggunakan konsonan
rangkap pada konsonan [r].Jika penutur mengucapkan m\rr\s
maka bisa saja leksikon tersebut merupakan unsur Bahasa Madura.
[�s�n]
�Saya�
�s�n merupakan satu di antara leksikon-leksikon yang langsung dapat dipastikan bahwa merupakan bentuk integrasi leksikon dari Bahasa Jawa. Leksikon tersebut digunakan oleh masyarakat tutur Bahasa Jawa di beberapa desa di Kota Gresik, itulah mengapa leksikon terebut dianggap sebagai bentuk integrasi leksikon dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean.
[mbun-mbunan]
�Ubun-Ubun�
Ubun-ubun dalam Bahasa
Bawean disebut dengan mbun-mbunan.Leksikon tersebut digunakan pula oleh para
penutur Bahasa Jawa, yang berarti bahwa leksikon yang mbun-mbunan dalam Bahasa
Bawean merupakan bentuk integrasi dari Bahasa Jawa.
[P�nakan] �anak
kakak�
Terdapat dua versi untuk
penyebutan �keponakan� dalam Bahasa Jawa, yakni p�nakan dan P�nakan.Namun,
yang berintegrasi ke dalam Bahasa Bawean adalah leksikon P�nakan.Leksikon
tersebut, dalam Bahasa Bawean digunakan untuk menyebut anak dari kakak, anak
dari adik dan anak dari adik ayah.
[mbah]���� �Kakek�
Dalam Bahasa Jawa mbah
digunakan untuk memanggil kakek atau nenek.Namun, setelah berintegrasi ke
Bahasa Bawean di bahasa tersebut leksikon mbah digunakan untuk memanggil kakek
saja. Karena masyarakat Desa Sungai Teluk menyebut nenek dengan sebutan
uwa� Selain mbah ada pula yang memanggi kakek dan nenek dengan sebutan
at��.
[s�r�p] �Terbenam�
Berbeda dengan leksikon
sebelumnya, tanpa ada sedikitpun perubahan, leksikon yang satu ini langsung
berintegrasi secara utuh dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean.
[�\l�nc�r]
�Jalan-jalan�
Leksikon jalan-jalan yang
disebut dengan �\l�nc�r
oleh masyarakat Desa Sungai Teluk, sama seperti biasanya masyarakat tutur
Bahasa jawa menyebutnya.Leksikon yang berintegrasi tersebut muncul secara tidak
sengaja saat peneliti sedang berbincang dengan keluarga dari informan mengenai
wisata menarik yang terdapat di Pulau Bawean, yang rupanya leksikon tersebut
tidak terdaftar dalam daftar tanyaan.
[lat-latan] �Langit-langit�
lat-latan adalah leksikon
yang sama yang digunakan
oleh penutur Bahasa Jawa
dan Bahasa Bawean untuk menyebutkan langit-langit mulut. Kesamaan tersebut yang menyebabkan leksikon tersebut dianggap sebagai bentuk integrasi leksikon dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean.
[s\paro]
�Sebelah�
Leksikon s\paroadalah
leksikon yang dtemukan secara tidak sengaja saat penutur atau informan sedang
berdiskusi dengan orang lain di sekitarnya, di mana leksikon yang berintegrasi
dan menjadi warga bahasa dalam Bahasa Bawean tersebut tidak terdaftar dalam
daftar tanyaan.
Jadi,
sembilan belas leksikon tersebut dikatakan telah berintegrasi dari Bahasa Jawa
ke Bahasa bawean, karena secara keseluruhan serupa dengan Bahasa Jawa.Leksikon
tersebut digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat tuturnya, yakni
masyarakat Desa Sungai Teluk, Kecamatan Sangkapura- Bawean.
B.
Integrasi Tidak Langsung
Integrasi leksikon Bahasa Jawa yang ditemukan pada Bahasa Bawean bukan hanya
terjadi pada leksikon yang secara langsung berintegrasi, seperti yang telah tertera pada penjelasan
di atas.
Namun, ditemukan pula leksikon-leksikon yang dianggap berintegrasi dengan adanya perubahan bunyi yang terjadi.
Bentuk leksikon yang berintegrasi
secara tidak langsung dan mengalami perubahan bunyi tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
[g\nta�] �Baring�
Dalam Bahasa Indonesia kata g\nta� memiliki makna �baring�. Lekikon tersbeut� diklasifiksaikan ke dalam bentuk leksikon
yang berintegrasi secara tidak langsung, karena terdapat bunyi yang berbeda
g\nta� = �g\nta�
Maka, dapat
dilihat jika perubahan yang terjadi pada leksikon tersebut adalah dari
hilangnya tambahan [�] yang ada pada �baring� dalam Bahasa Jawa.��
[al�ssah-l�ssah/��ssa-��ssa�]
�cuci�
Dalam Bahasa Bawean atau yang
disebut dengan Bahasa Bebien oleh
masyarakat tuturnya al�ssah-l�ssah memiliki makna �mencuci baju�. Sedangkan ��ssa-��ssa� memiliki makna �mencuci
piring�. Leksikon tersebut memiliki kemiripan dengan leksikon dalam Bahasa
Jawa, yakni isa-isa yang artinya
mencuci piring.
��ssa-��ssa� = isa-isa
Tambahan [�] dalam Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean tidak mengubah makna dari
leksikon tersebut. Selain tambahan [�] terdapat bunyi yang berubah,
yakni bunyi [i] dalam Bahasa Jawa, menajdi [�] dalam Bahasa Bawean. Sedangkan [�] yang terdapat pada leksikon ��ssa-��ssa� tidak dapat dipisah.
Karena [�] pada leksikon tersebut tidak memiliki makna tersendiri ketika
dipisahkan.
[ju�kaak\n] �Dorong�
Jika pada Bahasa Jawa
sufiks �ak\n menunjukkan sufiks �kan
dalam Bahasa Indonesia. Seperti pada
kata, pundut yang berarti �ambil
dipasangkan dengan sufiks ak\n yang berarti �kan�, akan menjadi pundutak\n yang berarti �ambilkan�.
Maka demikian pula yang terjadi pada Bahasa Bawean. Seperti kata ju�kaak\n. Uniknya, terdapat dua unsur bahasa yang berbeda dalam satu leksikon
tersebut.� Leksikon ju�ka serupa dengan Bahasa
Madura, yakni jungka� yang berarti �dorong�
dan ak\n yang merupakan sufiks dalam Bahasa Jawa. Fungsi sufiks tersebut
setelah berintegrasi dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean tidak berubah, yakni
membuat kata kerja yang disandingnya menjadi kata kerja pasif seperti,
jungkaak\n = dorongkan
ant�lak\n = lemparkan
� b\k\n = di berikan (merupakan kata dasar b\ri+ak\n=b\k\n)
Jadi dapat disimpulkan bahwa sufiks tersebut
merupakan unsur Bahasa Jawa yang kemudian berintegrasi ke Bahasa Bawean dan
dianggap sebagai Bawean itu sendiri meski tetap dengan fungsi yang sama.
�[�aghus��] �Gosok�
Berbeda dengan sufiks
dalam Bahasa Bawan yang merupakan hasil integrasi dari Bahasa Jawa di atas,
yang membuat leksikon �aghus��tersebut berubah karena
awalan [ �a ] yang digunakan oleh
masyarakat tutur Bahasa Bawean di Desa Sungai Teluk, Sangkapura. Jika dalam
Bahasa Jawa, leksikon yang memiliki makna �gosok� tersebut disebut dengan �g�s��. Maka bunyi [�] berubah menjadi [�a] setelah mendapat
tambahan bunyi [a] setelah [�].
Selain itu, perubahan
yang terjadi pada leksikon tersebut adalah bunyi [�] ke bunyi [u]. Hasilnya
adalah leksikon �g�s�� berintegrasi ke dalam
Bahasa Bawean menjadi �aghus��. Awalan [�a] pada leksikon tersebut bukanlah prefiks yang membuat kata
dasarnya mampu berdiri sendiri. Namun, leksikon �aghus��merupakan satu-kesatuan
yang utuh.
[�l�]
�Kepala�
Leksikon �l� merupakan bentuk integrasi leksikon dari Bahasa Jawa dengan� perubahan hilangnya bunyi [p] pada leksikon
tersbebut, yakni dari p�l�dalam Bahasa Jawa menjadi �l�dalam Bahasa
Bawean.�
[bulikat] �Punggung�
bulikat merupakan Bahasa Bawean
yang berintegrasi ke Bahasa Bawean dengan beberapa perubahan.
w\likat��������������� �������������� �bulikat
perubahan yang terjadi dapat dilihat pada bunyi [w] yang kemudian
menjadi [b] setelah berintegrasi. Selanjutnya ada pula [\] yang berubah menjadi
[u]. Perubahan dari bunyi [b] ke bunyi [w] mudah saja terjadi. Sebab keduanya
merupakan fonem konsonan bilabial.�
[s\kuti�]
�Sedikit�
Selanjutnya adalah kata
�sedikit�, yang dalam Bahasa Bawean disebut dengan s\kuti�. Kata atau leksikon
tersebut mengalami beberapa perubahan. Pertama adalah bunyi [k] dan [u] di
tengah leksikon. Jika dalam Bahasa Jawa, kata sedikit disebut dengan s\titi�. Artinya, yang berubah pada leksikon tersebut
adalah dari [t] berubah ke [k] dan dari [i] berubah ke [u].
[bulu gid\p]
�Bulu mata�
bulu gid\p jika diartikan dalam
Bahasa Indonesia memiliki arti �bulu mata�. Leksikon gid\p dianggap sebagai bentuk integrasi leksikon dari
Bahasa Jawa, karena serupa dengan bahasa tersebut. Masyarakat tutur Bahasa Jawa
menyebut bulu mata dengan sebutan id\p.���
gid\p ������������������ id\p
perubahan yang tampak
adalah hadirnya bunyi [g] setelah leksikon tersebut masuk sebagai warga bahasa
dalam Bahasa Bawean.
[j\riji�] �Jari�
j\riji�merupakan Bahasa Bawean yang artinya adalah �jari�. Kata j\riji�dianggap berintegrasi
dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Bawean. Integrasi tersebut melalui proses
perubahan, yakni dengan berubahnya bunyi awal dari kata atau leksikon tersebut,
yakni seperti berikut
d\riji������������������� j\riji�
Bunyi awal yang berubah
adalah bunyi [d] yang kemudian berubah menjadi [j]. Selain itu terdapat
tambahan pula di belakang leksikon, yakni tambahan bunyi [�].
[�nj\n]
�Ayun�
Leksikon tersebut merupakan bentuk integrasi
leksikon selanjutnya yang berintegrasi dari Bahasa Jawa. Untuk kata �ayun�
masyarakat Bawean menyebutnya �nj\n. Dikatakan berintegrasi dari Bahasa Jawa, karena
dalam Bahasa Jawa kata menyebut sebuah permainan �ayunan� dengan �njan-�nj\n. Disebut demikian karena permainannya yang
mengayun. Berdasarkan hal tersebutlah leksikon �nj\n dinyatakan brintegrasi.
�[ta��] � Bangun�
Perbedaan bunyi akhir
pada leksikon ta��di atas, yaitu bunyi [ � ] merupakan bentuk perubahan bunyi [i] dari leksikon ta�i yang merupakan leksikon
Bahasa Jawa. Keserupaan unsur Bahasa Jawa dan Bahasa Bawean tersebut yang� menyebabkan leksikon tersebut dianggap
berintegrasi dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean. [k�cap] �Kunyah�
k�cap yang dimaksud pada subjudul tersebut bukanlah �kecap�
yang biasa digunakan untuk tambahan masakan agar lebih nikmat. Leksikon
tersebut jika diartikan adalah kata �kunyah�. Leksikon tersebut disebut
berintegrasi karena serupa dengan leksikon �k\cap� dari Bahasa Jawa. Terdapat satu bunyi yang
membedakan kedua leksikon tersebut, yakni�
perubahan bunyi [\] ke bunyi [�], dari leksikon k\cap BJ ke leksikon�
k�cap BB.
�[m\l\dhu�]
�Letus (me)�
Dalam kosakata Bahasa
Jawa dapat ditemukan leksikon m\l\d�s yang tampak sedikit berbeda dengan kata m\l\dhu�yang merupakan Bahasa Bawean. Leksikon tersebut kemudian dianggap
beintegrasi dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean dengan perubahan pada [dh],
bunyi [u], dan bunyi [�] yag awalnya merupakan
bunyi [d], bunyi [�] dan bunyi [s].
[kar\k\p/�ar�kk\p] �Peluk�
Jika pada Bahasa Jawa
terdapat leksikon k\r\k\p yang artinya adalah �peluk�. Maka dalam Bahasa
Bawean terdapat leksikon kar\k\p yang hanya berbeda satu
bunyi dengan leksikon dari Bahasa Jawa, yakni bunyi [ \ ] ke bunyi [a].
Perubahan satu bunyi tersebut yang membuat leksikon kar\k\p dianggap sebagai satu
di antara bentuk integrasi leksikon dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean.
[�arayu] �Bujuk�
Leksikon �arayu yang digunakan oleh masyarakat tutur Bahasa
Bawean untuk menyebutkan kata �merayu� tersebut serupa dengan Bahasa Jawa.
Namun, terdapat perbedaan di bagian awal leksikon, yakni jika pada Bahasa Jawa
disebut dengan �\rayu dalam Bahasa Bawean disebut dengan �arayu. Maka perubahan yang
tampak adalah bunyi [�] dan bunyi [�+a]. Meski demikian
makna dan fungsi leksikon tersebut tidak mengalami perubahan.
[m\ndh\li�] �delik (me)�
Seperti leksikon yang lain pula, leksikon m\ndh\li� merupakan leksikon yang berintegrasi dari Bahasa Jawa ke Bahasa
Bawean secara langsung.� Terdapat sedikit
perbedaan pada leksikon tersebut setelah berintegrasi ke dalam Bahasa Bawean,
yakni bunyi [dh] yang pada Bahasa Jawa menggunaka [d] biasa. [k\ll\m] �Tenggelam�
Leksikon k\ll\m juga beritegrasi dari Bahasa Jawa ke
Bahasa Bawean secara langsung. Tanpa ada perubahan, leksikon tersebut digunakan
oleh masyarakat Desa Sungai Teluk sebagai bahasa sehari-hari mereka.
[n\� k�n�] �Hari ini&Sekarang�
Dalam Bahasa Jawa
leksikon n\� k�n�mengartikan lokasi atau
pernyataan suatu tempat yang dekat dengan seorang pembicara, yaitu �di sini�.
Dalam Bahasa Baweanleksikon tersebut justru memiliki fungsi yang menyatakan
waktu, yakni �hari ini� dan �sekarang�. Ketika penutur menyebutkan leksikon tersebut,
secara fonetis sama persis seperti saat penutur Bahasa Jawa mengucapkannya.
Hanya saja dengan logat
Berdasarkan uraian dari leksikon-leksikon
di atas, diketahui bahwa perubahan yang terjadi pada leksikon-leksikon yang
dianggap berintegrasi dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean tersebut sangat
beragam. Ada leksikon yang� hanya
mengalami satu perubahan bunyi, ada pula yang berubah hingga tiga bunyi.
Bunyi-bunyi yang mengalami perubahan di beberapa leksikon di antaranya adalah
bunyi [�], [a], [l], [�], [w], [\], [p], [k], [i], [g], [d], [i], [\], dan bunyi aspirat seperti [dh], [gh].
Kedua bunyi aspirat tersebut tidak terdapat pada leksikon Bahasa Jawa. Namun,
muncul setelah leksikon berintegrasi ke Bahasa Bawean. leksikon terssebut
adalah leksikon [m\ndh\li�] yang dalam Bahasa Jawa adalah [m\nd\li�]. Perubahan bunyi dari bunyi [d] biasa ke bunyi [dh]
merupakan bentuk penyesuaian dari Bahasa Madura yang di dalamnya terdapat
banyak lekskon yang mengandung bunyi aspirat. Hasil dari penyesuaian tersebut
kemudian menjadi ciri dari Bahasa Bawean. Selain bunyi aspirat terdapat pula
perangkapan konsonan pada leksikon yang berintegrasi dari Bahasa Jawa. Seperti
leksikon [k\ll\m], yang dari Bahasa Jawa adalah [k\l\m]. Sama halnya dengan bunyi aspirat yang telah dibahas,
perangkapan bunyi konsonan tersebut juga dianggap bentuk penyesuaian dari
Bahasa Madura yang dilakukan oleh penutur Bahasa Bawean. Karena perangkapan
konsonan sangat jarang ditemukan di Bahasa Jawa, dan banyak ditemukan di Bahasa
Madura. Selain itu, ditemukan pula sufiks Bahasa Jawa yang berintegrasi ke
dalam Bahasa Bawean. Sufiks tersebut adalah sufiks ak\n. Jika dalam Bahasa Jawa sufiks tersebut dituturkan saat penutur
sedang menggunakan Bahasa Jawa alusan. Namun,
dalam Bahasa Bawean, sufiks tersebut digunakan untuk bahasa sehari-hari oleh
masyarakat Desa Sungai Teluk-Kecamatan Sangkapura, dalam artian bukan tergolong
bahasa yang halus dalam Bahasa Bawean. Selain sufiks, terdapat pula leksikon
yang beralih fungsi dari Bahasa aslinya. Leksikon n\� k�n�sekilas tampak persis
dengan Bahasa Jawa jika diucapkan. Namun, jika diulang berkali-kali dalam
pengucapan Bahasa Jawa dan Bahasa Bawean, ada bunyi vokal yang berbeda antara
keduanya. Jika dalam Bahasa Bawean menggunakan bunyi [ � ] dalam kata k�n�menjadi n\� k�n�. Sedangkan dalam Bahasa Jawa, yang dianggap sebagai bahasa aslinya
menggunakan bunyi [ \ ] dan menjadi k\n\, yaitu antara n\� k�n�dan n\� k\n\. Meski hanya satu bunyi yang berbeda, namun seperti yang
dikatakan di awal, bahwa leksikon tersebut berbeda fungsi setelah berintegrasi
dan masuk menjadi warga bahasa dalam Bahasa Bawean. Jika dalam Bahasa Jawa
leksikon tersebut memiliki makna yang menjelaskan lokasi, yaitu �di sini�. Maka
dalam Bahasa Bawean leksikon tersebut menjelaskan waktu, yaitu �sekarang� dan
�hari ini�.� Hal tersebut berhubungan
dengan proses integrasinya leksikon tersebut. Perubahan bunyi hingga fungsi
tersebut bisa saja terjadi karena proses integrai yang ada pada
leksikon-leksikon tersebut berbeda-beda. Secara teori, integrasi bahasa
memiliki beberapa proses. Menurut Chaer (2004), Proses sebuah unsur bahasa yang pada awalnya merupakan unsur bahasa
pinjaman akan membutuhkan waktu yang lama untuk unsur tersebut dapat
berintegrasi. Dalam hal ini, proses yang paling dominan ditemukan adalah proses
integrasi Audial. Proses Integrasi
Audial sendiri merupakan integrasi yang mula-mula
penutur mendengar butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya,
lalu mencoba menggunakannya. Apa yang terdengar oleh telinga itulah yang
diujarkan lalu dituliskan. Oleh karena itu, kosa kata yang diterima oleh audial
sering kali menampakkan ciri ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosakata
aslinya. Selain itu, terdapat satu leksikon yang melalui proses integrasi
penerjemahan konsep, yakni leksikonn\�
k�n�yang dalam Bahasa Bawean artinya adalah �sekarang�
dan �hari ini�. Dalam Bahasa Jawa makna dari leksikon tersebut menunjukkan
lokasi. Namun, lokasi yang dimaksukan oleh seorang penutur Bahasa Jawa saat dia
mengucapkan leksikon tersebut adalah lokasi yang �saat ini� sedang ia tempati.
Konsep �saat ini� yang digunakan oleh masyarakat tutur BahasaJawa itulah yang
kemudian diterjemahkan atau diadopsi oleh masyarakat tutur Bahasa Bawean,
khususnya masyarakat Desa Sungai Teluk, Kecamatan Sangkapura. Konsep �saat ini�
yang digunakan dalam Bahasa Bawean menjadikan leksikon n\�
k�n�memiliki makna �sekarang� dan �hari ini�.
Selain leksikon-leksikon yang berintegrasi
dari Bahasa Jawa, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Ditemukan
pula unsur Bahasa Indonesia dan sedikit unsur Bahasa Melayu yang terdapat dalam
Bahasa Bawean. Leksikon-leksikon tersebut adalah abu, akar, anak, angin,
tali,apa, awan, baru, benih, binatang, bintang, buah, bulu, buru, debu, ekor,
hidung, hijau, jantung, kami, kita, kanan, karena, kiri, kotor, mata, merah,
napas, panas, siang, tanah, bahu, bibir, kerongkongan, ompong, paru-paru, pinggang,
pinggul, tungkai, abang, ayun, congkak, ladang, mandi, naik, putus, telungkup,
pernah. Juga ada leksikon yang berintegrasi dari Bahasa Melayu, yakni leksikon �ci� dan at��.
Jika dipresentasekan maka
hasilnya adalah sebagai berikut.
Bahasa
Jawa:
Bahasa
Indonesia:
Bahasa
Melayu:
Berdasarkan presantase tersebut tampak bahwa integrasi yang paling
dominan adalah integrasi leksikon dari Bahasa Indonesia, yakni mencapai 11,5 %.
Sedangkan dari Bahasa Jawa hanya 8,75 % dan dari Bahasa Melayu 0,005% saja.
Selebihnya adalah kosa kata dasar dari Bahasa Bawean, yakni Bahasa Madura. Hal
tersebut membuktikan bahwa Bahasa Bawean masih bisa dikatakan asli, karena
unsur Bahasa Jawa yang ada di dalamnya masih sangat kurang dari 50%.Terjadinya integrasi leksikon seperti yang telah
dijelaskan di atas, tidak terlepas dari adanya faktor-faktor yang menyebabkan
integrasi tersebut terjadi. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat tiga faktor
yang memicu terjadinya integrasi tersebut.
C. Faktor integrasi
1. Faktor
Perkawinan
Faktor
perkawinan merupakan satu faktor yang terbilang cukup kuat dalam mempengaruhi
terjadinya integrasi Bahasa Jawa pada Bahasa Bawean. Karena, tidak sedikit dari
masyarakat Bawean, khususnya penduduk Kecamatan Sangkapura yang menikah dengan
orang dari luar Pulau Bawean, yang merupakan penutur Bahasa Jawa. Meski ada
pula yang menikah dengan orang Madura, namun tidak sedikit pula yang menikah
dengan seorang penutur Bahasa Jawa seperti orang dari Kabupaten Lamongan,
Malang, Gresik, Sidoarjo. Setelah menikah dengan orang Bawean, banyak dari
masyarakat luar Bawean tersebut yang memutuskan untuk menetap di Pulau Bawean.
Dari segi berbahasa tentu mereka akan membutuhkan waktu untuk beradaptasi atau
belajar secara perlahan dalam menggunakan Bahasa Bawean. Setelah bisa Berbahasa
Bawean, tentu mereka lebih memilih untuk menggunakan Bahasa Bawean sebagai
bahasa sehari-harinya di pulau tersebut. Namun, saat mereka berkomunikasi
dengan seseorang yang datang dari Jawa, sebagaian dari mereka masih memilih
menggunakan Bahasa Jawa untuk berkomunikasi. Namun, ada pula yang memilih untuk
tetap menggunakan Bahasa Bawean. Jika dibandingkan, lebih banyak mereka yang
memilih menggunakan Bahasa Jawa dari pada yang menggunakan Bahasa Bawean.
Proses belajar Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean yang sudah dijelaskan di atas yang
kemungkinan menjadi pemicu adanya integrasi bahasa khususnya leksikon yang
terjadi pada Bahasa Jawa ke Bahasa Baean.
2.
Faktor Mata Pencaharian
Pulau
Bawean disebut juga dengan pulau putri, hal tersebut karena banyak kepala
keluarga juga pemuda-pemuda lelaki Bawean yang memilih untuk bekerja di luar Pulau
Bawean. Mulai dari luar kota, luar pulau hingga ke luar negeri., dan sudah
dilakukan sejak sekitar tahun 1930-an. Sehingga pada waktu itu, yang menghuni
Pulau Bawean kebanyakan kaum perempuan dan anak-anak saja.� Tidak sedikit orang Bawean yang bekerja di
luar negeri, mulai dari Malaysia, Singapura, hingga Brunai Darussalam.
Kebiasaan merantau tersebut bisa menjadi pemicu penyerapan bahasa asing yang
kemudian berlanjut pada tahap integrasi bahasa. Seperti yang ditemukan pada
hasil penelitian, bahwa dalam unsur kekerabatan terdapat leksikon yang
merupakan bentuk integrasi leksikon dari bahasa melayu ke Bahasa Bawean, yaitu
leksikon at��dan ci� untuk penyebutan kakek, paman dan bibik. Dikatakan
berintegrasi, karena diketahui dalam Bahasa Melayu at��digunakan untuk penyebutan kakek, mak ci�untuk penyebutan bibik dan pak ci�untuk
penyebutan paman. Selain itu, mata pencaharian dalam bidang berdagang juga bisa
saja menjadi satu faktor terjadinya integrasi bahasa. Karena para pendatang
yang telah menikah dengan masyarakat asli bawean banyak yang memilih berdagang
sebagai mata pencaharian mereka. Pada malam hari, di alun-alun kecamatan
Sangkapura, banyak dari para pedagang makanan di sana adalah orang Jawa yang
menetap di Bawean setelah menikah dengan warga asli Bawean. Maka dari itu
faktor mata pencaharian dianggap menjadi satu di antara faktor terjadinya
integrasi bahasa khususnya dalam bentuk leksikon dari Bahasa Jawa ke Bahasa
Bawean.
3.
Faktor Pendidikan
Pulau Bawean merupakan pulau kecil yang jika
dekililingi dengan menggunakan kendaraan bermotor hanya membutuhkan waktu dua
jam saja. Pulau Bawean hanya memiliki sekolah-sekolah SD, SMP, dan SMA/SMK saja
untuk pendidikannya, baik negeri maupun swasta. Maka dari itu, banyak dari
pemuda Bawean yang ingin melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan harus
merantau ke kota, diantaranya adalah Kota Gresik dan Surabaya. Mengenyam
pendidikan di bangku perkuliahan membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni 2-4
tahun lamanya. Dalam kurun waktu yang tidak sebentar tersebut, tentunya ada
pengaruh Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Gresik dan Surabaya. Itulah
mengapa faktor pendidikan menjadi faktor yang diduga sebagai faktor terjadinya
integrasi leksikon dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean.
4.
Faktor Gengsi/Gaya Hidup
Faktor gengsi atau gaya hidup diduga sebagai satu di
anatara faktor terjadinya integrasi karena mobilitas masyarakat Bawean yang
cukup tinggi. Gaya hidup masyarakat Bawean tidak kalah dengan masyarakat di
kota-kota besar. Bagi masyarakat Bawean yang mampu, mereka lebih memilih menata
kehidupan lain di Kota. Maksudnya adalah, ketika masyarakat Bawean memiliki
kekayaan yang cukup untuk dipergunakan membeli tanah dan membangun sebuah
rumah, mereka lebih memilih untuk membangung rumah di kota, yakni di Kota
Gresik, meskipun Pulau Bawean sendiri merupakan bagian dari Kota Gresik
tersebut. Kemudian, memutuskan untuk hidup mondar-mandir antara Kota Gresik dan
Pulau Bawean. Masyarakat bawean yang seperti itu biasanya adalah mereka yang di
Pulau Bawean sudah memiliki ladang penghasilan yang matang. Seperti keluarga
yang satu di antara anggota keluarganya adalah seorang perantau, pemilik toko
besar, dan pengusaha penginapan. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya gengsi
yang seperti membatasi bahwa Gresik adalah kota dan Bawean adalah bukan, meski
Bawean merupakan bagian dari Kota Gresik itu sendiri. Letak geografis yang
berdekatan antara Kota Gresik dengan Pulau Bawean pula yang kemudian membuat
mereka�� memilih untuk mondar-mandir.
Gaya hidup yangdemikian itulah yang dianggap juga sebagai faktor terjadinya
integrasi Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean.
Demikian adalah bentuk integrasi leksikon juga
proses berintegrasinya leksikon. Juga faktor-faktor penyebab terjadinya
integrasi Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean yang terjadi pada Masyarakat Desa Sungai
Teluk Kecamatan Sangkapura-Bawean.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
Integrasi Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean yang terjadi pada masyarakat Desa Sungai
Teluk Kecamatan Sangkapura, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut: 1). Terdapat dua
puluh satu leksikon yang berintegrasi secara langsung dari Bahasa Jawa ke
Bahasa Bawean. leksikon tersebut adalah bapa�, a�ar, ant\m,
alas, p\t\�, aphadhu, la�t, l\bar, m\r\s, �s�n, mbun-mbunan, P�nakan, mbah, �arayu, s�r�p, �\l�nc�r,
lat-latan,s\paro. Terdapat pula leksikon-leksikon yang berintegrasi secara tidak
langsung dari Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean. leksikon tersebut adalah �g\nta�� ke g\nta� dengan perubahan bunyi [�] yang tidak digunakan di Bahasa Bawean. isa-isa ke al�ssa-l�ssa dengan tiga perubahan bunyi, yakni [a] [l] [�] dengan bunyi [i], dan konsonan rangkap [s].� sufiks ak\n, leksikon �g�s��ke
�aghuss��dengan
perubahan bunyi [�]
menjad [�a]
dan [gh]. ��P�l�ke
�l�, dengan
hilangnya bunyi [p].w\likat�� ke bulikat, dengan bunyi [w] [e] ke bunyi [b] [u]. Leksikon s\titi�ke �s\kuti�dengan perubahan bunyi [t] [i] dan [k] [u]. �id\p ke bulu gid\p, yakni dengan penambahan bunyi [g] di awal leksikon.� d\riji ke j\riji�, dengan perubahan bunyi [d] ke bunyi
[j]. onjan-onj\n ke �onj\n
dengan
dibuangnya leksikon awalnya. ta�i ke ta��dengan perubahan [i] ke bunyi [�].� �k\cap ke k�cap, dengan perubahan bunyi [\] ke [�].� �mb\ledh�s
ke
m\l\dhu, dengan
perubahan bunyi [�] ke [u].� �\r\k\p menjadi �ar\k\p, dengan perubahan bunyi [\] ke [a]. �m\nd\li�menjadi m\ndh\li�, dengan perubahan bunyi [dh]nya. k\l\m menjadi k\ll\m, dengan perangkapan konsonan [l] dan �n\�
k\n\menjadi n\�
k�n�dengan perubahan bunyi [\]
ke [�]. Perubahan bunyi yang berbeda dari
Bahasa Jawa ke Bahasa Bawean adalah bunyi konsonan [d] dan [g] yang berubah
menjadi bunyi aspirat. Yang menjadi ciri dari Bahasa Bawean Hal tersebut
merupakan bentuk penyesuaian dengan Bahasa Madura yang sudah dianggap sebagai
bahasa dasar dari Bahasa Bebien oleh
masyarakat tuturnya. 2). Faktor penyebab terjadinya integrasi leksikon Bahasa Jawa ke
Bahasa Bawean pada masyarakat Desa Sungai Teluk Kecamatan Sangkapura ada empat
faktor. Pertama adalah faktor perkawinan, yakni adanya perkawinan antara
masyarakat� asli Bawean dengan masyarakat
luar Bawean Khususnya orang �Jawa�. Kedua adalah faktor pendidikan, yaitu
banyaknya pemuda-pemudi Bawean yang mengenyam pendidikan perkuliahan di Kota
besar yang berbahasa Jawa seperti Kota Gresik dan Surabaya. Ketiga adalah
faktor mata pencaharian, yaitu banyaknya lelaki Bawean yang merantau ke luar
Pulau Bawea dan perdagangan yang dilakukan oleh pendatang dari Jawa. Terakhir
adalah faktor gengi/gaya hidup, yaitu banyaknya masyarakat Bawean yang lebih
memilih untuk membangun rumah di Kota Gresik dan hidup mondar-mandir antara
Kota Gresik- Bawean.
BIBLIOGRAFI
Aslinda. Stafyahya, Leni. 2014. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika Aditama.
Andayani, S.SS, M.HUM, Sri. 2020.Pengantar
Morfologi Bahasa Bawean. Lamongan: Pagan Press.
Bhatia, Tej K.
2013. The Handbook of Bilingualism and Multilingualism (Second Edition).
West Sussex: Blackwell Publishing.
Chaer, Abdul. Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2010. Morfologi Bahasa Indonesia
Pendekatan Proses. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Firmansyah, Muhammad Arif. Interfrensi dan Integrasi Bahasa: Kajian Sosiolinguistik. 2021. Surabaya: Paramasastra.
Listiyoningsih, Ari. 2008. Interferensi dan Integrasi Dalam Kolom-Kolom Edan Prei G.S �Hidup Bukan
Hanya Urusan Perut�. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Puspa Ruriana,
Iqbal Nurul A, dan Sri Pamungkas. Interferensi Dan Integrasi Bahasa. http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-
kemerdekaan/interferensi-dan-integrasi/ diunduh tanggal 24 Maret 2012.
Rohkman, Fatur.
2013. Sosiolinguistik:Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat
Kultural. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Suwandi, Sarwiji.
2010. Serbalinguistik. Surakarta: Sebelas Maret University Press
Sholihah, Rizki
Amalia. 2018. Kontak Bahasa: Kedwibahasaan, Alih Kode, Campur Kode, Interfrensi,
Integrasi. Ponorogo: Annual International Conference on Islamic Education.
Suwito. 1985.
Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henary Cipta.
Utami, Tri. 2017. Integrasi Bahasa Inggris
ke Bahasa Indonesia Dalam Pembelajaran Sosiolinguistik di
PBI FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara UNIVET Sukoharjo. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Waluyo, Herman J.
2008. Hand Out Perkuliahan: Sosiolinguistik. Surakarta: PPS UNS
Surakarta.
Weinrich, Uriel.
1970. Language in Contact: Finding and Problems. Paris: The Hague
Copyright
holder: Liyana Dian Prastiwi (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |