Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 3, Maret 2022
IMPLEMENTASI
MASLAHAH MURSALAH DALAM PUTUSAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH DAN
BAHTSUL MASAIL NU (IJTIHAD SEBAGAI PENETAPAN HUKUM ISLAM)
�
Hanifah Kusumastuti, Imron Rosyadi, Rizka
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Ijtihad merupakan salah
satu upaya untuk merespon permasalahan-permasalahan baru yang tak dijelaskan
secara qath�i dalam A-Qur�an dan Hadis. Peranan ijtihad bagi umat Islam menjadi
sangat penting untuk mencari kepastian hukum atas setiap persoalan baru yang
muncul karena perkembangan zaman dan perubahan sosial. Para mujtahid perlu
memperhatikan metode-metode dalam berijtihad agar dapat menggali hukum Islam secara
maksimal, salah satunya Maslahah Mursalah. Metode� ini mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan
pencegahan kemadharatan atas sesuatu hal. Maslahah Mursalah dipergunakan sejak
zaman sahabat Khulafaur Rasyidin, seperi zaman Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Dua lembaga ijtihad di Indonesia, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul
Masail milik Nahdlatul Ulama, juga menggunakan Maslahah Mursalah dalam beberapa
putusan mereka. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode library
research, yakni menganalisis putusan-putusan hukum yang dibuat Majelis Tarjih Muhammadiyah dan
Bahstul Masail, melalui cara Maslahah Mursalah. Kesimpulan
yang diperoleh dari penulisan ini bahwa Maslahah Mursalah
merupakan metode ijtihad yang relevan untuk menggali hukum Islam di zaman
sekarang, termasuk di Indonesia. Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang
menggunakan kacamata Maslahah Mursalah antara lain tentang fatwa rokok, talak,
dan wakaf, sedangkan Bahstul Masail menggunakannya dalam menetapkan hukum
tentang izin usaha ritel dan penggusuran tanah warga oleh pemerintah.
Kata Kunci: Ijtihad; Maslahah
Mursalah; Majelis Tarjih Muhammadiyah; Bahtsul Masail NU
Abstract
Ijtihad is one of the efforts to respond to new problems that are not
explained qath'i in the Qur'an and Hadith. The role
of ijtihad for Muslims is very important to seek legal certainty over any new
problems that arise due to the times and social changes. Mujtahids need to pay
attention to methods in ijtihad in order to explore Islamic law to the fullest,
one of which is Maslahah Mursalah. This method considers aspects of
benefit and prevention of harm on something. Maslahah
Mursalah has been used since the time of the
companions of Khulafaur Rasyidin,
such as Abu Bakar as Shidiq and Umar bin
Khattab. Two ijtihad institutions in Indonesia, Majelis Tarjih Muhammadiyah and Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU), also
used Maslahah Mursalah in some
of their decisions. This research was conducted using the library research
method, which was to analyze the legal decisions made by Majelis Tarjih Muhammadiyah and Bahstul Masail NU, through Maslahah Mursalah method. The conclusion obtained
from this paper is that the Problem of Mursalah is a
relevant method of ijtihad to explore Islamic law today, including in
Indonesia. The decision of Majelis
Tarjih Muhammadiyah that uses the Maslahah
Mursalah perspective includes, among others, the
fatwa on cigarettes, divorce, and waqaf, while Bahstul Masail uses it in establishing laws regarding retail
business permits and the eviction of citizens' land by the government.
Keywords:� Ijtihad; Maslahah Mursalah; Majelis Tarjih Muhammadiyah; Bahtsul Masail NU
Pendahuluan
Hukum Islam
sejatinya merujuk kepada Al-Qur�an dan Hadis. Dua hal ini menjadi sumber utama
dalam pelaksanaan syariat Islam yang tak lekang zaman. Meski begitu umat Islam
tidak bisa menafikan perubahan dan perkembangan zaman. Kemajuan teknologi dan
informasi memengaruhi terjadinya perubahan sosial, termasuk tuntutan dalam
membuat keputusan di ranah hukum Islam. Al-Qur�an dan Hadis yang menempati
hierarki tertinggi dalam sumber hukum Islam tetap menjadi rujukan utama dalam
perubahan tersebut, meski demikian perlu diakui tidak semua permasalahan bisa
terakomodir dengan pasti dalam nash tersebut. Diperlukan ijtihad alias upaya
untuk menggali hukum Islam atas munculnya masalah-masalah baru yang terjadi
seiring dengan perkembangan zaman.
Ijtihad
merupakan jalan sebagai pengungkapan hukum atas permasalahan kontemporer.
Selain itu menetapkan hukum pada permasalahan yang tidak dijelaskan dalam
al-Qur�an secara qot�i menjadikan arahan yang tepat daripada sekedar
mengira-ngira. Karena dengan Ijtihad dalam menetapkan suatu hukum diperlukan
persyaratan� dan didasarkan pada sumber
hukum Islam sehingga Ijtihad tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi
terdapat pula penyimpangan-penyimpagan oleh kelompok atau individu tertentu
melakukan Ijtihad. Hal itu terjadi karena orang tersebut tidak memenuhi
kriteria untuk melakukan ijtihad atau karena metode yang dilakukan dalam
berijtihad menyimpang dari Nash. Ijtihad sebagai jalan untuk menetapkan hukum,
hampir diterima oleh segenap ulama, walaupun ada yang menentangnya. Bahkan
penggunaan ijtihad telah dipakai ketika Nabi Muhammad masih hidup. Ijtihad juga
telah dipakai pada masa Khulafaur Rasyidin. Sebagian besar ahli hukum
Islam� menetapkan hukum dengan ijtihad di
samping dengan nash dan ijma�.
Perkembangan
metode ijtihad sebagi penetapan hukum Islam di Indonesia mengalami
perkembangan. Ijtihad dapat dilakukan sendiri maupun bersama. Di Indonesia
dalam melakukan ijtihad, biasanya dilakukan secara bersama melalui oraganisasi
kemasyarakatan. Misalnya penetapan fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Muhammadiyah yaitu Majelis Tarjih, Bahtsul Masail oleh Nahdlatul Ulama�(NU),
dan Dewan Hisbah oleh Persatuan Islam (Persis) (Mubarok, 2020). Terdapat
beberapa cara yang bisa dilakukan seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad. Metode-metode
ini dipergunakan sejumlah organisasi Islam yang berfungsi memutuskan sebuah
permasalahan dengan cara berijtihad. Setidaknya terdapat lima metode yang
diakui beberapa ulama, termasuk dari Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul
Masail NU, dalam menempuh jalan ijtihad. Pola tersebut yakni Qiyas, Istihsan,
Masalahah Mursalah, Istishab, dan 'Urf. Masalahah Mursalah menjadi salah satu
metode yang kerap dipergunakan sejumlah organisasi pengambi fatwa di Indonesia,
tak terkecuali Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU. Itu
dikarenakan Masalahah dianggap bisa menjadi cara untuk menggali hukum atas
permasalahan baru yang tidak diatur dan dilarang dalam Al-Qur�an, Hadis, maupun
kesepakatan seluruh ulama (Ijma�).
Mayoritas ahli
usul fikih menerima metode mashlahah mursalah, kendati sebagian dari mereka
menggunakan persyaratan khusus. Imam Malik meletakkan persyaratan antara lain bahwa
maslahatnya harus masuk akal, mempunyai keterkaitan dengan hukum yang
ditetapkan, mampu menghilangkan kemadharatan, bertujuan untuk kepentingan
syariat, serta tidak berlawanan dengan dalil qath�i (Al-Syathibi, 2006).
Sebagai lembaga
fatwa, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahstul Masail NU menggunakan Masalahah
Mursalah dalam putusan-putusan mereka. Hal itu bisa dilihat pada putusan
Majelis Tarjih Muhammadiyah yang terangkum pada HPT Muhammadiyah dan Ahkamul
Fuqaha oleh Bahtsul Masail NU. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis
merasa perlu melakukan penelitian terhadap �Implementasi Masalahah Mursalah
dalam Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahstul Masail NU�.
Metode Penelitian
Dalam penulisan
ini jenis penelitian kualitatif bersifat kepustakaan atau library research, dan metode analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini yakni dengan metode diskriptif analisis (Bowen, 2009).
Pada pengumpulan
data yakni penulis mengumpulkan lebih dahulu data-data yang akan digunakan
untuk membuat diskripsi yang sesuai dengan persoalan yang dibahas. Data tersebut
kemudian dianalisis dan dikaji untuk menemukan pemecahaan dari rumusan masalah.
Sumber data yang digunakan untuk penulisan ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Sumber data premier terdiri atas
putusan-putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU. Untuk
putusan-putusan Muhammadiyah, peneliti menggunakan Himpunan Putusan Tarjih
(HPT) terbitan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Kitab ini memuat fatwa-fatwa
hasil muktamar Majelis Tarjih Muhammadiyah pertama pada Tahun 1929 yang
diselenggarkan di Solo hingga ke-29 yang digelar di Yogyakarta pada 2015.
Sementara putusan Bahtsul Masail NU, peneliti merujuk pada kitab Ahkamul Fuqaha
dari Lajnah Ta�lif Wan Nasyr (LTN) Pengurus Besar (PB) NU. Kitab ini memuat
putusan-putusan hukum yang dibuat Lembaga Bahtsul Masail sejak 1926-2015.
Sedangkan untuk sumber data sekunder dalam penelitian ini yakni berupa buku,
jurnal, literatur, laporan penelitian, dan lain sebagainya yang berkolerasi
dengan permasalahan yang diteliti. Di antara sumber sekunder itu berupa buku karangan
Faturahman Djamil berjudul Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, buku berjudul
Dinamika Ijtihad NU karya Dr. Imam Yahya, M.Ag, Jurnal Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah. Metode pengolahan data dilakukan dengan memaparkan data-data primer
dan sekunder kemudian diuraikan dengan metode diskriptif analisis yang
berkaitan dengan Maslahah Mursalah dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah
dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.
.
Hasil dan Pembahasan
Majelis Tarjih
menjadikan Masalahah Mursalah sebagai salah satu dari empat cara penetapan
fatwa bersama ijma', qiyas, dan 'urf. Majelis Tarjih tidak menjelaskan lebih
lanjut tentang teknik lain, seperti Istihsan, Istihsab, Syar'u man Qablana, dan
seterusnya. Dalam kesimpulannya, Majelis Tarjih menempatkan Maslahah Mursalah
teknik pengambilan fatwa bukan sebagai dalil hukum. Teknik ini dipergunakan
ketika menetapkan hukum atas permasalahan baru yang muncul di Indonesia.
Permasalahan baru yang diangkat dalam pembahasan ini tidak diterkait dalam
Al-Qur�an dan sunnah, atau dengan kata lain tidak ada yang konfirmasi baik
berupa perintah atau larangan dalam dua nash tersebut.
Unsur pentingan
ketika Majelis Tarjih menggunakan teknik Maslahah Mursalah dalam menetapkan
hukum yakni adanya kemaslahatan dari persoalan baru tersebut. Jika memang tidak
ada kemaslahatannya, maka pengambilan hukum atas persoalan baru tersebut tidak
bisa dipaksakan dengan teknik Maslahah Mursalah. Karena tidak semua penetapan
hukum atas persoalan baru dapat menggunakan cara ini. Kriteria kemaslahatan
yang dapat diterima untuk penggalian hukum menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah
ada dua macam, yakni kemaslahatan al-Dharuriyyah dan al-Hajiyyah. Dua macam
kemaslahatan ini masuk dalam ranah muamalah.Kemaslahatan al-Dharuriyyah adalah
kemaslahatan yang ada kaitannya dengan kebutuhan primer sebagai manusia, yang
berkaitan dengan maqasid syariah yaki
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan kemaslahatan
al-Hajiyyah adalah kemaslahatan yang diperlukan untuk melengkapi kemaslahatan
pokok, alias kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan sekunder manusia (Salma, 2016).
Dalam menentukan
kemaslahatan, Majelis Tarjih Muhammadiyah memerhatikan keselarasan masalahat
tersebut engan maqasid syariah. Setelah itu, diperhatikan tujuan awal dan hasil
akhir atas perbuatan itu. Tujuan dan hasil akhirnya seharusnya dapat
mendatangkan manfaat atau mencegah mafsadat. Kemaslahatan versi Majelis Tarjih
juga memperhatikan prinsip keadilan, serta mendatangkan ketertiban dan
kepastian. Hal yang tak kalah penting, bahwa Majelis Tarjih menempatkan
maslahat dengan memperhatikan ke-Indonesiaab, baik masyarakatnya maupun
perundang-undangan yang diterapkan di Tanah Air. Apalagi
salah satu misi gerakan tajdid oleh Muhammadiyah yakni mengfungsikan fatwa
Majelis Tarjih sebagai kontrol sosial dan rekayasa sosial terhadap kehidupan
warga Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya yang hidup di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Rosyadi, 2014).
Majelis Tarjih
Muhammadiyah menggunakan teknik Maslahah Mursalah dalam beberapa penetapan
hukum atas persoalan yang mereka bahas, salah satunya terkait Fatwa Perceraian
di Luar Sidang Pengadilan. Fatwa tarjih ini diputuskan� pada 25 Mei 2007. Majelis Tarjih tidak
mengesahkan talak secara sepihak oleh suami di rumah.� Menurut Muhammadiyah talak seperti itu tidak
berlaku, sebab talak hanya bisa dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama.
Landasan fatwa ini menggunakan pola maslahah mursalah. Majelis Tarjih
memutuskan perceraian wajib dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan.
Suami harus mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan, sedangkan untuk
cerai gugat diputuskan oleh hakim. Penjatuhan talak di depan sidang pengadilan
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap institusi
keluarga dan perwujudan kepastian hukum serta kehati-hatian dalam masalah
perceraian. Majelis Tarjih mendasarkan putusannya ini pada QS Al-Anbiya' ayat
107 yang berbunyi "Tiadalah kami
mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmah bagi semesta alam".
Ayat tersebut menekankan salah satu tujuan syariah adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan. Perceraian sendiri merupakan hal yang boleh dilakukan namun
dibenci oleh Allah SWT seperti dalam hadis riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi
yang berarti "Suatu yang halal yang paling
dibenci oleh Allah SWT adalah talak". �Tujuan Muhammadiyah menggunakan pola maslahah
untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. Tujuan dari keputusan yang
menggunakan pola ini untuk kemaslahatan manusia.
Majelis Tarjih
Muhammadiyah juga menggunakan Maslahah Mursalah dalam memutuskan fatwa No.
6/SM/MMT/III/2010 tentang Hukum Merokok. �Maslahah Mursalah bukan satu-datunya metode dan
alasan yang dipakai dalam memutuskan perkara ini. Selain Maslahah Mursalah,
Majelis Tarjih menggunakan qiyas untuk memutuskan hukum merokok. Dalam
fatwanya, Majelis Tarjih menjelaskan bahwa merokok merupakan perbuatan yang
membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain. Alasan tersebut sejalan
dengan syarat Masalahah Mursalah, yakni harus bisa mendatangkan manfaat atau
menghindarkan bahaya. Merokok dinilai membayakan kesehatan karema mengandung unsur
racun yang membahayakan, hingga bisa berisiko mendatangkan penyakit mematikan antara
lain berupa kanker paru-paru. Merokok �membayakan orang lain yang ikut terpapar asapnya.
Muhammadiyah memperkuat keputusannya dengan beberapa dalil antara lain QS Al
Baqarah ayat 2 yang berarti "Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...".
Selain itu, merokok bertentangan dengan salah satu poin Maqasid Syari yakni
menjaga jiwa.
Maslahah
Mursalah dipergunakan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam membuat Keputusan
tentang Hukum Wakaf pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 (1953) di Purwokerto. Majelis
Tarjih menjelaskan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, dan
diwariskan, namun apabila benda wakaf itu rusak atau kurang bermanfaat bagi
penerima wakaf maka boleh dipergunakan untuk yang lebih banyak manfaatnya
sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam keputusan itu dijelaskan apabila benda wakaf
lapuk atau rusak maka dibolehkan untuk dipergunakan untuk lainya atau dijual
asalkan hasil penjualan itu dibelikan barang lain untuk meneruskan manfaat dari
wakaf tersebut (Muhammadiyah, 2019).
Majelis Tarjih memutuskan
fatwa itu dengan teknik Maslahah Mursalah, yakni mengutamakan kemanfaatan bagi
harta wakaf yang terbengkalai atau rusak. Dengan pengalihan harta wakaf atau
dijualnya harta wakaf tersebut maka manfaat benda dari wakif (pemberi wakaf)
sebagai sadaqah jariyah masih bisa dipertahankan dibandingan dibiarkan rusak
atau tidak dipergunakan. Fatwa itu diperkuat dengan dalil HR Bukhari sebagai
berikut: �Dari Ibnu Umar r.a.
(diriwayatkan) bahwasannya Umar r.a. pernah mendapatkan sebidang tanah di
Khaibar. Lalu beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasihat mengenai tanah
itu, seraya berkata, ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar,
yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu, maka
apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengannya? Nabi saw pun bersabda, jika
engkau berkenan, tahanlah pokoknya, dan bersedekahlah dengan hasilnya. Ibnu
Umar berkata, maka bersedekahlah Umar dengan hasilnya, dan pokoknya itu tidak
dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Umar bersedekah dengannya kepada
orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan
Allah, ibnu sabil, dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya
dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta
harganya."
NU mengenal
istilah �Maslahah �Ammah� yang berarti kemasalahatan bersama. Maslahah
�Ammah� ini dikembalikan pada� Khitthah
NU sebagai� landasar� berfikir�
maupun� cara� bersikap�
turut mewarnai dalam�� setiap�� langkah��
atau�� keputusannya.�� Misalnya��
dalam�� memutuskan�� atau menciptakan kepentingan umum (maslahah
�ammah), harus sesuai dengan garis-garis besar�
yang� telah� ditetapkan.�
NU� dalam� dalam�
memutuskan �kepentingan� umum (maslahah� 'ammah)�
tertuang� dalam� Khitthah NU�
pada� butir� (5), tentang �perilaku keagamaan dan sikap
kemasyarakatan�alenia (b) yang berbunyi; �warga NU harus lebih mendahulukan
kepentingan bersama (maslahah 'ammah) daripada kepentingan sendiri�. Sedangkan
butir (5), alinea (i), yang� berbunyi;
�siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang bermanfaat dan bermaslahat�. (Yusuf, 2019)
Maka NU
menggunakan Maslahah Mursalah sebagai pertimbangan penting ketika memutuskan
sebuah hukum, baik yang dilakukan secara qauli (mengutip pendapat ulama
terdahulu) atau pun ketika berijtihad secara manhaji (mengikuti metode ulama
terdahulu). Di antara putusan Bahstul Masail NU yang berhubungan dengan
Maslahah Mursalah yakni �Kewakafan Alat-Alat Mesjid yang Sudah Rusak� yang
ditetapkan di Jakarta pada Tahun 1961. Dalam putusannya itu, NU menyatakan
alat-alat mesjid yang sudah rusak yang tidak patut dipakai lagi kecuali
dibakar, maka hukum kewakafannya masih tetap berlanjut. Akan tetapi boleh
dijual agar kemasalahatannya tetap dipertahankan, dibandingkan hanya sekadar
dibiarkan tanpa ada kegunaan. Keputusan ini didasarkan dari kitab Fat�u Muin
karya Zainudin al Malibari dan kitab I�anah al-Thalibin karya Al-Bakri bin
Muhammad Syaththa al-Dimyathi.
Muktamar NU
ke-29 pada Tahun 1994 tentang Menggusur Tanah Rakyat untuk Kepentingan Umum
berkaitan dengan teknik Maslahah Mursalah. Bahtsul Masail memutuskan hukum
penggusuran tanah oleh pemerintah demi kepentingan umum (al maslahah
al-�amanah) boleh dilakukan, dengan syarat betul-betul pemanfaatannya oleh
pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan oleh syara dan dengan ganti
rugi yang memadai. Keputusan ini diambil dengan Maslahah Mursalah dengan
mencontoh Umar bin Khattab yang tertuang dari kitab Al Ahkam al Sulthaniyah
karya Al Mawardi. Umar merobohkan bangunan penduduk sekitar untuk memperluas
mesjid Nabawi setelah membeli rumah-rumah tersebut. Kesimpulannya, pemerintah
tetap memberi ganti rugi tanah warga yang sudah digunakan untuk kepentingan
umum tersebut.
Keputusan
tentang Izin Usaha Berpotensi Mafsadah pada Munas 2017. Bahtsul Masail
memutuskan izin usaha (retail) yang berpotensi menimbulkan mafsadat bagi rakyat
kecil yang memiliki toko-toko di sekitar wilayah tersebut yakni haram. Hal itu
tidak diperbolehkan apabila dampak mafsadatnya lebih besar dibandingkan
maslahat yang dirasakan, semisal mengakibatkan terjadinya permainan dan
monopoli harga, gejolak ekonomi masyarakat, dan penggelapan aset. Akan tetapi
hukumanya member izin usaha diperbolehkan jika maslahat yang dirasakan masyarakat
lebih besar karena keberdaadan tempat usaha itu. Jika pemerintah terlanjur
memberi izin dan ternyata terjadi mafsadat maka pemerintah wajib mencabut izin
tersebut apabila mafsadat yang timbul tidak bisa dihilangkan setelah dilakukan
berbagai upaya dan tahapan.
Kesimpulan
Maslahah Mursalah
merupakan metode ijtihad
yang dipakai untuk memutus perkara baru yang tidak tertulis dalam nash dengan mendasarkan alasan yang rasional. Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU mempertimbangkan aspek Maslahah Mursalah
dalam bertijtihad, yang intinya
mengandung manfaat dan dapat mencegah keburukan. Hal itu bisa dilihat dari
keputusan-keputusan mereka,
masing-masing antara lain ditemukan
dalam
kitab Himpunan Tarjih Muhammadiyah
(HPT) dan Ahkamul Fuqaha karya Bahtsul
Masail NU.
Maslahah Mursalah harus memenuhi syarat-syarat, antara lain mengundang manfaat
atau mencegah kemafsadatan, diberlakukan demi kepentingan umum, bukan
berdasarkan kepentingan pribadi, serta tidak ada dalil nash dan ijma yang mengatur atau melarangnya secara qath�i.
Al-Syathibi. (2006). Al-I�tisham, Jilid
II. Kairo: al-Maktabat al-Tijariyyat.
Bowen, Glenn A. (2009). Document analysis
as a qualitative research method. Qualitative Research Journal. Google Scholar
Mubarok, Jaih. (2020). Metodologi
Ijtihad Hukum Islam. Google Scholar
Muhammadiyah. (2019). Himpunan Putusan
Tarjih (HPT) (Jilid I). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Rosyadi, I. (2014). Masalahah Mursalah
sebagai Instrumen Penetapan dan Perubahan Hukum. Suara Muhammadiyah, 22�23.
Salma, Salma. (2016). Maslahah Dalam
Perspektif Hukiim Islam. Jurnal Ilmiah Al-Syir�ah, 10(2). Google Scholar
Yusuf. (2019). Maslahah Al Mursalah dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara: Perspektif NU dan Ulama Mazdhahib Al-Arba�ah.
Al Maslahah, 16(1), 159.
������
Copyright holder: Hanifah Kusumastuti,
Imron Rosyadi, Rizka (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |