Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 3, Maret 2022
FENOMENA TUKANG PARKIR DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI
Imanuel Tenau
STPK St. Benediktus, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pekerjaan yang sederhana selalu dipandang sebelah mata tetapi
manfaatnya sangat besar bagi kehidupan sesama yang lain. Kesederhanaan pekerjaan begitu banyak yang bisa dilakukan dalam keseharian hidup manusia, seperti pembantu rumah tangga, pembersih halaman rumah, pembersih taman kota, cleaning servis, satpam, tukang parkir, dan lain sebagainya. Jenis penelitian ini ialah penelitian
fenomenologi.� Penelitian ini peneliti menggunakan penelitian fenomenologis deskriptif. Peneliti menggunakan penelitian tersebut untuk menggali hakekat dan kesadaran murni para subjek tentang pengalaman perjumpaan yang menjadi ruang perjumpaan
etis dengan wajah yang lain. Paradigma tukang
parkir dalam metodologi penelitian fenomenologi�
sangat unik dan khas, sehingga hasil penelitian ini membuktikan
fenomenologi dapat dikatakan membawa�
perubahan pada wajah ilmu pengetahuan secara umum. Jadi, tukang parkir
menjadi sebuah fenomena kehidupan sosial yang dapat diuji melalui penelitian
fenomenologi ini. Akhirnya berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikemukakan
beberapa hal sebagai fenomena tukang parkir tukang
parkir mengkonstruksi realitas sosial kehidupan mereka berdasarkan sudut pandang mereka sendiri, sehingga membentuk suatu model konstruksi sosialnya tersendiri.
Kata
Kunci: fenomena tukang
parkir; fenomelogi; pekerjaan
Abstract
A simple job is always looked at one eye but the benefits
are enormous for the lives of others. The simplicity of so much work that can
be done in the daily life of humans, such as housekeepers, yard cleaners, city
garden cleaners, service cleaning, security guards, parking attendants, and so
on. �This type of research is phenomenological
research.� The researchers used
descriptive phenomenological research. Researchers used the study to explore
the pure nature and awareness of subjects about the experience of encounters
that became ethical encounter spaces with other faces. �The paradigm of parking in
phenomenological research methodology is very unique and distinctive, so the
results of this study prove phenomenology can be said to bring changes in the
face of science in general. So, parking becomes a phenomenon of social life
that can be tested through this phenomenological research. �Finally,
based on the above descriptions can be put forward several things as the
phenomenon of parking parking attendants constructing
the social reality of their lives based on their own point of view, thus
forming a model of social construction of its own.
Keywords: the phenomenon of parking; phenomelogy;
work
Received:
2022-02-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-03-11
Pendahuluan
Pekerjaan yang sederhana
selalu dipandang sebelah mata tetapi manfaatnya sangat besar bagi kehidupan
sesama yang lain. Kesederhanaan pekerjaan begitu banyak yang bisa dilakukan
dalam keseharian hidup manusia, seperti pembantu rumah tangga, pembersih
halaman rumah, pembersih taman kota, cleaning servis, satpam, tukang parkir,
dan lain sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut merupakan sebuah fenomena di
dalam kehidupan manusia untuk dapat melangsungkan dinamika kehidupan di dunia
ini. Dengan fenomena pekerjaan demikian menjadi menarik untuk dapat didalami,
ditelurusi, digali agar menjadi suatu pengetahuan yang berharga dalam dinamika
kehidupan manusia.
Dunia perpakiran mempunyai aturan tersendiri untuk dapat
melangsungkan pekerjaan tersebut. Aturan yang pasti ialah masuk dan keluarnya
kendaraan tentu mendengar perintah dari mereka, serta berparkir secara rapi.
Pekerjaan dan iramanya yang sederhana tidak membuat para tukang parkir putus asa,
bosan tetapi dengan setia menjalankannya walaupun kadang-kadang mereka pun
dimarahi, tidak dibayar karcis parkir.Keramahan mereka dalam menjalani
pekerjaan ini dapat memberi nilai hidup yang sangat bermanfaat bagi sesama yang
lain.
Penelitian ini mencoba memahami fenomena kerja tukang parkir.
Kerja tukang parkir merupakan satu dari keberagaman pekerjaan sederhana yang
dapat dilakukan oleh manusia. Kesederhaan pekerjaan merupakan sebuah realitas
sosial yang dapat bermanfaat pula bagi kehidupan sosial manusia pada
umumnya.Jika dibayangkan kalau tidak ada pekerja sebagai tukang parkir tentu
berdampak pada dunia perparkiran yang bisa dilihat seperti sesama manusia tidak
saling menghargai, tidak mengalah satu sama lain, tidak saling berpengertian
satu sama lain dan akhirnya berparkirpun sembarangan atau tidak teratur.
Begitupun sebaliknya jika ada tukang parkir semua kendaraan diatur dengan baik,
secara rapi dan masuk dan keluarnya kendaraan berjalan lancar atau tidak
terjadi tabrakan. Di sini secara tidak langsung tukang parkir mengajak manusia
untuk saling memahami, saling menghargai dalam mengemudi kendaraan.
A. Perilaku Tukang Parkir: Perspektif Teoritis
Dalam
penelitian objektif-kuantitatif (deduktif), teori berfungsi sebagai landasan
penelitian yang penting dan terus membayang-bayang peneliti hingga akhir
penelitian, sedangkan penelitian interpretatif-kualitatif (subjektif) peneliti
harus membebaskan diri dari �tawanan� suatu teori. Secara
konseptual-paradigmatis, peneliti kualitatif harus membebaskan dirinya dari
tawaran suatu teori. Akan tetapi seperangkat teori perlu dijelaskan sebagai
sebuah arahan atau pedoman peneliti untuk dapat mengungkapkan fenomena agar
lebih terfokus. Sekumpulan teori ini dikembangkan sejalan dengan penelitian itu
berlangsung. Hal tersebut didasarkan pada suatu tradisi bahwa fokus atau
masalah penelitian diharapkan berkembang sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Penelitian kualitatif mementingkan perspektif emik, dan bergerak dari fakta,
informasi atau peristiwa menuju ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi serta
bukan sebaliknya dari teori atau konsep ke fakta atau informasi.
Satu teori
dengan teori lainya bukan sebagai suatu urutan dari �teori agung� (grand
theory), �teori menengah� (middle range theory) atau �teori terapan�
(applied theory), melainkan sebagai suatu kumpulan teori yang
menjelaskan keterkaitannya satu sama lain. Pengambilan sejumlah teori tersebut
menurut pertimbangan peneliti sangat relevan dengan konteks dan fokus penelitian
tentang tukang parkir ini.
Dibawah ini
ada beberapa teori yang memberi arahan untuk dapat menjelaskan fenomena tukang
parkir sebagai berikut:
� Teori tindakan sosial dari Max Weber
� Fenomenologi dari Alfred Schutz
� Konstruksi realitas secara sosial dari Peter Berger dan Thomas
Luckmann
� Interaksi Simbolik dari George Herbert Mead dan Herbert Blumer
� Dramaturgi dari Erving Goffman
� Manajemen Komunikasi dari Michael Kaye
Rujukan teori
tersebut merupakan suatu pendekatan pemikiran untuk menjelaskan bagaimana
realitas tukang parkir secara subjektif atau apa yang dirasakan dan diamati
pada pengemis �itu sendiri. Peneliti
berupaya menjelaskan dari sudut pandang teori-teori tersebut dengan asumsi
teori-teori tersebut saling melengkapi.
1. Teori Tindakan Sosial Max Weber
Perilaku para
tukang parkir merupakan suatu perilaku sosial lainnya yang terdapat dalam
realitasnya. Weber menyebut perilaku sosial sebagai tindakan sosial. Max Weber
merupakan salah seorang perintis sosiologi dari Jerman yang lahir pada tahun
1864 dan meninggal tahun 1920, berpengaruh besar dalam lahirnya pemahaman mengenai
ketertarikan antara etika Protestan dan munculnya kapitalisme di Eropa Barat.
Selain itu, Weber juga memulai konsep �tindakan sosial� dengan memberi acuan
bagi dikembangkannya teori sosiologi yang membahas mengenai interaksi sosial (Weber, 1984).
Menurut Weber
tidak semua tindakan manusia disebut sebagai tindakan sosial. Tindakan hanya
dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dapat mempertimbangkan
perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Jadi, tindakan
sosial merupakan perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi
perilakunya. Tindakan sosial (social action) menurut Weber ialah �action
which �takes account of the behaviour of others and is there by oriented in its
course�. Social action, then, is subjectively meaningfull behaviour which is
influenced by or oriented towards the behaviour of others�.
Dengan
demikian, tindakan sosial merupakan perilaku subjektif yang bermakna� dapat ditunjukkan untuk mepengaruhi atau
berorientasi pada perilaku orang lain. Di sini menjadi jelas bahwa tindakan
tukang parkir merupakan suatu tindakan sosial yang ditunjukan oleh perilaku
subjektif tukang parkir dalam mempengaruhi orang lain terutama calon
pengendara.
2. Teori Fenomenologi Alfred Schutz
Pemikiran
Weber tentang tindakan sosial ini menarik perhatian Alfred Schutz, sosiolog
yang lahir di Vienna tahun 1899, terutama ketika melahirkan pemikiran tentang
dasar metodologis dalam ilmu sosial, seperti dijelaskan oleh George Walsh,
dalam pengantar buku Schutz berjudul The Phenomenology of The Social World:
�Schutz became interested quite early in the work of the greatest of German
Sociologist, Max Weber, especially in the latter�s attempt to establish a
consistent methodological foundation for the social sciences�.
Fondasi
metodologis di dalam ilmu sosial berdasarkan pemikiran Schutz dikenal dengan
studi fenomenologis yang sebenarnya tidak lain merupakan kritikan Schutz
tentang pemikiran Weber. Schutz setuju dengan pemikiran Weber tentang pengalaman
dan perilaku manusia (human being) dalam dunia sosial keseharian sebagai
realitas yang bermakna secara sosial. Schutz menyebut manusia yang berprilaku
tersebut sebagai �aktor�. Ketika seseorang melihat, mendengarkan apa yang
dikatakan atau diperbuat aktor, dia akan memahami makna dari tindakan tersebut.
Dalam dunia sosial hal demikian disebut sebagai sebuah �realitas interpretif�.
Bagi Schutz pemahaman
utama kaum fenomenologis ialah menganalisis dan merekonstruksi dunia kehidupan
manusia �sebenarnya� dalam bentuk yang mereka sendiri alami. Realitas dunia
tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa anggota masyarakat berbagi
persepsi dasar mengenai dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi
dan memungkinkan mereka melakukan interaksi atau komunikasi. Disinilah Schutz menyetujui
argumentasi Weber tentang fenomena sosial dalam bentuknya yang ideal harus dipahami
secara tepat. Karena itu, Schutz bukan hanya menerima pandangan Weber saja,
melainkan lebih menekankan bahwa ilmu sosial secara esensial tertarik pada
tindakan sosial (social action).
Konsep
�sosial�dimaksud dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih
orang, sedangkan konsep �tindakan� didefinisikan sebagai perilaku yang
membentuk makna subjektif (subjective meaning). Namun menurut Schutz
makna subjektif tersebut bukan ada pada dunia privat, personal atau individual,
melainkan makna subjektif yang terbentuk dalam dunia sosial oleh aktor berupa
sebuah �kesamaan� dan �kebersamaan� (common and shared) di antara para
aktor. Disnilah sebuah makna subjektif disebut sebagai �intersubjektif�, sebab
bagi Schutz memahami dunia sosial sebagai data historis atau harus dilihat secara
historis. Dengan demikian, Schutz menyimpulkan bahwa tindakan sosial merupakan
tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu,
sekarang dan akan datang (Schutz,
2012).
Schutz
selanjutnya menjelaskan bahwa melihat ke depan pada masa yang akan datang
merupakan hal yang esensial bagi konsep tindakan atau action. Tindakan
adalah perilaku yang diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang
telah ditetapkan (determinate). Kalimat tersebut sebenarnya mengandung
makna bahwa seseorang memiliki masa lalu (pastness). Artinya tujuan
tindakan memiliki elemen ke masa depan (futurity) dan elemen ke masa
lalu (pastness). Untuk menggambarkan tujuan suatu tindakan sosial
seseorang cukup kompleks, Schutz meminjam istilah tata bahasa dengan menyebut in
the future perfect tense. Sementara itu, suatu tindakan dapat berupa
�tindakan yang sedang berlangsung� (the action in progress), dan
�tindakan yang telah lengkap� (the complected act). Dengan demikian, Schutz
menyebutkan bahwa �the completed act thus pictured in the future perfect
tense as the project of the action�. Apa yang disebut sebagai suatu
�proyek� atau Schutz menjelaskan bahwa �is the act which is the goal of the
action and which is brought into being by the action�.
Proyek adalah
sebuah makna yang rumit atau makna yang kontekstual. Karena itu, untuk menggambarkan
keseluruhan tindakan seseorang, perlu di beri fase. Di sini terdapat dua fase
yang diusulkan Schutz dengan diberi nama tindakan in-order-to motive yang
merujuk pada masa akan datang dan tindakan because-motive yang merujuk
pada masa lalu. Ia mencontohkan: jika seseorang membuka mantel ketika hujan turun,
maka motif pertama (�motif-untuk�) akan berupa pernyataan �menjaga baju tetap
kering�; sedangkan motif kedua (�motif-sebab�) dengan melihat pengalaman dan
pengetahuan sebelumnya tentang bagaimana akibatnya pada baju jika hujan tanpa
mantel, seperti yang digambarkan sebagai pernyataan �agar baju tidak basah�.
Scott dan
Lyman menjelaskan bahwa istilah motives lebih bekonotasi kajian
psikologis, sedangkan sebagai sosiolog mereka mengusulkan istilah yang khas
sosiolog: accounts. Walaupun penjelasakan istilah yang dikemukakan
mereka agak berbeda dengan pengertian motif dari Schutz. Scott dan Lyman
menyebutkan terdapat dua tipe accounts, yaitu pernyataan maaf (excuses)
dan pembenaran (justifications). Tipe pertama sebagai pengakuan atas
tindakan yang buruk, salah, atau tidak layak, sedangkan tipe kedua ialah
pengakuan tentang tanggung jawab penuh atas tindakan yang dipertanyakan (Lyman & Scott, 2017).
Dalam konteks
fenomenologis tukang parkir adalah aktor yang melakukan tindakan sosial
(mengatur parkiran) bersama aktor lainnya sehingga memiliki historisitas yang
dapat dilihat dalam bentuk alami. Pemikiran Schutz tukang parkir sebagai aktor
mungkin memiliki salah satu dari dua motif, yaitu motif yang berorientasi ke
masa depan (in order to motive); dan motif berorientasi ke masa lalu (because
motives). Tentu saja motif tersebut akan menentukan penilaian terhadap
dirinya sendiri dalam statusnya sebagai tukang parkir. Meminjam pemikiran Scott
dan Lyam, mungkin saja� mereka tidak
merasa sebagai tukang parkir, dengan mengajukan pembelaan diri dengan
mengemukakan alasan tertentu atau bahkan mungkin secara jujur dan penuh percaya
diri menyatakan sebagai tukang parkir melalui pembenaran (justifications).
Kondisi ini juga akan menentukan gambaran tukang parkir menurut mereka sendiri
terhadap �masa yang akan datang dan harapannya� ataupun alasan �masa lalu yang
mengakibatkan mereka menjadi tukang parkir�.
3. Teori Konstruksi Realitas secara Sosial Peter Berger dan Thomas �Luckmann
Peter Berger
merupakan salah seorang murid dari Schutz yang tertarik pada pembahasan tentang
konstruksi realitas secara sosial. Ia mampu mengembangkan model teoritis lain
mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk. Ia menganggap realitas sosial eksis
dengan sendirinya dan struktur dunia sosial bergantung pada manusia yang
menjadi subjeknya. Dengan demikian, bagi Berger realitas sosial secara objektif
memang ada seperti pada perspektif fungsionalis, tetapi maknanya berasal dari
hubungan subjektif (individu) dengan dunia objektif (suatu perpektif
interaksionis simbolis) (Berger, 2018).
Berger dan Thomas
Luckmann bersama-sama menuangkan pemikiran tentang konstruksi sosial dalam buku
berjudul The Social Construction of Reality. Di dalam karya ini mereka menyebutkan
bahwa seseorang hidup dalam kehidupannya mengembangkan suatu perilaku yang
repetitif, yang mereka sebut sebagai �kebiasaan� (habits) (Berger, 2018). Kebiasaan ini memungkinkan seseorang mengatasi suatu situasi
secara otomatis. Kebiasaan seseorang ini berguna juga untuk orang lain. Dalam
situasi komunikasi interpersonal, para partisipan saling mengamati dan merespon
kebiasaan orang lain. Cara merespon demikian membuat semua partisipan dapat
mengantisipasi dan menggantungkan diri pada kebiasaan orang lain. Karena
kebiasaan ini, seseorang dapat membangun komunikasi dengan orang lain disesuaikan
dengan tipe-tipe orang, yang disebut sebagai pengkhasan (typication).
Dengan berjalannya waktu, kenyataan selanjutnya, beberapa kebiasaan menjadi
milik bersama seluruh anggota masyarakat, maka terbentuklah sebuah lembaga (institution).
Dalam studi tentang tukang parkir, maka persoalannya adalah bagaimana para tukang
parkir mengkategorikan dirinya sendiri, sesama tukang parkir, dan bagaimana
mereka mengembangkan lembaga keparkiran dengan seperangkat nilai, norma dan
aturan yang mereka anut bersama.
Institusi
memungkinkan berkembangnya suatu peranan atau kumpulan perilaku yang terbiasa (habitual
behavior) dihubungkan dengan harapan-harapan individu yang terlibat. Ketika
seseorang memainkan suatu peranan yang ia adopsi dari perilaku yang terbiasa, serta
orang lain berinteraksi dengannya sebagai suatu bagian dari institusi tersebut
ketimbang sebagai individu yang unik. Pada institusi tersebut juga berkembang
apa yang disebut sebagai hukum (law). Hukum dapat mengatur berbagai
peranan dalam konstruksi realitas sosial.
Oleh karena itu,
aktor dapat menetapkan hukum berprilaku, sementara institusi menjadi sebuah
kendali sosial. Jika kendali sosial ini akan dipertahankan dalam waktu lama,
maka generasi berikutnya harus diajari untuk berpartisipasi dalam institusi
oleh para orang tua mereka. Dengan demikian, institusi tersebut akan terlegitimasi
dan terpelihara melalui tradisi dan edukasi. Jika suatu institusi bertahan
dalam waktu lama, masyarakat dapat lupa bagaimana institusi tersebut selalu
dapat eksis, kondisi ini akan �menjadi kembali� (come to be) seperti
pada awal terbentuknya. Kondisi ini disebut sebagai �pembendaan� (reification),
dan institusi dikatakan �dibendakan� (reified).
Mengikuti
pemikiran Berger dan Luckmann dapat dijelaskan bahwa perilaku tukang parkir
sebagai aktor yang dipandang memilki sebuah kebiasaan (habits). Oleh
karena itu, para tukang parkir dapat mengenali satu sama lain kekhasan mereka,
serta mereka dapat berinteraksi melalui komunikasi verbal maupun nonverbal yang
mengantarnya untuk mengembangkan suatu ikatan secara psikologis dan sosial
dalam suatu kelompok atau institusi (institution). Melalui kelompoknya
ini para tukang parkir berprilaku sesuai dengan peran yang dimainkannya dan
mereka dapat mengembangkan aturan-aturan (rules). Aturan ini terbentuk
dari perilaku yang terbiasa (habitual behavior) dan harapan-harapannya,
bahkan bukan tidak mungkin mereka akan membentuk suatu ikatan profesi. Dengan
demikian, untuk mempertahankan eksistensi mereka, maka ketertarikan para para
tukang parkir di dalam kelompoknya ini akan diwariskan kepada generasi
berikutnya melalui tradisi atau pembelajaran.
4. Teori Interaksi Simbolik George Herbert Mead & Herbert Blumer
Fenomena
perilaku para tukang parkir dapat dilihat pula dari pandangan teori interaksi simbolik.
Teori interaksi simbolik ini dapat dicetuskan George Herbert Mead (1863-1931)
di Amerika mirip dengan tradisi sosiologi Eropa yang dipelopori Weber
(1864-1920) dengan �teori tindakan sosial�(Payne,
2016). Perspektif interaksi simbolik mengandung dasar pemikiran yang
sama dengan teori tindakan sosial tentang �makna subjektif� (subjective
meaning) dari perilaku manusia, proses sosial dan pragmatismenya. Meskipun
terdapat beberapa versi interaksionisme simbolik dalam pemaparan kualitatif
yang bersumber dari pemikiran fenomenologis Herbert Blumer, seorang mahasiswa
Mead yang mengumpulkan bahan kuliah Mead, dan dialah yang mengukuhkan teori
interaksi simbolik sebagai suatu kajian ilmiah tentang berbagai aspek subjektif
manusia dalam kehidupan sosial.
Blumer (Meltzer, Petras, & Reynolds, 2020) mengungkapkan tiga premis yang mendasari pemikiran
interaksionisme simbolik, yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang
ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna tersebut berasal dari �interaksi sosial seseorang dengan
orang lain�
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial
berlangsung.
Jerome Manis
dan Bernard Melzer (Manis & Meltzer, 1994) memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan
metodologis dari interaksi simbolik:
1. People understand things by assigning meaning to their experience.
Human perception is always medicted by a filter of symbols.
2. Meanings are learned in interaction between people. Meaning arise
from the exchange of symbols in social groups.
3. All social structures and interaction are created by people interacting
with one another.
4. Individual behavior is not strictly determined by prior events,
but is voluntary.
5. Mind consists or internal conversation, with reflects interactions
one has bad with others.
6. Behavior is enacted, or created in social group in the course of
interaction
7. One cannot understand human experience by observing overt
behavior. People�s undertandings, their meanings, for events must be
ascertained.
Di sini interaksi
simbolik berasumsi bahwa manusia dapat mengerti berbagai hal dengan belajar
dari penglaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol. Makna
dapat dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang, dan makna tersebut
muncul karena adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok sosial. Pada sisi
lain, interaksi simbolik memandang bahwa seluruh struktur dan intuisi sosial
diciptakan oleh adanya interaksi di antara orang-orang. Selain itu, tingkah
laku seseorang tidak mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau
saja, melainkan dapat juga dilakukan dengan sengaja.
Dalam konteks
komunikasi interpersonal, interaksi simbolik menjelaskan bahwa pikiran
tersendiri dari sebuah percakapan internal yang merefleksikan interaksi yang
telah terjadi antara seseorang dengan orang lain. Sementara itu, tingkah laku
terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi. Namun
demikian, seseorang tidak dapat memahami pengalaman orang lain dengan hanya
mengamati tingkah lakunya belaka. Pemahaman dan pengertian seseorang akan
berbagai hal harus diketahui secara pasti.
Melihat
ketiga premis dan ketujuh ciri di atas terdapat esensi bahwa komunikasi atau
pertukaran simbol yang diberi makna merupakan suatu aktivitas yang khas di
antara manusia. Selain itu, seseorang akan menjadi manusiawi hanya melalui
interaksi dengan sesamanya. Interaksi yang terjadi antara manusia akan
membentuk masyarakat. Manusia secara aktif membentuk perilakunya sendiri.
Kesadaran dan pikiran melibatkan interaksi manusia dengan dirinya sendiri. Studi
tentang perilaku manusia berdasarkan perspektif� interaksi simbolik membutuhkan
pemahaman tentang tindakan tersembunyi manusia itu, bukan sekedar tindakan luar
yang terlihat. Memahami makna, simbol dan tindakan yang tersembunyi menurut
interaksionalisme simbolik ini memerlukan metode penelitian kualitatif. Sifat
dan kondisi alamiah dari subjek yang diteliti, seperti dengan memberi mereka
kesempatan atau membiarkan mereka berbicara atau berperilaku apa adanya
sebagaimana yang mereka kehendaki akan memungkinkan munculnya perilaku
tersembunyi ini.
Mead menjelaskan bahwa kemampuan manusia dapat merespon simbol-simbol
di antara mereka ketika berinteraksi membawa penjelasan interaksionalime
simbolik kepada konsep tentang diri (self). Menurut Mead secara sosial
seseorang dapat melakukan tindakan kepada dirinya sendiri, seperti juga kepada
orang lain. Ia dapat memuji dirinya atau menyalahkan dirinya atau mendorong
dirinya sendiri; ia berbagi dirinya dengan dirinya sendiri, menghukumi dirinya
sendiri dan seterusnya. Dengan kata lain, seseorang dapat menjadikan dirinya
sebagai objek tindakannya sendiri. Diri (the self) terbentuk dengan cara
yang sama sebagai objek, melalui �definisi� yang dibuat bersama orang lain.
Mekanisme
seseorang dapat melihat dirinya sendiri sebagai objek ialah pengambilan peran
dengan melibatkan proses komunikasi, khususnya melalui gerakan vokal atau
berbicara. Pengembangan diri tersebut berbarengan dengan pengembangan kemampuan
dirinya dalam pengambilan peran. Disinilah peranan bahasa sangat menentukan.
Bahasa atau simbol-simbol signifikan inilah yang diperlukan seseorang untuk
memperoleh makna atau definisi segala sesuatu yang berada di sekitarnya. Dengan
mempelajari simbol-simbol kelompoknya, seseorang dapat menginternalisasikan
definisi suatu kejadian atau suatu benda tertentu ke dalam dirinya sendiri,
termasuk definisi yang dibuatnya sendiri.
Mead menyebutkan
bahwa pengembangan diri secara jelas dapat diamati pada anak-anak. Menurutnya
pengembangan diri terdiri dari dua tahap yaitu play stage (tahap
permainan) dan Game Stage (tahap pertandingan). Misalnya: tahap
permainan adalah saat anak bermain seperti ibu, guru, penjaga toki, tukang pos,
dan sebagainya. Hal ini merupakan pengambilan peran yang mendasar untuk memungkinkan
anak melihat dirinya sendiri dari perspektif orang lain yang dianggap penting. Pada
tahap pertandingan melengkapi tahap diri sebelumnya yaitu dengan mengambil
peran orang lain secara umum yaitu masyarakat. Pada tahap inilah anak memasuki
komunitasnya, ketika ia menjadi individu yang sesungguhnya. Ia dapat memainkan
peran sebanyak mungkin peran bergantung pada perspektif orang yang dijumpainya.
Dengan demikian, kata Meltzer bahwa terdapat satu tahap persiapan yang tidak
secara eksplisit disebut oleh Mead yaitu preparatory stage (tahap persiapan).
Tahap ini merupakan salah satu tahap peniruan yang tidak bermakna ole anak.
Misalnya: ketika anak sedang �membaca� surat kabar.
Menurut Mead
sebagai suatu proses sosial diri terdiri daru dua fase yaitu �I� (aku) dan �Me�
(daku). �Aku� merupakan kecenderungan individu yang implusif, spontan,
pengalaman tidak terorganisasikan atau dengan kata lain merepresentasikan
kecenderungan individu yang tidak terarah,�
sedangkan �Daku� menunjukkan individu yang bekerjasama dengan orang
lain, meliputi seperangkat sikap dan definisi berdasarkan pengertian serta
harapan dari orang lain atau dapat diterima dalam kelompok. Dalam beberapa
situasi �Daku� melibatkan orang lain secara umum dan sesekali beberapa orang
tertentu. �Aku� karena spontanitasnya potensial untuk menciptakan aktivitas
yang baru dan akreatif; sedangkan �Daku� sebagai pengatur memunculkan individu
kepada aktivitas yang terarahkan dan serasi.
Pemikiran
interaksi simbolik ini menjadi dasar untuk menjelaskan bagaimana makna atas
simbol-simbol yang tukang parkir pahami dan pikirkan menentukan tindakan
mereka. Makna atas simbol yang mereka pahami akan semakin sempurna oleh karena
interaksi di antara sesama tukang parkir atau antara tukang parkir dengan
individu atau kelompok lain yang bukan tukang parkir, seperti pengendara yang
memarkir kendaraannya. Simbol-simbol yang diciptakan, dipikirkan dan dipahami
mereka merupakan bahasa mengikat aktivitas diantara mereka dan dengan kelompok
di luar mereka. Oleh karena itu, bahasa tersebut akan membentuk perilaku
komunikasi yang khas di kalangan tukang parkir dan tukang parkir dengan
individu atau komunitas di luarnya. Pandangan interaksi simbolik membantu
menjelaskan bagaimana tukang parkir memandang dirinya sendiri. Selain itu,
bagaimana tukang parkir melakukan tindakan perparkirannya berdasarkan pandangan
atas dirinya, baik pandangan diri sendiri maupun pandangan orang lain terhadap
dirinya. Melalui pemahaman ini akan diketahui apakah tukang parkir memandang
dirinya sebagai pribadi yang kreatif, impulsif, dan spontan, atau �Daku� yang menjaga keserasian
dan keterarahan pada harapan yang dapat diterima orang lain di dalam
kelompoknya atau orang yang ditemuinya.
5. Teori Dramaturgi Erving Goffman
Perilaku tukang
parkir mempresentasikan diri sedemikian rupa sehingga �layak� seperti tukang
parkir bahkan �profesional�. Varian interaksi simbolik yang sangat relevan
menjelaskan fenomena tersebut ialah perspektif dramaturgi dari (Goffman,
1959). Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi
mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang dapat diterima orang lain. Ia
menyebut upaya tersebut sebagai impression management (pengolahan kesan)
yaitu teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi
tertentu sehingga mencapai tujuan tertentu. Untuk menimbulkan kesan tertentu,
seseorang akan mempresentasikan dirinya dengan atribut, atau tindakan tertentu,
termasuk pakaian, tempat tinggal, perabotan rumah tangga, cara berjalan, gaya
berbicara, dan sebagainya. Ketika berinteraksi atau berkomunikasi seseorang
akan mengola dirinya agar tampak seperti apa yang dikehendakinya, sementara
juga orang lain yang menjadi mitra komunikasinya melakukan hal yang sama. Oleh
karena itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain, sehingga ia
menjadi aktor yang menunjukkan penampilannya untuk membuat kesan bagi lawannya:
�people are actors, structuring their performances to make impressions on
audiences�(Littlejohn & Foss, 2010).
Goffman tidak
memusatkan perhatiannya pada struktur sosial seperti kaum fungsionalisme
struktural, tetapi ia lebih tertarik pada interaksi tatap muka (face-to face
interaction) atau kehadiran bersama (co-presence) para aktor.
Interaksi tatap muka didefinisikan sebagai: �reciprocal influence of
individuals upon one another�s actions when in one another�s immediate physical
presence. Jadi, interaksi tatap muka terjadi pada individu-individu yang
saling mempengaruhi ketika masing-masing berhadapan secara fisik.
Dalam
interaksi tersebut biasanya terdapat suatu arena yang terdiri dari serangkaian
tindakan individu itu. Seluruh kegiatan dari individu dalam suatu situasi
sosial disebut sebagai performa (performance). Performa dijelskan
Goffman sebagai: �the activity of a given participant on a given occasion
which serve to influence in any way of the other participants�. Para aktor
adalah mereka yang melakukan tindakan atau performa rutin. Rutin didefinisikan
Goffman sebagai: �pre-established pattern of action which is unfoded during
a performance and which may be presented or played through on other occasions�.
Dalam
membahas performa, Goffman menjelaskan bahwa seorang aktor dapat menyajikan
suatu pertunjukan (show) bagi orang lain, akan tetapi kesan (impression)
aktor tersebut terhadap pertunjukan ini dapat berbeda. Seorang aktor dapat
merasa sangat yakin akan tindakan yang diperlihatkannya, atau juga bersifat
sinis terhadap pertunjukan itu. Dalam interaksi sehari-hari, biasanya seorang
aktor dilihat bersama tindakannya, dan penonton menerima pertunjukan itu.
Goffman
mengemukakan bahwa dalam dua performa perlu dibedakan dua panggung yaitu
panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan merupakan bagian performa
individu yang secara teratur berfungsi dalam aturan umum dan tetap dapat
didefinisikan oleh mereka yang menyaksikannya. Panggung depan ini terdapat pengaturan
(setting), seperti dekorasi, furnitur, tata letak fisik dan latar
belakang �panggung� yang diperlukan. Setting ini cenderung bersifat
geografis, dalam arti bahwa seorang aktor tidak dapat memainkan pertunjukannya
jika belum didukung oleh situasi tempatnya. Selain itu, terdapat personal
front berupa pakaian, jenis kelamin, usia, suku, ukuran dan bentuk tubuh,
ekspresi muka, gerakan tubuh, dan sebagainya untuk diperlukan aktor dalam melengkapi
setting yang bersifat individual. Personal front dibagi menjadi
dua bagian, yaitu penampilan (appearance) dan gaya (manner).
Penampilan merujuk pada stimuli yang berfungsi memberitahukan status sosial
aktor. Misalnya: pakaian bersih yang dikenakan tukang parkir menunjukkan status
tukang parkir yang mampu memelihara kebersihan, sedangkan gaya merujuk pada
stimuli yang berfungsi mengingatkan aktor akan peranan interaksi yang
diharapkan dan harus dimainkan pada masa yang akan datang, seperti gaya seorang
tukang parkir yang menggunakan peluit, berbaju rompi parkir, serta berada di
depan setiap pertokoan.
Di samping
panggung depan, tempat aktor melakukan pertunjukan terdapat daerah belakang
layar. Wilayah belakang ini merupakan tempat atau peristiwa yang memungkinkan
ia mempersiapkan perannya di wilayah depan. Jika wilayah depan ibarat sebuah
panggung pertunjukan bagian depan (front stage) yang akan ditonton audens;
maka wilayah belakang ibarat panggung pertunjukan bagian belakang (back stage), tempat para pemain mempersiapkan diri, bersantai, atau berlatih
untuk memainkan peran mereka di panggung depan.
Dalam kasus tukang parkir menarik untuk diketahuti dan diidentifikasi
apa yang mereka tampilkan pada panggung depannya, baik bahasa verbal melalui
ujaran, penggunaan dialek, intonasi suara, ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau
tampilan tubuh berupa topi, peluit di mulut dan berbusana orange. Dalam kasus
yang sama, dapat ditelusuri bagaimana pula peran mereka menampilkan panggung
belakangnya, ketika mereka mempersiapkan memainkan peran mereka sebagai tukang
parkir. Mungkin seorang berpakaian rompi dan pluit.
Aktivitas aktor pada panggung sosial tersebut ada kalanya
tidak dilakukan sendirian, tetapi dalam sebuah tim.
Goffman menyebutkan istilah
tim (team)
sebagai sejumlah individu yang bekerja sama mementaskan sesuatu yang rutin. Mereka memiliki hubungan penting. Goffman menjelaskan terdapat dua elemen dasar
dari pertunjukan tim: pertama, semua anggota tim
harus bekerjasama untuk menghindari perilaku yang menyimpang. Setiap peserta tim bergantung pada tindakan perilaku temannya, sedangkan temannya juga bersikap demikian; kedua, dihadapan para penonton, para anggota tim itu
harus bekerja untuk mempertahankan suatu definisi situasi tertentu, akan tetapi dihadapan
sesama anggota tim kesan yang demikian itu sulit
dipertahankan, sebagai akibatnya, peserta tim terikat oleh sesuatu yang disebut familiarity, suatu kondisi yang memungkinkan semua anggota tim
merasa intim satu sama lain, meskipun tanpa kehangatan, sejalan dengan berjalannya waktu yang mereka gunakan bersama, tetapi kemudian berubah formal segera setelah individu mengambil perannya dalam tim.
Pendekatan penelitian ini
ialah pendekatan kualitatif.� Pendekatan
ini dimaksudkan meneliti objek alamiah, dan peneliti sebagai instrumen kunci.
Atau menurut Sugiyono : penelitian kualitatif adalah penelitian yang meneliti
objek alamiah, dan menempatkan peneliti menjadi instrumen kunci. Cara
pengambilan sampel sumber data penelitian kualitatif dilakukan secara purposive
dan snowball, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi. Pendekatan ini dapat digunakan untuk
mendalami pemaknaan subjektif para subjek dalam melihat realitas yang mereka
alami.
Jenis penelitian ini ialah penelitian fenomenologi.� Penelitian ini peneliti menggunakan
penelitian fenomenologis deskriptif. Peneliti menggunakan penelitian tersebut
untuk menggali hakekat dan kesadaran murni para subjek tentang pengalaman
perjumpaan yang menjadi ruang perjumpaan etis dengan wajah yang lain. Edmund
Husserl menempatkan fenomena dalam pendekatan ilmiah untuk melihat
fenomen-fenomen atau apa saja tertampakan. Penampakan melalui analisis terhadap
gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Oleh karena itu, proses penelitian
ini akan bercorak metode perjumpaan dengan cara observasi, wawancara mendalam
dan dokumentasi sebagai acuan datanya.
Penelitian ini dilakukan di kalangan para tukang parkir di Kota Malang.
Para� tukang parkir merupakan �wajah
kehidupan manusia dalam bekerja�. Penelitian ini melihat pola kerja secara
sistematis di Kota malang.� Perkerjaan
secara sistematis menjadi lokus penelitian ini.
Penelitian ini mengambil informan dari tempat parkir yang berbeda satu sama
lain. Para informan diambil dari di tempat parkir yang ramai maupun yang kurang
dalam dunia perparkiran. Untuk menentukan partisipan teknik yang digunakan
ialah sampel bertujuan (purposive sampling). Purposive sampling dimaksudkan
untuk menetapkan sampel dengan memilih beberapa sampel tertentu yang dinilai
sesuai dengan masalah penelitian. Subjek penelitian merupakan orang-orang yang
dianggap mampu memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya sesuai dengan
bidang yang� diteliti,� sehingga�
data� yang� diperoleh�
diakui� kebenarannya.
Hasil dan Pembahasan
Fenomena tukang parkir menjadi objek penelitian yang telah
dilakukan dalam penelitian fenomenologi ini. Tujuannya untuk memberikan
gambaran bagaimana sebenarnya pelaksanaan penelitian sekaligus sebagai pedoman
bagi para calon peneliti fenomenologi. Disnilah dipaparkan fenomena tukang
parkir yang telah diteliti sebagai metodologi ilmu penelitian fenomenologi untuk
menampilkan sebuah langkah �menurunkan� tingkat abstraksi keilmuan menjadi
langkah yang lebih �operasional� untuk sebuah penelitian.
Paradigma tukang parkir dalam metodologi penelitian fenomenologi �sangat unik dan khas, sehingga hasil
penelitian ini membuktikan fenomenologi dapat dikatakan membawa� perubahan pada wajah ilmu pengetahuan secara
umum. Jadi, tukang parkir menjadi sebuah fenomena kehidupan sosial yang dapat
diuji melalui penelitian fenomenologi ini.
1. Tukang
Parkir: antara kesederhaan dan profesional
Pekerjaan sederhana selalu
dipandang sebelah mata tetapi manfaatnya sangat besar bagi kehidupan sesama
yang lain. Kesederhanaan pekerjaan begitu banyak yang bisa dilakukan dalam
keseharian hidup manusia, seperti pembantu rumah tangga, pembersih halaman
rumah, pembersih taman kota, cleaning
servis, satpam, tukang parkir, dan lain sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan
tersebut merupakan sebuah fenomena di dalam kehidupan manusia untuk dapat
melangsungkan dinamika kehidupan di dunia ini. Dengan fenomena pekerjaan
demikian menjadi menarik untuk dapat didalami, ditelurusi, digali agar menjadi
suatu pengetahuan yang berharga dalam dinamika kehidupan manusia.
Dunia perpakiran mempunyai
aturan tersendiri untuk dapat melangsungkan pekerjaan tersebut. Aturan yang
pasti ialah masuk dan keluarnya kendaraan tentu mendengar perintah dari mereka,
serta berparkir secara rapi. Pekerjaan dan iramanya yang sederhana tidak
membuat para tukang parkir putus asa, bosan tetapi dengan setia menjalankannya
walaupun kadang-kadang mereka pun dimarahi, tidak dibayar karcis parkir. Keramahan
mereka dalam menjalani pekerjaan ini dapat memberi nilai hidup yang sangat
bermanfaat bagi sesama yang lain.
Filsafat fenomenologi mencoba
memahami fenomena kerja tukang parkir. Kerja tukang parkir merupakan satu dari
keberagaman pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan oleh manusia. Kesederhaan
pekerjaan merupakan sebuah realitas sosial yang dapat bermanfaat pula bagi
kehidupan sosial manusia pada umumnya. Jika dibayangkan kalau tidak ada pekerja
sebagai tukang parkir tentu berdampak pada dunia perparkiran yang bisa dilihat
seperti sesama manusia tidak saling menghargai, tidak mengalah satu sama lain,
tidak saling berpengertian satu sama lain dan akhirnya berparkirpun sembarangan
atau tidak teratur. Begitupun sebaliknya jika ada tukang parkir semua kendaraan
diatur dengan baik, secara rapi dan masuk dan keluarnya kendaraan berjalan
lancar atau tidak terjadi tabrakan. Di sini secara tidak langsung tukang parkir
mengajak manusia untuk saling memahami, saling menghargai dalam mengemudi
kendaraan.
2. Realitas
Dunia Perparkiran
Perparkiran mempunyai realitas
yang dapat menggambarkan dunia hidupnya. Gambaran realitas merupakan wajah
eksistensi tukang parkir. Mengetahui eksistesi tukang parkir dapat dilihat dari
identitas, proses menjadi tukang parkir, tukang parkir dalam konsep, memaknai
diri sebagai tukang parkir, tukang parkir antara kompetensi dan
profesionalisme, serta tukang parkir sebagai aktor kehidupan. Semua eksistensi
tersebut dapat mengalir dari bagian per bagian berikut ini:
a. Identitas Tukang Parkir
Tukang parkir adalah sebutan
penyandang berbaju orange, peluit di mulut dan berdiri di setiap emperan toko,
perkantoran, pertamanan dan memiliki banyak mobil mewah, sepeda motor berbagai
merek yang sering ditemui di pinggiran jalan di kota-kota besar. Mobil dan motornya
berjejer dengan rapi, serta sering kali silih berganti. Cara kerja demikian
dapat memberi kekaguman tersendiri kepada para tukang parkir. Kekaguman yang
nampak dari seorang tukang parkir adalah walau dengan hartanya yang melimpah
tidak pernah ada ditemui seorang tukang parkirpun yang bersifat sombong dengan
kendaraan-kendaraan miliknya, dan tidak pula ada seorang tukang parkir yang
risau, marah atau sedih yang apabila kendaraan-kendaraan miliknya diambil orang
lain walau hanya ditukar dengan uang senilai seribu-dua-ribu rupiah. Disinilah
antara pekerjaan atau profesionalisme dalam kehidupan tukang parkir yang dapat
dilihat. Pekerjaan mereka yang sederhana sama seperti para pekerja yang lainya
seperti anak jalanan, pengemis, gelandangan, pemungut sampah, satpam dan lain
sebagainya.
Dunia mereka adalah dunia
realitas, nyata, tidak ada kepalsuan. Mereka menyadari tukang parkir merupakan
pekerjaan yang sederhana, mudah dilakukan oleh siapapun. Mereka yang menyadari
diri sebagai tukang parkir dalam realitas kehidupan perparkiran ialah Zet
berumur 50 tahun di Bank Mandiri jalan Galunggung, Iswanto berumur 45 tahun di
Hutan Kota Malabar jalan Malabar dan Imam berumur 35 tahun di Cafe Liberty jalan
Merbabu. Mereka bertiga merupakan tukang parkir binaan pemerintah Kota Madya
Malang walaupun mekanisme kontak dengan dinas pendapatan daerah berbeda satu
dengan yang lainya, seperti Zet: �saya
hanya kerja di sini saja lalu setor ke�
pak Mito yang bawa ke dinas�, Iswanto: saya hanya kerja saja yang menyetor ke dinas ketua kami mas Amin�,
Imam: saya kerja sore sampe malam besok
pagi saya menyetor ke petugas dinas sekaligus ambil karcis�. Di sini mereka
menjalankan proses kerja yang dilalui setiap hari, ada yang menyetor melalui
orang atau ketua kelompok dan menyetor sendiri ke dinas. Perkerjaan tersebut
tidak memandang usia sebab pekerjaannya sangat sederhana. Kesederhaan pekerjaan
ini dapat dilihat melalui peluit di mulut, rompi orange, karcis ditangan dan
tidak membutuhkan pendidikan khusus untuk itu. Pekerjaan tersebut hanya
membutuh kemauan dan kesetiaan untuk dapat melakukannya.
Tukang parkir mempunyai
wilayah kekuasaan masing-masing yang tidak bisa dikuasai oleh teman-teman
tukang parkir yang lain atau orang luar lainnya. Wilayah kekuasaan dapat
membuat mereka bekerja tidak mengenal waktu siang atau malam, ramai dan sepinya
kendaraaan tetapi mereka dapat melakukannya dengan penuh tanggungjawab. Zet:�saya kerja seorang diri dari pagi jam 06.00
sampe jam 22.00 malam tiap hari�. Iswanto: �saya dapat bekerja dari pagi jam 06.00-17.00 sore hari dan setiap dua
minggu bergantian dengan teman-teman lain sebab saya bekerja bersama tujuh
belas teman yang lainnya�. Imam:�saya
dapat bekerja seorang diri dari sore jam 18.00-24.00 malam�. Selain jam
bekerja mereka juga mengatakan berapa lama mereka menjalani pekerjaan sebagai
tukang parkir, Zet: �saya sudah bekerja
dua tahun sebagai tukang parkir di sini�, Iswanto:�saya sudah bekerja enam bulan sejak hutan Kota Malabar dibuka 04 April
20016 lalu�, Imam: �saya baru bekerja
empat bulan�. Selama menjalankan pekerjaannya mereka juga menerima biaya
parkiran yang sebesar Rp 3.000; untuk mobil dan 2.000; untuk motor. Di sini
dapat dilihat bahwa aktivitas tersebut dilakukan berbeda satu sama lain, baik
dari segi pembagian waktu kerja maupun sudah berapa lama mereka berkerja
sebagai tukang parkir. Perjalanan panjang yang mereka lalui dapat mengantar
mereka untuk menghayati pekerjaan mereka dengan sungguh-sungguh.
Dalam bekerja sebagai tukang
parkir mereka tidak terlepas dari suatu mekanisme yang harus dilakukan.
Mekanisme yang dimaksud adalah mekanisme pembagian jadwal parkir bagi yang
bekerja dalam kelompok, biaya parkiran, pembagian hasil ketika bersama teman
lain dan penyetoran uang parkir. Mekanisme yang dilalui mereka bertiga ialah
Zet:�saya setiap hari harus menyetor Rp
20.000,- ke pemilik parkirdan sisa uang menjadi milikku, misalnya per hari saya
mendapat Rp 70.000, Rp 50.000,- menjadi milikku�;� Iswanto:�saya
menyetor Rp 25.000,- ke dinas; sisanya sering dibagi dua dengan temanku jika
saya dapat giliran bersama teman yang lain, seperti Rp 80.000-90.000�;
sedangkan Imam:�saya menyetor langsung ke
dinas sebesar Rp 15.000,-. sisa uang yang didapat menjadi milikku
sendirisepertitiap hari saya mendapat Rp 60.000 atau kurang dari situ, Rp
50.000�.
b. Proses Menjadi Tukang Parkir
Berbagai alasan yang mendorong
mereka menjadi tukang parkir. Di sini dapat dilihat tiga kategori motif yaitu pertama, motif masa kini. Artinya
tukang parkir bekerja untuk jangka pendek, kekinian dan seharian hidup mereka.
Hal tersebut terlihat dari pernyataan-pernyataan mereka, seperti� Zet:�saya
di rumah sendiri, anak-anak sudah menikah lebih baik bekerja di sini�,
Iswanto: �saya bekerja untuk kebutuhan
hidup keluarga, saya butuh uang untuk anak sekolah, anak sakit� dan anak makan�, Imam:�saya mengisi kekosongan di rumah sepi tidak
tahu mau buat apa lebih baik kerja di sini�. Ini berarti mereka mejadi
pekerja tukang parkir hanya sementara dan bergantung pada kesempatan yang
mereka temukan dengan adanya sebuah pekerjaan itu. Kedua, motif masa lalu. Artinya dorongan untuk tetap
mempertahankan� hidup mereka sebagai
tukang parkir karena masa lalu mereka dengan orang tua yang susah mendapat
pekerjaan. Mereka hidup dalam lingkungan rumahnya yang telah berjalan dengan
rumitnya perjuangan hidup, sehingga mereka tumbuh dan besar sebagai orang yang
terus mencari kerja. Situasi tersebut terlihat dari pernyataan-pernyataan
mereka, seperti Zet: �saya hanya selesai
sekolah dasar karena orang tua saya tidak mempunyai pekerjaan�, Iswanto: �saya anak yatim sejak umur 9 tahun ibuku
susah payah membesarkan kami berdua�, Imam: �saya putus sekolah di tingkat SMP karena orang tua susah mendapat
pekerjaan�. Ungkapan mereka menujukkan hidupnya yang terlahir dari sebuah
tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan kebiasaan tersebut karena
orientasi masa lalu mempengaruhinya, seperti kata mereka, Zet: �saya lahir dari keluarga yang tidak berbuat
banyak atas hidup kami bertiga saudara�, Iswanto: �saya sudah berusaha agar lebih baik tetapi tidak bisa juga mungkin ini
kebiasaan dari kecil sudah yatim�, Imam:�saya
harus meneruskan kebiasaan keluargaku untuk terus mencari pekerjaan�. Ketiga, tukang parkir kontemporer.
Artinya hidup dengan peluang. Mereka masih memiliki alternatif pilihan, karena
memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan untuk menjamin
hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak dapat berkembang, karena tidak
menggunakan peluang tersebut dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan
potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan peluang tersebut, seperti Zet: �saya dulu buruh bangunan sekarang susah
maka kerja sebagai tukang parkir saja�, Iswanto:�ketika saya tidak mendapat giliran bekerja di parkiran,� saya bisa dipanggil untuk memperbaiki
ventilasi rumah tentangga atau orang lain�, Imam: �kalau ada kerjaan proyek-proyek saya ingin kerja di sana�. Di sini
sangat jelas mereka bekerja sebagai tukang pakir bukan terjadi begitu saja,
melainkan sebuah pengalaman kehidupan mereka yang melatarlakanginya. Pengalaman
masa lalu mereka dan kenyataan masa kini mengantar mereka bekerja sebagai
tukang parkir. Situasi tersebut bukan sebagai sebuah keterpaksaan tetapi sebuah
kenyataan hidup yang harus mereka alami dan lakukan.
Pengalaman mereka bertiga menunjukkan
bahwa kurangnya potensi sumber daya untuk dapat mengembangkannya. Di sini bisa dikatakan
bahwa menjadi tukang parkir bukan merupakan pilihan semata-mata yang disebabkan
oleh keterhimpitan ekonomi (kemiskinan) atau keterbatasan fisik (ketuaan),
melainkan hilangnya kesempatan kerja dan faktor tradisi suatu masyarakat yang
menjadikan tukang parkir sebagai profesi. Hal ini terungkap juga dari mereka;
Zet: �saya kerja sebagai tukang parkir
bukan karena saya miskin, tetapi saya tidak ada pekerjaan lain�, Iswanto: �saya kerja bukan karena tidak makan tetapi
menambah-nambah kebutuhan harian�, Imam: �saya kerja disini karena tidak dapat kerja lain mau bagaimana lagi�.
Ungkapan mereka menunjukkan faktor yang paling mendasar sebagai sebab individu
memilih untuk menjadi tukang parkir adalah nilai-nilai yang dihayati individu
itu sendiri. Hidup mereka sebagai pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat
berdasarkan nilai-nilai yang telah mereka hayati sendiri.
Menjadi tukang parkir merupakan
sebuah dinamika sosial dalam kehidupan perkotaan. Perkotaan dengan sendirinya
terbentuk orang-orang yang ingin bekerja sebagai tukang parkir. Mereka bukan
hanya mencari tetapi sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus dilakukan,
seperti yang dikatakan mereka; Zet: saya
kalau di kampung mungkin tidur atau ke ladang tapi ini kota ya mau tidak mau
harus kerja�, Iswanto: �saya di kota
mau buat apa ya harus kerja seperti ini�, Imam: saya di kota tidak kerja bisa-bisa stress karena tidak ada hiburan�.
Bekerja sebagai seorang tukang parkir dapat memiliki sebuah sistem. Sistem
bekerja yang dimiliki tukang parkir secara umum ialah mereka memegang karcis di
tangan, peluit di mulut, rompi orange, serta mulai bekerja jam berapa dan
pulang jam berapa.
Proses tersebut bukan sebuah
paksaan tetapi suatu realitas kehidupan yang harus mereka lakukan. Mereka tidak
perlu menulis surat lamaran, fotokopi ijasah, pas foto untuk melamar pekerjaan.
Mereka juga tidak perlu mengikuti testing tertulis, lisan ataupun kesehatan.
Mereka hanya membawa diri dan bermental komunikatif untuk mendapat pekerjaan
ini.
Proses ini bukan proses yang
rumit tetapi proses yang sederhana sehingga akan berdampak pada kerja mereka.
Dampak yang mereka terima adalah mereka tidak perlu ruangan dan alat-alat
canggih, tetapi yang mereka perlukan hanyalah emperan toko, halaman kantor,
ruas jalan atau pertamanan serta dengan perlengkapan rompi orange, peluit, dan
suara yang keras untuk memberi aba-aba.
c. Tukang Parkir dalam Konsep
Tukang Parkir merupakan sosok
yang akrab dengan kehidupan kita sehari-hari, hampir di setiap hari kita temui
sosok ini, baik di perempatan jalan, warung, pertokoan, dan di tempat-tempat
lainnya. Keberadaan tukang parkir sebagai fenomena sosial yang memberi gambaran
adanya kehidupan semacam ini ditengah-tengah masyarakat. Tukang parkir
mempunyai� nilai-nilai baik yang
menyangkut kehidupan bersama yaitu sikap membantu orang lain untuk dapat menjalankan
aktivitas mereka dengan nyaman.
Seorang tukang parkir dapat
memberi pelajaran berharga bagi manusia zaman ini dalam menjalankan� kehidupan. Bukan berarti kita harus menjadi
seperti mereka dengan ikut menjadi petugas parkir di jalanan atau lainya. Namun
kita harus belajar dari apa yang mereka melakukan. Mereka tidak pernah sombong
ketika ia sedang menjaga parkir mobil. Mereka tidak pernah memiliki mobil
melainkan hanya sebatas titipan dari orang lain. Mereka yang menerima titipan
orang mempunyai pandangan tersendiri tentang kerja itu.
Mereka bertiga mempunyai
pandangan hidup yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya mengenai kerja
tukang parkir. Zet mengatakan bahwa�saya
melakukan aktivitas kerja sebagai tukang parkir adalah sebuah olah raga. Saya
harus bergerak terus menerus supaya membantu tubuh saya agar sehat secara fisik
untuk melangsungkan kehidupanku�. Iswanto berpandangan bahwa �aktivitas kerja saya sebagai tukang parkir
adalah tindakan untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Jika tidak kerja tentu tidak
makan, tidak membayar obat kalau anak sakit, tidak membayar uang sekolah anak�.
Imam berpandangan bahwa �saya kerja
sebagai tukang parkir adalah untuk mengisi kesepian, mengisi kekosongan aktivitas
di rumah sendiri�. Di sini terlihat bahwa mereka mempunyai pemahaman
tersendiri tentang kerja sebagai tukang parkir.
Konsep tersebut dinampakan
pada aktivitas kerja mereka, seperti Zet:�saya
bisa bekerja membantu parkiran teman lain yang sedang sibuk atau tidak masuk�,
Iswanto �saya mengisi kekosongan waktu
ketika tidak mendapat giliran bekerja di parkiran, saya dapat memperbaiki
ventilasi ketika diminta keluarga lain�, Imam:�saya bisa membantu tentangga yang membutuhkan bantuan ketika
memperbaiki rumah atau pindah rumah�. Di sini secara tidak langsung mereka
dapat menunjukkan kepedulian mereka terhadap kebutuhan sesama, sesuai dengan
apa yang mereka hayati dalam hidupnya.
d. Memaknai Diri sebagai Tukang Parkir
Dalam hidup manusia semua
bertujuan untuk menemukan makna hidup. Makna hidup adalah nilai-nilai yang
berharga dan dihayati yang membuat seorang individu merasa berharga dan
mempunyai alasan untuk hidup dan menegakkan dirinya. Apabila manusia gagal
untuk menemukan makna hidupnya, maka ia akan mengalami neurosis eksistensial di mana keadaan seseorang ketika dalam
hidupnya merasa hampa, tidak bermakna, tanpa tujuan, tanpa arah dan seterusnya.
Hal inilah yang bisa menjelaskan mengapa seseorang yang sehat, segar dan bugar
dapat memilih menjadi tukang parkir. Di sini para tukang parkir yang berhasil
menemukan makna hidupnya, maka mereka akan memiliki kesempatan yang lebih
banyak untuk bertahan menegakkan dirinya, seperti yang dicontohkan oleh ketiga
individu yang telah dijumpai yaitu Zet, Iswanto, dan Imam. Mereka yang menjaga
titipan orang dengan mempunyai penghayatan tersendiri, seperti penuturan
mereka: Zet: �saya hanya menjaga hak
orang agar mereka dapat menjalankan aktivitas mereka, Iswanto: �saya hanya memberi rasa nyaman kepada orang
lain� dan Imam: �saya menjadi tempat
penitipan barang berarti saya harus bertanggung jawab�. Respon mereka ini
menunjukkan bahwa bertanggungjawab merupakan nilai paling tinggi yang harus dijaga.
Tanggung jawab tidak dapat dibeli tetapi dapat dilakukan, itulah kepercayaan
yang dinyatakan. Mereka tidak merasa putus asa dalam mengayomi apa yang telah
dihayati dari hari ke hari pada waktu kerja mereka.Mereka memaknai kerja
sebagai tukang parkir adalah bagian sentral di dalam kehidupannya. Dengan
pikiran dan tubuhnya, mereka mengorganisir pekerjaan, membuat benda-benda yang
menjadipekerjaannya dan menentukan tujuan akhir dari kerjanya. Inilah kerja
yang unik sebagai aktivitas mereka.
Mereka memberikan konsep
tersendiri untuk menemukan makna agar mereka tidak kesepian eksistensinya dalam
kehidupan. Makna tersebut mereka nyatakan dalam aktifitas mereka yang dapat
berjalan dengan baik. Mereka menunjukkan sikap ramah, tanggung jawab atas kerja
yang mereka lakukan walupun kadang-kadang ada pengunjung yang tidak membayar
parkir, seperti kata Zet: �kadang orang
jalan tanpa bayar parkir walaupun saya ada di situ�, Iswanto: mereka lari saja tidak pikir ada orang lain,
saya diam saja, saya teriak mereka tidak dengar bikin tuli saja telinganya�
dan Imam: �mereka pikir saya tidur jadi
jalan diam-diam, saya lihat saja�. Di sini mereka menatap tindakan
pengunjung demikian dengan tatapan yang panjang, penuh arti entah jengkel,
merasa tidak dihargai atau sebaliknya inilah tantangan dalam pekerjaannya yang
harus menerima kenyataan seperti ini.
Makna yang mereka berikan
bukan lahir dari orang lain melainkan dari apa yang mereka lakukan, alami dan
rasakan. Mereka menjaga hak orang, memberi rasa nyaman dan menjadi tempat
penitipan kendaraan sebagai respon atas kerja mereka. Mereka tidak bisa memberi
lebih dari itu kepada sesama lain, tetapi itulah nilai yang mereka berikan.
Rasa hormat dan tanggung jawab mereka kadang dibalas dengan penghargaan yang
tidak sepantasnya. Tukang parkir adalah orang-orang yang luar biasa berani
memutuskan menjadi tukang parkir, mereka justru dengan tegar dan tak kenal
lelah melakukan pekerjaan yang mungkin dianggap remeh, namun jauh lebih
terhormat daripada mengemis.
e. Tukang parkir antara Kompetensi dan Profesionalisme
Kompetensi merupakan
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan di dalam hidup. Untuk menjadi tukang
parkir tidak membutuhkan kompetensi atau pendidikan khusus, mereka hanya
membutuhkan pengetahuan ketrampilan dalam mengatur kendaraan, suara keras dan
jelas untuk memberi aba-aba kepada para pengendara mobil, keluwesan dalam
menghadapi orang, ketelitian, dan kejujuran. Di sini kompetensi dilihat pada
kemampuan tukang parkir dapat mengatur kendaraan, sedangkan profesionalisme
lebih dilihat pada bagaimana cara mereka menyambut orang-orang yang mau parkir,
sikap mereka, dan kemampuan mereka dalam menjaga kendaraan yang diparkirkan. Mereka
juga diharapkan teliti dan waspada, sehingga tidak terjadi kejadian-kejadian
yang tidak diinginkan, misalnya pencurian kendaraan di tempat parkir.
Profesionalisme yang bisa
dilihat dari mereka bertiga yang bekerja sebagai tukang parkir melalui ungkapan
mereka, seperti Zet �saya kerja sendiri
sehingga yang penting untuk saya adalah saya bisa jaga kendaraan orang dengan
baik, tidak harus minta-minta�. Iswanto: �saya kerja dalam kelompok dengan teman yang lain, maka saya harus
berbagi waktu dengan teman, baik jadwal maupun duit, saya tidak bisa monopoli
menjadi milik saya sendiri� dan saya juga jaga baik-baik penitipan orang-orang
ini�. Imam mengatakan: �saya kerja
sendiri jadi yang penting kerja baik, tidak perlu sempurna, yang penting saya
atur mobil atau motor parkir dengan baik�. Di sini menjadi jelas bahwa
mereka menunjukkan keprofesionalismenya masing-masing dengan apa yang
dihayati,dikuasai dan diaktualisasikan seperti saya tidak minta-minta, dapat
berbagi dan tidak memonopoli untuk diri sendiri, serta tidak perlu kerja dengan
sempurna yang terpenting mengatur kendaraan dengan baik. Menjadi �tukang
parkir� yang baik dengan segala godaan dan tantangan yang ada memang bukanlah
suatu pekerjaan yang mudah. Mereka hanya dapat menunjukkan keprofesionalisme
mereka dengan keterbatan yang di miliki.
Keprofesinalisme yang muncul
dalam kerja mereka seperti terungkap di atas sangat menunjukkan bahwa mereka
mempunyai kompetensi yang terbatas. Mereka tidak harus bekerja ditempat yang
ber-AC, gedung mewah, dengan tas saping yang bersih, tetapi mereka bekerja
sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Jika dilihat dari latar belakang
pendidikan yang terungkap, Zet:�saya
hanya selesai SD�, Iswanto: �saya
tidak tamat SMP� dan Imam �saya putus
sekolah di SMP�. Dengan latar belakang demikian mereka menyadari tidak bisa
mendapat pekerjaan lebih dari itu. Sebaliknya profesionalisme mereka dapat
dilihat dari keuletan, kesabaran, kepercayaan,�
tanggung jawab, ketelitian dan kewaspadaan� dalam menjaga kendaran yang diparkir.
f. Tukang parkir sebagai aktor kehidupan
Apabila tukang parkir diberi
sejumlah identitas, maka tukang parkir merupakan subjek yang melakukan suatu
tindakan sosial, tukang parkir menciptakan dunianya sendiri, tukang parkir
memerankan sebuah panggung drama kehidupan dan tukang parkir hidup dengan
kemampuan mengelola komunikasi interpersonal maupun sistem dimana mereka
berada. Di sini fenomena tukang parkir merupakan suatu kenyataan yang disebut
Blumer: �sebagai tindakan interaksi sosial subjek�. Tindakan interaksi sosial
mengatar tukang parkir dapat menunjukkan jati dirinya, bekeradaanya dengan
dunianya.
Di sini dapat dilihat bahwa
tanpa mereka dunia perparkiran tidak ada artinya, kendaraan akan diparkir
seenaknya, dan rasa tidak aman akan dirasakan oleh para pemilik kendaraan. Hal
tersebut terungkap dalam perjumpaan dengan ketiga narasumber, seperti Zet: �saya waktu tidak jaga karena pergi makan
ada helm motor yang hilang�, Iswanto: �ketika
saya pergi makan dan tidak jaga ada motor yang dirusakan oleh pengunjung yang
lain karena merasa motor yang lain menghalanginya� dan Imam: �satu hari saya tidak masuk, saya dengar
dari pelayan kafe bahwa ada mobil yang masuk tambrak mobil yang parkir�.
Ungkapan mereka menjadi jelas bahwa tukang parkir tidak hanya berperan
menerima, dan mengatur kendaraan yang diparkir, tetapi mereka juga bertanggung
jawab atas kendaraan-kendaraan yang diparkir. Tetapi perannya seringkali
dipandang sebelah mata, namun mereka harus bisa menjadi aktor yang baik ketika
mereka tidak diterima, diacuhkan, dan diremehkan. Mereka tidak perlu piala
penghargaan atas kerja mereka, tetapi penghargaan atas hasil kerja mereka itu
patut diberikan, karena setidaknya mereka telah menyumbang suatu kebaikan bagi
orang lain.
Mereka tidak mengharapkan
belas kasih orang, tetapi mereka mampu menunjukkan kemampuan dan kreatifitas
mereka dalam kehidupannya. Di sini sangat jelas bahwa bekerja sebagai tukang
parkir adalah dunianya. Zet, Iswanto dan Imam adalah sutradara sekaligus aktor atas
kehidupannya. Hal ini ditunjukkan melalui aktivitas harian mereka, dimulai
pagi, siang dan berakhir pada malam hari, serta bertanggungjawab menjaga
kendaraan yang diparkir. Kerja mereka tidak mengenal cuaca, baik panas maupun
hujan. Semua ini dilalui dalam kesederhanaan, dan rasa syukur yang penuh atas
hidup mereka walupun kadang-kadang mereka tidak dihargai atas kerja mereka.
3. Analisis
Realitas Hidup Tukang Parkir
Tukang parkir adalah sebuah
fenomena yang paling sering dijumpai atau didengarkan oleh bagi siapapun dalam
kehidupan perkotaan. Hal tersebut secara realistis menunjukkan adanya ruang
pekerjaan yang terbatas bagi mereka sehingga menjadi tukang parkir adalah
pilihannya. Di sini disampai sebuah analisis realitas kehidupan tukang parkir
seperti berikut ini:
a. Kompeten komunikasi Tukang Parkir
Seseorang dikatakan sebagai
kompeten adalah orang yang mengetahui bagaimana sesuatu dilakukan dan juga
dapat menjelaskan mengapa hal tersebut dilakukan dengan caranya, sedangkan
orang yang memiliki kompetensi adalah orang yang tidak memerlukan pemahaman
mengapa orang tersebut melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Para tukang
parkirpun mempunyai pemahaman dan caranya untuk dapat melakukan pekerjaan yang
mereka lakukan. Mereka mempunyai komunikasi yang kompenten dalam mengatur,
menjaga dan berkomunikasi dengan pengguna kendaraan maupun rekan kerjanya. Mereka
menunjukkan kemampuannya dalam berkomunikasi�
dengan setiap orang yang datang memarkirkan kendaraannya. Mereka
menyadari komunikasi memiliki kemampuan yang meliputi pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang sesuai dalam mengelola pertukaran pesan verbal dan
non-verbal berdasarkan patokan-patokan tertentu yang telah mereka ketahui,
seperti masuk dan keluarnya kendaraan tertib atau pun cara parkir yang rapih.
Dalam hal ini kompeten menjadi
titik tolak pemahaman tentang sejauhmana ketrampilan komunikasi yang mereka
pandang menentukan keberhasilan yang juga menurut ukuran mereka sendiri. Ukuran
keberhasilan tukang parkir adalah masuk dan keluarnya kendaraan baik mobil dan
motor dengan lancar serta tidak terjadi kehilang atau pencurian kendaraan.
Tetapi sebaliknya jika masuk dan keluarnya kendaraan menjadi sulit serta
terjadi kehilangan kendaraan baik motor atau mobil mereka merasa inilah sebuah
kegagalan. Dalam komunikasi mereka mengerti apa yang ditanyakan dan merespon
dengan baik pula. Di sini mereka mampu mengkomunikasikan apa yang mereka
mengerti dengan apa yang sedang mereka kerjakan. Pengertian tersebut bukan
hanya dirinya dengan pekerjaan tetapi juga dengan sesama tukang parkir dan para
pengguna kendaraan baik roda dua maupun empat yang dapat berparkir di situ.
Wajah yang ditampilkan para tukang parkir tersebut bukan wajah pemaksaan atau
belas kasihan tetapi wajah kewajiban bagi para pengguna kendaraan untuk dapat
membayar parkiran.
Mengamati jawaban para tukang
parkir dapat diketahui bahwa mereka berkerja bukan untuk mencapai keberhasilan
melainkan sebuah ekspresi atas kehidupan yang mereka lalui yaitu sebagai olah
raga, untuk kebutuhan hidup dan mengisi kesepian hidup. Di sini mereka tidak
menuntut suatu keharusan bagi para pengguna kendaraan untuk membayar parkiran
tetapi mereka menunjukkan kepercayaan dan penghormatan atas kerja mereka.
Mereka bukan menampakan wajah belas kasih orang tetapi mereka menampakan wajah
tanggungjawab dari pengandara untuk dapat membayar parkiran. Wajah
tanggungjawab bukan hanya dengan pengguna kendaraan tetapi juga pada dirinya
sendiri, dan rekan kerja. Ini merupakan sebuah kesadaran atas pengalaman hidup mereka,
suatu ekspresi yang muncul atas tindakan mereka, seperti apa yang dikatakan
oleh Husserl bahwa �setiap pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi
dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya
sendiri yang memang bersifat subyektif�. Di sini menjadi jelas bahwa para
tukang parkir sadar akan hidup dan tindakan mereka yang sedang dilakukan.
Mereka tidak berada di luar dunia perparkiran tetapi mereka adalah pelakuknya
sendiri.
Komunikasi yang dibangun
tukang parkir tersebut menandakan bahwa mereka bertindak berdasarkan
makna-makna yang memberikan sesuatu kepada mereka. Makna yang dimaksud ialah
mereka bertanggungjawab menjadi tukang parkir sebab mereka tahu itulah
pekerjaan mereka, seperti apa yang dikatakanBlumerbahwa �manusia bertindak
terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi
mereka�. Tukang parkir menyadari bahwa pekerjaan itu adalah memberi makna atas
hidup mereka, seperti kata mereka �kami hanya menjaga kepercayaan atau kami
menjadi tempat penitipan barang atau kami hanya memberi rasa nyaman kepada
mereka�.
b. Tukang parkir dan aturan mainnya
�Dalam ide Husserl yang telah dilihat
sebelumnya menyebutkan bahwa�setiap proses kesadaran yang terarah pada sesuatu
ini sebagai tindakan (act). Dan setiap tindakan manusia selalu berada di
dalam kerangka kebiasaan (habits), termasuk di dalamnya gerak tubuh dan
cara berpikir�. Pemikiran ini menunjukkan bahwa kebiasaan sesorang bisa berguna
juga untuk orang lain. Dalam situasi perparkiran mereka saling mengamati dan
merespon kebiasaan yang mereka lakukan. Di sini bisa dikatakan bahwa para
tukang parkir terikat oleh aturan yang dibuatnya dan bersama sesama mereka,
dengan cara ketat. Mereka dapat menaati bersama untuk saling bergantian waktu setiap
dua minggu, tetapi juga ada yang untuk dirinya sendiri masuk dari pagi sampai malam
atau sore sampai malam, serta berapa harga parkir yang dibayar dan cara
mengatur kendaraan agar dapat berpakir dengan rapih. Dinamika tersebut dapat
dilakukan sehari-hari dalam dunia perparkiran mereka.
Prosedur kerja tukang parkir
merupakan rangkaian tata kerja yang berkaitan dengan kebiasaan dan tindakan
yang dilakukan satu sama lain. Kebiasaan dan tindakan itu menunjukkan adanya
suatu urutan tahap demi tahap serta jalan yang harus ditempuh dalam rangka
penyelesaian suatu tugas. Dengan cara demikian kerja dapat efisien� dan yang kemudian dapat membentuk suatu
kebulatan pola tertentu dalam rangka melaksanakan suatu bidang pekerjaan. Suatu
pola dalam melaksanakan pekerjaan itulah yang dinamakan dengan aturan mainnya.
Tukang parkir dapat bekerja
bukan datang semaunya atau dimana ada kendaraan mereka dapat mengaturnya,
melainkan ada tempat, lokasi yang telah menjadi wilayah kerjanya. Wilayah kerja
atau sering disebut wilayah kekuasaan menjadi suatu pertanda andanya aturan
yang secara konsensus mengikat para tukang parkir. Ketika ada yang sudah
bertugas tidak boleh orang lain datang mencampuri pekerjaan mereka. Para tukang
parkir menunjukkan tanggungjawab etis atas apa yang dilakukan oleh temannya.
Konsensus itu dibuat untuk ditaati bersama, maupun untuk dilakukannya sendiri
oleh seorang tukang parkir. Sistem konsensus bukan lahir dari ide satu atau dua
orang melainkan ide mereka bersama yang dapat diperoleh melalui musyawarah dan
mufakat.
Sistem itu telah berlaku bukan
untuk menguntungan salah satu dari mereka tetapi untuk menjaga kebersamaan
mereka dalam bekerja. Mereka tidak mau saling mencurigai dan tidak menghargai satu
sama lain. Pemberlakuan �sistem yang ketat
membuat mereka menjadikannya sebagai pedoman dalam bekerja. Sistem inilah
memberi mereka arah bagaimana menjaga kendaraan yang masuk dan keluar, serta
yang berparkir bahkan mereka menunjukkan sikap responsif ketika pada waktu
hujan mereka membawa payung untuk membatu para pengemudi mobil masuk ke
mobilnya. Tindakan mereka sangat responsif bukan menuntut pujian atau balasan
tetapi menunjukkan bagaimana mereka bisa betanggungjawab atas apa yang telah
disepakati dan dapat dilakukannya. Sistem dimaksud ialah pembagian jadwal dan
jam berapa bertugas. Pembagian jadwal dan jam�
bertugas merupakan sarana untuk membantu mereka dalam menjalankan
aktivitas lainnya sebagai warga masyarakat.
c. Manajemen Interaksi Tukang Parkir
Manajemen interaksi tukang
parkir dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek interpersonal dan aspek
profesionalisme. Seorang tukang parkir dapat menjaga interaksi dengan rekan
kerjanya maupun dengan para penitipan kendaraan, sedangkan aspek
profesionalisme bagaimana mereka benar-benar jujur dan bertangunggjawab atas
kerja mereka. Mereka harus tahu bagaimana menyapa sesama dan orang lain. Cara
menciptakan keakbraban diantara mereka dengan menyebut nama samaran. Mereka
juga turut bergembira ketika istri teman mereka melahirkan dengan baik, atau
turut bersedih kalau ada teman yang anaknya sakit. Hal ini menunjukkan betapa
dekatnya relasi mereka, bahkan mungkin melebihi saudara. Begitupun dengan para
pengendara baik motor dan mobil mereka menampilkan wajah yang ramah dalam
menyapa tetapi keras dalam memberi aba-aba ketika kendaraan masuk maupun
keluar. Relasi mereka dengan pengendara yang sudah dikenal juga ditunjukkan
relasi persaudaraan.
Manajemennya diatur tidak
dalam bentuk tertulis, melainkan dalam ingatan, seperti kalau mobil diatur
bagaimana parkirnya dan motor bagaimana parkirnya. Hal ini seperti apa yang
dikatakan Mead bahwa �mekanisme
seseorang sehingga dapat melihat dirinya-sendiri sebagai objek adalah melalui
pengambilan peran dengan melibatkan proses komunikasi melalui gerakan berbicara
dan bertindak�. Ini berarti tukang parkir dapat mengambil peran dalam mengatur
kendaraan sehingga mereka mengerti bagaimana sebaiknya mengatur kendaraan. Di sini� mereka mementingkan keteraturan dan kerapihan
agar ketika kendaraan masuk dan keluar dapat berjalan lancar. Tindakan itu tidak
didasarkan pada perintah undang-undang tetapi didasarkan pada perasaan etis
yaitu baik dan buruk.
Dengan mengambil peran para
tukang parkir tahu sistem kerja sebagai tukang parkir dan bagaimana dapat
melakukannya. Proses tersebut tidak membutuhkan trainning khusus, seperti kursus mengemudi tetapi semua berjalan
dengan alami. Ketika terlibat mereka tahu dan langsung melakukannya, mereka
juga harus cepat dan tanggap ketika melihat pengendara yang datang atau
pengendara yang ingin keluar dari tempat parkir, mereka langsung melakukan tugasnya
tidak menunggu perintah oleh dan dari siapa pun melainkan dari diri sendiri
yang dapat memerintahnya.
d. Tukang Parkir dalam Life World
Dalam sebuah pemikiran untuk
memandang dunia realitas merupakan pandangan tentang lifeworld. �Lifeworld
merupakan ide Husserl yang hendak mengatakan bahwa dunia manusia begitu
bermakna. Manusia tidak bisa tercerabut dari dunianya. Dengan lifeworld juga dimaksudkan bahwa adanya
suatu usaha untuk mengkonstruksi dunia makna. Lifeworld dapat diterjemahkan sebagai dunia hidup keseharian�. Di sini
mau menunjukkan bahwa dunia perparkiran merupakan dunia keseharian dan penuh
makna. Dunia keseharian yang penuh makna bukan sebuah asumsi atau pengandaian.
Untuk memandang kerja tukang
parkir tentu dapat membuang segala asumsi, pengandaian, dan prasangka, sehingga
diharapkan bisa mengenal dan memahami segala sesuatu seturut aslinya.
Pengalaman-pengalaman hidup tukang parkir menjadi lebih aktual dan dibebaskan
dari segala prasangka, pengandaian, atau asumsi-asumsi dari luar. Dengan
demikian, para tukang parkir akan menampakkan dirinya kepada subjek apa adanya,
asli, sejati tidak ada kepalsuan yang tertampak.
Para tukang parkir dapat
memaknai keseharian hidup mereka sebagai sebuah realitas kehidupan yang harus
dilalui. Mereka tidak merasa asing atau berada di luar dunianya, melainkan
mereka berada dalam dunianya. Dunia mereka ialah menjadi tukang parkir. Di sini
mereka merasa walaupun pekerjaan yang sederhana tetapi mereka tetap setia
melakukannya. Kesetian mereka ditunjukkan bukan hanya banyaknya kendaraan
tetapi juga dalam kesepian kendaraan atau bukan hanya cuaca cerah tetapi hujan
pun mereka tetap melakukannya.
Dunia para tukang parkir bukan
dunia penderitaan tetapi dunia kerja, dunia kehidupan. Dunia dimana mereka
melakukan tindakan apapun yang telah menandakan bahwa mereka telah mengambil
bagian dalam tindakan alaminya. Hal tersebut seperti yang dikatakan Marx:
�manusia bekerja berarti bahwa manusia mengambil bentuk alami dari objek alami
dan memberikan bentuknya sendiri. Ini berarti mereka tidak terbawa tekanan oleh
situasi kemiskinan atau sulitnya pekerjaan, melainkan mereka dapat menunjukkan
bagaimana menghayati dan menghargai kehidupannya. Menjaga dan merawat pekerjaan
yang telah mereka lakukan berarti menjaga kehidupan itu sendiri. Dunia mereka
adalah dunia tanggungjawab, dunia ketulusan, dunia penghargaan yang selalu
mereka berikan dari pagi sampai malam atau dari pagi sampai siang atau dari
sore sampai malam.
Dalam keseharian aktivitas
mereka tidak ada wajah tuntutan yang mereka berikan kepada setiap pengendara
kendaraan, tetapi wajah persahabatan dan persaudaraan. Semua pengendara
kendaraan merupakan saudara yang membutuhkan bantuan untuk menjaga kendaraan
mereka. Dengan tulus tukang parkir dapat membantu mereka agar semua urusan
mereka ditempat itu berjalan nyaman. Disinilah nampak hidup dunia para tukang
parkir dengan menjaga titipan kendaraan orang lain.
Di sini menjadi jelas bahwa
tukang parkir mempunyai dunianya tersendiri yaitu perparkiran. Dunia
perparkiran dapat menggambarkan tiga fungsi yang bisa dilihat yaitu pertama, fungsi reproduksi material. Fungsi
ini mengandung arti bahwa manusia bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Hidup
manusia mengandung banyak kebutuhannnya, seperti kebutuhan sandang, pangan dan
papan. Kedua, integrasi sosial.
Fungsi ini memberi arti bahwa dengan bekerja manusia mendapat status di
masyarakat. Mereka dipandang sebagai warga yang bermanfaat. Ketiga pengembangan diri. Fungsi ini
dipahami sebagai manusia memiliki daya cipta, artinya dengan bekerja, manusia
mampu secara kreatif menciptakan dan mengembangkan dirinya. Fungsi tersebut
dapat dilakukan para tukang parkir dalam kerja mereka. Mereka menerima dan
membagi uang hasil kerja untuk digunakan memenuhi kebutuhan hidupnya, sekaligus
diketahui oleh masyarakat mereka dapat bekerja sebagai tukang parkir dan mereka
dapat menciptakan kreativitas mereka untuk mengatur kendaraan dengan baik.
4. Tukang Parkir
dalam Temuan
Dalam proses menelusuri
fenomena kehidupan kerja tukang parkir terdapat beberapa hal yang dijumpai.
Perjumpaan ini bukan sekedar terjadi melainkan membutuhkan proses yang
terbangun sehingga dapat menunjukkan kesadaran untuk menemukan apa yang telah
terjadi. Kejadian yang dijumpai seperti berikut ini:
a. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan ladang
pertumbuhan dan perkembangan manusia. Keseharian hidup manusia diisi dengan
kerja, karena hanya dengan kerja manusia dapat melangsungkan hidupnya, seperti
pemikiran Marx bahwa �pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling dasar.
Ataupun pemikiran fenomenologi Hegel bahwa memahami hakikat pekerjaan, serta
mengerti manusia yang objektif, yang benar karena nyata, sebagai hasil
pekerjaannya sendiri�. Hal ini dapat memberi gambaran bahwa kerja merupakan
sebuah aktivitas lahirian dalam hidup manusia. Secara subtansi kerja menjadi
sebuah keharusan, sedangkan pada realitas terdapat sebuah mekanisme yang dapat
dipegang, dilalui seperti apa yang telah dilakukan para pekerja tukang parkir.
Pekerjaan merupakan tindakan manusia
yang dapat dilakukannya setiap hari sebagai sebuah kebutuhan mendasar dalam
kehidupannya. Dalam bekerja manusia dapat menujukkan dirinya untuk berkreasi
dan berkreatif. Kerja tukang parkir merupakan bagian dari kreasi dan kreatif
itu. Semua kreasi tersebut tidak mengalir begitu saja, melainkan terdapat
begitu banyak persoalan hidup yang dapat dihadapi. Persoalan hidup yang dalam
keluarga, teman dan pekerjaan. Persoalan pekerjaan menjadi pergumulan bagi para
pekerja tukang parkir. Dari hasil perjumpaan dengan para tukang parkir dapat
ditemukan bahwa mereka benar-benar kesulitan mendapat pekerjaan. Ketika ingin
mencari bagunan untuk bekerja di sana tetapi tempat kerja kaum buruh bagunan
telah dilakukan atau digantikan dengan mesin-mesin yang bekerja. Misalnya:
mencampur semen dari tenaga manusia diganti dengan mesin mobil ataupun mereka ingin
memperbaiki ventilasi rumah tetapi tidak ada ventilasi yang rusak.
Para tukang parkir ingin
menunjukkan kreasi mereka, tetapi kesulitan mendapat pekerjaan yang sesuai
kemauan mereka. Kesulitan tersebut mengantar mereka untuk dapat berkreasi
sebagai tukang parkir. Tukang parkir merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan
oleh siapapun dan kapan pun. Mereka dapat melakukannya sebab tuntutan kehidupan
yang dialaminya dimana mereka membutuhkan sebuah aktivitas dalam kehidupannya.
Dunia perparkiran bukan dunia yang amat buruk bagi kehidupan mereka, melainkan
dunia harapan untuk hidup mereka.
Kesulitan bekerja sebagai
tukang parkir pun dialami mereka bertiga (Zet, Iswanto dan Imam) bukan
mengantar mereka berkecil hati, melainkan membawa mereka kepada sebuah
kesadaran bahwa dunia pekerjaan tidak gampang di perkotaan. Kesadaran tersebut
membuat mereka tetap bekerja menjalani apa yang telah mereka dapat yaitu
sebagai tukang parkir. Bekerja sebagai tukang parkir mereka bertiga tetap
menjalaninya dengan penuh tanggungjawab ditengah kesulitan hidup yang dialami.
Bagi mereka kesulitan merupakan jalan hidup yang harus laluinya bersama. Di sini
dapat ditemukan bahwa bekerja pada zaman sekarang ini dibutuhkan kompetensi
khusus yang harus dimiliki setiap orang.
b. Pendidikan
Dalam sejarah peradaban
manusia ilmu pengetahuan sangat menentukannya. Ilmu pengetahuan menjadi dasar
dimana kompetensi dan profesionalisme dapat diwujudkan. Di sini menunjukkan
bahwa pendidikan formal harus dilalui berawal dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Mereka bertiga (Zet, Iswanto, Imam) yang bekerja sebagai
tukang pakir dapat dijumpai memiliki pendidikan paling tinggi sampai SMP.
Tingkat pendidikan yang ditempuh mereka bertiga baru sampai taraf minimum atau
di bawa standar formal. Dengan standar demikian tentu mempengaruhi dalam dunia
pencarian pekerjaan. Pada zaman sekarang pendidikan sangat menentukan sesorang
mendapat pekerjaan dalam ruangan yang memiliki aktivitas formal, ruangan yang
bersih, ruang teknologi yang canggih. Mereka bukan tidak mampu tetapi situasi
hidup asali mereka yang terlahir dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Pendidikan diperoleh mereka sebatas apa yang sesuai dengan kehidupan
keluarganya.
Dunia semakin berkembang dari
waktu ke waktu yang berdampak pada sistem peradaban kehidupan manusia. Dunia peradaban
demikian mengantar manusia dapat menentukan arah hidupnya. Di sini menjadi
jelas bahwa pekerjaan pada zaman ini membutuhkan profesionalisme. Artinya
pekerjaan membutuhkan orang yang mempunyai kemampuan akademis untuk
mengoperasikannya. Sistem demikian menuntut setiap orang dapat menyelesaikan
pendidikan secara baik. Dengan demikan, orang yang menyelesaikan pendidikan secara
memadai dapat membantunya untuk melakukan apa saja yang bisa dilakukan sesuai
kemampuan yang dimiliknya.
Pendidikan dapat mengantar
orang untuk menciptakan pekerjaan bukan hanya mencari pekerjaan. Dengan
pendidikan orang sadar dan tahu apa yang harus dilakukan dalam kehidupannya
secara khusus dalam pengembangan keahliannya untuk menunjukkan
keprofesionalismeannya. Ketiga tukang parkir yang dijumpai mereka tidak bisa
menciptakan pekerjaan sendiri sebab mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukan itu. Mereka dapat menunjukkan apa yang ada pada diri mereka yaitu
sebuah keterbatasan yang dimiliki. Dengan keterbatasan demikian mereka dapat
melakukan apa yang bisa mereka lakukan, seperti bekerja sebagai tukang parkir.
Disinilah realitas hidupan manusia yang ditentukan sistem peradaban pengetahuan
yang dialami dari waktu ke waktu.
c. Kehidupan
Pengalaman hidup tukang parkir
menegaskan bahwa hidup dapat di isi dengan pekerjaan. Mereka merasa bekerja dapat
membantu dirinya untuk berkomunikasi dengan berbagai person yang mereka jumpai.
Hidup bukan sebuah tembok yang mati tetapi sebuah kehidupan penuh dinamika yang
dilalui. Mereka mengisi hidupnya sebagai tukang parkir mengantar mereka
mengetahui bahwa hidup itu keras, sehingga membutuhkan kerja keras. Hal
tersebut terungkap dari dalam hati mereka bahwa �kalau kami tidak kerja kami
mati atau tidak makan�. Ungkapan ini memberi suatu gambaran tentang kehidupan
dunia ini yaitu kehidupan yang harus di isi dengan kerja keras.
Bagi tukang parkir hidup ini harus
di isi dalam melakukan pekerjaan yang telah menjadi bagian hidupnya dan taat
menjalaninya. Mengisi hidup bukan sesuatu ketabuan melainkan sesuatu kenyataan
yang dilakukannya. Kenyataan itu ialah berkerja sebagai tukang parkir baik dari
pagi sampai siang atau siang sampai malam atau sore sampai malam, serta dalam
cuaca cerah maupun hujan. Pekerjaan tukang parkir dapat membantu mereka untuk
mengisi hari-hari hidupnya.
Mengisi hidup tidak harus
tinggal diam atau menunggu belas kasih orang melainkan terus berusaha untuk
mendapat pekerjaan untuk mengisinya hidupnya. Ini berarti hidup harus bekerja
untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, seperti sandang, pangan dan papan. Di sini
menjadi jelas bahwahidup mereka dari tukang parkir merupakan hasil keringat
sendiri. Ketika orang dapat melakukan pekerjaannya ia dengan sendirinya dapat
memperoleh keberkasilannya. Keberhasilan yang dimaksud ialah keberhasilan dari
buah karya sendiri. Ketiga tukang parkir yang dijumpai mereka mempunyai
keberhasilan yang kelihatan ialah mereka mempunyai rekan, berjumpa dengan orang
lain dan mereka dapat bertanggungjawab atas apa yang mereka kerjakan.
Kehidupannya dapat dialami dan
dijalani walaupun terasa sulit, mereka masih bisa bersyukur atas penghasilan
yang diterimananya entah banyak atau sedikit. Sesulit apapun hidup yang mereka
jalani harus tetap disyukuri. Menjadi tukang parkir sudah menjadi bagian dari hidup
mereka yang selalu disyukurinya sebab hidup sebagai tukang lebih baik daripada
mereka harus meminta-minta uang kepada orang lain, atau yang lebih berbahaya
menjadi seorang pencuri. Ungkapan syukur dapat diungkapkan dengan cara menekuni
pekerjaannya dengan gembira dan rela hati, menyapa sesama dengan ramah dan
penuh persahabatan, bahkan terkadang rela untuk tidak menarik uang parkir pada
orang yang telah dikenal. Mereka mengungkapkan syukurnya dengan sederhana, seperti
sesederhana pekerjaan yang mereka tekuni.
Dinamikan kehidupan yang dilalui
oleh para tukang parkir ialah mereka dapat menjalaninya dalam sebuah irama atau
sistem yang dapat dipegangnya. Ditengah keterbatasan pendidikan yang dimiliki
mereka cukup mengerjakan apa yang sesuai dengan pengetahuan mereka, mengatur
jadwal bertugas, ada mufakat bersama ketika ada masalah yang perlu dibicarakan
dan cara mereka mengatur parkiran kendaraan. Sistem semacam ini tidak butuh
pendidikan khusus tetapi butuh tindakan berdasarkan nilai etis yang mereka
rasakan.
d. Kesetiaan
Kesetiaan merupakan syarat
penting dalam kehidupan, sebab kesetiaan mengandung unsur taat, komitmen, janji
atas apa yang hendak dan akan dilakukan dalam kehidupan seseorang. Menjadi
tukang parkir merupakan komitmen, janji atas apa yang telah dipilih dalam
kehidupan ini. Janji itu tertampak dalam pekerjaan tukang parkir yang dilakukan
ialah kesetiaan menjalaninya. Kesetiaan itu yang nampak dilihat ialah kesetiaan
mereka pada tempat-tempat yang telah menjadi pilihan mereka, seperti emperan
toko, perempatan jalan dan pertamanan. Jika dalam bekerja mereka telah mendapat
tempat parkir yang diparkir kendaraan jarang-jarang atau sepi mereka tetap di situ.
Begitupun ketika mereka mendapat tempat kerja yang diparkir kendaraan dengan
ramai, maka bersama beberapa teman tentu bertahan disitu. Di sini sangat jelas
bahwa kesetiaan para tukang parkir dinyatakan dalam tempat yang menjadi lokasi
kerjanya dan pada apa yang dilakukan.
Para tukang parkir dapat melakukannya
dengan sebuah kesadaran dan tanggungjawab, mereka tidak lari dari situasi yang
dijumpai. Semua dilakukan baik siang dan malam atau cuaca cerah atau hujan.
Situasi demikian menuntut mereka mengambil sebuah sikap untuk dapat dilakukan.
Sikap para tukang parkir dapat dijumpai melalui tindakannya dimana mereka dengan
setia dan penuh kesabaran untuk menjalankan tugasnya.
Kesetian bukan menuntut belas
kasih orang tetapi memberi setiap orang memiliki sikap tanggungjawab etis untuk
dapat melakukan atau memandang sesama dengan apa adanya secara positif. Di sini
kesetiaan bukan hanya datang dari tukang parkir yang dapat melakukan
pekerjaannya, tetapi juga para pengguna kendaraan harus setia menunggu perintah
dari tukang parkir. Dengan berbalas kesetiaan memberi ruang penghormatan atas
kerja seseorang dalam kehidupannya.
e.
Kebahagiaan
Dalam kehidupan setiap orang
dapat merumuskan sendiri apa arti bahagia bagi dirinya. Ada orang yang
merumuskan kebahagian dengan memiliki banyak barang elektronik, memiliki banyak
rumah, mempunyai usaha yang berhasil dengan baik. Di sini terlihat bahwa setiap
orang pasti berbeda-beda dalam merumuskan arti kebahagiaannya. Pengalaman
bekerja sebagai tukang parkir dapat mengantar mereka untuk mengerti dan
merumuskan arti kebahagiaan bagi hidup mereka.
Bagi para tukang parkir,
kebahagiaan merupakan sebuah perasaan yang positif dan menggairahkan
sebagaimana setiap hari mereka bisa merasakannya dari hatinya yang terdalam.
Kebahagiaan itu dapat dirasakan oleh mereka bertiga (Zet, Iswanto, Imam)
seperti ketika parkiran kendaraan tidak bermasalah karena kehilangan atau
tabrakan ataupun tanggapan para pengguna kendaraan dengan memberi kewajiban
biaya parkir. Dengan pola demikian mengantar tukang parkir tidak merasa
gelisah, kecewa atas apa yang mereka alami. Di sini kebahagiaan bukan ditemukan
di luar diri para tukang parkir melainkan apa yang lahir dalam aktivitas atau
kerja mereka. Mereka mengambil peran dalam bekerja dan dapat merumuskannya.
Rumusan kebagian bukan sesuatu yang lahir di luar dunia mereka sebagai tukang
parkir, melain lahir dari pengalaman dalam keterlibatannya sebagai seorang
tukang parkir.
Kebahagiaan merupakan tujuan dari etika yang dapat
memaknai apa yang telah dilakukan sehingga kebahagiaan merupakan tujuan dari
tindakan manusia. Demikian pula dengan bekerja sebgai tukang parkir mereka dapat
menunjukkan pergumulan hidupnya dalam mengkonstruksi kerjanya yang terarah pada
kebahagiaan. Kebahagian bagi tukang parkir ialah pekerjaan yang dilakukannya tidak
mendapat masalah dan uang yang diperoleh sehari bisa cukup untuk makan sehari.
Kebahagian bukan sebuah rumusan teori tetapi sebuah realitas pengalaman hidup
para tukang parkir. Pengalaman subjek selalu sesuai dengan apa yang dirasakan
dan alami sehingga dapat mengantarnya memaknai kebahagian yang benar-benar
lahir dari dalam dirinya sendiri.
Di sini dapat dilihat bahwa aktivitas kerja tukang
parkir mengusahakan agar kebahagian yang dialami sebagai sebuah nilai
keutamaan. Keutamaan menjadi nilai tersendiri�
dalam sebuah tindakan yang menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan itu
terarah kepada kebaikan yang terus dikerjakan dalam keseharian. Pergumulan
ketiga tukang parkir (Zet, Iswanto dan Imam) mengindikasikan adanya tindakan
mengejar kebahagiaan. Kebaikan itu telah dilakukan melalui memberi rasa nyaman
kepada pengguna kendaraan dan rekan kerja. Nilai keutamaan bagi mereka ialah
merasa bahagia yang mendasari kerja yang dilakukannya. Mereka dapat menunjukkan
wajah kebahagiaan ketika semua berjalan dengan baik dan bisa mendapat sepeser
uang untuk makan sehari.
Kebahagian bagi mereka ialah
ketika mereka melihat orang lain tersenyum atas pelayanan mereka. Ketersenyuman
dari orang lain membawa rasa dalam hati mereka bahwa mereka bisa dihargai,
diterima, dalam pekerjaan itu. Mereka bertiga yang bekerja sebagai tukang
parkir menerima senyuman dari orang lain memberi kelegaan tersendiri, artinya
mereka bahagia ketika disapa dan dihargai oleh orang lain terutama para
pengendara kendaraan bermotor.
Dalam bekerja mereka juga
bukan hanya seorang diri, tetapi juga ada rekan kerjanya yang menjadi tempat
berdiskusi di antara mereka. Dengan berdiskusi mereka merasa bahagia karena
saling menukar pikiran, pengalaman hidup yang dialami masing-masing. Mereka
bahagia karena bisa berbuat kebaikan bagi orang lain.
Kesimpulan
Fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung
atau tirai yang memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu sendiri
yang tampak bagi subyek. Di sini tukang parkir dapat menampakan dirinya, apa
adanya. Ketampakan kehidupan tukang parkir dapat dilihat melalui sarana yang
digunakan seperti berbaju orange, karcis di tangan, peluit di mulut dan selalu
ada di depan emperan pertokoan, perempatan jalan dan di pertamanan. Penampakan
dirinya menyatakan apa adanya mereka, apa yang mereka lakukan dan mereka alami
menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan dalam pekerjaan mereka.
Mereka bekerja dengan sebuah mekanisme yang telah ditetapkan
bersama untuk bekerja, baik yang bekerja seorang sendiri, maupun yang bekerja
dalam kelompok. Mekanisme yang ditampakan ialah jam berapa memulai kerja dan
kapan berakhir, hasil kerja yang disetor dan dibagi atau menjadi milik sendiri.
Proses tersebut dilalui dengan tanggungjawab dari waktu ke waktu. Mekanisme
yang terbangun demikian merupakan wajah interaksi yang dapat ditunjukkan dalam
kerja maupun hidup mereka. Interaksi yang dibangun merupakan interaksi
persaudaraan bukan memberi artiatasan dan bawahan, melainkan rekan, saudara
yang saling membutuhkan.
Tukang parkir merupakan fenomena sosial dalam kehidupan di perkotaan.
Mereka bukan menjadi masalah kehidupan sosial tetapi mereka menjadi pembantu
aktif dalam menjalankan kelancaran lalulintas jalan di depan pertokoan,
jalanan, pertamanan. Mereka mewakili orang-orang kecil lain yang dapat
melakukan pekerjaan� yang sama dalam
bentuk yang berbeda-beda pula. Realitas demikian menunjukkan dunia mereka yaitu
dunia perparkiran di kota-kota besar. Dunia mereka bukan dunia yang kasar
tetapi dunia yang lembut, penuh keramahan dan dapat bertanggung jawab membantu
orang, seperti kata mereka: �saya hanya
menjaga hak orang agar mereka dapat menjalankan aktivitas mereka�, atau�saya hanya memberi rasa nyaman kepada orang
lain� atau�saya menjadi tempat
penitipan barang berarti saya harus bertanggung jawab�. Inilah makna dunia
tukang parkir yang dengan setia menjalankan tugasnya.
Mereka memilih jalan pekerjaan ini bukan karena tuntutan tetapi
suatu realitas kehidupan yang dapat dialami. Dari lahir mereka sudah diajarkan
untuk terus berusaha agar mereka dapat bekerja. Mereka bekerja bukan harus
memiliki kompetensi, melainkan profesionalisme yang ditunjukkan. Di sini mereka
dengan bahagia menjalani pekerjaan ini dengan keterbatasan yang dimiliki, baik
secara pendidikan maupun kurangnya lapangan pekerjaan. Mereka tidak merasa
kecil hati atas apa yang telah mereka miliki yaitu bekerja sebagai tukang
parkir.
Kehidupan yang keras bukan berarti mereka harus bersikap keras
kepada orang lain, tetapi sebaliknya mereka bisa menampakkan wajah kelembutan
dan keramahan kepada orang lain terutama kepada para pengendara. Mereka dapat
menampakan wajah demikian untuk melahirkan sikap saling menghormati, menghargai
dan dapat bertangungjawab akan kewajiban masing-masing. Dengan demikan, mereka pun
dapat bersyukur dan mengisi hidup dengan sesuatu yang berguna baik bagi diri
sendiri maupun bagi orang lain.��
Akhirnya berdasarkan uraian-uraian di
atas dapat dikemukakan beberapa hal sebagai fenomena tukang parkir tukang parkir mengkonstruksi realitas
sosial kehidupan mereka berdasarkan sudut pandang mereka sendiri, sehingga
membentuk suatu model konstruksi sosialnya tersendiri. Karakteristik model
tersebut dapat dirinci dibawah ini:
Tidak semua kategori tukang parkir
menyatakan menjadi tukang parkir merupakan pilihan terakhir. Tukang parkir
berpengalaman menyatakan menjadi tukang parkir merupakan pilihan alternatif
lain karena sulitnya lapangan pekerjaan.
Motif utama tukang parkir tidak hanya
sebab masa lalu atau untuk masa datang tetapi terutama untuk dapat bertahan hidup
pada masa kini.
Tukang parkir memiliki struktur sosial
yang mereka bentuk sendiri, akan tetapi struktur tersebut tidak berupa struktur
formal seperti sebuah organisasi. Struktur tukang parkir lebih longgar.
Tukang parkir memiliki aturan main yang tidak
tertulis dan berupa konsensus yang disepakati bersama baik di dalam komunitas
mereka maupun di luar komunitasnya.
Tukang parkir mengelola komunikasi
mereka dengan tujuan mendapatkan kesan seperti apa yang diharapkannya, sehingga
membentuk model yang khas. Karakteristik model tersebut dapat dirinci sebagai
berikut:
Tukang parkir memiliki lambang bahasa
verbal yang mengikat hubungan mereka. Lambang tersebut didasarkan pada bahasa
daerah asal mereka, dan tidak memiliki bahasa khusus tukang parkir.
Tukang parkir sering menggunakan
komunikasi nonverbal dalam merebut empati para pengendara untuk merasa nyaman.
Tukang parkir mengelola kesan yang
diinginkannya secara otodidak, dan berusaha meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan mereka dalam bekerja sebagai tukang parkir.
Tukang parkir memiliki kompetensi yang
sama sehingga tidak dapat membandingkan di antara mereka.
BIBLIOGRAFI
Berger, Peter L. (2018). The Limits Of Social Cohesion: Conflict And
Mediation In Pluralist Societies. Routledge. Google Scholar
Goffman, Erving. (1959). The Moral Career Of The Mental Patient. Psychiatry,
22(2), 123�142. Google Scholar
Littlejohn, Stephen W., & Foss, Karen A. (2010). Theories Of Human
Communication. Waveland Press. Google Scholar
Lyman, Stanford M., & Scott, Marvin B. (2017). Territoriality: A
Neglected Sociological Dimension. In People And Buildings (Pp. 65�82).
Routledge. Google Scholar
Manis, Jerome G., & Meltzer, Bernard N. (1994). Chance In Human
Affairs. Sociological Theory, 45�56. Google Scholar
Meltzer, Bernard N., Petras, John W., & Reynolds, Larry T. (2020). Symbolic
Interactionism: Genesis, Varieties And Criticism. Routledge. Google Scholar
Payne, Stephen. (2016). Clinical Conditions. In Cerebral Autoregulation
(Pp. 75�119). Springer. Google Scholar
Schutz, Alfred. (2012). Gesammelte Aufs�tze: I Das Problem Der Sozialen
Wirklichkeit. Springer Science & Business Media. Google Scholar
Weber, Max. (1984). Los Tipos De Dominaci�n (Vol. 38). Nobooks
Editorial. Google Scholar
Copyright
holder: Imanuel Tenau (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |