Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 3, Maret 2022

 

IMPLEMENTASI MASLAHAH MURSALAH DALAM PUTUSAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH DAN BAHTSUL MASAIL NU (IJTIHAD SEBAGAI PENETAPAN HUKUM ISLAM)

Hanifah Kusumastuti, Imron Rosyadi, Rizka

Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Ijtihad merupakan salah satu upaya untuk merespon permasalahan-permasalahan baru yang tak dijelaskan secara qath�i dalam A-Qur�an dan Hadis. Peranan ijtihad bagi umat Islam menjadi sangat penting untuk mencari kepastian hukum atas setiap persoalan baru yang muncul karena perkembangan zaman dan perubahan sosial. Para mujtahid perlu memperhatikan metode-metode dalam berijtihad agar dapat menggali hukum Islam secara maksimal, salah satunya Maslahah Mursalah. Metodeini mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan pencegahan kemadharatan atas sesuatu hal. Maslahah Mursalah dipergunakan sejak zaman sahabat Khulafaur Rasyidin, seperi zaman Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Dua lembaga ijtihad di Indonesia, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail milik Nahdlatul Ulama, juga menggunakan Maslahah Mursalah dalam beberapa putusan mereka. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode library research, yakni menganalisis putusan-putusan hukum yang dibuat Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahstul Masail, melalui cara Maslahah Mursalah. Kesimpulan yang diperoleh dari penulisan ini bahwa Maslahah Mursalah merupakan metode ijtihad yang relevan untuk menggali hukum Islam di zaman sekarang, termasuk di Indonesia. Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menggunakan kacamata Maslahah Mursalah antara lain tentang fatwa rokok, talak, dan wakaf, sedangkan Bahstul Masail menggunakannya dalam menetapkan hukum tentang izin usaha ritel dan penggusuran tanah warga oleh pemerintah.

 

Kata Kunci: Ijtihad; Maslahah Mursalah; Majelis Tarjih Muhammadiyah; Bahtsul Masail NU

 

Abstract

Ijtihad is one of the efforts to respond to new problems that are not explained qath'i in the Qur'an and Hadith. The role of ijtihad for Muslims is very important to seek legal certainty over any new problems that arise due to the times and social changes. Mujtahids need to pay attention to methods in ijtihad in order to explore Islamic law to the fullest, one of which is Maslahah Mursalah. This method considers aspects of benefit and prevention of harm on something. Maslahah Mursalah has been used since the time of the companions of Khulafaur Rasyidin, such as Abu Bakar as Shidiq and Umar bin Khattab. Two ijtihad institutions in Indonesia, Majelis Tarjih Muhammadiyah and Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU), also used Maslahah Mursalah in some of their decisions. This research was conducted using the library research method, which was to analyze the legal decisions made by Majelis Tarjih Muhammadiyah and Bahstul Masail NU, through Maslahah Mursalah method. The conclusion obtained from this paper is that the Problem of Mursalah is a relevant method of ijtihad to explore Islamic law today, including in Indonesia. The decision of Majelis Tarjih Muhammadiyah that uses the Maslahah Mursalah perspective includes, among others, the fatwa on cigarettes, divorce, and waqaf, while Bahstul Masail uses it in establishing laws regarding retail business permits and the eviction of citizens' land by the government.

 

Keywords:Ijtihad; Maslahah Mursalah; Majelis Tarjih Muhammadiyah; Bahtsul Masail NU

 

Pendahuluan

Hukum Islam sejatinya merujuk kepada Al-Qur�an dan Hadis. Dua hal ini menjadi sumber utama dalam pelaksanaan syariat Islam yang tak lekang zaman. Meski begitu umat Islam tidak bisa menafikan perubahan dan perkembangan zaman. Kemajuan teknologi dan informasi memengaruhi terjadinya perubahan sosial, termasuk tuntutan dalam membuat keputusan di ranah hukum Islam. Al-Qur�an dan Hadis yang menempati hierarki tertinggi dalam sumber hukum Islam tetap menjadi rujukan utama dalam perubahan tersebut, meski demikian perlu diakui tidak semua permasalahan bisa terakomodir dengan pasti dalam nash tersebut. Diperlukan ijtihad alias upaya untuk menggali hukum Islam atas munculnya masalah-masalah baru yang terjadi seiring dengan perkembangan zaman.

Ijtihad merupakan jalan sebagai pengungkapan hukum atas permasalahan kontemporer. Selain itu menetapkan hukum pada permasalahan yang tidak dijelaskan dalam al-Qur�an secara qot�i menjadikan arahan yang tepat daripada sekedar mengira-ngira. Karena dengan Ijtihad dalam menetapkan suatu hukum diperlukan persyaratandan didasarkan pada sumber hukum Islam sehingga Ijtihad tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi terdapat pula penyimpangan-penyimpagan oleh kelompok atau individu tertentu melakukan Ijtihad. Hal itu terjadi karena orang tersebut tidak memenuhi kriteria untuk melakukan ijtihad atau karena metode yang dilakukan dalam berijtihad menyimpang dari Nash. Ijtihad sebagai jalan untuk menetapkan hukum, hampir diterima oleh segenap ulama, walaupun ada yang menentangnya. Bahkan penggunaan ijtihad telah dipakai ketika Nabi Muhammad masih hidup. Ijtihad juga telah dipakai pada masa Khulafaur Rasyidin. Sebagian besar ahli hukum Islammenetapkan hukum dengan ijtihad di samping dengan nash dan ijma�.

Perkembangan metode ijtihad sebagi penetapan hukum Islam di Indonesia mengalami perkembangan. Ijtihad dapat dilakukan sendiri maupun bersama. Di Indonesia dalam melakukan ijtihad, biasanya dilakukan secara bersama melalui oraganisasi kemasyarakatan. Misalnya penetapan fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah yaitu Majelis Tarjih, Bahtsul Masail oleh Nahdlatul Ulama�(NU), dan Dewan Hisbah oleh Persatuan Islam (Persis) (Mubarok, 2020). Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad. Metode-metode ini dipergunakan sejumlah organisasi Islam yang berfungsi memutuskan sebuah permasalahan dengan cara berijtihad. Setidaknya terdapat lima metode yang diakui beberapa ulama, termasuk dari Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU, dalam menempuh jalan ijtihad. Pola tersebut yakni Qiyas, Istihsan, Masalahah Mursalah, Istishab, dan 'Urf. Masalahah Mursalah menjadi salah satu metode yang kerap dipergunakan sejumlah organisasi pengambi fatwa di Indonesia, tak terkecuali Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU. Itu dikarenakan Masalahah dianggap bisa menjadi cara untuk menggali hukum atas permasalahan baru yang tidak diatur dan dilarang dalam Al-Qur�an, Hadis, maupun kesepakatan seluruh ulama (Ijma�).

Mayoritas ahli usul fikih menerima metode mashlahah mursalah, kendati sebagian dari mereka menggunakan persyaratan khusus. Imam Malik meletakkan persyaratan antara lain bahwa maslahatnya harus masuk akal, mempunyai keterkaitan dengan hukum yang ditetapkan, mampu menghilangkan kemadharatan, bertujuan untuk kepentingan syariat, serta tidak berlawanan dengan dalil qath�i (Al-Syathibi, 2006).

Sebagai lembaga fatwa, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahstul Masail NU menggunakan Masalahah Mursalah dalam putusan-putusan mereka. Hal itu bisa dilihat pada putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang terangkum pada HPT Muhammadiyah dan Ahkamul Fuqaha oleh Bahtsul Masail NU. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis merasa perlu melakukan penelitian terhadap �Implementasi Masalahah Mursalah dalam Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahstul Masail NU�.

 

Metode Penelitian

Dalam penulisan ini jenis penelitian kualitatif bersifat kepustakaan atau library research, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yakni dengan metode diskriptif analisis (Bowen, 2009).

Pada pengumpulan data yakni penulis mengumpulkan lebih dahulu data-data yang akan digunakan untuk membuat diskripsi yang sesuai dengan persoalan yang dibahas. Data tersebut kemudian dianalisis dan dikaji untuk menemukan pemecahaan dari rumusan masalah. Sumber data yang digunakan untuk penulisan ini terdiri dari data primer dan sekunder. Sumber data premier terdiri atas putusan-putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU. Untuk putusan-putusan Muhammadiyah, peneliti menggunakan Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terbitan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Kitab ini memuat fatwa-fatwa hasil muktamar Majelis Tarjih Muhammadiyah pertama pada Tahun 1929 yang diselenggarkan di Solo hingga ke-29 yang digelar di Yogyakarta pada 2015. Sementara putusan Bahtsul Masail NU, peneliti merujuk pada kitab Ahkamul Fuqaha dari Lajnah Ta�lif Wan Nasyr (LTN) Pengurus Besar (PB) NU. Kitab ini memuat putusan-putusan hukum yang dibuat Lembaga Bahtsul Masail sejak 1926-2015. Sedangkan untuk sumber data sekunder dalam penelitian ini yakni berupa buku, jurnal, literatur, laporan penelitian, dan lain sebagainya yang berkolerasi dengan permasalahan yang diteliti. Di antara sumber sekunder itu berupa buku karangan Faturahman Djamil berjudul Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, buku berjudul Dinamika Ijtihad NU karya Dr. Imam Yahya, M.Ag, Jurnal Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Metode pengolahan data dilakukan dengan memaparkan data-data primer dan sekunder kemudian diuraikan dengan metode diskriptif analisis yang berkaitan dengan Maslahah Mursalah dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.

.

Hasil dan Pembahasan

Majelis Tarjih menjadikan Masalahah Mursalah sebagai salah satu dari empat cara penetapan fatwa bersama ijma', qiyas, dan 'urf. Majelis Tarjih tidak menjelaskan lebih lanjut tentang teknik lain, seperti Istihsan, Istihsab, Syar'u man Qablana, dan seterusnya. Dalam kesimpulannya, Majelis Tarjih menempatkan Maslahah Mursalah teknik pengambilan fatwa bukan sebagai dalil hukum. Teknik ini dipergunakan ketika menetapkan hukum atas permasalahan baru yang muncul di Indonesia. Permasalahan baru yang diangkat dalam pembahasan ini tidak diterkait dalam Al-Qur�an dan sunnah, atau dengan kata lain tidak ada yang konfirmasi baik berupa perintah atau larangan dalam dua nash tersebut.

Unsur pentingan ketika Majelis Tarjih menggunakan teknik Maslahah Mursalah dalam menetapkan hukum yakni adanya kemaslahatan dari persoalan baru tersebut. Jika memang tidak ada kemaslahatannya, maka pengambilan hukum atas persoalan baru tersebut tidak bisa dipaksakan dengan teknik Maslahah Mursalah. Karena tidak semua penetapan hukum atas persoalan baru dapat menggunakan cara ini. Kriteria kemaslahatan yang dapat diterima untuk penggalian hukum menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah ada dua macam, yakni kemaslahatan al-Dharuriyyah dan al-Hajiyyah. Dua macam kemaslahatan ini masuk dalam ranah muamalah.Kemaslahatan al-Dharuriyyah adalah kemaslahatan yang ada kaitannya dengan kebutuhan primer sebagai manusia, yang berkaitan dengan maqasid syariah yaki memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan kemaslahatan al-Hajiyyah adalah kemaslahatan yang diperlukan untuk melengkapi kemaslahatan pokok, alias kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan sekunder manusia (Salma, 2016).

Dalam menentukan kemaslahatan, Majelis Tarjih Muhammadiyah memerhatikan keselarasan masalahat tersebut engan maqasid syariah. Setelah itu, diperhatikan tujuan awal dan hasil akhir atas perbuatan itu. Tujuan dan hasil akhirnya seharusnya dapat mendatangkan manfaat atau mencegah mafsadat. Kemaslahatan versi Majelis Tarjih juga memperhatikan prinsip keadilan, serta mendatangkan ketertiban dan kepastian. Hal yang tak kalah penting, bahwa Majelis Tarjih menempatkan maslahat dengan memperhatikan ke-Indonesiaab, baik masyarakatnya maupun perundang-undangan yang diterapkan di Tanah Air. Apalagi salah satu misi gerakan tajdid oleh Muhammadiyah yakni mengfungsikan fatwa Majelis Tarjih sebagai kontrol sosial dan rekayasa sosial terhadap kehidupan warga Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (Rosyadi, 2014).

Majelis Tarjih Muhammadiyah menggunakan teknik Maslahah Mursalah dalam beberapa penetapan hukum atas persoalan yang mereka bahas, salah satunya terkait Fatwa Perceraian di Luar Sidang Pengadilan. Fatwa tarjih ini diputuskanpada 25 Mei 2007. Majelis Tarjih tidak mengesahkan talak secara sepihak oleh suami di rumah.Menurut Muhammadiyah talak seperti itu tidak berlaku, sebab talak hanya bisa dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Landasan fatwa ini menggunakan pola maslahah mursalah. Majelis Tarjih memutuskan perceraian wajib dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan. Suami harus mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan, sedangkan untuk cerai gugat diputuskan oleh hakim. Penjatuhan talak di depan sidang pengadilan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap institusi keluarga dan perwujudan kepastian hukum serta kehati-hatian dalam masalah perceraian. Majelis Tarjih mendasarkan putusannya ini pada QS Al-Anbiya' ayat 107 yang berbunyi "Tiadalah kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmah bagi semesta alam". Ayat tersebut menekankan salah satu tujuan syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Perceraian sendiri merupakan hal yang boleh dilakukan namun dibenci oleh Allah SWT seperti dalam hadis riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi yang berarti "Suatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak". Tujuan Muhammadiyah menggunakan pola maslahah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. Tujuan dari keputusan yang menggunakan pola ini untuk kemaslahatan manusia.

Majelis Tarjih Muhammadiyah juga menggunakan Maslahah Mursalah dalam memutuskan fatwa No. 6/SM/MMT/III/2010 tentang Hukum Merokok. Maslahah Mursalah bukan satu-datunya metode dan alasan yang dipakai dalam memutuskan perkara ini. Selain Maslahah Mursalah, Majelis Tarjih menggunakan qiyas untuk memutuskan hukum merokok. Dalam fatwanya, Majelis Tarjih menjelaskan bahwa merokok merupakan perbuatan yang membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain. Alasan tersebut sejalan dengan syarat Masalahah Mursalah, yakni harus bisa mendatangkan manfaat atau menghindarkan bahaya. Merokok dinilai membayakan kesehatan karema mengandung unsur racun yang membahayakan, hingga bisa berisiko mendatangkan penyakit mematikan antara lain berupa kanker paru-paru. Merokok membayakan orang lain yang ikut terpapar asapnya. Muhammadiyah memperkuat keputusannya dengan beberapa dalil antara lain QS Al Baqarah ayat 2 yang berarti "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...". Selain itu, merokok bertentangan dengan salah satu poin Maqasid Syari yakni menjaga jiwa.

Maslahah Mursalah dipergunakan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam membuat Keputusan tentang Hukum Wakaf pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 (1953) di Purwokerto. Majelis Tarjih menjelaskan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, namun apabila benda wakaf itu rusak atau kurang bermanfaat bagi penerima wakaf maka boleh dipergunakan untuk yang lebih banyak manfaatnya sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam keputusan itu dijelaskan apabila benda wakaf lapuk atau rusak maka dibolehkan untuk dipergunakan untuk lainya atau dijual asalkan hasil penjualan itu dibelikan barang lain untuk meneruskan manfaat dari wakaf tersebut (Muhammadiyah, 2019).

Majelis Tarjih memutuskan fatwa itu dengan teknik Maslahah Mursalah, yakni mengutamakan kemanfaatan bagi harta wakaf yang terbengkalai atau rusak. Dengan pengalihan harta wakaf atau dijualnya harta wakaf tersebut maka manfaat benda dari wakif (pemberi wakaf) sebagai sadaqah jariyah masih bisa dipertahankan dibandingan dibiarkan rusak atau tidak dipergunakan. Fatwa itu diperkuat dengan dalil HR Bukhari sebagai berikut: �Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan) bahwasannya Umar r.a. pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasihat mengenai tanah itu, seraya berkata, ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu, maka apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengannya? Nabi saw pun bersabda, jika engkau berkenan, tahanlah pokoknya, dan bersedekahlah dengan hasilnya. Ibnu Umar berkata, maka bersedekahlah Umar dengan hasilnya, dan pokoknya itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, ibnu sabil, dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya."

NU mengenal istilah �Maslahah �Ammah� yang berarti kemasalahatan bersama. Maslahah �Ammahini dikembalikan padaKhitthah NU sebagailandasarberfikirmaupuncarabersikapturut mewarnai dalam�� setiap�� langkah�� atau�� keputusannya.�� Misalnya�� dalam�� memutuskan�� atau menciptakan kepentingan umum (maslahah �ammah), harus sesuai dengan garis-garis besaryangtelahditetapkan.NUdalamdalammemutuskan kepentinganumum (maslahah'ammah)tertuangdalamKhitthah NUpadabutir(5), tentang �perilaku keagamaan dan sikap kemasyarakatan�alenia (b) yang berbunyi; �warga NU harus lebih mendahulukan kepentingan bersama (maslahah 'ammah) daripada kepentingan sendiri�. Sedangkan butir (5), alinea (i), yangberbunyi; �siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang bermanfaat dan bermaslahat�. (Yusuf, 2019)

Maka NU menggunakan Maslahah Mursalah sebagai pertimbangan penting ketika memutuskan sebuah hukum, baik yang dilakukan secara qauli (mengutip pendapat ulama terdahulu) atau pun ketika berijtihad secara manhaji (mengikuti metode ulama terdahulu). Di antara putusan Bahstul Masail NU yang berhubungan dengan Maslahah Mursalah yakni �Kewakafan Alat-Alat Mesjid yang Sudah Rusak� yang ditetapkan di Jakarta pada Tahun 1961. Dalam putusannya itu, NU menyatakan alat-alat mesjid yang sudah rusak yang tidak patut dipakai lagi kecuali dibakar, maka hukum kewakafannya masih tetap berlanjut. Akan tetapi boleh dijual agar kemasalahatannya tetap dipertahankan, dibandingkan hanya sekadar dibiarkan tanpa ada kegunaan. Keputusan ini didasarkan dari kitab Fat�u Muin karya Zainudin al Malibari dan kitab I�anah al-Thalibin karya Al-Bakri bin Muhammad Syaththa al-Dimyathi.

Muktamar NU ke-29 pada Tahun 1994 tentang Menggusur Tanah Rakyat untuk Kepentingan Umum berkaitan dengan teknik Maslahah Mursalah. Bahtsul Masail memutuskan hukum penggusuran tanah oleh pemerintah demi kepentingan umum (al maslahah al-�amanah) boleh dilakukan, dengan syarat betul-betul pemanfaatannya oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan oleh syara dan dengan ganti rugi yang memadai. Keputusan ini diambil dengan Maslahah Mursalah dengan mencontoh Umar bin Khattab yang tertuang dari kitab Al Ahkam al Sulthaniyah karya Al Mawardi. Umar merobohkan bangunan penduduk sekitar untuk memperluas mesjid Nabawi setelah membeli rumah-rumah tersebut. Kesimpulannya, pemerintah tetap memberi ganti rugi tanah warga yang sudah digunakan untuk kepentingan umum tersebut.

Keputusan tentang Izin Usaha Berpotensi Mafsadah pada Munas 2017. Bahtsul Masail memutuskan izin usaha (retail) yang berpotensi menimbulkan mafsadat bagi rakyat kecil yang memiliki toko-toko di sekitar wilayah tersebut yakni haram. Hal itu tidak diperbolehkan apabila dampak mafsadatnya lebih besar dibandingkan maslahat yang dirasakan, semisal mengakibatkan terjadinya permainan dan monopoli harga, gejolak ekonomi masyarakat, dan penggelapan aset. Akan tetapi hukumanya member izin usaha diperbolehkan jika maslahat yang dirasakan masyarakat lebih besar karena keberdaadan tempat usaha itu. Jika pemerintah terlanjur memberi izin dan ternyata terjadi mafsadat maka pemerintah wajib mencabut izin tersebut apabila mafsadat yang timbul tidak bisa dihilangkan setelah dilakukan berbagai upaya dan tahapan.

 

Kesimpulan

Maslahah Mursalah merupakan metode ijtihad yang dipakai untuk memutus perkara baru yang tidak tertulis dalam nash dengan mendasarkan alasan yang rasional. Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU mempertimbangkan aspek Maslahah Mursalah dalam bertijtihad, yang intinya mengandung manfaat dan dapat mencegah keburukan. Hal itu bisa dilihat dari keputusan-keputusan mereka, masing-masing antara lain ditemukan dalam kitab Himpunan Tarjih Muhammadiyah (HPT) dan Ahkamul Fuqaha karya Bahtsul Masail NU. Maslahah Mursalah harus memenuhi syarat-syarat, antara lain mengundang manfaat atau mencegah kemafsadatan, diberlakukan demi kepentingan umum, bukan berdasarkan kepentingan pribadi, serta tidak ada dalil nash dan ijma yang mengatur atau melarangnya secara qath�i.

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Al-Syathibi. (2006). Al-I�tisham, Jilid II. Kairo: al-Maktabat al-Tijariyyat.

 

Bowen, Glenn A. (2009). Document analysis as a qualitative research method. Qualitative Research Journal. Google Scholar

 

Mubarok, Jaih. (2020). Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Google Scholar

 

Muhammadiyah. (2019). Himpunan Putusan Tarjih (HPT) (Jilid I). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

 

Rosyadi, I. (2014). Masalahah Mursalah sebagai Instrumen Penetapan dan Perubahan Hukum. Suara Muhammadiyah, 22�23.

 

Salma, Salma. (2016). Maslahah Dalam Perspektif Hukiim Islam. Jurnal Ilmiah Al-Syir�ah, 10(2). Google Scholar

 

Yusuf. (2019). Maslahah Al Mursalah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara: Perspektif NU dan Ulama Mazdhahib Al-Arba�ah. Al Maslahah, 16(1), 159.

������

Copyright holder:

Hanifah Kusumastuti, Imron Rosyadi, Rizka (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: